1. Syarat‐syarat kerja
2. Pengupahan
3. Jam kerja
4. Jaminan sosial
5. Kesehatan dan keselamatan kerja
6. Organisasi ketenagakerjaan
7. Iklim kerja
8. Cara penyelesaian keluh kesah dan perselisihan.
9. Cara memecahkan persoalan yang timbul secara baik
Sikap mental dan sosial para pengusaha dan pekerja juga sangat berpengaruh
dalam mencapai berhasilnya tujuan hubungan industrial.Sikap mental dan
sosial yang mendukung tercapainya tujuan hubungan industrial tersebut
adalah :
LKS Bipartit adalah suatu badan ditingkat usaha atau unit produksi
yang dibentuk oleh pekerja dan pengusaha. Setiap pengusaha yang
mempekerjakan 50 (limapuluh) orang pekerja atau lebih dapat membentuk
Lembaga Kerja Sama (LKS) Bipartit dan anggota‐anggota yang terdiri dari
unsur pengusaha dan pekerja yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan dan
keahlian.
Perundingan Bipartit :
Perundingan antara pengusaha dengan pekerja untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Pengurus Bipartit menetapkan jadual acara
dan waktu untuk rapat perundingan.
Serikat Pekerja yang telah terdaftar secara hukum pada Departemen Tenaga
Kerja memiliki dua hal :
1. Berhak melakukan perundingan dalam pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB)
2. Berhak sebagai pihak dalam Penyelesaian Perselisihan Industrial.
Sesuai dengan pasal 102 UU Tenaga Kerja tahun 2003, dalam melaksanakan
hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan,
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
“Esensi dari perjuangan buruh adalah pengakuan dan pencapaian harkat dan
martabat pekerja dalam sistem ekonomi masa kini (apa pun bentuk sistem
perekonomian yang dipilih negara dan para politisinya). Pencapaian harkat dan
martabat buruh bukan sekedar dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi semata.
Jaminan terhadap kehidupan sosial, keselamatan kerja serta pemenuhan
peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi suatu hal yang penting untuk
dilaksanakan para pemegang kekuasaan maupun perusahaan seperti yang telah
tertuang di dalam uud dan pancasila sebagai landasan dasar Negara. Tujuan dari
gerakan-gerakan social buruh adalah, terciptanya suatu perubahan social kearah
yang lebih baik” (Riswanda dkk : 2013)
Dalam UUTK hubungan kerja baru dapat timbul setelah pekerja/buruh dan
pengusaha/pemberi kerja mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kerja. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 50 UUTK yang menyatakan bahwa hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Dengan
demikian tidak ada keterkaitan apapun yang menyangkut pekerjaan antara
pekerja/buruh dan pengusaha tertentu apabila sebelumnya tidak ada perjanjian
yang mengikat keduanya.
Perjanjian Kerja ini terkait dengan tingkat upah dimana dalam perjanjian
kerja ini akan menghasilkan berapa tingkat upah atau imbalan yang akan diterima
oleh pekerja/buruh. Menurut Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau
akan dilakukan.
Besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya merupakan salah satu isi
dari perjanjian kerja (Pasal 54 ayat 1 huruf e UU No. 13/2003). Akan tetapi
dalam perjanjian kerja, tidak dijabarkan secara detail mengenai sistem penggajian,
hal tersebut akan dituangkan lebih lanjut dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB), atau dibuat dalam bentuk struktur dan skala
upah menjadi lampiran yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari PP/PKB. PP dan PKB merupakan kesepakatan tertulis dan hasil
perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.
Pekerja borongan yang notabene telah bekerja kurang lebih 20 tahun di pabrik
tersebut menerima dan tidak protes dengan tindakan pengusaha yang memberikan
upah di bawah UMK dan tidak memenuhi hak normatif lainnya. Mereka mencoba
untuk memaklumi kondisi pabrik yang permintaan pasarnya semakin menurun
dan menyadari pekerjaan yang mereka lakukan di pabrik tersebut tidak terlalu
berat. Akan tetapi, pekerja borongan merasa sangat dikecewakan dan tidak
dihargai ketika pengusaha berencana memberikan uang THR dan uang pesangon
yang besarannya tidak sesuai dengan masa kerja mereka.
Resolusi konflik secara bipartit antara pekerja dan pengusaha tersebut dapat
ditempuh melalui demokrasi industri. Demokrasi industri dapat terlihat ketika
personalia sebagai pihak pengusaha yang memiliki wewenang dan pekerja
borongan sebagai pihak yang tidak memiliki wewenang sama-sama menyuarakan
secara terbuka apa yang menjadi aspirasi mereka kemudian diupayakan
penyelesaian melalui tawar-menawar secara kolektif. Resolusi tersebut telah
ditempuh oleh kedua belah pihak yang berkonflik dengan cara kompromi, di mana
pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya agar meredakan suatu
pertentangan dan tercapai suatu penyelesaian konflik yang ada.
Resolusi yang diperoleh dari hasil musyawarah tersebut yaitu pihak pengusaha
tetap memberikan THR sesuai dengan tahun sebelumnya sejumlah Rp.
1.800.000,- akan tetapi pemberiannya diangsur dua kali karena kondisi
perusahaan yang semakin sepi sehingga pengusaha tidak sanggup apabila THR
diberikan secara kontan pada saat sebelum lebaran dan pekerja menyetujui hal
tersebut. Di sinilah terlihat bahwa pekerja bersedia untuk memaklumi dan
memahami kondisi perusahaan yang sedang mengalami penurunan pendapatan
dan permintaan pasar yang semakin menurun. Pengusaha bersedia untuk
memahami kepentingan pekerja yaitu perolehan hak agar kebutuhan mereka dapat
dipenuhi dengan baik. Akhirnya kedua belah pihak dapat menyepakati keputusan
yang dirumuskan bersama sehingga konflik mengenai penetapan THR dapat
terselesaikan melalui negosiasi bipartit dengan menerapkan demokrasi industri di
meja perundingan.
KESIMPULAN