Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ANALISIS LANDASAN FILOSOFIS PENYELESAIAN SENGKETA


KETENAGAKERJAAN DALAM HUKUM PUBLIK DILAKSANAKAN
MELALUI MEKANISME HUKUM PRIVAT

DISUSUN OLEH:
Mardhatillah B1A021018
Handyka Pribowo Putra B1A021054
Riska Santi B1A021120
Dedek Elvida Apriliandarti B1A021156
Raflie Anugrah Semesta B1A021187
M. Rizqy Iqbal Nugraha B1A021216
Rizky Juventus Simangunsong B1A021232
Yusra Fajriyah B1A021236
Noval Ramadhan B1A021244
Chiquita Chairany B1A021257
Intan Riwayaty Amran B1A021258
Dimas Ikhsan Cahyana Ramadhan B1A021287
Muhammad Fredy Winata B1A021274

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BENGKULU
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas dari Bapak Jonny Simamora, S.H., M.Hum. pada mata kuliah Hukum Acara
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang materi Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Indsutrial
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Jonny Simamora, S.H.,
M.Hum. selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Bengkulu, 27 Maret 2024

Penulis

1
DAFTAR ISI

ANALISIS LANDASAN FILOSOFIS PENYELESAIAN SENGKETA


KETENAGAKERJAAN DALAM HUKUM PUBLIK DILAKSANAKAN
MELALUI MEKANISME HUKUM PRIVAT

KATA PENGANTAR....................................................................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................
A. Latar Belakang......................................................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................................................
D. Manfaat ................................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................
A. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan Berdasarkan
Hukum Di Indonesia ............................................................................................................
B. Landasan Filosofis Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan Menggunakan
Mekanisme Hukum Privat..................................................................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................
A. Kesimpulan ........................................................................................................................
B. Saran....................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Konsep hubungan industri tidak dapat terpisah dari aspek pengusaha
dan pekerja. Pengusaha adalah pihak yang memiliki modal dan tujuan dari
usaha yang dilakukan, yaitu untuk mencapai suatu keuntungan tertentu.
Sementara itu, pekerja atau buruh adalah pihak yang bekerja untuk
menjalankan usaha dengan menerima upah atau imbalan tertentu. Pasal 1
angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyediakan pengertian mengenai hubungan industri,
yaitu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hubungan Industrial merupakan sistem hubungan yang menempatkan
kedudukan pengusaha dan pekerja/buruh sebagai hubungan yang saling
melengkapi dalam rangka mencapai tujuan bersama. Selain unsur di atas,
dalam tatanan sistem ketenagakerjaan Indonesia terdapat pemerintah yang
bersifat mengayomi dan melindungi para pihak. Pemerintah mengeluarkan
rambu-rambu berupa aturan-aturan ketenagakerjaan demi terwujudnya
hubungan kerja yang harmonis antara pengusaha dengan pekerja/buruh.1
Proses hubungan industrial di atas tidak selamanya berjalan dengan
mulus, ada kalanya timbul perselisihan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh, baik perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, maupun perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan. Keseluruhan perselisihan
diatas merupakan perselisihan hubungan industrial sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang
menyatakan perselisihan hubungan industrial yaitu perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
1
Sri Subiandini Gultom, 2008, Aspek Hukum Hubungan Industrial, cet kedua Inti Prima
Promosindo, Jakarta, h.14.

3
pengusaha dengan pekerja atau buruh atau serikat pekerja atau serikat
buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antara serikat
pekerja atau serikat buruh dalam satu perusahaan.
Perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja
oleh pengusaha terhadap pekerja/buruh sulit untuk dihindari, walaupun
kedua belah pihak telah membuat peraturan tertulis baik yang dibuat oleh
pengusaha maupun yang disusun secara bersama-sama oleh serikat pekerja
atau serikat buruh dengan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja adalah
suatu hal yang tidak diinginkan oleh setiap pekerja, kehilangan pekerjaan
berarti kehilangan mata pencaharian yang dapat menimbulkan kesulitan
ekonomi bagi keluarga, sehingga banyak pekerja yang berusaha untuk
mempertahankan pekerjaannnya. Hukum ketenagakerjaan Indonesia
mendefenisikan pemutusan hubungan kerja antara pelaku usaha dengan
pekerja/buruh yang dikenal dengan istilah pemutusan hubungan kerja
selanjutnya disingkat PHK yaitu merupakan suatu pengakhiran hubungan
kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang disebabkan oleh suatu
keadaan tertentu.2
Adapun keadaan tertentu yang dimaksudkan dalam pengertian di atas
merupakan pengakhiran masa kerja yang dapat disebabkan oleh
berakhirnya jangka waktu kesepakatan kerja yang dapat disebabkan
pekerja/buruh melakukan kesalahan berat yag merugikan perusahaan,
perusahaan mengalami defisit atau penurunan, pekerja/buruh meninggal
dunia dan lain sebagainya.
Mengenai pemutusan hubungan kerja dalam peraturan perundang-
undangan diberikan defenisi yaitu dalam ketentuan pasal 1 angka 25
Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

2
Zainal Asikin, dkk, 2004, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h.173.

4
Perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja selama ini paling
banyak terjadi karena tindakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan
oleh satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya, pemutusan
hubungan kerja dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun
pekerja/buruh. Dari pengusaha dilakukan karena pekerja/buruh melakukan
berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian sebaliknya, pemutusan
hubungan kerja juga dapat dilakukan atas permohonan pekerja/buruh
karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah
disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada pekerja/buruh. 3 Dengan
demikian maka makalah ini akan membahas landasan filosofis mengapa
penyelesaian sengketa ketenagakerjaan yang merupakan bagian dari
hukum publik diselesaikan melalui mekanisme hukum privat.
B. Rumusan masalah
a. Bagaimana pengaturan mengenai penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan berdasarkan hukum di Indonesia?
b. Apa yang menjadi landasan filosofis penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan menggunakan mekanisme hukum privat?
C. Tujuan
a. Mengetahui pengaturan pengenai penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan berdasarkan hukum nasional Indonesia
b. Memahami landasan filosofis penyelesaian sengketa
ketenagakerjaan menggunakan mekanisme hukum privat.
D. Manfaat
a. Menambah pengetahuan tentang latar belakang mengapa
penyelesaian sengketa ketenagakerjaan yang merupakan ranah
hukum publik menggunakan mekanisme hukum privat.
b. Infomasi bagi setiap orang yang membaca serta menjadikan
makalah ini sebagai baha pembelajaran serta penelitian di masa
yang akan datang.

3
Lalu Husni, 2007, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan di
Luar Pengadilan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, h.46.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan umum penyelesaian sengketa ketenagakerjaan berdasarkan
hukum di Indonesia
Menurut pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan (UU 13/2003), hubungan Industrial adalah suatu
sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berbeda dengan
hubungan kerja yang merupakan hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh saja, hubungan industrial melibatkan pemerintah di
dalamnya.
Hubungan industrial adalah bagian penting dari kegiatan
perindustrian dan kegiatan perindustrian bagian tak terpisahkan dari
kegiatan ekonomi makro yang sekarang ini sudah begitu terbuka dan
sangat kompetitif. Negara-negara yang sekarang ini telah masuk kelompok
negara maju pernah melewati tiga pase pembangunan yaitu pase integrasi
sosial dalam rangka mewujudkan setabilitas sosial, pase industrialisasi
dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi, dan pase mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan sosial.
Sedangkan kondisi Indonesia dan juga negara-negara berkembang
lainnya untuk dapat sejajar dengan negaranegara maju harus melaksanakan
pembangunan ke tiga pase pembangunan tersebut secara sekaligus, karena
untuk terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial yang diamanatkan
UUD 1945 haruslah berhasil untuk mewujudkan integrasi social dan
berhasil untuk peningkatan kemampuan ekonomi nasional. Saat ini
Indonesia masih dihadapkan pada masalahmasalah gangguan integrasi
sosial, terutama di Papua, juga dihadapkan pada masalah kompetitifnya
kegiatan industri untuk mendapatkan pasar hasil produksi.
Pasal 102 UU 13/2003 menegaskan tugas masing-masing pihak
sebagai berikut: Pemerintah: menetapkan kebijakan, memberikan

6
pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan
terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya: menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,
mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan
perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya. Pengusaha dan organisasi pengusahanya: menciptakan
kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan
memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan
berkeadilan.
Untuk menciptakan hubungan industrial yang baik, pasal 103 UU
13/2003 menyebut, hubungan industrial dapat dilaksanakan melalui
sarana: Serikat pekerja/serikat buruh Organisasi pengusaha Lembaga
kerjasama bipartit Lembaga kerjasama tripartit Peraturan Perusahaan
Perjanjian Kerja Bersama Peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
dan Lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Hubungan Industrial menyebut perselisihan hubungan
industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara Pengusaha atau gabungan Pengusaha dengan Pekerja/Buruh atau
Serikat Pekerja/Serikat Buruh karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat Buruh dalam satu perusahaan.
Perselisihan hubungan industrial meliputi: Perselisihan hak adalah
perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama (pasal 1 angka 2 UU 2/2004). Perselisihan
kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau
perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau

7
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (pasal 1 angka 3 UU
2/2004). Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (pasal 1 angka 4 UU
2/2004). Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan
kewajiban keserikatpekerjaan (pasal 1 angka 5 UU 2/2004).
Untuk terwujudnya hubungan yang harmoni antar para pihak
komunitas masyarakat industrial telah ada perangkat peraturan hukum
ketenagakerjaan diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, UndangUndang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan untuk pelaksanaan hukum
materil juga telah ada hukum formal yaitu UndangUndang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 dibentuk PHI (Peradilan Hubungan Industrial) yaitu
peradilan yang khusus menangani perselisihan hubungan industrial.
Sehingga untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial terdiri dari
lembaga peradilan (litigasi) dan lembaga di luar peradilan (non litigasi),
yang terdiri dari: Bipartit, Mediasi, Konsiliasi,dan Arbitrase.4
 Bipartit : Berdasarkan pasal 3 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2004,
perundingan bipartit adalah perundingan antara pengusaha
atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja /
serikat buruh atau antara serikat pekerja / serikat buruh dan
serikat pekerja / serikat buruh yang lain dalam satu
perusahaan yang berselisih. Perundingan Bipartit adalah
perundingan secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
Penyelesaian melalui perundingan bipartit harus
diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak perundingan
pertama dilaksanakan. Apabila perundingan bipartit
4
Suherman Toha, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Badan Pembinnaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI. 2010. Hlm 10

8
mencapai kesepakatan maka para pihak wajib membuat
Perjanjian Bersama dan didaftarkan di kepaniteraan
Pengadilan Hubungan Industrial. Bila bipartit gagal, maka
perselisihan hubungan industrial harus dimintakan untuk
diselesaikan melalui mediasi hubungan industrial, atau
konsiliasi hubungan industrial, atau arbitrase hubungan
industrial sebelum dapat dibawa ke Pengadilan Hubungan
Industrial.
 Mediasi : adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral. Mediator
Hubungan Industrial yang disebut mediator adalah pegawai
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai
mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan
anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antar serikat pekerja/ serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan (pasal 1 angka 11 dan 12 UU 2/2004).
 Konsiliasi : adalah penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh
seorang atau lebih konsiliator yang netral. Konsiliator
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator
adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat
sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri
Ketenagakerjaan, yang bertugas melakukan konsiliasi dan

9
wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang
berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan (pasal 1 angka 13 dan 14 UU 2/2004).
 Arbitrase : adalah penyelesaian suatu perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final. Arbiter Hubungan Industrial yang
selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih yang
dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter
yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan untuk
memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan,
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya
dalam satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya
melalui arbitrase yang putusannya mengikat para pihak dan
bersifat final (pasal 1 angka 15 dan 16 UU 2/2204).

Setelah melalui penyelesaian secara non litigasi namun tidak


tercapai, maka penyelesaian perselisihan dapat dilaksanakan melalui
Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah
pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada di setiap ibukota Provinsi yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan
hubungan industrial yang daerah hukumnya meliputi tempat kerja pekerja
(pasal 1 angka 17 UU 2/2204).
Menurut pasal 56 UU 2/2004, Pengadilan Hubungan Industrial
mempunyai kompetensi absolut untuk memeriksa dan memutus:
 Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.

10
 Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan.
 Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan
hubungan kerja.
 Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu Perusahaan.

B. Landasan filosofis penyelesaian sengketa ketenagakerjaan menggunakan


mekanisme hukum privat
Hukum Ketenagakerjaan Indonesia diawali dengan masa suram
pada saat zaman perbudakan, dengan dilakukannya kerja rodi (Romusha)
dan peonale sanksi. Selama masa penjajahan kolonial Belanda, hukum
yang berlaku pada di Indonesia yang mengatur perjanjian perburuhan
tunduk pada ketentuan “Burgerlijk Wetboek (BW)” lama yang berlaku
berlainan bagi berbagai golongan penduduk di Indonesia.
Apabila majikan atau buruh orang Indonesia asli maka pada
umumnya berlakulah hukum adat, tetapi dalam hal ini ada pengecualian
yaitu beradasarkan S. 1879-256, yang mengatakan pasal-pasal 1601-1603
BW lama berlaku bagi golongan Indonesia dan yang disamakan dengan
golongan Indonesia. Pasal 1601-1603 BW lama terdapat dalam Bagian V
dari titel 7 Buku Ke III yang berjudul “Van Huur van dienstboden en
Weklieden” (tentang Persewaan tenaga pelajan dan pekerja). Kemudian
Bagian tersebut berdasarkan S. 1926-335 jis 458-565 dan S.1927-188
diganti dengan titel 7A dengan judul “Overeenkomsten tot het verichten
van arbeid” (tentang persetudjuanpersetudjuan melakukan pekerdjaan).
Pemberlakuan titel 7A tidak mengubah kedudukan dari golongan
Indonesia dan Arab pada saat itu. Setelah Indonesia merdeka dan memiliki
Undang-Undang Dasar 1945, dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
(sebelum amandemen) disebutkan bahwa badan negara dan peraturan yang
ada masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut undang-undang dasar ini. Dengan demikian semua badan negara
dan peraturan perundang-undangan yang ada pada saat itu masih

11
diberlakukan. Pemberlakuan tersebut termasuk BW yang di dalamnya
terdapat titel 7A dengan menghilangkan penggolongan yang ada pada saat
penjajahan Kolonial Belanda.5
Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, Pemerintah mengeluarkan
Undang-undang No. 12 Tahun 1948 yang hingga saat ini pengaturan
mengenai Hukum Ketenagakerjaan diatur melalui Undang-undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Undang-undang Ketenaga kerjaan).
Hal ini dilakukan sebagai campur tangan pemerintah untuk melindungi
para pihak terutama pekerja/buruh yang berada dalam posisi yang tidak
seimbang. Campur tangan pemerintah ini disebut dengan sosialisering
proses.
Pada hakikatnya Hukum Ketenagakerjaan mengatur hubungan
antara majikan (pemberi kerja) dengan pekerja/buruh (penerima kerja)
yang bersifat privat. Konsep tersebut beranjak dari kedudukan antara para
pihak yang tidak setara : pekerja/buruh berada dibawah perintah majikan,
yang menandakan adanya kedudukan yang sub-ordinatie. Membuktikan
bahwa kedudukan pekerja/buruh berada pada posisi yang lemah. Hukum
Ketenagakerjaan dibidang hukum privat juga beranjak karena dasar dari
hubungan ketenagakerjaan ialah “perjanjian”. Karena dasar hubungan
ketenagakerjaan ialah berawal dari perjanjian kerja yang dibuat antara
pemberi kerja dan penerima kerja dengan kedudukan yang tidak setara,
maka dari situlah peran serta pemerintah yang mengintervensi hukum
ketenagakerjaan Indonesia yang semula ialah privat menjadi hukum
publik.
Maka dari pernytaan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan
bahwa alas hak dari hubungan antara pemberi kerja dan pekerja/buruh
diawali dengan sebuah perjanjian. Dan apabila nanti terjadi suatu
perselisihan atau suatu sengketa, maka harapannya dapat diselesaikan
terlebih dahulu melalui mekanisme non-litigasi. Proses non-litigasi ini
bertujuan untuk mencapai kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat

5
Susilo Andi Darma, Kedudukan Hubungan Kerja : Berdasarkan Sudut Pandang Ilmu Kaidah
Hukum Ketenagakerjaan Dan Sifat Hukum Publik Dan Privat. Mimbar Hukum. 2017, Hlm 221.

12
dalam sengketa, tanpa mengeluarkan biaya yang mahal dan menempuh
waktu yang lama.
Namun walaupun demikian, masih muncul suatu perdebatan terkait
penyelesaian sengketa ketenagakerjaan yang melalui mekanisme privat
dengan dasar perjanjian. Hal ini dikarenakan pihak-pihak yang
bertentangan atau bersengketa tidak setara atau tidak sejajar.
Namun hal ini dijadikan alasan kenapa sengketa ketenagakerjaan
diselesikan melalui mekanisme hukum privat. Karena apabila digunakna
mekanisme hukum publik, hal ini tidak relevan karena walaupun pihak-
pihak tidak sejajar, namun si pemberi kerja bisa bukan pemerintah.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan (UU 13/2003), hubungan Industrial adalah suatu
sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi
barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai nilai Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penyelesaian sengketa ketenagakerjaan biasanya melibatkan
beberapa tahap, termasuk bipartit, mediasi (arbitrase/konsiliasi), hingga
pengadilan hubungan industrial. Ada kritik terhadap mekanisme ini karena
jenis perselisihan yang diatur dalam UU No.2 Tahun 2004 terbatas hanya 4
jenis: perselisihan hak; kepentingan; pemutusan hubungan kerja (PHK);
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
alasan kenapa sengketa ketenagakerjaan diselesikan melalui mekanisme
hukum privat. Karena apabila digunakna mekanisme hukum publik, hal ini
tidak relevan karena walaupun pihak-pihak tidak sejajar, namun si pemberi
kerja bisa bukan pemerintah.
Ada usulan untuk memperluas jenis perselisihan yang bisa
diselesaikan, termasuk pertentangan antara pengusaha dengan asosiasi
pengusaha; buruh dengan serikat buruh; atau yang melibatkan pihak ketiga
seperti masyarakat dan pemerintah. Ada juga usulan untuk menggunakan
prinsip dan aturan lokal (kearifan lokal) dalam penyelesaian sengketa.

B. Saran
Penting untuk memastikan keterbukaan dan komunikasi yang baik
antara pihak-pihak yang terlibat dalam perselisihan. Ini dapat membantu
mencegah eskalasi perselisihan dan membuka jalan bagi penyelesaian
yang lebih kolaboratif. Memanfaatkan mediasi sebagai metode utama
untuk penyelesaian perselisihan. Mediasi dapat membantu pihak-pihak
yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan tanpa harus melalui proses

14
pengadilan yang panjang. Memastikan bahwa seluruh proses penyelesaian
perselisihan dilakukan dengan mematuhi
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menghindari
konsekuensi hukum yang merugikan. Melakukan evaluasi berkala
terhadap proses penyelesaian perselisihan yang telah dilakukan untuk
mengidentifikasi area-area yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan.
Dengan menerapkan saran-saran tersebut, diharapkan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dapat dilakukan dengan lebih efektif dan
damai, yang pada gilirannya akan menciptakan lingkungan kerja yang
lebih harmonis dan produktif.

15
DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Z. (2004). Dasar-dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo Persada.

Gultom, S. S. (2008). Aspek Hukum Hubungan Industrial (Cetakan Kedua). Inti


Prima Promosindo.

Husni, L. (2007). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui


Pengadilan di Luar Pengadilan. PT. Raja Grafindo.

Toha, S. (2010). Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Penyelesaian


Hubungan Industrial. BPHN dan HAM RI

Darma, S. A. (2017). Kedudukan Hubungan Kerja : Berdasarkan Sudut Pandang


Ilmu Kaidah Hukum Ketenagakerjaan Dan Sifat Hukum Publik Dan Privat.
Mimbar Hukum

16

Anda mungkin juga menyukai