Di susun oleh :
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………..……………....
DAFTAR ISI……………………………………..………………………………....
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………......……………………..................
B. Rumusan Masalah ………………………......……………………….................
C. Tujuan Masalah …………………………..………………………….................
BAB II PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Perlindungan Tenaga Kerja……………………………..…......
B. Sebab-Sebab Diperlikannya Perlindungan Tenaga Kerja…………………...….
C. Objek Perlindungan Tenaga Kerja…………………………….………………..
D. Jenis-Jenis Perlindungan Tenaga Kerja…………………………………………
E. Perinsip-Perinsip Perlindungan Tenaga kerja…………………………………..
BAB III PENUTUP
A. Simpulan …………......……………………………………………………........
B. Kritik dan Saran ………………......…………………………………….............
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui ruang lingkup tenaga kerja
2. Mengerti diperlukannya perlindungan tenaga kerja
3. Mengetahui objek perlindungan tenaga kerja
4. Mengetahui jenis-jenis perlindungan kerja
5. Mengetahui prinsip-prinsip perlindungan tenaga kerja?
BAB 2
PEMBAHASAN
2. Keselamatan Kerja
a. Riwayat Kesehatan
Menilik pada sejarahnya, kesehatan kerja ini dimaksudkan sebagai
perlindungan bagi buruh terhadap pemerasan (eksploitasi) tenaga
buruh oleh majikan yang misalnya untuk mendapat tenaga yang
murah, mempekerjakan budak, pekerja rodi, anak dan wanita untuk
pekerjaan yang berat dan waktu yang tak terbatas.[13] Kesehatan kerja
pertama kali diatur dalam:
. Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de
Nachtarbeid van de Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen,
yaitu peraturan tentang pembatasan pekerjaan anak dan wanita pada
malam hari, yang dikeluarkan dengan Ordonantie No. 647 Tahun
1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926.
. Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige
Persoonen ann Boorvan Scepen, biasanya disingkat “Bepalingen
Betreffende”, yaitu peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda
di kapal, yang diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 Tahun 1926,
mulai berlaku tanggal 1 Mei 1926.[14]
Sebagaimana diketahui, kedua peraturan ini hanya membatasi pada
hal-hal tertentu, dan merupakan tindak lanjut dari beberapa konvensi
ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Di
samping kedua peraturan ini pemerintah Hindia Belanda juga
mengeluarkan peraturan-peraturan lainnya terkait kesehatan kerja.
Namun karena sifatnya yang tidak menyeluruh dan hanya berlaku pada
tempat dan golongan tertentu, hal itu justru menimbulkan pluralitas
hukum.
Setelah Indonesia merdeka pun peraturan perundangan mengenai
kesehatan kerja ini tetap mengalami penggodokan, hingga akhirnya
dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948, yang
dimaksudkan sebagai undang-undang pokok yang memuat aturan-
aturan dasar tentang:
. Pekerjaan anak;
. Pekerjaan orang muda;
. Pekerjaan wanita;
. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso;
. Tempat kerja dan perumahan buruh; untuk semua pekerjaan tidak
membeda-bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di
rumah sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan
lain-lain.[15]
Undang-undang ini terus berlaku berikut peraturan pelaksanaannya
hingga kemudian undang-undang kerja ini dicabut dan digantikan
dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
b. Tujuan Kesehatan Kerja
Beberapa tujuan diterapkannya prinsip kesehatan kerja, adalah:
1. a. Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja
yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental maupun sosial.
2. Mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.
3. Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan
dengan tenaga kerja.
4. Meningkatkan produktivitas kerja.[16]
c. Sumber-sumber Bahaya bagi Kesehatan Tenaga Kerja
Sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya:
1. Faktor fisik, berupa suara terlalu bising, suhu terlalu tinggi atau
terlalu rendah, radiasi, getaran mekanis, dan sebaginya.
2. Faktor kimia, berupa gas/uap, cairan, debu-debuan, butiran kristal,
dan bahan-bahan kimia yang mempunyai sifat racun.
3. Faktor biologis, berupa bakteri virus, jamur, cacing, serangga,
tumbuh-tumbuhan dan semacamnya yang hidup dalam lingkungan
tempat kerja.
4. Faktor fatal, berupa sikap badan yang tidak baik pada waktu kerja,
gerak yang senantiasa duduk atau berdiri, proses, sikap dan cara
kerja yang monoton, beban kerja melampaui batas kemampuan,
dan lain-lain.
5. Faktor psikologis, berupa kerja yang terpaksa/dipaksakan tidak
sesuai kemampuan, suasana kerja tidak menyenangkan, pikiran
yang tertekan, dan pekerjaan yang senderung mudah menimbulkan
kecelakaan
d. Tentang Pekerja Anak
Dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, secara
tegas melarang pengusaha mempekerjakan anak. Larangan itu sifatnya
mutlak, artinya di semua perusahaan. Tidak dibedakan apakah
pekerjaan itu dilakukan di perusahaan perindustrian, di perusahaan
pertanian, ataukah di perusahaan perdagangan.[17] Hal ini juga
berkaitan dengan program wajib belajar yang dicanangkan oleh
pemerintah. Dengan demikian, tentunya anak-anak yang berusia di
bawah 14 tahun sedang giat-giatnya belajar, dan bukannya bekerja.
Jadi, larangan pekerjaan anak itu bermaksud untuk menjaga kesehatan
dan pendidikannya.
Namun kenyataannya, hingga saat ini masih banyak anak-anak
yang terpaksa ikut bekerja untuk membantu orang tuanya. Banyak pula
dari mereka yang harus meninggalkan bangku sekolah dan memilih
bekerja karena himpitan ekonomi keluarga. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa perekonomian negara kita memang belum
memungkinkan untuk membebaskan anak-anak dari pekerjaan. Oleh
karena itu, Undang-undang 13 Tahun 2003 ini lebih lanjut mengatur
mengatur tentang pekerjaan anak, yakni pada Pasal 68 sampai dengan
Pasal 75.
Bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun
diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
Anak juga dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh
pejabat berwenang. Selain itu pula, anak dapat melakukan pekerjaan
untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Mengenai perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan
untuk mengembangkan bakat dan minat, diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-
115/MEN/VII/2004. Di samping itu, pengusaha yang mempekerjakan
anak untuk hal ini diwajibkan melapor ke instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota anak itu
dipekerjakan. Laporan tersebut harus dilakukan paling lambat empat
belas hari sebelum pengusaha mempekerjakan anak.[18]
3. Pengupahan
a. Pengertian Upah
Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah disebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan
sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan
atau jasa yang telah atau akan dilaksanakan, dinyatakan atau dinilai
dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut persetujuan atau
perundang-undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan
baik untuk buruh itu sendiri maupun keluarganya.[22]
Sedangkan dalam pasal 1 angka 30 Undang-Undang Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Peranan upah disini sangat penting dan upah merupakan ciri khas
suatu hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah adalah tujuan
utama seseorang pekerja/buruh bekerja pada orang lain atau badan
hokum. Oleh karena itulah dibutuhkan peranan pemerintah untuk
menangani permasalahan dalam upah melalui berbagai macam
kebijakan. Untuk menjaga agar jangan sampai upah yang diterima
terlalu rendah, maka pemerintah turut menetapkan standar upah
terendah melalui peraturan perundang-undangan. Dan inilah yang
disebut upah minimum.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1)
menyebutkan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
b. Perlindungan Upah
Problematika ketenagakerjaan/perburuhan sepanjang masa tidak
pernah selesai, dari masalah perlindungan, pengupahan, kesejahteraan,
perselisihan hubungan industrial, pembinaan, dan pengawaan
ketenagakerjaan. Hal ini lebih diakibatkan kelemahan pemerintah
secara sistemik dalam mengimplementasikan undang-undang
ketenagakerjaan, bahkan cenderung ada penyimpangan, hal lain
masalah koordinasi dan kinerja antar lembaga belum optimal dan
masih sangat memprihatinkan.[23]
Dewasa ini kebijakan penetapan upah minimum masih menemui
banyak kendala sebagai akibat belum terwujudnya satu keseragaman
upah. Oleh karena itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah provinsi
kabupaten/kota. Upah minimum tersebut ditetapkan oleh gubernur
untuk wilayah provinsi dan oleh bupati/wali kota untuk wilayah
kabupaten/kota, dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi atau bupati/wali kota. Pengusaha dalam hal ini
tidak boleh membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang
telah ditetapkan di masing-masing wilayah.
Dengan adanya system penetapan upah minimum berdasarkan
wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan sector pada wilayah atau
kabupaten/kota, berarti masih belum ada keseragaman upah di semua
perusahaan dan wilayah/daerah. Hal ini dapat dipahami mengingat
kondisi dan sifat perusahaan di setiap sector wilayah/daerah tidak sama
dan belum bisa disamakan. Demikian juga kebutuhan hidup seseorang
pekerja/buruh sangat berbeda tergantung pada situasi dan kondisi
wilayah atau daerah dimana tempat bekerja itu berada.[24]
Belum adanya keseragaman upah tersebut justru masih didasarkan
atas berbagai macam pertimbangan demi kelangsungan hidup
perusahaan dan para pekerja. Sistem pengupahan yang bersifan
diferensif menyebabkan kuantitas tingkat upah khusunya dalam
penetapan upah minimum terjadi beberapa perbedaan. Kebijakan
sektoral dan regional didasarkan pada pemilihan wilayah /daerah
berikut sector ekonominya yang potensial dengan mempertimbangkan
beberapa aspek yang mempengaruhi antara lain adalah[25]:
1. Aspek kondisi perusahaan
Melalui aspek ini dapat diketahui kriteria perusahaanyang
tergolong kecil, menengah, atau besar, yang membawa
konsekuensi pada kemampuan perusahaan tersebut dalam
memberikan upah.
2. Aspek keterampilan tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan
dan pertumbuhan ekonomi perusahaan. Karena peningkatan
produksi dan produktivitas kerja sangat ditentukan oleh
personil perusahaan, baik tingkat bawah maupun tingkat atas.
3. Aspek standar hidup
Pemberian upah juga didasarkan pada wilayah atau daerah
dimana perusahaan itu berada, karena standar hidup di masing-
masing daerah itu berbeda. Peningkatan upah ini didasarkan
pada kebutuhan pokok tenaga kerja yang bersangkutan sesuai
tingkat perkembangan ekonomi dan social di wilayah tertentu.
4. Aspek jenis pekerjaan
Perbedaan pada jenis perkerjaan juga mengakibatkan
terjadinnya perbedaan tingkat upah. Aspek ini mempunyai arti
yang khusus, karena diperolehnya pekerjaan dapat membantu
tercapainya kebutuhan pokok bagi pekerja yang bersangkutan.
c. Komponen Upah
Memberi upah yang tidak dalam bentuk uang dibenarkan asal tidak
melebihi 25% dari nilai rupiah yang seharusnya diterimanya. Imbalan
yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya tidak selamnya
disebut sebgai upah, karena bisa jadi imbalan tersebut tidak masuk
dalam komponen upah.
Dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990
tentang pengelompokan komponen upah dan pendapatan non upah
disebut bahwa[26]:
1. Termasuk komponen upah:
. Upah pokok, merupakan imbalan dasar yang dibayrakan
kepada pekerja menurut jenis pekerjaan, dan mengenai
besarnya ditentukan berdasarkan perjanjian.
. Tunjangan tetap, tunjangan ini diberikan bersamaan dengan
upah pokok, tunjangan tetap ini seperti, tunjangan kesehatan,
perumahan, anak dan lain-lain. Yang diberikan kepada buruh
dan keluarganya.
. Tunjanga tidak tetap, diberikan secara tidak tetap bagi pekerja
dan keluarganya, dan tidak dibayakan bersamaan dengan upah
pokok.
2. Tidak temasuk komponen upah:
. Fasilitas, kenikmatan yang bersifat khusus atau untuk
meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti kendaraan antar
jemput.
. Bonus, pembayaran yang diterima buruh dari hasil prestasinya
di perusahaan tempatnya bekerja.
. Tunjangan Hari Raya dan pembagian keutungan lainnya.
d. Upah Satuan Waktu dan Upah Satuan Produk
Upah dapat ditentukan menurut satuan waktu atau menurut satuan
produk yang dihasilkan oleh pekerja. Upah menurut satuan waktu
dapat dihitung dalam bentuk upah per jam, upah per hari, upah per
minggu dan seterusnya. Upah perjam biasanya digunakan untuk
pelaksanaan kegiatan yang sifatnya tidak lama, seperti konsultan,
penceramah, tenaga bebas dan sebagainya.
Sedangkan upah per bulan biasanya diperuntukkan bagi pekerja
yang sifatnya tetap. Pekerja mempunyai ikatan kerja yang relative
lama atau tetap sehingga disebut pekerja tetap.
Istilah upah biasanya digunakan untuk satua waktu yang relative
pendek seperti per jam, per hari. Sedangkan istilah gaji biasanya
mencakup juga tunjangan-tunjangan dan digunakan untuk satuan
waktu yang relative panjang seperti per bulan dan per tahun.
Penentuan upah menurut satuan produk masih mengandung beberapa
kelemahan jika dilihat dari segi perlindungan dan keselamatan kerja,
seperti dalam pekerjaan menjahit baju.
4. Jaminan Sosial
1. Jaminan Kecelakaan Kerja
Jaminan kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi pada
hubungan pekerjaan, termasuk sakit akibat hubungan kerja atau
kecelakaan yang terjadi ketika dari rumah menuju tempat kerja dan
pulang kembali melalui jalan yang biasa dilalui. Pekerja yang tertimpa
kecelakaan kerja berhak atas jaminan kecelakaan kerja berupa
penggantian biaya berupa (a) biaya pengangkutan tenaga kerja yang
mengalami kecelakaan ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk
biaya P3K, (b) biaya pemeriksaan dan/atau perawatan selama dirumah
sakit, termasuk rawat jalan, (c) biaya rehabilitasi berupa alat bantu
dan/atau alat ganti bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang
atau tidak berfungsi karena kecelakaan kerja. Selain itu, tenaga kerja
yang mengalami kecelakaan kerja juga diberikan santunan berupa
uang, meliputi:[31]
a. Santunan sementara tidak mampu bekerja, dengan besar
santunan 4 bulan pertama 100% x upah sebulan, 4 bulan
kedua 75% x upah sebulan, dan bulan seterusnya 500%
x upah sebulan.
b. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya,
dibayarkan sekaligus dengan besaran santunan % sesuai
tabel x 70 bulan upah.
c. Santunan cacat total untuk selama-lamanya, dibayarkan
secara sekaligus dan secara berkala dengan besarnya
santunan: (1) sekaligus sebesar 70% x 70 bulan upah,
(2) berkala sebesar Rp 50.000,- selama 24 bulan.
d. Santunan cacat kekurangan fungsi, dibayarkan
sekaligus dengan besaran santunan % berkurangnya
fungsi x % sesuai tabel x 70 bulan upah.
e. Santunan kematian, dibayarkan sekaligus dengan
besaran 60% x 70 bulan upah, sekurang-kurangnya
sebesar jaminan kematian dan secara berkala dengan
besaran Rp 50.000,- selama 24 bulan, serta biaya
pemakaman sebesar Rp 600.000,
Dalam kaitannya dengan kecelakaan kerja, terdapat suatu jenis
kecelakaan yang tidak dikategorikan sebagai kecelakaan kerja,
meliputi:[32]
a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu cuti.
b. Kecelakaan yang terjadi di mes/perkemahan yang tidak berada
di lokasi tempat kerja.
c. Kecelakaan yang terjadi dalam rangka melakukan kegiatan
yang bukan merupakan tugas dari atasan, untuk kepentingan
perusahaan.
d. ) Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan
meninggalkan tempat kerja untuk kepentingan pribadi.
2. Jaminan Kematian
Kematian pada umumnya menimbulkan kerugian finansial bagi
mereka yang ditinggalkannya, baik berupa kehilangan mata
pencaharian maupun biaya perawatan selama di rumah sakit hingga
pemakaman. Sehingga dengan adanya hal tersebut, program jaminan
sosial tenaga kerja, pemerintah mengadakan program jaminan
kematian.
Kematian yang di maksudkan disini ialah meninggal pada waktu
pekerja menjadi peserta jaminan sosial atau sebelum melewati enam
bulan sejak pekerja berhenti bekerja, yang santunan tersebut diberikan
kepada ahli waris pekerja yang di prioritaskan mulai dari istri/suami
yang sah, anak dibawah 21 tahun yang belum menikah dan belum
bekerja, orang tua, cucu, kakek/nenek, saudara kandung, dan mertua.
Apabila pekerja yang meninggal tidak memiliki ahli waris, maka yang
diberikan hanya biaya pemakaman saja, yang diberikan kepada para
pengurus pemakaman tenaga kerja tersebut. Jaminan kematian ini
diberikan kepada ahli waris tenaga kerja yang meninggal sebelum
mencapai usia 55 tahun. Karena setelah mencapai usia tersebut, tenaga
kerja yang bersangkutan akan mendapat jaminan hari tua.[33]
Besarnya jaminan kematian sebesar 0,30% dari upah pekerja
selama sebulan yang ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha yang
secara rutin harus dibayar langsung oleh pengusaha kepada Badan
Penyelenggara. Jaminan yang diterima berdasarkan program ini ialah:
[34]
a. Biaya pemakaman sebesar Rp 1.000.000,- apabila pekerja
meninggal karena kecelakaan/penyakit dalam hubungan
kerja/hubungan industrial.
b. Santunan berupa uang sebesar Rp 5.000.000,- yang diberikan
kepada ahli waris pekerja tersebut.
Para ahli waris atau pihak yang berhak menerima santunan, bail
berupa santunan dan biaya pemakaman mengajukan permohonan
kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan bukti-bukti berupa
kartu peserta dan surat keterangan kematian. Dalam hal magang atau
murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta narapidana
meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja yang berhubungan
dengan hubungan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak
atas jaminan kematian.[35]
PENUTUP
A. KESIMPULAN