DISUSUN OLEH:
YALOZA SAPUTRA BUSHADI(C1A019094)
pendahuluan
Istilah kontrak online digunakan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
dan Dosen bidang Hak Kekayaan Intelektual & Telematika, Edmon Makarim yang
artinya sama dengan kontrak elektronik yaitu ikatan atau hubungan hukum yang
dilakukan secara elektronik yang menggabungkan jaringan dari sistem informasi
berbasis komputer dengan sistem. Jual beli online lahir karena adanya kontrak jual beli
yang terjadi secara elektronik antara penjual dan pembeli. Namun, hingga saat ini
aturan jual beli elektronik masih belum tertulis dengan jelas di dalam hukum yang
berlaku di Indonesia. Hal ini dikarenakan syarat-syarat sah perjanjian secara elektronik
belum diatur secara khusus.
Namun, pada prinsipnya, syarat sah perjanjian telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang merupakan acuan dalam
pembuatan kontrak online. Selama kontrak online yang dibuat telah memenuhi 4 syarat
sah perjanjian yang dimaksud pada Pasal 1320 KUHPerdata, maka
kontrak online tersebut dapat dianggap sah dan mengikat para pihak.
Aspek Hukum e-Commerce & Jual Beli
Online
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) yang diambil selama periode Maret hingga 2019 menemukan
bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia meningkat hingga 10,12%.
Banyaknya pengguna Internet di Indonesia ini membuat bisnis e-commerce atau
jual beli online semakin berkembang. Meningkatnya angka jual beli
secara online ini secara tidak langsung juga berdampak terhadap perkembangan
aturan-aturan hukum. Sebelum Anda menjalankan bisnis online atau melakukan
transaksi online, di bawah ini merupakan beberapa aspek hukum e-commerce
dan jual beli secara online atau elektronik yang harus Anda ketahui.
1. Membaca informasi dan mengikuti prosedur atau petunjuk tentang penggunaan dan
atau jasa yang dibelinya.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi jual beli barang atau jasa tersebut.
3. Membayar harga pembelian sesuai dengan yang telah disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum secara patut apabila timbul sengketa dari
proses jual beli tersebut.
Sedangkan untuk melindungi pembeli sebagai konsumen dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen atas perbuatan tidak bertanggung jawab yang dilakukan
penjual, Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menjabarkan hak-hak pembeli sebagai
berikut:
6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat
bukti;
sengketa.
dengan munculnya undang-undang no 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik
(uu ite) memberikan dua hal penting yakni, pertama pengakuan transaksi elektronik dan dokumen
elektronik dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum
transaksi elektronik dapat terjamin dan yang kedua diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang
termasuk kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan ti (teknologi informasi) disertai
dengan sanksi pidananya. dengan adanya pengakuan terhadap transaksi elektronik dan dokumen
elektronik maka setidaknya kegiatan ecommerce mempunyai basis legalnya.
walaupun beberapa permasalahan yang ada sudah dapat diselesaikan dengan munculnya uu ite ini,
namun mengenai masalah perlindungan konsumen dalam e-commerce masih perlu untuk dikaji
lebih dalam, apakah uu ite sudah mampu memberikan perlindungan hukum bagi konsumen.
hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. pada era
globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk
barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik melalui promosi, iklan, maupun
penawaran secara langsung.
jika tidak berhatihati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan
menjadi obyek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. tanpa disadari,
konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya. kehadiran e-commerce
memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen, karena konsumen tidak perlu keluar
rumah untuk berbelanja disamping itu pilihan barang/jasapun beragam dengan harga yang relatif
lebih murah.
hal ini menjadi tantangan yang positif dan sekaligus negatif. dikatakan positif karena kondisi
tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas barang/jasa yang
diinginkannya. konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan jenis dan kualitas barang/jasa
sesuai dengan universitas sumatera utarakebutuhannya. dikatakan negatif karena kondisi tersebut
menyebabkan posisi konsumen menjadi lebih lemah dari pada posisi pelaku usaha.
jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya
kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen.
hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat
barang atau jasa yang dikonsumsi.
lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang
dengan pihak pelaku usaha. hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk
ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi.
menurut penjelasan umum undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
(uupk), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi terhadap konsumen sering terjadi karena
masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya. tentunya, hal ini terkait erat dengan
rendahnya pendidikan konsumen. oleh karena itu keberadaan uupk adalah sebagai landasan hukum
yang kuat bagi upaya pemberdayaan konsumen.
berdasarkan kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat penting. untuk
mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika mengharapakan kesadaran dari
pelaku usaha terlebih dahulu. karena prinsip yang dianut oleh pelaku usaha dalam menjalankan
kegiatan perekonomiannya adalah prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. artinya, dengan pemikiran umum seperti
ini, sangat mungkin konsumen akan dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
pada tahun 2008, pemerintah indonesia telah menerbitkan undang-undang no 11 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik (uu ite). dalam uu ite ini diatur mengenai transaksi
elektronik dimana salah satunya adalah kegiatan mengenai online shop ini. sebelum membahas
lebih lanjut mengenai upaya uu ite ini dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen ada
baiknya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan transaksi elektronik.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU ITE ini yang dimaksud dengan transaksi elektronik adalah “perbuatan
hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media
elektronik handphone lainnya”
Sesuai dengan pengertian diatas, maka kegiatan jual beli yang dilakukan melalui komputer ataupun
dapat dikategorikan sebagai suatu transaksi elektronik.
UU ITE juga mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang lengkap dan benar.
Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 9 UU ITE yang berbunyi :
“Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi
yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “informasi yang lengkap dan
benar” adalah meliputi :
1. Informasi yang memuat identitas serta status subjek hukum dan kompetensinya, baik
sebagai produsen, pemasok, penyelenggara maupun perantara;
2. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu yang menjadi syarat sahnya perjanjian
serta menjelaskan barang dan/atau jasa yang ditawarkan seperti nama, alamat, dan deskripsi
barang/jasa.
Saat ini banyak pelaku usaha di Indonesia yang tidak mengetahui mengenai kewajibannya sebagai
pelaku usaha. Masih banyak pelaku usaha yang tidak mencantumkan alamatnya sebagai bentuk
informasi yang disediakan, ataupun deskripsi mengenai barang/jasa yang ditawarkan tidak lengkap
sehingga dapat merugikan konsumen.
Masalah lain yang dapat terjadi dalam suatu transaksi jual beli secara online ini adalah masalah
mengenai kapan saat terjadinya transaksi jual-beli? Banyak penjual yang merasa sudah terjadi
kesepakatan sehingga sudah memesan barang yang akan dijual, namun pada saat barang tiba,
pembeli membatalkan untuk membeli barang tersebut dan berpendapat bahwa belum terjadi
kesepakatan sehingga terjadi kerugian bagi pihak penjual.
Hal inipun telah diatur dalam UU ITE dalam pasal 20 UU ITE dijelaskan bahwa “kecuali ditentukan
lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh
pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima”. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum perdata
dimana suatu perjanjian terjadi pada saat tercapainya kata sepakat. Oleh karena itu, setelah penjual
dan pembeli sepakat untuk melakukan perjanjian jual-beli, maka penjual dan pembeli tersebut
sudah terikat dan memiliki kewajiban untuk mematuhi perjanjian tersebut. Untuk itu ada baiknya
bahwa pernyataan “sepakat” tersebut disimpan sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti untuk
menyatakan bahwa telah terjadi kesepakatan apabila dikemudian hari terjadi suatu perselisihan
mengenai hal tersebut.
Satu hal yang menjadi permasalahan utama dalam perdagangan melalui online shop ini adalah baik
penjual dan pembeli kekurangan informasi antara satu dengan lainnya. Informasi menjadi penting
dalam sistem perdagangan melalui online shop ini dikarenakan penjual dan pembeli tidak bertemu
secara langsung pada saat transaksi jual beli terjadi. Masing-masing pihak baik itu penjual maupun
pembeli merasa khawatir bahwa salah satu pihak tidak akan melaksanakan kewajibannya dan
menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya. Salah satu contoh kasus yang sering terjadi pada sistem
perdagangan online adalah bahwa penjual tidak mengirimkan barangnya meskipun pembayaran
telah dilakukan. Apakah perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai “penipuan”? Lalu
bagaimana perlindungan terhadap konsumen yang telah dirugikan tersebut ?
Pada dasarnya penipuan secara online tidak jauh berbeda dengan penipuan secara konvensional.
Yang membedakan hanyalah sarana perbuatannya, dalam penipuan secara online, penipuan
tersebut menggunakan sarana elektronik. Karena itu, penipuan secara online dapat dikenakan pasal
378 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan
hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan
rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya,
atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun.”
UU ITE juga telah mengatur bentuk penipuan secara online ini. Dalam pasal 28 ayat (1) UU ITE
disebutkan bahwa :
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
Dalam pasal 45 ayat 2 UU ITE menyebutkan bahwa ancaman pidana dari penipuan secara online ini
adalah penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 Milyar.
Meskipun UU ITE ini sudah memberikan pengaturan mengenai permasalahan yang mungkin terjadi
dalam perdagangan melalui sistem online ini, namun pada kenyataannya permasalahan ini tidak
dapat diselesaikan hanya melalui pengaturan UU ITE ini saja. Saat ini, belum ada mekanisme
pengaduan yang mudah bagi pihak yang menderita kerugian. Mekanisme yang ada saat ini hanyalah
sistem pengaduan sesuai dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mekanisme
ini dinilai kurang cocok jika diterapkan pada sistem pengaduan dalam perdagangan online. Nilai
transaksi yang tidak terlalu besar menjadi salah satu pertimbangan bagi pihak yang menderita
kerugian untuk tidak melaporkan kerugian itu kepada aparat penegak hukum. Terlebih lagi,
terdapat paradigma bahwa biaya untuk pelaporan tersebut lebih besar daripada kerugiannya itu
sendiri.
Untuk itu, dibutuhkan suatu sistem pengaduan yang cepat, mudah dan terutama harus secara
online juga. Ada baiknya aparat penegak hukum juga mengeluarkan daftar hitam/blacklist bagi
pengguna perdagangan secara online ini yang telah terbukti merugikan pihak lain. Dengan cara ini,
maka para pelanggan akan semakin merasa aman dan tidak menimbulkan ke khawatiran akan
adanya suatu penipuan dalam perdagangan online atau e-commerce.