Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan
kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan
peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta
peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya. Selain itu sistem upah juga perlu
diperhatikan sehingga para tenaga kerja dapat hidup dengan layak. Tujuan penetapan
upah minimum adalah untuk meningkatkan taraf hidup bekerja sesuai dengan kebutuhan
hidupnya, oleh karena itu penetapan upah minimum didasarkan atas kebutuhan hidup
layak (KHL). Pada kenyataanya upah yang diterima oleh tenaga kerja disebagain besar
provinsi adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan kebutuhan hidup layak. Kenaikan
harga akan berakibat pada kenaikan kebutuhan hidup layak dan selanjutnya akan
meningkatkan upah minimum.
Sebagai negara hukum segala aspek kehidupan bangsa indonesia diatur oleh hukum
termasuk dalam hubungan industrial yang menyangkut tenaga kerja. Pengaturan ini demi
terpenuhinya hak para tenaga kerja agar tidak terjadi eksploitasi dan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia tenaga kerja. Di Indonesia pengaturan ketenagakerjaan diatur dalam
undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Keselamatan dan kesehatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani ketenagakerjaan
pada khususnya, dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju
masyarakat adil dan makmur. Keselamatan dan keamanan kerja mempunyai banyak
pengaruh terhadap faktor kecelakaan, karyawan harus mematuhi standar (K3) agar tidak
menjadikan hal-hal yang negatif bagi diri karyawan. Terjadinya kecelakaan banyak
dikarenakan oleh penyakit yang diderita karyawan tanpa se pengetahuan pengawas(K3),
seharusnya pengawasan terhadap kondisi fisik di terapkan saat memasuki ruang kerja
agar mendeteksi secara dini kesehatan pekerja saat akan memulai pekerjaannya. 
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Hukum Ketenagakerjaan?
b. Apa saja hak dan kewajiban pekerja/buruh?
c. Apa saja hak dan kewajiban pengusaha?
d. Bagaimana hukum ketenagakerjaan di Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan


a. Untuk mengetahui mengenai Hukum Ketenagakerjaan
b. Untuk mengetahui hak dan kewajiban pekerja/buruh
c. Untuk mengetahui hak dan kewajiban pengusaha
d. Untuk mengetahui hukum ketenagakerjaan di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan
Hukum Ketenagakerjaan adalah Hukum yang mengatur hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dengan pengusaha yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. hal-hal yang berkaitan dengan Pengerahan dan Pendayagunaan Tenaga Kerja. Dalam hal
ini mengupayakan tenaga kerja agar dapat berhasil guna dan berdayaguna bagi masyarakat.
2. hal-hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja yang timbul akibat adanya Perjanjian Kerja
yang bersifat bipartite, dan Hubungan Industrial yang menimbulkan hubungan segi-tiga
antara pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. 
3. hal-hal yang berkaitan dengan Kesehatan Kerja meliputi perlindungan social agar harkat
dan martabat pekerja atau buruh dihargai dan dijunjung tinggi, dan Keselamatan Kerja
yang meliputi perlindungan teknis, agar para pekerja atau buruh terhindar dari resiko
pekerjaan.
4. hal-hal yang berkaitan dengan Perlindungan Ekonomis yang meliputi Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Kematian, Pensiun, Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Asuransi Sosial, dan Perlindungan Upah.
5. hal-hal yang berkaitan dengan masalah Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan
Pemutusan Hubungan Kerja yang diselesaikan secara Bipartite, Konsiliasi, Mediasi,
Arbitrase, Pengadilan Hubungan Industrial, Mahkamah Agung.

Menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 mencari tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan uang atau
jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Secara garis besar
penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja dan bukan
tenaga kerja. Penduduk tergolong tenaga kerja jika sudah memiliki usia kerja. Batas usia
kerja yang berlaku di indonesia adalah sekitar 15 tahun -64 tahun. Menurut pengertian ini,
setiap orang yang mampu bekerja disebut tenaga kerja. Ada yang mengatakan pada usia 20
tahun, ada juga yang mengatakan di atas 17 tahun, ada yang diatas 20 tahun, ada yang diatas
7 tahun karena anak-anak dijalanan sudah termasuk tenaga kerja. Adapun klasifikasi tenaga
kerja sebagai berikut:
 Berdasarkan Penduduknya
A. Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat bekerja dan
sanggup bekerja jika tidak ada permintaan kerja. Menurut undang-undang tenaga kerja,
mereka yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja terdiri dari mereka yang dipilih antara
usia 15 tahun hingga dengan 64 tahun.
B. Bukan Tenaga Kerja
Bukan tenaga kerja yang mereka anggap tidak mampu dan tidak mau bekerja, karena
ada permintaan yang bekerja, menurut undang-undang ketenagakerjaan No. 13 tahun
2003, mereka adalah penduduk di luar usia, yaitu mereka yang berusia di bawah 15 tahun
dan berusia di atas 64 tahun. Contohnya adalah para pensiun, para lansia (lanjut usia) dan
anak-anak.
 Berdasarkan Batas Kerja
A. Angkatan Kerja
Angkatan kerja adalah penduduk usia produktif yang pernah bekerja pada usia 15-64
tahun yang memiliki pekerjaan tetapi tidak bekerja, yang sedang mencari pekerjaan.
B. Bukan Angkatan Kerja
Bukan Angkatan Kerja adalah mereka yang keluar 10 tahun keatas yang kegiatannya
hanya bersekolah, mengurus rumah tangga dan sebagainya. Contoh kelompok ini adalah
anak sekolah dan pelajar, para ibu rumah tangga, orang cacat dan para penerima
sukarela.
 Berdasarkan Kualitasnya
A. Tenaga Kerja Terdidik
Tenaga kerja terdidik adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian atau kemarihan
dalam bidang tertentu dengan cara sekolah atau pendidikan formal dan nonformal.
Contohnya persetujuan, dokter, guru dan lain-lain.
B. Tenaga Kerja Yang Disetujui
Tenaga kerja yang ahli adalah tenaga kerja yang memiliki keahlian dalam bidang
tertentu dengan melalui pengalaman kerja. Tenaga kerja yang dibutuhkan ini diperlukan
secara berulang-ulang sehingga dibutuhkan pekerjaan yang berhasil tersebut. Contohnya
Apoteker, ahli bedah, mekanik dan lain-lain.
C. Tenaga Kerja Tidak Terdidik Dan Tidak Terdefinisikan
Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terdefinisikan adalah tenaga kerja kasar yang
hanya mengandalkan tenaga saja. Contohnya kuli, buruh angkut, pembantu rumah
tangga, dan sebagainya.
2.2. Fungsi Hukum Ketenagakerjaan
Fungsi hukum ketenagakerjaan pada dasarnya adalah memberikan perlindungan
kepada kaum pekerja/buruh yang berada pada posisi lebih lemah dibandingkan dengan
pengusaha, karena hubungan hukum antara pekerja dengan pengusaha bersifat sub-
ordinasi. Oleh karena itu peraturan ketenagakerjaan dalam pelaksanaannya harus
mengedepankan dan berfungsi melindungi kepada pekerja/buruh.
Mengingat fungsi hukum ketenagakerjaan adalah untuk memberikan perlindungan
kepada pihak lemah,maka agar perlindungan itu dapat terealisasi dengan baik, maka
peraturan-peraturan ketenagakerjaan dalam prakteknya harus bersifat memaksa (hukum
publik) yang disertai ancaman sanksi administrasi atau pidana, bukan diserahkan kepada
para pihak untuk mengatur sendiri (hukum perdata). Perlindungan hukum
ketenagakerjaan hendaknya meliputi atau mencakup diantaranya adalah :
a. Perlindungan jaminan sosial, yaitu merupakan perlindungan yang bertujuan agar
dijunjung tinggi harkat dan martabat sebagai manusia pada umumnya, bukan
sebagai faktor produksi dan komoditi belaka.
b. Perlindungan ekonomis, aspek perlindungan ekonomis bertujuan agar menikmati
penghasilan yang diterima untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri maupun
keluarganya secara layak. Melalui ketentuan ketenagakerjaan yang beraspek
perlindungan ekonomis diharapkan : kepastian besarnya upah yang diterima,
kepastian besaran nya pemotongan upah, kepastian pembayaran upah yang harus
sesuai dengan perjanjian kerja, kepastian terhindar dari tidak dibayarkannya upah
yang merupakan hak pekerja, adanya kepastian perlindungan tentang jaminan
kesehatan, ganti rugi kecelakaan kerja, dan santunan kematian bagi keluarganya.
c. Perlindungan teknis , bertujuan agar terhindar dari bahaya atau resiko yang terjadi
selama dalam masa hubungan kerja. Melalui perlindungan teknis diharapkan:
adanya kepastian mendapatkan bantuan hukum, adanya kepastian memperoleh
bantuan pembelaan, adanya kepastian akan hak dan kewajiban, kepastian kondisi
kerja yang layak, nyaman dan aman pada saat melakukan pekerjaan, terhindar dari
resiko kerja yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja.
d. Sejalan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengamanatkan kepada
Negara untuk melindungi segenap warga Negara Bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, maka pemerintah menempati posisi utama dalam
menciptakan situasi kondisi yang kondusif bagi terwujudnya perlindungan yang
komprehensif bagi pekerja. Oleh karena itu pemerintah harus menciptakan sistem
pengelolaan yang dapat menjamin perlindungan sebelum, selama dan setelah
berakhirnya hubungan kerja.
Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selain
melindungi juga bertujuan untuk membenahi aturan hukum ketenagakerjaan materiil guna
menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat. Dan untuk operasional nya
maka Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah didukung
dengan aturan-aturan pelaksana baik yang dikeluarkan oleh pemerintah.

2.3. Tinjauan Tentang Perjanjian Kerja


2.3.1. Perngertian Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja. Perjanjian kerja
adalah sah apabila memenuhi syarat sahnya perjanjian dan asas-asas hukum perikatan.
Perjanjian kerja memuat kesepakatan antara pekerja dengan perusahaan yang dalam hal ini
diwakili oleh manajemen atau direksi perusahaan memuat syarat-syarat hak dan kewajiban
para pihak.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan perjanjian kerja merupakan perjanjian antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak,
dan kewajiban para pihak. Pada dasarnya perjanjian kerja hanya dilakukan oleh dua belah
pihak yakni pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja atau buruh. Mengenai hal-hal apa
saja yang diperjanjikan diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yakni antara
pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja atau buruh. Apabila salah satu dari para pihak
tidak menyetujuinya maka pada ketentuannya tidak akan terjadi perjanjian kerja, karena pada
aturannya pelaksanaan perjanjian kerja akan terjalin dengan baik apabila sepenuhnya kedua
belah pihak setuju tanpa adanya paksaan. Perjanjian kerja dapat dibuat baik secara tertulis
maupun lisan. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis maupun lisan harus dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara yuridis, berdasarkan ketentuan Pasal 1
ayat (15) Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hubungan kerja
merupakan hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja,
yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Jika ditinjau berdasarkan pengertian di
atas antara perjanjian kerja dengan hubungan kerja memiliki kaitan yang saling berhubungan,
hal ini akan mengakibatkan adanya hubungan kerja yang terjadi antara pemberi
kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh

2.3.2. Unsur-unsur Dari Hubungan Kerja

a. Adanya Unsur Pekerjaan Atau Work

Dalam suatu hubungan kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian),
pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan se-izin majikan
dapat menyuruh orang lain. Pada dasarnya sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu
sangat pribadi karena bersangkutan langsung terhadap dengan keterampilan/ keahlian-nya,
maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut akan
putus demi hukum.

b. Adanya Unsur Perintah Atau Command

Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja
yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan
lainnya. Pada dasarnya perintah memiliki peranan pokok karena tanpa adanya perintah
maka tidak adanya perjanjian kerja. Adanya unsur perintah ini mengakibatkan kedudukan
kedua belah pihak menjadi tidak seimbang, apabila kedudukan para pihak tidak seimbang
maka terdapatlah hubungan subordinasi maka disitu pula terdapat perjanjian kerja.

c. Adanya Upah

Upah memegang peran penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat
dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk
memperoleh upah bukan untuk hubungan kerja.

2.3.3. Syarat Sah-nya Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, sepeti diatur Pasal 52
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan
bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar, yakkni :

a. Kesepakatan Antar Kedua Belah Pihak


Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan
dirinya, maksudnya adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus
setuju/sepakat mengenai hal-hal yang akan diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak
yang satu dikehendaki pihak lainnya. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan,
dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan.

b. Kemampuan Atau Kecakapan Melakukan Perbuatan Hukum

Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya
pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap
membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum
ketenagakerjaan memberi batasan umur minimal 18 Tahun bagi seseorang dianggap cakap
membuat perjanjian kerja, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (26)
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 69 Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberi pengecualian bagi anak yang
berumur 13 Tahun sampai dengan umur 15 Tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Selain
itu juga seseorang dikatakan akan cakap membuat suatu perjanjian kerja jika seseorang
tersebut tidak dibawah pengampuan yaitu tidak terganggu jiwanya/sehat.

c. Adanya Pekerjaan Yang Diperjanjikan

Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, artinya bahwa adanya hal tertentu yang
diperjanjikan. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara
pemberi kerja/pengusaha dengan pekerja/buruh, yang akibat hukumnya melahirkan hak
dan kewajiban para pihak.

d.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,


kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku Pada dasarnya objek
perjanjian (pekerjaan) harus halal yang artinya bahwa tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jika pekerjaan yang diperjanjikan
merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Keempat syarat kerja tersebut bersifat kumulatif yang artinya bahwa harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua
belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian
lebih bersifat syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian.
Syarat sahnya adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus
halal disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya bahwa dari semula
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi merupakan syarat
subjektif, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, atau orang
tua/wali atau pengampu bagi yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta
pembatalan perjanjian kepada hakim. Dengan demikian, perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.

2.4. Pihak-pihak Dalam Hubungan Ketenagakerjaan


1. Pekerja/Buruh
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pekerja atau buruh merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Hal ini berbeda dengan makna dari pengertian tenaga
kerja sebagaimana kita ketahui berdasarkan Undang-undang ketenagakerjaan. Pengertian
tenaga kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat. Pengertian tersebut mengandung dua unsur yaitu unsur orang yang bekerja dan
unsur menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pada dasarnya perbedaan tersebut
terletak karena hubungan hukum dan peraturan yang mengaturnya juga berlainan. Bagi
pekerja/buruh hubungan hukum dengan pemberi kerja merupakan bersifat keperdataan yaitu
dibuat diantara para pihak yang mempunyai kedudukan perdata. Hubungan hukum antara
kedua pihak selain diatur dalam perjanjian kerja yang ditanda tangani (hukum otonom) juga
diatur diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh instansi/lembaga yang
berwenang untuk itu (hukum heteronom). Pekerja/buruh merupakan bagian dari tenaga kerja
yaitu tenaga kerja yang bekerja di dalam hubungan kerja, di bawah perintah pemberi kerja
(bisa perorangan, pengusaha,badan hukum, atau lembaga lainnya) dan atas jasanya dalam
bekerja yang bersangkutan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan kata lain,
tenaga kerja disebut sebagai pekerja/buruh bila telah melakukan pekerjaan di dalam
hubungan kerja dan di bawah perintah orang lain dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain. Istilah pekerja/buruh secara yuridis sebenarnya sama, jadi tidak ada perbedaan
diantara keduanya. Kedua makna tersebut dipergunakan dan digabungkan menjadi
“pekerja/buruh” dalam UndangUndang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan untuk
menyesuaikan dengan istilah “serikat pekerja/serikat buruh” yang terdapat didalam Undang-
Undang No.21 Tahun 2000 yang telah diatur sebelumnya.
2. Pemberi Kerja atau Pengusaha
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan,pengusaha merupakan :
(1) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri.
(2) Orang perseorang, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya.
(3) Orang perseorang, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan
di luar Indonesia.

Pada prinsipnya pengusaha adalah pihak yang menjalankan perusahaan baik milik sendiri
maupun bukan milik sendiri. Secara umum istilah pengusaha merupakan orang yang
melakukan suatu usaha (entrepreneur), yang artinya pemberi kerja/buruh merupakan majikan
yang berarti orang atau badan yang mempekerjakan pekerja/buruh. Sebagai pemberi kerja
pengusaha merupakan seorang majikan dalam hubungan dengan pekerja/buruh. Pada
kedudukan lain pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya adalah seorang
pekerja/buruh dalam hubungannya dengan pemilik perusahaan atau pemegang saham karena
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Serikat Kerja
Serikat pekerja adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan, untuk pekerja baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja serta meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
4. Organisasi Pengusaha
Aturan mengenai organisasi terdapat dalam pasal 105 Undang– Undang No 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan bahwa setiap pengusaha wajib dan berhak membentuk dan
menjadi anggota organisasi. Pengusaha (Undang–Undang Nomer 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan).
5. Pemerintah
Pemerintah adalah pihak yang menempati posisi atau peranan sebagai pengayom,
pembimbing, pelindung dan pendamai yang secara singkat berperan sebagai pelindung bagi
seluruh pihak dalam masyarakat pada umumnya dan pihak yang bersangkutan dalam proses
produksi pada khususnya.

2.5. Bentuk Perjanjian Kerja


Pada prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi
masyarakat yang beragam dimungkinkan dilaksanakannya perjanjian kerja secara lisan.
Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu, antar kerja antar daerah,
antar kerja antar negara dan perjanjian kerja laut. Mengenai bentuk perjanjian kerja pada
ketentuannya diatur berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu :
a. Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan;
b. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara normatif perjanjian kerja bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban
para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu dalam proses
pembuktian. Namun pada dasarnya tidak dapat di pungkiri masih banyak perusahaan-
perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis yang disebabkan
karena ketidakmampuan sumber daya manusia (SDM) maupun karena kelaziman, sehingga
atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan. Berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 54 ayat (1) Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan
bahwa:
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha.
b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh.
c. Jabatan atau jenis pekerjaan.
d. Tempat pekerjaan.
e. Besarnya upah dan cara pembayarannya.
f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh.
g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menentukan bahwa dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan f,
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan
peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan isi dari pasal tersebut memberikan
arti bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dalam ayat ini apabila di
perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama maka isi perjanjian
kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan perjanjian kerja
dalam bentuk tertulis pada ketentuannya ada bagian klausula yang tidak boleh terlupakan,
yakni :
a. Tanggal dibuatnya perjanjian.
b. Tanggal yang menunjukkan dimulainya perjanjian atau yang juga disebut
sebagai saat perikatan lahir.
c. Tanggal pelaksanaan perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.
d. Tanggal berakhirnya perjanjian.
e. Tanggal selesainya perikatan yang dicantumkan dalam perjanjian tersebut.
Jenis-jenis hubungan kerja adalah sebagai berikut:
a. Pekerjaan waktu tertentu (kontrak)
Pekerjaan waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan
pengusaha untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu
yang relatif pendek yang jangka waktunya paling lama 2 (dua) tahun, dan hanya dapat
diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja pertama,
dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak oleh melebihi 3 (tiga) tahun lamanya.
b. Pekerjaan Waktu Tidak Tentu (tetap)
1. Dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
2. Dalam masa percobaan pengusaha dilarang membayar upah dibawah upah minimum
yang berlaku.
3. Perjanjian kerja dibuat tertulis, jika dibuat secara lisan, pengusaha wajib membuat surat
pengangkatan bagi pekerja atau buruh yang bersangkutan.
c. Pemborongan
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh
yang dibuat secara tertulis.

2.6. Hak Dan Kewajiban Dalam Hubungan Kerja


Pengaturan dan bagaimana menjalankan hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan
kerja dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
a. Hak dan kewajiban yang sifatnya makro, minimal sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pengertiannya adalah hal-hal yang
diatur di dalam peraturan perundang-undangan berlaku menyeluruh bagi semua
perusahaan dengan standar minimal. Sekalipun demikian,perusahaan dapat
menerapkan standar yang lebih tinggi daripada yang diatur di dalam peraturan
perundnag-undangan.
b. Hak dan kewajiban yang sifatnya mikro, kondisional dalam pengertian bahwa
standar yang hanya diberlakukan bagi perusahaan secara individual telah sesuai
dengan kondisi perusahaan yang bersangkutan.

Kelompok yang kedua ini dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
a. Pengaturan yang berlaku bagi pekerja/buruh secara perorangan dalam bentuk Perjanjian
Kerja Perorangan (PKP).
b. Pengaturan yang berlaku secara kolektif dalam bentuk Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB).

Hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan satu dengan yang lainnya
merupakan suatu kebalikan, jika di satu pihak merupakan suatu hak maka pihak lainnya
adalah merupakan kewajiban. Kewajiban dari penerima kerja (pekerja) pada umumnya
tersimpul dalam hak si pemberi kerja atau pengusaha, seperti juga hak bagi si pekerja
tersimpul dalam kewajiban si pemberi kerja atau pengusaha. Untuk lebih jelas mengenai hak
dan kewajiban tersebut dan begitu pula sebaliknya, maka hak dan kewajiban para pihak
dalam suatu perjanjian kerja dapat dibagi sebagai berikut :
2.6.1. Hak Dan Kewajiban Pekerja/Buruh
Menurut Darwan Prints yang dimaksud hak disini adalah sesuatu yang harus diberikan
kepada seseorang sebagai akibat dari kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan
kewajiban adalah suatu prestasi baik berupa benda atau jasa yang harus dilakukan oleh
seseorang karena kedudukan atau statusnya. Hak-hak bagi pekerja adalah sebagai berikut:
1. Hak mendapat upah/gaji (pasal 1602 KUH Perdata, pasal 88 sampai dengan 97 undang-
undang No 13 Tahun 2003; Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1981 tentang perlindungan
upah).
2. Hak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 4 undang-
undang No 13 Tahun 2003).
3. Hak bebas memilih dan pindah pekerjaan sesuai bakat dan kemampuannya (pasal 5
undang-undang No 13 tahun 2003).
4. Hak atas pembinaan keahlian kejuruan untuk memperoleh serta menambah keahlian dan
keterampilan lagi (pasal 9-30 undang-undang No 13 tahun 2003).
5. Hak mendapatkan perlindungan atas keselamatan, kesehatan serta perlakuan yang sesuai
dengan martabat manusia dan moral agama (pasal 3 undang-undang No 3 tahun 1992
tentang Jamsostek).
6. Hak mendirikan dan menjadi anggota perserikatan tenaga kerja (pasal 104 undang-
undang No 13 tahun 2003, undang-undang No 21 Tahun 2000 tentang serikat
pekerja/serikat buruh).
7. Hak atas istirahat tahunan, tiap-tiap kali setelah ia mempunyai masa kerja 12 (dua belas)
bulan berturut-turut pada stu majikan atau beberapa majikan dari satu organisasi majikan
(pasal 79 undang-undang No 13 Tahun 2003).
8. Hak atas upah penuh selama istirahat tahunan )pasal 88-98 undang-undang No 13 Tahun
2003).
9. Hak atas sesuatu pembayaran Penggantian istirahat tahunan, bila pada saat diputuskan
hubungan kerja ia sudah mempunyai masa kerja sedikit-dikitnya enam bulan terhitung
dari saat ia berhak atas istirahat tahunan yang berakhir, yaitu dalam hal bila hubungan
kerja diputuskan oleh majikan tanpa alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh buruh,
atau oleh buruh karena alasan-alasan mendesak yang diberikan oleh majikan (pasal 150-
172 undang-undang No 13 tahun 2003).
10. Hak untuk melakukan perundingan atau penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian melalui pengadilan
(pasal 6-115 undang-undang No 2 tahun 2004).
Disamping mempunyai hak-hak sebagaimana diuraikan si atas, tenaga kerja juga mempunyai
kewajiban sebagai berikut:
A. Wajib melakukan prestasi/pekerjaan bagi majikan.
B. Wajib mematuhi peraturan perusahaan.
C. Wajib mematuhi perjanjian kerja.
D. Wajib mematuhi perjanjian perburuhan.
E. Wajib mejaga rahasia perusahaan.
F. Wajib mematuhi peraturan majikan.
G. Wajib memenuhi segala kewajiban selama izin belum diberikan dalam hal ada banding
yang belum ada putusnya.

2.6.2. Hak Dan Kewajiban Pengusaha


Hak pengusaha adalah sesuatu yang harus diberikan kepada pengusaha sebagai
konsekuensi adanya pekerja yang bekerja padanya atau karena kedudukannya sebagai
pengusaha. Adapun hak-hak dari pengusaha sebagai berikut:
1) Boleh menunda pembayaran tunjangan sementara tidak mampu bekerja sampai paling
lama lima hari terhitung mulai dari kecelakaan itu terjadi, jikalau buruh yang di timpa
kecelakaan tidak dengan perantaraan perusahaan atau kalau belum memperoleh surat
keterangan dokter yang menerangkan bahwa buruh tidak dapat bekerja karena di timpa
kecelakaan.
2) Dengan persetujuan sebanyak-banyaknya 50% apabila kecelakaan terjadi sedang
dibawah pengaruh minuman keras atau barang-barang lain yang memabukkan.
3) Boleh mengajukan permintaan kepada pegawai pengawas, untuk menetapkan lagi jumlah
uang tunjangan yang telah ditetapkan, jikalau dalam keadaan selama-lamanya tidak
mampu bekerja itu terdapat perubahan yang nyata.
4) Dapat mengajukan keberatan dengan surat kepada Menteri Tenaga Kerja, apabila
permintaan izin atau permintaan untuk memperpanjang waktu berlakunya izin ditolak
dalam waktu 60 (enam puluh) hari terhitung mulai tanggal penolakan.
5) Pengusaha berhak untuk:
- mendapat pelayanan untuk memperoleh calon tenaga kerja Indonesia yang akan dikirim
keluar negeri dari Kandepnaker.
- mendapat informasi pasar kerja
6) Mewakili dan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asing di luar negeri yang
menunjuknya (pasal 7 peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(No.01/Men/1983).
7) Dapat menunjukkan keberatan kepada Menteri Tenaga Kerja atau pencabutan izin
usahanya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari dari setelah keputusan izin usaha
dikeluarkan (pasal 10 ayat 2 peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.01/Men/1983)
8) Menetapkan saat dimulainya istirahat tahunan dengan memperhatikan kepentingan
buruh.
9) Mengundurkan saat istirahat tahunan untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan terhitung
mulai saat buruh berhak atas istirahat tahunan berhubung dengan kepentingan
perusahaan yang nyata-nyata.
10) Dapat memperhitungkan upah buruh selama sakit dengan suatu pembayaran yang
diterima oleh buruh tersebut yang timbul dari suatu peraturan
perundangan/peraturan/perusahaan/suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial
ataupun suatu pertanggungan (pasal 7 peraturan pemerintah No. 8 tahun 1981).
11) Menjatuhkan denda atas pelanggaran sesuatu hal apabila hal itu diatur secara tegas dalam
suatu perjanjian tertulis atau peraturan perusahaan (pasal 20 ayat 1 peraturan pemerintah
No 8 tahun 1981).
12) Minta ganti rugi dari buruh, bila terjadi kerusakan barang atau kerugian lainnya baik
milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh buruh karena kesengajaan atau
kelalaian nya (pasal 23 ayat 1 peraturan pemerintah No 8 tahun 1981).
13) Memperhitungkan upah dengan :
 Denda, potongan dan ganti rugi.
 Sewa rumah yang disewa kan oleh pengusaha dengan buruh dengan perjanjian
tertulis.
 Uang muka atas upah, kelebihan upah yang telah di bayarkan dan cicilan buruh
terhadap pengusaha, dengan ketentuan harus ada bukti tertulis (pasal 24 ayat 1
peraturan pemerintah No 8 Tahun 1981).

Kewajiban pengusaha adalah suatu prestasi yang harus dilakukan oleh pengusaha, bagi
kepentingan tenaga kerjanya, adapun kewajiban pengusaha sebagai berikut:
a. Kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yakni mengandung pemahaman apa
yang sebenarnya menurut hukum tidak dilakukan.

b. Kewajiban memberikan hak istirahat tahunan, hal tersebut termuat dalam pasal 1602 v
KUH Perdata, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 79.

c. Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan, keselamatan dan kesehatan, hal tersebut
sebagaimana tertuang dalam pasal 1602 x KUH Perdata, Pasal 86 UU Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.

d. Kewajiban memberikan surat keterangan, hal demikian sebagaimana termuat pada


ketentuan pasal 1602 a ayat (1) dan (2) KUH Perdata, antara lain ditentukannya kewajiban
memberikan surat keterangan yang dibubuhi tanggal dan tanda tangan si pemberi
kerja/pengusaha,UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

e. Kewajiban memperlakukan perlakuan sama antara pekerja pria dan wanita, hal tersebut
tertuang dengan jelas dalam pasal 31 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

f. Kewajiban membayar upah tepat pada waktunya, hal demikian sebagaimana ketentuan
yang dijelaskan pada pasal 1602 KUH Perdata yang berbunyi: “ Majikan wajib membayar
upah kepada buruh pada waktu yang ditentukan”. Hal demikian pula tercantum dalam pasal
95 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam konteks hubungan kerja pengaturan hak dan kewajiban ini lebih ditekankan
pada penggunaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dari pada Pengaturan Perusahaan (PP).
Hal ini karena ketika PKB disusun dan dibuat Serikat Pekerja/buruh yang mewakili para
pekerja/buruh, juga serikat pekerja/buruh berperan secara aktif dalam melakukan
perundingan (negoisasi) dengan pihak pengusaha. Prespsi masyarakat, bahwa pekerja/buruh
untuk menghadapi ketidakpuasan kerja dengan pengusaha maupun dengan kebijakan
pemerintah yang dilakukan melalui praktik mogok kerja selalu harus digunakan untuk
menyelesaikan kasus perselisihan perburuhan. Dengan fakta yang ada maka banyak aksi
dalam tindakan industrial yang dilakukan oleh para pekerja/buruh dan organisasi nya menjadi
bukan lagi kompetensi dan tanggung jawab Departemen Tenaga Kerja, apalagi kalau
masalahnya telah terkontaminasi dengan politik. Dari sisi regulasi sesungguhnya, peraturan
Ketenagakerjaan makin membaik setelah Indonesia meratifikasi tujuh Konvensi ILO.
Hendaknya pengusaha dan pekerja/buruh bersama-sama berupaya untuk lebih memahami
permasalahan hubungan industrial yang dihadapi sehingga dapat memusyawarahkan dan
menyelesaikan secara internal (Bipartit) tanpa melibatkan campur tangan pemerintah dan
investasi pihak ketiga.

Demikian pula pihak pekerja/buruh dan organisasinya dapat mewujudkan prinsip-


prinsip kebebasan dalam demokrasi guna kepentingan bersama yang paling menguntungkan
bagi semua pihak, termasuk organisasi pekerja/buruh dalam satu perusahaan sehingga
masing-masing dapat ikut aktif berpartisipasi dalam perundingan dengan pengusaha dalam
menyusun perjanjian kerja bersama atau yang disebut PKB.

2.7. Berakhirnya Perjanjian Kerja

Pengaturan khusus mengenai bagaimana berakhirnya perjanjian kerja pada umumnya


telah diatur di dalam Undang-undang ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Berdasarkan
ketentuan di dalam Pasal 61 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
diatur mengenai berakhirnya perjanjian kerja apabila, yakni :

a. Pekerja meninggal dunia;

b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian


perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan
kerja.
Ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
mengatur bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya
jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya
hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) maka
pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut pada dasarnya diwajibkan membayar ganti
rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja. Mengenai berakhirnya hubungan kerja dalam kesepakatan kerja
tertentu terdapat 2 kemungkinan yaitu karena:

1. Demi hukum yaitu karena berakhirnya waktu atau objek yang diperjanjikan atau disepakati
telah lampau.

2. Pekerja meninggal dunia dengan pengecualian jika yang meninggal dunia pihak
pengusaha, maka kesepakatan kerja untuk waktu tertentu tidak berakhir bahkan suatu
kesepakatan kerja untuk waktu tertentu tidak berakhir walaupun pengusaha jatuh
pailit.Sebenarnya dalam hal berakhir hubungan kerja, khususnya pada kesepakatan kerja
untuk waktu tertentu, selain untuk 2 jenis seperti tersebut di atas ada 1 kemungkinan lagi cara
berakhirnya hubungan kerja.Hal ini ditentukan pada pasal 16 ayat (1 dan 2), Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomer

05/MEN/1986 yang berbunyi bahwa :

Ayat (1) : Kesepakatan kerja untuk waktu tertentu berlangsung terus sampai saat berakhirnya
waktu yang telah ditentukan dalam kesepakatan kerja atau pada saat berakhirnya atau
selesainya pekerjaan yang telah disepakati dalam kesempatan kerja, kecuali karena:

a. Kesalahan berat akibat perbuatan pekerjaan

b. Kesalahan berat akibat perbuatan majikan

c. Alasan memaksa

Ayat (2) : Apabila pengusaha atau pekerja ternyata mengakhiri kesepakatan kerja untuk
waktu tertentu, sebelum waktunya berakhir atau selesainya pekerjaan tertentu yang telah
ditentukan dalam kesepakatan kerja, pihak yang meghakhiri kesepakatan kerja tersebut
diwajibkan memebayar kepada pihak lainya, kecuali bila putusnya hubungan kerja karena
kesalahan berat atau alasan yang memaksa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17, 19,
20.

Maksud dari ketentuan pasal tersebut di atas adalah bahwa baik pengusaha maupun
pekerja manakala akan mengakhiri atau memutuskan hubungan kerja dan ternyata waktu atau
objek yang telah mereka sepakati belum sampai atau berakhir, maka konsekuensi nya pihak
yang melakukan inisiatif untuk yang mengakhiri hubungan kerja tersebut, kepadanya
diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lain, antara lain dengan membayar
sejumlah ganti rugi sebesar upah pekerja sampai waktu atau sampai pekerjaannya seharusnya
selesai. Kecuali bila berakhirnya hubungan kerja tersebut karena kesalahan berat atau alasan–
alasan yang memaksa.

2.8. Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia

Tenaga kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13
tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Menurut Molenaar dalam Asikin (1993:2) “Hukum Perburuhan adalah bagian dari
hukum yang berlaku, yang pokok nya berkaitan dengan tenaga kerja dan pengusaha antara
tenaga kerja dan tenaga kerja dengan tenaga kerja dan tenaga kerja.”

Menurut Syahrani (1999:86) “Hukum Perburuhan adalah peraturan perundang-


undangan yang mengatur hubungan perburuhan, yaitu hubungan antara buruh dengan
majikan, dan hubungan antara buruh dan majikan dengan pemerintah (pengusaha).”

Berdasarkan uraian atas hukum ketenagakerjaan memiliki unsur:

1. Serangkaian peraturan yang dibuat tertulis dan tidak tertulis.

2. Perihal hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha.

3. Adanya orang yang bekerja pada dan dibawah orang lain mendapat upah sebagai balas
jasa.

4. Setelah disetujui pekerja/buruh, membahas masalah keadaan sakit, rawat hamil,


bicarakan organisasi pekerja dan sebagainya.
Asas Dan Tujuan Hukum Ketenagakerjaan

Anda mungkin juga menyukai