Anda di halaman 1dari 7

“Perlindungan Terhadap Pekerja Perempuan Dan Pekerja Penyandang

Disabilitas"
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bekerja merupakan salah satu kegiatan dalam kehidupan manusia dengan tujuan agar
manusia dapat mempertahankan hidupnya dan mendapatkan penghidupan yang layak. Setiap
orang berhak untuk bekerja baik bekerja dalam sektor swasta maupun sektor pemerintahan.
Dengan bekerja, setiap orang akan menghasilkan sesuatu dan mendapatkan imbalan berupa
upah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya
disebut UUD NRI 1945 menjamin setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak. Selain itu, UUD NRI 1945 juga menjamin
setiap orang untuk mendapatkan perlakuan dan imbalan yang adil dalam bekerja. Setiap
orang dari berbagai macam suku, agama, ras, dan golongan berhak atas pekerjaan dan
mendapatkan hidup yang layak.

Semua orang yang dimaksud juga termasuk penyandang disabilitas yang ingin bekerja
sesuai dengan minat dan kemampuannya masingmasing. Menurut World Health Organization
(WHO), Penyandang disabilitas mengacu kepada orang-orang dengan gangguan, keterbatasan
aktivitas dan atau pembatasan partisipasi. Gangguan adalah permasalahan yang dihadapi oleh
seseorang berkaitan dengan fungsi tubuhnya. Kemudian, keterbatasan aktivitas adalah
keterbatasan dalam melaksanakan tugas dan tindakan, sedangkan keterbatasan partisipasi
adalah masalah yang dialami oleh seseorang dalam keterlibatan di lingkungan sosial. Adanya
gangguan, keterbatasan aktivitas dan pembatasan partisipasi tersebut, membuat penyandang
disabilitas akan mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan orang dan lingkungan
sekitarnya. Hal ini menyebabkan penyandang disabilitas akan mengalami kesulitan untuk
berpartisipasi di dalam Masyarakat.1

Selain itu lazimnya, yang berkewajiban untuk mencari nafkah agar dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya adalah kaum laki-laki sebagai suami. Namun, dewasa
ini banyak juga kaum perempuan yang melakukan suatu pekerjaan dengan tujuan untuk
membantu suaminya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.

Biasanya kaum perempuan tersebut bekerja pada perusahaan-perusahaan swasta dan


kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik.
1
Ametta Diksa Wiraputra,Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Penyandang Disabilitas,Jurnal Program
Magister Hukum Universitas Indonesia.Vol.1.No.1(Maret 2020)hlm,34.
Banyak diberitakan di media massa atau elektronik tentang pekerja perempuan yang
kurang diperhatikan oleh perusahaan dalam hal kesejahteraan atau diperlakukan dibawah
pekerja laki-laki. Buruh perempuan banyak dieksploitasi oleh pengusaha dan terkadang di
PHK secara semena-mena oleh perusahaan. Hal-hal tersebut merupakan suatu bentuk
pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat didalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang
Ketenagakerjaan. Di dalam UU tersebut telah diatur secara jelas dan lengkap mengenai hak
dan kewajiban buruh/pekerja wanita yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak pekerja Perempuan dibidang
ketenagakerjaan?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap disabilitas dalam memenuhi hak
mendapatkan pekerjaan?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap hak pekerja Perempuan
dibidang ketenagakerjaan?
2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap disabilitas dalam
memenuhi hak mendapatkan pekerjaan?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlindungan hukum terhadap hak pekerja Perempuan


2
Annida Addiniaty, “Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Wuruh Wanita”. Jurnal Rechts Vinding.hlm,15.
Perempuan sebagai warga negara Indonesia sejak dahulu aktif dalam kegiatan ekonomi dan
sosial sebagai petani, pedagang, pekerja (di sektor informal) dan sebagai ibu rumah tangga.
Namun, kebanyakan perempuan belum menikmati penghargaan dan penghormatan yang
sama dengan laki-laki sesuai dengan sumbangannya dan beban kerjanya sebagai dampak dari
diskriminasi yang terus menerus terjadi. Keterlibatan perempuan Indonesia di dalam
keseluruhan kehidupan perjuangan bangsa dan negara merupakan petunjuk bahwa kaum
perempuan di Indonesia pada dasarnya sejak dulu sudah merupakan bagian dari
pembangunan nasional, bangsa dan negara. Dengan demikian pertumbuhan pembangunan
nasional tidak dapat dipisahkan dari keberadaan perempuan sebagai pembangunan dan
eksistensinya sebagai manusia yang memiliki keluhuran harkat dan martabat seperti halnya
pria.

Perkembangan industrialisasi merupakan tahapan suatu perkembangan bangsa.


Keterlibatan perempuan sebagai tenaga kerja memberi masukan yang tidak sedikit bagi
negara. Hal ini dapat dimaklumi karena perbandingan jumlah penduduk adalah lebih banyak
perempuan dari pada laki-laki. Namun disisi lain kita tidak dapat menutup mata masih
banyak terjadi diskriminasi terhadap tenaga kerja perempuan, seperti diskriminasi upah,
pelanggaran terhadap ketentuan keselamatan kerja, pengabaian hak-hak wanita, seperti cuti
haid, cuti hamil, dan sebagainya. Data di Indonesia menunjukkan ba- hwa pendidikan
perempuan pada umum- nya masih rendah dari pada laki-laki. Angka kematian ibu masih
tinggi, bahkan bila di- bandingkan dengan perempuaan di negara- negara ASEAN maka
angka kematian ibu di Indonesia lebih tinggi. Dan sebagai pe- kerja perempuan Indonesia
masih mengalami berbagai diskriminasi dan belum mendapat perlindungan hukum yang
selayaknya diperoleh. 3

Perbaikan nasib pekerja Perempuan Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri
kerap menimbulkan banyak kontroversial dan merupakan isu yang tak pernah habisnya
dibicarakan terutama dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Ketika perempuan masuk
dunia kerja, sering mengalami pola diskriminasi dan peminggiran yang didasari pada
keyakinan dan perilaku yang menetapkan perempuan dalam posisi lebih rendah dari laki-laki.
Nasib pekerja perempuan Indonesia bergantung kepada kepedulian pemerintah untuk lebih
serius memikirkan serta memberi perlindungan terhadap warganya. Adanya diskriminasi

3
Sri Hartaty, Herman Fikri, Niko Pransisco, “Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perempuan Di Indonesia”, Jurnal
Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda. Vol. 26 No.2 September 2020, hal. 98.
bahkan meniurus kepada eksploitasi terhadap perempuan Indonesia hingga saat ini
merupakan bukti nyata bahwa kurang terlindunginya hak-hak perempuan di Indonesia.4

Berkaitan dengan hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan, terdapat


hak-hak yang harus didapatkan perempuan baik sebelum, saat, maupun sesudah melakukan
pekerjaan. Sebelum mendapat pekerjaan, seorang perempuan mempunyai hak untuk
diberikan kesempatan yang sama dengan pria untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuannya, sehingga mereka perempuan harus dapat dilakukan seleksi
terhadapnya tanpa ada diskriminasi apapun. Saat mendapat pekerjaan, seorang perempuan
juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi, yaitu mendapatkan upah sesuai dengan
pekerjaannya, mendapatkan kondisi kerja yag aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk
dapat meningkatkan pekerjaannya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk juga hak untuk
mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya.

Setelah mendapat pekerjaan, tentunya ada saatnya ketika perempuan harus berhenti
dan meninggalkan pekerjaannya. Maka ketika pekerjaan itu berakhir, seorang perempuan
juga mempunyai hak untuk mendapatkan pesangon yang adil dan sesuai dengan kinerja dan
kualitas pekerjaan yang dilakukannya. Keberadaan tenaga kerja perempuan yang selalu
mendapat perlakuan tidak adil sehingga membutuhkan perlindungan hukum dan hak asasi
manusia. Hak asasi manusia sendiri dewasa ini dianggap sebagai etika politik modern dengan
gagasan inti adanya tuntutan moral yang menyangkut bagaimana manusia wajib
memperlakukan manusia, sehingga secara potensial amat kuat untuk dilindungi orang dan
kelompok yang lemah terhadap kewenangan mereka yang kuat karena kedudukan, usia,
status dan lainnya.5

Undang-Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur beberapa


ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan secara khusus terhadap pekerja perempuan.
Ketentuan pasal yang mengatur tentang perlindungan terhadap pekerja perempuan dalam
Undang-Undang ini, diantaranya :

i. Pasal 76 Ayat (1), pasal ini mengatur tentang larangan bagi perusahaan mempekerjakan
tenaga kerja atau buruh Perempuan yang memiliki umur kurang dari 18 tahun pada waktu
sekitar pukul 23.00 – 07.00 waktu setempat.

4
Ibid.,hlm. 99.
5
Suci Flambonita, “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja Perempuan Di Bidang Ketenagakerjaan” Jurnal
Hukum Ketenagakerjaan. hlm 4400-4401.
ii. Pasal 76 Ayat (2) larangan bagi perusahaan mempekerjakan tenaga kerja atau buruh
Perempuan hamil yang mendapat keterangan langsung dari dokter bahwa berbahaya bagi
kesehatan dan keselamatan kandungannya dan dirinya bila bekerja pada waktu sekitar pukul
23.00- 07.00 waktu setempat.

ii. Pasal 76 Ayat (3), ketentuan mengenai kewajiban pengusaha/perusahaan untuk


memberikan makanan dan minuman yang bergizi, dan memberi perlindungan kesusilaan dan
keamanan selama bekerja, bagi Perusahaan yang mempekerjakan pekerja Perempuan antara
pukul 23.00-07.00 waktu setempat.

iv. Pasal 76 ayat (1), ketentuan yang mengatur tentang kewajiban pengusaha atau Perusahaan
untuk menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan
pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.6

Berkenaan dengan kodratnya sebagai kaum perempuan, maka pekerja perempuan yang dalam
masa haid merasakan sakit dan hal ini disampaikan kepada pengusaha, maka ia tidak wajib
bekerja pada hari pertama dan hari kedua pada masa haid. (Vide Pasal 81 Undang-Undang
No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Pekeria perempuan juga berhak memperoleh istirahat
selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Pekerja/buruh
perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu
setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. (vide.
Pasal 82 Undang -Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Lamanya masa istirahat
tersebut dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik
sebelum maupun sesudah melahirkan.7

Selain itu, khusus bagi perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya, jika hal tersebut dilakukan selama masa
waktu bekerja. (Vide. Pasal 83 Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan). Maksud
dari kesempatan sepatutnya adalah lamanya waktu yang diberikan kepada pekerja/buruh
perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya tempat yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan perusahaan, yang diatur dalam peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Ketentuan sebagaimana yang diuraikan hanya berlaku bagi pekerja
perempuan. Dengan kata lain, ketentuan pasal-pasal tersebut diatas adalah sebagai upaya
untuk memberikan perlindungan secara khusus bagi pekerja perempuan atas berbagai risiko
6
Surya Perdana, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,(Medan: Umsu Press,2023),hlm.202.
7
Ibid.,hlm.203.
yang mungkin timbul sebagai akibat kerja, khususnya bagi pekerja perempuan yang bekerja
atau dipekerjakan di malam hari.8

Hak dan kewajiban buruh/pekerja wanita tidak hanya diatur di dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tetapi juga diatur di dalam peraturan-peraturan lainnya,
mulai UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat (2), UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi ILO No. 111 tentang Anti Diskriminasi
Jabatan dan Pekerjaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU No. 21 Tahun 1999,
dan Konvensi ILO No. 100 tentang setaraan Upah yang telah diratifikasi oleh Indonesia
dengan UU No. 80 Tahun 1957.

Di dalam peraturan perundang- undangan tersebut telah diatur secara lengkap


mengenai apa saja hak dan kewajiban dari buruh/pekerja wanita serta bagaimana seharusnya
buruh/pekerja wanita diperlakukan oleh pihak pengusaha. Namun, pada kenyataannya masih
banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan
yang diatur di dalam peraturan-peraturan tersebut. Pelanggaran-pelanggaran tersebut
umumnya berupa kekerasan seksual, diskriminasi terhadap upah dan jabatan, serta
pelanggaran terhadap ketentuan yang mengatur mengenai kesehatan reproduksi buruh wanita,
yang meliputi cuti haid, cuti hamil, dan menyusui.9

8
Ibid.,hlm.204.
9
Annida Addiniaty,op.cit.,hlm.16.

Anda mungkin juga menyukai