Anda di halaman 1dari 6

HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

TENTANG
SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA( SKLN)
Oleh
ANTHONI HATANE
A. Pendahuluan

Sengketa merupakan perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga


pada objek yang sama yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di
antara mereka.[1] Jika dikaitkan dengan hubungan antar lembaga negara,
sengketa kewenangan lembaga negara dapat terjadi apabila terdapat
perselisihan yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua
atau lebih lembaga negara.[2] Apabila terjadi sengketa kewenangan
lembaga negara, maka diperlukan suatu lembaga negara yang memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan terkait sengketa
kewenangan lembaga negara.

Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga negara yang dibentuk


berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.[3] Dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi terdapat dalam Pasal
24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.”

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, salah satu kewenangan Mahkamah


Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara.
Sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi, hukum ketatanegaraan
Indonesia belum mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa
kewenangan lembaga negara.[4] Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
dibentuk dengan tujuan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga
negara.

Menurut Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa sengketa kewenangan


lembaga negara yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memiliki 2
(dua) unsur, yaitu adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam
UUD 1945 dan timbulnya sengketa dalam pelaksanaan kewenangan
konstitusional tersebut sebagai akibat perbedaan penafsiran tentang
kewenangan yang terdapat pada kedua lembaga negara yang terkait.[5]
Penjelasan tersebut mensyaratkan bahwa lembaga negara yang
bersengketa harus terbukti memiliki kewenangan yang diatur dalam UUD
1945. Menurut Ni’matul Huda perbedaan penafsiran yang dimaksud Jimly
Asshiddiqie dapat terjadi karena adanya tumpang tindih kewenangan antara
lembaga negara, adanya kewenangan satu lembaga negara yang diabaikan
oleh lembaga negara lainnya, dan adanya kewenangan satu lembaga
negara yang dijalankan oleh lembaga negara lainnya.

Mahkamah Konstitusi memiliki kriteria terkait lembaga negara yang dapat


bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 004/SKLN-IV/2006, lembaga negara yang dapat
bersengketa di Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 2 (dua) syarat. Syarat
pertama yaitu mengenai subjectum litis, yaitu lembaga negara yang menjadi
pemohon harus disebutkan, baik secara eksplisit maupun implisit dalam UUD
1945. Syarat kedua adalah mengenai objectum litis, yaitu kewenangan
lembaga negara yang menjadi pemohon harus merupakan kewenangan
yang diberikan oleh UUD 1945. [7] Berdasarkan putusan tersebut, dapat
diketahui bahwa selain terdapat lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945, terdapat juga lembaga negara yang
kewenangannya bukan dari UUD 1945. Berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Mahkamah Konstitusi telah mengakui
keberadaan lembaga negara yang kewenangannya bukan diberikan oleh
Undang-Undang Dasar melainkan oleh peraturan perundang-undangan
lainnya, dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia. Berdasarkan ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006,
lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon di Mahkamah
Konstitusi adalahDewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemerintah Daerah, atau lembaga negara
lainnya yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Suatu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya dapat


bersengketa dengan lembaga negara lainnya. Apabila terjadi sengketa
kewenangan lembaga negara, maka yang berhak memutus sengketa
tersebut adalah Mahkamah Konstitusi berdasarkan ketentuan Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945. Meskipun demikian, tidak semua lembaga negara dapat
mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara ke
Mahkamah Konstitusi. Lembaga negara yang dapat mengajukan
permohonan sengketa kewenangan lembaga negara ke Mahkamah
Konstitusi hanyalah lembaga negara yang namanya disebutkan di dalam
UUD 1945 dan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.

B.Lembaga Yang Menjadi Pemohon / Termohon :

- DPR, DPD, MPR, PRESIDEN, BPK,PEMERINTAH DAERAH, Lembaga


Negara Lain yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945.

- Mahkamah Agung tidak dapat menjadi Pihak Terkait dengan Sengketa


Teknis Peradilan.
C. Isi Permohonan :

- Identitas Lembaga Negara Yang menjadi Pemohon;

- Nama dan alamat Lembaga Negara Yang menjadi Termohon;

- Uraian Tentang :

1. Kewenangan Yang dipersengketakan;

2. Kepentingan Langsung Pemohon.

3. Hal-Hal yang diminta untuk diputus.

D.Prosedur Permohonan :

- Permohonan diajukan ke MK dengan disertai Hard Copy dan Softcopy.

- Pemeriksaan Kelengkapan, setelah Lengkap dalam waktu 7 hari di


Registrasi Dalam BRPK ( Buku Register Perkara Konstitusi) dan
disampaikan kepada Termohon dan dalam waktu 14 hari Penetapan
Jadwal Persidangan Pertama.

E. Pemeriksaan Pendahuluan :

Panel Hakim Konstitusi paling sedikit 3 (tiga) orang hakim Konstitusi


melakukan :

- Pemeriksaan Kelengkapan Permohonan;

- Penjelasan Materi Permohonan oleh Pemohon ;

- Panel Hakim Konstitusi Memberi Nasihat Kepada Pemohon;

- Mendengar Keterangan Termohon jika ada Permohonan Putusan Sela;

- Panel hakim Memeriksa kelengkapan alat Bukti.

F. Pemeriksaan Persidangan :

Panel Hakim Konstitusi paling sedikit 3 (tiga) orang hakim Konstitusi :

- Memeriksa materi Permohonan;


- Mendengar Keterangan atau tanggapan Termohon;
- Memeriksa dan mengesahkan alat bukti;
- Mendengar Keterangan Pihak Terkait;
- Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi.

G.Penarikan Kembali Permohonan :

- Dapat diajukan sebelum atau sesudah persidangan;

- Diajukan secara tertulis kepada MK;

- Jika diajukan sesudah dimulainya pemeriksaan persidangan, MK


mendengar keterangan Termohon terlebih dahulu.

- Perkara yang ditarik tidak dapat diajukan Kembali, kecuali :

a. Subtansi perkara memerlukan penyelesaian konstitusional;

b. Tidak ada forum lain untuk menyelesaikan sengketa itu;

c. ada kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum.

H. Putusan :

a. Putusan Sela :

- Dapat ditetapkan atas permintaan Pemohon atau atas Inisiatif Majelis


Hakim MK;

- Berisi perintah untuk menghentikan sementara pelaksanaan wewenang


yang disengketakan.

- Diberikan apabila :

1.Ada kepentingan umum mendesak, jika pokok permohonan


dikabulkan dapat menimbulkan akibat hukum yang serius.

2. Kewenangan yang disengketakan bukan merupakan pelaksanaan


putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

I. Putusan Akhir :

Amar Putusan :

- Mengabulkan Permohonan Pemohon;


- Menolak Permohonan Pemohon;
- Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.

Putusan MK ini sifatnya final dan mengikat.


( Lampiran Putusan MK Tentang SKLN).

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai