Anda di halaman 1dari 17

Pengertian Hubungan Industrial

Hubungan Industrial (Industrial Relations) adalah kegiatan yang


mendukung terciptanya hubungan yang harmonis antara pelaku bisnis yaitu
pengusaha, karyawan dan pemerintah, sehingga tercapai ketenangan
bekerja dan kelangsungan berusaha (Industrial Peace). Pada Undang‐
Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 Hubungan
Industrial didefinisikan sebagai “Suatu sistem hubungan yang terbentuk
antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada
nilai‐nilai Pancasila dan Undang‐Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.” Melihat

Keseimbangan antara pengusaha dan pekerja merupakan tujuan ideal


yang hendak dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara pekerja
dan pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara
pekerja dan pengusaha adalah hubungan yang saling membutuhkan dan
saling mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat
menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh pekerja,
demikian pula sebaliknya.

Yang paling mendasar dalam Konsep Hubungan Industrial adalah


Kemitra‐sejajaran antara Pekerja dan Pengusaha yang keduanya
mempunyai kepentingan yang sama, yaitu bersama‐sama ingin
meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan perusahaan. Disamping itu
masyarakat juga mempunyai kepentingan, baik sebagai pemasok faktor
produksi yaitu barang dan jasa kebutuhan perusahaan, maupun sebagai
masyarakat konsumen atau pengguna hasil-hasil perusahaan tersebut.
Pemerintah juga mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung atas
pertumbuhan perusahaan, antara lain sebagai sumber penerimaan pajak. Jadi
hubungan industrial adalah hubungan antara semua pihak yang berkepentingan
tersebut. Dalam pengertian sempit, hubungan industrial diartikan sebagai
hubungan antara manajemen dan pekerja atau Management-Employees
Relationship.
Menurut Payaman J. Simanjuntak (1985), Hubungan industial adalah Hubungan
semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau
jasa di suatu perusahaan. Pihak yang berkepentingan dalam setiap perusahaan
(Stakeholders):
1.    Pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili oleh pihak
manajemen
2.    Para pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
3.    Supplier atau perusahaan pemasok
4.    Konsumen atau para pengguna produk/jasa
5.    Perusahaan Pengguna
6.    Masyarakat sekitar
7.    Pemerintah

Ciri-ciri Hubungan Industrial

1. Mengakui dan menyakini bahwa bekerja bukan sekedar mencari nafkah


saja, melainkan juga sebagai pengabdian manusia kepada Tuhannya,
sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Menganggap pekerja bukan hanya sekedar faktor produksi belaka
melainkan sebagai manusia pribadi dengan segala harkat dan martabatnya.
3. Melihat antara pekerja dan pengusaha bukan mempunyai kepentingan
yang bertentangan, melainkan mempunyai kepentingan yang sama untuk
kemajuan perusahaan.
4. Setiap perbedaan pendapat antara pekerja dan pengusaha harus
disesuaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat yang
dilakukan secara kekeluargaan.
5. Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak,
atas dasar rasa keadilan dan kepatutan.

Prinsip Hubungan Industrial

Prinsip hubungan industrial didasarkan pada persamaan kepentingan


semua unsur atas keberhasilan dan selangsungan perusahaan. Dengan
demikian, hubungan industrial mengandung prinsip-prinsip bahwa pengusaha
dan pekerja, serta pemerintah dan masyarakat pada umumnya, sama-sama
mempunyai kepentingan atas keberhasilan dan kelangsungan perusahaan.
Perusahaan merupakan sumber penghasilan bagi banyak orang. Pengusaha dan
pekerja mempunyai hubungan fungsional dan masing-masing mempunyai
fungsi yang berbeda dalam pembagian kerja atau pembagian tugas.

Terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan baik langsung


maupun tidak langsung dengan hubungan antara pekerja, pengusaha dan
pemerintah, yakni :

1. Syarat‐syarat kerja
2. Pengupahan
3. Jam kerja
4. Jaminan sosial
5. Kesehatan dan keselamatan kerja
6. Organisasi ketenagakerjaan
7. Iklim kerja
8. Cara penyelesaian keluh kesah dan perselisihan.
9. Cara memecahkan persoalan yang timbul secara baik

Dunia perburuhan atau ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan


besar seiring dengan perubahan politik dan ekonomi. Perubahan ketenagakerjaan
didorong oleh adanya reformasi dan kesepakatan Negara-negara anggota
organisasi ketenagakerjaan internasional (ILO) untuk menerapkan konvensi-
konvensi dasar organisasi tersebut. Hubungan industrial adalah suatu sistem
hubungan yang terbentuk antar pra pelaku dalam proses produksi barang atau jasa,
yang terdiri atas pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah. Sedangkan hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasar perjanjian
kerja yang mempunyai unsure pekerjaan, upah dan perintah.

Di Indonesia sendiri telah menerbitkan ketentuan perundang-undangan yang


terkait dengan ketenagakerjaan antara lain Undang-Undang no 23 tahun 1948
tentang pengawasan perburuhan, Undang-Undang No.21 Tahun 1945 tentang
Perjanjian Perburuhan, dan Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang
PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial, dan Undang-Undang No. 3 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.

2.2 Tujuan Hubungan Industrial

Tujuan Hubungan Industrial adalah mewujudkan Hubungan Industrial yang


harmonis, Dinamis, kondusif dan berkeadilan di perusahaan.

1. Mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila


serta
2. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial melalui
3. Penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan
usaha,
4. Meningkatkan produksi dan
5. Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai derajat
manusia.

Sikap mental dan sosial para pengusaha dan pekerja juga sangat berpengaruh
dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan industrial.Sikap mental dan
sosial yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial tersebut
adalah :

1. Memperlakukan pekerja sebagai mitra, dan memperlakukan pengusaha


sebagai investor
2. Bersedia saling menerima dan meningkatkan hubungan kemitraan
antara pengusaha dan pekerja secara terbuka
3. Selalu tanggap terhadap kondisi sosial, upah, produktivitas dan
kesejahteraan pekerja
4. Saling mengembangkan forum komunikasi, musyawarah dan
kekeluargaan.
Tujuan akhir dari hubungan industrial adalah meningkatkan produktivitas atau
kinerja perusahaan, serta tercapainya kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan
pengusaha secara adil. Agar terwujudnya tujuan serta kelangsungan dan
suasana bekerja dalam hubungan industrial, maka perlu adanya peraturan‐
peraturan yang mengatur hubungan kerja yang harmonis dan kondusif.
Peraturan tersebut diharapkan mempunyai fungsi untuk mempercepat
pembudayaan sikap mental dan sikap sosial Hubungan Industrial. Oleh karena
itu setiap peraturan dalam hubungan kerja tersebut harus mencerminkan dan
dijiwai oleh nilai‐nilai budaya dalam perusahaan, terutama dengan nilai‐nilai
yang terdapat dalam Hubungan Industrial.
“Pengaturan hak dan kewajiban dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu
Hak dan kewajiban yang bersifat makro minimal sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Pengertiannya adalah hal-hal
yang diatur dalam perundang-undangan berlaku menyeluruh bagi semua
perusahaan dengan standar minimal dan Hak dan kewajiban yang sifatnya makro
kondisional dalam pengertian bahwa standar yang hanya diberlakukan bagi
perusahaan secara individual telah sesuai dengan kondisi perusahaan yang
bersangkutan” (Oansamosirlaw : 2012)

Dengan demikian maka kehidupan dalam hubungan industrial berjalan


sesuai dengan nilai‐nilai budaya perusahaan tersebut. Dengan adanya
pengaturan mengenai hal‐hal yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan
pengusaha dalam melaksanakan hubungan industrial, maka diharapkan terjadi
hubungan yang harmonis dan kondusif. Untuk mewujudkan hal tersebut
diperlukan sarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 103 UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 bahwa hubungan industrial dilaksanakan
melalui sarana sebagai berikut:

1. Lembaga kerja sama Bipartit


2. Lembaga kerja sama Tripartit
3. Organisasi Pekerja atau Serikat Pekerja/Buruh
4. Perjanjian Kerja
2.3 Lembaga Kerja Sama Bipartit dan Tripartit

Lembaga Kerja Sama Bipartit

LKS Bipartit adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi
yang dibentuk oleh pekerja dan pengusaha. Setiap pengusaha yang
mempekerjakan 50 (limapuluh) orang pekerja atau lebih dapat membentuk
Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggota‐anggota yang terdiri dari
unsur pengusaha dan pekerja yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan
keahlian.

LKS Bipartit bertugas dan berfungsi sebagai Forum komunikasi,


konsultasi dan musyawarah dalam memecahkan permasalahan‐permasalahan
ketenagakerjaan pada perusahaan guna kepentingan pengusaha dan pekerja.
Para manager perusahaan diharapkan ikut mendorong berfungsinya Lembaga
Kerjasama Bipartit, khususnya dalam hal mengatasi masalah bersama,
misalnya penyelesaian perselisihan industrial.

LKS Bipartit bertujuan :

1. Terwujudnya ketenangan kerja, disiplin dan ketenangan usaha,


2. Peningkatan kesejahteraan Pekerja dan perkembangan serta
kelangsungan hidup perusahaan.
3. Mengembangkan motivasi dan partisipasi pekerja sebagai pengusaha di
perusahaan.

Kriteria LKS Bipartit :

1. Proses penunjukkan anggota dilaksanakan secara musyawarah dan


mufakat.
2. Azasnya adalah kekeluargaan dan gotong royong dan musyawarah
untuk mufakat.

Perundingan Bipartit :
Perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Pengurus Bipartit menetapkan jadual acara
dan waktu untuk rapat perundingan.

Lembaga Kerja Sama Tripartit

Lembaga kerjasama Tripartit merupakan LKS yang anggota‐


anggotanya terdiri dari unsur‐ unsur pemerintahan, organisasi pekerja dan
organisasi pengusaha. Fungsi lembaga kerjasama Tripartit adalah sebagai
FORUM Komunikasi, Konsultasi dengan tugas utama menyatukan konsepsi,
sikap dan rencana dalam mengahadapi masalah‐masalah ketenagakerjaan,
baik berdimensi waktu saat sekarang yang telah timbul karena faktor‐ faktor
yang tidak diduga maupun untuk mengatasi hal‐hal yang akan datang.

“Fungsi Pemerintah : Menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan,


melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan undang‐undang ketenagakerjaan yang berlaku.

Fungsi Pekerja/Serikat Pekerja : Menjalankan pekerjaan sesuai kewajibannya,


menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara
demokratis, mengembangkan ketrampilan, keahlian dan ikut memajukan
perusahaan serta memperjuangkan kesejahteraan anggota dan keluarganya.

Fungsi Pengusaha : Menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas


lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokratis
serta berkeadilan” (Cahaya : 2015)

Dasar Hukum lembaga kerja sama Bipartit dan Tripartit adalah :

1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


2. Kepmenaker No. Kep.255/Men/2003 tentang Lembaga Kerjasama
Bipartit
3. Kepmenaker No. Kep.355/Men/X/2009 tentang Lembaga Kerjasama
Tripartit

2.4 Organisasi Buruh

Organisasi pekerja adalah suatu organisasi yang didirikan secara sukarela


dan demokratis dari, oleh dan untuk pekerja dan berbentuk Serikat Pekerja,
Gabungan serikat Pekerja, Federasi, dan Non Federasi. Kehadiran Serikat
Pekerja di perusahaan sangat penting dan strategis dalam pengembangan dan
pelaksanaan Hubungan Industrial.

Berdasarkan ketentuan umum pasal 1 Undang-undang Tenaga Kerja tahun


2003 no 17, serikat buruh/serikat pekerja merupakan organisasi yang dibentuk
dari, oleh, dan untuk pekerja baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang
bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Dasar Hukum Pendirian Serikat Pekerja/Serikat Buruh diatur dalam :

1. UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh


2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI
3. Kepmenaker No. 16 Tahun 2001 tentang Tatacara Pencatatan Serikat
Pekerja/Buruh
4. Kepmenaker No. 187 Tahun 2004 tentang Iuran anggota Serikat
Pekerja/Buruh

Serikat Pekerja yang telah terdaftar secara hukum pada Departemen Tenaga
Kerja memiliki dua hal :
1. Berhak melakukan perundingan dalam pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB)
2. Berhak sebagai pihak dalam Penyelesaian Perselisihan Industrial.

Sesuai dengan pasal 102 UU Tenaga Kerja tahun 2003, dalam melaksanakan
hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan,
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.

“Esensi dari perjuangan buruh adalah pengakuan dan pencapaian harkat dan
martabat pekerja dalam sistem ekonomi masa kini (apa pun bentuk sistem
perekonomian yang dipilih negara dan para politisinya). Pencapaian harkat dan
martabat buruh bukan sekedar dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi semata.
Jaminan terhadap kehidupan sosial, keselamatan kerja serta pemenuhan
peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi suatu hal yang penting untuk
dilaksanakan para pemegang kekuasaan maupun perusahaan seperti yang telah
tertuang di dalam uud dan pancasila sebagai landasan dasar Negara. Tujuan dari
gerakan-gerakan social buruh adalah, terciptanya suatu perubahan social kearah
yang lebih baik” (Riswanda dkk : 2013)

2.4 Perjanjian Kerja

Pengertian Perjanjian Kerja dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan (UUTK) pada prinsipnya telah memberikan defenisi normative
mengenai perjanjian kerja. Pasal 1 angka 14 UUTK mendefenisikan perjanjian
kerja sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak, Atas
pengertian tersebut, maka dapat dijelaskan beberapa unsur penting perjanjian
kerja sebagai
berikut:
1. Adanya perbuatan hukum/peristiwa hukum berupa perjanjian;
2. Adanya subjek atau pelaku yakni pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi
kerja yang masing-masing membawa kepentingan;
3. Memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak
Peristiwa perjanjian merupakan tindakan yang dilakukan oleh pekerja/buruh
dan pengusaha/pemberi kerja untuk saling mengikatkan diri dalam suatu
hubungan yang bersifat normatif atau saling mengikat. Perjanjian merupakan
bentuk dari perikatan dimana 2 (dua) pihak mengikatkan diri untuk berbuat,
memberikan sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu yang dituangkan dalam
suatu perjanjian baik secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian selalu
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya.
Konsekuensi dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban tersebut dapat berupa
batal atau kebatalan terhadap perjanjian tersebut dan bahkan memungkinkan
menimbulkan konsekuensi penggantian kerugian atas segala bentuk kerugian yang
timbul akibat tidak terpenuhinya prestasi yang diperjanjikan.

Dalam UUTK hubungan kerja baru dapat timbul setelah pekerja/buruh dan
pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 50 UUTK yang menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dengan
demikian tidak ada keterkaitan apapun yang menyangkut pekerjaan antara
pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada perjanjian
yang mengikat keduanya.

Perjanjian Kerja ini terkait dengan tingkat upah dimana dalam perjanjian
kerja ini akan menghasilkan berapa tingkat upah atau imbalan yang akan diterima
oleh pekerja/buruh. Menurut Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.

Namun, dalam menetapkan besarnya upah, pengusaha dilarang membayar


lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah
setempat (Pasal 90 ayat 1 UU No. 13/ 2003). Apabila pengusaha memperjanjikan
pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum, maka kesepakatan
tersebut batal demi hukum (Pasal 91 ayat 2 UU No. 13/2003) Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1 No. 13/2003).

Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang melindungi


pekerja/buruh meliputi:

•    upah minimum


•    upah kerja lembur
•    upah tidak masuk kerja karena berhalangan
•    upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
•    upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
•    bentuk dan cara pembayaran upah
•    denda dan potongan upah;
•    hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
•    struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
•    upah untuk pembayaran pesangon; dan
•    upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya merupakan salah satu isi
dari perjanjian kerja (Pasal 54 ayat 1 huruf e UU No. 13/2003).  Akan tetapi
dalam perjanjian kerja, tidak dijabarkan secara detail mengenai sistem penggajian,
hal tersebut akan dituangkan lebih lanjut dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB), atau dibuat dalam bentuk struktur dan skala
upah menjadi lampiran yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari PP/PKB. PP dan PKB merupakan kesepakatan tertulis dan hasil
perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.

Berdasarkan pasal 14 ayat (3) Permenaker No. 1 Tahun 1999, Peninjauan


besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan atas
kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.
Kesepakatan tertulis tersebut ditempuh dan dilakukan melalui proses perundingan
bipartit antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang
bersangkutan. Dari perundingan bipartit tersebut kemudian melahirkan
kesepakatan, yang selanjutnya kesepakatan tersebut dituangkan secara tertulis
Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 

2.6 Studi Kasus

Kasus Mengenai Demonstrasi Pekerja Akibat Pelanggaran Hak Normatif yang


Dilakukan oleh Pengusaha di Pabrik Rokok Adi Bungsu Kota Malang yang
diteliti oleh Suryani (2014). Pabrik Rokok Adi Bungsu merupakan salah satu
pabrik rokok kretek kecil yang bertahan hingga saat ini, namun dengan kondisi
yang memprihatinkan. Kondisi pabrik menunjukkan bahwa pekerja yang
berjumlah sedikit dan jam kerja para aktor dalam proses produksi yang semakin
berkurang. Hal itu disebabkan karena pita cukai yang semakin mahal, persaingan
di dunia industri rokok semakin ketat, produk yang dihasilkan kalah saing dengan
produk ternama oleh industri rokok kretek skala besar yang ada di Kota Malang
sehingga pendapatan yang diperoleh semakin menurun.

Kemudian pengusaha Pabrik Rokok Adi Bungsu berusaha untuk mencegah


kebangkrutan dengan melakukan efisiensi biaya pengeluaran. Cara yang
dilakukan oleh pihak pengusaha yaitu mengurangi jumlah pekerja dan tidak
memenuhi hak normatif pekerja, misalnya pekerja diberi upah di bawah UMK,
pekerja tidak diikutsertakan dalam JAMSOSTEK, tidak diberi uang libur hari
besar, dan pekerja tidak diperbolehkan untuk berserikat misalnya bergabung
dalam organisai SPSI.

Pekerja borongan yang notabene telah bekerja kurang lebih 20 tahun di pabrik
tersebut menerima dan tidak protes dengan tindakan pengusaha yang memberikan
upah di bawah UMK dan tidak memenuhi hak normatif lainnya. Mereka mencoba
untuk memaklumi kondisi pabrik yang permintaan pasarnya semakin menurun
dan menyadari pekerjaan yang mereka lakukan di pabrik tersebut tidak terlalu
berat. Akan tetapi, pekerja borongan merasa sangat dikecewakan dan tidak
dihargai ketika pengusaha berencana memberikan uang THR dan uang pesangon
yang besarannya tidak sesuai dengan masa kerja mereka.

Adanya perbedaan kepentingan antara pekerja dan pengusaha di pabrik


tersebut yang kemudian memicu terjadinya konflik. Kekecewaan akibat tindakan
pengusaha tersebut menimbulkan kesadaran kolektif di kalangan pekerja untuk
melakukan perlawanan kepada pengusaha. Kesadaran kolektif pekerja tersebut
diwujudkan dengan melakukan aksi protes berupa demonstrasi. Ada beberapa
perlawanan yang dilakukan oleh pekerja karena aspirasi mereka tidak tercapai
dengan baik. Pada bulan September 2011, para pekerja di Pabrik Rokok Adi
Bungsu melakukan demonstrasi di depan pabrik ketika pengusaha berencana
menurunkan THR pekerja borongan yang pada tahun sebelumnya THR diberikan
sebesar Rp. 1.800.000,- menjadi Rp. 1.100.000,-. Pekerja juga mengancam
apabila THR diturunkan maka mereka akan melakukan mogok kerja.

Kemudian pada akhir Februari 2012, sekitar 40 pekerja borongan bagian


penggilingan di-PHK karena bergabung dalam SPSI dan pengusaha berencana
memberikan pesangon yang tidak sesuai dengan lamanya masa kerja pekerja. Para
pekerja yang telah di-PHK melakukan demonstrasi di depan Balai Kota Malang
dan mengadu ke pihak Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Malang
mengenai perlakuan pengusaha yang dianggap telah melanggar hak normatif
pekerja.

Resolusi konflik secara bipartit antara pekerja dan pengusaha tersebut dapat
ditempuh melalui demokrasi industri. Demokrasi industri dapat terlihat ketika
personalia sebagai pihak pengusaha yang memiliki wewenang dan pekerja
borongan sebagai pihak yang tidak memiliki wewenang sama-sama menyuarakan
secara terbuka apa yang menjadi aspirasi mereka kemudian diupayakan
penyelesaian melalui tawar-menawar secara kolektif. Resolusi tersebut telah
ditempuh oleh kedua belah pihak yang berkonflik dengan cara kompromi, di mana
pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar meredakan suatu
pertentangan dan tercapai suatu penyelesaian konflik yang ada.
Resolusi yang diperoleh dari hasil musyawarah tersebut yaitu pihak pengusaha
tetap memberikan THR sesuai dengan tahun sebelumnya sejumlah Rp.
1.800.000,- akan tetapi pemberiannya diangsur dua kali karena kondisi
perusahaan yang semakin sepi sehingga pengusaha tidak sanggup apabila THR
diberikan secara kontan pada saat sebelum lebaran dan pekerja menyetujui hal
tersebut. Di sinilah terlihat bahwa pekerja bersedia untuk memaklumi dan
memahami kondisi perusahaan yang sedang mengalami penurunan pendapatan
dan permintaan pasar yang semakin menurun. Pengusaha bersedia untuk
memahami kepentingan pekerja yaitu perolehan hak agar kebutuhan mereka dapat
dipenuhi dengan baik. Akhirnya kedua belah pihak dapat menyepakati keputusan
yang dirumuskan bersama sehingga konflik mengenai penetapan THR dapat
terselesaikan melalui negosiasi bipartit dengan menerapkan demokrasi industri di
meja perundingan.

Pekerja mengalami kekecewaan yang mendalam pada saat itu. Kekecewaan


disebabkan karena pihak pengusaha tidak bersedia memberikan uang pesangon
sesuai harapan mereka. Kemudian disusul oleh tindakan pengurus SPSI yang
tidak menepati janjinya sehingga konflik semakin melebar. Pekerja yang
mengalami PHK melakukan demonstrasi dan disusul dengan tindakan mereka
melapor ke DISNAKER untuk mengadukan permasalahan tersebut.

Para pekerja melakukan berbagai tindakan untuk memperoleh uang pesangon


sesuai dengan harapan mereka. Dalam kasus ini, lembaga tripartit yang ditempuh
adalah mediasi. Dalam upaya mediasi terdapat campur tangan pihak lain (ketiga)
dari pihak netral yang ditujukan untuk membantu dalam menyelesaikan konflik
dan mengusahakan suatu penyelesaian secara damai. Campur tangan pihak lain
dalam konflik di Pabrik Rokok Adi Bungsu terkait penetapan uang pesangon
untuk pekerja yang di-PHK menggunakan fasilitasi mediasi dari pihak Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (DISNAKER) Kota Malang.

Setelah resolusi tersebut, hubungan industrial antara pekerja dan pemilik


pabrik pasca resolusi konflik di Pabrik Rokok Adi Bungsu tampak harmonis dan
damai. Adanya keadaan harmonis antara pemilik dan pekerja wajar terjadi karena
pemilik Pabrik Rokok Adi Bungsu jarang bertemu dengan pekerja. Pekerja
melakukan interaksi dengan pemilik hanya ketika diadakan rapat tahunan, baik
perundingan terkait besaran upah maupun THR sehingga potensi konflik yang
terjadi semakin kecil. Sebagaimana diketahui bahwa konflik merupakan sesuatu
yang tidak dapat dihindari sebagai konsekuensi logis akibat adanya interaksi
manusia.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara


para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hubungan industrial pada dasarnya menitik beratkan pada hak dan kewajiban
diantara pekerja/buruh dan pengusaha. Diatur dalam konvensi-konvensi
internasional dan aturan-aturan yang berlaku di negara Indonesia.

Diharapkan hubungan yang terjalin antara pekerja dan pengusaha dalam


aturan-aturan yang berlaku di Indonesia dapat benar-benar berjalan,tidak memihak
pada golongan pengusaha yang sering terjadi dimana para pekerja berdemonstrasi
akibat dari para pengusaha melakukan tindakan diluar kesepakatan.
DAFTAR PUSTAKA

Oansamosirlaw,(2012), Pengertian Hubungan Industrial,


https://sautlaw.wordpress.com/2012/10/06/pengertian-
hubungan-industrial-h-ketenagakerjaan/, online, diakses
pada 13 Desember 2015

Simanjuntak, Payaman (1985), Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia,


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia : Jakarta.

Cahaya,Yaeya,(2015). pengertian hubungan industrial,


http://yaeya.heck.in/pengertian-hubungan-
industrialhi.xhtml, online, diakses pada 13 Desember 2015

Firza Maududi, Holis Abdul Ajim, dan M Riswanda,(2013), Tuntutan Buruh


Mengenai Kenaikan Upah Minimum,
http://holisfcb.blogspot.co.id/2013/06/makalah-jurnal-
tuntutan-buruh-mengenai.html, online, diakses pada 13
Desember 2015

Suryani, Asmi Efi (2014), RESOLUSI KONFLIK ANTARA PENGUSAHA


DAN PEKERJA DI PABRIK ROKOK, Unversitas
Brawijaya : Malang

Anda mungkin juga menyukai