Anda di halaman 1dari 25

BAB III

MEMUTUS SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA YANG


KEWENANGANNYA DIBERIKAN OLEH UNDANG-UNDANG DASAR
PENGERTIAN SENGKETA WEWENANG ANTAR LEMBAGA NEGARA

• Dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 jo Pasal 10 ayat (1) huruf b UU MK disebutkan bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
• Perkembangan ketatanegaraan belakangan ini mencatat adanya konflik antarlembaga negara.Misalnya,
antara DPD dan DPR mengenai penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).Dalam hal ini,
DPD merasa kewenangannya diabaikan dalam penyusunan Prolegnas.Juga, antara Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial.Dalam hal ini MA merasa kewenangannya yang dijamin oleh konstitusi sebagai
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan dicampuri terlalu jauh oleh
Komisi Yudisial.
• Persoalan tersebut menimbulkan pendapat atau gagasan untuk membawanya ke Mahkamah Konstitusi sebagai
sengketa wewenang antarlembaga negara

• Dalam UU MK tidak didapatkan pengertian sengketa wewenang antarlembaga negara atau sengketa
kewenangan lembaga negara. Berbeda dengan pengertian sengketa tata usaha negara, yang dalam UU Peratun,
Pasal 1 angka 4 menerangkan, bahwa :

• Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
• Untuk memahami pengertian sengketa wewenang antarlembaga negara, dapat dilakukan baik melalui
pemahaman etimologis maupun melalui pemahaman definitif.
• Pemahaman secara etimologis adalah memahami makna suatu terminologis dari asal kata dari terminologis yang
ingin dipahami.
• Sedangkan pemahaman secara definitif dilakukan dengan mengambil sebagai kerangka berpikir satu batasan
atau definisi yang diajukan para sarjana.
• Secara etimologis, sengketa wewenang antarlembaga negara atau sengketa kewenangan lembaga negara dibentuk
dari kata-kata: sengketa, wewenang atau kewenangan, dan lembaga negara. Pemahaman sengketa wewenang
antarlembaga negara, secara etimologis, dilakukan melalui makna kata-kata yang membentuknya tersebut.
Pertama, sengketa.
• Mengenai pengertian sengketa dapat mengacu pada UU Peratun, bahwa sengketa bermakna perbedaan pendapat
antara dua pihak mengenai penerapan hukum, dan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya.
• Lebih lanjut dapat diurai: a) perbedaan pendapat tersebut terjadi antara orang atau badan hukum perdata di satu
pihak dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak; b) obyek dari perbedaan pendapat itu
mengenai penerapan hukum, dalam hal ini hukum hukum administrasi; dan c) akibat hukum dari perbedaan
pendapat itu adalah menimbulkan kerugian pada orang atau badan hukum perdata.
• Pemahaman lebih dalam mengenai makna sengketa dapat mengacu pada Laura Nader dan Harry Todd, yang
mengemukakan pandangan mengenai adanya tiga fase dalam sengketa , yaitu tahap pra-konflik (preconflict),
tahap konflik (conflict), dan tahap sengketa (dispute).
Kedua, wewenang.

• Istilah “wewenang” bersaing penggunaannya dengan istilah “kewenangan”.Ada pendapat yang membedakan pengertian dua
istilah itu, namun ada juga pendapat yang tidak membedakannya.

• Menurut S.F. Marbun , kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang
tertentu, maupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif
maupun dari kekuasaan pemerintah,

• sedangkan wewenang (competence, bevoegdheid) hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Jadi kewenangan merupakan
kumpulan dari wewenang-wewenang (rechts bevoegdheden).Selanjutnya dikemukakan, bahwa wewenang adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Ketiga, lembaga negara.

• Menurut A. Mukthie Fadjar , belum jelas benar apa yang dimaksud dengan “lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD” itu, apakah semua lembaga/institusi negara yang tercantum atau
disebut di dalam UUD beserta kewenangannya masing-masing, ataukah hanya lembaga tinggi dan
tertinggi negara seperti pada masa lalu (MPR, Presiden, DPR, DPA, BPK, dan MA), apakah hanya
sengketa kelembagaan negara di pemerintah pusat, atau juga antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah, dan juga antar pemerintah daerah?.

• Dari keseluruhan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa :


• Unsur-unsur sengketa wewenang antar lembaga negara:
1. Adanya perbedaan pendapat antar lembaga negara yakni alat-alat yang mempunyai kewenangan tertentu dalam negara
2. Perbedaan pendapat tersebut menyangkut kewenangan dari lembaga negara bersangkutan, yakni kemampuan untuk
melakukan tindakan hukum tertentu.
3. Perbedaan pendapat tersebut menimbulkan kerugian bgi lembaga negara yang bersangkutan, yakni terhambat
menjalankan kewenangannya yang diamanatkan oleh konstitusi
4. Perbedaan pendapat tersebut diajukan kepada pihak ketiga, yakni MK untuk mendapatkan putusan.
• Dirangkum dalam satu kalimat, maka pengertian sengketa wewenang antarlembaga negara adalah perbedaan pendapat
antarlembaga negara menyangkut kewenangannya yang menimbulkan kerugian bagi lembaga negara tertentu yang diajukan
ke Mahkamah Konstitusi untuk
• Jimly Asshiddiqie memberikan definisi mengenai sengketa kewenangan antar lembaga negara :
• Perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antar lembaga negara yang satu
dengan lembaga negara lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing
lembaga negara tersebut.
• Dari definisi yang diberikan oleh Jimly Asshiddiqie dapat ditarik unsur-unsurnya, yakni:
a. perbedaan pendapat yang disertai persengketaan dan klaim antarlembaga negara yang satu
dengan lembaga negara lainnya; dan
b. perbedaan pendapat itu mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga
negara tersebut.
• Pengertian sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga negara itu terdapat dua unsur yang harus
dipenuhi, yaitu:
a. adanya kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam UUD; dan
b. timbulnya sengketa dalam pelaksanaan kewenangan konstitusional tersebut sebagai akibat perbedaan
penafsiran di antara dua atau lebih lembaga negara yang terkait

• Dari sini dapat ditarik karakteristik dari sengketa wewenang antarlembaga negara, yakni:
a) lembaga negara sebagai para pihak yang bersengketa;
b) kewenangan lembaga negara sebagai pangkal sengketa; dan
c) Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang memutus sengketa.
• Pengertian sengketa dan Lembaga Negara dapat dilihat dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No
08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara selanjutnya disebut PMK No 08/ 2006 .
• Dalam Bab I mengenai Ketentuan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa Lembaga Negara adalah
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 sedangkan
• Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangan yang dapat berupa wewenang/hak
dan tugas/kewajiban lembaga negara yang diberikan oleh UUD 1945,
• Serta yang dimaksud dengan Sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan
dengan pelaksanaan kewenangan antara dua atau lebih lembaga negara
PEMOHON DAN TERMOHON
• Pasal 2 ayat (1) PMK No.08/2006 disebutkan bahwa Lembaga negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah:

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d. Presiden;

e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK);

f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau

g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.


• Dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa Kewenangan yang dipersengketakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
kewenangan yang diberikan atau ditentukan oleh UUD 1945.
• Ayat (3) nya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon ataupun termohon
dalam sengketa kewenangan teknis peradilan (yustisial).
• Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan,
dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.
• Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
• Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau
merugikan pemohon. ( Pasal 3 ayat (1)-(3) PMK No. 08/2006).
• Pemohon dan/atau termohon dapat didampingi atau diwakili oleh kuasa hukumnya berdasarkan surat kuasa khusus untuk itu.
( Pasal 4 ayat (1) PMK No.08/2006 )
• Ketentuan mengenai MA tidak dapat menjadi pamohon maupun termohon dalam
sengeketa kewenangan Lembaga negara diatur juga dalam Pasal 65 UU No. 24 tahun
2003 yang kemudian oleh UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun
2003, padal 65 tersebut dihapus.
• Dengan demikian maka MA dapat menjadi pemohon maupun termohon untuk sengketa
kewenangan Lembaga negara.
• Untuk MK sebagai Lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD tidak dapat menjadi
pemohon maupun termohon dalam sengketa kewenangan Lembaga Negara, hal ini sesuai
dengan asas Nemo Judex Idoneus In Propria Causa, dimana MK tidak dapat menjadi hakim
bagi dirinya sendiri.
• Asas ini merupakan bagian dari menjaga imparsialitas, netralitas dan independensi hakim
sebagai pemeriksa dan pemberi keadilan.
• Sejak MK terbentuk setidaknya MK telah memutus 29 perkara kewenangan antar Lembaga
negara dan MK belum pernah memutus perkara sengketa Lembaga negara yang terkait dengan
dirinya.
PERMOHONAN DAN TATA CARA PENGAJUAN
• Mengenai permohonan dan tata cara pengajuannya diatur dalam Pasal 5-6 PMK No. 08/2006.
• Disebutkan bahwa Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia dan harus memuat:
a. Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua
lembaga, dan alamat lengkap lembaga negara;
b. nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
c. uraian yang jelas tentang:
1. kewenangan yang dipersengketakan;
2. kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut;
3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
• Permohonan dibuat dalam 12 (duabelas) rangkap dan ditandatangani oleh Presiden atau
Pimpinan lembaga negara yang mengajukan permohonan atau kuasanya.
• Selain dibuat dalam bentuk tertulis, permohonan dapat pula dibuat dalam format digital
yang tersimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat
(compact disk), atau yang sejenisnya.
• Permohonan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara diajukan tanpa
dibebani biaya perkara.
PEMERIKSAAN ADMINISTRASI DAN REGISTRASI
• Mengenai Pemeriksaan administrasi dan registrasi diatur dalam Pasal 7-8 PMK No. 08/2006.
• Dalam Pasal tersebut diuraikan bahwa Petugas kepaniteraan memeriksa kelengkapan administrasi
permohonan beserta lampirannya.
• Apabila permohonan belum lengkap, pemohon wajib melengkapi dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima oleh
pemohon.
• Apabila pemohon tidak melengkapi permohonannya, Panitera menerbitkan akta yang menyatakan
bahwa permohonan tidak diregistrasi dan mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon.
• Dalam hal pemohon menarik kembali permohonan yang telah diregistrasi sebelum
diterbitkannya ketetapan tentang Panel Hakim, Panitera menerbitkan Akta Pembatalan
Registrasi yang harus diberitahukan kepada termohon.
• Dalam hal permohonan yang telah dicatat dalam BRPK dan dilakukan penarikan kembali
oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi permohonan yang
telah diajukan Pemohon dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan
pengembalian berkas permohonan.
PEMERIKSAAN

• Bagian Pemeriksaan diatur dalam Pasal 11 PMK No. 08/2006.


• Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel
Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim atau oleh Pleno Hakim
yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang Hakim.
• Pemeriksaan Pendahuluan dihadiri oleh pemohon dan/atau kuasanya, kecuali dalam hal
adanya permohonan putusan sela, dihadiri pula oleh termohon dan/atau kuasanya.
• Dalam Pemeriksaan Pendahuluan, Majelis Hakim:
a. memeriksa kelengkapan permohonan;
b. meminta penjelasan pemohon tentang materi permohonan yang mencakup kewenangan
Mahkamah, kedudukan hukum (legal standing) pemohon, dan pokok permohonan;
c. wajib memberi nasihat kepada pemohon, baik mengenai kelengkapan administrasi, materi
permohonan, maupun pelaksanaan tertib persidangan;
d. wajib mendengar keterangan termohon dalam hal adanya permohonan untuk menghentikan
sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan;
e. memeriksa kelengkapan alat-alat bukti yang telah dan akan diajukan oleh pemohon.
• Pemeriksaan Persidangan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Pleno Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 7 (tujuh) orang
Hakim.
• Pemeriksaan Persidangan, berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim, dapat dilakukan oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya
terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim.
• Pemeriksaan Persidangan sebagaimana bertujuan untuk:
1. memeriksa materi permohonan yang diajukan pemohon;
2. mendengarkan keterangan dan/atau tanggapan termohon;
3. memeriksa dan mengesahkan alat bukti tertulis maupun alat bukti lainnya, baik yang diajukan oleh pemohon, termohon, maupun oleh
pihak terkait langsung;
4. mendengarkan keterangan pihak-pihak terkait apabila ada dan/atau diperlukan oleh Mahkamah, baik pihak terkait yang mempunyai
kepentingan langsung maupun kepentingan yang tidak langsung;
5. mendengarkan keterangan ahli dan saksi, baik yang diajukan oleh pemohon maupun oleh termohon.
• Pemohon dapat menarik kembali permohonannya sebelum atau selama pemeriksaan dilakukan dengan
mengajukan permohonan penarikan kembali secara tertulis.
• Dalam hal pemohon mengajukan permohonan penarikan kembali setelah dimulainya pemeriksaan
persidangan, Mahkamah dapat mempertimbangkannya setelah mendengar keterangan termohon.
• Penarikan kembali permohonan mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali oleh pemohon.
• Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal:
a. substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional;
b. tidak terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; dan
c. adanya kepentingan umum yang memerlukan kepastian hukum.
PUTUSAN
• Mengenai putusan diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 31 PMK No.08/2006.
• Putusan akhir diambil dalam RPH yang khusus diadakan untuk itu dan dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) orang hakim.
• Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 7 (tujuh) orang hakim. Putusan bersifat final dan mengikat.
• Putusan diambil berdasarkan ketentuan UUD 1945 menurut keyakinan Hakim dengan didukung
sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti.
• Putusan wajib memuat fakta yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum yang
menjadi dasar putusan.
• Amar putusan sebagaimana dapat menyatakan:
a. permohonan tidak dapat diterima;
b. permohonan dikabulkan; atau
c. permohonan ditolak.
• Permohonan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) apabila pemohon dan/atau permohonannya tidak
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 5 ayat (1) Peraturan ini.
• Permohonan dikabulkan dalam hal permohonan beralasan. Permohonan ditolak dalam hal permohonan tidak beralasan.
• Dalam hal permohonan dikabulkan, amar putusan menyatakan dengan tegas bahwa pemohon berwenang untuk
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

Anda mungkin juga menyukai