Anda di halaman 1dari 13

TUGAS MAKALA

PERLINDUGAN TENAGA KERJA DI INDONESIA

NAMA KELOMPOK IV:


KETUA KELOMPOK :
ZULFIKAR
ANGGOTA :
WA ODE FARDELA
WA ODE YUSNIAR
RISKI
NOFAL ADIASA
WA ERWATI
NAZWA M KABURI
SUDIARI NAWIA N
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “perlindugan tenaga kerja di indonesia” ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas kelompok mata pelajaran PKn. Kami ucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Dan kami
juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah membantu dalam
memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan arahan
serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-baiknya.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini sehingga kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan,
karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik
kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Indonesia, 29 oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. pegertian tenaga kerja
B. jenis perlindungan tenaga kerja
1. Perlindungan sosial atau kesahatan kerja
2. Perlindungan teknis atau keselamatan kerja
3. Perlinndungan ekonomis atau jaminan sosial
C. jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam undang-undang nomor 3 tahun 1992
D. jenis-jenis jaminan sosial tenaga kerja
1. Jaminan kecelakaan karja
2. Jaminan kamatian
3. Jaminan hari tua
4. Jaminan pemeliharaan kesehatan
E. perlindungan hukum tenaga kerja
1. Perlindungan pekerja perampuan
2. Pedoman hukum bagi pekerja wanita
3. Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita
4. Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO
5. Perlindungan Pekerja Anak

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perlindungan Tenaga Kerja diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlindungan
ini dibahas, yang mana membahas mengenai perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan. Perselisihan yang
mungkin terjadi adalah apabila ada pelanggaran dalam Perjanjian Kerja terkait dengan jaminan keselamatan
kerja yang minim bagi pekerja, dan fenomena semacam ini memang terjadi mengingat tingginya tingkat
kecelakaan kerja di Kota Malang yang menunjukkan rendahnya perhatian terhadap keselamatan kerja.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan ketenagakerjaan terkait hak jaminan ?

2. perlindungan apa saja yang dilakukan untuk mendapatkan peerlindungan dalam ketenaga kerjaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TENAGA KERJA

Dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan


bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan masyarakat pancasila.
Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat termasuk tenaga kerja.
Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus di jamin haknya, diatur kewajibannya dan dikembangkan
daya gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga kerja
adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan social tenaga
kerja karena adanya pentahapan kepesertaan.

Bentuk perlindungan tenaga kerja di Indonesia yang wajib di laksanakan oleh setiap pengusaha atau
perusahaan yang mempekerjakan orang untuk bekerja pada perusahaan tersebut harus sangat diperhatikan,
yaitu mengenai pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan di maksud diselenggarakan dalam bentuk
jaminan social tenaga kerja yang bersifat umum untuk dilaksanakan atau bersifat dasar, dengan bersaskan
usaha bersama, kekeluargaan dan kegotong royongan sebagai mana yang tercantum dalam jiwa dan semangat
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

B. JENIS PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga ) macam, yaitu :

1.   Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk
bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
2.   Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan
kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3.   perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.

Ketiga jenis perlindungan di atas akan di uraikan sebagai berikut :

1.    Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja

  Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis perlindungan sosial karena
ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, yaitu aturan-
aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan pengusaha untuk
memperlakukan pekerja/buruh ”semaunya” tanpa memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak
memandang pekerja/buruh sebagai mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi. 

Karena sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan perlindungan sosial


dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya bersifat ”memaksa”, bukan mengatur. Akibat
adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindunga sosial UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-
undang memandang perlu untuk menjelaskan bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini
merupakan ”hukum umum” (Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana. Hal ini disebabkan beberapa alasan
berikut :

 Aturan-aturan yang termuat di dalamnya bukan bermaksud melindungi kepentingan seorang saja,
melainkan bersifat aturan bermasyarakat.
 Pekerja/buruhIndonesia umumnya belum mempunyai pengertian atau kemampuan untuk melindungi
hak-haknya sendiri.

Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari
kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh
melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan kerja” menunjukkan bahwa semua
tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja dengan pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial
sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003.

2.    Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu perlindungan terhadap
pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat kerja atau bahan yang dikerjakan. 

Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan pekerja/buruh
saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh, tetapi kepada
pengusaha dan pemerintah.

 Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan suasana kerja
yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal
mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan kerja.
 Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat
mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan
sosial.
 Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka
apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan
meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas. Ibid, hal 84

Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1 Tahun 1970
tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan undang-undang ini belum ada
sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda masih dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
keselamatan kerja di perusahaan. Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah sebagai berikut : Ibid, hal 84

 Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan S. 1931 No.
168 yang kemudian setelah Indonesia merdeka diberlakukan dengan Peraturan Pemerintah No. 208
Tahun 1974. Peraturan ini menatur tentang keselamatan dan keamanan di dalam pabrik atau tempat
bekerja.
 Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.
 Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan pemakaian timah putih kering.

3.    Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial

Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara
untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan
keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program
jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih
terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan
berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat
peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua
dan meninggal dunia. 

Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan perlindungan
bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang ( jaminan kecelakaan kerja, kematian, dan tabungan hari
tua ), dan pelyanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan kesehatan.

C. Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang – Undang Nomor. 3 Tahun 1992 adalah : 

Merupakan hak setiap tenaga kerja yang sekaligus merupakan kewajiban dari majikan. Pada hakikatnya
program jaminan soisal tenaga kerja dimaksud untuk memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan
penghasilan keluarga yang sebagian yang hilang.

Disamping itu program jaminan sosial tenaga kerja mempunyai beberapa aspek antara lain :  Indonesia,
(Undang-undang jaminan soail tenaga kerja, 3 Tahun 1992.)

 Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja beserta
keluarganya.

 Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja tidak harus
meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko – resiko seperti kecelakaan
kerja, sakit, hari tua dan lainnya.

D. Jenis – Jenis Jaminan Sosial tenaga kerja

1.    Jaminan Kecelakaan Kerja

Kecelakaan Kerja maupun penyakit akibat kerja maerupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang
melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilannya yang
diakibatkan oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka perlu adanya
jaminan kecelakaan kerja.

2.    Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan terputusnya
penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Oleh
karena itu, diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya
pemakaman maupun santunan berupa uang.

3.    Jaminan hari Tua

Hari tua dapat mengkibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mapu bekerja. Akibat terputusnya upah
tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi ketenaga kerjaan sewaktu masih
bekerja, teruma bagi mereka yang penghasilannya rendah. Jaminan hari tua memberikan kepastian
penerimaan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 ( lima puluh
lima ) tahun atau memnuhi persyaratan tersebut.

4.    Jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan unutk meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat
melaksankan rugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan dibidang penyembuhan ( kuratif ).

Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika dibebankan
kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penggulangan kemampuan masyarakat melalui
program jaminan sosial tenaga kerja.

Disamping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga kerja yang
meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (oreventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan
(rehabilitatif). 

E. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja

1.Perlindungan Pekerja Perempuan


Di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja yaitu Pasal 27 dan Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8.
Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada
Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep.
224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul
23.00 sampai dengan Pukul 07.00.
Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada perempuan. Di Indonesia,
ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam bekerja telah diatur dalam
Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa,”Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Wanita adalah Tenaga Kerja
Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja dengan menerima upah.
Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki, seperti cuti melahirkan,
pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain.

2.Pedoman Hukum Bagi Pekerja Wanita


Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84, Pasal 93, Kepmenaker No. 224
tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi:

a.Perlindungan Jam Kerja


Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul 07.00). Hal ini
diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini
ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:
 Memberikan makanan dan minuman bergizi
 Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
 Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul
23.00 – 05.00.
Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00 – 07.00.

b.Perlindungan dalam masa haid


Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur masalah
perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam masa haid tidak wajib
bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh. Dalam pelaksanaanya lebih banyak
yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak mendapatkan premi hadir.

c.Perlindungan Selama Cuti Hamil


Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur
masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5
bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh. Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang
tidak membayar upah secara penuh.

d.Pemberian Lokasi Menyusui


Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah ibu yang
sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang anaknya masih menyusui untuk menyusui
anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.

e.Peranan Penting Dinas tenaga Kerja


Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja wanit yakni dengan
melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan
Perundangan di bidang ketenagakerjaan dan melakukan pengawasan ke Perusahaan.

3.Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita


Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita
adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang
berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja
sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan ekonomi.
Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan untuk
memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan
cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan.
Namun demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan
bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat prematur untuk
mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal.
CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap
perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang
berbeda berdasarkan gender yang:

 Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;


 Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik di dalam
maupun di luar negeri; atau
 Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang dimilikinya.

Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya sebagaimana
diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja
termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi.
Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama majikan sering
berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak berdokumen tidak diberikan
dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri.
Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa
semua kontrak dan semua dokumen yang mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan
kecakapan hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.

4.Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO


Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di bawah tanah. Isi Pasal 2
menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh melakukan pekerjaan tambah di
bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.
Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita untuk Pekerjaan
yang Sama nilainya menyebutkan, “Pengupahan meliputi upah atau gaji biasa, pokok atau minimum dan
pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang harus dibayar secara langsung atau tidak, maupun secara
tunai atau dengan barang oleh pengusaha dengan buruh berhubung dengan pekerjaan buruh”.
Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan
kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh
wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

5.Perlindungan Pekerja Anak


Masalah pekerja anak atau tenaga kerja anak diatur di dalam ps.1 Undang-undang No.25 Tahun 1997
tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang sekaligus menetapkan batas usia anak yang
diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun, baik untuk anak laki-laki maupun untuk anak perempuan.
Tetapi menanggapi pertanyaan apakah peraturan tersebut sudah memadai dan sejauhmana
pelaksanaannya adalah jauh dari mudah, karena sampai saat ini masalah pekerja anak masih menjadi
kontroversi dalam isu tentang perlindungan anak pada umumnya. Bisa dikatakan, masalah pekerja anak
merupakan masalah klasik dalam hal perlindungan anak.
Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keppres No.36 Tahun 1990,
maka ada baiknya kita merujuk pada KHA untuk semua masalah seputar anak yang kita temui. Di dalam pasal
32 dari KHA, dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi
ekonomi dan dari setiap bentuk pekerjaan yang berbahaya dan mengganggu pendidikannya, membahayakan
kesehatannya atau mengganggu perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu
negara berkewajiban untuk menentukan batas usia minimum pekerja anak, mengatur jam dan kondisi
penempatan kerja, serta menetapkan sanksi dan menjatuhi hukuman kepada pihak-pihak yang melanggar
peraturan tersebut.
Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Negara telah menunaikan core obligation-nya melalui UU
Ketenagakerjaan tersebut. Negara telah menetapkan batas usia minimum pekerja anak, telah mengatur bahwa
anak harus dihindarkan dari kondisi pekerjaan yang berbahaya, dsb. Tetapi persoalan implementasi
merupakan masalah yang sangat berbeda. Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu
penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Pendekatan abolisi
mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja dalam kondisi apapun, karena anak
punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta mengembangkan dirinya seoptimal
mungkin.
Sementara pendekatan proteksi mendasarkan pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa
sebagai manusia dan sebagai warga negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan
pemberdayaan sebenarnya merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan
terhadap pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya.
Pada dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terus-menerus mengupayakan
pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja anak.
Kondisi-kondisi yang sangat merugikan seperti diupah dengan murah, rentan terhadap eksploitasi, rentan
terhadap kecelakaan kerja, rentan terhadap PHK yang semena-mena, serta berpotensi untuk kehilangan akses
dan kesempatan mengembangkan diri, menimbulkan kewajiban baru bagi negara untuk memberikan
perlindungan kepada anak yang terpaksa bekerja, dan bahwa kepada anak yang bekerja harus diberikan
perlindungan melalui peraturan ketenagakerjaan agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja
sebagaimana orang dewasa dan agar mereka terhindar dari segala bentuk eksploitasi dan penyalahgunaan.
Jadi sementara negara belum bisa sepenuhnya menghapus pekerja anak, setidaknya negara dapat
menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja anak, sebagai anak dan sebagai pekerja, serta memberikan
perlindungan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, melalui cara memfasilitasi mereka dengan pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Tetapi seperti halnya berbagai peraturan lainnya, kendala utamanya adalah dalam hal pelaksanaan. Dan
sejauh mana Negara telah memberikan perlindungan terhadap pekerja anak, masih perlu kita kaji lebih lanjut.
Adapun pasal-pasal yang menyebutkan tentang perlindungan pekerja anak yang termuat dalam Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003, sebagai berikut:

a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan
belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).
b. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai 15 tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari kesehatan fisik, mental dan
sosial (Pasal 69 ayat( 1)).

c. Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
- Ijin tertulis dari orang tua/wali.
- Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha
- Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam
- Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
- Keselamatan dan kesehatan kerja
- Adanya hubungan kerja yang jelas
- Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

d. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus
dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).

e. Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya (Pasal 73).

f. Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal 74 ayat (1).
Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu :
- Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.
- Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan
perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
- Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi
pornografi, pertunjukan porno, perjudian.
- Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pasal 86 dan Pasal 87 Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur akan
keselamatan kerja akan pekerja yang bekerja didalam perusahaan. Dan bagi pengusaha yang tidak
menerapkan peraturan tersebut didalam perusahaan akan dikenakan sanksi pidana. Terjalinnya kesepakatan
antara pekerja dan pengusaha dalam melakukan pekerjaan diperusahaan tersebut harus berpacu kepada
perjanjian kerja yang ada didalam Pasal 52 ayat 1 Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyebutkan perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan kedua belah pihak,
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan
pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B.SARAN

Bagi pihak perusahaan, dalam menjalankan pekerjaannya setiap pekerja mempunyai hak yang sama
dalam hal keselamatan kerja, baik itu pekerja yang ada di lapangan ataupun didalam ruangan harus
mempunyai alat kerja yang dapat menjamin akan keselamatannya.
DAFTAR PUSTAKA

UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja

konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan

Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan

https://repository.maranatha.edu/23017/7/1187037_Conclusion.

http://e-journal.uajy.ac.id/1372/4/1HK09630.

Anda mungkin juga menyukai