Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

SOSIOLOGI POLITIK

“PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)”

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD RIZKY ANOM NIM : 16612011137

MUHAMMAD FEBRIAN SAPUTRA NIM : 17612011191

ARKAN ZAID AL GHOZI NIM : 18612011429

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

MANAJEMEN 03

FAKULTAS EKONOMI
TAHUN AKADEMIK 2020
UNIVERSITAS ANTAKUSUMA PANGKALAN BUN
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
kasih‐Nya, atas anugerah hidup dan kesehatan yang telah kami terima, serta petunjuk‐
Nya sehingga kami diberikan kemampuan dan kemudahan dalam penyusunan
Makalah Ekonomi Koperasi tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA).

Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum cukup baik, kami
menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. kami juga
menyadari bahwa kami masih banyak mempunyai keterbatasan pengetahuan dalam
materi, sehingga menjadikan keterbatasan bagi saya pula untuk memberikan
penjelasan yang lebih dalam tentang masalah ini, oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan karya tulis ini.

Akhir kata, kami mohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat kekurangan dan
kesalahan. semoga makalah ini membawa manfaat bagi kita dan juga dapat
menambah pengetahuan kita agar dapat lebih luas lagi.

Pangkalan Bun, 21 November 2020

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................i

Daftar Isi.....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...........................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah......................................................................................3
1.3 Tujuan Masalah.........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pilkada Langsung....................................................................4


2.2 Landasan Hukum Pilkada Langsung di Indonesia ...................................5
2.3 Tujuan dan Fungsi Pilkada........................................................................10
2.4 Budaya dan Praktek Politik Uang di Indonesia.........................................13
2.5 Contoh Kasus.............................................................................................19

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................22
3.2 Saran..........................................................................................................22

Daftar Pustaka............................................................................................................24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemilihan langsung kepala daerah (pilkada langsung) merupakan
kerangka kelembagaan baru dalam rangka mewujudkan proses demokratisasi di
daerah. Proses ini diharapkan bisa mereduksi secara luas adanya pembajakan
kekuasaan yang dilakukan oleh partai politik yang memiliki kursi di Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu, pilkada secara langsung juga
diharapkan bisa menghasilkan kepala daerah yang memiliki akuntabilitas lebih
tinggi kepada rakyat. Meskipun makna langsung di sini lebih berfokus pada hak
rakyat untuk memilih kepala daerah, para calon kepala daerah lebih banyak
ditentukan oleh partai politik. Belakangan calon perseorangan memang
dimungkinkan dalam pilkada, namun hal tersebut tidak begitu saja mampu
mengesampingkan posisi dan peran partai politik di dalam pilkada langsung.
Pilkada langsung di Indonesia sendiri dilaksanakan sejak Juni 2005.
Pelaksanaan pilkada langsung tersebut sebelumnya didahului keberhasilan
pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2004.
Penyelenggaraan pilkada langsung diintrodusir di dalam Undang- Undang (UU)
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan UU hasil
revisi atas UU No. 22 Tahun 1999 mengenai substansi yang sama.3 Semangat
yang muncul dari pelaksanaan pilkada langsung di antaranya adalah untuk
mengembalikan hak-hak politik rakyat yang selama ini dilakukan hanya melalui
perwakilan mereka di DPRD.
Pelaksanaan pilkada secara langsung juga sebagai upaya untuk
memperbaiki kehidupan demokrasi setelah terjadi pergantian rezim Orde Baru
ke reformasi. Dalam rangka itu, pilkada langsung juga sebagai ajang bagi
daerah untuk menemukan calon-calon pemimpin daerah yang berintegritas dan
bisa mengemban amanat rakyat. Pilkada langsung berpeluang mendorong

1
majunya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat
daerah sekaligus menguatkan derajat legitimasinya. Dengan demikian, pilkada
langsung dapat memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi
proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Artinya,
masyarakat berkesempatan untuk terlibat mempengaruhi pembuatan kebijakan
publik yang dilakukan kepala daerah sebagaimana janjinya saat kampanye dan
ikut pula mengawas kepala daerah jika menyalahgunakan kekuasaan sehingga
proses ini dapat memaksa kepala daerah untuk tetap memperhatikan aspirasi
rakyat. Untuk mendekatkan harapan tersebut, salah satu pintu masuknya adalah
dengan cara melihat bagaimana proses yang dilakukan oleh partai politik dalam
mengajukan calon-calon pemimpin daerah yang akan mereka usung. Partai
politik sebagaimana yang tersebut dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian
direvisi menjadi UU No 12 Tahun 2008 merupakan salah satu institusi yang
bisa mengajukan calon kepala daerah dalam pilkada langsung.
Dalam konteks ini, proses politik yang terjadi di internal partai politik
ikut mempengaruhi bagaimana kualitas calon kepala daerah. Dengan demikian,
partai politik memiliki posisi dan peran yang siginifikan dalam menghadirkan
individu- individu berintegritas untuk memimpin sebuah daerah. Namun
demikian, pada praktiknya kuasa partai politik tersebut kerap menuai kritik
publik. Di antaranya, proses pengusungan kandidat kerap terlihat elitis,
rekrutmen calon yang buruk, semaraknya isu mengenai keharusan menyediakan
uang “perahu” atau “mahar” politik oleh kandidat agar memperoleh tiket
pencalonan dari partai politik, abainya partai politik pada suara publik terhadap
persoalan yang menyangkut politik kekerabatan di daerah, sampai mengenai
bagaimana partai politik bisa bekerja dalam mengawal pengusungan kandidat
sebagai sebuah mesin politik yang efektif agar tidak sekadar menjadi pemberi
tiket. Dengan kondisi seperti itulah banyak kandidat partai yang terpilih dengan
memberikan mahar politik berfikir untuk mengembalikan modal sewaktu

2
kampanye pada saat terpilih nanti dan hal ini yang menjadikan budaya tabu di
kalangan para politikus Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu pilkada langsung?
1.2.2 Apa saja landasan hukum dalam melaksanakan pilkada langsung di
Indonesia?
1.2.3 Manfaat apa yang dirasakan dalam pilkada langsung di Indonesia?
1.2.4 Bagaimana budaya dan praktek korupsi di Indonesia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Memahami apa itu pilkada langsung.
1.3.2 Mengetahui apa saja landasan hokum dalam melaksanakan pilkada langsung
di Indonesia.
1.3.3 Memahami manfaat apa saja terkait dengan penyelenggaraan pilkada langsung
di Indonesia.
1.3.4 Mengetahui bagaimana budaya dan praktek korupsi yang terjadi di Indonesia.
.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pilkada Langsung


Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang sering disebut sebagai
pilkada menjadi sebuah perjalanan sejarah baru dalam dinamika kehidupan
berbangsa di Indonesia. Perubahan sistem pemilihan mulai dari pemilihan
Legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, dan Kepala Daerah diharapkan mampu
melahirkan kepemimpinan yang dekat dan menjadi idaman seluruh lapisan
masyarakat. Minimal secara moral dan ikatan dan pertanggungjawaban kepada
konstituen pemilihnya yang notabene adalah masyarakat yang dipimpinnya.
Selain sebagai pembelajaran dan pendidikan politik langsung kepada
masyarakat. Pilkada juga merupakan tonggak baru demokrasi di Indonesia.
Bahwa esensi demokrasi adalah kedaulatan berada ditangan rakyat yang
dimanifestasikan melalui pemilihan yang langsung dilakukan oleh masyarakat
dan diselenggarakan dengan jujur, adil, dan aman. Seperti yang diungkap Abdul
Asri (Harahap 2005:122), mengatakan bahwa :
“Pilkada langsung merupakan tonggak demokrasi terpenting di daerah,
tidak hanya terbatas pada mekanisme pemilihannya yang lebih demokratis dan
berbeda dengan sebelumnya tetapi merupakan ajang pembelajaran politik
terbaik dan perwujudan dari kedaulatan rakyat. Melalui pilkada langsung rakyat
semakin berdaulat, dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya dimana
kepala daerah ditentukan oleh sejumlah anggota DPRD. Sekarang seluruh
rakyat yang mempunyai hak pilih dan dapat menggunakan hak suaranya secara
langsung dan terbuka untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Inilah esensi
dari demokrasi dimana kedaulatan ada sepenuhnya ada ditangan rakyat,
sehingga berbagi distorsi demokrasi dapat ditekan seminimal mungkin”.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas, maka pada hakikatnya
pilkada merupakan sebuah peristiwa luar biasa yang dapat membuat perubahan

4
berarti bagi daerah. Ini merupakan suatu cara dari kedaulatan rakyat yang
menjadi esensi dari demokrasi. Oleh karena itu, esensi dari demokrasi yang
melekat pada pilkada hendaknya disambut masyarakat secara sadar dan cerdas
dalam menggunakan hak politiknya. Partisipasi, aktif, cermat, dan jeli
hendaknya menjadi bentuk kesadaran politik yang harus dimiliki oleh
masyarakat daerah dalam Pilkada ini.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau lebih popular
disingkat menjadi Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk
daerah setempat yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terdiri dari Gubernur dan Wakil
Gubernur untuk provinsi, Bupati dan Wakil Bupati untuk kabupaten, Walikota
dan Wakil Walikota untuk kota. Hampir semua Daerah di Indonesia sejak
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah, kini telah mengadakan proses pemilihan kepala daerah baik di Propinsi,
maupun kabupaten/kota sesuai amanat undang-undang tersebut.

2.2 Landasan Hukum Pilkada Langsung di Indonesia


Pemilihan Umum Kepala Daerah atau yang biasa disingkat dengan
Pemilukada atau Pilkada, adalah pemilihan umum untuk memilih Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk
daerah setempat yang memenuhi syarat. Pemilukada menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang “Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan
Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk
memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 62 dinyatakan bahwa ketentuan mengenai
pemilihan Kepala Daerah diatur dengan Undang-Undang.
Undang-Undang Dasar 1945 dalam BAB VIIIB tentang Pemilu, memang
tidak pernah menyebut mengenai pemilukada. Pada Pasal 22E ayat (2) yang
berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
dan Dewan Perwakilan Daerah”. Namun demikian, pengaturan pemilukada
seharusnya didasarkan atas pemahaman adanya sistematis antara Pasal-Pasal
dalam Undang- Undang Dasar 1945. Selain itu secara materil, pemilu memang
tidak berbeda dengan pemilukada baik dari segi substansi maupun
penyelenggaraannya.
Di sisi lain, karena Amandemen Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945
adalah amandemen 2 (kedua), sedangkan Pasal 22E Undang-Undang Dasar
1945 merupakan amandemen 3 (ketiga), maka secara hukum mempunyai
makna bahwa pelaksanaan Pasal 18 ayat (4), khususnya lembaga yang
melakukan rekrutmen pasangan calon Kepala Daerah harus merujuk pada Pasal
22E. Logika hukumnya, karena kalau oleh pengubah Undang-Undang Dasar
1945 pada Pasal 18 dianggap bertentangan dengan Pasal 22E, maka dapat
dipastikan dalam amandemen 3 (ketiga) rumusan yang terdapat pada Pasal 18
akan diubah dan disesuaikan dengan Pasal 22E, namun kenyataannya hal itu
tidak pernah terjadi sehingga sampai saat ini yang berlaku tetap merupakan
Pasal 18 hasil amandemen 2 (kedua) tersebut.
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilukada)
merupakan instrumen yang sangat penting dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berdasarkan prinsip demokrasi di daerah, karena di
sinilah wujud bahwa rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan
kebijakan kenegaraan. Mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi untuk
mengatur pemerintahan Negara ada pada rakyat. Melalui Pemilukada, rakyat

6
dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya dalam proses
penyaluran aspirasi, yang selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah
negara.
1. Pemilukada menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di
wilayah Provinsi dan Kabupaten/ Kota berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 56 ayat (1) dinyatakan bahwa Kepala
Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
Pasangan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah selanjutnya
disebut pasangan calon adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang telah memenuhi persyaratan.
Secara normatif, berdasarkan ukuran-ukuran demokrasi, pemilukada
langsung menawarkan sejumlah manfaat dan sekaligus harapan bagi
pertumbuhan, pendalaman dan perluasan demokrasi lokal, yaitu: Sistem
demokrasi langsung melalui pemilukada langsung akan membuka ruang
partisipasi yang lebih luas bagi warga dalam proses demokrasi dan
menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal dibandingkan sistem
demokrasi perwakilan yang lebih banyak meletakkan kuasa untuk
menentukan rekruitmen politik di tangan segelintir orang di DPRD
(oligarkis).
2. Kompetensi politik pemilukada langsung memungkinkan munculnya secara
lebih lebar preferensi kandidat-kandidat berkompetensi dalam ruang yang
lebih terbuka dibandingkan ketertutupan yang sering terjadi dalam
demokrasi perwakilan. Pemilukada langsung bisa memberikan sejumlah
harapan pada upaya pembalikan “syndrome” dalam demokrasi perwakilan

7
yang ditandai dengan model kompetensi yang tidak fair, seperti; praktik
politik uang (money politic).
3. Sistem pemilihan langsung akan memberi peluang bagi warga untuk
mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi
oleh kepentingan-kepentingan elite politik seperti yang kasat mata muncul
dalam sistem demokrasi perwakilan. Setidaknya, melalui konsep demokrasi
langsung, warga di area lokal akan mendapatkan kesempatan untuk
memperoleh semacam pendidikan politik, training kepemimpinan politik
dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan politik.
4. Pemilukada langsung memperbesar harapan untuk mendapatkan figur
pemimpin yang aspiratif, kompeten dan legitimasi. Karena, melalui
pemilukada langsung, Kepala Daerah yang terpilih akan lebih berorientasi
pada warga dibandingkan pada segelintir elite di DPRD. Dengan demikian,
Pemilukada mempunyai sejumlah manfaat, berkaitan dengan peningkatan
kualitas tanggung jawab pemerintah daerah pada warganya yang pada
akhirnya akan mendekatkan Kepala Daerah dengan masyarakat.
5. Kepala Daerah yang terpilih melalui pemilukada langsung akan memiliki
legitimasi politik yang kuat sehingga akan terbangun perimbangan kekuatan
(check and balance) di daerah antara Kepala Daerah dengan DPRD.
Perimbangan kekuatan ini akan meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan
seperti yang muncul dalam format politik yang monolitik.
Secara substansial maupun tahapan pelaksanaannya, pemilukada
merupakan pemilu dengan argumentasi:
1. Pengaturan tentang pemilukada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah tersebut disusun berdasarkan ketentuan
Pasal 22E ayat (1) mengenai asas pemilu dan hampir seluruhnya sama
dengan pengaturan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-

8
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden.
2. Ketika pembuat Undang-Undang menjabarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4),
pada dasarnya melakukan interpretasi dengan merujuk pada ketentuan yang
terkandung pada Pasal-Pasal lain dalam Undang-Undang Dasar 1945,
khususnya Pasal 6A, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung
oleh rakyat.
Dilihat dari ciri-cirinya dapat disimpulkan bahwa pemilukada merupakan
kegiatan pemilu, hal ini berdasarkan Petikan Putusan MK. No. 072-073/PUU-
II/2004, hal 71 bahwa :
1. Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Dari sudut asas yang digunakan dalam pemilihan umum Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah tersebut, adalah asas pemilu sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2. Dilihat dari segi penyelenggaraannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 57
ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah bahwa pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD,
adalah penyelenggaraan Pemilu Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
3. Dilihat dari sisi yang berhak mengikuti pemilihan umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 68 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa warga

9
negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sudah berumur 17 (tujuh belas)
Tahun atau sudah menikah mempunyai hak memilih, juga merupakan
pemilih dari pemilu baik Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden. Berbeda dengan pemilihan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah sebelumnya oleh Anggaran DPRD.
4. Pembuat Undang-Undang menggunakan standar ganda dalam
menerjemahkan Pasal 18 ayat (4), yang termasuk domain pemerintah daerah
(Pasal 18) bukan hanya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tetapi
juga DPRD. Pembuat Undang-Undang melakukan penafsiran untuk Pasal
18.
5. Tetapi dengan sengaja tidak melakukan penafsiran terhadap ketentuan Pasal
22E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Menelaah esensi dari pemilukada merupakan pemilu, sehingga secara
prosedural dan substansial merupakan manifestasi dari prinsip demokrasi dan
penegakan kedaulatan, maka pemilukada sebagaimana pemilu lainnya berhak
untuk mendapatkan pengaturan khusus, sehingga dapat mencapai derajat
akuntabilitas, serta kualitas demokrasinya dapat terpenuhi dengan baik.
Pemilukada merupakan suatu instrumen penting bagi demokratisasi di level
lokal atau daerah yang menjadi pilar bagi demokratisasi di tingkat nasional.

2.3 Tujuan dan Fungsi Pilkada


Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan
pemilihan umum Kepala Daerah (pemilukada) secara langsung. Pemilukada

10
merupakan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih
adalah masyarakat di daerah. Pemilukada juga memiliki tiga fungsi penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu:
1. Memilih Kepala Daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di
daerah sehingga diharapkan dapat memahami dan mewujudkan kehendak
masyarakat di daerah.
2. Melalui pemilukada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan
pada misi, visi, program serta kualitas dan integritas calon Kepala Daerah,
yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.
3. Pemilukada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana
evaluasi dan control secara politik terhadap seorang Kepala Daerah dan
kekuatan politik yang menopang. (Gaffar,2012:85).
Melalui pemilukada masyarakat di daerah dapat memutuskan apakah
akan memperpanjang atau menghentikan mandat seorang Kepala Daerah, juga
apakah organisasi politik penopang masih dapat dipercaya atau tidak. Oleh
karena itu, sebagai bagian dari pemilu, pemilukada harus dilaksanakan secara
demokratis sehingga betul-betul dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut.
Pelanggaran dan kelemahan yang dapat menyesatkan esensi demokrasi dalam
pemilukada harus diperbaiki dan dicegah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 JO Perppu Nomor 1 Tahun 2014
JO Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 JO Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2015, dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 berisi prosedur dan mekanisme
pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam rangka mempersiapkan pemilihan Kepala Daerah
secara langsung antara lain:
1. Mekanisme dan prosedur pemilihan. Mekanisme ini meliputi seluruh
tahapan pemilihan mulai dari penjaringan bakal calon, pencalonan dan

11
pemilihannya. Keterlibatan lembaga legislatif dan masyarakat dalam setiap
tahapan tersebut diatur jelas dan tegas.
2. Peranan DPRD dalam pemilihan Kepala Daerah. Dominasi peranan DPRD
dalam Pemilukada seperti saat ini, tentu saja akan mengalami degradasi.
Peranan DPRD tidak mengurangi fungsinya sebagai lembaga legislatif di
daerah.
3. Mekanisme pertanggungjawaban Kepala Daerah. Perubahan sistem
pemilihan Kepala Daerah akan mempengaruhi mekanisme
pertanggungjawaban Kepala Daerah.
4. Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD. Pemilihan Kepala Daerah secara
langsung akan berpotensi menimbulkan resistensi terhadap hubungan
antara Kepala Daerah dan DPRD.
5. Hubungan pelaksana pemilihan Kepala Daerah dengan pemilihan Presiden,
anggota DPR, DPRD dan DPD. Dalam satu Tahun, di suatu Kabupaten/
Kota, mungkin terjadi tiga kali pemilihan, yaitu Pemilu (Presiden, DPR,
DPRD), pemilihan Gubernur dan Pemilihan Bupati/ Walikota.
Tujuan dari pemilukada dikutip dari pendapat Prof. Solly Lubis bahwa
memandang pemilihan umum dari segi ketatanegaraan merupakan salah satu
jalan penting buat mengakhiri situasi temporer dalam ketatanegaraan, termasuk
di bidang perlengkapan negara itu.
Konsekuensi logisnya, dengan berhasilnya pemilihan umum, diharapkan
badan-badan perlengkapan negara yang lama diganti dengan badan-badan
negara sebagai produk pemilihan umum. (Lubis,1971:180-181)
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan Pasal 1
UUD 1945, Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat, yang dimaksudkan di
sini adalah kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercermin
dilaksanakan pemilihan umum dalam waktu tertentu. Karenanya pemilihan
umum adalah dalam rangka untuk memberi kesempatan kepada warga
masyarakat untuk melaksanakan haknya, dengan tujuan:

12
1. Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan kedaulatan yang
dimilikinya.
2. Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam jabatan pemerintahan
sebagai wakil yang dipercayakan oleh pemilihnya. (Tutik,2010:334)

2.4 Budaya dan Praktek Politik Uang di Indonesia


Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut.
Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan.
Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang
menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara
seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Peraturan
perundang- undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi
sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi
sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni Undang-undang nomor 24
Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-undang
nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-
undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru
menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia
sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah
satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat
Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh
beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai tindak pidana
korupsi adalah UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

13
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (“UU Tipikor”). Orang yang membantu pelaku tindak pidana korupsi
dikenakan ancaman pidana yang sama dengan yang dikenakan kepada pelaku
korupsi (lihat Pasal 15 UU Tipikor).
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.
Ketentuan ini juga berlaku untuk setiap orang yang berada di luar wilayah
Indonesia yang membantu pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 16 UU Tipikor).
Ancaman pidana untuk orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi,
kita perlu perlu merujuk pada ketentuan umum hukum pidana yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Berdasarkan Pasal 55
ayat (1) KUHP, orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana, dipidana
sebagai pelaku tindak pidana. Jadi, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP orang
yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi juga dipidana dengan
ancaman pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana korupsi.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur mengenai
tindak pidana korupsi, saat ini sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya
dengan dikeluarkannya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta
terakhir dengan diratifikasinya United Nations Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan UU
No. 7 Tahun 2006. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam Tindak
Pidana Korupsi adalah sebagai berikut :

14
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU No. 31
tahun 1999).
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31
tahun 1999).
3. Setiap orang atau pegawai negeri sipil/penyelenggara negara yang memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara
tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau memberi sesuatu kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu
yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan
dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).
4. Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili; atau. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. (Pasal 6
UU No. 20 Tahun 2001).
5. Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan

15
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan
perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan Negara
dalam keadaan perang.
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
e. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan
orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang atau
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.
6. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga
yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat
berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 UU No. 20 tahun 2001).
7. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar

16
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 tahun
2001).
8. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja (Pasal 10 UU No. 20 Tahun 2001):
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.
9. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 UU No. 20 Tahun
2001).
10. Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001 :
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan

17
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
kepada kas umum, seolaholah pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolaholah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

18
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan,
atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh
atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
11. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. (Pasal 12B UU No. 20
Tahun 2001).
12. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan (Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999).
13. Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam
Undang- undang ini (Pasal 14 UU No. 31 Tahun 1999).

2.5 Contoh Kasus


“Pilkada Kalteng, Seteru 10 Tahun yang Bertarung Kembali"
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi
Kalimantan Tengah menetapkan dua pasangan calon memenuhi syarat untuk

19
mengikuti pilkada. Mereka adalah Ben Brahim Bahat-Ujang Iskandar dan
Sugianto Sabran-Edy Pratowo.
KPUD Kalimantan Tengah sudah memastikan seluruh dokumen
administrasi kedua pasangan cagub-cawagub telah lengkap.
Pasangan Ben-Ujang mendapatkan nomor urut 1 sementara rivalnya,
Sugianto-Edy mendapatkan nomor urut 2. Ben dan Sugianto pernah bertarung
di Pilkada Kotawaringin Barat 2010 silam.
Ben Brahim Bahat-Ujang Iskandar, Ben merupakan Bupati Kapuas yang
menjabat selama dua periode sejak 2013 lalu. Sebelum berkecimpung di dunia
politik, Alumni ITS Surabaya itu merupakan seorang insinyur PNS yang
bekerja di Departemen Pekerjaan Umum pada 1986.
Sementara Ujang Iskandar merupakan mantan Bupati Kotawaringin Barat
periode 2005-2010 dan periode 2011-2015.
Sebelum terjun ke dunia politik, pria kelahiran Pangkalan Bun 16 Juni
1961 ini sibuk berkecimpung di dunia swasta. Ia pernah menjabat sebagai
direktur PT. Utama Cipta Karya dari 1993-2001 dan Direktur CV Asta Karya
2002-2005.
Pasangan Ben-Ujang diusung oleh tiga koalisi Parpol yakni Demokrat,
Gerindra dan Hanura sebagai tiket maju di Pilgub Kalteng.
Sugianto Sabran-Edy Pratowo, Sugianto Sabran bukan nama yang asing
di Kalimatan Tengah. Ia merupakan Gubernur petahana Kalteng yang masih
menjabat saat ini.
Pria kelahiran Sampit, 5 Juli 1973 itu sudah malang melintang di dunia
politik lokal dan nasional. Kader PDIP ini sempat terpilih menjadi anggota
DPR periode 2009-2014. Sugianto ditempatkan di Komisi IV yang menangani
sektor kehutanan, pertanian dan pangan.
Setelah itu, Ia sempat mencoba peruntungannya untuk maju di Pilkada
Kotawaringin Barat tahun 2010. Kala itu, ia melawan Ujang Iskandar yang kini
kembali menjadi rivalnya di Pilgub Kalteng 2020.

20
Sementara pasangannya, Edy Pratowo merupakan Bupati Pulau Pisang
yang masih menjabat sampai saat ini.
Pria kelahiran Palangka Raya 9 Desember 1969 itu mengawali karier
politiknya sebagai anggota DPRD Kabupaten Kapuas pada 1999. Ia turut
terpilih sebagai Ketua DPRD Pulau Pisau periode 2004-2008 usai daerah
tersebut dimekarkan dari Kabupaten Kapuas.
Karier politikus Partai Golkar tersebut terus melesat. Ia terpilih sebagai
Wakil Bupati Pulau Pisang periode 2008-2013 berpasangan dengan Achmad
Amur sebagai Bupati.
Pasangan ini diusung oleh koalisi 8 partai politik yakni PDIP, Golkar,
NasDem, PKB, PKS, Perindo, PPP dan PAN.

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas sebagai rangkuman dapat dijelaskan bahwa fenomena
politik uang dalam pemilu bukan hal baru, fenomena ini sudah ada di pilkades.
Politik uang tumbuh subur didukung oleh kecenderunganan masyarakat yang
makin permisif. Pembiaran atas politik uang tidak hanya berimpilkasi
melahirkan politisi korup namun juga berakibat tercederainya suatu pemilu
yang demokratis. Secara sadar sebenarnya ada keinginan untuk menghapus
politik uang dalam pilkada, setidaknya ini menjadi salah satu alasan mengapa
mengubah model pilkada, semula oleh anggota DPRD menjadi secara langsung
oleh pemilih. Namun regulasi yang mengatur pilkada nyata-nyata belum
mampu membentengi agar politik uang dalam pilkada menjadi minimal. Karena
itu, bersamaan dengan sedang disusunnya undang-undang pilkada diharapkan
para pembuat regulasi pilkada mampu menyempurnakannya menjadi lebih
mendekati kaidah pemilu yang demokratis, yakni memberi ruang yang sama
bagi semua pihak (prinsip persaingan politik yang setara/political equality)
untuk berkompetisi secara fair, bukan memberi wadah istimewa bagi kandidat
yang paling punya akses dana.

3.2 Saran
Pepatah lama mengatakan, lebih baik mencegah daripada mengobati.
Kata mencegah, menunjuk pada upaya atau langkah antisipasi agar sesuatu
tidak terjadi. Mencegah budaya politik uang bermakna melakukan antisipasi
agar praktik politik uang tidak terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada. Jadi
tekanannya adalah pada langkah- langkah preventif, bukan langkah-langkah
kuratif atau represif. Itu berarti, dalam membahas konsepsi tentang mencegah
budaya politik uang guna menciptakan pemilihan kepala daerah yang

22
berkualitas dalam rangka stabilitas nasional, maka yang harus ditonjolkan
adalah langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk mencegah terjadinya
politik uang itu sendiri.
Berdasarkan harapan maka kajian terfokus pada sekalian langkah
tersebut, baik menyangkut kebijaksanaan yang perlu diambil, strategi yang
perlu ditempuh, maupun upaya yang harus dilakukan. Sebagai sebuah konsepsi,
maka penguaraian tiga hal tersebut merupakan sebuah tawaran yang diajukan
penulis berdasarkan refleksi kondisi penyelenggaraan Pilkada dan kondisi
pencegahan politik uang selama ini, kondisi penyelenggaraan Pilkada dan
pencegahan politik uang yang diharapkan, serta mempertimbangkan paradigma
nasional dan perkembangan lingkungan strategis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Cakra Arbas, Jalan Terjal Calon Independen pada Pemilukada di Provinsi Aceh, Sofmedia,
Jakarta, 2012.
Suharizal, Pemilukada, Regulasi, Dinamika dan Konsep Mendatang, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2011.
Ramlan Surbakti dalam Titik Triwulan Tutik, Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Dalam Sistem Pemilu Menurut UUD 1945,
Prestasi Pustaka Pelajar, Jakarta, 2005.
Janedri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Kontpress, Jakarta, 2012. Solly Lubis, Asas-asas
Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1971.
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Kencana, Jakarta, 2010.
Hartanti, Evi, S.H., 2005. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, Jakarta. Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
Mariana, Dede, Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia, Bandung: AIPI
Bandung-Puslit KP2W Lembaga Penelitian Unpad, 2007
Lesmana,Teddy,“Politik Uang Dalam Pilkada ”Kumorotomo, Wahyudi, “Intervensi Parpol,
Politik Uang Dan Korupsi:
Tantangan Kebijakan Publik Setelah Pilkada Langsung”, Makalah, disajikan dalam
Konferensi Administrasi Negara, Surabaya, 15 Mei 2009.

24

Anda mungkin juga menyukai