NAMA PENGARANG :
FAKULTAS HUKUM
USM
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Penulisan naskah yang berjudal “Perbandingan Hukum Tata Negara Mengenai
Campur Tangan Kepala Negara Indonesia Dalam Pemilu Dengan Negara-Negara Asia” ini
dalam rangka memenuhi tugas yang telah diberikan. Penulis Menyadari bahwa tulisan ini
tidak luput dari kekurangankekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan
penulis terima dengan senang hati demi perbaikan naskah penelitian lebih lanjut.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Pemilihan umum (Pemilu) adalah sebuah proses pemilihan dengan melibatkan seluruh
warga negara yang akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka.
Pemilu 2009 banyak dinilai sebagai pemilu yang paling bermasalah selama era Reformasi,
tak terkecuali problem yang terkait dengan pemenuhan prinsip keadilan pemilu (electoral
justice). Problem tersebut mencakup tiga hal, yakni: pertama, tidak adanya jaminan hukum
terhadap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait proses pemilu. Ini terlihat dari banyaknya
persoalan penyelenggaraan akibat sengketa dan ketidakjelasan pengaturan. Kedua, sistem
yang dirancang tidak mampu memberikan perlindungan dan bahkan tidak mampu
memulihkan hak elektoral yang terlanggar. Ketiga, tidak tersedianya ruang yang memadai
bagi warga negara (pemilih) untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan
mendapatkan putusan yang adil dalam hal terlanggarnya hak elektoral.1
Jika dilihat dari segi teori ilmu hukum, Indonesia merupakan negara yang menganut
konsep civil law yang juga secara otomatis menganut aliran hukum positivisme. Dalam aliran
hukum positivisme, sumber utama kelegalan suatu perbuatan adalah hukum tertulis berupa
hukum positif. Mengkaji mengenai persoalan legalitas, artinya mengkaji mengenai
boleh/tidak boleh, sah/tidak sah suatu perbuatan dilaksanakan berdasarkan hukum positif atau
hukum yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, ketika kita mengkaji legalitas presiden
melaksanakan kampanye, berarti kita mengkaji apakah presiden boleh dan sah secara hukum
melaksanakan kampanye berdasarkan hukum positif. Dalam konteks Pemilu, hukum positif
1
A. Mukhtie Fadjar. “Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum Pelanggaran
Pemilu dan PHPU”, dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.
2
Kumparan.com
yang memuat segala ketentuan mengenai pemilu termasuk didalamnya pelaksanaan
kampanye adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau yang
kerap disebut dengan UU Pemilu. Jadi, pedoman dalam menentukan legalitas presiden dalam
melaksanakan kampanye adalah UU Pemilu sebagai hukum posistif yang memuat
persoalan Pemilu.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
1.1 Perbandingan HTN Umum Dalam Campur Tangan Presiden Dalam Pelaksanaan
Pemilu.
Perbandingan HTN dalam campur tangan presiden dalam pelaksanaan Pemilu sangat
bergantung pada kerangka hukum dan norma demokrasi yang berlaku di negara tersebut.
Prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan keadilan menjadi kunci dalam menilai
sejauh mana campur tangan tersebut dapat diterima dalam sebuah proses demokratis.
Dalam konteks Hukum Tata Negara (HTN) umum, campur tangan presiden dalam
pelaksanaan Pemilu sering kali menjadi topik yang sensitif dan kompleks. Secara umum,
presiden diharapkan untuk tidak memihak dan tidak menggunakan fasilitas negara selama
kampanye Pemilu. Hal ini ditegaskan dalam berbagai regulasi, seperti pasal-pasal tertentu
dalam UU Pemilu yang memberikan batasan yuridis dan etis bagi presiden
untuk berkampanye.3
Dalam UU pemilu, kampanye dimuat dalam bab VII yang terdiri dari sebelas bagian.
Pihak-pihak yang dilarang ikut serta dalam pelaksanaan pemilu dimuat dalam bagian
keempat tepatnya dalam pasal 280 ayat (2) yang secara ekplisit verbis melarang beberapa
penyelanggara negara ikut serta dalam pelaksanaan kampanye. Beberapa penyelanggara
negara tersebut adalah seluruh jajaran hakim Mahkamah Agung termasuk hakim pada semua
peradilan yang dinaungi Mahkamah Agung, hakim konstititusi, ketua, wakil ketua, dan
anggota Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur/deputi gubernur senior/deputi gubernur Bank
Indonesia, direksi, komisaris/dewan pengawas//karyawan Badan Usaha Milik Negara
maupun Badan Usaha Milik Daerah, pejabat negara bukan anggota partai politik yang
menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural, Aparatur Sipil Negara, Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa/perangkat desa dan
anggota Badan Permusyawaratan Desa. Dalam deretan nama penyelanggara-penyelanggara
3
E-Journal UNS.AC.ID
negara tersebut, tidak terdapat nomenklatur presiden. Artinya, berdasarkan pasal tersebut
presiden tidak dilarang ikut serta dalam pelaksanaan kampanye pemilu.
Selanjutnya, masih pada bab VII bagian keempat tepatnya pasal 281 ayat (1-2), ayat 1
pasal tersebut menyebutkan bahwa ketika presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil
gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota ikut serta dalam pelaksanaan
pemilu, maka harus memenuhi ketentuan-ketentuan berupa tidak menggunakan fasilitas
dalam jabatannya kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai perundang-
undangan, dan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara. Kemudian pada ayat (2)
disebutkan bahwa cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dari kontruksi pasal tersebut, dapat dipahami bahwa pelaksanaan
kampanye oleh presiden adalah sesuatu yang legal dengan batasan-batasan yuridis berupa
tidak boleh menggunakan fasilitas negara, harus menjalani cuti dan memperhatikan
keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara. Kemudian, masih pada bab yang sama,
bagian kedelepan tepatnya pasal 299 ayat (1-3) UU Pemilu. Diebutkan secara ekplisit verbis
pada ayat (1) bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak berkampanye, kemudian
ayat (2) menyebutkan bahwa pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai
Politik mempunyai hak melaksanakan kampanye, dan ayat (3) Pejabat negara lainnya yang
bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan kampanye apabila yang
bersangkutan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, anggota tim kampanye yang
sudah didaftarkan ke KPU, atau pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.
Jika kita telaah secara teliti pada pasal-pasal yang penulis jelaskan diatas yaitu pasal
281, 299, 300, 301, 304, dan 305, terlihat dengan jelas bahwa terdapat upaya legislator untuk
mengklasifir nomenklatur presiden, pejabat negara lainnya, dan pejabat daerah. Berdasarkan
hal tersebut dapat ditafsirkan secara tekstual bahwa UU Pemilu sebagai hukum positif
mengatribusikan secara khusus seperangkat hak kepada presiden untuk melaksanakan
kampanye dengan batasan-batasan tertentu. Seperti yang penulis sampaikan diawal
bahwasanya dalam aliran positivisme yang dianut Negara Indonesia diyakini bahwa yang
menjadi sumber utama dan standar kelegalan suatu perbuatan adalah hukum positif. Hal
tersebut juga berkaitan dengan teori hukum murni oleh Hans Kelsen yang berpandangan
bahwa hukum bebas dari anasir-anasir yang non-yuridis seperti sosiologis, politis, historis
dan etis. Oleh karena itu, hukum hadir sebagai tiang kokoh yang membuat terang kelegalan
atau kebasahan suatu perbuatan. Jadi terlepas dari konfigurasi politik saat ini, keadaan sosial,
dan perdebatan etis, pelaksanaan kampanye oleh presiden adalah suatu perbuatan yang legal
dengan batasan-batasan berdasarkan hukum positif.
2.1 Pandangan Beberapa Negara Asia Dalam Campur Tangan Kepala Negara Indonesia
Dengan Negara Asia Lainnya Dalam Pemilu.
BAB IV
4
Jurnal Faktual.id
KESIMPULAN
Pandangan negara lain terhadap sistem pemilu di indonesia yang telah menyoroti
beberapa kasus yang telah ramai diperbincangan di dalam sistem demokrasi di indonesia
telah menuai banyak penilaian dan media asing tersebut menilai bahwa sitem pemilu di
indonesia tidak memiliki kecurangan sedikitpun seperti apa yang telah tersebar di media
internasional, seperti penialain terhdap Hakim Mahkamah Konstitusi yang dianggap
memihak salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan meminta
mendiskualifikasikan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, tuduhan
tersebut ternyata tidak memilki bukti yang valid dan dinyatakan sah menjadi presiden dan
wakil presiden periode berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
E-Journal UNS.AC.ID
Jurnal Faktual.id
https://www.kompasiana.com/anisazizah96/59a753fb159344519b0ea182/sistem-pemilihan.
diunduh pada 4 Desember 2018
http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/06/pemilu-di-indonesia-sistem.html,
diunduh pada 4 Desember 2018
Kumparan.com