Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

K3 DAN HUKUM KETENAGAKERJAAN

“PERLINDUNGAN TENAGA KERJA”

Disusun guna melengkapi tugas mata kuliah K3 DAN HK

Dosen pengampu : Imam Syafa’at, ST, MT

Di susun oleh :

Oom Hairuman 19103011060


Aldis Fadila 19103011062
Muhammad Risky Fahad 19103011094

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Semarang, 18 Desember 2020

Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………..……………....
DAFTAR ISI……………………………………..………………………………....

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………......……………………..................
B. Rumusan Masalah ………………………......……………………….................
C. Tujuan Masalah …………………………..………………………….................
BAB II PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Perlindungan Tenaga Kerja……………………………..…......
B. Sebab-Sebab Diperlikannya Perlindungan Tenaga Kerja…………………...….
C. Objek Perlindungan Tenaga Kerja…………………………….………………..
D. Jenis-Jenis Perlindungan Tenaga Kerja…………………………………………
E. Perinsip-Perinsip Perlindungan Tenaga kerja…………………………………..
BAB III PENUTUP
A. Simpulan …………......……………………………………………………........
B. Kritik dan Saran ………………......…………………………………….............
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tenaga kerja merupakan pelaku ekonomi dan pembangunan, baik


secara individu maupun kelompok, yang memiliki peranan penting dalam
aktivitas perekonomian nasional, yaitu meningkatkan produktivitas dan
kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, tenaga kerja berperan sebagai
salah satu penggerak ekonomi dan juga sebagai sumber daya yang
jumlahnya cukup melimpah. Hal ini dapat dilihat pada problema masih
tingginya tingkat pengangguran serta minimnya lapangan kerja.

Menyadari pentingnya tenaga kerja pada setiap lapisan, yakni


perusahaan, pemerintah, dan masyarakat, maka diperlukan suatu
pemikiran agar tenaga kerja/pekerja agar dapat menjaga keselamatannya
dalam menjalankan pekerjaan yang diamanatkan kepadanya. Begitu pula
dengan kesehatan dan jaminan lainnya. Pemikiran-pemikiran tersebut
merupakan salah satu bentuk perlindungan kerja bagi para tenaga kerja.
Namun demikian, begitu besarnya potensi tenaga kerja di Indonesia tidak
diimbangi dengan pemahaman konsep perlindungan kerja. Dan ironisnya
mayoritas dari mereka justru cenderung mengabaikannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka didapatkan rumusan masalah


sebagai berikut :
1. Apa ruang lingkup perlindungan tenaga kerja ?
2. Mengapa diperlukannya perlindungan tenaga kerja ?
3. Apa objek utama yang perlindungan tenaga kerja ?
4. Apa jenis-jenis perlindungan kerja ?
5. Apa prinsip-prinsip perlindungan tenaga kerja?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui ruang lingkup tenaga kerja
2. Mengerti diperlukannya perlindungan tenaga kerja
3. Mengetahui objek perlindungan tenaga kerja
4. Mengetahui jenis-jenis perlindungan kerja
5. Mengetahui prinsip-prinsip perlindungan tenaga kerja?
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Perlindungan Tenaga Kerja

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2, yang dimaksud sebagai tenaga


kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.[1]
Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia, mempunyai peranan
yang sangat besar dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja merupakan
pelaksana pembangunan untuk mencapai kesejahteraan umum dan kualitas
kehidupan yang semakin baik. Oleh karenanya, upaya perlindungan tenaga
kerja terhadap bahaya yang dapat timbul selama bekerja merupakan suatu
kebutuhan yang sangat mendasar. Dengan adanya perlindungan tersebut
diharapkan agar tenaga kerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman
sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Tidak kalah pentingnya, perlindungan tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak-hak dasar para pekerja/buruh dan menjamin
kesempatan, serta menghindarkan dari perlakuan diskriminasi atas dasar
apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan
kepentingan pengusaha. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Di antara perundang-undangan yang berkenaan dengan perlindungan


tenaga kerja ialah:
1. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “Tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
2. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.”
3. UU Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan hubungan Industiral.
B. Sebab-sebab Diperlukannya Perlindungan Tenaga Kerja

Secara yuridis, Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga
kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin,
suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan
tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap
para penyandang cacat. Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha
untuk memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan
jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik.[2] Kedua
kandungan pasal ini merupakan wujud perlindungan hukum bagi para
tenaga kerja.
Di antara sebab-sebab mutlak diperlukannya perlindungan bagi tenaga
kerja adalah:

1. Posisi tawar yang rendah


Lemahnya kedudukan tenaga kerja dari segi ekonomi dan
pendidikan, menyebabkan rendahnya kualitas si pekerja. Tenaga kerja
dengan pendidikan yang tidak memadai akan cenderung mendominasi
pekerjaan kasar. Hal ini juga disebabkan adanya kualifikasi dari pihak
penyedia lapangan kerja dalam mempersyaratkan calon tenaga kerja
yang direkrutnya.
2. Hubungan kerja yang tidak seimbang antara pengusaha dan
pekerja/buruh dalam pembuatan perjanjian
Pembebanan hak dan kewajiban yang tidak seimbang antara
penyedia lapangan kerja dengan pekerja/buruh ini menyebabkan suatu
ketimpangan. Secara tidak langsung pekerja/buruh hanya akan diberi
pilihan-pilihan yang cenderung merugikan dirinya, sedang di sisi lain
memberi banyak keuntungan pada pengusaha.
3. Pekerja/buruh diperlakukan sebagai obyek
Dalam konteks ini, seorang pekerja/buruh diperlakukan tak
ubahnya alat yang dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-
besarnya, sehingga berakibat pada:
. Kesewenang-wenangan pengusaha,
. Tuntutan kerja maksimal,
. Upah yang sebatas pada upah minimum regional/provinsi,
. Kurang diperhatikannya masa kerja pekerja/buruh, dan
sebagainya.
4. Diskriminasi golongan
Meskipun perbuatan diskriminasi dilarang, namun tak pelak bahwa
hal ini masih sering terjadi di kalangan masyarakat, seperti mengenai
jenis kelamin, ras, latar belakang sosial, fisik, dan sebagainya.

C. Objek Perlindungan Tenaga Kerja

Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, yang menjadi objek utama perlindungan tenaga kerja
adalah penyandang cacat, anak, dan perempuan.
1. Penyandang Cacat
Adanya perlakuan diskriminasi bagi penyandang cacat atau
kaum difabel menyebabkan undang-undang berbicara. Menurut
ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undangundang Ketenagakerjaan,
pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat
wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan
derajat kecacatannya.
2. Anak
Undang-undang tahun untuk melakukan pekerjaan ringan
sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan
fisik, mental, dan sosial anak tersebut, dengan memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan. Akan tetapi syarat ini tidak
berlaku bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
[3]Ketenagakerjaan melarang pengusaha untuk mempekerjakan
anakanak. Pengecualian bagi anak yang telah berumur 13 tahun
sampai dengan 15
3. Perempuan
Di samping perempuan pada umumnya, dalam hal
pekerja/buruh perempuan ini yang menjadi sasaran utamanya
adalah perempuan di bawah 18 tahun dan perempuan hamil.
Mereka yang berumur di bawah 18 tahun dilarang dipekerjakan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, sedangkan
untuk perempuan hamil dapat dipekerjakan apabila tidak
membahayakan kesehatan dan keselamatan kandungannya.

D. Jenis-Jenis Perlindungan Tenaga Kerja


Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan
tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-
hak asasi manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma
yang berlaku dalam perusahaan.
Dengan demikian, secara teoretis dikenal ada tiga jenis
perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut.
1. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan
dengan usaha kemasyarakatan, yang tujuannya untuk
memungkinkan pekerja/buruh mengenyam dan
mengembangkan perikehidupannya sebagaimana manusia pada
umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan
anggota keluarga. Perlindungan sosial ini disebut juga dengan
kesehatan kerja.
2. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usahausaha untuk menjaga agar
pekerja/buruh terhindar dari bahaya kecelakaan yang dapat
ditimbulkan oleh alat-alat kerja atau bahan yang dikerjakan.
Perlindungan ini lebih sering disebut sebagai keselamatan
kerja.
3. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang
berkaitan dengan usahausaha untuk memberikan kepada
pekerja/buruh suatu penghasilan yang cukup guna memenuhi
keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya, termasuk
dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu di
luar kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut
dengan jaminan sosial.[4]

E. Prinsip-Prinsip Perlindungan Tenaga Kerja


1. Keselamatan Kerja
a. Kewajiban Pengusaha
Keselamatan para pekerja/buruh di tempat kerja merupakan
tanggung jawab pemimpin atau pengurus tempat kerja atau
pengusaha. Kewajiban pengusaha atau pimpinan perusahaan dalam
melaksanakan keselamatan kerja terbagi menjadi dua, sebagai
berikut.
1. Terhadap tenaga kerja yang baru bekerja, iaberkewajiban
menunjukkan dan menjelaskan tentang:
. Kondisi dan bahaya yang dapat ditimbulkan di tempat kerja.
. Semua alat pengaman dan pelindung yang diharuskan.
. Cara dan sikap dalam melakukan pekerjaan;
. Memeriksa kesehatan baik fisik maupun mental tenaga kerja
bersangkutan.

2. Terhadap tenaga kerja yang telah/sedang dipekerjakan, ia


berkewajiban:
. Melakukan pembinaan dalam hal pencegahan kecelakaan dan
penanggulangannya.
. Memeriksa kesehatan fisik dan mental tenaga kerja secara
berkala.
. Menyediakan secara cuma-cuma alat perlindungan diri bagi
tiap pekerja.
. Memasang gambar atau undang-undang keselamatan kerja,
serta nahan pembinaannya lainnya di tempat kerja.
. Melaporkan setiap peristiwa kecelakaan di tempat kerja ke
Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat.
. Membayar biaya pengawasan keselamatan kerja ke Kantor
Perbendaharaan Negara.
. Menaati semua peraturan keselamatan kerja.[8]

Selain itu, menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan


Transmigrasi No. PER15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan
Pertama Pada Kecelakaan Kerja, kewajiban pengusaha adalah:
1. Menyediakan petugas P3K di tempat kerja;
2. Menyediakan fasilitas P3K di tempat kerja; dan
3. Melaksanakan P3K di tempat kerja.[9]

b. Hak dan Kewajiban Pekerja/Buru


Dari sudut si tenaga kerja, juga memiliki hak dan kewajiban
dalam pelaksanaan keselamatan kerja. Kewajiban-kewajiban
tersebut di antaranya:
. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh
Pegawai Pengawas atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja;
. Memakai alat perlindungan diri yang diwajibkan; dan
. Memenuhi dan menaati semua syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang berlaku di tempat kerja/perusahaan yang
bersangkutan.[10]

Sedangkan hak-hak tenaga kerja adalah:


. Meminta kepada pimpinan atau perngurus perusahaan
tersebut agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan;
. Menyatakan keberatan melakukan pekerjaan bila syarat
keselamatan dan kesehatan kerja serta alat perlindungan diri yang
diwajibkan tidak memenuhi persyartan, kecuali ditetapkan lain
oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggungjawabkan.[11]
c. Faktor Penyabab Kecelakaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa keselamatan kerja bertalian
erat dengan kecelakaan kerja. Namun demikian, suatu kejadian
atau peristiwa pasti memiliki sebab yang melatarbelakanginya, di
mana terdapat 4 faktor penyebab, yaitu:
1. Faktor manusianya, misalnya karena kurangnya
keterampilan atau pengetahuan, atau salah penempatan.
2. Faktor materialnya/bahannya/peralatannya, misalnya
bahan yang seharusnya dari besi dibuat dari bahan yang
lebih murah sehingga mudah menimbulkan kecelakaan.
3. Faktor bahaya/sumber bahaya, terdapat dua sebab:
. Perbuatan berbahaya, misalnya metode kerja salah,
keletihan, dsb.
. Kondisi/keadaan berbahaya (keadaan yang tidak aman
dari mesin/peralatan, lingkungan, proses, dll.)
4. Faktor yang dihadapi, misalnya kurangnya
pemeliharaan/perawatan mesin sehingga tidak dapat
bekerja sempurna.
Menurut International Labour Organization (ILO)
ada beberapa cara atau langkah yang perlu diambil
untuk menanggulangi kecelakaan yang terjadi di tempat
kerja, yaitu melalui:
. Peraturan perundang-undangan.
. Standarisasi.
. Inspeksi.
. Riset teknis.
. Riset medis.
. Riset psikologis.
. Riset statistik.
. Pendidikan.
. Latihan.
. Persuasi.
. Asuransi.

2. Keselamatan Kerja
a. Riwayat Kesehatan
Menilik pada sejarahnya, kesehatan kerja ini dimaksudkan sebagai
perlindungan bagi buruh terhadap pemerasan (eksploitasi) tenaga
buruh oleh majikan yang misalnya untuk mendapat tenaga yang
murah, mempekerjakan budak, pekerja rodi, anak dan wanita untuk
pekerjaan yang berat dan waktu yang tak terbatas.[13] Kesehatan kerja
pertama kali diatur dalam:
. Maatregelen ter Beperking van de Kindearrbied en de
Nachtarbeid van de Vroewen, yang biasanya disingkat Maatregelen,
yaitu peraturan tentang pembatasan pekerjaan anak dan wanita pada
malam hari, yang dikeluarkan dengan Ordonantie No. 647 Tahun
1925, mulai berlaku tanggal 1 Maret 1926.
. Bepalingen Betreffende de Arbeit van Kinderen en Jeugdige
Persoonen ann Boorvan Scepen, biasanya disingkat “Bepalingen
Betreffende”, yaitu peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda
di kapal, yang diberlakukan dengan Ordonantie No. 87 Tahun 1926,
mulai berlaku tanggal 1 Mei 1926.[14]
Sebagaimana diketahui, kedua peraturan ini hanya membatasi pada
hal-hal tertentu, dan merupakan tindak lanjut dari beberapa konvensi
ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Di
samping kedua peraturan ini pemerintah Hindia Belanda juga
mengeluarkan peraturan-peraturan lainnya terkait kesehatan kerja.
Namun karena sifatnya yang tidak menyeluruh dan hanya berlaku pada
tempat dan golongan tertentu, hal itu justru menimbulkan pluralitas
hukum.
Setelah Indonesia merdeka pun peraturan perundangan mengenai
kesehatan kerja ini tetap mengalami penggodokan, hingga akhirnya
dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948, yang
dimaksudkan sebagai undang-undang pokok yang memuat aturan-
aturan dasar tentang:
. Pekerjaan anak;
. Pekerjaan orang muda;
. Pekerjaan wanita;
. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso;
. Tempat kerja dan perumahan buruh; untuk semua pekerjaan tidak
membeda-bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di
rumah sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan
lain-lain.[15]
Undang-undang ini terus berlaku berikut peraturan pelaksanaannya
hingga kemudian undang-undang kerja ini dicabut dan digantikan
dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003.
b. Tujuan Kesehatan Kerja
Beberapa tujuan diterapkannya prinsip kesehatan kerja, adalah:
1. a. Meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan tenaga kerja
yang setinggi-tingginya, baik fisik, mental maupun sosial.
2. Mencegah dan melindungi tenaga kerja dari gangguan kesehatan
yang disebabkan oleh kondisi lingkungan kerja.
3. Menyesuaikan tenaga kerja dengan pekerjaan atau pekerjaan
dengan tenaga kerja.
4. Meningkatkan produktivitas kerja.[16]
c. Sumber-sumber Bahaya bagi Kesehatan Tenaga Kerja
Sumber-sumber bahaya bagi kesehatan tenaga kerja dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya:
1. Faktor fisik, berupa suara terlalu bising, suhu terlalu tinggi atau
terlalu rendah, radiasi, getaran mekanis, dan sebaginya.
2. Faktor kimia, berupa gas/uap, cairan, debu-debuan, butiran kristal,
dan bahan-bahan kimia yang mempunyai sifat racun.
3. Faktor biologis, berupa bakteri virus, jamur, cacing, serangga,
tumbuh-tumbuhan dan semacamnya yang hidup dalam lingkungan
tempat kerja.
4. Faktor fatal, berupa sikap badan yang tidak baik pada waktu kerja,
gerak yang senantiasa duduk atau berdiri, proses, sikap dan cara
kerja yang monoton, beban kerja melampaui batas kemampuan,
dan lain-lain.
5. Faktor psikologis, berupa kerja yang terpaksa/dipaksakan tidak
sesuai kemampuan, suasana kerja tidak menyenangkan, pikiran
yang tertekan, dan pekerjaan yang senderung mudah menimbulkan
kecelakaan
d. Tentang Pekerja Anak
Dalam Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, secara
tegas melarang pengusaha mempekerjakan anak. Larangan itu sifatnya
mutlak, artinya di semua perusahaan. Tidak dibedakan apakah
pekerjaan itu dilakukan di perusahaan perindustrian, di perusahaan
pertanian, ataukah di perusahaan perdagangan.[17] Hal ini juga
berkaitan dengan program wajib belajar yang dicanangkan oleh
pemerintah. Dengan demikian, tentunya anak-anak yang berusia di
bawah 14 tahun sedang giat-giatnya belajar, dan bukannya bekerja.
Jadi, larangan pekerjaan anak itu bermaksud untuk menjaga kesehatan
dan pendidikannya.
Namun kenyataannya, hingga saat ini masih banyak anak-anak
yang terpaksa ikut bekerja untuk membantu orang tuanya. Banyak pula
dari mereka yang harus meninggalkan bangku sekolah dan memilih
bekerja karena himpitan ekonomi keluarga. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa perekonomian negara kita memang belum
memungkinkan untuk membebaskan anak-anak dari pekerjaan. Oleh
karena itu, Undang-undang 13 Tahun 2003 ini lebih lanjut mengatur
mengatur tentang pekerjaan anak, yakni pada Pasal 68 sampai dengan
Pasal 75.
Bagi anak yang berumur antara 13 sampai dengan 15 tahun
diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
Anak juga dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan
bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh
pejabat berwenang. Selain itu pula, anak dapat melakukan pekerjaan
untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
Mengenai perlindungan bagi anak yang melakukan pekerjaan
untuk mengembangkan bakat dan minat, diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-
115/MEN/VII/2004. Di samping itu, pengusaha yang mempekerjakan
anak untuk hal ini diwajibkan melapor ke instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota anak itu
dipekerjakan. Laporan tersebut harus dilakukan paling lambat empat
belas hari sebelum pengusaha mempekerjakan anak.[18]

e. Tentang Pekerja Perempuan


Mempekerjakan perempuan di perusahaan tidak semudah yang
dibayangkan. Masih ada beberapa hal yang harus diperhatikan
mengingat bahwa:
1. 1. Para wanita umumnya bertenaga lemah, halus tapi tekun.
2. Norma-norma susila harus diutamakan, agar tenaga kerja
wanita tidak terpengaruh oleh perbuatan negatif dari tenaga
kerja lawan jenisnya, terutama kalau dipekerjakan pada malam
hari.
3. Para tenaga kerja wanita itu umumnya mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan yang halus sesuai dengan kehalusan sifat dan
tenaganya.
4. . Para tenaga kerja itu ada yang masih gadis, ada pula yang
sudah bersuami atau berkeluarga yang dengan sendirinya
mempunyai beban-beban rumah tangga yang harus
dilakukannya pula.[19]
Semua itu harus menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan
norma kerja bagi perempuan. Untuk itu, Pasal 76 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 menentukan norma kerja perempuan.

f. Tentang Waktu Kerja, Mengaso, dan Istirahat (Cuti)


Pada hakikatnya pemberian waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja/buruh bertujuan untuk mengembalikan kesegaran dan
kesehatan baik fisik, mental, dan sosial pekerja/buruh.[20]
Sebagaimana manusia pada umumnya, para pekerja/buruh memiliki
fungsi dan kewajiban sosial dalam masyarakat dan keluarganya.
Sehingga dalam masa istirahat atau cuti inilah mereka dapat
menunaikan fungsi dan kewajiban sosialnya. Beberapa peraturan
perundangan yang mengatur terkait hal ini adalah:
1. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
yaitu Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 dan cuti tahunan yang
berkaitan dengan PHK, yaitu Pasal 156 ayat (4).
2. Kepmenakertrans No. KEP-51/Men/IV/2004 tentang Istirahat
Panjang pada Perusahaan Tertentu.
3. Kepmenakertrans No. KEP-234/Men/2003 tentang Waktu
Kerja dan Istirahat pada Sektor Usaha Energi dan sumber Daya
Mineral pada Daerah Tertentu.[21]

Penggunaan istilah “waktu kerja”, “mengaso” dan “istirahat” ini


pada dasarnya bertujuan untuk mempermudah pengertian, sebab yang
dimaksud dengan:
1. Waktu kerja, adalah waktu efektif di mana pekerja/buruh hanya
melakukan pekerjaannya. Waktu kerja menurut Pasal 77 UU
No. 13 Tahun 2003, meliputi: (a) 7 jam 1 hari dan 40 jam 1
minggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu, atau (b) 8 jam 1
hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu.
2. Waktu mengaso, yaitu waktu istirahat bagi pekerja/buruh
setelah melakukan pekerjaan 4 jam berturut-turut yang tidak
termasuk waktu kerja. Waktu mengaso paling sedikit adalah 30
menit.
3. Waktu istirahat adalah waktu cuti, yaitu waktu di mana
pekerja/buruh diperbolehkan untuk tidak masuk kerja karena
alasan-alasan yang diperbolehkan undang-undang. Secara
yuridis, waktu cuti ini dibedakan menjadi empat:
a. Istirahat (cuti) mingguan, yaitu 1 hari untuk 6 hari kerja
seminggu, atau 2 hari untuk 5 hari kerja seminggu.
b. Istirahat (cuti) tahunan, yaitu sekurang-kurangnya 12 hari
kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja
selama 12 bulan terus-menerus (Pasal 79 ayat (2) huruf c
UU No. 13 Tahun 2003).
c. Istirahat (cuti) panjang, yaitu sekurang-kurangnya 2 bulan
dan dilaksanakan pada tahun ke-7 dan 8 masing-masing
satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6
tahun berturut-turut, dan untuk 2 tahun berjalan tidak
berhak mengambil cuti tahunan lagi.
d. Istirahat (cuti) haid, hamil/bersalin. Cuti haid hanya berlaku
untuk hari pertama dan kedua bagi pekerja/buruh
perempuan (dengan syarat memberitahukan kepada
pengusaha). Untuk pekerja/buruh perempuan yang sedang
hamil dapat mengambil cuti satu setengah bulan sebelum
melahirkan dan setengah bulan setelah melahirkan. Di
samping itu, bagi pekerja/buruh perempuan yang
mengalami keguguran dapat mengambil cuti satu setengah
bulan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan
atau bidan.

3. Pengupahan

a. Pengertian Upah
Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah disebutkan bahwa upah adalah suatu penerimaan
sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan
atau jasa yang telah atau akan dilaksanakan, dinyatakan atau dinilai
dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut persetujuan atau
perundang-undangan yang berlaku dan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan
baik untuk buruh itu sendiri maupun keluarganya.[22]
Sedangkan dalam pasal 1 angka 30 Undang-Undang Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu
pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Peranan upah disini sangat penting dan upah merupakan ciri khas
suatu hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah adalah tujuan
utama seseorang pekerja/buruh bekerja pada orang lain atau badan
hokum. Oleh karena itulah dibutuhkan peranan pemerintah untuk
menangani permasalahan dalam upah melalui berbagai macam
kebijakan. Untuk menjaga agar jangan sampai upah yang diterima
terlalu rendah, maka pemerintah turut menetapkan standar upah
terendah melalui peraturan perundang-undangan. Dan inilah yang
disebut upah minimum.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 ayat (1)
menyebutkan setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan
yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
b. Perlindungan Upah
Problematika ketenagakerjaan/perburuhan sepanjang masa tidak
pernah selesai, dari masalah perlindungan, pengupahan, kesejahteraan,
perselisihan hubungan industrial, pembinaan, dan pengawaan
ketenagakerjaan. Hal ini lebih diakibatkan kelemahan pemerintah
secara sistemik dalam mengimplementasikan undang-undang
ketenagakerjaan, bahkan cenderung ada penyimpangan, hal lain
masalah koordinasi dan kinerja antar lembaga belum optimal dan
masih sangat memprihatinkan.[23]
Dewasa ini kebijakan penetapan upah minimum masih menemui
banyak kendala sebagai akibat belum terwujudnya satu keseragaman
upah. Oleh karena itu, upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah
provinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah provinsi
kabupaten/kota. Upah minimum tersebut ditetapkan oleh gubernur
untuk wilayah provinsi dan oleh bupati/wali kota untuk wilayah
kabupaten/kota, dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi atau bupati/wali kota. Pengusaha dalam hal ini
tidak boleh membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang
telah ditetapkan di masing-masing wilayah.
Dengan adanya system penetapan upah minimum berdasarkan
wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan sector pada wilayah atau
kabupaten/kota, berarti masih belum ada keseragaman upah di semua
perusahaan dan wilayah/daerah. Hal ini dapat dipahami mengingat
kondisi dan sifat perusahaan di setiap sector wilayah/daerah tidak sama
dan belum bisa disamakan. Demikian juga kebutuhan hidup seseorang
pekerja/buruh sangat berbeda tergantung pada situasi dan kondisi
wilayah atau daerah dimana tempat bekerja itu berada.[24]
Belum adanya keseragaman upah tersebut justru masih didasarkan
atas berbagai macam pertimbangan demi kelangsungan hidup
perusahaan dan para pekerja. Sistem pengupahan yang bersifan
diferensif menyebabkan kuantitas tingkat upah khusunya dalam
penetapan upah minimum terjadi beberapa perbedaan. Kebijakan
sektoral dan regional didasarkan pada pemilihan wilayah /daerah
berikut sector ekonominya yang potensial dengan mempertimbangkan
beberapa aspek yang mempengaruhi antara lain adalah[25]:
1. Aspek kondisi perusahaan
Melalui aspek ini dapat diketahui kriteria perusahaanyang
tergolong kecil, menengah, atau besar, yang membawa
konsekuensi pada kemampuan perusahaan tersebut dalam
memberikan upah.
2. Aspek keterampilan tenaga kerja
Tenaga kerja merupakan modal dasar bagi perkembangan
dan pertumbuhan ekonomi perusahaan. Karena peningkatan
produksi dan produktivitas kerja sangat ditentukan oleh
personil perusahaan, baik tingkat bawah maupun tingkat atas.
3. Aspek standar hidup
Pemberian upah juga didasarkan pada wilayah atau daerah
dimana perusahaan itu berada, karena standar hidup di masing-
masing daerah itu berbeda. Peningkatan upah ini didasarkan
pada kebutuhan pokok tenaga kerja yang bersangkutan sesuai
tingkat perkembangan ekonomi dan social di wilayah tertentu.
4. Aspek jenis pekerjaan
Perbedaan pada jenis perkerjaan juga mengakibatkan
terjadinnya perbedaan tingkat upah. Aspek ini mempunyai arti
yang khusus, karena diperolehnya pekerjaan dapat membantu
tercapainya kebutuhan pokok bagi pekerja yang bersangkutan.

c. Komponen Upah
Memberi upah yang tidak dalam bentuk uang dibenarkan asal tidak
melebihi 25% dari nilai rupiah yang seharusnya diterimanya. Imbalan
yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya tidak selamnya
disebut sebgai upah, karena bisa jadi imbalan tersebut tidak masuk
dalam komponen upah.
Dalam surat edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990
tentang pengelompokan komponen upah dan pendapatan non upah
disebut bahwa[26]:
1. Termasuk komponen upah:
. Upah pokok, merupakan imbalan dasar yang dibayrakan
kepada pekerja menurut jenis pekerjaan, dan mengenai
besarnya ditentukan berdasarkan perjanjian.
. Tunjangan tetap, tunjangan ini diberikan bersamaan dengan
upah pokok, tunjangan tetap ini seperti, tunjangan kesehatan,
perumahan, anak dan lain-lain. Yang diberikan kepada buruh
dan keluarganya.
. Tunjanga tidak tetap, diberikan secara tidak tetap bagi pekerja
dan keluarganya, dan tidak dibayakan bersamaan dengan upah
pokok.
2. Tidak temasuk komponen upah:
. Fasilitas, kenikmatan yang bersifat khusus atau untuk
meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti kendaraan antar
jemput.
. Bonus, pembayaran yang diterima buruh dari hasil prestasinya
di perusahaan tempatnya bekerja.
. Tunjangan Hari Raya dan pembagian keutungan lainnya.
d. Upah Satuan Waktu dan Upah Satuan Produk
Upah dapat ditentukan menurut satuan waktu atau menurut satuan
produk yang dihasilkan oleh pekerja. Upah menurut satuan waktu
dapat dihitung dalam bentuk upah per jam, upah per hari, upah per
minggu dan seterusnya. Upah perjam biasanya digunakan untuk
pelaksanaan kegiatan yang sifatnya tidak lama, seperti konsultan,
penceramah, tenaga bebas dan sebagainya.
Sedangkan upah per bulan biasanya diperuntukkan bagi pekerja
yang sifatnya tetap. Pekerja mempunyai ikatan kerja yang relative
lama atau tetap sehingga disebut pekerja tetap.
Istilah upah biasanya digunakan untuk satua waktu yang relative
pendek seperti per jam, per hari. Sedangkan istilah gaji biasanya
mencakup juga tunjangan-tunjangan dan digunakan untuk satuan
waktu yang relative panjang seperti per bulan dan per tahun.
Penentuan upah menurut satuan produk masih mengandung beberapa
kelemahan jika dilihat dari segi perlindungan dan keselamatan kerja,
seperti dalam pekerjaan menjahit baju.

e. Gaji Pokok dan Tunjangan


Sistem pengupahan menurut satuan waktu pada umumnya
memakai pola gaji pokok dan tunjangan. Gaji pokok adalah gaji dasar
yang ditetapkan untuk melaksanakan satu jambatan atau pekerjaan
tertentu pada golongan pangkat dan waktu tertentu. Gaji pokok di
suatu perusahaan disusun menurut jenjang karir di perusahaan tersebut.
Sesuai dengan kondisi perusahaan masing-masing dan antara
pengusaha dan para pekerja, perusahaan memberikan berbagai macam
jenis tunjangan yan mempunyai kaitan langsung dengan pekerjaan atau
produk seperti halnya tunjangan jabatan. Tunjangan adalah suplemen
terhadap upah atau gaji pokok daam tiga fungsi yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas, dalam rangka fungsi social seperti tunjangan untuk
keluarga dan sebagai insentif.
Seluruh komponen upah gaji yang dinyatakan dalam bentuk uang
dinamakan upah atau gaji bruto. Berdasarkan upah atau gaji tersebut
mungkin masih dipotong pajak penghasilan dan iuran dan apensiun
atau kewajiban lain setelah pengurangan tersebut, pekerja/buruh akan
menerima upah net atau upah bersih yang dibawa ke rumah dan
dinamakan take home pay.[27]

f. Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur


Perusahaan harus mempekerjakan buruh/pekerja sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang undanga, jika
melebihi ketentuan tersebut harus dihitung/ dibayar sebagai upah kerja
lembur.
Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari
dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8 jam
sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu atau
waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari istirahat
resmi yang ditetapkan pemerintah. ( pasal 1 butir 1 Kepmenakertrans
No. KEP102/Men/VI/2004 tentang kerja lembur dan upah kerja
lembur).

Penghitungan upah kerja lembur


1. Dilakukan pada hari kerja
. Untuk jam kerja lembur pertama dibayar upah 1,5 kali upah
sejam.
. Untuk jam lembur berikutnya dibayar upah 2 kali upah sejam.

Ketentuan ini sama dengan ketentuan dalam


Kepmenakertrans N0. 72 Tahun 1984 yang dicabut dengan
Kepmenakertrans No. 102/Men/VI/2004
2. Dilakukan pada hari istirahat dan libur resmi
- 6 hari kerja 40 jam seminggu
. Untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.
. Untuk jam ke-8 dibayar 3 kali upah sejam.
. Untuk jam ke-9 dan ke-10 dibayar 4 kali upah sejam.
. Apabila hari libur libur resmi jatuh pada hari kerja
terpendek, upah lembur lima jam pertama dibayar 2 kali
upah sejam. Jam ke-6 dibayar 3 kali upah sejam dan kerja
lembur ke-7 dan ke-8 dibayar 4 kali upah sejam.
- 5 hari kerja 40 jam seminggu
. Untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam.
. Untuk jam ke-9 dibayar 3 kali uah sejam.
. Untuk jam ke-10 dan ke-11 dibayar 4 kali upah sejam.

Ada ketentuan yang harus diperhatikan, yaitu adanya


ketentuan yang menyatakan bahwa bagi perusahaan yang telah
melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya
lebih baik, perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku.[28

4. Jaminan Sosial
1. Jaminan Kecelakaan Kerja
Jaminan kecelakaan kerja merupakan kecelakaan yang terjadi pada
hubungan pekerjaan, termasuk sakit akibat hubungan kerja atau
kecelakaan yang terjadi ketika dari rumah menuju tempat kerja dan
pulang kembali melalui jalan yang biasa dilalui. Pekerja yang tertimpa
kecelakaan kerja berhak atas jaminan kecelakaan kerja berupa
penggantian biaya berupa (a) biaya pengangkutan tenaga kerja yang
mengalami kecelakaan ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya, termasuk
biaya P3K, (b) biaya pemeriksaan dan/atau perawatan selama dirumah
sakit, termasuk rawat jalan, (c) biaya rehabilitasi berupa alat bantu
dan/atau alat ganti bagi tenaga kerja yang anggota badannya hilang
atau tidak berfungsi karena kecelakaan kerja. Selain itu, tenaga kerja
yang mengalami kecelakaan kerja juga diberikan santunan berupa
uang, meliputi:[31]
a. Santunan sementara tidak mampu bekerja, dengan besar
santunan 4 bulan pertama 100% x upah sebulan, 4 bulan
kedua 75% x upah sebulan, dan bulan seterusnya 500%
x upah sebulan.
b. Santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya,
dibayarkan sekaligus dengan besaran santunan % sesuai
tabel x 70 bulan upah.
c. Santunan cacat total untuk selama-lamanya, dibayarkan
secara sekaligus dan secara berkala dengan besarnya
santunan: (1) sekaligus sebesar 70% x 70 bulan upah,
(2) berkala sebesar Rp 50.000,- selama 24 bulan.
d. Santunan cacat kekurangan fungsi, dibayarkan
sekaligus dengan besaran santunan % berkurangnya
fungsi x % sesuai tabel x 70 bulan upah.
e. Santunan kematian, dibayarkan sekaligus dengan
besaran 60% x 70 bulan upah, sekurang-kurangnya
sebesar jaminan kematian dan secara berkala dengan
besaran Rp 50.000,- selama 24 bulan, serta biaya
pemakaman sebesar Rp 600.000,
Dalam kaitannya dengan kecelakaan kerja, terdapat suatu jenis
kecelakaan yang tidak dikategorikan sebagai kecelakaan kerja,
meliputi:[32]
a. Kecelakaan yang terjadi pada waktu cuti.
b. Kecelakaan yang terjadi di mes/perkemahan yang tidak berada
di lokasi tempat kerja.
c. Kecelakaan yang terjadi dalam rangka melakukan kegiatan
yang bukan merupakan tugas dari atasan, untuk kepentingan
perusahaan.
d. ) Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan
meninggalkan tempat kerja untuk kepentingan pribadi.

2. Jaminan Kematian
Kematian pada umumnya menimbulkan kerugian finansial bagi
mereka yang ditinggalkannya, baik berupa kehilangan mata
pencaharian maupun biaya perawatan selama di rumah sakit hingga
pemakaman. Sehingga dengan adanya hal tersebut, program jaminan
sosial tenaga kerja, pemerintah mengadakan program jaminan
kematian.
Kematian yang di maksudkan disini ialah meninggal pada waktu
pekerja menjadi peserta jaminan sosial atau sebelum melewati enam
bulan sejak pekerja berhenti bekerja, yang santunan tersebut diberikan
kepada ahli waris pekerja yang di prioritaskan mulai dari istri/suami
yang sah, anak dibawah 21 tahun yang belum menikah dan belum
bekerja, orang tua, cucu, kakek/nenek, saudara kandung, dan mertua.
Apabila pekerja yang meninggal tidak memiliki ahli waris, maka yang
diberikan hanya biaya pemakaman saja, yang diberikan kepada para
pengurus pemakaman tenaga kerja tersebut. Jaminan kematian ini
diberikan kepada ahli waris tenaga kerja yang meninggal sebelum
mencapai usia 55 tahun. Karena setelah mencapai usia tersebut, tenaga
kerja yang bersangkutan akan mendapat jaminan hari tua.[33]
Besarnya jaminan kematian sebesar 0,30% dari upah pekerja
selama sebulan yang ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha yang
secara rutin harus dibayar langsung oleh pengusaha kepada Badan
Penyelenggara. Jaminan yang diterima berdasarkan program ini ialah:
[34]
a. Biaya pemakaman sebesar Rp 1.000.000,- apabila pekerja
meninggal karena kecelakaan/penyakit dalam hubungan
kerja/hubungan industrial.
b. Santunan berupa uang sebesar Rp 5.000.000,- yang diberikan
kepada ahli waris pekerja tersebut.

Para ahli waris atau pihak yang berhak menerima santunan, bail
berupa santunan dan biaya pemakaman mengajukan permohonan
kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan bukti-bukti berupa
kartu peserta dan surat keterangan kematian. Dalam hal magang atau
murid, dan mereka yang memborong pekerjaan, serta narapidana
meninggal dunia bukan karena kecelakaan kerja yang berhubungan
dengan hubungan kerja, maka keluarga yang ditinggalkan tidak berhak
atas jaminan kematian.[35]

3. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan


Pemeliharaan kesehatan merupakan bagian dari ilmu kesehatan
yang bertujuan agar pekerja memperoleh kesehatan yang sempurna,
baik fisik, mental, maupun sosial, sehingga memungkinkan dapat
bekerja secara optimal. Program pemeliharaan kesehatan merupakan
upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang
memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan, termasuk
kehamilan dan persalinan. Pemeliharaan kesehatan tersebut meliputi
pelayanan medis dan pemberian obat-obatan bagi pekerja dan bagi
anggota keluarganya yang menderita sakit, misal dalam bentuk rawat
jalan, rawat inap, obat-obatan, dan penunjang diagnostik termasuk
pemeliharaan kehamilan dan persalinan. Selain pelayanan tersebut,
juga terdapat pelayanan secara khusus yang hanya diberikan kepada
anggota keluarganya, antara lain pelayanan kacamata, gigi palsu, alat
bantu dengar, kaki atau tangan palsu, dan mata palsu.[36]
Iuran jaminan pemeliharaan kesehatan sepenuhnya ditanggung
oleh pengusaha yang besarnya 6% dari upah tenaga kerja sebulan bagi
tenaga kerja yang sudah berkeluarga dan upah tenaga kerja sebulan
bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga. Jaminan tersebut diberikan
kepada tenaga kerja atau suami/istri yang sah dan anak maksimal 3
orang. Dalam penyelenggaraan paket jaminan pemeliharaan kesehatan
dasar, Badan Penyelenggara wajib memberikan kartu pemeliharaan
kesehatan kepada setiap peserta, serta memberikan keterangan yang
perlu diketahui peserta mengenai paket pemeliharaan kesehatan yang
diselenggarakan. Untuk memahami program jaminan sosial tenaga
kerja, perlu diketahui pula fungsi program tersebut, yaitu:
a. Perlindungan, bersifat sukarela seperti melalui asuransi
komersial tidak mampu menjamin setiap orang bersedia dan
mampu menyisihkan dana untuuk ikut dalam program asuransi.
Sehingga pekerja memiliki kepastian memperoleh resiko sosial
dan ekonomi.
b. Produksi, tenaga kerja akan lebih produktif dalam bekerja dan
hasil produksi pada perusahaan juga akan baik karena adanya
jaminan kesehatan.
c. Redistribusi pendapatan, tenaga kerja memberikan kontribusi
sesuai dengan penghasilannya dan memperoleh jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhannya.
d. Kemasyarakatan, bisa mengurangi perselisihan antara tenaga
kerja dengan pemberi kerja yang pada akhirnya dapat
mencegah timbulnya keresahan sosial.

Program jaminan sosial, wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan


yang mempekerjakan pekerja dalam suatu hubungan kerja dengan
ketentuan yang bersifat alternatif sebagai berikut:
a. ) Minimal 10 orang dan/atau membayar upah minimal Rp
1.000.000,-sebulan atau bisa juga pekerja dalam perusahaan
kurang dari 10 orang dan/atau upah leih dari Rp 1.000.000.-
sebulan, maka perusahaan tersebut wajib menjadi peserta
jamsostek.
b. Lebih dari 10 pekerja dengan upah kurang dari Rp 1.000.000,-
perusahaan tersebut juga wajib menjadi peserta jamsostek.
c. Jika terdapat pelanggaran dalam hal diatas, dikenakan
kurungan maksimal 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp
50.000.000,-.

4. Jaminan Hari Tua


Hari tua dapat diartikan sebagai umur pada saat produktivitas
tenaga kerja menurun, sehingga perlu di ganti dengan tenaga kerja
yang lebih muda, termasuk apabila tenaga kerja mengalami cacat tetap
dan total. Jaminan hari tua merupakan program tabungan wajib yang
berjangka panjang, dimana iurannya ditanggung bersama antara
pengusaha (3,70%) dan pekerja (2%). Kepesertaan jaminan hari tua
bersifat wajib nasional bagi semua pekerja yang memenuhi
persyaratan: pekerja harian lepas, borongan dan pekerja dengan
perjanjian kerja waktu tertentu yang harus bekerja diperusahaannya
selama lebih dari tiga bulan. Apabila kurang dari tiga bulan, maka
pengusaha tidak wajib mengikutsertakan dalam program tersebut,
tetapi hanya wajib mengikutsertakan dalam program jaminan
kecelakaan kerja dan jaminan kematian.
Umumnya, jaminan haari tua diberikan pada saat tenaga kerja
mencapai usia 55 tahun , tetapi apabila tenaga kerja mengalami cacat
sehingga tidak bisa bekerja lagi maka jaminan tersebut dapat
diberikan. Tetapi, apabila tenaga kerja meninggal dunia jaminan
tersebut akan diberikan kepada ahli waris. Selain itu, jika tenaga kerja
di PHK sebelum usia 55 tahun, jaminan tersebut dapat diberikan
setelah yang bersangkutan memiliki masa kepesertaan minimal lima
tahun dengan masa tunggu enam bulan.[37] Jaminan hari tua
dibayarkan pada saat pekerja mengalami cacat total untuk selama-
lamanya dapat dilakukan dengan:
a. Secara sekaligus apabila jumlah seluruh jaminan hari tua yang
harus dibayarkan kurang dari Rp 3.000.000,-.
b. Secara berkala apabila seluruh jaminan hari tua yang harus
dibayar mencapai lebih dari Rp 3.000.000,- atau dilakukan
paling lama 5 tahun.
BAB3

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak


dasar para pekerja/buruh dan menjamin kesempatan, serta menghindarkan
dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Hal ini
merupakan esensi dari disusunnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan.

Di antara perundang-undangan yang berkenaan dengan perlindungan


tenaga kerja ialah:
6. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “Tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
7. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum.”
8. UU Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.
9. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
10. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan hubungan Industiral.

Secara yuridis, Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga kerja
berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin,
suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan
tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap
para penyandang cacat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang menjadi objek utama perlindungan tenaga kerja
adalah penyandang cacat, anak, dan perempuan.
B. SARAN

Sebagai seoarang tenaga kerja selain mengetahui kewajiban tanggu


jawab kerja kita, alangkah baiknya kita juga mengetahui penuh hak-hak yang
wajib kita dapatkan seperti hak perlindungan terhadap tenaga kerja, baik
perlindungan sosial, perlidungan teknis, maupun perlindungan ekonomis.
Setelah membaca dan memahami makalah ini diharapkan dapat
gambaran serta membandingkan di tempat kerja masin-masin dalam persoalan
hak perlindungan tenaga kerja yang wajib dapatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asyhadie, Zaeni. 2013. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang
Hubungan Kerja. Jakarta: Rajawali Pers.
Husni, Lalu. 2005. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Najihah, Vivin. Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia.http://evinn68.blogspot.com/2016/12/perlindungan-tenaga-kerja.html
(dikutip pada 12 Desember 2020 pukul 20.32 WIB)

Anda mungkin juga menyukai