Oleh :
Silvia Ayu Nuraini 19754027
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah etika bisnis
dengan judul “Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Perempuan Dalam Perspektif
Hukum”.
1. Bapak Ir. Teguh Budi Trisnanto, M.Si selaku dosen pengampu pada matakuliah
Etika Bisnis.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu
2.1 Pekerja
Pekerja adalah seseorang yang menjalankan pekerjaan untuk majikan dalam
hubungan kerja dengan menerima upah (Iman Soepomo 1976:33). Penjelasan
senada juga dikemukakan oleh G. Kartasapoetra (1986:17-18) bahwa yang
dimaksud dengan pekerja ialah para tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan,
dimana para tenaga kerja itu harus tunduk kepada perintah dan peraturan kerja yang
diadakan oleh pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkungan
pekerjaannya, untuk mana tenaga kerja itu akan memperoleh upah atau jaminan
hidup lainnya yang wajar. Pengertian pekerja banyak pula dijumpai dalam Undang-
Undang Kerja, Undang-Undang Perlindungan dan Keselamatan Kerja, Undang-
Undang Ketenagakerjaan serta beberapa Undang-Undang lainnya dimana buruh
dimaksudkan sebagai “tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, yang tunduk dan
berada di bawah perintah pengusaha, sesuai dengan peraturan kerja yang berlaku di
lingkungan pekerjaannnya.
(a) untuk menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya bagi semua pegawai departemen
atau lembaga Pemerintahan pusat, dan
(b) untuk mendorong penerapan prinsip bagi pegawai departemen atau lembaga
pemerintahan di tingkat pusat, provinsi maupun lokal, dimana mereka
mempunyai wewenang untuk menentukan tingkat upah.
(a) penetapan upah minimum atau upah lainnya di sektor industri dan jasa
dimana tingkat upah tersebut ditentukan oleh pejabat publik yang berwenang;
(2) Pejabat publik yang berkompeten harus melakukan segala tindakan yang
diperlukan dan tepat untuk menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah
sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum tersebut dan, bila mungkin,
diberi nasehat tentang penerapannya.
(a) mengurangi perbedaan antara tingkat upah untuk pekerja laki-laki dengan
tingkat upah bagi pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya;
(b) dimana berlaku sistem kenaikan upah, memberikan kenaikan upah yang
setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang
sama nilainya.
(a) memastikan bahwa pekerja dari kedua jenis kelamin mendapatkan fasilitas
yang setara atau sebanding untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling
kerja, untuk pelatihan dan penempatan kerja;
(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Diskriminasi
Pemahaman mengenai diskriminasi dapat dilihat dari luas lingkupnya.
Dalam lingkup luas secara umum, diskrimininasi dipahami sebagai adanya
pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu. Pelayanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Ketika seseorang
mengalami ketidakadilan atau pembedaan perlakuan yang didasarkan pada
karakteristik gender, ras, agama atau aliran politik tertentu, amaka dapat dikatakan
ia telah mengalami diskriminasi. Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang luas
ini mengartikan bahwa pembedaan perlakuan tersebut dapat dialami oleh siapa pun
tanpa melihat jenis kelaminnya baik laki-laki atau perempuan.
1. Budaya patriarki
Apabila dicermati lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa alasan utama yang
dikemukakan oleh pengusaha dalam menentukan perbedaan kebijakan pengupahan
antara pekerja perempuan yang sudah menikah dibandingkan pekerja laki-laki
sebenarnya terpengaruh oleh budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar
daerah dan masyarakat Indonesia. Budaya Patriarki ini dikonsepkan sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan sistem sosial dimana pria/ayah menguasai seluruh anggota
keluarganya, harta milik, segala sumber ekonomi serta pembuat semua keputusan
penting dan sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah pria diposisikan lebih
tinggi dari perempuan . Budaya ini tidak jarang bersumber dari nilai-nilai sakral
keagamaan dan budaya komunitas, dan berkembang dan disosialisasikan melalui
pendidikan dalam keluarga di rumah. Adanya struktur komunitas yang seperti itu,
perempuan seakan ditempatkan pada posisi sub-ordinat dibandingkan dengan pria,
sehingga menyebabakan perempuan semakin dilemahkan kesetaraannya.
Perempuan hanya dianggap sebagai makhluk pelengkap kehidupan laki-laki dan
hanya cocok bekerja di ranah domestik dalam keluarga . Budaya ini berdampak
pada anggapan terhadap status laki-laki yang memikul tanggung jawab besar dalam
keluarga dan karenanya harus diberi kedudukan lebih tinggi atau istimewa
dibandingkan perempuan dalam hal ini adalah pekerja laki-laki dengan pekerja
perempuan. Sehingga, memunculkan berbagai bentuk pembedaan/diskriminasi.
Alasan lain yang sering dijadikan alasan dasar pendiskriminasian antara pekerja
laki-laki dan perempuan adalah terutama perempuan yang sudah menikah dan
berprofesi sebagai pekerja akan lebih banyak mengambil cuti dibandingkan pekerja
laki-laki. Rasionya karena perempuan yang sudah menikah seketika akan hamil,
melahirkan dan menyusui. Hal ini akan menyebabkan pekerja perempuan lebih
banyak mengamnil cuti dari pada pekerja laki-laki. Kondisi demikian menurut
kacamata pengusaha dipandang tidak efisien dan cenderung merugikan perusahaan
dalam menjalankan proses produksi. Selain itu kodrat yang telah disandang
perempouan untuk hamil, melahirkan dan menyusui tersebut kadang dianggap
sebagai bukti otentik untuk mengukuhkan pandangan bahwa tugas perempuan
adalah mengurus masalah domestik rumah tangga.
Situasi ini diperparah dengan besarnya jumlah angkatan kerja, terutama perempuan,
yang membutuhkan pekerjaan di Indonesia tetapi belum tersalurkan. Sebagai
contoh jumlah penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan
hasil sensus penduduk tahun 2010 sebagai berikut: jumlah penduduk laki-laki
sebesar 1.708.910 jiwa dan perempuan sebanyak 1.748.581 jiwa . Artinya dari hasil
sensus tersebut dapat dikertahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar
dibanding penduduk laki-laki. Dalam kondisi seperti ini tidak mustahil jumlah
angkatan kerja yang tersedia pun menjadi lebih besar. Sayangnya besarnya jumlah
angkatan kerja perempuan ini tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang
tersedia.
Selain itu juga faktor pendidikan pekerja perempuan juga berpengaruh terhadap
posisi tawar perempuan. Mengutip hasil BPS tahun 2004, diketahui bahwa jumlah
lulusan SD perempuan hanya sekitar 20%, sedangkan pada tingkap SLTP jumlah
lulusan perempuan hanya sekitar 17%. Pada tingkat yang lebih tinggi yaitu SLTA
jumlah lulusan perempuan hanya sekitar 18,8% serta ditingkat perguuruan tinggi
hanya sekitar 8%. Semua jumlah persen tersebut berangkat dari total penduduk
perempuan berumur 15 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang
ditamatkannya, yaitu sebanyak 1.288.425 jiwa. Sedangkan jumlah prosentase
kelulusan dari penduduk laki-laki yang berusia diatas 15 tahun kesemuanya
melebihi prosentase dari penduduk perempuan. Data diatas menunjukkan bahwa
masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan formal bagi laki-laki dan
perempuan.
Akibatnya posisi tawar seorang pekerja perempuan menjadi lebih rendah dibanding
pekerja laki-laki. Apalagi diperparah dengan anggapan pengusaha bahwa pekerja
perempuan lebih banyak mengambil cuti sehubungan dengan kodratnya sebagai
perempuan dan anggapan bahwa perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga.
Hal ini menyebabkan pekerja perempuan menjadi semakin lemah kedudukannya
dibanding dengan pengusaha.
4. Kepentingan penguasa
Logikanya jika suatu ketentuan telah mendapatkan suatu pengaturan secara tegas
serta didalamnya telah dimuat sanksi bila tidak melaksanakan isis ketentuan
tersebut, maka pihak yang melakukan pelanggaran mendapat sanksi. Namun dalam
hal ini seolah-olah penguasa mengalami dilema untuk menegakkan berbagai
ketentuan perundangan ketenagakerjaan, terutama bidang pengupahan yang
berkeadilan jender. Pengusaha yang melanggar ketentuan tidak pernah mendapat
sanksi dari pejabat berwenang. Hal ini dapat dipahami karena dalam pelaksanaanya
masih banyak oknum dari pihak yang berwenang berperan sebagai pelindung.
a. teguran
b. peringatan tertulis
e. pembatalan persetujuan
f. pembatalan pendaftaran
h. pencabutan ijin.
Di sisi lain berkaitan dengan sumber dana daerah maupun Negara, pengusaha
merpakan pemasok terbesar baik dari sudut pajak maupun dana tak terduga lainnya.
Faktanya dalam setiap kesempatan pengusaha seolah-olah berperan sebagai bank
tidak resmi yang “multifungsi” bagi penguasa. Di sisi lain pengusaha juga
menikmati fasilitas atas ke-“multifungsi”-annya terhadap penguasa. Akibatnya
pekerja, terutama pekerja perempuan sebagai pihak terlemah diantara pengusaha
dan penguasa harus menanggung penderitaan. Adanya kepentingan penguasa ini
tentu saja akan memberikan pertimbangan tersendiri bagi pihak yang terkait untuk
menjatuhkan sanksi pada pengusaha.
Meskipun adanya suatu asa yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap tahu
akan hukumnya, namun hal ini biasanya hanya merupakan suatu asas saja. Sesuai
dengan sifatnya yang dapat ditimpangi maka berkaitan dengan asas tersebut diatas
lebih banyak orang yang tidak mengetahui hukum yang mengaturnya. Di Indonesia
asas ini hanya berlaku bagi para pelaku hukum saja. Selain itu masyarakat kurang
memperdulikannya, sehingga ketika hak dan kewajibannya tidak terpenuhi mereka
tidak tahu bagaimana prosedur yang tepat untuk memperolehnya. Harusnya,
ketentuan hukum sebagai dasar pemberian upah terutama yang berkaitan dengan
perlindungan pekerja perempuan terhadap diskriminasi upah perlu diketahui oleh
pengusaha maupun para pekerja, sehingga benar-benar dipahami sistem
pengupahan yang berbasiskan pada keadilan jender.
Dengan adanya para penegak hukum maka praktek diskriminasi upah antara
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang terjadi di masyarakat seharusnya
tidak boleh lagi terjadi. Apalagi setelah diadopsinya Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW oleh Negara melalui Undang-
Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Secara khusus dalam Pasal 11
huruf (d) konvensi ini memberikan hak kepada perempuan untuk menerima upah
yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama
sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama maupun
persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.
Dengan demikian dari beberapa ketentuan yang telah mengatur terdapat hak
dasar pekerja perempuan yang bagi negara harus mutlak melindunginya. Hak yang
dimaksud ialah hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Pemenuhan hak
upah ini bukanlah suatu hal yang mustahil dipenuhi, sebab sampai saat ini telah
banyak aturan hukum yang digunakan sebagai dasarnya. Mulai dari Pasal 11
CEDAW yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah
Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.80 Tahun 1957, Pasal 88 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, hingga Pasal 38
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun dapat
digunakan sebagai rujukannya.
4.1 Kesimpulan
Citra perempuan di mata masyarakat tidak terlepas dari peranan wanita
sendiri dalam kehidupan kesehariannya. Seringkali wanita menanggung beban baik
fisik, maupun mental. Tuntutan jaman industrial telah memaksa wanita ikut bekerja
di pabrik-pabrik. Bahkan mereka lebih disenangi dari pada buruh laki-laki. Sebab
wanita lebih menurut, sabar, takut, dan diberi upah yang diskriminatif, tidak setara.
Adanya pemberian upah yang diskriminatif bagi pekerja perempuan ini disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu: masih tumbuh suburnya budaya patriarkhi yang dianut
sebagian besar masyarakat, konstruksi masyarakat perihal kodrat perempuan yang
disalahgunakan, ketidakseimbangan posisi ekonomi, adanya kepentingan
penguasa, dan ketidaktahuan berlakunya suatu hukum.
Ima Indra Dewi W. 2002. Implikasi Pasal 31 ayat (1) dan (3) jo Pasal 34 UU No 1
Tahun 1974 Terhadap Penerapan Kebijakan Di Bidang Ketenagakerjaan
bagi tenaga Kerja Perempuan pada Perusahaan Percetakan
Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-
Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya