Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ASPEK- ASPEK HUKUM DALAM BISNIS ONLINE INDONESIA

DISUSUN OLEH:
YALOZA SAPUTRA BUSHADI(C1A019094)
pendahuluan
Istilah kontrak online digunakan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dan Dosen bidang Hak Kekayaan Intelektual & Telematika, Edmon Makarim yang
artinya sama dengan kontrak elektronik yaitu ikatan atau hubungan hukum yang
dilakukan secara elektronik yang menggabungkan jaringan dari sistem informasi
berbasis komputer dengan sistem. Jual beli online lahir karena adanya kontrak jual beli
yang terjadi secara elektronik antara penjual dan pembeli. Namun, hingga saat ini
aturan jual beli elektronik masih belum tertulis dengan jelas di dalam hukum yang
berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan syarat-syarat sah perjanjian secara elektronik
belum diatur secara khusus.

Namun, pada prinsipnya, syarat sah perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang merupakan acuan dalam
pembuatan kontrak online. Selama kontrak online yang dibuat telah memenuhi 4 syarat
sah perjanjian yang dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata, maka
kontrak online tersebut dapat dianggap sah dan mengikat para pihak.
Aspek Hukum e-Commerce & Jual Beli
Online
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) yang diambil selama periode Maret hingga 2019 menemukan
bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia meningkat hingga 10,12%.
Banyaknya pengguna Internet di Indonesia ini membuat bisnis e-commerce atau
jual beli online semakin berkembang. Meningkatnya angka jual beli
secara online ini secara tidak langsung juga berdampak terhadap perkembangan
aturan-aturan hukum. Sebelum Anda menjalankan bisnis online atau melakukan
transaksi online, di bawah ini merupakan beberapa aspek hukum e-commerce
dan jual beli secara online atau elektronik yang harus Anda ketahui.

Hak & Kewajiban Penjual Barang/Jasa


Secara Online
Pada dasarnya, jual beli secara online adalah salah satu media yang digunakan dalam
melakukan transaksi jual beli. Namun, sifat dari transaksi tersebut adalah jual beli
sehingga tetap merujuk pada aturan mengenai jual beli yang diatur dalam KUHPerdata.
Dalam kontrak elektronik atas transaksi jual-beli online atau bisnis e-commerce, penjual
memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing. Menurut seorang penulis buku dan
dosen hukum ekonomi, Gunawan Widjaja, kewajiban penjual dalam transaksi jual beli
adalah:

1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan.


2. Menanggung kenikmatan serta menanggung cacat tersembunyi.
3. Memberi informasi tentang barang dan atau jasa yang dijual secara benar, jujur,
jelas, dan sebagainya.

Pasal 7 Undang-Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU


Perlindungan Konsumen) juga mengatur bahwa seorang penjual sebagai pelaku
usaha wajib memberikan ganti rugi kepada pembeli atau konsumen apabila barang
yang diterima tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Hal ini dilakukan agar pembeli
dapat menuntut haknya apabila terjadi penipuan atas produk yang dilakukan oleh
penjual.

Sedangkan hak penjual berdasarkan Pasal 6 UU Perlindungan Konsumen adalah


sebagai berikut:

1. Menentukan dan menerima harga pembayaran atas penjualan barang sesuai


dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli.
2. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan pembeli yang beriktikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa.
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum merugikan
konsumen yang tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan.

Hak & Kewajiban Pembeli Barang/Jasa


Secara Online
Selain penjual, pembeli sebagai salah satu pihak dalam transaksi jual beli juga memiliki
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Kewajiban pembeli dalam transaksi jual beli
menurut Pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:

1. Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan dan
atau jasa yang dibelinya.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang atau jasa tersebut.
3. Membayar harga pembelian sesuai dengan yang telah disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari
proses jual beli tersebut.

Sedangkan untuk melindungi pembeli sebagai konsumen dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen atas perbuatan tidak bertanggung jawab yang dilakukan
penjual, Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menjabarkan hak-hak pembeli sebagai
berikut:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang


dan atau jasa.
2. Hak memilih serta mendapatkan barang dan atau jasa dengan kondisi yang sesuai
dengan yang diperjanjikan.
3. Mendapatkan informasi secara benar, jujur, dan jelas mengenai barang atau jasa
yang diperjualbelikan.
4. Mendapatkan pelayanan dan perlakuan secara benar dan tidak diskriminatif.
5. Didengarkan pendapatnya atau keluhannya atas kondisi barang dan atau jasa yang
dibelinya.
6. Mendapatkan perlindungan hukum secara patut apabila dari proses jual beli tersebut
timbul sengketa.
7. Mendapatkan kompensasi atau ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang
dibelinya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
8. Mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
Perlindungan Hukum Dalam Perjanjian
untuk Hindari Penyalahgunaan Transaksi
Online
Meski dilakukan secara online melalui media Internet, kontrak online juga bisa menjadi
dokumen elektronik yang dapat dijadikan alat bukti untuk menghindari adanya
penyalahgunaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan menimbulkan kerugian.
Meskipun pada prakteknya tidak terdapat perjanjian jual beli yang ditandatangani oleh
penjual dan pembeli, namun dengan adanya konfirmasi pembayaran yang dilakukan
oleh pembeli dan adanya pemberitahuan dari penjual bahwa barang tersebut akan
dikirim, maka hal tersebut sudah dapat dijadikan bukti adanya kesepakatan antara
penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli. Di bawah ini akan Libera
jelaskan mengenai perlindungan hukum bagi penjual dan pembeli serta dokumen yang
bisa menjadi alat bukti dalam transaksi jual beli online.

1. Perlindungan hukum berdasarkan


perjanjian
Pada umumnya, setiap transaksi online terdapat dokumen elektronik yang dibuat oleh
pihak penjual yang berisi mengenai aturan dan kondisi yang harus dipatuhi antara lain
jangka waktu pembayaran, serta jangka waktu dan metode pengiriman. Meski
seringkali pada prakteknya penjual dan pembeli tidak menandatangani suatu perjanjian,
namun jika pembeli telah memasukkan pesanan atas barang yang diinginkan dan
penjual bersedia untuk menyerahkan barang tersebut, maka telah terjadi kesepakatan
antara para pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Aturan dan kondisi itulah yang
dapat digunakan sebagai perlindungan hukum bagi kedua belah pihak. Di bawah ini
adalah tiga perlindungan hukum yang ada di dalam perjanjian menurut Edmon
Makarim.

1. Perlindungan hukum bagi penjual; dalam perjanjian, penjual berhak untuk


memperoleh pembayaran dari pembeli atas produk yang dibeli oleh pembeli. Jika
pembeli tidak melakukan pembayaran dalam waktu yang ditentukan, maka penjual
dapat membatalkan pembelian barang tersebut dan menjualnya kepada calon
pembeli lain. Dengan adanya aturan jelas mengenai jangka waktu pembayaran,
maka akan memberikan perlindungan bagi penjual dimana penjual tidak dapat
disalahkan jika penjual memberikan barang tersebut kepada calon pembeli lain
dalam hal pembeli tidak melakukan pembayaran hingga batas waktu yang
ditentukan.
2. Perlindungan hukum bagi pelanggan; sebagai pihak pembeli, maka pembeli
berhak untuk memperoleh barang sesuai dengan jenis dan spesifikasi yang
disepakati. Dalam perjanjian, dapat diatur mengenai hak pembeli untuk memperoleh
ganti kerugian dari penjual jika barang yang dikirimkan tidak sesuai. Misalnya,
pembeli dapat melakukan penukaran barang maupun ganti kerugian berupa uang
dari penjual.
3. Perlindungan data pribadi; di era industri 4.0 saat ini, data merupakan aset penting
dan perolehannya pun semakin mudah. Saat pembeli membuat akun di suatu
website penyelenggara ecommerce, maka pembeli akan diminta untuk memasukkan
data pribadi dan data pribadi tersebut akan masuk ke dalam sistem yang dikelola
oleh penyelenggara bisnis e-commerce atau penjual. Disinilah data pribadi harus
dilindungi mulai dari perolehan, penggunaan, pengolahan, penyebaran, hingga
pemusnahan data pribadi. Aturan-aturan tersebut dapat diakomodir dalam privacy
policy atau kebijakan privasi. Ketika pembeli bertransaksi melalui website atau
media elektronik yang dikelola penyelenggara e-commerce, maka pembeli telah
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dengan penyelenggara e-commerce atau
penjual dalam kebijakan privasi.

2. Perlindungan hukum berdasarkan UU


Perlindungan Konsumen
Selain perjanjian elektronik atas transaksi jual beli online, perlindungan terhadap pembeli
sebenarnya telah diatur secara umum dalam UU Perlindungan Konsumen, di mana
dalam UU tersebut telah mengatur hak dan kewajiban penjual dan pembeli, larangan bagi
penjual, serta cara penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara penjual dan
pembeli. Sebagai pemilik bisnis online, Anda perlu memperhatikan ketentuan yang diatur
dalam UU Perlindungan Konsumen, antara lain hal-hal apa saja yang dilarang untuk
dilakukan agar transaksi jual beli online Anda tetap aman dan tidak melanggar hukum.

3. Alat bukti elektronik


Seiring dengan perkembangan teknologi, alat bukti yang sebelumnya hanya terbatas pada
dokumen fisik telah berkembang menjadi informasi elektronik dan dokumen elektronik. Hal
ini secara tegas disebutkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.
11/2008 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19/2016 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan bahwa informasi, dokumen
elektronik, atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan
adanya ketentuan mengenai hal ini, maka memberikan kepastian hukum atas
penyelenggaraan transaksi elektronik di Indonesia.
SALAH SATU UNDANG-UNDANG YANG
MENGATUR UU TENTANG BINSIS ONLINE
e-commerce telah banyak digunakan seiring dengan meningkatnya pengguna internet di indonesia.
menurut data departemen telekomunikasi, jumlah pengguna internet pada bulan februari 2008
mencapai 25 juta pengguna dan diprediksi akan mencapai 40 juta pengguna pada akhir tahun 2008.
sebelum keluarnya undang-undang no.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
(uu ite), kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan e-commerce diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan seperti undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang hak cipta, undang-
undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten, undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek,
undangundang telekomunikasi nomor 36 tahun 1999, undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, dan lain-lain.

kekosongan hukum yang mengatur tentang e-commerce menimbulkan masalah-masalah seperti :

1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;

2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;

3. obyek transaksi yang diperjualbelikan;

4. mekanisme peralihan hak;

5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam

transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan,

internet service provider (isp),dan lain-lain;

6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat

bukti;

7. mekanisme penyelesaian sengketa;

8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian

sengketa.

9. masalah perlindungan konsumen, haki dan lain-lain.

dengan munculnya undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
(uu ite) memberikan dua hal penting yakni, pertama pengakuan transaksi elektronik dan dokumen
elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum
transaksi elektronik dapat terjamin dan yang kedua diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang
termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan ti (teknologi informasi) disertai
dengan sanksi pidananya. dengan adanya pengakuan terhadap transaksi elektronik dan dokumen
elektronik maka setidaknya kegiatan ecommerce mempunyai basis legalnya.

walaupun beberapa permasalahan yang ada sudah dapat diselesaikan dengan munculnya uu ite ini,
namun mengenai masalah perlindungan konsumen dalam  e-commerce masih perlu untuk dikaji
lebih dalam, apakah uu ite sudah mampu memberikan perlindungan hukum bagi konsumen.

hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. pada era
globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk
barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik melalui promosi, iklan, maupun
penawaran secara langsung.

jika tidak berhatihati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan
menjadi obyek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. tanpa disadari,
konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. kehadiran  e-commerce
memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen, karena konsumen tidak perlu keluar
rumah untuk berbelanja disamping itu pilihan barang/jasapun beragam dengan harga yang relatif
lebih murah.

hal ini menjadi tantangan yang positif dan sekaligus negatif. dikatakan positif karena kondisi
tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang/jasa yang
diinginkannya. konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan jenis dan kualitas barang/jasa
sesuai dengan universitas sumatera utarakebutuhannya. dikatakan negatif karena kondisi tersebut
menyebabkan posisi konsumen menjadi lebih lemah dari pada posisi pelaku usaha.

jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya
kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen.
hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat
barang atau jasa yang dikonsumsi.

lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang
dengan pihak pelaku usaha. hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk
ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi.

menurut penjelasan umum undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(uupk), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi karena
masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. tentunya, hal ini terkait erat dengan
rendahnya pendidikan konsumen. oleh karena itu keberadaan uupk adalah sebagai landasan hukum
yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
berdasarkan kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. untuk
mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan kesadaran dari
pelaku usaha terlebih dahulu. karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. artinya, dengan pemikiran umum seperti
ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.

bagaimana isi tentang undang-undang no.8 tahun 2008 ?

pada tahun 2008, pemerintah indonesia telah menerbitkan undang-undang no 11 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik (uu ite). dalam uu ite ini diatur mengenai transaksi
elektronik dimana salah satunya adalah kegiatan mengenai online shop ini. sebelum membahas
lebih lanjut mengenai upaya uu ite ini dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ada
baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transaksi elektronik.

Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media
elektronik handphone lainnya”

Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan melalui komputer ataupun
dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi elektronik.

UU ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar.
Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU ITE yang berbunyi :

“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi
yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan
benar” adalah meliputi :

1.                  Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik
sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;

2.                  Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian
serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan deskripsi
barang/jasa.

Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang tidak mengetahui mengenai kewajibannya sebagai
pelaku usaha. Masih banyak pelaku usaha yang tidak mencantumkan alamatnya sebagai bentuk
informasi yang disediakan, ataupun deskripsi mengenai barang/jasa yang ditawarkan tidak lengkap
sehingga dapat merugikan konsumen.
Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi jual beli secara online ini adalah masalah
mengenai kapan saat terjadinya transaksi jual-beli? Banyak penjual yang merasa sudah terjadi
kesepakatan sehingga sudah memesan barang yang akan dijual, namun pada saat barang tiba,
pembeli membatalkan untuk membeli barang tersebut dan berpendapat bahwa belum terjadi
kesepakatan sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.

Hal inipun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU ITE dijelaskan bahwa “kecuali ditentukan
lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh
pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima”. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perdata
dimana suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya kata sepakat. Oleh karena itu, setelah penjual
dan pembeli sepakat untuk melakukan perjanjian jual-beli, maka penjual dan pembeli tersebut
sudah terikat dan memiliki kewajiban untuk mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya
bahwa pernyataan “sepakat” tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti untuk
menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian hari terjadi suatu perselisihan
mengenai hal tersebut.

Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam perdagangan melalui online shop ini adalah baik
penjual dan pembeli kekurangan informasi antara satu dengan lainnya. Informasi menjadi penting
dalam sistem perdagangan melalui online shop ini dikarenakan penjual dan pembeli tidak bertemu
secara langsung pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing pihak baik itu penjual maupun
pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak tidak akan melaksanakan kewajibannya dan
menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi pada sistem
perdagangan online adalah bahwa penjual tidak mengirimkan barangnya meskipun  pembayaran
telah dilakukan. Apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai “penipuan”? Lalu
bagaimana perlindungan terhadap konsumen yang telah dirugikan tersebut ?

Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh berbeda dengan penipuan secara konvensional.
Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam penipuan secara online, penipuan
tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara online dapat dikenakan pasal
378 KUHP yang berbunyi :

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan
rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun.”

UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara online ini. Dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE
disebutkan bahwa :

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman pidana dari penipuan secara online ini
adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Milyar.

Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang mungkin terjadi
dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada kenyataannya permasalahan ini tidak
dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme
pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada saat ini hanyalah
sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme
ini dinilai kurang cocok jika diterapkan pada sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai
transaksi yang tidak terlalu besar menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk tidak melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi,
terdapat paradigma bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu
sendiri.

Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama harus secara
online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga mengeluarkan daftar hitam/blacklist bagi
pengguna perdagangan secara online ini yang telah terbukti merugikan pihak lain. Dengan cara ini,
maka para pelanggan akan semakin merasa aman dan tidak menimbulkan ke khawatiran akan
adanya suatu penipuan dalam perdagangan online atau e-commerce.

Anda mungkin juga menyukai