Anda di halaman 1dari 9

Naskah Akademik

Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum Pada Perempuan Penyandang Disabilitas

BAB I

Latar Belakang

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai peradaban berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, bangsa Indonesia senantiasa menempatkan penghormatan terhadap harkat dan
martabat manusia dalam segala aspek berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Hal ini
didasari oleh pemahaman bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang
secara kodrati melekat pada diri setiap manusia tidak terkecuali bagi para perempuan
penyandang disabilitas. Hak tersebut bersifat universal, langgeng, tidak dapat dikurangi,
dibatasi, dihalangi, apalagi dicabut atau dihilangkan oleh siapa pun termasuk Negara.

HAM dalam segala keadaan, wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi tidak hanya oleh
negara tetapi semua elemen bangsa termasuk pemerintah hingga masyarakat. Dengan
pemahaman seperti itu, maka penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM terhadap
warga negara harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Ruang lingkup warga negara dalam hal ini luas, siapapun tanpa terkecuali yang menyandang
atau berstatus sebagai warga negara Indonesia, termasuk penyandang disabilitas. Penegasan
mengenai lingkup itu sangat penting, karena penyandang disabilitas mengalami hambatan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam waktu lama yang dalam berinteraksi di
lingkungan sosialnya, yang dapat menghalangi partisipasi mereka secara penuh dan efektif.
dalam masyarakat berdasarkan pada asas kesetaraan dengan warga Negara pada umumnya.

Di dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas CRPD (Convention on the Rights of


Person with Disabilities) Pasal 5 menyebutkan “negara menjamin kesetaraan perlindungan
hukum bagi setiap orang dan melarang segala bentuk diskriminasi atas dasar disabilitas” Di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 juga menyebutkan bahwa “hak keadilan dan
perlindungan hukum untuk penyandang disabilitas meliputi hak atas perlindungan dari segala
tekanan, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan/atau perampasan atau pengambilalihan
hak milik”.
Perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan penyandang disabilitas perlu diprioritaskan
dan diarusutamakan dalam struktur kebijakan negara. Secara demografis, jumlah peempuan
penyandang disabilitas mengalami peningkatan. Namun kondisi itu tidak diimbangi dengan
pelembagaan sistem pelayanan yang memihak pada aspek kebutuhan dasar penyandang
disabilitas. Berdasarkan data terakhir dari Kementrian Sosial tahun 2018 menyebutkan bahwa
jumlah perempuan penyandang disabilitas di Indonesia adalah sebanyak 43,3 persen dari
populasi Indonesia atau lebih dari 270 juta.

Dengan jumlah yang cukup besar, pada kenyataannya kebijakan bagi penyandang disabilitas,
tidak dapat serta merta diimplementasikan bagi sebagian penyandang disabilitas. Sebagian
penyandang disabilitas juga tidak dapat menerapkan strategi social distancing atau physical
distancing atau menjaga jarak karena mereka membutuhkan pendamping, dengan begitu
mereka harus selalu berinteraksi dengan pihak lain untuk melakukan aktivitas harian serta
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Perempuan penyandang disabilitas masuk dalam kelompok perempuan dalam situasi khusus
yang mempunyai kerentanan lebih dibandingkan perempuan dan penyandang disabilitas pada
umumnya. Bahkan, sebelum wabah/ pandemic Covid 19 ini, perempuan penyandang
disabilitas sudah menghadapi banyak tantangan dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari dan
berpartisipasi di ruang publik. Kerentanan tersebut akibat dari situasi ganda yaitu sebagai
perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Stigma terhadap perempuan sudah menjadi
penghalang bagi perempuan ditambah dengan disabilitas, mereka menghadapi diskriminasi
ganda, sub ordinasi, dan rentan menjadi korban kekerasan.

Kekerasan berbasis gender dan disabilitas yang dialami hampir semua perempuan disabilitas,
terjadi di berbagai bidang, yaitu:

 KESEHATAN, secara fisik seringkali lebih mudah sakit karena asupan gizi dan
perawatan kesehatan,
 EKONOMI, menengah kebawah, bekerja informal karena tidak mempunyai skill/
kapasitas yang mencukupi,
 PENDIDIKAN, tidak mencukupi untuk bekerja di sektor formal,
 SOSIAL, adanya diskriminasi karena perempuan dan karena disabilitasnya, masih
harus menjalankan peran domestik dan publik untuk memastikan keluarganya dapat
tercukupi kebutuhan pokoknya, ketergantungan mobilitas dan interaksi sosial.
 HUKUM, akses keadilan masih rendah, karena disabilitasnya, keterangan tidak dapat
memberi alat bukti,
 INFORMASI, akses informasi banyak mengalami hambatan, karena ragam
disabilitasnya.

Apalagi perempuan disabilitas menjadi lebih rentan terpapar COVID 19 saat ini karena
mereka masih harus menjalankan peran domestik dan publik untuk memastikan keluarganya
dapat tercukupi kebutuhan pokoknya, yang menuntut adanya mobilitas dan interaksi sosial.
Kebijakan jaga jarak, pembatasan sosial dan penutupan berbagai akses merupakan masalah
besar bagi mereka yang mempunyai profesi sebagai pemijat, membuka warung makan.
Ditutupnya sektor Pariwisata seperti di Kalimantan Timur berakibat pada kurangnya
pekerjaan informal bagi banyak perempuan disabilitas.

Kondisi rumah tangga yang tidak memiliki pemasukan finansial berpotensi menjadi pemicu
terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perempuan disabilitas.
Perempuan disabilitas yang sudah bekerja dan mempunyai posisi tawar dalam keluarganya
akan kehilangan posisi tawar tersebut dan memperbesar potensi kekerasan. Perempuan
disabilitas yang tidak bekerja dan selama ini bergantung kepada pasangan atau anggota
keluarganya juga terancam mengalami kekerasan karena tekanan sosial ekonomi dan semakin
memperkuat stigma tentang ketergantungan dan tidak dapat berkontribusi pada keluarga.
Kekerasan demi kekerasan terus mengancam perempuan disabilitas, bahkan muncul potensi
kekerasan sexual atas nama pemenuhan kebutuhan ekonomi kalau krisis ini berlangsung terus
menerus.

Di dalam Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas CRPD (Convention on the Rights of


Person with Disabilities) Pasal 5 menyebutkan “negara menjamin kesetaraan perlindungan
hukum bagi setiap orang dan melarang segala bentuk diskriminasi atas dasar disabilitas” Di
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 juga menyebutkan bahwa “hak keadilan dan
perlindungan hukum untuk penyandang disabilitas meliputi hak atas perlindungan dari segala
tekanan, kekerasan, penganiayaan, diskriminasi, dan/atau perampasan atau pengambilalihan
hak milik”.

Penyandang disabilitas di Indonesia masih banyak ditemukan stigma negatif dan menganggap
penyandang disabilitas adalah kaum yang lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Penyandang
disabilitas sering kali menjadi korban tindak pidana dan seringkali korbannya adalah
perempuan. Kebanyakan dari mereka mendapat diskriminasi dan pelecehan seksual hingga
pemerkosaan, karena sebagian orang berpandangan bahwa perempuan itu mahluk yang
lemah. Oleh karena keterbatasan fisik dan mental yang dimiliki, maka dengan mudahnya
perempuan menjadi korban.

Di Kalimantan Timur dari data Simponi Kementerian PPPA sampai dengan 9 Agustus 2019
terdapat 715 kasus pelaporan anak atau perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan.
Tingginya angka pelaporan kasus tersebut sebaiknya didukung oleh pemahaman yang baik
dari pendampingan dalam mendampingi penyelesaian kasus kekerasan pada penyandang
disabilitas yang berhadapan dengan hukum sehingga mereka tetap mendapat perlindungan
dan pemenuhan haknya.

Pemerintah wajib menyediakan jaminan perlindungan dan kebutuhan hak perempuan


terutama perempuan penyandang disabilitas. Hal ini tercantum dalam pasal 28I ayat (4) yaitu:
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung
jawab negara, terutama pemerintah.” Serta pasal 71 diatur tentang Hak Asasi Manusia,
“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan
memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-
undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia”.

Perlindungan hak perempuan penyandang disabilitas tidak hanya menang di atas kertas, tetapi
tujuan yang nyata yaitu melindungi dan menjamin kesamaan hak serta penghormatan
terhadap martabat perempuan penyandang disabilitas secara nyata. Negara yang bermartabat
adalah negara yang menghormati, menghargai, memenuhi, dan melindungi setiap warga
negaranya tanpa kecuali.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah yang
dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1.Bagaimanakah pemberdayaan dan perlindungan hukum bagi perempuan penyandang


disabilitas dalam perspektif hukum hak asasi manusia di Kalimantan Timur?

2.Mengapa perlu dibentuk rancangan Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan dan


Perlindungan Hukum pada Perempuan Penyandang Disabilitas?
3. Apa yang menjadi pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan rancangan
Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum pada Perempuan
Penyandang Disabilitas?

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan dan ruang lingkup
rancangan Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Hukum pada
Perempuan Penyandang Disabilitas?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penulisan naskah akademik ini, dimaksudkan untuk mendapatkan landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis yang disusun secara akademik atas rancangan Undang-Undang
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Secara garis besar, tujuan penulisan naskah
akademik ini adalah:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi perempuan dan penyandang disabilitas dalam
perspektif hak asasi manusia di Kalimantan Timur

2. Merumuskan alasan perlunya rancangan Peraturan Daerah tentang pemberdayaan dan


perlindungan hukum pada perempuan penyandang disabilitas.

3. Merumuskan pertimbangan alasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan


rancangan Peraturan Daerah tentang pemberdayaan dan perlindungan hukum pada
perempuan penyandang disabilitas.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan, arah pengaturan dan ruang
lingkup rancangan Peraturan Daerah tentang pemberdayaan dan perlindungan hukum pada
perempuan penyandang disabilitas.

Adapun kegunaan penyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang


pemberdayaan dan perlindungan hukum pada perempuan penyandang disabilitas, adalah
sebagai bahan kajian awal dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang
pemberdayaan dan perlindungan hukum pada perempuan penyandang disabilitas.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini adalah
metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi
dokumen atau literatur (data sekunder), dengan cara mengumpulkan informasi melalui
peraturan perundang-undangan, buku-buku, hasil kajian atau referensi lainnya, dan
penelusuran data serta informasi melalui laman yang berkaitan dengan perempuan
penyandang disabilitas.

1. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam menyusun naskah akademik ini adalah
sumber data sekunder yang berupa

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer dalam
penyusunan naskah akademik ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The


Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas)

4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas;

5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

6) Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan


Sosial Bagi Penyandang Disabilitas

7) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan,


dan Evaluasi terhadap Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas

8) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk
Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan

9) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2020 Tentang Unit Layanan Disabilitas


Bidang Ketenagakerjaan

10) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan


Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat
11) Peraturan Presiden Nomor. 67 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
Penghargaan Dalam Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang
Disabilitas

12) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 1 Tahun 2018 tentang
perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer. Bahan hukum sekunder dalam penyusunan naskah akademik ini terdiri dari buku,
jurnal, artikel, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu eksiklopedia dan kamus.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penyusunan naskah akademik ini adalah studi
kepustakaan (library research), yaitu melakukan inventarisasi dan mempelajari data pustaka,
berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur, jurnal, majalah, dan dokumen
resmi pemerintahan daerah ditingkat kabupaten/kota, serta informasi elektronik (internet)
perihal pemberdayaan dan perlindungan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas.
Selain itu juga melakukan Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara untuk melengkapi
data dalam naskah akademik ini. Hal ini bertujuan agar penelitian ini secara sistematis dan
obyektif dapat mengetahui pentingnya pemberdayaan dan perlindungan hukum bagi
perempuan penyandang disabilitas.

3. Metode Pendekatan

Metode pendekatan dalam penyusunan naskah akademik ini menggunakan


pendekatan:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu mengkaji permasalahan dari


segi hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang terkait
dengan permasalahan yang dikaji. Kemudian sebagai upaya penajaman analisis dan
menyeluruh (holistic), maka digunakan juga pendekatan:

1) Yuridis normatif-filosofis, yaitu pendekatan yang menitikberatkan pada seperangkat nilai-


nilai ideal (filosofis) yang seyogianya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap
pembentukan, pengaturan, dan pelaksanaan kaidah hukum;
2) Yuridis normatif-positivis, yaitu pendekatan atau kajian yang memandang hukum dalam
wujudnya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Kajian ini sifatnya preskriptif, menentukan apa yang salah dan apa yang benar.

b. Pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu pendekatan yang beranjak dari


pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin. Dengan berangkat dari pemahaman terhadap
teori, asas, doktrin yang ada. Maka, dapat membimbing peneliti/penyusun untuk dapat
mengaitkan antara praktik yang ada dengan teori yang relevan, sehingga selanjutnya
peneliti/penyusun dapat menganalisis dalam rangka mencari alternatif solusi terbaik untuk
memecahkan hukum yang dikaji dalam hal ini terwujud konsep terkait pemberdayaan dan
perlindungan hukum bagi perempuan penyandang disabilitas di Kalimantan Timur.

4. Analisis Bahan Hukum

Seluruh bahan hukum yang berhasil dikumpulkan, selanjutnya diinventarisasi, diklasifikasi,


dan dianalisis dengan menggunakan content analysis (analisis isi). Analisis konten ini
didasarkan pada teori-teori yang ada. Content (isi) yang dimaksud adalah isi dari sumber data
baik primer maupun sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder dan tersier. Melalui
analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan
pustaka yang ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan
deskripsi yang lebih objektif dan sistematis dalam penyusunan evaluasi peraturan daerah
tentang disabilitas. Pertama, seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait objek
penelitian dikumpulkan kemudian diolah. Kedua, data yang berkaitan dengan pokok
permasalahan, ruang lingkup, dan identifikasi masalah (sebagaimana yang telah disebutkan
diatas) yang telah diperoleh akan disajikan dengan pendekatan deskriptif analitis, sehingga
kajian yang dilakukan dapat menjadi acuan komprehensif bagi penyusunan rancangan
peraturan daerah tentang pemberdayaan dan perlindungan hukum bagi perempuan
penyandang disabilitas di Kalimantan Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro Rizal Muqoddas. 2018. “Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Penyandang


Disabilitas Sebagi Korban Kekerasan Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi
Manusia Di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Universitas Islam Indonesia.
Yogyakarta.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan. 2020. “Panduan Perlindungan Khusus dan
Lebih Bagi Perempuan Penyandang Disabilitas Dalam Situasi Pandemic Covid-
19”. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Jakarta

Kementerian Sosial RI. 2018 “Sistem Informasi Penyandang Disabilitas”. Sistem Informasi
Penyandang Disabilitas - Kementerian Sosial RI (kemensos.go.id)

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. 2019 “Saatnya


Perempuan Penyandang Disabilitas Bangkit Dan Aktif Dalam Pembangunan”.
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN
ANAK (kemenpppa.go.id)

Anda mungkin juga menyukai