Anda di halaman 1dari 15

2.1.

2 Perundingan Bersama Dalam Konsep Hubungan Pekerja


2.1.2.1 Definisi Perundingan Bersama
Perundingan bersama merupakan salah satu topik utama dari Hubungan
Pekerja (Kaufman, 2002:962). Paul et.al (2013:49) mengungkapkan bahwa salah
satu fungsi yang paling penting pengaturan kerja adalah perundingan bersama,
dimana kinerja tidak dapat ditingkatkan dalam lingkungan kerja yang ditandai
dengan tidak adanya keharmonisan hidup berdampingan antara pengusaha dan
pekerja. Oleh karena itu salah satu metode komunikasi yang resmi adalah
perundingan bersama berdasarkan kesukarelaan, manajemen partisipatif dan
saling menghormati, yang bertujuan pada kesepakatan yang berbenturan antara
pekerja dan pengusaha melalui berbagai perwakilan mereka. Ini adalah cara
dimana demokrasi industri dapat dicapai dalam lingkungan kerja yang
memberikan pihak-pihak bersedia untuk memahami dan bekerja sama dengan
syarat dan kondisi dari perjanjian.
Adams (2011:153) menyatakan bahwa perundingan bersama telah banyak
dianggap menjadi pilihan bagi ketidakpuasan pekerja terhadap sistem standar pada
kondisi kerja yang ditentukan manajemen, dan sebagai hak asasi manusia yang
diakui secara universal, perundingan bersama harus dipertimbangkan sebagai
kondisi minimum untuk setiap orang yang bekerja di bawah kondisi standar kerja.
Sebuah konsensus global yang kuat telah dicapai, sebagai syarat minimum, semua
pekerja di dunia berhak untuk menegosiasikan kondisi kerja mereka secara
kolektif, yang telah diakui semua pemerintah di dunia terkait keanggotaan mereka
dalam International Labour Organisation (ILO). Tanpa perundingan bersama

65

akan terdapat kebaikan paternalistik tetapi tidak ada demokrasi; tidak ada
kesetaraan kekuasaan; tidak ada otonomi pembuatan keputusan dimana aturan
dapat dirubah sepihak tanpa peringatan; salah satu pihak memiliki sedikit
perlindungan dari keputusan yang sewenang-wenang; salah satu pihak berada di
bawah tekanan dan menjadikan pemohon tunduk kepada mereka yang memiliki
kekuasaan. Hak untuk perundingan bersama akan sepenuhnya terwujud hanya jika
semua kondisi standar kerja adalah hasil dari perundingan bersama. Berikut
konsep perundingan bersama menurut beberapa pendapat pakar pada Tabel 2.9.

No.
1.

Tabel 2.9.
Definisi Perundingan Bersama
Sumber
Konsep Perundingan Bersama
Leat
Perundingan bersama adalah salah satu proses hubungan pekerja, dimana
(2007:358 pekerja/perwakilannya dan pengusaha/perwakilannya bernegosiasi satu sama
)
lain dengan pandangan untuk meraih kesepakatan atas sejumlah isu yang
mencakup syarat dan kondisi kerja, yang dilakukan secara formal dan
informal, dan dengan alasan: saling ketergantungan kedua pihak untuk
hubungan ketenagakerjaan.
Amstrong
Perundingan bersama adalah hubungan kekuasaan antara manajemen dan
(2010:302 serikat, dimana masing-masing terlibat dalam menilai keinginan perundingan
)
dan kekuasaan perundingan, yang dibangun melalui negosiasi dan diskusi
mengenai hal-hal yang menjadi perhatian bersama bagi keduanya yang
mencakup hubungan ketenagakerjaan dan syarat dan kondisi kerja; atau
sebagai proses pengaturan bersama terkait pengaturan manajemen dalam
hubungannya dengan pekerja dan pengaturan kondisi kerja; yang juga terlihat
sebagai hubungan politis dimana adanya kekuasaan yang dipegang bersama
oleh manajemen dan serikat dalam proses perundingan bersama.
Carrel dan Perundingan bersama adalah hubungan yang berkelanjutan (mulai dengan
Heavrin
negosiasi kontrak selama masa kontrak dengan interpretasi harian dan
(2013:5)
administrasi pada ketentuannya yang juga mencakup penanganan keluhan
pekerja dan jika perlu arbitrasi pada keluhan tersebut dalam keputusan akhir
dan mengikat) antara pengusaha (dapat melibatkan satu atau lebih pengusaha)
dan organisasi pekerja (atau serikat yang mewakili unit pekerja tertentu) untuk
tujuan melakukan negosiasi persyaratan kerja tertulis (umumnya mencakup
harga pekerja : upah dan tunjangan; aturan kerja : jam kerja, klasifikasi
kerja,usaha yang dibutuhkan, dan praktek kerja; hak kerja individu: senioritas,
prosedur disiplin, dan prosedur promosi dan pemberhentian; hak manajemen
dan serikat; dan metode pelaksanaan dan pengaturan kontrak: penyelesaian
keluhan).
Sumber : diadaptasi dari beberapa sumber

Dari beberapa pendapat terkait perundingan bersama di atas, terlihat ketiga


penulis secara umum memahami pperundingan bersama sebagai proses negosiasi

66

antara manajemen dan pekerja secara kolektif yang diwakilkan oleh serikat untuk
mencapai kesepakatan terkait hal-hal dalam hubungan ketenagakerjaan. Terdapat
beberapa perbedaan, seperti Leat yang menekankan proses negosiasi terjadi secara
informal dan formal, sementara Carrel dan Heavrin terlihat secara formal
(tertulis), dan Amstrong memandangnya sebagai hubungan politis karena adanya
aspek kekuasaan. Dalam konteks hubungan industrial, maka perundingan bersama
dapat diartikan sebagai studi yang mempelajari salah satu sarana hubungan
industrial

untuk

melakukan

negosiasi

langsung

secara

formal

antara

pengusaha/manajemen dan pekerja secara kolektif yang diwakili oleh serikat


terkait pengaturan kerja yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak
dalam perusahaan baik untuk aturan substantif maupun prosedural yang tercakup
dalam hubungan ketenagakerjaan.
Umumnya bentuk kesepakatan bersama dari perundingan bersama
menurut Amstrong (2010:303) adalah, pertama; kesepakatan substantif, menyusun
syarat dan kondisi kerja yang mencakup peraturan upah, tunjangan dan lembur,
jam kerja, hari libur dan pengaturan fleksibilitas, dan pencapaian status tunggal
(tidak ada perbedaan kondisi kerja dasar) atau harmonisasi (pendekatan umum
untuk upah dan kondisi atas semua pekerja). Kedua; kesepakatan procedural,
menyusun metode yang akan digunakan dan prosedur atau aturan yang akan
diikuti dalam proses perundingan bersama dan penyelesaian perselisihan
industrial, yang mengatur perilaku para pihak untuk kesepakatan, namun tidak
diberlakukan secara hukum dan sejauhmana mereka mengikuti tergantung niat
baik kedua pihak atau keseimbangan kekuasaan antara mereka.

67

Tujuan perundingan bersama adalah tentunya untuk kesepakatan yang


saling memuaskan kedua pihak, namun apabila gagal terdapat beberapa prosedur
yang menyediakan bentuk penyelesaian perselisihan. Menurut Amstrong
(2010:305), beberapa jenis-jenis penyelesaian perselisihan adalah konsiliasi
(proses mendamaikan pihak-pihak yang berselisih oleh pihak ketiga yang
bertindak sebagai perantara yang hanya berusaha membantu pihak-pihak untuk
mencapai kesepakatan tanpa memberikan rekomendasi apa kesepakatan yang
seharusnya), arbitrase (proses penyelesaian perselisihan oleh pihak ketiga untuk
mereview dan mendiskusikan sikap negosiasi pihak-pihak yang berselisih dan
membuat rekomendasi yang mengikat kedua pihak) dan mediasi (bentuk arbitrase
yang lebih kuat dari konsiliasi, dimana pihak ketiga membantu pekerja dan serikat
dengan membuat rekomendasi tapi tidak mengikat kedua pihak). Chaneta
(2009:6) membedakan strategi penyelesaian perselisihan antara konsiliasi dan
arbitrase pada Tabel 2.10.
Tabel 2.10.
Perbedaan Konsiliasi dan Arbitase
Konsiliasi
Arbitrase
pihak ketiga mengintervensi jika terjadi
pihak ketiga yang independen mengintervensi
kekacauan antara para pihak yang bersengketa dalam perselisihan dimana para pihak
dalam upaya untuk mengidentifikasi penyebab menyampaikan kasus mereka untuk
dan tingkat perbedaan mereka dengan
dipertimbangkan oleh arbiter, arbiter
menentukan posisi sebenarnya yang berbeda
menentukan solusi dengan
dari posisi negosiasi protagonist, menawarkan mempertimbangkan materi yang disampaikan
solusi alternative untuk memastikan implikasi dan objek dari undang-undang di mana
dari pilihan dan penerimaan mereka terhadap
arbitrase dibentuk. Arbitrase biasanya terjadi
masing-masing pihak, dan mengembangkan
setelah kegagalan konsiliasi, tapi kadangpenyelesaian yang disetujui bersama untuk
kadang setelah kekacauan antara para pihak.
perselisihan melalui negosiasi.
Konsiliator tidak memiliki kekuasaan untuk
Arbiter tidak berkewajiban untuk mencari
memaksa persyaratan penyelesaian pada para
solusi yang dapat diterima bersama dan
pihak jika salah satu atau kedua menolak
memiliki kekuatan hukum sebagai
untuk menerima penyelesaian yang
kesepakatan perundingan bersama. Keputusan
dianjurkan.
yang diambil oleh arbiter mengikat para
pihak, dan terdapat hukuman bagi yang
melanggar dengan keputusan arbiter
Sumber : Chaneta (2009:6)

68

2.1.2.2 Bentuk Perundingan Bersama


Beberapa pendapat telah menghasilkan beberapa bentuk perundingan yang
menghasilkan dinamika perundingan bersama dalam situasi hubungan pekerja.
Strategi ini kebanyakan mengulas pada perundingan distributif dan perundingan
integratif meskipun terdapat bentuk lainnya. Walton dan McKersie (1992:279)
menyatakan dua perundingan ini sering dibahas dan terkadang menggunakan
beragam istilah seperti bersaing dan bekerja sama, tuntutan nilai dan penciptaan
nilai, posisi dan kepentingan. Dilema yang muncul dari kedua perundingan ini
karena persyaratan taktis yang saling bertentangan. Pada perundingan distributif
diupaya sangat keras, negosiator dapat memperoleh bagian yang lebih besar tapi
serangkaian

keuntungan

bersama

lebih

kecil

bahkan

negosiator

dapat

menghasilkan keluaran dimana kedua pihak kehilangan. Pada perundingan


integratif, negosiator berada dalam cara satu tujuan, yang benar-benar jujur dan
sepenuhnya datang dengan informasi, namun dapat dimanfaatkan oleh pihak lain.
Disimpulkan dari Walton dan McKersie (1992:279) dan Carrel dan
Heavrin (2013:173), perundingan distributif adalah bentuk perundingan yang
digambarkan sebagai situasi win-lose/ fixed-pie/ zero-sum, konflik murni dan
persaingan yang memandang sumber daya sebagai fixed dan terbatas/langka, dan
masing-masing pihak ingin memaksimalkan bagiannya, sehingga satu pihak dapat
kehilangan sejumlah keuntungan oleh pihak lain. Perundingan integratif adalah
metode perundingan yang digambarkan sebagai situasi win-win / expandedpie /
mutual gains, melibatkan teknik integratif yang mengintegrasikan kepentingan
kedua belah pihak mencakup pemahaman yang jelas tentang masalah, berbagi

69

informasi secara terbuka, dan eksplorasi bersama solusi yang menguntungkan


kedua belah pihak. Ini tidak berarti negosiator menyerah pada tuntutan yang
dibuat oleh pihak lain atau mengorbankan salah satu tujuan mereka sendiri,
namun mencari pilihan kreatif. Untuk menciptakan nilai dan menemukan manfaat
bersama atau kesamaan pada beberapa masalah memerlukan para pihak untuk
berbagi informasi dan menyajikan lebih banyak pilihan. Merupakan pendekatan
yang lebih kooperatif untuk perundingan atau resolusi konflik.

2.1.2.3 Tingkatan Perundingan Bersama


IR beroperasi pada berbagai tingkatan, yaitu tingkat nasional, tingkat
industri, dan tingkat perusahaan, sehingga perundingan bersama ada di setiap
tingkatan tersebut. Efektivitas IR pada salah satu tingkatan secara alami akan
memiliki beberapa dampak pada tingkat lainnya. Mahapatro (2010:374), Rusinek
dan Rycx (2013) dan Anyim (2013:61) menjelaskan perundingan bersama dapat
terjadi pada tiga tingkatan :
1. Tingkat nasional; Kesepakatan yang dihasilkan adalah masalah utama
hubungan ketenagakerjaan yang dapat dirundingan pada tingkat lebih
bawah. Ini adalah negosiasi yang dilakukan melalui proses tripartite
dengan melibatkan tiga pelaku dalam IR - pemerintah, serikat pekerja
dan perwakilan manajemen. Inti dari perundingan pada tingkat ini
adalah merumuskan kebijakan hubungan ketenagakerjaan, untuk
meletakkan pedoman, tingkat minimum atau standar yang dibangun
dalam masing-masing sektor misalnya UU Upah Minimum Nasional.

70

2. Tingkat sektoral/industri; Kesepakatan nasional diperbaiki dalam


setiap sektor kegiatan, dimana perjanjian industri mempertemukan
perwakilan pengusaha dan serikat yang termasuk dalam industri
pekerjaan yang sama, dengan menetapkan standar industri untuk
semua pekerja. Proses ini menghasilkan penentapan upah dan
persyaratan dan kondisi kerja lainnya untuk suatu industri atau sektor.
Ini dapat juga menghasilkan pengaturan pada masalah yang menjadi
perhatian

bersama

seperti

pelatihan,

cara

menghindari

atau

penyelesaian perselisihan.
3. Tingkat perusahaan; hubungan antara pengusaha dan pekerja lebih
langsung, tapi kepentingan pekerja dapat diwakilkan oleh serikat.
Kesepakatan bersama sektoral dapat dinegosiasi ulang, kecuali di
mana terdapat apa yang disebut klausul penting, yang tidak
bertentangan dengan perjanjian sektoral. Dengan kata lain, apa yang
dirundingkan pada tingkat perusahaan hanya dapat lebih besar atau
sama dengan penetapan di tingkat industri.
Menurut Silva (1997), perundingan bersama tingkat nasional / industri bagi pengusaha dapat mengurangi persaingan (melalui syarat standar) yang
didasarkan biaya tenaga kerja dan membawa masalah yang diperdebatkan keluar
dari tanggung jawab langsung mereka dengan mentransfernya kepada perwakilan
mitra sosial, yaitu, serikat pekerja dan organisasi pengusaha; dan bagi serikat
pekerja karena memberi mereka pengaruh dasar di luar perusahaan dengan
menyatukan pekerja dari banyak organisasi berbasis industri atau nasional.
Namun, pada negara berkembang, perundingan ini memiliki konsekuensi

71

merugikan karena memfasilitasi keragaman dan politisasi serikat yang


mensyaratkan keaksaraan, pendidikan dan kesadaran tingkat tinggi di antara
pekerja, dan kemampuan untuk memonitor tindakan perwakilan mereka yang
beroperasi pada tingkat yang jauh lebih tinggi dari tempat kerja. Oleh sebab itu,
serikat lebih memilih perundingan tingkat perusahaan daripada tingkat nasional /
industri karena memberikan mereka keuntungan kekuasaan (Katz, 1993).
Rusinek dan Rycx (2013:30) dan Katz (1993) menjelaskan bahwa
perundingan bersama dapat terjadi dalam dua jenis kebijakan industri yaitu
sentralisasi atau desentralisasi, dimana desentralisasi lebih dipilih oleh perusahaan
agar dapat lebih menyelaraskan kebijakan mereka dengan kebutuhan khusus
mereka atau untuk merespon kondisi lokal, meskipun pekerja/serikat pekerja
dapat mengekstrak bagian yang lebih besar dari keuntungan yang dihasilkan oleh
perusahaan mereka. Sementara sentralisasi dengan penentuan standarnya yang
relatif tinggi, ruang untuk perbaikan pada tingkat perusahaan sangat terbatas dan
memiliki sedikit pengaruh, bahkan untuk pekerja yang tercakup oleh kesepakatan
bersama di tingkat perusahaan, dimana dalam desentralisasi, tingkat industri
umumnya menetapkan standar yang rendah dengan harapan akan ditingkatkan
pada tingkat perusahaan melalui perundingan bersama atau melalui perundingan
individu dan / atau keputusan sepihak pengusaha, yang akibatnya, karakteristik
perusahaan cenderung memiliki dampak yang signifikan terhadap perjanjian di
industri desentralisasi.

2.1.2.4 Pengukuran Perundingan Bersama

72

Dalam interaksi yang lebih luas, istilah perundingan atau negosiasi sering
digunakan bergantian (Lewicki, 1992:219). Curhan et.al (2006) memaparkan
bahwa telah banyak penelitian cenderung menggambarkan negosiasi sebagai
interaksi yang termotivasi secara ekonomi, dimana sebagian besar studi pada
negosiasi telah berfokus pada bagaimana untuk mencapai hasil yang nyata atau
hasil objektif dan masih sangat sedikit penelitian negosiasi yang melibatkan
ukuran subjektif pada hasil negosiasi, dimana keputusan yang sama untuk
menguntungkan hasil obyektif kadang-kadang tidak menginginkan konsekuensi
negatif bagi keluaran psikologis sosial (Curhan et.al, 2011:3).
Dalam rentang beberapa dekade penelitian negosiasi dengan metode yang
ketat ditujukan untuk mengukur nilai yang saling menguntungkan yang dibuat
oleh dua pihak, yang masing-masing termotivasi untuk mengejar kepentingan
mereka sendiri (Thompson, 2010:508). Seperti pada penelitian Walsh et.al
(2003:2) yang mensurvei semua penelitian empiris terpublikasi oleh Academy of
Management pada tahun 1958 dan semua penelitian terpublikasi antara tahun
1972 dan 2001, menemukan fokus yang semakin berkurang pada keluaran sosial
dan meningkatnya pengejaran keluaran ekonomi.
Curhan et.al (2011:3) memaparkan bahwa terdapat dua jenis hasil dalam
negosiasi yaitu hasil ekonomi adalah kesepakatan (atau ketiadaan kesepakatan)
yang memiliki nilai obyektif (Objective Value/OV), atau nilai yang ditentukan
oleh pasar atau oleh keinginan negosiator berdasarkan prediksi; dan hasil
psikologis sosial adalah sikap dan persepsi dari negosiator seperti kepuasan atau
kesukaan yang memiliki nilai subyektif (Subjective Value/SV). Thompson (1990)

73

juga mengajukan ukuran negosiasi dalam dua kelas yaitu pertama, hasil ekonomi,
yang mengacu pada ketentuan atau produk negosiasi secara eksplisit seperti ada
atau tidak adanya kesepakatan yang dicapai, seberapa besar nilai atau keuntungan
bersama yang diciptakan, dan bagaimana sumberdaya dibagi atau dituntut oleh
kedua belah pihak. Kedua hasil psikologi sosial yang berdasarkan persepsi sosial
dan terdiri dari tiga elemen penting yaitu persepsi pada situasi perundingan,
persepsi pada pihak lain, dan persepsi pada diri sendiri.
Pada kategori pertama, persepsi pada situasi perundingan, ini mencakup
penilaian dan perasaan tentang proses negosiasi dan keluarannya seperti norma,
konteks, struktur dan naskah, komunikasi dan berbagi informasi, dan keterlibatan
keadialan. Kategori kedua, persepsi pada pihak lain, ini melibatkan hasil dari
proses yang lebih umum dari persepsi seseorang dan pembentukan kesan yang
digunakan untuk pihak lain. Proses tersebut menghasilkan perasaan yang dapat
dikelompokkan pada tingkat individu yaitu apa yang negosiator pikir pada pihak
lain, berdasarkan perilaku mereka seperti etika, taktik, strategi mereka dan
kesimpulan sifat umum seperti keahlian, koperatif, dan keramahtamahan; dan
reputasi dan modal sosial yang dihasilkan negosiator; dan tingkat dyad, yaitu apa
yang mereka pikir atas hubungannya dengan pihak lain, yang mencakup
hubungan sosial, kepercayaan, rasa hormat, keinginan, dan kepedulian untuk
pihak lain yang berkembang di antara pihak-pihak yang bernegosiasi. Kategori
ketiga, persepsi pada diri sendiri, ini melibatkan pengubahan proses persepsi
seseorang dalam hati. Negosiator menilai sifat, kinerja dan nilainya sendiri,
menggunakan kesadaran internal mereka pada motivasi dan nilai-nilai mereka,

74

juga observasi mereka pada perilaku mereka sendiri. Ini terkait dengan
keberhasilan diri, perbaikan diri dan ilusi positif, harga diri dan menjaga wajah.
Curhan et.al (2006:3) mengembangkan kerangka Thompson dengan
menyediakan kerangka yang komprehensif berfokus pada hasil subjektif dalam
negosiasi yang berkontribusi bagi kemajuan teori dengan tingkat presisi yang
sama seperti pada hasil obyektif. Hasil subjektif adalah konsekuensi sosial,
perceptual, dan emosional pada negosiasi. Pentingnya hasil subjektif dalam
negosiasi setidaknya untuk empat alasan, yaitu : negosiator sering lebih peduli
tentang hasil subjektif seperti perasaan positif, menjadi dihargai, atau memiliki
hubungan yang menyenangkan, daripada tentang substansi dari kesepakatan;
mereka yang membangun hubungan baik dengan pihak lain atau yang
mengembangkan reputasi positif cenderung untuk diminati sebagi mitra dalam
pertukaran mendatang; hasil subjektif dari satu negosiasi dapat memperoleh hasil
objektif khususnya dalam konteks interaksi jangka lama, dimana individu meraih
hasil objektif lebih besar dalam negosiasi kedua jika mereka mengalami hasil
subjektif lebih besar dalam negosiasi awal dengan pihak yang sama; dan hasil
subjektif terkait dengan komitmen untuk menegakkan kesepakatan, dimana hasil
subjektif dapat bertindak sebagai kebijakan jaminan yang meningkatkan
kemungkinan bahwa para pihak akan mengikuti keseluruhan kewajiban mereka
yang telah ditetapkan pada kesepakatan.
Curhan et.al (2006) mengelompokkan hasil subjektif ke dalam empat
dimensi hasil subjektif, yaitu : Instrumental, adalah persepsi subjektif bahwa hasil
ekonomi yang menguntungkan, seimbang, dan konsisten dengan prinsip legitimasi

75

dan preseden; Diri, yang terdiri dari kehilangan muka versus perasaan kompeten
dan terpuaskan bahwa diri telah berperilaku dengan tepat; Proses, yang mencakup
persepsi bahwa seseorang telah didengar dan diperlakukan dengan adil, dan
bahwa proses efisien; dan Hubungan, yang melibatkan kesan positif, kepercayaan,
dan dasar yang solid untuk bekerja bersama di masa mendatang.
Bila diperbandingkan dengan kerangka Thompson, kerangka Curhan et.al
memiliki persamaan, yaitu; proses pada Curhan et.al sama dengan persepsi pada
situasi perundingan pada Thompson, hubungan pada Curhan et.al sama dengan
persepsi pada pihak lain pada Thompson, diri pada Curhan et.al sama dengan
persepsi pada diri sendiri pada Thompson. Sementara instrumental pada Curhan
et.al menggambarkan bentuk keyakinan dan perasaan subjektif tentang hasil
ekonomi yang berwujud dari perundingan, yang dinilai secara objektif pada
Thompson. Konstruk hasil subjektif pada Curhan et.al menggambarkan kerangka
integratif yang menghubungkan batas yang ada dari penelitian negosiasi pada
topik terkait seperti kepercayaan, keadilan, hubungan, dan kepuasan hasil.
Kepercayaan terkait dengan hasil subjektif proses dan hubungan. Kepuasan terkait
dengan hasil subjektif instrument. Empat bentuk keadilan, keadilan prosedural
terkait dengan hasil subjektif proses, keadilan distributif terkait dengan hasil
subjektif instrumental, dan keadilan informasional dan keadilan interpersonal
terkait dengan hasil subjektif hubungan.
Terdapat beberapa penelitian lainnya yang mengukur perundingan
bersama, namun tidak mengkategorikannya dalam hasil subjektif maupun hasil
objektif seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 2.11.

76

Tabel 2.11.
Pengukuran Perundingan
Indikator Pengukuran

Peneliti
Akhaukw Keadilan proses,
a et.al
Kesediaan manajemen untuk bernegosiasi,
(2013:278) Waktu yang digunakan untuk memperoleh kesepakatan,
Kepedulian terhadap sudut pandang pihak lain,
Kesediaan untuk memberi dan menerima,
Tingkat feedback yang diberikan pada anggota,
Tingkat partisipasi anggota,
Pelaksanaan hal yang disepakati
Luqman Kebebasan berasosiasi untuk berbicara bagi setiap orang agar mudah saling memahami
et.al
Pengakuan dan menghargai serikat dalam menyelesaikan setiap isu-isu
(2012:972) Dukungan pada otoritas administratif pekerja yang menyediakan jasa konsiliasi dan
menyediakan kerangka hukum saat dibutuhkan
Kepercayaan antara kedua belah pihak
Komunikasi yang baik antara kedua belah pihak dalam berbagi informasi dan keterlibatan
dalam pembuatan keputusan
Peninjauan kesepakatan yang telah dicapai atas kelalaian dalam mematuhi hal-hal yang telah
disepakati
Pulido
Hasil yang positif yang ditandai dengan kegigihan dalam membela kepentingan sendiri dan,
et.al
pada saat yang sama, membuat konsesi dengan tepat
(2013:411) Keseimbangan kekuasaan yang menyangkut perilaku yang bertujuan untuk meminimalkan
persepsi ketimpangan dalam hubungan kekuasaan.
Iklim yang konstruktif yang mengacu pada upaya yang berorientasi untuk menciptakan
iklim positif bagi perkembangan negosiasi, mencegah gangguan dan permusuhan,
mendorong kepercayaan diri, dan menerima saling ketergantungan.
Fleksibilitas procedural yang menyangkut penciptaan interaksi dan eksplorasi yang fleksibel
yang memungkinkan peserta untuk mencari kepentingan bersama, menghasilkan
sejumlah alternatif sebanyak mungkin
Sumber : diadaptasi dari beberapa sumber

Berdasarkan pengukuran perundingan bersama yang telah digunakan


dalam beberapa penelitian sebelumnya, maka pengukuran perundingan bersama
antara pengusaha/manajemen dan pekerja/serikat di perusahaan pakaian jadi yang
digunakan dalam penelitian ini mengadopsi ukuran dari Curhan et.al (2006). Ini
dikarenakan dari fenomena yang diangkat berupa sedikitnya jumlah Perjajian
Kerja Bersama (PKB) sebagai hasil kesepakatan dari perundingan bersama
bipartit antara pengusaha/manajemen dan serikat pekerja di perusahaan yang
didaftarkan ke Dinas ketenagakerjaan, sehingga penting untuk mengukur
efektivitas perundingan ini melalui penilaian subjektif dari pihak serikat pekerja

77

dalam aspek kepercayaan, keadilan, hubungan, dan kepuasan hasil karena


perundingan bersama adalah hak dan kebutuhan bagi pekerja. Hal ini dilakukan
dengan beberapa modifikasi indikator yang disesuaikan dengan fenomena seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 2.12.
Tabel 2.12.
Instrumen Pengukuran Perundingan yang Digunakan

Perasaan
tentang
Instrument
al

Perasaan
tentang
Diri

Indikator Pengukuran
Kepuasan atas kesepakatan
Kepuasan atas keseimbangan kesepakatan
Perasaan gagal dalam negosiasi
Konsistensi dengan prinsip legitimasi atau kriteria
objektif
Kepuasan atas waktu yang digunakan
Kehilangan muka dalam negosiasi
Kesesuaian perilaku dengan prinsip dan nilai-nilai
diri
Perasaan kompeten sebagai negosiator
Perasaan berperilaku tepat dalam negosiasi
Kegigihan dalam mempertahankan kepentingan
sendiri
Kepedulian, pengakuan dan didengarkan atas
harapan, pendapat atau kebutuhan masing-masing
pihak
Kesediaan saling memberi dan menerimana satu
sama lain

Perasaan
Tentang
Proses

Kebebasan berbicara dan partisipasi dari kedua


belah pihak

Perasaan keadilan proses negosiasi

Perasaan
Tentang

Komunikasi dari kedua belah pihak dalam berbagi


informasi
Distribusi kekuasaan dalam negosiasi
Suasana dalam negosiasi
Kepuasan dalam kemudahan pencapaian
kesepakatan
Kesan yang baik diperoleh dari pihak lain
Kepuasan terhadap pihak lain atas hasil negosiasi
Fondasi untuk hubungan mendatang dengan pihak

Sumber

Curhan et.al (2006:62)

Akhaukwa et.al
(2013:278)

Curhan et.al (2006:62)

Pulido et.al (2013:411);


Curhan et.al (2006:62),
Akhaukwa et.al
(2013:278), Luqman
et.al (2012:972)
Akhaukwa et.al
(2013:278)
Akhaukwa et.al
(2013:278), Luqman
et.al (2012:972)
Pulido et.al (2013:411)
Curhan et.al (2006:62),
Akhaukwa et.al
(2013:278)
Luqman et.al
(2012:972)
Pulido et.al (2013:411)
Pulido et.al (2013:411)
Curhan et.al (2006:62)
Curhan et.al (2006:62)

78

Indikator Pengukuran

Sumber

lain
Hubungan

Kepercayaan dan rasa hormat satu sama lain

Curhan et.al (2006:62),


Luqman et.al
(2012:972)

79

Anda mungkin juga menyukai