Anda di halaman 1dari 33

TUGAS ILMU HUKUM

KEKOSONGAN ATURAN PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM


RANGKA PERLINDUNGAN PEKERJA

EMPLOYEE RULES OF HOUSEHOLD WORKERS IN THE FRAMEWORK OF


PROTECTION OF WORKERS

ALFIN RAHARDIAN SOFYAN


NIM. 170720101005

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
MAGISTER ILMU HUKUM
2017

i
HALAMAN SAMPUL DEPAN ....................................................................... i
HALAMAN DAFTAR ISI ................................................................................ii
HALABAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 7
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 8
2.1 Kekosongan aturan hukum yang khusus mengatur
tentang pembantu rumah tangga tidak bertentangan
dengan hak konstitusional pekerja rumah tangga..............................8
2.2 Upaya hukum yang dapat dilakukan jika pekerja rumah
tangga dirugikan hak-haknya sebagai pekerja oleh
majikan ............................................................................................15

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 28


3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 28
3.2 Saran ................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 27 Ayat
(2), mengatur tentang “Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan yang dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, dan Pasal 28 D Ayat (2) “ Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja”. Ketentuan Konstitusional tersebut menunjukkan
bahwa pekerja rumah tangga sebagai warga negara berhak uintuk memperoleh
perlindungan dalam melakukan pekerjaan guna mencapai kesejahteraan
hidupnya.Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (yang selanjutnya disebut Undang-Undang
Ketenagakerjaan), “Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”Bekerja dapat dilakukan dengan
membuka usaha sendiri maupun bekerja dengan orang lain. Bekerja pada orang
lain dapat diartikan orang tersebut bekerja di luar hubungan kerja (yang meliputi
swapekerja/wiraswasta) dan mereka yang bekerja di dalam hubungan kerja.
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
menentukan bahwa “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah”. Dasar lahirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan
pekerja adalah perjanjian kerja. Ketentuan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 menentukan bahwa “Perjanjian kerja adalah perjanjian
antara pekerja/atau buruh denganpengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak”.1

1
Abdulkadir Muhammad, 2006 , Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
(selanjutnya Abdulkadir Muhammad I), hlm.4.

1
2

Perlindungan hukum dari kekuasaan pengusaha atau majikan terlaksana apabila


peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau
memaksa majikan seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar
dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara
yuridis saja tetapi juga diukur secara sosiologis dan filosofis.2
Perlindungan kepentingan dengan caramemberikan hak akan lebih kuat
apabilaterhadap subyek yang kepadanya hak diberikanjuga dilengkapi dengan upaya-
upaya hukum(legal remedies) untuk mempertahankanhaknya. Artinya hukum
memberikan hakkepada entitas hukum untuk mengontrolpelaksanaan kewajiban oleh
pihak lain dalammemenuhi hak-hak mereka. Dalam upayaperlindungan hukum ini,
“Intervensipemerintah terwujud lewat kebijakan danhukum perburuhan yang tertuang
dalamberbagai Peraturan Perundang-Undangan”.Kemudian lewat Perundang-
Undangan inidiletakkan serangkaian hak, kewajiban dantanggung jawab kepada
masing-masing pihak,bahkan di antaranya disertai dengan sanksipidana dan denda.3
Perlindungan hukumterhadap pekerja/buruh dilakukan agar hak-
hakpekerja/buruh tidak dilanggar oleh majikan,mengingat dalam hubungan
kerjakedudukan/posisi para pihak tidak sejajar. Dimana pekerja/buruh berada pada
posisi yanglemah baik dari segi ekonomi maupun sosial,sehingga dengan posisinya
yang lemah tersebuttidak jarang terjadi pelanggaran atas hak-hakmereka.Oleh karena
itu, sebagaimanaditetapkan dalam Pasal 4 Undang UndangRepublik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003tentang ketenagakerjaan bahwa pembangunan ketenagakerjaan
bertujuan untukmemberdayakandan mendayagunakantenaga kerja secara optimal dan
manusiawi, mewujudkan pemerataan kesempatan kerjadan penyediaan tenaga kerja
yang sesuaidengan kebutuhan pembangunan nasionalpusat dan daerah, memberikan
perlindungan bagi tenaga kerjadalam mewujudkan kesejahteraan meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerjadan keluarganya.

2
Asri Wijayanti, 2014, Hukum ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Cet IV , Sinar Grafika, Jakarta,
hlm 4.
3
Ibid, Hal 59
3

Pekerja Rumah Tangga merupakan sektor yang penting dan memegang peran
strategis dalam mendukung perkembangan ekonomi Indonesia.Diumpamakan
semakin berkembang perekonomian, maka lapangan kerja semakin terbuka. Semakin
terbukanya lapangan kerja, maka meningkat pula kebutuhan akan orang yang
membantu dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak,
membersihkan rumah, merapikan perabot rumah, mencuci pakaian, seterika pakaian,
merawat anak dan orang tua, dan lain-lain.
Hubungan hukum antara Pekerja Rumah Tangga dengan Majikan perlu
mendapat perhatian khusus oleh Pemerintah, karena pola yang diterapkan biasanya
hubungan ini tidak ekslusif seperti Pekerja pada umumnya.Sikap Pekerja rumah
tangga maupun majikan menganggap hubungan seperti keluarga sendiri.Sedangkan
pekerjaan rumah tangga ini seringkali dianggap murahan disebut sebagai pembantu.
Sebagian besar pekerja rumah tangga tinggal di dalam rumah orang yang
mempekerjakan (majikan), yang berarti pada pola hubungan yang terjadi mereka
bekerja dan hidup tertutup dari pandangan publik.Pada pola hubungan yang terjadi
sedemikian yakno tinggal dan hidup di rumah majikan, ini bisa menguntungkan
pekerja rumah tangga apabila segala keperluan hidupnya ditanggung oleh sang
majikan, namun terkadang juga sangat merugikan pekerja tersebut apabila mereka
bekerja dengan tanpa batas waktu karena selama seharian penuh hidup bersama
majikan, bahkan terkadang upah mereka tidak dibayarkan.
Salah satu kewajiban pemberi kerja/majikan adalah memberikan upah dan
kesejahteraan yang layak bagi yang dipekerjakan/pekerja rumah tangga.Sementara
untuk mereka yang dipekerjakan wajib bekerja secara optimal guna kepuasan
pemberi kerja/majikan. Terciptanya hubungan yang harmonis antara pekerja dan
pemberi kerja pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tujuan para pihak dalam
melakukan hubungan kerja tersebut, yang tentunya akan saling menguntungkan baik
pekerja rumah tangga, pemberi kerja/majikan maupun keluarganya. Dengan demikian
untuk menciptakan pola hubungan yang baik maka kedua belah pihak harus memiliki
4

rasa tanggung jawab dan rasa kebersamaan dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya.
Pada kondisi dan aspek-aspek yang lain pekerja rumah tangga terkadang
mengalami permasalahan akibat hidup dan tinggal bersama majikan, karena pekerja
rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan informal. Sementara undang-undang
ketenagakerjaan nasional dan peraturan pemerintah yang mengatur perlindungan
pekerja hanya mengatur pekerja formal.Akibatnya pekerja rumah tangga tidak hanya
mendapatkan gaji rendah, dan beban kerja yang berat dan nantinya juga
menyebabkan sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan di tempat kerja
mereka, karena ketiadaan aturan yang jelas tentang pekerja rumah tangga.
Pekerja Rumah Tangga berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada buruh
pada umumnya.Hal ini dikarenakan tidak ada ketentuan hukum yang memuat standar
kerja para Pekerja Rumah Tangga.Akibatnya Pekerja Rumah Tangga bekerja tanpa
batasan deskripsi kerja, tanpa batasan jam kerja, tanpa standar upah yang jelas, tidak
ada hari libur dan tidak ada perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga yang
mengalami kekerasan maupun kecelakaan kerja.Padahal keberadaan Pekerja Rumah
Tangga menopang perekonomian keluarga dan negara.4
Penasihat teknis Nasional Promote Organisasi Ketenagakerjaan Dunia (ILO)
Arum Ratnawati menyatakan, ketiadaan regulasi yang jelas bagi pekerja rumah
tangga menyebabkan mereka rentan terhadap kekerasan, pelanggaran hukum dan
pelecehan, padahal sekitar 10,7 juta jiwa penduduk Indonesia bekerja sebagai pekerja
rumah tangga. Buruknya situasi pekerja rumah tangga karena sebagian besar tidak
memiliki kontrak tertulis dengan majikan membuat mereka bekerja tanpa aturan dan
jam kerja yang jelas. Data ILO menunjukkan 45 persen pekerja rumah tangga tidak
memiliki hari libur yang cukup, dan sebanyak 50 persen tidak memiliki jam kerja
yang normal.Pekerja rumah tangga juga belum terorganisir dalam suatu wadah seperti
sarekat sehingga sulit mendapat akses perlindungan hukum.5

4
ELSAM, 2011, Buruh TIdak Untuk Dijual, Litbang LBH Jakarta, Pusat Dokumentasi Elsam, hlm. 2.
5

Secara sosial dan politis berimplikasi pada hubungan kerja dan perlindungan
hukum bagi Pekerja Rumah Tangga itu sendiri.6Sekitar 10.744.887 orang Pekerja
Rumah Tangga berada dalam posisi rentan terhadap eksplotasi, kekerasan fisik, psikis
dan seksual, yang dilakukan oleh majikan maupun agen penyalur. 7 Maka dari itu
memposisikan pola hubungan yang jelas antara pekerja rumah tangga dengan majikan
nantinya akan memberikan dampak terhadap perlindungan hukum pekerja rumah
tangga dengan majikan.
Praktik hubungan Kerja Pekerja Rumah Tangga denga majikan dalam
realitasnya memang berbeda dengan hubungan kerja pada umumnya.Pada pola
hubungan kerja Pekerja Rumah Tangga-majikan bersifat semi-formal, artinya
disamping berorientasi pada tugas, juga bersifat kekeluargaan, sehingga dalam
menentukan lingkup pekerjaan, pelaksanaan perintah maupun penentuan Upah jarang
dituangkan dalam Perjanjian Kerja (tertulis) layaknya hubungan hukum yang
bercirikan hubungan kerja yang manusiawi. Dalam ilmu hukum, adanya suatu
hubungan yang demikian disebut sebagai hubungan hibridisyakni karena pada pola
hubungan ini tidak semata-mata dimaksudkan sebagai hubungan hukum, yang
mempunyai akibat hukum melainkan juga lebih mengedepankan hubungan yang
bersifat kekeluargaan.8 Mekanisme kontrol yang menonjol dalam hubungan demikian
adalah norma-norma sosial dan norma hukum kurang diprioritaskan oleh para pihak,
karena bagi kedua belah pihak yang terpenting adalah hubungan kerja berjalan
sebagaimana mestinya.9 Prinsip no work no pay dalam hubungan ini, tidak secara

5
http://.tempo.co/read/news/2013/09/02/17/10,7juta-PRTbekerjatanpa perlindungan, diakses Senin,
30 Oktober 2017.
6
Triana Sofiani, Rita Rahmawati dan Shinta Dewi Rismawati, Membangun Konsep Ideal Hubungan
Kerja Antara Pekerja Rumah Tangga Dan Majikan Berbasis Hak-Hak Buruh Dalam Islam,
Conference Procedings, Annual International conference on Islamic Studies (AICIS XII) hlm. 2381.
7
Okky Asokawati, “Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak PRT Dalam RUU Tentang Perlindungan
PRT”, makalah Disampaikan dalam Diskusi Media “Kerja Layak Bagi PRT” -Komnas Perempuan ,
2011.
8
Endriana Noerdin, “Situasi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia”, dalam Bunga Rampai Potret
Kemiskinan Perempuan, Jakarta: Women Research Institute:, 2006 hlm. 151.
9
Ibid.
6

ketat diberlakukan manakala Pekerja Rumah Tangga tidak mengerjakan pekerjaan


karena berbagai alasan seperti pamit pulang kampung melampaui waktu yang telah
disepakati dan bahkan sering tanpa kabar. Sebaliknya, Pekerja Rumah Tangga juga
harus bekerja tanpa mengenal batas waktu kerja dengan imbalan yang tidak sepadan.
Kedua pihak, juga menanggung berbagai kemungkinan resiko yang seringkali tidak
ada ketentuan hukumnya, seperti ketika Pekerja Rumah Tangga merusak barang
milik majikan, pertanggungjawaban hukum seringkali tidak diminta atau seringkali
majikan justru melepaskan haknya untuk menuntut pertanggungjawaban. Sebaliknya
ketika Pekerja Rumah Tangga mendapat perlakuan yang tidak manusiawi seperti
kekerasan, ketidakadilan dan eksploitasi, juga tidak melakukan tindakan apapun,
kecuali diam, ikhlas, menceritakan kepada teman, keluarga di kampung atau jalan
terakhir yang dilakukan kebanyakan keluar dari pekerjaannya, pulang kampung.
Meskipun pola hubungan kerja Pekerja Rumah Tangga -majikan dalam realitasnya
demikian, namun secara teoretik dapat dijelaskan bahwa, hubungan Pekerja Rumah
Tangga-majikan hakekatnya dapat dikualifikasikan sebagai hubungan kerja dan
Pekerja Rumah Tangga secara jelas dapat dikategorisasikan sebagai pekerja.
Aspek hukum ketenagakerjaan harus selarasdengan perkembangan
ketenagakerjaan saat iniyang sudah sedemikian pesat, sehinggasubstansi kajian
hukum ketenagakerjaan tidakhanya meliputi hubungan kerja semata akantetapi telah
bergeser menjadi hubungan hukumantara pekerja dan majikan yang mana masih
banyak permasalahan yang belum tuntas terhadap keadaan aturan pekerja rumah
tangga.
Berdasar uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji dan menganalisa
secara mendalam, selanjutnya diaplikasikan dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk
skripsi dengan judul: “Kekosongan Aturan Pekerja Rumah Tangga Dalam
Rangka Perlindungan Pekerja”.

1.2 Rumusan Masalah


7

Berdasar uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan


sebagai berikut:
1. Apakah kekosongan aturan hukum yang khusus mengatur tentang pembantu
rumah tangga tidak bertentangan dengan hak konstitusional pekerja rumah
tangga?
2. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan jika pekerja rumah tangga
dirugikan hak -haknya sebagai pekerja oleh majikan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kekosongan Aturan Hukum yang Khusus Mengatur tentang Pembantu


Rumah Tangga Tidak Bertentangan dengan Hak Konstitusional Pekerja
Rumah Tangga
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan secara alamiah memiliki kebutuhan
dalam kehidupannya, baik kebutuhan yang bersifat primer maupun kebutuhan yang
bersifat sekunder. Berbagai upaya dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan itu.
Salah satunya adalah bekerja pada orang lain, dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga. Hal ini akan melahirkan hubungan hukum antara pemberi kerja dan
penerima kerja yang menimbulkan hak dan kewajiban para pihak agar tercapai tujuan
yang diharapkan. Hubungan ini idealnya merupakan suatu hubungan yang harmonis
dan terjalin dengan baik untuk tercapainya tujuan dan kehendak yang diinginkan dan
kepuasaan yang maksimal. Awalnya orang yang melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga untuk memenuhi permintaan orang lain disebut pembantu rumah
tangga, namun dalam perkembangannya istilah pembantu rumah tangga berubah
menjadi pekerja rumah tangga.
Di dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39),
dijelaskan beberapa pengertian ketenagakerjaan antara lain adalah : “tenaga kerja,
adalah setiap orang guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun masyarakat; pekerja/buruh adalah setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain; sedangkan pemberi
kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya
yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lainnya. Berdasarkan definisi tersebut istilah pembantu rumah tangga bisa
dipakai istilah pekerja rumah tangga, yaitu tenaga kerja yang bekerja dengan

8
9

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan orang yang
mempekerjakan adalah pemberi kerja yang sehari-hari juga dikenal dengan istilah
majikan.10
Sejalan dengan perkembangan reformasi saat ini, setiap upaya yang
menempatkan kaum pekerja pada posisi yang tidak menguntungkan berarti akan
menciptakan hubungan yang tidak selaras. Oleh karena itu, idealnya antara pemberi
kerja/pengusaha dan penerima kerja/pekerja rumah tangga mengarahkan
hubungannya pada hubungan kemitraan, sehingga para pihak dapat melaksanakan
hak dan kewajibannya secara seimbang dan mandiri.
Pekerja Rumah Tangga merupakan sektor yang penting dan memegang peran
strategis dalam mendukung perkembangan ekonomi Indonesia. Semakin
berkembangnya perekonomian, maka lapangan kerja semakin terbuka. Semakin
terbukanya lapangan kerja, maka meningkat pula kebutuhan akan orang yang
membantu dalam melakukan pekerjaan- pekerjaan rumah tangga seperti memasak,
membersihkan rumah, merapikan perabot rumah, mencuci pakaian, seterika pakaian,
merawat anak dan orang tua, dan lain-lain.
Setiap perempuan warga negara Indonesia memiliki hak konstitusional yang
sama dengan warga negara Indonesia yang laki-laki, yakni hak atas status
kewarganegaraan; hak atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya; hak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang; hak untuk mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan pendidikan, dan memperoleh
10
Secara Normatif istilah ketenagakerjaan bisa bermakna tempat kerja, pekerja/buruh, sedangkan
pemberi kerja dapat bermakna perorangan, pengusaha, badan hukum atau dalam penulisan ini disebut
Majikan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah “Pekerja Rumah Tangga” yang merupakan
istilah bagi tenaga kerja yang bekerja dalam ruang lingkup rumah tangga. Penggunaan istilah ini
mengacu pada istilah yang digunakan dalam Peraturan Gubernur Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun 2010 Tentang Pekerja
Rumah Tangga. Istilah ini juga merupakan terjemahan dari istilah Pramuwisma, Domestic Workers
yang digunakan oleh ILO. Istilah Pekerja Rumah Tangga menurut peneliti lebih manusiawi dari istilah
Pembantu atau Babu yang sering digunakan oleh masyarakat awam. Istilah Pembantu atau Babu
berkonotasi negatif karena mengandung image budak, atau jenis pekerjaan yang tidak terhormat.
10

manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya; hak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
bermartabat; hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial; hak mendapat pendidikan; hak atas
kemerdekaan pikiran dan hati nurani; hak atas kebebasan meyakini kepercayaan; hak
untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; hak untuk bebas
memilih pendidikan, pengajaran, pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal; hak
atas kebebasan berserikat dan berkumpul; hak untuk menyatakan pikiran dan sikap
sesuai hati nurani; hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia; hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; hak
untuk bekerja dan memperoleh imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja; hak untuk tidak diperbudak; hak untuk mempunyai hak milik
pribadi; hak untuk bertempat tinggal; hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin; hak
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat; hak untuk memperoleh
layanan kesehatan; hak untuk membentuk keluarga; hak atas pengakuan, jaminan dan
perlindungan dan kepastian hukum yang adil; hak bebas dari ancaman, diskriminasi
dan kekerasan; hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat
dan harta benda yang di bawah kekuasaannya; hak untuk memajukan dirinya dan
memperjuangkan haknya secara kolektif dan hak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat.11
Perempuan juga memiliki hak untuk tidak diperlakukan secara diskriminatif karena
statusnya sebagai perempuan ataupun dasar pembedaan lainnya.
Konstitusi Indonesia, Pasal 27 dan 28 I ayat (2) memuat dan menegaskan
prinsip bebas dari diskriminasi. Prinsip Non Diskriminasi, bersama dengan
kesetaraan di depan hukum dan perlindungan yang sama tanpa adanya diskriminasi
merupakan prinsip dasar dan umum sehubungan dengan perlindungan hak asasi
manusia.
11
ELSAM, 2011, Buruh TIdak Untuk Dijual, Litbang LBH Jakarta, Pusat Dokumentasi Elsam, hlm. 2
11

Perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional warga negara harus


dilakukan sesuai dengan kondisi warga negara yang beragam. Realitas masyarakat
Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kemampuan untuk mengakses
perlindungan dan pemenuhan hak yang diberikan oleh negara. Perbedaan kemampuan
tersebut bukan atas kehendak sendiri kelompok tertentu, tetapi karena struktur sosial
yang berkembang cenderng meminggirkannya.13 Sehingga sangat tepat kemudian
pada Pasal 28 H ayat (2), Konstitusi juga menjamin hak atas kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan. Kemudahan dan perlakuan khusus ini adalah
bagian dari langkah korektif dan bersifat sementara, yaitu sampai persamaan dan
keadilan tercapai.12
Pola hubungan hukum antara Pekerja Rumah Tangga dengan Majikan perlu
mendapat perhatian khusus oleh Pemerintah, karena biasanya hubungan ini tidak
ekslusif seperti Pekerja pada umumnya. Sikap Pekerja rumah tangga maupun majikan
menganggap hubungan seperti keluarga sendiri. Sedangkan pekerjaan rumah tangga
ini seringkali dianggap murahan atau gensi disebut sebagai pembantu.
Sebagian besar pekerja rumah tangga tinggal di dalam rumah orang yang
mempekerjakan (majikan), yang berarti mereka bekerja dan hidup tertutup dari
pandangan publik. Oleh karena mereka tinggal dan hidup di rumah majikan, ini bisa
menguntungkan pekerja rumah tangga apabila segala keperluan hidupnya ditanggung
oleh sang majikan, namun terkadang juga sangat merugikan pekerja tersebut apabila
mereka bekerja dengan tanpa batas waktu karena selama duapuluh empat jam hidup
bersama majikan, bahkan terkadang upah mereka tidak dibayarkan.
12
Pertimbangan yang mendasari Perda Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tersebut antara lain :
banyaknya kasus-kasus yang menimpa pekerja rumah tangga terutama kasus kekerasan yang berakhir
pada kematian; perlunya mengatur secara jelas sistem kerja Pekerja Rumah Tangga (PRT); minimnya
perlindungan terhadap pekerja Pekerja Rumah Tangga terutama mengenai hak dan kewajiban; selama
ini pekerja rumah tangga kurang mendapat perlindungan hak hak asasi; keberadaan Pekerja Rumah
Tangga harus diakomodasi dalam Undang Undang agar fropesi Pekerja Rumah Tangga mendapat
kepastian hukum; Bahwa selama ini Pekerja Rumah Tangga belum dikategorikan sebagai salah satu
tenaga kerja formal; belum ada undang undang yang secara tehnis mengatur sistem kerja Pekerja
Rumah Tangga.
12

Salah satu kewajiban pemberi kerja/majikan adalah memberikan upah dan


kesejahteraan yang layak bagi yang dipekerjakan/pekerja rumah tangga. Sementara
yang dipekerjakan wajib bekerja secara optimal guna kepuasan pemberi
kerja/majikan. Terciptanya hubungan yang harmonis antara pekerja dan pemberi
kerja pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tujuan para pihak dalam melakukan
hubungan kerja tersebut, yang tentunya akan saling menguntungkan baik pekerja
rumah tangga, pemberi kerja/majikan maupun keluarganya. Dengan demikian untuk
menciptakan hubungan yang baik maka kedua belah pihak harus memiliki rasa
tanggung jawab dan rasa kebersamaan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Pekerja rumah tangga terkadang mengalami permasalahan akibat hidup dan
tinggal bersama majikan, karena pekerja rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan
informal. Sementara undang-undang ketenagakerjaan nasional dan peraturan
pemerintah yang mengatur perlindungan pekerja hanya mengatur pekerja formal.
Akibatnya pekerja rumah tangga tidak hanya mendapatkan gaji rendah, dan beban
kerja yang berat, tapi sangat rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan di tempat kerja
mereka, karena ketiadaan aturan yang jelas tentang pekerja rumah tangga.
Sebagai langkah penting untuk melindungi upah pekerja rumah tangga,
sejumlah negara telah menetapkan persyaratan kontrak kerja tertulis atau pernyataan
keterangan tertulis, meliputi jam kerja normal, persyaratan lembur; pengupahan,
termasuk pembayaran dengan barang, jika ada; pemotongan yang disepakati; dan
jangka waktu upah dan metode pembayaran. Membuat model kontrak yang tersedia
untuk pengusaha dan pekerja merupakan salah satu metode untuk memfasilitasi
kepatuhan terhadap persyaratan semacam itu. Formalisasi hubungan kerja sedemikian
rupa membantu dalam memperjelas kewajiban majikan, menginformasikan kepada
pekerja hak-haknya berkenaan dengan upah, dan dapat berfungsi sebagai bukti dalam
kasus perselisihan.
Hubungan hukum yang terjadi antara pekerja rumah tangga dengan pemberi
kerja sebagai suatu perikatan yang lahir dari perjanjian, sehingga jika tidak ada
13

kejelasan bentuk hubungan hukum ketenagakerjaan antara pekerja rumah tangga dan
tidak adanya aturan yang jelas tentang pekerja rumah tangga, maka rawan untuk
terjadi perselisihan antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan yang berada dalam
satu atap.
Penelitian yang dilakukan oleh Rumpun Gema Perempuan (RGP), dan
Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND) yang bekerjasama dengan International Labour
Organisation (ILO), pada tahun 2008 menunjukkan bahwa pekerja rumah tangga
didominasi oleh perempuan, dengan alasan melakukan pekerjaan rumah tangga
adalah; membantu ekonomi orangtua dan membiayai adik atau anak sekolah,
dorongan teman-teman, ikut-ikutan, dan memang karena tidak ada pekerja. 13 Secara
internasional standar ketenagakerjaan untuk pekerja rumah tangga cukup
mendapatkan perhatian, ILO pada tahun 2008 merekomendasikan konvensi
ketenagakerjaan internasional dengan dasar pemikiran :14
1. Pekerja rumah tangga tidak terlindungi, dikecualikan dari undang-undang
ketenagakerjaan, seringkali ditolak hak-hak dasarnya, pekerja anak dan kerja
paksa.
2. Pekerja rumah tangga mempunyai kontribusi dalam meningkatkan standar
hidup rumah tangga majikannya.
3. Kebijakan sosial tidak mencakup kebutuhan Pekerja Rumah Tangga dan
keluarganya akan perawatan, sehingga memungkinkan kaum perempuan di
dalam rumah tangga menjadi terus aktif secara ekonomi.
4. Pekerjaan dirumah-rumah pribadi tidak dianggap sebagai tempat kerja dan
hubungan kerja tidak tercakup di dalam undang-undang ketenagakerjaan atau
dalam undang-undang lainnya, sehingga Pekerja Rumah Tangga tidak diakui
sebagai pekerja yang berhak atas perlindungan pekerja.

13
Jurnal ILO, 2008
14
Hasil Rekomendasi ILO 2008
14

5. Sebagian besar Pekerja Rumah Tangga merupakan perempuan dari keluarga


miskin dengan upah yang sangat rendah dan secara total bergantung pada
majikan/sponsor, yang dikecualikan dari hak-hak ketenagakerjaan nasional.

Di beberapa negara, pekerjaan rumah tangga dianggap bentuk pekerja anak


yang paling berbahaya, karena tingginya kecenderungan terjadinya pelecehan,
eksploitasi, dan di banyak negara anak-anak bekerja sepanjang hari di dalam rumah
tangga, tanpa kesempatan untuk belajar, bermain dan berkembang. Sejalan dengan
hal tersebut di atas beberapa fakta dalam kehidupan sehari-hari tidak terlindunginya
pekerja rumah tangga antara lain : hubungan hukum antara pekerja rumah tangga
dengan pemberi kerja pada umumnya tidak didasari suatu perjanjian kerja: Pekerja
rumah tangga seringkali dikecualikan dari cakupan upah minimum; Upah seringkali
digunakan sebagai alat pengendalian oleh Majikan; Pembayaran upah terkadang
terlambat, bahkan sering tidak terbayarkan; Kamar dan tempat tinggal serta makanan
biasanya dianggap sebagai suatu pembayaran; Adanya perbedaan yang signifikan
antara standar kerja yang berlaku secara umum dengan pekerja rumah tangga;
Seringkali pekerja rumah tangga harus tunduk pada ketentuan jam kerja yang bisa
mengancam kesehatan sindiri, misalnya bersedia untuk bekerja dengan jam kerja
panjang atau bahkan tanpa istirahat dan senantiasa harus melaksanakan tugas-tuigas
atas perintah majikan.
Berbagai upaya untuk perlindungan terhadap pekerja rumah tangga baik
secara internasional maupun nasional sudah dilakukan, namun dalam kenyataannya
usaha ini belum memberikan hasil yang optimal. Hampir sepuluh tahun Pekerja
Rumah Tangga memperjuangkan haknya untuk memperoleh perlindungan dalam
suatu Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Pekerja Rumah Tangga.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (Selanjutnya
disingkat RUU PPRT) telah diajukan sejak tahun 2004 silam, namun hingga saat ini
RUU tersebut belum jelas kelanjutannya. Setelah mendapat desakan dari berbagai
15

pihak barulah pada tahun 2010, RUU ditetapkan dalam Prioritas Prolegnas DPR,
kemudian pada tahun 2011, 2012, dan terakhir 2013. Komisi IX DPR sudah
melakukan pembahasan PPRT sepanjang tahun 2012 dan tahun 2013 termasuk
melakukan kunjungan kerja untuk studi banding RUU PPRT ke Afrika Selatan dan
Argentina pada tanggal 27-31 Agustus 2012 dan uji publik ke daerah pada tanggal
27-28 Februari 2013, kemudian tanggal 25 Maret 2013 melakukan finalisasi RUU
PPRT untuk diserahkan ke Baleg DPR untuk diharmonisasi,dan secara resmi
diserahkan dengan Surat Nomor 87/Kom IX/DPRRI/IV?2013 tertanggal 2 April
2013, namun hingga masa Sidang ke 4 DPR berakhir pada tanggal 12 juli 2013 dan
masuk masa Sidang ke 1 DPR sejak 16 Agustus 2013 hingga saat ini belum dibahas,
sekalipun sementara sisa waktu sidang akan berakhir Juli 2014. 15 Lamanya proses dan
kajian untuk menciptakan suatu perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga yang
belum tuntas, semakin mengukuhkan untuk melakukan suatu kajian lebih dalam guna
menemukan bentuk perlindungan yang ideal dalam hubungan hukum antara pekerja
rumah tangga dan pemberi kerja.

2.2 Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Jika Pekerja Rumah Tangga
Dirugikan Hak-Haknya Sebagai Pekerja oleh Majikan.
UUD Tahun 1945 sebagai hukum dasar negara memberikan jaminan bahwa
setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (2), demikian pula Pasal 28D ayat
(2) mengakui hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja, bahkan Pasal 28H ayat (1) menggariskan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan, lebih dari itu, para pendiri negara mengkontruksikan tujuan berbangsa dan
bernegara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan

15
www.tempo.co/read/news/2013/09/02/173509315/DPR -Didesak Rampungkan RUU-
Perlindungan Pekerja, diakses 10 September 2013
16

kesejahteraan umum yang di dasarkan atas keadilan sosial. Guna mewujudkan


kehendak tersebut, Pasal 28I ayat (5) UUD Tahun 1945 menyaratkan bahwa untuk
menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan. Peraturan dimaksud salah
satunya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(UU HAM).16
Sebagai umbrella act, UU HAM secara spesifik dalam bagian ketujuh tentang
hak atas kesejahteraan, khususnya Pasal 38 memberikan pengakuan dan pengaturan
bahwa :
a. setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak;
b. setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan
berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil;
c. setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,
sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian
kerja yang sama;
d. setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang
sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai
dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan
keluarganya.
Perlakuan khusus terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud Pasal 41 ayat (2)
yang menyebutkan bahwa setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita
hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus.
Pada tingkat internasional, tanggal 16 Juni 2011, sesi ke-100 Sidang ILO
dengan tema “Kerja Layak” mengadopsi Konvensi ILO No. 189 Mengenai Kerja
Layak Pekerja Rumah Tangga, yang di dalam konvensi tersebut diatur antara lain:

16
LNRI Tahun 1999 Nomor 165, TLNRI Nomor 3886.
17

a) pengakuan PRT sebagai pekerja yang mempunyai hak harus dilindungi dan
dihormati selama bekerja; dan
b) standar perlakuan yang bertujuan untuk melindungi PRT. Di antaranya
perlindungan berdasar prinsip hak asasi manusia, di antaranya penghapusan
diskriminasi bagi perempuan, perlindungan hak anak, perwujudan hak sipil
politik dan ekonomi, sosial dan budaya, perlindungan dari pelanggaran hak
dan kesewenangan, penghapusan kerja paksa dan hak lainnya seperti jam
kerja, waktu libur, waktu istirahat, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan,
dll.
Akan tetapi, Nomenklatur (Istilah) pekerja dari frase “pekerja rumah tangga”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidaklah diartikan sebagai bagian dari
pengertian pekerja, melainkan menggunakan nomenklatur khusus, yaitu Pembantu
Rumah Tangga.17 Pekerja diartikan sebagai: 1) orang yang bekerja; 2) orang yang
menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan.18 Sedangkan pembantu rumah
tangga diartikan sebagai 1) orang (alat dsb) yang membantu; penolong; 2) orang
upahan, pekerjaannya (membantu) mengurus pekerjaan rumah tangga (memasak,
mencuci, menyapu, dsb).19 Bertalian dengan makna pekerja tersebut, ditemukan
padanannya, yaitu tenaga kerja, yang berarti 1) orang yang bekerja atau mengerjakan
sesuatu; pekerja; pegawai; dsb, 2) orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja,20 dan secara mutatis mutandis, Pasal 1 angka 2
UU Ketenagakerjaan memberikan batasan arti pekerja sebagai setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan Pasal 1 angka 3
UU Ketenagakerjaan menyebutkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan demikian, meskipun

17
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta,
2002, hlm. 105.
18
Ibid., hlm. 554.
19
Ibid., hlm. 105.
20
Ibid., hlm. 1171.
18

secara gramatikal Pembantu Rumah Tangga dipisahkan pengertiannya dari istilah


pekerja pada umumnya, tetapi dikategorikan sebagai bagian maksud pengertian
pekerja tersebut.
Kontruksi pengakuan hak serta kewajiban pekerja dalam UU Ketenagakerjaan
apabila disandingkan dengan jenis dan waktu pelaksanaan pekerjaan PRT
menunjukan adanya ketidaksesuaian pengaturan norma tersebut dengan praktek
perlakuan masyarakat atau pengguna jasa terhadap PRT. Perlakuan tidak patut
tersebut antara lain PRT tidak mempunyai uang lembur atau kelebihan jam kerja
normatif,21 7 jam satu hari dengan masa kerja 6 hari satu minggu atau 8 jam per hari
untuk lima hari kerja,22 cuti kerja tidak jelas,23 bahkan besaran upah yang tidak
tunduk pada standar pengupahan yang berlaku di provinsi atau kabupaten/kota. 24
Disamping perlakuan hukum yang tidak sesuai dengan kaidah normatif tersebut,
temuan berbagai penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Komnas Perempuan,
JALA PRT ataupun ILO menunjukan berbagai kekerasan yang menimpa PRT,
khususnya perempuan dan anak. Jenis kekerasan tersebut antara lain tidak diberi
makan, dikurung dalam kamar mandi, penyiksaan, larangan menjalankan ibadah,
pemaksaan memakan makanan yang tidak halal, pelecehan seksual sampai pada
tingkat pemerekosaan, dan bahkan penyiksaan yang berujung pada kematian.

Hak-Hak Pekerja Rumah Tangga


Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan memberikan batasan arti pekerja sebagai
setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan
Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan menyebutkan pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan
demikian, meskipun secara gramatikal Pembantu Rumah Tangga dipisahkan
21
Lihat Pasal 78 UU Ketenagakerjaan.
22
Lihat Pasal 77 UU Ketenagakerjaan.
23
Lihat Pasal 79 UU Ketenagakerjaan.
24
Lihat Pasal 88 UU Ketenagakerjaan.
19

pengertiannya dari istilah pekerja pada umumnya, tetapi dikategorikan sebagai bagian
maksud pengertian pekerja tersebut. Karenanya hak-hak pekerja rumah tangga
sejatinya adalah juga hak-hak yang diperoleh pekerja sebagaimana dimaksud UU
Ketenagakerjaan yang bermuara pada hak-hak konstitusional pekerja yang diatur
UUD Tahun 1945, sehingga setiap pelanggaran terhadap hak pekerja rumah tangga
dapat dikategorikan sebagai perlawanan terhadap konstitusi.
Secara exvressi verbis (tersurat), UUD Tahun 1945 menjamin bahwa setiap
warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (2), demikian pula Pasal 28D ayat
(2) mengkui hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja, bahkan Pasal 28H ayat (1) menggariskan
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan, lebih dari itu, para pendiri negara mengkontruksikan tujuan berbangsa dan
bernegara adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan
kesejahteraan umum yang di dasarkan atas keadilan sosial. Guna mewujudkan
kehendak tersebut, Pasal 28I ayat (5) UUD Tahun 1945 menyaratkan bahwa untuk
menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pengaturan sebagaimana dimaksud Pasal 28I tersebut adalah UU HAM, yang
secara spesifik dalam bagian ketujuh tentang hak atas kesejahteraan, khususnya Pasal
38 memberikan pengakuan dan pengaturan bahwa :
1. Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan,
berhak atas pekerjaan yang layak.
2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan
berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.
20

3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama,
sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian
kerja yang sama.
4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang
sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai
dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan
keluarganya.
Pada 16 Juni 2011, sesi ke-100 Sidang ILO dengan tema “Kerja Layak”
mengadopsi Konvensi ILO No. 189 Mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga,
yang di dalam konvensi tersebut diatur antara lain:
1. pengakuan PRT sebagai pekerja yang mempunyai hak harus dilindungi dan
dihormati selama bekerja; dan
2. standar perlakuan yang bertujuan untuk melindungi PRT. Di antaranya
perlindungan berdasar prinsip hak asasi manusia, di antaranya penghapusan
diskriminasi bagi perempuan, perlindungan hak anak, perwujudan hak sipil
politik dan ekonomi, sosial dan budaya, perlindungan dari pelanggaran hak
dan kesewenangan, penghapusan kerja paksa dan hak lainnya seperti jam
kerja, waktu libur, waktu istirahat, jaminan sosial, pendidikan dan pelatihan,
dll. Kontekstualisasi pengakuan terhadap hak-hak pekerja sebagaimana
dimaksud konstitusi adalah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Namun
demikian hak-hak pekerja rumah tangga.

Model Perlindungan Pekerja Rumah Tanggga


a. Perlindungan preventif
Secara yuridis, PRT memang bebas, sebab negara kita melarang perbudakan
dan perhambaan. Tapi dari kacamata sosiologis, yang terjadi justru sebaliknya, PRT
tidak bebas. Sebagai orang yang memiliki keterbatasan bekal hidup selain tenaganya,
PRT terpaksa bekerja pada orang lain dalam hal ini pemberi kerja yang memiliki
21

otoritas menentukan syarat-syarat kerja. Relatif rendahnya tingkat pendidikan


menutup kemampuan PRT mengekspos hak-haknya serta tak dapat merespon
berbagai informasi yang dapat meningkatkan taraf hidupnya.
Selama aturan main hubungan PRT dengan pemberi kerja diserahkan kepada
kedua belah pihak, maka sukar dicapai suatu keseimbangan kepentingan yang
mengedepankan nilai-nilai keadilan. Sampai saat ini belum satupun lembaga atau
yayasan penyalur PRT, memelopori penggarapan nasib para PRT dari sisi
perlindungan hukum dan pemberdayaan. Dalam dunia akademik pun sangat langka
menemukan hasil penelitian yang secara tematis mengangkat persoalan PRT. Bahkan
pemerintahpun tidak pernah menggagas kampanye untuk membangkitkan kepedulian
terhadap PRT. Namun demikian terdapat beberapa hal yang barangkali patut
diagendakan sebagai upaya berarti untuk memberikan perlindungan terhadap PRT
antara lain :
1. advocacy, mengangkat ke permukaan kasus-kasus PRT agar memperoleh
respon banyak pihak guna menjadi agenda dalam upaya perubahan ke arah
yang lebih baik;
2. paralegal, sebagai bentuk penyadaran hukum dan aksi untuk melindungi diri
PRT dari berbagai tekanan pemberi kerja. Perlu dibentuk pusat-pusat
pelayanan sebagai bagian dari bentuk pengorganisasian, termasuk upaya
untuk menggagas terbentuknya organisasi serikat pekerja khusus PRT.
Pembentukan serikat pekerja dalam hal ini tidak berarti menciptakan kaidah
dari tidak ada menjadi ada tetapi juga menempatkan komunitas PRT secara
afiliatif organisatoris terhadap organisasi Serikat Pekerja yang sudah mapan;
3. Law Reform (Reformasi Hukum)25, pembaruan hukum yang diformulasikan
dalam berbagai kebijakan berbasis keberpihakan kepada PRT dalam kerangka
perlindungan dan pemberdayaan serta pembinaan hubungan kerja. Law
Reform ini dapat dilakukan dilakukan dengan menyediakan perangkat hukum

25
Munir Fuady, Pengorganisasian Buruh Perempuan, Makalah, dipresentasikan di LBH Surabaya,
1998. Makalah, dipresentasikan di LBH Surabaya. 1998.
22

daerah (perda) sebagai hasil evalusi dan pengkajian atas realitas hubungan
PRTpemberi kerja berikut problem yang menyertainya. Dengan adanya
perangkat hukum tersebut, merupakan momentum bagi pemerintah di bidang
hukum untuk segera melakukan perlindungan secara mendasar sebagai wujud
komitmen dan konsistensinya, pemerintah segera membentuk perundang-
undangan (law making) yang khusus memberikan perlindungan terhadap
PRT.Secara umum upaya ini dapat dimaknai sebagai melindungi atau
memberikan pertolongan dalam bidang hukum upaya yang ditujukan untuk
memberikan rasa aman diberikan terhadap subjek hukum dalam bentuk
perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif.
Perda harus memperhatikan persoalan-persoalan di bawah ini:
a) peraturan Daerah harus memperhatikan undang-undang dan peraturan
lainnya yang berkaitan. Misalnya, perlindungan bagi PRT harus bisa
menindaki pelaku kekerasan yang menghindari sanksi hukum. Oleh
karena itu, pelaksana undang-undang dan sidang pidana harus siap
untuk menegakan hukum tanpa diskriminasi;
b) organisasi masyarakat sipil seperti akademisi dan LSM, agen tenaga
kerja, dan pekerja rumah tangga itu sendiri harus turut dilibatkan
dalam merancang peraturan daerah atau peraturan-peraturan lainnya;
c) Mempersiapkan petunjuk pelaksanaan peraturan tentang bagaimana
menerapkan peraturan-peraturan itu. Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
ini harus jelas dan sejalan dengan peraturan lainnya dan mendorong
koordinasi dengan pelaksana hukum. Jika tidak demikian, maka
undang-undang tersebut tidak dapat diimplementasikan;
d) mensosialisasikan dan mengkomunikasikan segala informasi yang
berkaitan dengan undang-undang untuk melindungi PRT kepada
semua pihak yang terlibat di dalam urusan ini, seperti pemberi
kerja/majikan, agen tenaga kerja, dan pekerja rumah tangga.
23

Tujuannya adalah untuk mendapatkan dukungan dan komitmen dari


para penentu kebijakan untuk menjalankan undang-undang tersebut;
e) Membuat undang-undang yang sistematis dan menggunakan istilah-
istilah hukum yang sederhana agar dapat mempermudah para penentu
kebijakan dalam melaksanakannya. Bahasa yang digunakan di dalam
undang-undang itu harus jelas agar dapat terhindar dari
kesalahpahaman yang dapat memberi peluang penyalahgunaannya.
Jika penyalahgunaan hukum ini terjadi, PRT tidak akan dapat
perlindungan karena mereka tidak memiliki kekuatan tawar-menawar
untuk merundingkan kepentingan mereka secara hukum.
Selain daripada itu untuk memberikan suatu pengamanan terhadap para PRT
dalam bentuk dengan fisible dan berkekuatan hukum diperlukan pula suatu penjanjian
kerja dalam bentuk tertulis antara majikan dengan pekerja guna menimbulkan semua
hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang lazim disebut dengan perikatan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Subekti:
”Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-
luasnyakepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa
saja, asalkantidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan”.26

Dalam hal ini antara pekerja dan majikan diperbolehkan mengatur sendiri
kepentingan mereka dalam perjanjian yang mereka adakan. Guna mewujudkan suatu
perjanjian yang telah disepakati bersama, para pihak yang terikat dalam perjanjian
harus melaksanakan isi perjanjian sebagaimana mestinya. Dengan dilaksanakannya
prestasi dalam perjanjian maka apa yang diharapkan sebagai maksud dan tujuan
diadakannya perjanjian akan tercipta dengan baik tanpa ada pihak yang dirugikan
yang dapat menuntut atas kerugian yang dideritanya.
Demikian juga dalam bidang pekerjaan, orang melakukan perjanjian
kerjasehingga menimbulkan perikatan. Setiap hubungan kerja yang tercipta, baik
26
R. Subekti, Hukum Perjanji an Cetakan keduabelas , (Jakarta: PT. Intermasa, 1987), hlm. 9
24

formal maupun informal, pada dasarnya selalu didahului dengan adanya perjanjian
kerja. Untuk pekerjaan informal, perjanjian kerja antara pemberi pekerjaan dengan
penerima pekerjaan biasanya dilakukan secara lisan sedangkan pekerjaan-pekerjaan
yang formal, seperti di pabrik atau perusahaan, perjanjian kerja pada umumnya dibuat
secara tertulis. Pada dasarnya baik tertulis maupun tidak, perjanjian kerja tersebut
sama-sama mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak.
b. Perlindungan Repressif
Dalam hal ini perlindungan hukum terhadap Pekerja Rumah Tangga bukan
hanya dilakukan secara preventif namun harus juga secara repressif, karena tidak
cukup dengan adanya instrumen hukum sebagai suatu kebijakan semata. Pada
prinsipnya hukum sebagai suatu bentuk kelembagaan sosial yang mewadahi
kebijakan penyelenggaraan negara menjangkau semua bidang dan aspek kehidupan
manusia dan mengintegrasikannya ke dalam suatu sistem sosial yang harmonis dan
fungsional. Secara konseptual, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan
(integral) dari kebijakan sosial; artinya kebijakan sosial mencakup di dalamnya
kebijakan hukum, yang selengkapnya disebut kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy). Dalam lingkup kebijakan (penegakan) hukum ini hukum
administrasi dan hukum keperdataan menempati kedudukan yang sama dengan
hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan. Ini berarti, kebijakan
perundang-undangan serta penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan
sosial.
Kebijakan sosial tersebut kemudian diimplementasikan di dalam bentuk
berbagai kebijakan lanjutan sebagai upaya untuk merealisasikan apa yang telah
ditetapkan sebagai kebijakan sosial. Salah satu bentuk sarana pengejawantahan
kebijakan sosial tadi adalah kebijakan hukum atau kebijakan penegakan hukum.
Kebijakan pembangunan merupakan bentuk sarana realisasi dari kebijakan sosial
nasional yang meliputi kebijakan hukum, maka kebijakan pembangunan nasional di
bidang hukum berfungsi sebagai pendukung bagi terwujudnya tujuan pembangunan
25

nasional secara keseluruhan yang juga berarti terwujudnya tujuan nasional kehidupan
berbangsa dan bernegara. Hal ini juga berarti bahwa pelaksanaan pembangunan
nasional di segala bidang kehidupan, inklusif pembangunan di bidang hukum,
sesungguhnya merupakan proses perwujudan kebijakan sosial nasional.
Dalam teori Sibernetika dari Talcott Parson27, hukum digambarkan sebagai
subsistem sosial yang berfungsi mengintegrasikan semua subsistem sosial yang ada,
sehingga memungkinkan semua bagian dari suatu sistem sosial itu dapat
berfungsi/bekerja secara optimal, efektif, dan efisien. Berdasarkan kerangka berpikir
ini dapat pula diartikan bahwa manakala hukum tidak dapat menjalankan fungsi
dengan baik sebagai sarana pengintegrasi, maka kehidupan sosial akan mengalami
gangguan atau disintegrasi.
Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-
keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum ini adalah pikiran-
pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam
peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.
Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada
pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini,
dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para
penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak
peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat.
Proses penegakan hukum dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor
hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya,
yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya,
yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan
sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan
kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat.
27
Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, Fakultas Sosial dan Fakultas Politik, Universitas Riau, 1994.
26

Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang di dasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-
undangan, di samping ditentukan oleh konfigurasi politik momentum pembuatannya,
juga berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para anggota
legislatif itu sendiri. Semangat hukum (spirit of law) berkaitan erat dengan visi
pembentuk undang-undang, maka dalam konteks membangun hukum yang
demokratis, peran dan visi pembentuk undang-undang sedemikian penting.
Pembentuk undang-undang tidak semata-mata berkewajiban untuk memberikan
sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu sendiri. Dengan
demikian, pembentuk undang-undang, tidak lagi semata-mata mengikuti perubahan
masyarakat, akan tetapi justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam konteks
ini, pembentuk undang-undang berkewajiban mengkreasi kebijakan dalam wujud
perundang-undangan yang responsif terhadap tuntutan terwujudnya keadilan gender
dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu dibidang keperdataan menyangkut perjanjian kontrak guna
melindungi para PRT, antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,upah, dan perintah. Hubungan kerja terjadi
setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian di
mana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah
pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu
dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak buruh
dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak majikan. Agar kedua
belah pihak dapat melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya tindakan
sewenang-wenang dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur tangan dari
pemerintah dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
Adanya peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik
pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali atau
27

masing-masing harus menundukan diri pada segala ketentuan dan peraturan yang
berlaku, harus bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing
sesuai dengan tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan
selalu terwujud.
Berdasarkan berbagai temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pertama,
hak-hak pekerja rumah tangga adalah sebagaimana hak pekerja di sektor lain,
perbedaannya hanya terletak pada jenis pekerjaannya semata, dan kedua, model
perlindungan pekerja rumah tangga dilakukan dengan cara preventif dan repressif.
Secara preventif dilakukan dengan menyediakan perangkat hukum daerah (perda)
yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap kedudukan pekerja rumah
tangga, termasuk kewajiban adanya perjanjian/kesepakatan kerja antara pekerja
dengan majikan, sedangkan secara repressif dilakukan dengan menggunakan sarana
penegakan hukum, baik kode penal ataupun keperdataan. Kode penal dilakukan
sebagai tanggung jawab negara untuk menuntut dan/atau menghukum majikan
dan/atau orang yang ada di rumah tersebut yang perbuatannya mengakibatkan luka
fisik dan/atau psikis. Sedangkan secara perdata merupakan upaya hukum untuk
memberikan hak-hak pekerja yang tidak terpenuhi sesuai dengan perjanjian kerja.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian ini dapat diambil
kesimpulan bahwa :
1. Ketenagakerjaan memberikan batasan arti pekerja sebagai setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan
Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan menyebutkan pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain. Dengan demikian, meskipun secara gramatikal Pembantu Rumah Tangga
dipisahkan pengertiannya dari istilah pekerja pada umumnya, tetapi
dikategorikan sebagai bagian maksud pengertian pekerja tersebut.
Kontruksi pengakuan hak serta kewajiban pekerja dalam UU Ketenagakerjaan
apabila disandingkan dengan jenis dan waktu pelaksanaan pekerjaan PRT
menunjukan adanya ketidaksesuaian pengaturan norma tersebut dengan
praktek perlakuan masyarakat atau pengguna jasa terhadap PRT.
2. Berdasarkan berbagai temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pertama,
hak-hak pekerja rumah tangga adalah sebagaimana hak pekerja di sektor lain,
perbedaannya hanya terletak pada jenis pekerjaannya semata, dan kedua,
model perlindungan pekerja rumah tangga dilakukan dengan cara preventif
dan repressif. Secara preventif dilakukan dengan menyediakan perangkat
hukum daerah (perda) yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap
kedudukan pekerja rumah tangga, termasuk kewajiban adanya
perjanjian/kesepakatan kerja antara pekerja dengan majikan, sedangkan secara
repressif dilakukan dengan menggunakan sarana penegakan hukum, baik kode
penal ataupun keperdataan. Kode penal dilakukan sebagai tanggung jawab
negara untuk menuntut dan/atau menghukum majikan dan/atau orang yang

28
29

3. ada di rumah tersebut yang perbuatannya mengakibatkan luka fisik dan/atau


psikis. Sedangkan secara perdata merupakan upaya hukum untuk memberikan
hak-hak pekerja yang tidak terpenuhi sesuai dengan perjanjian kerja.
3.2 Saran
Dari kesimpulan di atas, maka penulis dapat memberikan saran-saran sebagai
berikut :
1. Perlu dibuatnya suatu regulasi yang khusus mengatur tentang pekerja rumah
tangga agar tidak bertentangan dengan hak konstitusional pekerja rumah
tangga.
2. Untuk menjamin kepastian hukum terpenuhinya hak-hak pekerja rumah
tangga diperlukan norma hukum yang secara spesifik mengatur hubungan
pekerja rumah tangga dan majikannya.
DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Abdulkadir Muhammad, 2006 , Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung
Aloysious Uwiyono, 2014, Asas-Asas Hukum Perburuhan, RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Asri Wijayanti, 2014, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Cet. IV, Sinar
Grafika, Jakarta.
Triana Sofiani, Rita Rahmawati dan Shinta Dewi Rismawati, Membangun Konsep
Ideal Hubungan Kerja Antara Pekerja Rumah Tangga Dan Majikan Berbasis
Hak-Hak Buruh Dalam Islam, Conference Procedings, Annual International
conference on Islamic Studies (AICIS XII).
Okky Asokawati, “Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak PRT Dalam RUU Tentang
Perlindungan PRT”, makalah Disampaikan dalam Diskusi Media “Kerja Layak
Bagi PRT” -Komnas Perempuan ,2011.
Endriana Noerdin, “Situasi Pekerja Rumah Tangga di Indonesia”, dalam Bunga
Rampai Potret Kemiskinan Perempuan, Jakarta: Women Research Institute:,
2006.
Eggy Sudjana, 2005,Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta.
ELSAM, 2011, Buruh TIdak Untuk Dijual, Litbang LBH Jakarta, Pusat Dokumentasi
Elsam

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upahdan


Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 01 Tahun 1999 tentang Upah Minimum

C. Internet

Tim Pengkajian Hukum Yang Diketuai : Basani Situmorang, S.H ,MH, LAPORAN
PENGKAJIAN HUKUM TENTANG Menghimpun dan Mengetahui Pendapat
Ahli Mengenai Pengertian Sumber-Sumber Hukum Mengenai Ketenagakerjaan,
http://www.bphn.go.id/data/documents/ketenagakerjaan.pdf, diakses pada
tanggal 26 Agustus 2017

http://.tempo.co/read/news/2013/09/02/17/10,7juta-PRTbekerjatanpa perlindungan,
diakses 25 Agustus 2017.

Anda mungkin juga menyukai