Anda di halaman 1dari 33

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Salawat serta salam
selalu tercurahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW.
Alhamdulillah hirobbil’alamin akhirnya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tema “PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN UNDANG-UNDANG”. Semoga dengan
dibuatnya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi Institut Manajemen
Koperasi Indonesia.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandarlampung,28 November 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………….. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Pengertian Tenaga Kerja…………………………………………. 1
1.2 Perlindungan Tenaga Kerja………………………………………. 1-5
1.3 Jenis Perlindungan Tenaga Kerja………………………………… 5
1.3.1 Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja…………………. 5
1.3.2 Perlindungan Teknis atau Keselamatan Kerja……………… 6-7
1.3.3 Perlindungan Ekonomis atau Jaminan Sosial………………. 7-8
1.4 Jenis-jenis Jaminan Sosial Tenaga Kerja………………………… 8
1.4.1 Jaminan Kecelakaan Kerja………………………………… 8-9
1.4.2 Jaminan Kematian………………………………………….. 9
1.4.3 Jaminan Hari Tua……………………………………………. 9
1.4.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan………………………….. 9-10
1.5 Tujuan Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja ……………….…... 10
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA 11
2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan………………………………… 11-15
2.2 Perlindungan Pekerja Anak………………………….…………… 16-19
BAB III ANALISA 20
3.1 Perlindungan Pekerja Perempuan………………………………… 20-21
3.2 Perlindungan Pekerja Anak………………………….…………… 21-24
BAB IV Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia 25
4.1 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja…….. 25
BAB V SIMPULAN dan SARAN 26
5.1 Simpulan……………………………………………….………….. 26
5.2 Saran………………………………………………….……………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….………… 27
LAMPIRAN 28
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Tenaga Kerja

Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan

pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa

untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.

Tenaga kerja merupakan modal utama serta pelaksanaan dari pembangunan masyarakat

pancasila. Tujuan terpenting dari pembangunan masyarakat tersebut adalah kesejahteraan rakyat

termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja sebagai pelaksana pembangunan harus di jamin haknya,

diatur kewajibannya dan dikembangkan daya gunanya. Dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja

Nomor: PER-04/MEN/1994 pengertian tenaga kerja adalah setiap orang yang bekerja pada

perusahaan yang belum wajib mengikuti program jaminan social tenaga kerja karena adanya

pentahapan kepesertaan.

1.2 Perlindungan Tenaga Kerja

Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan

masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga
kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata, baik materiil maupun

spiritual.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak

dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja atau buruh serta pada saat yang

bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.

Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu

tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga

keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan

pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan

sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya

perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan

industrial.

Salah satu syarat untuk keberhasilan pembangunan nasional adalah kualitas manusia

Indonesia yang menentukan berhasil tidaknya usaha untuk memenuhi tahap tinggal landas.

Peningkatan kualitas manusia tidak mungkin tercapai tanpa memberikan jaminan hidup,

sebaliknya jaminan hidup tidak dapat tercapat apabila manusia tidak mempunyai pekerjaan,

dimana dari hasil pekerjaan itu dapat diperoleh imbalan jasa untuk membiayai dirinya dan

keluarganya.
Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi,

memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai perdamaian dan keadilan setiap orang.

Hukum seyogyanya memberikan keadilan, karena keadilan itulah tujuan dari hukum.

Perluasan kesempatan kerja dan perlindungan tenaga kerja harus merupakan

kebijaksanaan pokok yang sifatnya menyeluruh di semua sektor. Dalam hubungan ini program-

program pembangunan sektoral maupun regional perlu senantiasa mengusahakan terciptanya

perluasan kesempatan kerja sebanyak mungkin dengan imbalan jasa yang sepadan. Dengan jalan

demikian maka disamping peningkatan produksi sekaligus dapat dicapai pemerataan hasil

pembangunan, karena adanya perluasan partisipasi masyarakat secara aktif di dalam

pembangunan.

Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat ditandai dengan tumbuhnya industri-industri

baru yang menimbulkan banyak peluang bagi angkatan kerja pria maupun wanita. Sebagian

besar lapangan kerja di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah yang tidak

membutuhkan keterampilan yang khusus lebih banyak memberi peluang bagi tenaga kerja

wanita. Tuntutan ekonomi yang mendesak dan berkurangnya peluang serta penghasilan di bidang

pertanian yang tidak memberikan suatu hasil yang tepat dan rutuin, dan adanya kesempatan

untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik yang kuat bagi tenaga kerja wanita.

Tidak hanya pada tenaga kerja wanita yang sudah dewasa yang sudah dapat digolongkan pada
angkatan kerja. Tetapi sering juga wanita yang belum dewasa yang selayaknya masih harus

belajar di bangku sekolah.

Bagi tenaga kerja wanita yang belum berkeluarga masalah yang timbul berbeda dengan

yang sudah berkeluarga yang sifatnya lebih subyektif, meski secara umum dari kondisi objektif

tidak ada perbedaan-perbedaan. Perhatian yang benar bagi pemerintah dan masyarakat terhadap

tenaga kerja terlihat pada beberapa peraturan-peraturan yang memberikan kelonggaran-

kelonggaran maupun larangan-larangan yang menyangkut kedirian seseorang wanita secara

umum seperti cuti hamil, kerja pada malam hari dan sebagainya.

Selain itu, masalah gangguan seksual (sexual harressment) seringkali dialami oleh

perempuan di tempat kerja, baik oleh teman sekerja maupun oleh majikan. Gangguan ini bisa

berbentuk komentar-komentar atau ucapan-ucapan verbal, tindakan atau kontak fisik yang

mempunyai konotasi seksual. Walaupun seringkali oleh orang yang menjadi sasaran tindakan

tersebut, suatu gangguan tampaknya tidak membahayakan secara langsung, namun dengan

adanya tindakan itu yang mempunyai unsur kekuasaan dan dominsi, si orang tersebut selalu

menjadi sadar akan keperempuannya dan keperawanannya terhadap gangguan-gangguan

tersebut. Bentuk yang paling ekstrem dari gangguan seksual itu adalah perkosaan yang seringkali

pula bentuknya sangat terselubung, dalam artian bahwa sering dianggap peristiwa tersebut

sebagai peristiwa individual semata dan tidak menyangkut pelanggaran hak asasi manusia.
Masalah tenaga kerja saat ini terus berkembang semakin kompleks sehingga memerlukan

penanganan yang lebih serius. Pada masa perkembangan tersebut pergeseran nilai dan tata

kehidupan akan banyak terjadi. Pergeseran dimaksud tidak jarang melanggar peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku

industri dan perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil

langkah-langkah antisipatif serta mampu menampung segala perkembangan yang terjadi.

Oleh karena itu penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaan harus terus

dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pelaku

industri dan perdagangan. Dengan demikian pengawasan ketenagakerjaan sebagai suatu sistem

mengemban misi dan fungsi agar peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan

dapat ditegakkan. Penerapan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga dimaksudkan

untuk menjaga keseimbangan/keserasian hubungan antara hak dan kewajiban bagi pengusaha

dan pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan ketenagakerjaan dalam rangka

meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan kerja dapat terjamin.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan merupakan salah

satu solusi dalam perlindungan buruh maupun majikan tentang hak dan kewajiban masing-

masing pihak. Perlindungan buruh diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan Pasal 67-101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak,

perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan.
Dengan demikian,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sangat berarti dalam mengatur hak

dan kewajiban bagi para tenaga kerja maupun para pengusaha di dalam melaksanakan suatu

mekanisme proses produksi.

Tidak kalah pentingnya adalah perlindungan tenaga kerja yang bertujuan agar bisa

menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesempatan serta perlakuan tanpa

diskriminasi. Hal ini merupakan esensi dari disusunnya undang-undang ketenagakerjaan yaitu

mewujudkan kesejahteraan para pekerja/buruh yang akan berimbas terhadap kemajuan dunia

usaha di Indonesia.

Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga ) macam, yaitu:

1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang

cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.

2. Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja,

dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.

3. Perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan

keselamatan kerja.

1.3 Jenis Perlindungan kerja

1.3.1 Perlindungan Sosial atau Kesehatan Kerja

Kesehatan kerja sebagaimana telah dikemukakan di atas termasuk jenis perlindungan

sosial karena ketentuan-ketentuan mengenai kesehatan kerja ini berkaitan dengan sosial
kemasyarakatan, yaitu aturan-aturan yang bermaksud mengadakan pembatasan-pembatasan

terhadap kekuasaan pengusaha untuk memperlakukan pekerja/buruh ”semaunya” tanpa

memperhatikan norma-norma yang berlaku, dengan tidak memandang pekerja/buruh sebagai

mahluk Tuhan yang mempunyai hak asasi.

Karena sifatnya yang hendak mengadakan ”pembatasan” ketentuan-ketentuan

perlindungan sosial dalam UU No. 13 Tahun 2003, Bab X Pasal 68 dan seterusnya bersifat

”memaksa”, bukan mengatur. Akibat adanya sifat memaksa dalam ketentuan perlindungan sosial

UU No. 13 Tahun 2003 ini, pembentuk undang-undang memandang perlu untuk menjelaskan

bahwa ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan sosial ini merupakan ”hukum umum”

(Publiek-rechtelijk) dengan sanksi pidana

Jadi, jelasnya kesehatan kerja bermaksud melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari

kejadian/keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal

pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Adanya penekanan ”dalam suatu hubungan kerja”

menunjukkan bahwa semua tenaga kerja yang tidak melakukan hubungan kerja dengan

pengusaha tidak mendapatkan perlindungan sosial sebagaimana ditentukan dalam Bab X UU No

13 Tahun 2003.
1.3.2 Perlindungan Teknis Atau Keselamatan Kerja

Keselamatan kerja termasuk dalam apa yang disebut perlindungan teknis, yaitu

perlindungan terhadap pekerja/buruh agar selamat dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh alat

kerja atau bahan yang dikerjakan.

Berbeda dengan perlindungan kerja lain yang umumnya ditentukan untuk kepentingan

pekerja/buruh saja, keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada

pekerja/buruh, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah.

 Bagi pekerja/buruh, adanya jaminan perlindungan keselamatan kerja akan menimbulkan

suasana kerja yang tentram sehingga pekerja/buruh dapat memusatkan perhatian pda

pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir sewaktu-waktu akan tertimpa kecelakaan

kerja.

 Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat

mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan

jaminan sosial.

 Bagi pemerintah (dan masyarakat), dengan adanya dan ditaatinya peraturan keselamatan kerja,

maka apa yang direncanakan pemerintah untuk mensejahterakan masyrakat akan tercapai dengan

meningkatnya produksi perusahaan baik kualitas maupun kuantitas.

Dasar pembicaraan masalah keselamatan kerja ini sampai sekarang adalah UU No 1 Tahun

1970 tentang keselamatan kerja. Namun, sebagian besar peraturan pelaksanaan undang-undang
ini belum ada sehingga beberapa peraturan warisan Hindia Belanda masih dijadikan pedoman

dalam pelaksanaan keselamatan kerja di perusahaan. Peraturan warisan Hindia Belanda itu dalah

sebagai berikut :

 Veiligheidsreglement, S 1910 No. 406 yang telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan S.

1931 No. 168 yang kemudian setelah Indonesia merdeka diberlakukan dengan Peraturan

Pemerintah No. 208 Tahun 1974. Peraturan ini menatur tentang keselamatan dan keamanan di

dalam pabrik atau tempat bekerja.

 Stoom Ordonantie, S 1931 No. 225, lebih dikenal dengan peraturan Uap 1930.

 Loodwit Ordonantie, 1931 No. 509 yaitu peraturan tentang pencegahan pemakaian timah

putih kering.

1.3.3 Perlindungan ekonomis atau Jaminan Sosial

Penyelenggara program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan

kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai

dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara

berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social

security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat

pekerja di sektor formal.

Jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan
pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa

kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Dari pengertian diatas jelaslah bahwa jaminan sosial tenaga kerja adalah merupakan

perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang ( jaminan kecelakaan kerja,

kematian, dan tabungan hari tua ), dan pelyanan kesehatan yakni jaminan pemeliharaan

kesehatan.

Jaminan sosial tenaga kerja yang diatur dalam Undang – Undang Nomor. 3 Tahun 1992

adalah :

 Memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhanhidup minimal bagi tenaga kerja

beserta keluarganya.

 Merupakan penghargaan kepada tenaga kerja mendidik kemandirian pekerja sehingga pekerja

tidak harus meminta belas kasihan orang lain jika dalam hubungan kerja terjadi resiko – resiko

seperti kecelakaan kerja, sakit, hari tua dan lainnya.

1.4 Jenis – Jenis Jaminan Sosial tenaga kerja

1.4.1 Jaminan Kecelakaan Kerja

Kecelakaan Kerja maupun penyakit akibat kerja maerupakan resiko yang dihadapi oleh

tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh

penghasilannya yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik

maupun mental, maka perlu adanya jaminan kecelakaan kerja.


1.4.2 Jaminan Kematian

Tenaga kerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja akan mengakibatkan

terputusnya penghasilan, dan sangat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga

yang ditinggalkan. Oleh karena itu, diperlukan jaminan kematian dalam upaya meringankan

beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang.

1.4.3 Jaminan hari Tua

Hari tua dapat mengkibatkan terputusnya upah karena tidak lagi mapu bekerja. Akibat

terputusnya upah tersebut dapat menimbulkan kerisauan bagi tenaga kerja dan mempengaruhi

ketenaga kerjaan sewaktu masih bekerja, teruma bagi mereka yang penghasilannya rendah.

Jaminan hari tua memberikan kepastian penerimaan yang dibayarkan sekaligus dan atau berkala

pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 ( lima puluh lima ) tahun atau memnuhi persyaratan

tersebut.

1.4.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

Pemeliharaan kesehatan dimaksudkan unutk meningkatkan produktivitas tenaga kerja

sehingga dapat melaksankan rugas sebaik-baiknya dan merupakan upaya kesehatan dibidang

penyembuhan ( kuratif ).

Oleh karena, upaya penyembuhan memerlukan dana yang tidak sedikit dan memberatkan jika

dibebankan kepada perorangan, maka sudah selayaknya diupayakan penggulangan kemampuan

masyarakat melalui program jaminan sosial tenaga kerja.


Disamping itu pengusaha tetap berkewajiban mengadakan pemeliharaan kesehatan tenaga

kerja yang meliputi upaya peningkatan (promotif), pencegahan (oreventif), penyembuhan

(kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif).

1.5 Tujuan perlindungan terhadap tenaga kerja

Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja

dan menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk

mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan perlindungan bagi pekerja adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan dan Peraturan Pelaksana dari perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan.

Permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia terkait mengenai hubungan kerja tidak

seimbang antara pengusaha dengan buruh dalam pembuatan perjanjian kerja. Bukan hanya tidak

seimbang dalam membuat perjanjian, akan tetapi iklim persaingan usaha yang makin ketat yang

menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).


BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TENAGA KERJA

2.1 Perlindungan Pekerja Perempuan

Di dalam pelaksanaan perlindungan bagi tenaga kerja perempuan yang bekerja yaitu

Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah,

Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 8. Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan

Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Peremuan pada Malam Hari, dan Keputusan Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban

Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan

Pukul 07.00. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan kepada

perempuan. Di Indonesia, ketentuan tentang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-

laki dalam bekerja telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 Tahun 2003.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan

bahwa,”Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan

barang/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja Wanita adalah

Tenaga Kerja Wanita dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian kerja dengan

menerima upah.
Aturan hukum untuk pekerja perempuan ada yang berbeda dengan pekerja laki-laki,

seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam perlindungan dan lain-lain.

 Pedoman Hukum Bagi Pekerja Wanita

Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita berpedoman pada Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan khususnya Pasal 76, 81, 82, 83, 84,

Pasal 93, Kepmenaker No. 224 tahun 2003 serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja

bersama perusahaan yang meliputi:

 Perlindungan Jam Kerja

Perlindungan dalam hal kerja malam bagi pekerja wanita (pukul 23.00 sampai pukul

07.00). Hal ini diatur pada pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Tetapi dalam hal ini ada pengecualiannya yaitu pengusaha yang

mempekerjakan wanita pada jam tersebut wajib:

 Memberikan makanan dan minuman bergizi

 Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja

 Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara

pukul 23.00 – 05.00.

Tetapi pengecualian ini tidak berlaku bagi pekerja perempuan yang berumur di bawah 18

(delapan belas) tahun ataupun perempuan hamil yang berdasarkan keterangan dokter berbahaya

bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya apabila bekerja antara pukul 23.00 – 07.00.
Dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak memberikan makanan dan

minuman bergizi tetapi diganti dengan uang padahal ketentuannya tidak boleh diganti dengan

uang.

 Perlindungan dalam masa haid

Pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur

masalah perlindungan dalam masa haid. Perlindungan terhadap pekerja wanita yang dalam masa

haid tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid dengan upah penuh.

Dalam pelaksanaanya lebih banyak yang tidak menggunakan haknya dengan alasan tidak

mendapatkan premi hadir.

 Perlindungan Selama Cuti Hamil

Sedangkan pada pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan mengatur masalah cuti hamil. Perlindungan cuti hamil bersalin selama 1,5

bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan dengan upah penuh.

Ternyata dalam pelaksanaannya masih ada perusahaan yang tidak membayar upah secara penuh.

 Pemberian Lokasi Menyusui

Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur

masalah ibu yang sedang menyusui. Pemberian kesempatan pada pekerja wanita yang anaknya

masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan

perusahaan.
 Peranan Penting Dinas tenaga Kerja

Peran Dinas Tenaga Kerja dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja

wanit yakni dengan melalui pengesahan dan pendaftaran PP & PKB Perusahaan pada Dinas

Tenaga Kerja, Sosialisasi Peraturan Perundangan di bidang ketenagakerjaan dan melakukan

pengawasan ke Perusahaan.

 Hambatan-Hambatan Hukum Bagi Pekerja Wanita

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap

pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang

menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak adanya sanksi dari peraturan perundangan terhadap

pelanggaran yang terjadi, faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan

ekonomi.

Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan mengusahakan

untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam rumusan undang-undang negara dan

menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun

demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-haknya dilindungi dan

bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan perempuan. Adalah sangat

prematur untuk mengadakan bahwa CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara

universal.
CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi

terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa diskriminasi terhadap perempuan

adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan gender yang:

 Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan;

 Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap hak perempuan baik

di dalam maupun di luar negeri; atau

 Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang

dimilikinya.

Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya

sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW huruf f bahwa hak atas perlindungan

kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi.

Selain itu seringkali adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama

majikan sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang tidak

berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga sering terjadi pada pekerja

perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur

yaitu negara-negara peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang

mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan hukum para wanita,

wajib dianggap batal dan tidak berlaku.

 Perlindungan Pekerja Perempuan Berdasarkan Konvensi ILO


Konvensi ILO Nomor 45 tentang Kerja wanita dalam semua macam tambang di bawah

tanah. Isi Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap wanita tanpa memandang umurnya tidak boleh

melakukan pekerjaan tambah di bawah tanah. Pengecualiannya terdapat pada pasal 3.

Dalam konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki dan Wanita

untuk Pekerjaan yang Sama nilainya menyebutkan, “Pengupahan meliputi upah atau gaji biasa,

pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan tambahan apapun juga, yang harus dibayar

secara langsung atau tidak, maupun secara tunai atau dengan barang oleh pengusaha dengan

buruh berhubung dengan pekerjaan buruh”.

Hak untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada

saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi antara

buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

2.2 Perlindungan Pekerja Anak

Masalah pekerja anak atau tenaga kerja anak diatur di dalam ps.1 Undang-undang No.25

Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), yang sekaligus menetapkan batas

usia anak yang diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun, baik untuk anak laki-laki maupun untuk

anak perempuan. Tetapi menanggapi pertanyaan apakah peraturan tersebut sudah memadai dan

sejauhmana pelaksanaannya adalah jauh dari mudah, karena sampai saat ini masalah pekerja

anak masih menjadi kontroversi dalam isu tentang perlindungan anak pada umumnya. Bisa

dikatakan, masalah pekerja anak merupakan masalah klasik dalam hal perlindungan anak.
Sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) dalam Keppres

No.36 Tahun 1990, maka ada baiknya kita merujuk pada KHA untuk semua masalah seputar

anak yang kita temui. Di dalam pasal 32 dari KHA, dinyatakan bahwa anak mempunyai hak

untuk dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi dan dari setiap bentuk pekerjaan yang

berbahaya dan mengganggu pendidikannya, membahayakan kesehatannya atau mengganggu

perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Oleh karena itu negara

berkewajiban untuk menentukan batas usia minimum pekerja anak, mengatur jam dan kondisi

penempatan kerja, serta menetapkan sanksi dan menjatuhi hukuman kepada pihak-pihak yang

melanggar peraturan tersebut.

Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Negara telah menunaikan core obligation-nya

melalui UU Ketenagakerjaan tersebut. Negara telah menetapkan batas usia minimum pekerja

anak, telah mengatur bahwa anak harus dihindarkan dari kondisi pekerjaan yang berbahaya, dsb.

Tetapi persoalan implementasi merupakan masalah yang sangat berbeda.

Ada tiga pendekatan dalam memandang masalah pekerja anak, yaitu penghapusan

(abolition), perlindungan (protection), dan pemberdayaan (empowerment). Pendekatan abolisi

mendasarkan pemikirannya pada bahwa setiap anak tidak boleh bekerja dalam kondisi apapun,

karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta

mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Sementara pendekatan proteksi mendasarkan

pemikirannya pada jaminan terhadap hak sipil yaitu bahwa sebagai manusia dan sebagai warga
negara setiap anak punya hak untuk bekerja. Dan pendekatan pemberdayaan sebenarnya

merupakan lanjutan dari pendekatan proteksi, yang mengupayakan pemberdayaan terhadap

pekerja anak agar mereka dapat memahami dan mampu memperjuangkan hak-haknya. Pada

dasarnya ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terus-menerus

mengupayakan pendekatan abolisi atau penghapusan terhadap segala bentuk pekerja anak.

Kondisi-kondisi yang sangat merugikan seperti diupah dengan murah, rentan terhadap

eksploitasi, rentan terhadap kecelakaan kerja, rentan terhadap PHK yang semena-mena, serta

berpotensi untuk kehilangan akses dan kesempatan mengembangkan diri, menimbulkan

kewajiban baru bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada anak yang terpaksa bekerja,

dan bahwa kepada anak yang bekerja harus diberikan perlindungan melalui peraturan

ketenagakerjaan agar mereka mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana orang

dewasa dan agar mereka terhindar dari segala bentuk eksploitasi dan penyalahgunaan.

Jadi sementara negara belum bisa sepenuhnya menghapus pekerja anak, setidaknya

negara dapat menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja anak, sebagai anak dan sebagai pekerja,

serta memberikan perlindungan bagi anak-anak yang terpaksa bekerja, melalui cara

memfasilitasi mereka dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.

Tetapi seperti halnya berbagai peraturan lainnya, kendala utamanya adalah dalam hal

pelaksanaan. Dan sejauh mana Negara telah memberikan perlindungan terhadap pekerja anak,

masih perlu kita kaji lebih lanjut.


Adapun pasal-pasal yang menyebutkan tentang perlindungan pekerja anak yang termuat

dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, sebagai berikut:

a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang berumur

dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).

b. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai 15

tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dari

kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).

c. Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus memenuhi

persyaratan sebagai berikut:

- Ijin tertulis dari orang tua/wali.

- Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha

- Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam

- Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.

- Keselamatan dan kesehatan kerja

- Adanya hubungan kerja yang jelas

- Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

d. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak

harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).


e. Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan

sebaliknya (Pasal 73).

f. Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum dalam Pasal

74 ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74 ayat (2), yaitu :

- Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.

- Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi

dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

- Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak untuk

pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.

- Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.


BAB III

ANALISA

3.1 Perlindungan pekerja perempuan

Perlindungan tenaga kerja wanita Indonesia yang bekerja di luar negeri masih lemah.

Kondisi demikian tidak sebanding dengan antusiasme menjadi TKW. Berharap dapat

memperbaiki ekonomi keluarga serta berharap mendapatkan upah yang besar, banyak remaja dan

ibu rumah tangga memilih bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang.

Untuk hal tersebut, maka kita perlu memberikan perlindungan tenaga kerja wanita.

Resiko besar menghadang, baik berupa siksaan, pemerkosaan sampai kehilangan nyawa. Bahkan

tidak jarang mereka bekerja bertahun-tahun tanpa upah dan pulang tanpa nyawa bahkan

menderita cacat seumur hidup.

Korban tenaga kerja wanita yang disiksa, dibunuh oleh majikan hampir selalu ada dan

disiarkan berulang di berbagai media. Pemerintah hampir selalu ikut turun tangan dan angkat

bicara. Namun ironisnya kejadian tersebut terulang dan TKW terlanjur menjadi korbannya.

Kekerasan, pelecehan dan perampasan hak TKW ternyata masih belum mampu

menjadikan Pemerintah memberikan perlindungan tenaga kerja wanita rasa aman dan nyaman

dalam bekerja. Pemerintah hanya mampu menjadi mediator sesaat dalam hal perlindungan

tenaga kerja wanita saat mereka bermasalah perindividu perkasus. Bukti ketidak seriusan
pemerintah dalam memberi perlindungan tenaga kerja wanita adalah terjadinya kekerasan

berulang pada TKW yang ada di luar negeri.

Pemerintah harus serius menangani masalah ini agar tidak berulang terjadi dan seakan

tidak mampu mengurai benang kusut masalah yang dihadapi TKW. Pemerintah melalui Menlu

dan Dubes serta Depnaker, Menkumham, hendaknya mau duduk bersama merumuskan upaya

payung hukum perlindungan tenaga kerja wanita yang akurat sebelum menandatangani kerja

sama dengan Negara lain untuk pengiriman TKW.

Selain itu memperbaiki sIstem dan penyiapan SDM yang akan menjadi TKW dirasa

sangat perlu. Selama ini para TKW yang berangkat sebagian besar adalah dari mereka yang

memiliki pendidikan dan ketrampilan yang pas-pasan. Sehingga tujuan bekerja adalah hanya

memasuki sektor non formal menjadi pembantu rumah tangga. Kemungkinan akan menjadi lain

jika para TKW yang ke luar negeri adalah mereka yang memiliki pendidikan dan keahlian

khusus. Upaya ini membantu mereka mampu bersaing dan dapat bekerja dalam sektor formal

yang memiliki payung hukum dan perlakuan jelas dan bekerja secara profesional.

Kemudian membuat program pemberdayaan perempuan agar mereka dapat memiliki

kompeten yang dapat membantu meningatkan perekonomian keluarga. Jika para wanita yang

antusias menjadi TKW ini ada kegiatan yang mampu membantu akan lebih memilih

berwirausaha dan bekerja di dalam negeri karena dekat dengan keluarga dan jauh dari resiko

penyiksaan.
3.2 Perlindungan pekerja anak

Tingginya jumlah pekerja anak di Indonesia masih menjadi salah satu problem serius

yang harus ditangani secara komprehensif. Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei Nasional

Pekerja Anak oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan International Labour Organization (ILO)

tahun 2009, ada sekitar 4 juta anak Indonesia aktif secara ekonomi. Sekitar 1,8 juta dari mereka

masuk dalam kategori pekerja anak. Sementara itu, Komisi Nasional Perlindungan Anak juga

mencatat 11 juta anak usia 7-8 tahun tidak terdaftar sekolah di 33 provinsi di Indonesia.

Tingginya jumlah pekerja anak ini membuat ILO menjadikan Indonesia sebagai negara

yang menjadi target utama dalam Program Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk

untuk Anak atau International Programme on The Elimination of Child Labour (IPEC).

Terhitung sejak 1992 hingga sekarang, pemerintah Indonesia bersama sejumlah pihak terkait

baik di tingkat pusat maupun daerah terus mengupayakan mengurangi jumlah pekerja anak

secara signifikan terutama pada sejumlah jenis pekerjaan yang dikategorikan sebagai pekerjaan

berbahaya bagi anak. Sejumlah pekerjaan berbahaya itu antara lain pelacuran, pertambangan,

penyelam mutiara, sektor konstruksi, jermal, pemulung sampah, pekerjaan dengan proses

produksi menggunakan bahan peledak, bekerja di jalan dan pembantu rumah tangga.

Komitmen Pemerintah Indonesia termasuk negara yang memiliki komitmen besar untuk

menanggulangi masalah pekerja anak. Salah satunya ditandai dengan keikutsertaan Indonesia

dalam program IPEC ILO sejak dua dekade lalu. Indonesia juga turut meratifikasi Konvensi ILO
tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (No. 182) dan Konvensi ILO mengenai

usia minimum memasuki dunia kerja (No. 138). Dengan meratifikasi konvensi tersebut,

Indonesia mempertegas komitmennya untuk mengambil tindakan dengan segera dan efektif

untuk melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi tersebut, Pemerintah juga mengembangkan Rencana

Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang disahkan melalui

Keputusan Presiden No. 59 tahun 2002. Rencana Aksi ini mengidentifikasikan bentuk-bentuk

pekerjaan terburuk untuk anak dan menargetkan Indonesia akan bebas pekerja anak pada tahun

2016. Untuk mengakselerasi tujuan ini, pemerintah menjalin kemitraan yang strategis mulai dari

pemerintah daerah, pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat hingga berbagai organisasi

internasional. Beberapa pemerintah daerah bahkan dengan tegas memproklamirkan daerahnya

sebagai Zona Bebas Tenaga Kerja Anak (ZBTA).

Sejumlah upaya di atas mulai menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan.

Berdasarkan data ILO, telah terjadi penurunan jumlah pekerja anak yang cukup signifikan di

Indonesia. Jika pada tahun 1996 terdapat sekitar 2,5 juta pekerja anak, jumlah ini terus

mengalami penurunan sekitar 3,4 persen setiap tahunnya hingga menjadi 1,5 juta orang pada

2010.

Peningkatan partisipasi di sekolah juga dinilai telah berhasil membantu mengurangi

jumlah pekerja anak secara signifikan. Meski demikian, upaya untuk mewujudkan Indonesia
bebas pekerja anak pada tahun 2016 nanti masih sangat panjang. Tingginya angka kemiskinan,

kurangnya akses pendidikan, persepsi keluarga tentang pendidikan serta dinamika permintaan

akan tenaga kerja dinilai masih akan menjadi hambatan penghapusan pekerja anak secara total.

Menuntaskan akar masalah meski bukan satu-satunya faktor, tingginya angka kemiskinan

seringkali dianggap sebagai salah satu faktor pendorong utama tingginya jumlah pekerja anak di

Indonesia. Di mana, salah satu dampak kemiskinan yang utama adalah diabaikannya hak-hak

anak, yang dengan segera memunculkan pekerja anak.

Karena itu, selain melakukan penarikan dan pencegahan anak secara langsung dari dunia

kerja, pendekatan ekonomi kini turut menjadi salah satu strategi utama dalam menanggulangi

masalah pekerja anak. Salah satu yang menjadi prioritas adalah program pengentasan kemiskinan

para orang tua. Karena kemiskinan orang tua bisa menjadi sumber utama munculnya pekerja

anak. Kemiskinan yang terus berlanjut juga bisa membuat siklus pekerja anak terus mengalami

regenerasi.

Dalam kasus pekerja anak, banyak di antara buruh anak yang ditemukan sekarang

merupakan anak dari orang tua yang dulunya juga buruh anak. Mereka tidak punya banyak

pilihan selain terus menjadi buruh dan ini bisa berlangsung hingga generasi berikutnya.

Kemiskinan juga membuat banyak orang tua dan anak tidak memiliki pemahaman dan akses

yang cukup pada pendidikan. Kondisi ini terkadang masih diperparah oleh budaya sebagian

masyarakat yang menganggap bekerja lebih menguntungkan daripada menuntut ilmu di sekolah.
Untuk memutus lingkaran setan ini, sejumlah upaya pemberdayaan ekonomi keluarga

miskin terus digalakkan. Salah satunya melalui kredit mikro atau microfinance. Lembaga ini

sering dipandang sebagai salah satu obat yang mujarab untuk mengentaskan kemiskinan. Ia tidak

hanya memberi akses modal bagi masyarakat miskin yang tidak tersentuh akses permodalan dari

lembaga keuangan namun juga sekaligus bisa berfungsi sebagai sarana pemberdayaan bagi

masyarakat miskin. Meski demikian, kredit mikro bukan merupakan satu-satunya penyelesaian,

sehingga harus disinergiskan dengan program lain yang relevan.


BAB IV

BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA

INDONESIA (BNP2TKI)

4.1 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI)

Sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen di Indonesia yang mempunyai fungsi

pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindunganTenaga Kerja Indonesia di luar

negeri secara terkoordinasi dan terintegrasi. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan

PresidenNomor 81 Tahun 2006. Sekarang BNP2TKI diketuai oleh Nusron Wahid yang dilantik

pada 27 November 2014.

Tugas pokok BNP2TKI adalah:

 melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan

Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan;

 memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai:

dokumen; pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); penyelesaian masalah; sumber-sumber

pembiayaan; pemberangkatan sampai pemulangan; peningkatan kualitas calon TKI; informasi;

kualitas pelaksana penempatan TKI; dan peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN


4.1 SIMPULAN

Setelah penulis melakukan analisis tentang perlindungan tenaga kerja, penulis

menyimpulkan bahwa perlindungan tenaga kerja Indonesia masih lemah. Masih banyak kejadian

yang menyebab tenaga kerja kerja Indonesia kehilangan hak-hak dasar sebagai pekerja. Selain

itu, permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia terkait mengenai hubungan kerja tidak seimbang

antara pengusaha dengan buruh dalam pembuatan perjanjian kerja. Bukan hanya tidak seimbang

dalam membuat perjanjian, akan tetapi iklim persaingan usaha yang makin ketat yang

menyebabkan perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).

4.2 SARAN

Adapun saran penulisan makalah ini sebagai berikut :

Mengingat masih banyak perusahaan dalam hal ini pengusaha meskipun sudah

mengetahui peraturan yang berlaku tetapi tidak melaksanakannya sebagaimana mestinya, perlu

dikenakan sanksi bagi pengusaha yang tidak melaksanakan peraturan tersebut oleh pihak yang

berwenang demi tercapainya hubungan industrial, adanya saling membutuhkan antara pihak

pengusaha dan tenaga kerja khususnya tenaga kerja wanita dan anak-anak. Selain itu pemerintah

harus meningkatkan pengawasannya terhadap pengusaha yang mempekerjakan pekerja wanita

dan anak-anak apakah sudah mentaati peraturan yang ada atau belum. Dan peran aktif kesadaran

pekerja wanita atau anak-anak sendiri serta perusahaan juga sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.bnp2tki.go.id/

2. http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Nasional_Penempatan_dan_Perlindungan_Tenaga_Kerja

_Indonesia

3. http://www.hukumtenagakerja.com/penempatan-dan-perlindungan-tenaga-kerja-indonesia-

di-luar-negeri/

4. https://m2.facebook.com/notes/universitas-borobudur-jakarta/undang-undang-jaminan-dan-

jenis-perlindungan-tenaga-kerja/546860785327961/?_rdr

5. http://www.academia.edu/3167925/PERLINDUNGAN_HUKUM_TERHADAP_TENAGA_

KERJA_INDONESIA_DI_LUAR_NEGERI

6. http://www.hukumtenagakerja.com/tag/perlindungan-hukum/

7. https://artikelarunalshukum.wordpress.com/2013/07/25/apa-tujuan-perlindungan-terhadap-

tenaga-kerja/

8. http://www.lutfichakim.com/2012/08/perlindungan-hukum-tenaga-kerja.html

9. http://hukum.unsrat.ac.id/naker/naker.htm

10. http://www.kajianpustaka.com/2013/04/perlindungan-hukum-terhadap-pekerja.html

Anda mungkin juga menyukai