Pada dasarnya Kewenangan MK pada Pasal 24C UUD 1945 hanya menyebutkan
penyelesaian sengketa hasil pemilu. Dengan demikian, MK tidak berwenang untuk
memeriksa perkara tersebut. Akan tetapi, jika begitu siapa yang berwenang untuk
mengadili perkara pilkada. Oleh karena itu, dikeluarkannya Pasal 157 ayat (3) dan UU 10
Tahun 2016 tentang PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN
GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG yang
memberikan kembali kewenangan memeriksa dan menyelesaikan perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah kepada MK kembali. Pasal 157 ayat (3) menyatakan, “perkara
perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh
Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”. Dengan demikian,
hingga saat ini MK masih mengurus perselisihan pilkada karena badan peradilan khusus
tersebut belum terbentuk hingga sekarang.
2. Jelaskan
3. Proses pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden memiliki 3 tahap yaitu tahapan di
DPR, tahapan di MK, dan tahapan di MPR. DPR memberikan usulan untuk
memberhentikan presiden harus menggunakan siding paripurna yang dihadiri minimal ¾
anggota dan disetujui oleh ¾ anggota yang hadir hal ini sesuai dengan (UU No. 27/2009)
namun apabila merujuk pada Ketentuan di UUD 1945, paripurna harus dihadiri minimal
2/3 dari anggota DPR dan disetujui oleh 2/3 anggota DPR yang hadir. Setelah tahapan itu
selesai langsung beralih ke tahapan di MK di mana MK memiliki kewenangan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan oleh DPR. MK memutuskan
pendapat DPR tersebut terbukti atau tidak. Apabila terbukti, maka DPR akan mengadakan
siding paripurna untuk melanjutkan usul pemberhentian presiden kepada MPR.
Kemudian, MPR menyelenggarakan sidang yang harus diadakan maksimal 30 hari
setelah menerima usul dari DPR tersebut. Sidang tersebut harus dihadiri oleh anggota
MPR sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh minimal 2/3
dari anggota yang hadir. Peran MK di sini adalah untuk memeriksa usulan DPR tersebut
terbukti atau tidak, MK sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi, berperan untuk
mengawasi dengan cara memeriksa usul yang diajukan oleh DPR tersebut terbukti atau
tidak. Menurut saya, kewenangan untuk memeriksa usulan DPR ini tidak dapat diberikan
pada badan peradilan lain. Hal ini dikarenakan, pemakzulan presiden adalah salah satu
kasus special yang harus ditangani oleh MK sendiri. Selain itu, dalam UU MK telah
dijelaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Hal ini telah diatur sebagai salah satu
kekuasaan MK dalam pasal 10 ayat 2 UU Nomor 24 tahun 2003.
4. Sebagai yang kita ketahui, dalam UUD telah dijelaskan alasan-alasan mengapa partai
politik dapat dibubarkan, diantaranya adalah dikarenakan untuk melindungi demokrasi,
melindungi konstitusi, melindungi kedaulatan negara, melindungi keamanan
nasional, dan/atau melindungi ideologi negara. Apabila salah satu hal itu diperbuat
oleh salah satu partai politik, maka pemerintah yang diwakili jaksa agung atau Menteri
yang ditunjuk oleh presiden dapat mengajukan perkara tersebut kepada MK untuk
diperiksa. Parta politik tidak dapat menjadi pemohon karena untuk menghindari kejadian
saling lapor partai politik. Setelah mendapat perkara yang diajukan oleh pemohon, tugas
MK adalah mengadili dengan seadil-adilnya perkara tersebut melalui putusan pengadilan.
5. Lembaga Negara yang dapat mengajukan permohonan adalah DPR, DPD, MPR,
Presiden, BPK, Pemda, atau LN lain yang kewenangannya diberikan UUD 1945
(kewenangan delegasi atau atribusi) (Pasal 2 PMK No.8 Tahun 2006).Ssengketa yang
melibatkan lembaga negara yang bukan lembaga negara utama (constitutional state organ)
dapat diselesaikan di Mahkamah Konstitusi dengan syarat lembaga negara tersebut
memiliki constitutional importance menurut Prof Jimly Ashiddique (contoh kasus KPU v
Gubernur Prov Papua)
Dalam hal ini MA tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai Pemohon ataupun
Termohon dalam sengketa kewenangan teknis peradilan. Adapun putusan sela adalah
pemohon dan termohon diperintahkan untuk menghentikan pelaksanaan kewenangan
yang dipersengketakan untuk sementara hingga pada saat telah dijatuhkannya putusan
MK, hal ini dapat dijatuhkan bila: