Anda di halaman 1dari 21

KESETARAAN UPAH BAGI PEKERJA PEREMPUAN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM

(MAKALAH ETIKA BISNIS)

Oleh :
Silvia Ayu Nuraini 19754027

POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG


JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS PANGAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah etika bisnis
dengan judul “Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Perempuan Dalam Perspektif
Hukum”.

Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak dukungan dari berbagai


pihak melalui kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. Teguh Budi Trisnanto, M.Si selaku dosen pengampu pada matakuliah
Etika Bisnis.

Penulis menyusun makalah ini berdasarkan pada praktikum, dalam


pembuatan makalah ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang
bersangkutan dalam pembuatan makalah ini. Demi perbaikan makalah, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah
ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bandar Lampung, 4 Desember 2022

Silvia Ayu Nuraini


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peran aktif perempuan dalam kehidupan sosial maupun ekonomi telah dimulai
sejak dahulu. Banyak perempuan yang bekerja disektor informal (seperti petani,
pengrajin) dan formal (dalam perusahaan/industri) maupun sebagai ibu rumah
tangga. Akibat berkembangnya paham Liberalisme Adam Smith yang pokok
ajarannya “Laissez-fair, laissez-passer”, yang menentang segala bentuk campur
tangan pemerintah terhadap industri dan perdagangan, mengakibatkan terjadinya
proses industrialisasi besar-besaran di Inggris dan kemudian menyebar keseluruh
dunia. Penyebaran kebebasan dalam industri dan perdagangan tersebut juga
melanda Indonesia. Banyak kaum perempuan mengalami pergeseran mata
pencaharian dari sektor informal menuju sektor formal. Sebagian besar perempuan
menjadi buruh-buruh di pabrik atau perusahaan.

Peran pekerja-pekerja wanita dalam perusahaan membuat banyak perusahaan


dapat berkembang dengan pesat. Ketekunan, kerajinan, dan ketelitian kaum wanita
dalam bekerja memberikan andil yang cukup besar bagi hasil produksi perusahaan.
Seiring dengan berjalannya waktu, dalam kenyataan di lapangan ada ketimpangan
dalam sistem pengupahan pekerja. Dalam hal ini upah yang diterima oleh pekerja
perempuan rata-rata lebih kecil daripada pekerja laki-laki dengan jumlah jam kerja
yang sama.

Sebagian besar kaum pekerja perempuan belum menikmati penghargaan yang


sama dengan kaum laki-laki sesuai dengan apa yang telah disumbangkan pada
perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya bentuk diskriminasi terhadahap kaum
pekerja perempuan. Diskriminasi perempuan di tempat kerja menjadi suatu
persoalan penting yang perlu dikaji lebih dalam, karena pekerjaan adalah salah satu
hak hidup yang dimiliki setiap individu termasuk juga disini adalah perempuan.
Melalui pekerjaan tersebut, perempuan berhak secara bebas mengembangkan bakat
dan kemampuan yang dimiliki serta memperoleh penghargaan sesuai prestasi
masing-masing. Karena, pada dasarnya kesetaraan upah pekerja telah dilindungi
dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan, Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam hal ini
Negara menjamin adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja, baik dalam
hal jenis pekerjaan, penempatan jabatan dalam bekerja, hingga pemberian upah.

Ketidakadilan yang dialami oleh para pekerja perempuan telah dibahas


(Sudargo Gautama,2002), bahwa ketidakadilan tampak dalam hubungan kerja
antara pekerja wanita dengan pengusaha. Pembahasan yang serupa juga telah
dikemukakan oleh (Agnes Widanti, 2005) bahwa pekerja juga dituntut untuk harus
menaati hukum yang berlaku di pabrik secara ketat tetapi majikan sendiri banyak
melanggar hukum dengan tidak memberikan hak-hak buruh yang sudah dijamin
Undang-Undang termasuk dalam pengupahan. Dari ulasan yang telah dibahas oleh
para pakar, namun dalam hal ini belum dibahas secara lebih mendalam dikriminasi
pemberian upah dari perspektif hukum, baik dalam hukum internasional maupun
hukum positif Indonesia. Sehingga, dengan mengkaji secara lebih mendalam dari
perspektif hukum, dapat diketahui bagaimana seharusnya peran Negara dalam
mengupayakan kesetaraan upah bagi pekerja perempuan sebagai bentuk
pemenuhan kewajian Negara dalam melindungi hak asasi warga negaranya.

Makalah ini akan membahas secara berturut-turut tentang pemahaman


mengenai diskriminasi; penyebab adanya diskriminasi upah terhadap pekerja
perempuan; dan kajian sudut pandang hukum atas pengupahan yang diskriminatif
dengan didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Konvensi Internasional dan
Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan akan diakhiri dengan kesimpulan.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu

1. Memahami konsep diskriminasi


2. Mengetahui penyebab adanya diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan
3. Mengetahui kajian sudut pandang hokum atas pengupahan yang diskriminatif
dengan didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Konvensi Internasional
dan Undang-Undang Ketenagakerjaan
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pekerja
Pekerja adalah seseorang yang menjalankan pekerjaan untuk majikan dalam
hubungan kerja dengan menerima upah (Iman Soepomo 1976:33). Penjelasan
senada juga dikemukakan oleh G. Kartasapoetra (1986:17-18) bahwa yang
dimaksud dengan pekerja ialah para tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan,
dimana para tenaga kerja itu harus tunduk kepada perintah dan peraturan kerja yang
diadakan oleh pengusaha (majikan) yang bertanggung jawab atas lingkungan
pekerjaannya, untuk mana tenaga kerja itu akan memperoleh upah atau jaminan
hidup lainnya yang wajar. Pengertian pekerja banyak pula dijumpai dalam Undang-
Undang Kerja, Undang-Undang Perlindungan dan Keselamatan Kerja, Undang-
Undang Ketenagakerjaan serta beberapa Undang-Undang lainnya dimana buruh
dimaksudkan sebagai “tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, yang tunduk dan
berada di bawah perintah pengusaha, sesuai dengan peraturan kerja yang berlaku di
lingkungan pekerjaannnya.

2.2 Upah dan Kesetaraan Upah


Para pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan
kesepakatan kerja terdahulu akan mendapatkan upah. Istilah upah dalam Undang-
Undang Ketenagakerjan No 13 Tahun 2003 ialah hak pekerja / buruh yang diterima
dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi
kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk
tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan / atau jasa
yang telah atau akan dilakukan. Dalam Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951
istilah upah mencakup upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan pendapatan-
pendapatan lain apapun, yang dibayar secara langsung maupun tak langsung, secara
tunai maupundalam bentuk barang oleh majikan kepada pekerja terkait atas
pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja. Definisi Upah juga diartikan sebagai harga
untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan
seseorang atau badan hukum (Edwin B. Flippo 1987:75-76). Sedangkan menurut
G. Kartasapoetra (1986:94) yang dimaksud dengan upah ialah pembayaran atau
imbalan, yang wujudnya dapat bermacam-macam yang dilakukan atau diberikan
oleh seseorang atau kelembagaan atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja
dan prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah dilakukannya. Selanjutnya
secara sederhana upah merupakan pengganti jasa yang telah diserahkan atau
dikerahkan oleh seseorang kepada pihak lain/pengusaha (Abas Kustandi 1995:24).
Menurut Konvensi International Labour Organisation (ILO) No.100 dan Undang-
Undang No. 80 tahun 1957 mengatur tentang Upah yang setara dan Pengupahan
bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya. Namun
menurut data hasil penelitian ILO telah terjadi kesenjangan upah antar gender.
Kesenjangan upah antar gender didefinisikan sebagai perbedaan rata-rata
penghasilan kotor antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan. Perbedaan ini
terjadi ketika pekerja laki-laki dan pekerja perempuan menerima gaji dalam jumlah
yang berbeda. Kesenjangan upah antar gender sebanyak 17-22% berarti berarti
bahwa pekerja perempuan berpenghasilan lebih rendah daripada kolega pekerja
laki-laki mereka. Secara sederhana, kesenjangan upah antar gender adalah
kesenjangan antara apa yang didapatkan oleh pekerja laki-laki dan apa yang
didapatkan oleh pekerja perempuan. International Labour Organization (ILO)
menemukan masih ada kesenjangan upah antargender di Indonesia dengan selisih
hingga 19% pada tahun 2012, perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah
laki-laki, meskipun memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di
Indonesia, perempuan mewakili sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari
sepertiganya melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh,
yang cenderung memperoleh upah kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki.
Padahal upah yang diberikan kepada seseorang seharusnya sebanding dengan
kegiatan-kegiatan yang telah dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts)
tanpa perlu dibeda-bedakan antara perkerja laki-laki maupun perempuan (G.
Kartasapoetra 1986:94). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hardijan Rusli
(2011:75) bahwa setiap pekerja/buruh terutama perempuan berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu
mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar
dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.
2.3 Hukum positif Perburuhan Internasional dan Indonesia
1. Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi
Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama
Nilainya

Konferensi mengusulkan setiap Anggota, berdasarkan ketentuan-ketentuan


dalam Pasal 2 Konvensi ini, perlu menerapkan ketentuan-ketentuan berikut ini dan
memberikan laporannya kepada Kantor ILO sebagaimana yang diminta oleh Badan
Pimpinan mengenai tindakan-tindakan yang diambil untuk memberlakukan
ketentuan-ketentuan tersebut:

1. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan organisasi


pekerja terkait atau, apabila organisasi ini tidak ada, dengan pekerja terkait.

(a) untuk menjamin penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan
perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya bagi semua pegawai departemen
atau lembaga Pemerintahan pusat, dan

(b) untuk mendorong penerapan prinsip bagi pegawai departemen atau lembaga
pemerintahan di tingkat pusat, provinsi maupun lokal, dimana mereka
mempunyai wewenang untuk menentukan tingkat upah.

2. Tindakan yang tepat perlu dilakukan, setelah berkonsultasi dengan organisasi


pengusaha dan pekerja terkait, untuk menjamin, secepatnya mungkin, penerapan
prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang
sama nilainya di semua jabatan, selain dari yang telah disebutkan dalam Ayat 1,
dimana tingkat upah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
control publik, khususnya mengenai

(a) penetapan upah minimum atau upah lainnya di sektor industri dan jasa
dimana tingkat upah tersebut ditentukan oleh pejabat publik yang berwenang;

(b) industri dan perusahaan yang dioperasikan di bawah kepemilikan atau


kontrol publik; dan

(c) Bila mungkin, pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan kontrak publik.


3. (1) Apabila sesuai dengan metode-metode pengoperasian untuk menentukan
tingkat upah, maka ketentuan harus dibuat melalui penegakan hukum untuk
penerapan umum dari prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan
untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(2) Pejabat publik yang berkompeten harus melakukan segala tindakan yang
diperlukan dan tepat untuk menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah
sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum tersebut dan, bila mungkin,
diberi nasehat tentang penerapannya.

4. Apabila setelah berkonsultasi dengan organisasi pekerja dan pengusaha terkait,


bila ada, tidak dianggap layak untuk segera melaksanakan prinsip kesetaraan upah
bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, sesuai
dengan pekerjaan yang tercantum dalam Ayat 1, 2 atau 3, maka ketentuan yang
tepat harus dibuat atau diupayakan untuk dibuat sesegera mungkin, untuk
penerapannya secara progresif, melalui tindakan-tindakan berikut ini

(a) mengurangi perbedaan antara tingkat upah untuk pekerja laki-laki dengan
tingkat upah bagi pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya;

(b) dimana berlaku sistem kenaikan upah, memberikan kenaikan upah yang
setara bagi pekerja laki-laki dan perempuan yang melakukan pekerjaan yang
sama nilainya.

5. Bilamana mungkin untuk tujuan memfasilitasi penetapan tingkat atau pemberian


upah sesuai dengan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki dan perempuan
untuk pekerjaan yang sama nilainya, setiap Anggota, setelah disetujui oleh
organisasi pengusaha dan pekerja bersangkutan, harus menetapkan atau mendorong
penetapan metode untuk menilai secara objektif pekerjaan yang akan dilaksanakan,
baik melalui analisa kerja maupun melalui prosedur lain, untuk menyediakan
klasifikasi kerja tanpa memandang jenis kelamin; metode- metode ini harus
diterapkan sesuai dengan ketentuan- ketentuan Pasal 2 Konvensi ini.

6. Untuk memfasilitasi penerapan prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki-laki


dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, tindakan yang tepat harus
dilakukan, bila mungkin, untuk meningkatkan efisiensi produktif dari pekerja
perempuan melalui tindakan-tindakan seperti

(a) memastikan bahwa pekerja dari kedua jenis kelamin mendapatkan fasilitas
yang setara atau sebanding untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling
kerja, untuk pelatihan dan penempatan kerja;

(b) mengambil tindakan yang tepat untuk mendorong perempuan menggunakan


fasilitas untuk bimbingan pelatihan kerja atau konseling kerja, pelatihan dan
penempatan kerja;

(c) Menyediakan layanan sosial dan kesejahteraan yang dapat memenuhi


kebutuhan pekerja perempuan, khususnya mereka yang memiliki tanggung
jawab keluarga, dan Konvensi-konvensi ILO tentang Kesetaraan Gender di
Dunia Kerja mendanai layanan-layanan tersebut dari pendanaan masyarakat
umum atau dari dana jaminan sosial atau dana kesejahteraan industri yang
berasal dari pembayaran yang dilakukan oleh para pekerja tanpa memandang
jenis kelamin mereka; dan

(d) Mempromosikan kesetaraan di antara pekerja laki-laki dengan pekerja


perempuan dalam memperoleh akses ke jabatan dan posisi tertentu tanpa
melanggar ketentuan- ketentuan perundang-undangan internasional dan undang-
undang dan peraturan nasional yang terkait dengan upaya perlindungan
kesehatan dan kesejahteraan bagi perempuan.

7. Setiap upaya perlu dilakukan untuk mempromosikan pemahaman masyarakat


tentang alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah
bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat
dilaksanakan dengan baik.

2. Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi


Terhadap Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984
Pasal 11 huruf (d)

Hak untuk menerima upah yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik


untuk perlakuan yang sama sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai
yang sama maupun persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.
3. Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
Pasal 3

Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara


buruh perempuan dan buruh laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya.

4. Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003


Pasal 88 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi


penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

(2) Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan
kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Diskriminasi
Pemahaman mengenai diskriminasi dapat dilihat dari luas lingkupnya.
Dalam lingkup luas secara umum, diskrimininasi dipahami sebagai adanya
pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu. Pelayanan ini dibuat
berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Ketika seseorang
mengalami ketidakadilan atau pembedaan perlakuan yang didasarkan pada
karakteristik gender, ras, agama atau aliran politik tertentu, amaka dapat dikatakan
ia telah mengalami diskriminasi. Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang luas
ini mengartikan bahwa pembedaan perlakuan tersebut dapat dialami oleh siapa pun
tanpa melihat jenis kelaminnya baik laki-laki atau perempuan.

Pemahaman diskriminasi dalam lingkup yang lebih sempit, dapat dilihat


dalam Pasal 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan/CEDAW yang menentukan bahwa diskriminasi adalah, setiap
pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang
memepunyai pengaruh atas tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun
lainnya oleh kaum perempuan terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar
persamaaan antara laki-laki dan perempuan.

Dari batasan Pasal 1 tersebut diatas, jelas ada penyempitan lingkup


berlakunya diskriminasi, yaitu pembedaan yang dialami hanya oleh perempuan
karena jenis kelaminnya. Secara khusus konvensi ini melarang berbagai bentuk
diskriminasi terhadap perempuan dalam hal penikmatan atas hak social, politik,
budaya, sipil dan hak ekonomi, termasuk disini melarang dikriminasi dalam hal
pemberian upah ditempat kerja. Sebagai tindak lanjut dari konvensi ini, melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Dengan berlakunya Undang-
Undang No. 7 Tahun 1984 ini, Indonesia menjadi terikat untuk melaksanakan/
menjabarkan apa yang diterapkan dalam konvensi ini ke dalam berbagai peraturan
yang berlaku di Indonesia termasuk dalam bidang ketenagakerjaan.
3.2 Penyebab Adanya Diskriminasi Upah Terhadap Pekerja Perempuan
Berkaitan dengan penerapan pengupahan yang diskriminatif terhadap
pekerja perempuan dan laki-laki maka dapat dikemukakan beberapa factor yang
menyebabkan terjadinya hal tersebut.

1. Budaya patriarki

Apabila dicermati lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa alasan utama yang
dikemukakan oleh pengusaha dalam menentukan perbedaan kebijakan pengupahan
antara pekerja perempuan yang sudah menikah dibandingkan pekerja laki-laki
sebenarnya terpengaruh oleh budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar
daerah dan masyarakat Indonesia. Budaya Patriarki ini dikonsepkan sebagai sesuatu
yang berkaitan dengan sistem sosial dimana pria/ayah menguasai seluruh anggota
keluarganya, harta milik, segala sumber ekonomi serta pembuat semua keputusan
penting dan sejalan dengan sistem sosial tersebut adalah pria diposisikan lebih
tinggi dari perempuan . Budaya ini tidak jarang bersumber dari nilai-nilai sakral
keagamaan dan budaya komunitas, dan berkembang dan disosialisasikan melalui
pendidikan dalam keluarga di rumah. Adanya struktur komunitas yang seperti itu,
perempuan seakan ditempatkan pada posisi sub-ordinat dibandingkan dengan pria,
sehingga menyebabakan perempuan semakin dilemahkan kesetaraannya.
Perempuan hanya dianggap sebagai makhluk pelengkap kehidupan laki-laki dan
hanya cocok bekerja di ranah domestik dalam keluarga . Budaya ini berdampak
pada anggapan terhadap status laki-laki yang memikul tanggung jawab besar dalam
keluarga dan karenanya harus diberi kedudukan lebih tinggi atau istimewa
dibandingkan perempuan dalam hal ini adalah pekerja laki-laki dengan pekerja
perempuan. Sehingga, memunculkan berbagai bentuk pembedaan/diskriminasi.

Tragisnya perempuan yang bekerja kadang dianggap bahwa dia bekerja


hanya sekedar untuk membantu suami sebagai pencari naskah utama. Hal ini
tampak dari hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Imma Indra Dewi W tahun
2002 pada pekerja beberapa perusahaan percetakan di DIY dan DKI Jakarta. Dalam
penelitian tersebut terungkap pada umumnya pengusaha yang diteliti menyatakan
bahwa perempuan tidak berkedudukan sebagai kepala rumah tangga.
Konsekuensinya perempuan tidak mempunyai kewajiban untuk membiayai rumah
tangganya andai perempuan itu sudah menikah. Jadi hadirnya anak dalam rumah
tangga pembiayaannya merupaka tanggung jawab suaminya. Akibat pandangan
demikian pengusaha memutuskan menerapkan pemberian tunjangan yang berbeda
antara tenanga kerja laki-laki dan perempuan. (Ima Indra Dewi W, 2002). Hal ini
tentu merugikan pihak pekerja perempuan, terlebih bila pada keluarga tersebut istri
telah mengambil alih kewajiban suami sebagai pencari nafkah utama. Kondisi ini
terjadi karena seorang perempuan dianggap bukan pencari nafkah utama maka ia
tidak diberikan tunjangan sebagaimana pekerja laki-laki.

2. Penyalahgunaan kodrat perempuan

Alasan lain yang sering dijadikan alasan dasar pendiskriminasian antara pekerja
laki-laki dan perempuan adalah terutama perempuan yang sudah menikah dan
berprofesi sebagai pekerja akan lebih banyak mengambil cuti dibandingkan pekerja
laki-laki. Rasionya karena perempuan yang sudah menikah seketika akan hamil,
melahirkan dan menyusui. Hal ini akan menyebabkan pekerja perempuan lebih
banyak mengamnil cuti dari pada pekerja laki-laki. Kondisi demikian menurut
kacamata pengusaha dipandang tidak efisien dan cenderung merugikan perusahaan
dalam menjalankan proses produksi. Selain itu kodrat yang telah disandang
perempouan untuk hamil, melahirkan dan menyusui tersebut kadang dianggap
sebagai bukti otentik untuk mengukuhkan pandangan bahwa tugas perempuan
adalah mengurus masalah domestik rumah tangga.

3. Ketidakseimbangan posisi tawar kerja pekerja perempuan

Antara pengusaha dan pekerja biasanya terjadi ketidakseimbangan posisi ekonomi.


Pengusaha biasanya berada pada posisi ekonomi kuat sementara pekerja berada
pada posisi sebaliknya. Kondisi ini menyuebabkan ketidakseimbangan posisi tawar
antara pengusaha dengan pekerjanya, karena di satu sisi pekerja memerlukan biaya
untuk hidupnya dan keluarganya, sementara pengusaha merupakan pihak yang
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan tersebut melalui upah yang diberikan
pada pekerja.

Situasi ini diperparah dengan besarnya jumlah angkatan kerja, terutama perempuan,
yang membutuhkan pekerjaan di Indonesia tetapi belum tersalurkan. Sebagai
contoh jumlah penduduk di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan
hasil sensus penduduk tahun 2010 sebagai berikut: jumlah penduduk laki-laki
sebesar 1.708.910 jiwa dan perempuan sebanyak 1.748.581 jiwa . Artinya dari hasil
sensus tersebut dapat dikertahui bahwa jumlah penduduk perempuan lebih besar
dibanding penduduk laki-laki. Dalam kondisi seperti ini tidak mustahil jumlah
angkatan kerja yang tersedia pun menjadi lebih besar. Sayangnya besarnya jumlah
angkatan kerja perempuan ini tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang
tersedia.

Selain itu juga faktor pendidikan pekerja perempuan juga berpengaruh terhadap
posisi tawar perempuan. Mengutip hasil BPS tahun 2004, diketahui bahwa jumlah
lulusan SD perempuan hanya sekitar 20%, sedangkan pada tingkap SLTP jumlah
lulusan perempuan hanya sekitar 17%. Pada tingkat yang lebih tinggi yaitu SLTA
jumlah lulusan perempuan hanya sekitar 18,8% serta ditingkat perguuruan tinggi
hanya sekitar 8%. Semua jumlah persen tersebut berangkat dari total penduduk
perempuan berumur 15 tahun keatas menurut pendidikan tertinggi yang
ditamatkannya, yaitu sebanyak 1.288.425 jiwa. Sedangkan jumlah prosentase
kelulusan dari penduduk laki-laki yang berusia diatas 15 tahun kesemuanya
melebihi prosentase dari penduduk perempuan. Data diatas menunjukkan bahwa
masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan formal bagi laki-laki dan
perempuan.

Akibatnya posisi tawar seorang pekerja perempuan menjadi lebih rendah dibanding
pekerja laki-laki. Apalagi diperparah dengan anggapan pengusaha bahwa pekerja
perempuan lebih banyak mengambil cuti sehubungan dengan kodratnya sebagai
perempuan dan anggapan bahwa perempuan bukan sebagai kepala rumah tangga.
Hal ini menyebabkan pekerja perempuan menjadi semakin lemah kedudukannya
dibanding dengan pengusaha.

4. Kepentingan penguasa

Logikanya jika suatu ketentuan telah mendapatkan suatu pengaturan secara tegas
serta didalamnya telah dimuat sanksi bila tidak melaksanakan isis ketentuan
tersebut, maka pihak yang melakukan pelanggaran mendapat sanksi. Namun dalam
hal ini seolah-olah penguasa mengalami dilema untuk menegakkan berbagai
ketentuan perundangan ketenagakerjaan, terutama bidang pengupahan yang
berkeadilan jender. Pengusaha yang melanggar ketentuan tidak pernah mendapat
sanksi dari pejabat berwenang. Hal ini dapat dipahami karena dalam pelaksanaanya
masih banyak oknum dari pihak yang berwenang berperan sebagai pelindung.

Berkaitan dnegan pemberian upah undang-undang telah mengatur tentang sanksi


bagi pengusaha yang melakukan diskriminasi upah. Hal ini dapat dilihat pada Pasal
31 PP No 8 Tahun 1981 yang mengatur bahwa pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 3 PP No 8 Tahun 1981 tentang larangan diskriminasi upah terhadap pekerja
laki-laki dan perempuan dapat dikenai sanksi pidana kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Demikian pula pasal 190 UU No 13 Tahun 2003 ditegaskan bahwa bagi pengusaha
yang melanggar ketentuan Pasal 5 dan 6 tentang adanya larangan diskriminasi bagi
pekerja dapat dikenai sanksi administratif sebagai berikut:

a. teguran

b. peringatan tertulis

c. pembatasan kegiatan usaha

d. pembekuan kegiatan usaha

e. pembatalan persetujuan

f. pembatalan pendaftaran

g. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi

h. pencabutan ijin.

Namun adanya kepentingan penguasa maka sanksi-sanksi tersebut seolah hanya


berfungsi sebagai hiasan dalam undang-undang, karena tidak pernah dilaksanakan.

Di sisi lain berkaitan dengan sumber dana daerah maupun Negara, pengusaha
merpakan pemasok terbesar baik dari sudut pajak maupun dana tak terduga lainnya.
Faktanya dalam setiap kesempatan pengusaha seolah-olah berperan sebagai bank
tidak resmi yang “multifungsi” bagi penguasa. Di sisi lain pengusaha juga
menikmati fasilitas atas ke-“multifungsi”-annya terhadap penguasa. Akibatnya
pekerja, terutama pekerja perempuan sebagai pihak terlemah diantara pengusaha
dan penguasa harus menanggung penderitaan. Adanya kepentingan penguasa ini
tentu saja akan memberikan pertimbangan tersendiri bagi pihak yang terkait untuk
menjatuhkan sanksi pada pengusaha.

5. Ketidaktahuan berlakunya suatu hukum

Meskipun adanya suatu asa yang menyatakan bahwa setiap orang dianggap tahu
akan hukumnya, namun hal ini biasanya hanya merupakan suatu asas saja. Sesuai
dengan sifatnya yang dapat ditimpangi maka berkaitan dengan asas tersebut diatas
lebih banyak orang yang tidak mengetahui hukum yang mengaturnya. Di Indonesia
asas ini hanya berlaku bagi para pelaku hukum saja. Selain itu masyarakat kurang
memperdulikannya, sehingga ketika hak dan kewajibannya tidak terpenuhi mereka
tidak tahu bagaimana prosedur yang tepat untuk memperolehnya. Harusnya,
ketentuan hukum sebagai dasar pemberian upah terutama yang berkaitan dengan
perlindungan pekerja perempuan terhadap diskriminasi upah perlu diketahui oleh
pengusaha maupun para pekerja, sehingga benar-benar dipahami sistem
pengupahan yang berbasiskan pada keadilan jender.

3.3 Kajian Sudut Pandang Hukum Atas Pengupahan Yang Diskriminatif


Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut hukum,
apabila hukum tidak lagi pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat
disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus
dilaksanakan . Berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto
Rahardjo ini, merupakan suatu keharusan bahwa segala peraturan yang telah dibuat
harus diwujudnyatakan. Dari sinilah diperlukan peranan Negara sebagai penegak
hukum yang terdiri dari Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan, dan
juga Badan Peraturan Perundang-undangan. Dengan adanya penegak hukum, janji-
janji serta kehendak yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum dapat
diwujudkan.

Dengan adanya para penegak hukum maka praktek diskriminasi upah antara
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang terjadi di masyarakat seharusnya
tidak boleh lagi terjadi. Apalagi setelah diadopsinya Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan/CEDAW oleh Negara melalui Undang-
Undang No.7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Secara khusus dalam Pasal 11
huruf (d) konvensi ini memberikan hak kepada perempuan untuk menerima upah
yang sama, termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perlakuan yang sama
sehubungan dengan pekerjaan yang sama dengan nilai yang sama maupun
persamaan perlakuan dalam penilaian kualitas pekerjaan.

Tidak hanya Konvensi CEDAW, terdapat pula konvensi/ ketentuan yang


bersifat internasional yang memuat tentang penghapusan diskriminasi yakni,
Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-
Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya. Konvensi ILO ini
telah diratifikasi oleh Indonesia pada 11 Mei 1957 dengan Undang-Undang No.80
Tahun 1957. Itu artinya, setelah diratifikasi Undang-Undang tersebut dinyatakan
berlaku, dan sudah merupakan kewajiban dari Negara untuk melaksanakan
perannya. Dalam konvensi ini telah ditetapkan bahwa Negara perlu menerapkan
ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini dan memberikan laporannya kepada
Kantor perwakilan ILO di Indonesia. Secara garis besar, dalam Kovensi ILO
No.100 ditentukan bagaimana seharusnya peran Negara dalam mewujudkan
kesetaraan upah pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang
sama nilainya, yaitu: 1) Negara menjamin menjamin penerapan prinsip kesetaraan
upah dengan mengadakan koordinasi dengan lembaga terkait dan sedemikian rupa
dibuat hukumnya; 2) Negara menjamin bahwa pengusaha dan pekerja telah
sepenuhnya diberitahu tentang persyaratan hukum tersebut dan diberi nasehat
tentang penerapannya; 3) Negara mempromosikan pemahaman masyarakat tentang
alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar prinsip kesetaraan upah bagi
pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya dapat
dilaksanakan dengan baik.

Dalam ketentuan hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan kesetaraan


upah juga diatur dalam Pasal 88 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2003. Dalam ayatnya yang pertama dinyatakan bahwa setiap pekerja
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, dilanjutkan pada ayat berikutnya bahwa untuk mewujudkan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan
pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.

Dengan demikian dari beberapa ketentuan yang telah mengatur terdapat hak
dasar pekerja perempuan yang bagi negara harus mutlak melindunginya. Hak yang
dimaksud ialah hak akan upah setara untuk pekerjaan yang sama. Pemenuhan hak
upah ini bukanlah suatu hal yang mustahil dipenuhi, sebab sampai saat ini telah
banyak aturan hukum yang digunakan sebagai dasarnya. Mulai dari Pasal 11
CEDAW yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan, Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah
Bagi Pekerja Laki-Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya
yang telah diratifikasi dalam Undang-Undang No.80 Tahun 1957, Pasal 88 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, hingga Pasal 38
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun dapat
digunakan sebagai rujukannya.

Meskipun demikian, pelaksanaan akan ketentuan hukum yang telah dibuat


belum sepenuhnya dapat terlaksana sampai saat ini. Menurut hasil penelitian
International Labour Organization (ILO) menemukan masih ada kesenjangan upah
antargender di Indonesia dengan selisih hingga 19% pada tahun 2012, dimana
perempuan memperoleh upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun memiliki
tingkat pendidikan dan pengalaman yang sama. Di Indonesia, perempuan mewakili
sekitar 38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya melakukan pekerjaan
“tradisional”, seperti mengajar dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah
kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki. Padahal upah yang diberikan
kepada seseorang seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang telah
dikeluarkan/ dikerahkannya (activities or efforts) tanpa perlu dibeda-bedakan
antara perkerja laki-laki maupun perempuan. Setiap pekerja terutama perempuan
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan
keluarganya secara wajar dengan memperhatikan prinsip kesetaraan.
IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Citra perempuan di mata masyarakat tidak terlepas dari peranan wanita
sendiri dalam kehidupan kesehariannya. Seringkali wanita menanggung beban baik
fisik, maupun mental. Tuntutan jaman industrial telah memaksa wanita ikut bekerja
di pabrik-pabrik. Bahkan mereka lebih disenangi dari pada buruh laki-laki. Sebab
wanita lebih menurut, sabar, takut, dan diberi upah yang diskriminatif, tidak setara.
Adanya pemberian upah yang diskriminatif bagi pekerja perempuan ini disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu: masih tumbuh suburnya budaya patriarkhi yang dianut
sebagian besar masyarakat, konstruksi masyarakat perihal kodrat perempuan yang
disalahgunakan, ketidakseimbangan posisi ekonomi, adanya kepentingan
penguasa, dan ketidaktahuan berlakunya suatu hukum.

Dalam hal ini fungsi Negara untuk memberikan pelindungan melalui


berbagai pengaturan telah berjalan. Berbagai Konvensi Internasional mengenai
kesetaraan upah pekerja dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
(CEDAW), serta Undang-undang Ketenagakerjaan sebenarnya sudah mengatur
adanya kesetaran upah bagi pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk
pekerjaan yang sama nilainya. Meskipun telah ada pengaturan maupun sanksi yang
telah ditentukan, tidak serta merta ketimpangan tersebut dapat teratasi. Dalam
pelaksanaan di lapangan, upaya Negara untuk menekan adanya tidakan pemberian
upah yang diskriminatif belum terwujud. Hak warganya (khususnya perempuan)
untuk mendapatkan upah yang setara tidak didapatkan sepenuhnya.

Oleh karena dalam praktik dilapangan masih menimbulkan ketimpangan,


hukum yang telah dibuat harus dijalankan sebagaimana mestinya. Negara dituntut
untuk lebih berperan dalam menekan pemberian upah diskriminatif terhadap
pekerja perempuan. Dalam hal ini Negara harus benar-benar menjalankan perannya
sesuai dengan ketentuan perundangan yang telah dibuatnya, terutama karena
Negara telah menundukkan diri terhadap ketentuan internasional dengan
meratifikasi ketentuan tersebut. Negara perlu mengadakan koordinasi yang baik
dengan lembaga dibawahnya untuk melakukan sosialisasi hukum kepada
masyarakat. Dengan adanya sosialisasi mengenai bangaimana persyaratan hukum
itu mengatur, dapat diharapkan para pengusaha menjadi lebih tahu dan memahami
apa kewajibannya dan pekerja telah sepenuhnya tahu tentang hak-hak yang
seharusnya ia dapatkan. Selain itu, Negara perlu berperan untuk mempromosikan
pemahaman masyarakat tentang alasan-alasan yang harus dipertimbangkan agar
prinsip kesetaraan upah bagi pekerja laki- laki dan perempuan untuk pekerjaan yang
sama nilainya dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian, peranan hukum
dalam pembangunan ekonomi dapat terlaksana. Dapat membawa masyarakat yang
ada menjadi masyarakat yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Kartasapoetra, G. 1986. Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar. Penerbit


Angkasa: Bandung
Kustandi, Abas. 1995. Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Alumni:
Bandung.

Rahardjo, Satjipto.2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta


Publishing: Yogyakarta

Rusli, Hardijan. 2011. Hukum Ketenagakerjaan . Ghalia Indonesia: Bogor

Soedijana. 2012. Ekonomi Pembangunan Indonesia, Penerbit Universitas Atma


Jaya Yogyakarta: Yogyakarta

Soepomo,Iman. 1976. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Rineka


Cipta : Jakarta

Ima Indra Dewi W. 2002. Implikasi Pasal 31 ayat (1) dan (3) jo Pasal 34 UU No 1
Tahun 1974 Terhadap Penerapan Kebijakan Di Bidang Ketenagakerjaan
bagi tenaga Kerja Perempuan pada Perusahaan Percetakan

Konvensi ILO No 100 tahun 1951 Tentang Kesetaraan Upah Bagi Pekerja Laki-
Laki Dan Perempuan Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya

Konvensi PBB Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap


Perempuan yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 1984

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

Surat Edaran Menakertrans No SE-01/MEN/1982 Tentang Petunjuk Pelaksanaan


PP No 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai