Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA MENGENAI TANGAN KEPALA NEGARA


INDONESIA DALAM PEMILU DENGAN NEGARA-NEGARA ASIA

NAMA PENGARANG :

1. MUHAMMAD FARID ATHOILLAH


2. DESVIAN ONGKY LUFIANTORO
3. MOCHAMAD RISKI BUDIANTO
4. SONI GUNAWAN

FAKULTAS HUKUM
USM
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nyalah tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Penulisan naskah yang berjudal “Perbandingan Hukum Tata Negara Mengenai
Campur Tangan Kepala Negara Indonesia Dalam Pemilu Dengan Negara-Negara Asia” ini
dalam rangka memenuhi tugas yang telah diberikan. Penulis Menyadari bahwa tulisan ini
tidak luput dari kekurangankekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, semua kritik dan saran pembaca akan
penulis terima dengan senang hati demi perbaikan naskah penelitian lebih lanjut.
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Pemilihan umum (Pemilu) adalah sebuah proses pemilihan dengan melibatkan seluruh
warga negara yang akan menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka.
Pemilu 2009 banyak dinilai sebagai pemilu yang paling bermasalah selama era Reformasi,
tak terkecuali problem yang terkait dengan pemenuhan prinsip keadilan pemilu (electoral
justice). Problem tersebut mencakup tiga hal, yakni: pertama, tidak adanya jaminan hukum
terhadap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait proses pemilu. Ini terlihat dari banyaknya
persoalan penyelenggaraan akibat sengketa dan ketidakjelasan pengaturan. Kedua, sistem
yang dirancang tidak mampu memberikan perlindungan dan bahkan tidak mampu
memulihkan hak elektoral yang terlanggar. Ketiga, tidak tersedianya ruang yang memadai
bagi warga negara (pemilih) untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan, dan
mendapatkan putusan yang adil dalam hal terlanggarnya hak elektoral.1

Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan berdasarkan ketetapan MPR RI Nomor


XIV/MPR/1998 yang berdasarkan pada pertimbangan bahwa di dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Dalam
rangka mewujudkan kedaulatan rakyat secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara perlu diselenggarakan Pemilu secara demokratis, transparan, jujur dan adil
diselenggarakan dengan pemberian dan pemungutan suara secara Iangsung, umum,
bebas, dan rahasia.2

Jika dilihat dari segi teori ilmu hukum, Indonesia merupakan negara yang menganut
konsep civil law yang juga secara otomatis menganut aliran hukum positivisme. Dalam aliran
hukum positivisme, sumber utama kelegalan suatu perbuatan adalah hukum tertulis berupa
hukum positif. Mengkaji mengenai persoalan legalitas, artinya mengkaji mengenai
boleh/tidak boleh, sah/tidak sah suatu perbuatan dilaksanakan berdasarkan hukum positif atau
hukum yang berlaku saat ini. Oleh karena itu, ketika kita mengkaji legalitas presiden
melaksanakan kampanye, berarti kita mengkaji apakah presiden boleh dan sah secara hukum
melaksanakan kampanye berdasarkan hukum positif. Dalam konteks Pemilu, hukum positif
1
A. Mukhtie Fadjar. “Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum Pelanggaran
Pemilu dan PHPU”, dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.
2
Kumparan.com
yang memuat segala ketentuan mengenai pemilu termasuk didalamnya pelaksanaan
kampanye adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau yang
kerap disebut dengan UU Pemilu. Jadi, pedoman dalam menentukan legalitas presiden dalam
melaksanakan kampanye adalah UU Pemilu sebagai hukum posistif yang memuat
persoalan Pemilu.
BAB II

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana perbandingan HTN umum dalam campur tangan presiden dalam


pelaksanaan Pemilu?
2. Bagaimana pandangan beberapa Negara Asia dalam campur tangan Kepala Negara
Imdomesia dengan Negara Asia lainnya dalam Pemilu?
BAB III

PEMBAHASAN

1.1 Perbandingan HTN Umum Dalam Campur Tangan Presiden Dalam Pelaksanaan
Pemilu.

Perbandingan HTN dalam campur tangan presiden dalam pelaksanaan Pemilu sangat
bergantung pada kerangka hukum dan norma demokrasi yang berlaku di negara tersebut.
Prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan keadilan menjadi kunci dalam menilai
sejauh mana campur tangan tersebut dapat diterima dalam sebuah proses demokratis.

Dalam konteks Hukum Tata Negara (HTN) umum, campur tangan presiden dalam
pelaksanaan Pemilu sering kali menjadi topik yang sensitif dan kompleks. Secara umum,
presiden diharapkan untuk tidak memihak dan tidak menggunakan fasilitas negara selama
kampanye Pemilu. Hal ini ditegaskan dalam berbagai regulasi, seperti pasal-pasal tertentu
dalam UU Pemilu yang memberikan batasan yuridis dan etis bagi presiden
untuk berkampanye.3

Dalam UU pemilu, kampanye dimuat dalam bab VII yang terdiri dari sebelas bagian.
Pihak-pihak yang dilarang ikut serta dalam pelaksanaan pemilu dimuat dalam bagian
keempat tepatnya dalam pasal 280 ayat (2) yang secara ekplisit verbis melarang beberapa
penyelanggara negara ikut serta dalam pelaksanaan kampanye. Beberapa penyelanggara
negara tersebut adalah seluruh jajaran hakim Mahkamah Agung termasuk hakim pada semua
peradilan yang dinaungi Mahkamah Agung, hakim konstititusi, ketua, wakil ketua, dan
anggota Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur/deputi gubernur senior/deputi gubernur Bank
Indonesia, direksi, komisaris/dewan pengawas//karyawan Badan Usaha Milik Negara
maupun Badan Usaha Milik Daerah, pejabat negara bukan anggota partai politik yang
menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural, Aparatur Sipil Negara, Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa/perangkat desa dan
anggota Badan Permusyawaratan Desa. Dalam deretan nama penyelanggara-penyelanggara

3
E-Journal UNS.AC.ID
negara tersebut, tidak terdapat nomenklatur presiden. Artinya, berdasarkan pasal tersebut
presiden tidak dilarang ikut serta dalam pelaksanaan kampanye pemilu.

Selanjutnya, masih pada bab VII bagian keempat tepatnya pasal 281 ayat (1-2), ayat 1
pasal tersebut menyebutkan bahwa ketika presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil
gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota ikut serta dalam pelaksanaan
pemilu, maka harus memenuhi ketentuan-ketentuan berupa tidak menggunakan fasilitas
dalam jabatannya kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai perundang-
undangan, dan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara. Kemudian pada ayat (2)
disebutkan bahwa cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Dari kontruksi pasal tersebut, dapat dipahami bahwa pelaksanaan
kampanye oleh presiden adalah sesuatu yang legal dengan batasan-batasan yuridis berupa
tidak boleh menggunakan fasilitas negara, harus menjalani cuti dan memperhatikan
keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara. Kemudian, masih pada bab yang sama,
bagian kedelepan tepatnya pasal 299 ayat (1-3) UU Pemilu. Diebutkan secara ekplisit verbis
pada ayat (1) bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak berkampanye, kemudian
ayat (2) menyebutkan bahwa pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota Partai
Politik mempunyai hak melaksanakan kampanye, dan ayat (3) Pejabat negara lainnya yang
bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan kampanye apabila yang
bersangkutan sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, anggota tim kampanye yang
sudah didaftarkan ke KPU, atau pelaksana kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU.

Legalitas presiden dalam melaksanakan kampanye dipertegas lagi dalam pasal


300,301, 304, 305 UU Pemilu yang secara keseluruhan memberikan hak kepada presiden
untuk melaksakan kampanye dengan batasan-batasan yuridis dan etis berupa tidak
menggunakan fasilitas negara, menjalani cuti diluar tanggugungan negara dan tetap
memperhatikan tugas penyelenggara negara. Fasilitas negara yang dilarang digunakan dalam
pelaksanaan kampanye dijelaskan dalam pasal 304 UU Pemilu, yaitu berupa kendaraan dinas,
gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah pusat/daerah, kecuali pada
daerah terpencil dengan memperhatikan prinsip keadilan, kemudian dilarang juga memakai
radio sandi/telekomunikasi milik pemerintah baik itu pusat/daerah,, dan fasilitas lainnya yang
dibiayai oleh APBN/APBD terkecuali apabila fasilitas-fasilitas tersebut disewakan kepada
umum. Selain itu, pada pasal 305 ayat (1) memberikan pengecualian juga kepada presiden
yang melakukan kampanye untuk tetap mendapatkan fasilitas pengamanan, kesehatan, dan
protokoler yang dilakukan sesuai kondisi lapangan secara profesional dan proporsional.

Jika kita telaah secara teliti pada pasal-pasal yang penulis jelaskan diatas yaitu pasal
281, 299, 300, 301, 304, dan 305, terlihat dengan jelas bahwa terdapat upaya legislator untuk
mengklasifir nomenklatur presiden, pejabat negara lainnya, dan pejabat daerah. Berdasarkan
hal tersebut dapat ditafsirkan secara tekstual bahwa UU Pemilu sebagai hukum positif
mengatribusikan secara khusus seperangkat hak kepada presiden untuk melaksanakan
kampanye dengan batasan-batasan tertentu. Seperti yang penulis sampaikan diawal
bahwasanya dalam aliran positivisme yang dianut Negara Indonesia diyakini bahwa yang
menjadi sumber utama dan standar kelegalan suatu perbuatan adalah hukum positif. Hal
tersebut juga berkaitan dengan teori hukum murni oleh Hans Kelsen yang berpandangan
bahwa hukum bebas dari anasir-anasir yang non-yuridis seperti sosiologis, politis, historis
dan etis. Oleh karena itu, hukum hadir sebagai tiang kokoh yang membuat terang kelegalan
atau kebasahan suatu perbuatan. Jadi terlepas dari konfigurasi politik saat ini, keadaan sosial,
dan perdebatan etis, pelaksanaan kampanye oleh presiden adalah suatu perbuatan yang legal
dengan batasan-batasan berdasarkan hukum positif.

2.1 Pandangan Beberapa Negara Asia Dalam Campur Tangan Kepala Negara Indonesia
Dengan Negara Asia Lainnya Dalam Pemilu.

Pandangan negara-negara Asia terhadap campur tangan kepala negara Indonesia


dalam pemilihan umum (Pemilu) dapat bervariasi, namun berdasarkan informasi yang
tersedia, tampaknya fokus utama adalah pada integritas proses pemilu itu sendiri. Beberapa
media asing telah menyoroti hasil putusan Mahkamah Konstitusi Indonesia yang menangani
gugatan dari kandidat yang kalah, dengan tidak menemukan bukti kecurangan sistematis atau
campur tangan presiden dalam pemilu. Reuters, misalnya sebagai contoh, melaporkan bahwa
Mahkamah Konstitusi Indonesia menegaskan tidak ada bukti adanya “campur tangan”
presiden atau badan-badan negara dalam pemilu. Ini menunjukkan bahwa ada pengakuan
internasional terhadap upaya Indonesia untuk menjaga pemilu yang adil dan transparan.
Channel News Asia (CNA) menyoroti Ganjar Pranowo dan pasangannya, Mahfud MD, telah
mengakui kekalahan dan menerima putusan pengadilan. Keduanya dikabarkan telah
mengucapkan selamat kepada Prabowo. CNA juga memberitakan ratusan pengunjuk rasa di
luar gedung Mahkamah Konstitusi, yang menuntut agar Jokowi diadili dan Prabowo-Gibran
didiskualifikasi.4

BAB IV

4
Jurnal Faktual.id
KESIMPULAN

Di dalam Perbandingan HTN campur tangan presiden dalam pelaksanaan Pemilu


sangat bergantung pada struktur hukum dan norma demokrasi yang berlaku di suatu negara.
Prinsip seperti keterbukaan, akuntabilitas, dan keadilan menjadi kunci dalam menilai sejauh
mana campur tangan tersebut dapat diterima dalam sebuah proses demokratis. Dalam prinsip
Hukum Tata Negara seorang presiden yang menjabat tidak boleh ikut beraviliasi dan
menggunakan fasilitas yang disediakan oleh negara untuk melakukan kampanye atau
memihak kepada salah satu calon presiden yang di anggap memiliki hubungan sedarah
maupun memiliki keterikatan tertentu, hal tersebut tercantum didalam pasal yang memberi
peraturan atau batasan kepada presiden agar tidak terlalu mengikuti kampanye, di sebutkan
dalam beberapa pasal presiden dalam melaksanakan kampanye yaitu dalam pasal 300,301,
304, 305 UU Pemilu yang secara keseluruhan memberikan hak kepada presiden untuk
melaksakan kampanye dengan batasan-batasan yuridis dan etis berupa tidak menggunakan
fasilitas negara.

Pandangan negara lain terhadap sistem pemilu di indonesia yang telah menyoroti
beberapa kasus yang telah ramai diperbincangan di dalam sistem demokrasi di indonesia
telah menuai banyak penilaian dan media asing tersebut menilai bahwa sitem pemilu di
indonesia tidak memiliki kecurangan sedikitpun seperti apa yang telah tersebar di media
internasional, seperti penialain terhdap Hakim Mahkamah Konstitusi yang dianggap
memihak salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan meminta
mendiskualifikasikan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden, tuduhan
tersebut ternyata tidak memilki bukti yang valid dan dinyatakan sah menjadi presiden dan
wakil presiden periode berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA

E-Journal UNS.AC.ID

Jurnal Faktual.id

Satria Mirza Buana,

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA (FILSAFAT, TEORI, DAN PRAKTIK)


Perbandingan Hukum Tata Negara (Comparative Constitutional Law), 24,jan,2023

Jimly Asshiddiqie, Green And Blue constution, 2021

Azizah, Anis . 2017. Sistem Pemilihan Umum.

https://www.kompasiana.com/anisazizah96/59a753fb159344519b0ea182/sistem-pemilihan.
diunduh pada 4 Desember 2018

Dynasah, Juan.2013. Sistem Pemilihan Umum.

http://sistempemerintahan-indonesia.blogspot.com/2013/06/pemilu-di-indonesia-sistem.html,
diunduh pada 4 Desember 2018

Ansori, lelgal drafting praktik penyusunan peraturan perundang-undangan,2020

A. Mukhtie Fadjar. “Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum


Pelanggaran Pemilu dan PHPU”, dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.

Kumparan.com

Anda mungkin juga menyukai