Anda di halaman 1dari 3

3.

Problematika Penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga Negara


Sudah ditemukan sejumlah regulasi yang mengatur mekanisme penyelesaian sengketa
kewenangan lembaga negara oleh MK, baik yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945,
maupun peraturan turunan lainnya seperti UU MK dan Peraturan MK, namun demikian
bahwa proses penyelesaian perkara dimaksud masih menyisakan problematika tersendiri
yang berpotensi menyulitkan pengimplementasiannya dalam kasus konkret. Hal ini kian
rumit seiring dengan suburnya pertum-bungan dan perkembangan lembaga-lembaga,
khususnya sejak era reformasi. Terdapat berbagai lembaga negara dengan pola pengaturan
maupun tingkatan landasan hukum yang berbeda-beda. Berdasarkan tingkatan regulasi yang
menjadi dasar hukum pembentukannya, ada lembaga-lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan UUD, ada yang dibentuk berdasarkan UU dan ada pula lembaga yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden.
Lembaga-lembaga yang yang diatur di luar UUD, umumnya disebut komisi negara
atau lembaga negara pembantu yang dibentuk berdasarkan UU atau peraturan lainnya. 1
Secara keseluruhan, keberadaan semua lembaga dimaksud diakui keabsahannya sebagai
lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, namun tugas dan kedudukannya hanya bersifat
penunjang bagi pelaksanaan kekuasaan negara. Dalam hal proses berperkara dalam sengketa
kewenangan lembaga negara, tidak semua lembaga negara dimaksud memenuhi unsur
sebagai pemohon maupun termohon.
Selain itu, ada juga lembaga negara yang disebutkan dalam UUD, namun
kewenangannya hanya disebutkan di tingkatan UU atau atas dasar perintah UUD
kewenangannya diatur dalam UU. Bahkan yang lebih rumit kemudian adalah adanya lembaga
negara yang sama sekali tidak disebutkan dalam UUD, namun keberadaannya tidak kalah
penting atau tidak kalah derajatnya dengan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam
UUD. Sebut saja misalnya Kejaksaan Republik Indonesia yang sama sekali tidak disinggung
dalam UUD, namun semua orang mengakui dan bahkan menyadari bahwa keberadaan
Kejaksaan Republik Indonesia sama pentingnya dengan keberadaan lembaga peradilan
seperti MA maupun MK.
Situasi dan kondisi yang demikian pada akhirnya sangat menyulitkan dalam upaya
penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara. Sebagai contoh, bagaimana mekanisme
penyelesaian masalah sengketa kewenangan terhadap lembaga yang kewenangannya hanya
diatur dalam tingkatan UU seperti Kejaksaan, KPK, KPI, Komnas HAM, KPPU dan lembaga
lainnya maupun yang diatur dalam ringkatan Keputusan Presiden. Lembaga mana
sesungguhnya yang akan menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh lembaga negara
tersebut. Kalau kemudian persoalan sengketa kewenangan yang demikian dibawa ke MK,
dapat dipastikan bahwa MK tidak akan menerima pengaduan sengketa dimaksud. Pasalnya,
kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara memiliki
rambu pembatas hanya terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
Berdasarkan catatan MK, sejak berdiri sampai dengan tahun 2015, tercatat sudah 25
(dua puluh lima) perkara yang diperiksa terkait dengan perkara sengketa kewenangan
lembaga negara dan 24 (dua puluh empat) perkara sudah berhasil diputus oleh MK. Dari
1
Firmansyah Arifin, et al., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Cetakan
Pertama, Edisi Pertama, KRHN Bekerjasama dengan MKRI, Jakarta, hlm. 3
seluruh sengketa kewenangan lembaga negara yang ditangani MK selama ini, hanya 1 (satu)
perkara yang kemudian dikabulkan. Selebihnya yaitu 3 (tiga) perkara dinyatakan ditolak, 16
(enam belas) perkara dinyatakan tidak dapat diterima dan 4 (empat) perkara ditarik kembali
oleh pemohonnya2. Dilihat dari alur hukum pertimbangan MK yang melatarbelakangi MK
sampai pada putusannya, umumnya perkara dinyatakan tidak diterima dikarenakan tidak
terpenuhinya syarat dalam sebuah permohonan.
Umumnya perkara-perkara sengketa kewenangan lembaga negara di MK berakhir
pada persoalan terkait kapasitas masing-masing pihak, apakah dapat dikategorikan sebagai
lembaga negara atau tidak. Selain itu, dilihat dari sejumlah putusan sengketa kewenangan
lembaga negara selama ini, persoalan apakah kewenangan yang dipersengketakan merupakan
kewenangan yang diberikan UUD atau tidak juga merupakan persoalan yang tidak kalah
rumitnya dengan persoalan keberadaan masing-masing pihak apakah sebagai lembaga negara
atau tidak.
Sehubungan dengan itu, maka dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan
kewenangan MK dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara, kiranya perlu
dilakukan penegasan terkait dua hal, yaitu pertama, penegasan mengenai batasan makna
lembaga negara dan kedua, penegasan mengenai batasan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD. Sepanjang kedua hal dimaksud tidak diselesaikan dan
dituntaskan dengan baik, maka sangat diyakini bahwa penyelesaian sengketa kewenangan
lembaga negara oleh MK akan tetap menghadapi probematika tersendiri yang pada akhirnya
akan sangat mengganggu bagi efektifitas pelaksanaan kewenangan MK di kemudian hari.3
Demi efektivitas pelaksanaan kewenangan memutus perkara sengketa kewenangan
lembaga negara, ke depan kiranya perlu dilakukan penegasan terkait dengan batasan ruang
lingkup dan definisi frasa “lembaga negara” serta frasa “yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun
1945. Penegasan dimaksud seyogianya dilakukan melalui perubahan UUD NRI Tahun 1945
mengingat sumber kewenangan MK dalam memutus perkara sengketa kewenangan lembaga
negara berasal dari konstitusi. Selain itu, patut dipikirkan terkait potensi konflik kewenangan
antar lembaga yang kewenangannya diatur dalam tingkatan UU maupun peraturan lain.
Pasalnya, sampai saat ini belum ditemukan regulasi yang mengatur lembaga mana yang
berwenang menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan
peraturan lain selain UUD.

DAFTAR PUSTAKA

2
Mahkamah Konstitusi, “Rekapitulasi Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index. php?page=web.RekapSKLN
3
Andi M. Nasrun, 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, hlm. 32.
Arifin, Firmansyah, et al., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan
Antarlembaga Negara, Cetakan Pertama, Edisi Pertama, KRHN Bekerjasama dengan MKRI,
Jakarta.
Nasrun, Andi M., 2004, Krisis Peradilan Mahkamah Agung di Bawah Soeharto,
Elsam, Jakarta.
Marzuki, H.M. Laica, “Kesadaran Berkonstitusi dalam Kaitan Konstitusionalisme”,
Jurnal Konstitusi, MK RI, Vol. 6 No. 3, September 2009.

Anda mungkin juga menyukai