Anda di halaman 1dari 7

HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI FORDIS 13

Siapa pun dapat mengajukan permohonan baik perorangan warga negara Indonesia atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Selain perorangan warga
negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam UU. “Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau dan Lembaga
negara juga dapat mengajukan permohonan di MK”, pemberian kuasa dalam beracara di
MK baik pemohon dan/atau termohon dapat diwakili oleh kuasa hukum. Kuasa hukum
yang beracara di MK tidak harus advokat. Namun, lanjutnya, seorang advokat tersebut
harus paham dengan hukum acara khususnya ketika akan mengajukan permohonan
pengujian untuk mewakili prinsipal. Selain dapat menujuk kuasa, pemohon dan/atau
termohon juga dapat dilakukan pendampingan.

Dalam pengujian UU MK istilah yang digunakan adalah “permohonan” bukan “gugatan”.


Karena pada hakikatnya hanya terdapat satu pihak sebagai pemohon. Sedangkan
Presiden/Pemerintah dan DPR serta lembaga lainnya bukan sebagai pihak termohon
namun hanya sebagai pemberi keterangan. Menurutnya, istilah “permohonan”
menunjukkan bahwa pengujian undang-undang sesungguhnya bukan sengketa
kepentingan para pihak. Dan putusan MK bersifat erga omnes meskipun dimohonkan oleh
perseorangan/individu namun keberlakuan putusan secara umum dan mempengaruhi
hukum di Indonesia.

Kemudian mengenai syarat “anggapan” adanya kerugian konstitusional, Suhartoyo


menerangkan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, harus memiliki syarat kerugian konstitusional yang didalilkan. “Yang
mana kerugian konstitusional merupakan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu UU. Jadi
setiap warga negara memiliki hak konstitusi,” tegasnya. Kerugian konstitusional tersebut,
harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.

MK menjalankan fungsi menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 sesuai dengan


kewenangannya. Adapun kewenangan MK yang pertama adalah menguji UU terhadap
UUD. Kemudian, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Lalu,
Memutus pembubaran partai politik, memutus hasil pemilu dan terakhir yakni memutus
sengketa pilkada. Sementara kewajiban MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
“Kewenangan dalam menangani sengketa hasil pemilukada merupakan kewenangan
tambahan yang diberikan kepada MK,”

Kewenangan MK sendiri terdapat perbedaan hukum acaranya. Ketika MK menguji


undang-undang yang kemudian dikenal dengan sebutan judicial review sifat perkaranya
tidak ada sengketa kepentingan para pihak. “Ketika MK menjalankan fungsi menguji UU
terhadap UUD, itu konten perkaranya bukan sengketa kepentingan para pihak. Tetapi
kemasannya permohonan. Berbeda dengan hukum acara ketika MK menjalankan
kewenangannya yang lain,”

Dalam menjalankan kewenangan dalam menguji UU terhadap UUD, bahwa terdapat dua
pengujian baik formil dan atau materiil. Pengujian formil adalah pengujian berkaitan
dengan proses pembentukan. “Jadi formalitas dari terbitnya UU itu sendiri yang tidak
memiliki persyaratan formil,” jelas Suhartoyo. Sedangkan pengujian materiil, pengujian
yang berkaitan dengan substansi dari UU itu berupa pasal, ayat atau bagian dari
keduanya. Terhadap pengujian formil, lanjut Suhartoyo, jika permohonan dikabulkan,
maka UU tersebut tidak berlaku karena tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Kalau
pengujian materiil, jika permohonan dikabulkan, jika tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat terbatas pada ayat, pasal atau kedua bagian dari ayat dan pasal Undang-
Undang yang diajukan pengujian,” 

Dasar Hukum  Pasal 61–Pasal 67 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK)


dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 8/PMK/2006 tentang Pedoman
Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara. 

Mekanisme Penyampaian Keberatan atas Pelanggaran


Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia

Di Indonesia, ketentuan penanganan keberatan atas


penyelenggaraan pemilu telah diatur dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2022 (UU
Pemilu). Lebih lanjut, UU Pemilu tersebut mengklasifikasikan
jenis-jenis keberatan pemilu, prosedur penyampaian keberatan
pemilu, termasuk lembaga yang berwenang memeriksa dan
menyelesaikan keberatan pemilu dimaksud. Adapun keberatan
tersebut diklasifikasikan menjadi 4 kategori, yakni pelanggaran
pemilu, sengketa proses pemilu, perselisihan hasil pemilu, dan
tindak pidana pemilu.

1. Pelanggaran Pemilu

Pelanggaran pemilu terbagi menjadi 2 jenis yakni pelanggaran


kode etik penyelenggara pemilu serta pelanggaran
administratif pemilu. Pelanggaran pemilu dapat berasal dari
temuan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
maupun laporan langsung yang disampaikan oleh berbagai pihak
kepada Bawaslu dengan jangka waktu paling lama 7 hari kerja
sejak diketahui terjadinya dugaan pelanggaran Pemilu.

Terhadap temuan atau laporan pelanggaran kode etik


penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum/KPU dan
Bawaslu), maka Bawaslu akan meneruskan kepada Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk dilakukan
penyelesaiannya. Adapun putusan DKPP bersifat final dan
mengikat yang berupa sanksi teguran tertulis, pemberhentian
sementara, dan pemberhentian tetap atau rehabilitasi.

Adapun pelanggaran administratif pemilu meliputi pelanggaran


terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan
dengan administrasi pelaksanaan setiap tahapan pemilu. Bawaslu
kemudian menerima dan memutus pelanggaran administratif
pemilu paling lama 14 hari kerja setelah temuan dan laporan
diterima dan diregistrasi oleh Bawaslu.

Putusan Bawaslu terhadap pelanggaran administratif pemilu wajib


ditindaklanjuti oleh KPU. Dalam hal KPU menindaklanjuti dengan
mengeluarkan keputusan berupa pemberian sanksi pembatalan
calon anggota legislatif ataupun pembatalan pasangan calon
presiden dan wakil presiden, maka terbuka ruang bagi calon
tersebut untuk mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung
dengan proses penyelesaian paling lama 14 hari kerja. Adapun
putusan Mahkamah Agung tersebut bersifat terakhir dan mengikat
(tidak dapat dilakukan upaya hukum lain).

2. Sengketa Proses Pemilu

Sengketa proses pemilu merupakan sengketa yang terjadi


antarpeserta pemilu maupun sengketa antara peserta pemilu
dengan KPU akibat dikeluarkannya Keputusan KPU. Permohonan
sengketa proses pemilu dapat disampaikan kepada Bawaslu yang
memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya dengan tenggat
waktu penyelesaian paling lama 12 hari kerja sejak permohonan
diterima oleh Bawaslu.

Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu


bersifat terakhir dan mengikat. Terdapat pengecualian terhadap
putusan sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan (i)
verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu, (ii) penetapan
daftar calon tetap anggota legislatif, dan (iii) penetapan pasangan
calon presiden dan wakil presiden. 

Terhadap 3 putusan Bawaslu tersebut, para pihak dapat


mengajukan upaya hukum lanjutan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) yang akan memeriksa paling lama 21 hari.
Adapun putusan PTUN tersebut bersifat terakhir dan mengikat.

Berdasarkan konstruksi pengaturan di atas telah tegas diatur


bahwa wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara yang berkaitan dengan sengketa proses pemilu
merupakan kewenangan Bawaslu serta PTUN, setelah dilakukan
upaya administratif di Bawaslu. 

3. Perselisihan Hasil Pemilu

Perselisihan hasil pemilu hanya dapat disampaikan oleh parpol,


perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
serta pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai
peserta pemilu kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan
kerangka pengaturan tersebut, Mahkamah Konstitusi menjadi
lembaga satu-satunya yang berwenang memeriksa dan mengadili
perselisihan hasil pemilu sebagaimana yang diatur juga dalam
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Adapun yang menjadi objek perselisihan hasil pemilu adalah


Keputusan KPU tentang penetapan perolehan suara hasil pemilu
secara nasional. Dengan demikian, KPU sebagai penyelenggara
pemilu menjadi pihak termohon dalam persidangan perselisihan
hasil pemilu. Selain itu, UU Pemilu memberikan tenggat waktu
bagi pemohon (peserta pemilu) untuk menyampaikan
permohonan perselisihan hasil pemilu paling lama 3 x 24 jam
sejak diumumkannya Keputusan KPU tersebut.

4. Tindak Pidana Pemilu

Dugaan tindak pidana pemilu dapat disampaikan oleh berbagai


pihak kepada Bawaslu. Pemeriksaan awal akan dilakukan oleh
Bawaslu guna menentukan apakah tindakan yang diduga tersebut
merupakan suatu tindak pidana pemilu. Bawaslu kemudian akan
meneruskan laporan tersebut kepada Polri apabila setelah
berkoordinasi dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra
Gakkumdu) diduga terdapat unsur tindak pidana pemilu. Sentra
Gakkumdu tersebut terdiri dari unsur Bawaslu, penyidik dari Polri,
dan penuntut dari Kejaksaan.

Adapun alur penyelesaian tindak pidana pemilu diawali dengan


penyidik Polri menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum (Kejaksaan) paling lama 14 hari. Berikutnya
Kejaksaan akan melimpahkan berkas perkara tersebut ke
Pengadilan Negeri (PN) paling lama 5 hari. 

Guna memberikan kepastian hukum, maka UU Pemilu


memberikan batasan waktu bagi PN untuk memutus perkara
tindak pidana pemilu paling lama 7 hari. Putusan PN dimaksud
diberikan ruang untuk diajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT)
yang akan memutuskan perkara paling lama 7 hari. Adapun
putusan PT tersebut bersifat terakhir dan mengikat.

Hal menarik terjadi apabila kasus tindak pidana Pemilu yang


menurut UU Pemilu dapat mempengaruhi perolehan suara
peserta pemilu, maka putusan pengadilannya harus sudah selesai
paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara
nasional. Keadaan ini menggambarkan kompleksitas penanganan
keberatan pemilu karena keberatan disampaikan dalam waktu
yang sangat singkat.

Meski penanganan keberatan atas pelanggaran penyelenggaraan


pemilu telah diatur secara tegas dalam UU Pemilu, dapat saja
pengadu menyampaikan keberatannya kepada lembaga yang
tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus keberatan
pemilu dimaksud. Bahkan, pengadu dapat menyampaikan
keberatannya kepada lebih dari satu lembaga. Dalam hal pengadu
menyampaikan keberatannya kepada pengadilan, hakim akan
menerima pengaduan keberatan tersebut mengingat adanya asas
“ius curia novit” yang menganggap hakim mengetahui semua
hukum sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili
perkara.

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu dilaksanakan upaya


edukasi kepada masyarakat untuk menyampaikan keberatan
pemilu kepada Bawaslu pada setiap tingkatan baik tingkat pusat,
provinsi, kabupaten/kota, maupun Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) Kecamatan. Bagi lembaga yang berwenang
menyelesaikan keberatan pelanggaran penyelenggaraan pemilu
juga perlu diberikan pemahaman yang mencukupi terhadap
ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam UU Pemilu.
Namun, khusus untuk perselisihan hasil pemilu hanya dapat
disampaikan oleh peserta pemilu kepada Mahkamah Konstitusi.

Permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) baru bisa


dilakukan setelah KPU RI secara resmi mengumumkan penetapan perolahan
suara hasil Pemilihan Umum Legislatif secara nasional. Adapun batas
permohonannya diberikan waktu selama 3 x 24 jam (3 hari).

Permohonan PHPU legal standingnya adalah partai politik/DPP dari partai politik
peserta pemilu dan calon anggota DPD langsung. “Juga diberikan legal standing
kepada calon legislatif yang merasa dirugikan atau terjadi perselisihan hasil tapi
harus mendapat rekomendasi dari DPP partainya,”
Pengajuan permohonan PHPU ke MK, bukanlah karena kita bermusuhan. Tapi,
sebutnya, karena kita ingin menguji keabsahan hasil pemilu penetapan secara
nasional, bahwa setelah ditetapkan hasil pemilu secara nasional, maka tidak
ada lagi cerita menggugat KIP. “Tidak ada istilah gugatan dalam PHPU, yang
ada permohonan terhadap sengketa.”.

Adapun yang menjadi objek sengketa, , adalah keputusan KPU RI terkait


penetapan hasil secara nasional, dalam permohonan PHPU tersebut terkait
persoalan dimana perselisihan itu terjadi. Baik mengenai proses yang
mempengaruhi hasil atau hasil itu sendiri yang tidak sesuai antara yang
ditemukan oleh saksi dengan rekapitulasi nasional. “Makanya disini diberikan
kesempatan untuk mengajukan permohonan PHPU selama 3 x 24 jam.

Anda mungkin juga menyukai