65
akan terdapat kebaikan paternalistik tetapi tidak ada demokrasi; tidak ada
kesetaraan kekuasaan; tidak ada otonomi pembuatan keputusan dimana aturan
dapat dirubah sepihak tanpa peringatan; salah satu pihak memiliki sedikit
perlindungan dari keputusan yang sewenang-wenang; salah satu pihak berada di
bawah tekanan dan menjadikan pemohon tunduk kepada mereka yang memiliki
kekuasaan. Hak untuk perundingan bersama akan sepenuhnya terwujud hanya jika
semua kondisi standar kerja adalah hasil dari perundingan bersama. Berikut
konsep perundingan bersama menurut beberapa pendapat pakar pada Tabel 2.9.
No.
1.
Tabel 2.9.
Definisi Perundingan Bersama
Sumber
Konsep Perundingan Bersama
Leat
Perundingan bersama adalah salah satu proses hubungan pekerja, dimana
(2007:358 pekerja/perwakilannya dan pengusaha/perwakilannya bernegosiasi satu sama
)
lain dengan pandangan untuk meraih kesepakatan atas sejumlah isu yang
mencakup syarat dan kondisi kerja, yang dilakukan secara formal dan
informal, dan dengan alasan: saling ketergantungan kedua pihak untuk
hubungan ketenagakerjaan.
Amstrong
Perundingan bersama adalah hubungan kekuasaan antara manajemen dan
(2010:302 serikat, dimana masing-masing terlibat dalam menilai keinginan perundingan
)
dan kekuasaan perundingan, yang dibangun melalui negosiasi dan diskusi
mengenai hal-hal yang menjadi perhatian bersama bagi keduanya yang
mencakup hubungan ketenagakerjaan dan syarat dan kondisi kerja; atau
sebagai proses pengaturan bersama terkait pengaturan manajemen dalam
hubungannya dengan pekerja dan pengaturan kondisi kerja; yang juga terlihat
sebagai hubungan politis dimana adanya kekuasaan yang dipegang bersama
oleh manajemen dan serikat dalam proses perundingan bersama.
Carrel dan Perundingan bersama adalah hubungan yang berkelanjutan (mulai dengan
Heavrin
negosiasi kontrak selama masa kontrak dengan interpretasi harian dan
(2013:5)
administrasi pada ketentuannya yang juga mencakup penanganan keluhan
pekerja dan jika perlu arbitrasi pada keluhan tersebut dalam keputusan akhir
dan mengikat) antara pengusaha (dapat melibatkan satu atau lebih pengusaha)
dan organisasi pekerja (atau serikat yang mewakili unit pekerja tertentu) untuk
tujuan melakukan negosiasi persyaratan kerja tertulis (umumnya mencakup
harga pekerja : upah dan tunjangan; aturan kerja : jam kerja, klasifikasi
kerja,usaha yang dibutuhkan, dan praktek kerja; hak kerja individu: senioritas,
prosedur disiplin, dan prosedur promosi dan pemberhentian; hak manajemen
dan serikat; dan metode pelaksanaan dan pengaturan kontrak: penyelesaian
keluhan).
Sumber : diadaptasi dari beberapa sumber
66
antara manajemen dan pekerja secara kolektif yang diwakilkan oleh serikat untuk
mencapai kesepakatan terkait hal-hal dalam hubungan ketenagakerjaan. Terdapat
beberapa perbedaan, seperti Leat yang menekankan proses negosiasi terjadi secara
informal dan formal, sementara Carrel dan Heavrin terlihat secara formal
(tertulis), dan Amstrong memandangnya sebagai hubungan politis karena adanya
aspek kekuasaan. Dalam konteks hubungan industrial, maka perundingan bersama
dapat diartikan sebagai studi yang mempelajari salah satu sarana hubungan
industrial
untuk
melakukan
negosiasi
langsung
secara
formal
antara
67
68
keuntungan
bersama
lebih
kecil
bahkan
negosiator
dapat
69
70
bersama
seperti
pelatihan,
cara
menghindari
atau
penyelesaian perselisihan.
3. Tingkat perusahaan; hubungan antara pengusaha dan pekerja lebih
langsung, tapi kepentingan pekerja dapat diwakilkan oleh serikat.
Kesepakatan bersama sektoral dapat dinegosiasi ulang, kecuali di
mana terdapat apa yang disebut klausul penting, yang tidak
bertentangan dengan perjanjian sektoral. Dengan kata lain, apa yang
dirundingkan pada tingkat perusahaan hanya dapat lebih besar atau
sama dengan penetapan di tingkat industri.
Menurut Silva (1997), perundingan bersama tingkat nasional / industri bagi pengusaha dapat mengurangi persaingan (melalui syarat standar) yang
didasarkan biaya tenaga kerja dan membawa masalah yang diperdebatkan keluar
dari tanggung jawab langsung mereka dengan mentransfernya kepada perwakilan
mitra sosial, yaitu, serikat pekerja dan organisasi pengusaha; dan bagi serikat
pekerja karena memberi mereka pengaruh dasar di luar perusahaan dengan
menyatukan pekerja dari banyak organisasi berbasis industri atau nasional.
Namun, pada negara berkembang, perundingan ini memiliki konsekuensi
71
72
Dalam interaksi yang lebih luas, istilah perundingan atau negosiasi sering
digunakan bergantian (Lewicki, 1992:219). Curhan et.al (2006) memaparkan
bahwa telah banyak penelitian cenderung menggambarkan negosiasi sebagai
interaksi yang termotivasi secara ekonomi, dimana sebagian besar studi pada
negosiasi telah berfokus pada bagaimana untuk mencapai hasil yang nyata atau
hasil objektif dan masih sangat sedikit penelitian negosiasi yang melibatkan
ukuran subjektif pada hasil negosiasi, dimana keputusan yang sama untuk
menguntungkan hasil obyektif kadang-kadang tidak menginginkan konsekuensi
negatif bagi keluaran psikologis sosial (Curhan et.al, 2011:3).
Dalam rentang beberapa dekade penelitian negosiasi dengan metode yang
ketat ditujukan untuk mengukur nilai yang saling menguntungkan yang dibuat
oleh dua pihak, yang masing-masing termotivasi untuk mengejar kepentingan
mereka sendiri (Thompson, 2010:508). Seperti pada penelitian Walsh et.al
(2003:2) yang mensurvei semua penelitian empiris terpublikasi oleh Academy of
Management pada tahun 1958 dan semua penelitian terpublikasi antara tahun
1972 dan 2001, menemukan fokus yang semakin berkurang pada keluaran sosial
dan meningkatnya pengejaran keluaran ekonomi.
Curhan et.al (2011:3) memaparkan bahwa terdapat dua jenis hasil dalam
negosiasi yaitu hasil ekonomi adalah kesepakatan (atau ketiadaan kesepakatan)
yang memiliki nilai obyektif (Objective Value/OV), atau nilai yang ditentukan
oleh pasar atau oleh keinginan negosiator berdasarkan prediksi; dan hasil
psikologis sosial adalah sikap dan persepsi dari negosiator seperti kepuasan atau
kesukaan yang memiliki nilai subyektif (Subjective Value/SV). Thompson (1990)
73
juga mengajukan ukuran negosiasi dalam dua kelas yaitu pertama, hasil ekonomi,
yang mengacu pada ketentuan atau produk negosiasi secara eksplisit seperti ada
atau tidak adanya kesepakatan yang dicapai, seberapa besar nilai atau keuntungan
bersama yang diciptakan, dan bagaimana sumberdaya dibagi atau dituntut oleh
kedua belah pihak. Kedua hasil psikologi sosial yang berdasarkan persepsi sosial
dan terdiri dari tiga elemen penting yaitu persepsi pada situasi perundingan,
persepsi pada pihak lain, dan persepsi pada diri sendiri.
Pada kategori pertama, persepsi pada situasi perundingan, ini mencakup
penilaian dan perasaan tentang proses negosiasi dan keluarannya seperti norma,
konteks, struktur dan naskah, komunikasi dan berbagi informasi, dan keterlibatan
keadialan. Kategori kedua, persepsi pada pihak lain, ini melibatkan hasil dari
proses yang lebih umum dari persepsi seseorang dan pembentukan kesan yang
digunakan untuk pihak lain. Proses tersebut menghasilkan perasaan yang dapat
dikelompokkan pada tingkat individu yaitu apa yang negosiator pikir pada pihak
lain, berdasarkan perilaku mereka seperti etika, taktik, strategi mereka dan
kesimpulan sifat umum seperti keahlian, koperatif, dan keramahtamahan; dan
reputasi dan modal sosial yang dihasilkan negosiator; dan tingkat dyad, yaitu apa
yang mereka pikir atas hubungannya dengan pihak lain, yang mencakup
hubungan sosial, kepercayaan, rasa hormat, keinginan, dan kepedulian untuk
pihak lain yang berkembang di antara pihak-pihak yang bernegosiasi. Kategori
ketiga, persepsi pada diri sendiri, ini melibatkan pengubahan proses persepsi
seseorang dalam hati. Negosiator menilai sifat, kinerja dan nilainya sendiri,
menggunakan kesadaran internal mereka pada motivasi dan nilai-nilai mereka,
74
juga observasi mereka pada perilaku mereka sendiri. Ini terkait dengan
keberhasilan diri, perbaikan diri dan ilusi positif, harga diri dan menjaga wajah.
Curhan et.al (2006:3) mengembangkan kerangka Thompson dengan
menyediakan kerangka yang komprehensif berfokus pada hasil subjektif dalam
negosiasi yang berkontribusi bagi kemajuan teori dengan tingkat presisi yang
sama seperti pada hasil obyektif. Hasil subjektif adalah konsekuensi sosial,
perceptual, dan emosional pada negosiasi. Pentingnya hasil subjektif dalam
negosiasi setidaknya untuk empat alasan, yaitu : negosiator sering lebih peduli
tentang hasil subjektif seperti perasaan positif, menjadi dihargai, atau memiliki
hubungan yang menyenangkan, daripada tentang substansi dari kesepakatan;
mereka yang membangun hubungan baik dengan pihak lain atau yang
mengembangkan reputasi positif cenderung untuk diminati sebagi mitra dalam
pertukaran mendatang; hasil subjektif dari satu negosiasi dapat memperoleh hasil
objektif khususnya dalam konteks interaksi jangka lama, dimana individu meraih
hasil objektif lebih besar dalam negosiasi kedua jika mereka mengalami hasil
subjektif lebih besar dalam negosiasi awal dengan pihak yang sama; dan hasil
subjektif terkait dengan komitmen untuk menegakkan kesepakatan, dimana hasil
subjektif dapat bertindak sebagai kebijakan jaminan yang meningkatkan
kemungkinan bahwa para pihak akan mengikuti keseluruhan kewajiban mereka
yang telah ditetapkan pada kesepakatan.
Curhan et.al (2006) mengelompokkan hasil subjektif ke dalam empat
dimensi hasil subjektif, yaitu : Instrumental, adalah persepsi subjektif bahwa hasil
ekonomi yang menguntungkan, seimbang, dan konsisten dengan prinsip legitimasi
75
dan preseden; Diri, yang terdiri dari kehilangan muka versus perasaan kompeten
dan terpuaskan bahwa diri telah berperilaku dengan tepat; Proses, yang mencakup
persepsi bahwa seseorang telah didengar dan diperlakukan dengan adil, dan
bahwa proses efisien; dan Hubungan, yang melibatkan kesan positif, kepercayaan,
dan dasar yang solid untuk bekerja bersama di masa mendatang.
Bila diperbandingkan dengan kerangka Thompson, kerangka Curhan et.al
memiliki persamaan, yaitu; proses pada Curhan et.al sama dengan persepsi pada
situasi perundingan pada Thompson, hubungan pada Curhan et.al sama dengan
persepsi pada pihak lain pada Thompson, diri pada Curhan et.al sama dengan
persepsi pada diri sendiri pada Thompson. Sementara instrumental pada Curhan
et.al menggambarkan bentuk keyakinan dan perasaan subjektif tentang hasil
ekonomi yang berwujud dari perundingan, yang dinilai secara objektif pada
Thompson. Konstruk hasil subjektif pada Curhan et.al menggambarkan kerangka
integratif yang menghubungkan batas yang ada dari penelitian negosiasi pada
topik terkait seperti kepercayaan, keadilan, hubungan, dan kepuasan hasil.
Kepercayaan terkait dengan hasil subjektif proses dan hubungan. Kepuasan terkait
dengan hasil subjektif instrument. Empat bentuk keadilan, keadilan prosedural
terkait dengan hasil subjektif proses, keadilan distributif terkait dengan hasil
subjektif instrumental, dan keadilan informasional dan keadilan interpersonal
terkait dengan hasil subjektif hubungan.
Terdapat beberapa penelitian lainnya yang mengukur perundingan
bersama, namun tidak mengkategorikannya dalam hasil subjektif maupun hasil
objektif seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.11.
76
Tabel 2.11.
Pengukuran Perundingan
Indikator Pengukuran
Peneliti
Akhaukw Keadilan proses,
a et.al
Kesediaan manajemen untuk bernegosiasi,
(2013:278) Waktu yang digunakan untuk memperoleh kesepakatan,
Kepedulian terhadap sudut pandang pihak lain,
Kesediaan untuk memberi dan menerima,
Tingkat feedback yang diberikan pada anggota,
Tingkat partisipasi anggota,
Pelaksanaan hal yang disepakati
Luqman Kebebasan berasosiasi untuk berbicara bagi setiap orang agar mudah saling memahami
et.al
Pengakuan dan menghargai serikat dalam menyelesaikan setiap isu-isu
(2012:972) Dukungan pada otoritas administratif pekerja yang menyediakan jasa konsiliasi dan
menyediakan kerangka hukum saat dibutuhkan
Kepercayaan antara kedua belah pihak
Komunikasi yang baik antara kedua belah pihak dalam berbagi informasi dan keterlibatan
dalam pembuatan keputusan
Peninjauan kesepakatan yang telah dicapai atas kelalaian dalam mematuhi hal-hal yang telah
disepakati
Pulido
Hasil yang positif yang ditandai dengan kegigihan dalam membela kepentingan sendiri dan,
et.al
pada saat yang sama, membuat konsesi dengan tepat
(2013:411) Keseimbangan kekuasaan yang menyangkut perilaku yang bertujuan untuk meminimalkan
persepsi ketimpangan dalam hubungan kekuasaan.
Iklim yang konstruktif yang mengacu pada upaya yang berorientasi untuk menciptakan
iklim positif bagi perkembangan negosiasi, mencegah gangguan dan permusuhan,
mendorong kepercayaan diri, dan menerima saling ketergantungan.
Fleksibilitas procedural yang menyangkut penciptaan interaksi dan eksplorasi yang fleksibel
yang memungkinkan peserta untuk mencari kepentingan bersama, menghasilkan
sejumlah alternatif sebanyak mungkin
Sumber : diadaptasi dari beberapa sumber
77
Perasaan
tentang
Instrument
al
Perasaan
tentang
Diri
Indikator Pengukuran
Kepuasan atas kesepakatan
Kepuasan atas keseimbangan kesepakatan
Perasaan gagal dalam negosiasi
Konsistensi dengan prinsip legitimasi atau kriteria
objektif
Kepuasan atas waktu yang digunakan
Kehilangan muka dalam negosiasi
Kesesuaian perilaku dengan prinsip dan nilai-nilai
diri
Perasaan kompeten sebagai negosiator
Perasaan berperilaku tepat dalam negosiasi
Kegigihan dalam mempertahankan kepentingan
sendiri
Kepedulian, pengakuan dan didengarkan atas
harapan, pendapat atau kebutuhan masing-masing
pihak
Kesediaan saling memberi dan menerimana satu
sama lain
Perasaan
Tentang
Proses
Perasaan
Tentang
Sumber
Akhaukwa et.al
(2013:278)
78
Indikator Pengukuran
Sumber
lain
Hubungan
79