Anda di halaman 1dari 30

i

Definisi Konflik

Menurut Robbins &Judge (2013) konflik adalah sebuah proses yang


dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi
secara negatif, atau akan memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi
kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Menurut Sopiah (2008) konflik
adalah proses yang dinamis dan keberadaannya lebih banyak menyangkut persepsi
dari orang atau pihak yang mengalami dan merasakannya. Menurut Soetopo
(2010) konflik adalah suatu pertentangan dan ketidakseusaian kepentingan,
tujuan, dan kebutuhan dalam situasi formal, sosial, dan psikologis, sehingga
menjadi antagonis, ambivalen, dan emosional. Menurut Kreitner (2005) konflik
adalah sebuah proses di mana satu pihak menganggap bahwa kepentingan-
kepentingannya ditentang atau secara negative dipengaruhi oleh pihak lain.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah


suatu bentuk pertentangan yang terjadi antara dua pihak atau lebih di mana salah
satu pihak merasa dirugikan atau dipengaruhi secara negative sehingga
menimbulkan ketidakpuasan terhadap perilaku pihak lain.

2.1 Transisi dalam Pemikiran Konflik


Menurut Robbins &Judge (2013) terdapat tiga pandangan tentang konflik,
yaitu:
a. Tradisional view of conflict, menyatakan bahwa konflik harus dihindari karena
akan menimbulkan kerugian, aliran ini juga memandang konflik sebagai
sesuatu yang sangat buruk, tidak menguntungkan dalam organisasi. Oleh
karena itu konflik harus dicegah dan dihindari sebisa mungkin dengan mencari
akar permasalahan.
b. Interactionist view of conflict, yang menyatakan bahwa konflik bukan sekedar
sesuatu kekuatan positif dalam suatu kelompok, melainkan juga mutlak perlu

1
untuk suatu kelompok agar dapat berkinerja positif. Oleh karena itu konflik
harus diciptakan. Pandangan ini didasari keyakinan bahwa organisasi yang
tenang, harmonis, damai ini justru akan membuat organisasi itu menjadi statis,
stagnan dan tidak inovatif. Dampaknya dalam kinerja organisasi menjadi
rendah.
c. Resolution-focused view of conflict, pandangan ini menyatakan bahwa konflik
merupakan sesuatu yang wajar, alamiah dan tidak terelakan dalam setiap
kelompok manusia. Konflik tidak selalu buruk karena memiliki potensi
kekuatan yang positif di dalam menentukan kinerja kelompok, yang oleh
karena itu konflik harus dikelola dengan baik.

2.2 Proses Konflik

Menurut Robbins & Judge (2013) proses konflik dapat dipahami sebagai
sebuah proses yang terdiri atas lima tahapan yaitu, potensi pertentangan atau
ketidakselarasan, kognisi dan personalisasi, maksud, perilaku, dan hasil.

Gambar 2.1 Proses Konflik


Sumber: Robbins & Judge, 2013

Tahap 1 : Potensi Pertentangan atau Ketidakselarasan

2
Tahap pertama dalam proses konflik adalah munculnya kondisi-kondisi
yang menciptakan peluang bagi pecahnya konflik. Kondisi-kondisi tersebut tidak
mesti mengarah langsung ke konflik, tetapi salah satu darinya diperlukan jika
konflik hendak muncul. Kondisi-kondisi tersebut (sebab atau sumber konflik)
dapat dipadatkan ke dalam tiga kategori umum: komunikasi, struktur, dan
variabel-variabel pribadi.

Komunikasi, komunikasi dapat menjadi sumber konflik. Komentar dari


beberapa individu yang sedang berbicara mempresentasikan dua kekuatan
berlawanan yang muncul akibat kesulitan semantik, kesalahpahaman, dan
kegaduhan pada saluran komunikasi.

Struktur, istilah struktur digunakan dalam konteks ini untuk mencakup


variabel-variabel seperti ukuran, kadar spesialisasi dalam tugas-tugas yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan yuridiksi, keserasian antara
anggota dan tujuan, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan kadar
ketergantungan antarkelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan
spesialisasi bertindak sebagai daya yang merangsang konflik. Semakin besar
kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatan-kegiatannya, semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik. Masa kerja dan konflik berkorelasi terbalik.
Potensi konflik cenderung paling tinggi jika anggota-anggota kelompok lebih
muda dan ketika tingkat perputaran karyawan tinggi.Kelompok-kelompok dalam
organisasi memiliki tujuan yang beragam. Beragamnya tujuan di antara
kelompok-kelompok ini merupakan salah satu sumber utama konflik. Ada
indikasi bahwa gaya kepemimpinan yang melekat dapat meningkatkan potensi
konflik, tetapi bukti pendukungnya tidak kuat. Selain itu, terdapat pula indikasi
bahwa partisipasi dan konflik sangat berkorelasi karena partisipasi mendorong
dipromosikannya perbedaan. Sistem imbalan juga diketahui menciptakan konflik
ketika perolehan salah seorang anggota dipandang merugikan anggota lain.
Terakhir, jika sebuah kelompok bergantung pada kelompok lain atau saling
ketergantungan memungkinkan satu kelompok mendapat hasil sembari merugikan
kelompok lain,daya konflik pun akan terangsang.

3
Variabel-variabel pribadi, jadi kategori terakhir dari sumber-sumber
konflik yang potensial adalah faktor-faktor pribadi. Faktor ini mencakup sistem
nilai individual tiap orang dan karakteristik kepribadian yang menyebabkan
perbedaan individual, seperti kepribadian yang otoriter, emosi, dan nilai-nilai.

Tahap 2 : Kognisi dan personalisasi

Kognisi dan personalisasi yaitu tahap dimana isu-isu konflik biasanya


didefinisikan dan pada gilirannya akan menentukan jalan panjang menuju akhir
penyelesaian konflik. Sebagai contoh, emosi yang negatif dapat menyebabkan
peremehan persoalan, menurunnya tingkat kepercayaan dan interpretasi negatif
atas perilaku pihak lain. Sebaliknya, perasaan positif dapat meningkatkan
kemampuan untuk melihat potensi hubungan diantara elemen-elemen suatu
masalah, memandang secara lebih luas suatu situasi dan mengembangkan
berbagai solusi yang lebih inovatif. Konflik disyaratkan adanya persepsi dengan
kata lain bahwa tidak berarti konflik itu personalisasi. Selanjutnya konflik pada
tingkatan perasaan yaitu ketika orang mulai terlibat secara emosional.

Tahap 3 : Maksud

Maksud mengintervensi antara persepsi serta emosi orang dan perilaku


luaran mereka. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dengan cara tertentu.
Banyak konflik bertambah parah semata-mata karena salah satu pihak salah dalam
memahami maksud pihak lain. Selain itu, biasanya ada perbedaan yang besar
antara maksud dan perilaku, sehingga perilaku tidak selalu mencerminkan secara
akurat maksud seseorang. muncul karena salah-satu pihak salah dalam memahami
maksud pihak lain.

Dengan menggunakan dua dimensi yaitu pertama, sifat kooperatif (kadar


sampai mana salah-satu pihak berusaha memuaskan kepentingan pihak lain).
Kedua, sifat tegas (kadar sampai mana salah-satu pihak berupaya
memperjuangkan kepentingannya sendiri). Adapun lima maksud penanganan

4
konflik berhasil diidentifikasikan, yaitu sebagai berikut: bersaing (tegas dan tidak
kooperatif), bekerja sama (tegas dan kooporatif), menghindar (tidak tegas dan
tidak kooperatif), akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis
(tengah-tengah antara tegas dan kooperatif).

- Bersaing, hasrat untuk memuaskan kepentingan pribadi seseorang tanpa


memedulikan dampaknya terhadap orang lain yang berkonflik dengannya.
- Bekerja Sama, merupakan suatu situasi di mana pihak-pihak yang berkonflik
ingin sepenuhnya memuaskan kepentingan kedua belah pihak.
- Menghindar, merupakan hasrat untuk menarik diri dari atau menekan sebuah
konflik.
- Akomodatif, kesediaan salah satu pihak yang berkonflik untuk menempatkan
kepentingan lawannya di atas kepentingannya sendiri.
- Kompromis, suatu situasi di mana masing-masing pihak yang berkonflik
bersedia mengalah dalam satu atau lain hal.

Tahap 4 : Perilaku

Meliputi pernyataan aksi dan reaksi yang dibuat oleh pihak-pihak yang
berkonflik. Dengan demikian dalam konflik dibutuhkan teknik-teknik manajemen
konflik sehingga mendorong konflik mencapai tingkat konflik yang diinginkan.
Untuk meredakan konflik yang ada, diperlukan untuk mempelajari teknik-teknik
manajemen konflik. Manajemen konflik adalah pemanfaatan teknik-teknik
resolusi dan dorongan (stimulasi) untuk mencapai tingkat konflik yang
diinginkan.

5
Tabel2.1
Teknik-teknik manajemen konflik
Teknik-teknik penyelesaian konflik
Pemecahan masalah Pertemuan tatap muka pihak-pihak yang berkonflik
untuk mengidentifikasi masalah dan
menyelesaikannya melalui diskusi terbuka
Tujuan superordinat Menetapkan tujuan bersama yang tidak dapat
dicapai tanpa kerja sama dari setiap pihak yang
berkonflik
Ekspansi sumber daya Ketika sebuah konflik timbul karena kelangkaan
sumber daya (uang,promosi,kesempatan,ruang
kantor) ekspansi sumber daya dapat menciptakan
solusi yang saling menguntungkan
Penghindaran Penarikan diri dari, atau penyembunyian, konflik
Memperhalus Meminimalkan perbedaan sembari menekankan
kepentingan bersama di antara pihak-pihak yang
berkonflik
Berkompromi Masih masing-masing pihak yang berkonflik
menyerahkan sesuatu yang bernilai
Perintah otoratif Manajemen menggunakan wewenang formalnya
untuk menyelesaikan konflik dan kemudian
menyampaikan keinginannya kepada pihak-pihak
yang terlibat
Mengubah variabel Menggunakan teknik-teknik perbuahan perilaku
manusia seperti pelatihan hubungan insani untuk mengubah
sikap dan perilaku yang menyebabkan konflik
Mengubah variabel Mengubah struktur organisasi formal dan pola-pola
struktural interaksii dari pihak-pihak yang berkonflik melalui
rancang ulang pekerjaan, pemindahanm penciptaan
posisi koordinasi, dan sebagainya.
Teknik-teknik stimulasi konflik
Komunikasi Menggunakan pesan-pesan ambigu atau yang
sifatnya mengancam untuk menaikkan tingkat
konflik
Memasukkan orang Menambahkan karyawan ke suatu kelompok dengan
luar latar belakang, nilai-nilai, sikap, atau gaya

6
manajerialnya berbeda dari anggota-anggota yang
ada sekarang
Restrukturisasi Menata ulang kelompok-kelompok kerja, mengubah
organisasi aturan dan ketentuan, meningkatkan
kesalingketergantungan, dan membuat perubahan
struktural yang diperlukan untuk menggoyang status
quo
Membuat kambing Menunjuk seorang pengkritik untuk secara sengaja
hitam mendebat posisi mayoritas yang digenggam oleh
kelompok
Sumber : Robbins, 2006

Tahap 5: Hasil

Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan


konsekuensi.  Konsekuensi atau akibat ini bisa saja bersifat fungsional atau
disfungsional. Dikatakan bersifat fungsional ketika konflik tersebut justru
menghasilkan perbaikan kinerja kelompok, sedangkan disfungsional adalah ketika
konflik tersebut menjadi penghambat kinerja kelompok.

1. Hasil Fungsional

Menjelaskan bahwa konfik dapat menjadi suatu penggerak yang


meningkatkan kinerja kelompok. Konflik bersifat konstruktif ketika hal tersebut
memperbaiki kualitas keputusan, merangsang kreativitas dan inovasi, mendorong
minat dan keingintahuan di antara anggota-anggota kelompok, menyediakan
media atau sarana untuk mengungkapkan masalah dan menurunkan ketegangan,
serta menumbuhkan suasana yang mendorong evaluasi diri dan perubahan. Selain
itu, heterogenitas antaranggota kelompok dan organisasi dapat meningkatkan
kreativitas, memperbaiki kualitas keputusan dan memfasilitasi perubahan dengan
cara meningkatkan fleksibilitas anggota.

7
2. Hasil Disfungsional

Menjelaskan bahwa konflik dapat menghambat kinerja dari sebuah kelompok.


Di antara konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan tersebut, terdapat
lambannya komunikasi, menurunnya kekompakan kelompok, dan subordinasi
tujuan kelompok oleh dominasi perselisihan antaranggota. Yang lebih ekstrem,
konflik dapat menghentikan kelompok yang sedang berjalan dan secara potensial
mengancam kelangsungan hidup kelompok.

3. Menciptakan Konflik Fungsional

Tampaknya terdapat kesepakatan umum bahwa menciptakan konflik


fungsional merupakan pekerjaan yang sulit, salah satunya karena masih adanya
paham anti konflik, budaya anti konflik semacam itu mungkin telah dapat ditolerir
pada masa lalu, tetapi tidak dalam ekonomi global dengan persaingan ganas
seperti sekarang ini. Orgnisasi-organisasi yang tidak mmendorong dan
mendukung perbedaan pandangan mungkin tidak akan hidup. Contoh nyatanya
Walt Disney Company sengaja mendorong pertemuan-pertemuan besar, kusut dan
kacau demi menciptakan friksi dan merangsang gagasan yang kreatif. Satu bahan
baku yang umum dalam organisasi-organisasi yang sukses menciptakan konflik
fungsional adalah bahwa mereka menghargai perbedaan pendapat dan
menghukum penghindar konflik.

2.3 Definisi Negosiasi

Menurut Robbins & Judge (2013)negosiasi yaitu sebagai suatu proses


yang terjadi di mana dua pihak atau lebih menyepakati bagaimana cara
mengalokasikan sumber daya yang langka. Menurut Ivancevich (2007) negosiasi
merupakan sebuah proses di mana dua pihak (atau lebih) yang berbeda pendapat
berusaha mencapai kesepakatan.Menurut Sopiah (2008) negosiasi merupakan
suatu proses tawar-menawar antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa negosiasi adalah


suatu upaya yang dilakukan antara pihak-pihak yang berkonflik dengan maksud

8
untuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan pertentangan yang sesuai
kesepakatan bersama.

2.4 Strategi Negosiasi


Menurut Robbins & Judge (2013) ada dua pendekatan umum terhadap
negosiasi yaitu negosiasi distributif dan negosiasi integratif.
a. NegosiasiDistributif

Negosiasi distributif adalah perundingan yang berusaha untuk membagi


sejumlah tetap sumber daya. Ciri yang paling khas dari negosiasidistributif ini
yaitu berjalan pada kondisi jumlah nol. Artinya, setiap hasil yang dirundingkan
adalah atas hasil perundingan bersama. Negosiasidistributif dijelaskan dalam
gambar sebagai berikut:

Gambar 2.2 Negosiasi Distributif


Sumber: Robbins& Judge, 2013

Pihak A dan B mewakili kedua perunding. Tiap titik sasaran menetapkan apa
yang ingin dicapainya. Masing-masing juga mempunyai titik penolakan
(resistance point) yang menandai hasil terendah yang dapat diterima.

b. NegosiasiIntegratif

Negosiasi yang mengusahakan satu penyelesaian atau lebih yang dapat


menciptakan suatu pemecahan saling menguntungkan. Negosiasi antara penjualan
kredit merupakan contoh negosiasi integratif. Berbeda dengan

9
Negosiasidistributif, pemecahan masalah integratif berjalan dengan pengandaian
bahwa terdapat satu atau lebih penyelesaian yang akan menciptakan pemecahan
masing-masing.

Dari segi perilaku intraorganisasi, negosiasi integratif lebih disukai daripada


tawar-menawar distributif. Negosiasi integratif mengikat para perundingan dan
memungkinkan masing-masing untuk meninggalkan meja perundingan dengan
perasaan mendapat kemenangan. Di satu sisi lain, negosiasi distributif
meninggalkan satu pihak sebagai pihak yang kalah.

Menurut Kreitner dan Knicki (2004) Negosiasiintegratif di dalam perilaku


intraorganisasi ini dapat memberi keuntungan karena dapat membina hubungan
jangka panjang dan mempermudah kerja sama di masa mendatang.

Menurut Luthan (2005) perbedaan antara tawar menawardistributif dengan


tawar menawarintegratif dapat dilihat pada gambar gambar berikut:

Gambar 2.3 Perbedaan Tawar Menawar Distributif dengan Integratif

Sumber: Luthan, 2005

10
2.5 Proses Negosiasi
Menurut Robbins & Judge (2013)proses negosiasi memiliki suatu model
yang memiliki lima langkah, yaitu seperti pada gambar berikut:

Gambar 2.4 Proses Negosiasi


Sumber: Robbins& Judge, 2013

1. Persiapan dan Perencanaan

Ada beberapa yang harus di persiapkan dan direncanakan sebelum memulai


sebuah perundingan. Sebelum melakukan sebuah perundingan, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan yaitu sebagai berikut:

- Dasar dari konflik yang terjadi.


- Awal mula atau sejarah faktor yang mendorong konflik tersebut ke arah
perundingan.
- Siapa saja yang terlibat dari konflik tersebut.
- Bagaimana persepsi mereka mengenai konflik tersebut.
- Apa tujuan dari perundingan yang akan dilakukan tersebut.

Dan juga beberapa hal mengenai pendirian pihak lain terhadap tujuan
perundingan yaitu seperti sebagai berikut:

11
- Apa yang mungkin mereka minta?
- Seberapa besar mereka bertahan pada posisi mereka?
- Apa yang penting bagi mereka?
- Apa yang ingin mereka selesaikan?
Dengan menyiapkan beberapa poin diatas, maka pada saar perundingan
berlangsung akan semakin siap dalam mengatasi pendirian lawan dan siap untuk
melawan argumen-argumen lawan dengan fakta dan angka yang mendukung.
Dan mengembangkan strategi dengan menetapkan BATNA (Best alternative
to a negotiated agreement). BATNA adalah alternatif terbaik pada suatu
persetujuan yang dirundingkan; nilai terendah yang dapat diterima pada seorang
individu untuk suatu persetujuan yang dirundingkan.

2. Penentuan Aturan Dasar

Setelah menyiapkan persiapan dan mengembangkan strategi di tahap awal,


maka di tahap kedua ini yaitu menentukan aturan-aturan dasar dan prosedur
dengan pihak lain mengenai perundingan tersebut yatu seperti

- Siapa saja yang akan melakukan perundingan?


- Dimana lokasi perundingan akan dilaksanakan?
- Tentukan waktu yang tepat untuk melakukan perundingan tersebut.
- Batasi masalah dalam perundingan tersebut.

Pada tahap ini, pihak-pihak terkait juga akan mempertukarkan usulan atau
tuntutan mereka.

3. Penjelasan dan Pembenaran

Di tahap ini, setelah tiap pihak terkait mempertukarkan pendirian dan


keinginan masing-masing, maka pada tahap ini kedua belah pihak saling
menegaskan, memperjelas, memperkuat, dan membenarlkan antar permintaan
masing-masing pihak.

12
Pada tahap ini, kedua belah pihak memberi informasi mengenai persoalan,
mengapa persoalam ini penting, dan bagaimana keinginan masing-masing pihak.

4. Tawar-menawar dan Pemecahan Masalah

Di tahap ini lah hakikat dari proses perundingan yaitu beri dan ambil yang
aktual dalam upaya memperbincangkan suatu persetujuan. Di tahap ini juga kedua
belah pihak perlu membuat sebuah konsesi (kontrak).

5. Penutupan dan Pelaksanaan

Langkah terkahir dalam proses perundingan adalah memformalkan


persetujuan yang telah dikerjakan dan dikembangkan di setiap prosedurnya.hal-
hal spesifik diperlukan dalam memfornalkan persetujuan tersebut.

2.6 Perbedaan Indivdu dalam Negosiasi

Menurut Luthan Fred (2005) terdapat perbedaan individu dalam negosiasi,


antara lain peran suasana hati dan sifat-sifat kepribadian, perbedaan gender dalam
negosiasi, dan efek perbedaan kultur terhadap gaya bernegosiasi. Berikut ini
penjelasan dari setiap isu-isu tersebut:

1. Peran Suasan Hati dan Sifat Kepribadian dalam Negosiasi


Suasana hati sangat penting dalam negosiasi. Berunding atau bernegosiasi
dengan suasana hati yang positif akan memperoleh hasil yang lebih baik dari pada
bernegosiasi dengan suasana hati yang buruk. Sifat kepribadian seseorang juga
berpengaruh terhadap suatu negosiasi. Misalnya, orang yang ekstrovert sering kali
gagal dibandingkan orang yang introvert.

13
2. Perbedaan Gender dalam Negosiasi

Antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan dalam bernegosiasi,


tetapi dapat mempengaruhi hasil negosiasi secara terbatas. Sikap perempuan
terhadap negosiasi dan terhadap diri mereka sendiri sebagai perunding tampaknya
sangat berbeda dengan sikap laki-laki. Manajer perempuan memperlihatkan rasa
kurang percaya diri dalam mengantisipasi negosiasi dan lebih tidak puas dengan
kinerja mereka setelah proses perundingan selesai, bahkan ketika kinerja mereka
dan hasil yang mereka capai sama dengan yang dicapai perunding laki-laki.

3. Perbedaan Kultur dalam Negosiasi

Gaya dalam bernegosiasi berbeda-beda antara satu kultur dengan kultur


lainnya. Kultur dalam bernegosiasi berpengaruh dalam jumlah dan jenis persiapan
untuk negosiasi, menekankan pada tugas dibanding hubungan interpersonal,
mempengaruhi taktik yang digunakan, dan tempat dimana negosiasi akan
dilaksanakan.

2.7 Negosiasi Menggunakan Pihak Ketiga

Pihak ketiga dilibatkan saat pihak-pihak yang bernegosiasi mengalami


jalan buntu,adakalanya pihak ketiga sengaja dilibatkan sejak awal proses
negosiasi. Dalam keadaan apapun, negosiasi yang melibatkan pihak ketiga
semakin banyak digunakan. Menurut Robbins & Judge (2013) terdapat tiga peran
mendasar pihak ketiga yaitu mediator (penengah), arbitrator (wasit), dan
konsiliator (perujuk).

1. Mediator adalah di mana pihak ketiga netral yang memfasilitasi penyelesaian


perundingan dengan menggunakan penalaran, pemberian usulan, dan persuasi
dalam kapasitasnya sebagai fasilitator. Para mediator ini memfasilitasi
penyelesaian masalah dengan mempengaruhi bagaimana pihak-pihak yang
terlibat dalam negosiasi berinteraksi. Para mediator tidak memiliki otoritas
yang mengikat, pihak-pihak yang terlibat bebas mengacuhkan usaha mediasi
ataupun rekomendasi  yang dibuat oleh pihak ketiga

14
2. Arbitrator adalah di mana pihak ketiga memiliki wewenang memaksa
terjadinya kesepakatan. Kelebihan arbitrase dibanding mediasi adalah bahwa
arbitrase selalu menghasilkan penyelesaian.
3. Konsiliator adalah seseorang yang dipercaya oleh kedua pihak dan bertugas
menjembatani proses komunikasi pihak-pihak yang bersitegang. Seorang
konsiliator tidak memiliki kekuasaan formal untuk mempengaruhi hasil akhir
negosiasi seperti seorang mediator.

15
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus

“Ambalat Akan Dibahas di GBC Malindo”

Gambar 3.1 Patroli TNI Angkatan Laut RI di sekitar Ambalat

Sumber: KOMPAS/Korano Nicolash

PADANG, SENIN - Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso


mengemukakan, sengketa perbatasan di wilayah perairan Ambalat akan dibahas
pada Komite Tingkat Tinggi General Border Committee (GBC) Malaysia-
Indonesia (Malindo). "Hingga kini memang masih ada sengketa garis batas antara
Indonesia-Malaysia di perairan Ambalat, tetapi kita akan kedepankan dulu
pendekatan diplomasi," katanya, usai membuka Latsitrada XXIX di Padang,
Sumatera Barat, Senin (27/10).

Terkait itu, menurut Panglima TNI, persoalan di Ambalat akan dibahas


pada Komite Tingkat Tinggi GBC Malindo, yakni forum bilateral antara panglima
angkatan bersenjata RI-Malaysia.

16
Pada kesempatan terpisah, KSAL Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno
mengemukakan, hingga kini pembahasan batas laut antara Indonesia dengan
Malaysia, terutama di Ambalat, belum selesai. "Malaysia dengan kita memang
beda paham soal batas wilayah itu," katanya seusai pelantikan perwira lulusan
Pendidikan Pembentukan Perwira di Komando Pengembangan dan Pendidikan
TNI AL (Kobangdikal), Surabaya.

Menurut KSAL, kalau Indonesia menganggap bahwa kapal Malaysia


melakukan pelanggaran batas wilayah, Malaysia juga menganggap kapal
Indonesia demikian. Karena itu memang harus ditentukan batas wilayah.

KSAL mengemukakan bahwa dua pekan lalu, masalah itu telah


ditindaklanjuti dengan rapat di Kementerian Polhukam yang diikuti Menko
Polhukam, Menlu, Panglima TNI dan para kepala staf angkatan serta Kapolri.
"Dalam rapat itu kita bahas bahwa Malaysia memang masih banyak melakukan
pelanggaran di Ambalat. Sementara ini kapal-kapal mereka hanya kita usir keluar
melalui komunikasi atau kita giring," ujarnya.

Sumber: I Made Asdhiana (KOMPAS.COM) | Senin, 27 Oktober 2008 | 16:54


WIB

3.2 Analisis Kasus

Kasus diatas merupakan cerita lama antara dua negara tetangga dan
serumpun yang masih memperebutkan wilayah teritorial, hubungan kedua negara
tetangga tersebut mengalami ketegangan yang mencemaskan. Setelah kasus
Sipadan dan Ligitan, blok Ambalat sampai sekarang masih menjadi
persengketaan, saling mengklaim antar kedua negara tersebut tidak dapat
dihindari, karena masing-masing pihak merasa pihaknya yang paling benar.
Permasalahan antara RI-Malaysia ini pun akan semakin tegang dan menyeret
konflik yang lebih luas. Seperti yang dikutip dari kasus diatas “Terkait itu,
menurut Panglima TNI, persoalan di Ambalat akan dibahas pada Komite Tingkat

17
Tinggi GBC Malindo, yakni forum bilateral antara panglima angkatan bersenjata
RI-Malaysia”. Proses negosiasi atas inisiatif kedua belah pihak masih tidak
menggunakan pihak ketiga yakni antara dua pihak yang bersengketa saja yaitu
forum bilateral angkatan panglima bersenjata RI-Malaysia yang menurut
pemberitaan kerap kali bersitegang, saat keduanya melakukan patroli di blok
Ambalat yang diakuinya sebagai bagian dari kedaulatan masing-masing negara.

Dalam kasus diatas akan terjadi proses negosiasi yang diprakarsai oleh dua
negara yang bersengketa melalui forum GBC Malindo. Seperti dikatakan
Robbins& Judge (2013) ada 5 tahapan dalam proses negosiasi, dan bila
diaplikasikan ke dalam kasus akan menjadi seperti ini:

1. Persiapan dan perencanaan

Tahapan pertama ini dilakukan untuk mengetahui hakikat dari konflik


tersebut, alur dari konflik tersebut sehingga harus melakukan negosiasi, tujuan
dari negosiasi dilakukan, orang-orang yang terlibat dalam konflik, dan persepsi
orang-orang yang terlibat dengan konflik tersebut. Dalam rangka menyelesaikan
persengketaan klaim yang tumpang tindih ini, harus dilihat kembali rangkaian
proses negosiasi antara kedua negara berkaitan dengan penyelesaian perbatasan di
Pulau Kalimantan yang sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1974 (menurut
Departeman Luar Negeri).

Diketahui secara luas bahwa perbatasan Indonesia-Malaysia di mana


Ambalat berada, memang belum menemui titik terang penyelesaiannya.
Ketidaktuntasan ini sesungguhnya sudah berbuah kekalahan di pihak Indonesia
ketika Sipadan dan Ligitan dipersengketakan dan akhirnya dimenangkan
olehMalaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan yang secara
eksplisit berkaitan dengan Ambalatmaka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas
Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai
penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi
salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan
Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit

18
memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan
Traktat 1904 dalam penegasan perbatasan RI dengan Timor Leste.

2. Penentuan Aturan Dasar

Setelah diselesaikan tahapan perencanaan dan persiapan, maka tahap


selanjutnya yaitu menentukan aturan-aturan dan prosedur dengan pihak lawan
mengenai siapa saja yang melakukan negosiasi, waktu dan tempat melakukan
negosiasi, batasan-batasan mengenai persoalan yang akan dibahas, dan prosedur
khusus apa jika negosiasi menemui jalan buntu. Dan pada fase ini, para pihak juga
akan bertukar proposal atau tuntutan awal mereka.

Disni baik dari pihak RI dan Malaysia harus menentukan aturan main dari
negosiasi seperti yang disebutkan poin-poin diatas dengan proposal awal atas
tuntutan dari masing-masing kedua belah pihak bisa saling dipertukarkan di tahap
ini, karena antar keduanya pun disinyalir terdapat perbedaan paham, seperti yang
dikutip dari kasus “Pada kesempatan terpisah, KSAL Laksamana Tedjo Edhy
Purdijatno mengemukakan, hingga kini pembahasan batas laut antara Indonesia
dengan Malaysia, terutama di Ambalat, belum selesai. "Malaysia dengan kita
memang beda paham soal batas wilayah itu". Pemahaman yang baik dari segi
ilmiah, teknis dan hukum yang baik oleh kedua pihak diharapkan akan
mengurangi langkah-langkah provokatif yang tidak perlu. Pemahaman seperti ini
tentu saja tidak cukup bagi pemerintah saja, melainkan juga masyarakat luas
untuk bisa memahami dan mendukung terwujudkannya penyelesaian yang adil
dan terhormat.

3. Penjelasan dan Pembenaran

Pada tahap selanjutnya, yang harus dilakukan adalah semua pihak untuk
memaparkan, menerangkan, mengklarifikasi, mempertahankan dan menjustifikasi
tuntutan awal, pada fase ini juga mungkin perlu untuk memberikan segala
dokumentasi kepada pihak lain yang akan mebantu mendukung posisi kita.

19
Prof Hasyim Djalal mengemukakan bahwa “dari sisi hukum, Malaysia
adalah negara pantai biasa. Oleh karena itu dia hanya bisa memakai dua tipe, yaitu
normal baseline dan straight baseline untuk semua wilayah laut. Kalau Indonesia
bisa memakai garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline). Itu bisa kita
tetapkan mana pulau-pulau terluar kita. Karang Unarang adalah sebenarnya
baseline yang ingin kita pakai sebagai pengganti baseline kita di Sipadan Ligitan.
Kalau dilihat ke PP 38/2002, Sipadan dan Ligitan masih masuk dalam garis
pangkal. Itu sebelum putusan. Namun sebagai negara yang baik dan menerima
putusan, sekarang PP itu sedang dirubah dan kita sedang mengukur-ukur kembali
dan Karang Unarang menjadi pilihan base line kita. Karang Unarang sendiri
berada dalam 12 mil laut dari (pulau) Sebatik yang bagian Indonesia. Kita berhak
sampai 100 mil laut. Kalau ada karang kita masih bisa klaim bahwa itu titik
terluar kita. Karang Unarang sendiri bukan pulau, itu adalah elevasi pasang surut.
Jadi kalau air laut pasang dia tidak terlihat, begitu pula sebaliknya. Namanya law
tide elevation harus ada permanent structure, maka itu kita buat mercusuar
sekarang ini. Sipadan Ligitan sendiri adalah pulau kecil yang jauh dari daratan
utama Malaysia. Lagipula mereka kan bukan negara kepulauan, jadi mereka tidak
bisa menuntut itu. Dari yurisprudensi hukum internasional, penetapan batas landas
kontinen pulau-pulau kecil itu tidak ada. Jadi posisi tawar untuk Indonesia jelas
lebih besar, bargaining position Indonesia sendiri untuk kasus Ambalat ini sangat
besar. Seperti yang diaktakan oleh, ia ingin tahu dasar hukum apa yang dipakai
oleh Malaysia dalam mengklaim blok Ambalat tersebut. Karena kalau anda lihat
dan otak-atik UNCLOS, mereka tidak punya dasar hukum. Sipadan Ligitan
sendiri bisa menjadi as an island, tapi kalau dalam perundingan batas landas
kontinen itu tidak bisa dipaksakan. Dari segi hukum internasional posisi kita
kuat.”

4. Tawar-menawar dan Penyelesaian Masalah

Pada tahap ini hakikatnya dari proses negosiasi yang terletak pada
tindakan memberi dan menerima dengan baik apa yang sesungguhnya guna

20
mencari suatu kesepakatan. Proses Negosiasidilakukan akan terjadi kealotan
dalam proses ini, dikareenakan ini permasalahan yang menyangkut kedaulatan
suatu bangsa, tinggal bagaimana salah satu pihak bisa mengkuatkan bahwa
argumen yang dia bawa itu ada benar adanya tentunya diserrtai dengan bukti-bukti
otentik yang dilindungi oleh hukum.

5. Penutupan dan Implementasi

Pada tahap ini merupakan tahap terakhir dalam proses negosiasi, yaitu
memformalkan kesepakatan yang telah dicapai dan menyusun prosedur-prosedur
yang diperlukan untuk mengimplementasikannya dan mengawasi pelaksanaannya.
Tetapi pada kebanyakan kasus, penutupan proses negosiasi tidak lebih formal dari
sekedar berjabat tangan.Ini bila kesepakatan bisa tercapai sendiri oleh kedua belah
pihak yang bersengketa saja, maka akan lebih baik seperti itu, tapi jika
kesepakatan pada pertemuan yang diselenggarkan di GBC Malindo belum adanya
kata sepakat maka alternatif bisa menggunakan negosiasi pihak ke 3.

3.3 Peranan Pihak Ketiga

Seperi yang disebutkan Robbins & Judge, bahwa pihak ketiga ini memiliki
tiga peran pokok. Peran tersebut antara lain mediator, arbitrator, dan konsiliator.
Pihak ketiga tersebut adalah yang membantu dalam proses negosiasi antara pihak
pertama dan kedua dalam menyelesaikan konflik.

Seperti yang diketahui kekuatan dari sebuah negosiasi terletak pada


fokusnya, yaitu yang bertumpu pada pencapaian kesepakatan yang saling
menguntungkan. Negosiasi membuka jalan baru yang membawa harapan baru
pula bagi semua pihak yang terlibat dengan cara yang unik, yaitu dengan
motivasi. Jadi kekuatan inti negosiator ulung adalah kemampuannya untuk
memotivasi pihak lain atau yang diajak berunding untuk menerima tujuan
negosiasi. Atau dengan kata lain, kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si
negosiator untuk memunculkan kekuatan persuasi atau faktor intelektual non-
aggressiveness yang melekat. Kenyataannya, tidak mudah untuk menciptakan

21
suasana win-win yang menuju pada kesepakatan bersama, terlebih pada kasus
persengketaan wilayah batas negara, yang merupakan hal krusial bagi tiap-tiap
negara yang bersengketa. Berbagai faktor dapat mempengaruhi suasana negosiasi
dan dapat menurunkan rasa percaya antar-pihak yang berunding. Apabila hal ini
tidak diatasi, maka negosiasi yang sebenarnya merupakan sarana strategis dapat
berbalik menjadi sarana destruktif yang akibatnya dapat berkepanjangan.

Apabila perjalanan sengketa ini tidak menemui titik terang, maka tidak
mungkin kejadian Papua Barat saat menggunakan pihak ketiga. Dimana setelah
perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan
secara damai. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ
PBB yaitu Mahkamah Internasional.

1. Badan Arbitrase

Secara Arbitrase berarti penyelesaian sengketa politik melalui pihak


ketiga. Hal ini sesuai kesepakatan wilayah yang bertikai. Dalam sejarah kasus
Papua Barat, cara arbitrase ini dilakukan secara sepihak oleh Belanda dan
Indonesia yang menunjuk Amerika Serikat yang pada saat itu sedang memiliki
nafsu kepentingan ekonomi (Freeport) untuk menjadi arbitrator (pihak ketiga).
Perjanjian itu adalah New York Agreement. Perjanjian ini sepihak karena tidak
melibatkan orang Papua Barat dan perjanjian itu tidak dilaksanakan sesuai
kesepakatan. Untuk menyelesaian persoalan Papua Barat, pihak Indonesia dan
Papua Barat harus sepakat untuk menyerahkan penyelesaian status politik Papua
Barat kepada pihak ketiga yang ditentukan bersama.

Pelajaran dari kasus ini agar tidak terulang pada kasus Ambalat adalah
dalam pemilihan dan penjukan arbitrator harus pihak-pihak yang tidak
mempunyai kepentingan baik ekonomi, politik atau hal lainnya, seperti tidak
memilih negara Inggris dan Belanda yang mempunyai kepentingan ekonomi atas
blok Ambalat, karena perusahaan Shell yang mendapat izin pengeksplorasian dari

22
negara Malaysia akan ditengarai cenderung lebih berpihak kepada salah satu
pihak saja.

2. Melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ)


Karena ICJ adalah organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya, harus
melalui lembaga-lembaga Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan
Keamanan PBB dan organisasi non pemerintahan atau lembaga hukum
internasional lainnya yang kapasitasnya diakui oleh PBB.

Dalam kasus Papua Barat, proses penyelesaian sengketa politik wilayah


Papua Barat pada masa lalu hingga pada PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai
prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional. Maka, Negara-negara
anggotan PBB bisa mendesak Majelis Umum PBB di setiap pertemuannya agar
meminta ICJ memberikan pendapat hukumnya atas status hukum Papua Barat.

Dan Indonesia Belajar dari kasus Sipadan dan Ligitan, kasus tersebut
langsung dibawa ke Mahkamah Internasional, karena kurang sabarnya melakukan
usaha-usaha penyelesaian secara politis, melalui jalan diplomasi kasus itu berakhir
dengan hasil Pulai Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia.

Dan penyelesaian kasus ini sampai pada saat ini masih menggunakan
menggunakan strategi Negosiasidistributif, strategi Negosiasiini berusaha untuk
membagi sejumlah tetap sumber daya seperti menurut Luthan (2005) bahwa
hakikat strategi jenis ini adalah menegosiasikan siapa yang mendapat bagian apa
dari sebuah kue yang besarnya sama dan tetap (fixed pie). Maksud kue tersebut
adalah bahwa pihak-pihak yang saling menawar meyakini hanya ada sejumlah
barang atau jasa untuk dibagi. Karena itu, kue tetap adalah permainan zero-sum
dalam arti bahwa dalam kasus ini kue yang dimaksud adalah blok Ambalat, yang
apabila telah dimiliki oleh satu pihak maka pihak yang lain berarti kehilangan
sepenuhnya atas hak kedaulatan blok kepulauan tersebut.

23
BAB IV
SIMPULAN

Konflik adalah suatu bentuk pertentangan yang terjadi antara dua pihak
atau lebih di mana salah satu pihak merasa dirugikan atau dipengaruhi secara
negatif sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap perilaku  pihak lain.
Konflik dalam organisasi bisa terjadi dalam diri individu pegawai, antar individu,
dalam kelompok, antar kelompok dan antar organisasi, baik secara vertikal
maupun horizontal sebagai akibat adanya perbedaan karakteristik individu,
masalah komunikasi dan struktur organisasi. Kemampuan manajemen konflik dari
seorang manajer dituntut untuk mengoptimalkan semua konflik menjadi
fungsional. Kegagalan dalam manajemen konflik mengakibatkan efektivitas
organisasi dipertaruhkan. Terdapat tiga pandangan dalam konflik, yaitu
pandangan tradisional, pandangan hubungan manusia, dan pandangan
interaksionis. Proses konflik terdiri atas lima tahapan yaitu, potensi pertentangan
atau ketidakselarasan, kognisi dan personalisasi, maksud, perilaku, dan akibat.

Negosiasi adalah bagian penting dalam kehidupan sehari-hari agar dapat


bertahan dalam bisnis atau bidang lainnya. Dalam pelaksaaan negosiasi tidak
jarang terjadi konflik yang membawa masalah tersendiri dari tingkat yang
sederhana sampai masalah yang kompleks sehingga mengganggu jalannya
negosiasi. Agar negosiasi berjalan dengan baik maka proses negosiasi harus
mengikuti lima langkah, yaitu persiapan dan perencanaan, definisi dan aturan-
aturan dasar, penjelasan dan pembenaran, tawar-menawar dan pemecahan
masalah, penutupan dan pelaksanaan. Ada dua strategi dalam bernegosiasi, yaitu
Negosiasidistributif dan negosiasi integratif. Terdapat perbedaan individu dalam
negosiasi, antara lain peran suasana hati dan sifat-sifat kepribadian, perbedaan
gender dalam negosiasi, dan efek perbedaan kultur terhadap gaya bernegosiasi.
Saat bernegosiasi mengalami jalan buntu, adakalanya pihak ketiga sengaja

24
dilibatkan sejak awal proses negosiasi. Terdapat tiga peran mendasar pihak ketiga
yaitu mediator (penengah), arbitrator (wasit), dan konsiliator (perujuk).

25
BAB V
SARAN

Konflik akan selalu timbul jika pandangan satu pihak berbeda dengan
pandangan pihak lawan. Agar konflik dapat memberikan manfaat yang optimal
dalam negosiasi dan mengurangi efek negatifnya, konflik dapat dikelola dengan
melakukan pencegahan dan penanganan konflik sehingga tujuan dan sasaran
dalam negosiasi dapat tercapai. Setiap konflik harus dilakukan manajemen
konfliknya dengan benar agar konflik yang dihadapi dapat menimbulkan dampak
positif untuk organisasi tersebut.

Sebelum melakukan negosiasi sehendaknya seorang negosiator


mempelajari situasi yang ada.Pada saat melakukan negosiasi harus selalu berfokus
pada tujuan awal dengan cara menerapkan strategi negosiasi kemudian harus
banyak memahani proses negosiasi sehingga mampu mengatur negosiasi dan
mendapatkan hasil yang positif dalam negosiasi tersebut. Keberhasilan atau
kesuksesan dalam bernegosiasi juga dapat ditentukan oleh keterampilan seorang
negosiator sehingga ia harus mememiliki keterampilan dalam bernegosiasi dengan
pihak lawan negosiasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

Robbins, Stephen P., Judge, Timothy A. (2013). Organization Behavior Fifteenth


Edition. Pearson Prentice Hall

27
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai