Anda di halaman 1dari 5

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN

2019 TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA


KORUPSI DI INDONESIA

Oleh :
NIM :

Latar Belakang
Korupsi adalah salah satu kejahatan yang sangat luar biasa, karena biasanya
di dalamnya melibatkan kekuasaan yang hampir tidak mungkin untuk disentuh.
Biasanya korupsi juga melibatkan pelaku dari kalangan ekonomi kelas atas, dan
birokrasi kalangan atas. Di Indonesia sendiri, telah terdapat 8 lembaga untuk
memberantas korupsi, namun bubar hingga menyisakan satu lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga terakhir dan masih ada hingga
saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga independen yang tidak
tergabung ke dalam lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, agar dalam
pelaksanaan pemberantasan korupsi, tidak ada campur tangan atau kekuasaan
yang berbenturan.

Indonesia sudah mempunyai peraturan yang mengatur tentang pemberantasan


tindak pidana korupsi, yaitu berawal dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan mengalami beberapa
perubahan hingga munculnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Namun,
munculnya Undang-Undang tersebut menimbulkan banyak kritikan dari beberapa
kalangan masyarakat, mulai dari ahli hukum, dosen di beberapa universitas di
Indonesia, mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya. Undang-Undang tersebut
di tentang oleh masyarakat karena dinilai cacat formil dalam pembentukannya,
juga materi yang termuat dalam UU tersebut dinilai menghambat pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Cacat formil dalam pembentukan UU tersebut, terdapat pada tiga tahapan,
yaitu perencanaan, penyusunan, dan pembahasan. Berdasarkan Keputusan DPR
No.19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Prolegnas Prioritas 2019 yang tidak
mencantumkan revisi UU KPK. Dalam materi yang dinilai menghambat
pemberantasan korupsi tersebut, misalnya Pasal 3 UU No.19 Tahun 2019
mengatur KPK lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Meskipun
dalam pasal tersebut menyatakan bahwa KPK dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Namun
jika KPK telah masuk kedalam rumpun kekuasaan eksekutif, maka di khawatirkan
akan bertabrakan dengan kepentingan kekuasaan eksekutif dalam menjalankan
pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pembahasan
Munculnya Undang-Undang No.19 Tahun 2019 ini menimbulkan berbagai
polemik, yang akhirnya akan berdampak pada pemberantasan korupsi di
Indonesia. Oleh karena itu, penulis merasa penting untuk mengkaji beberapa hal
terkait UU tersebut, karena kedepannya UU tersebut akan menentukan bagaimana
nasib pemberantasan tindak korupsi di Indonesia. Tidak hanya itu, Undang-
Undang tersebut telah mengubah beberapa pasal tentang prosedur penindakan,
penyelidikan, penyidikan, dan penyadapan yang di lakukan oleh KPK, tentunya
apakah dalam perubahan tersebut implementasinya akan berdampak baik bagi
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, atau justru malah sebaliknya.

A. Polemik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah banyak menimbulkan kritik
dari beberapa elemen masyarakat. Jika penulis lihat, memang banyak sekali pasal
yang bertentangan dengan prinsip pemerintah yang ingin berkomitmen untuk
memberantas korupsi di Indonesia. Misalnya, Pasal 3 UU No.19 Tahun 2019
mengatur KPK lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Meskipun
dalam pasal tersebut menyatakan bahwa KPK dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun. Namun
jika KPK telah masuk kedalam rumpun kekuasaan eksekutif, maka di khawatirkan
akan bertabrakan dengan kepentingan kekuasaan eksekutif dalam menjalankan
pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu, terdapat pasal yang mengatur
tentang penindakan, penyelidikan, penyidikan, dan penyadapan. Pasal tersebut
ialah Pasal 37B ayat 1 huruf b yang mengatur tentang tindakan penyadapan,
penggeledahan, dan/atau penyitaan terlebih dulu harus mendapatkan izin Dewan
Pengawas, yang dimana hal tersebut dapat menghampat proses pemberantasan,
dan menjadikan KPK tidak menjadi lembaga yang seganas dulu dalam
memberantas tindak pidana korupsi.

Selain materi yang akan berdampak pada terhambatnya pemberantasan tindak


pidana korupsi di Indonesia, dalam proses pembentukan UU tersebut penulis
melihat beberapa kecacatan formil. Misalnya, dalam pembentukan UU tersebut,
terdapat pada tiga tahapan yang terindikasi cacat formil, yaitu perencanaan,
penyusunan, dan pembahasan. Berdasarkan Keputusan DPR No.19/DPR
RI/I/2018-2019 tentang Prolegnas Prioritas 2019 yang tidak mencantumkan revisi
UU KPK di dalamnya. Tidak hanya itu, pembahasan UU No.19 Tahun 2019 ini
berlangsung cepat, hanya 14 hari saja, dan tidak melibatkan partisipasi publik.
Jangankan partisipasi publik, pimpinan dan KPK secara kelembagaan pun tidak
dilibatkan di dalamnya, tentu saja hal ini melanggar Pasal 68 ayat 6, Pasal 88, dan
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.

Harusnya DPR sebagai pembuat produk kebijakan, mengikuti prosedur yang


telah ditentukan oleh Undang-Undang, agar tidak melanggar hukum yang berlaku,
dan peraturan tersebut dapat menjadi produk kebijakan yang lebih baik dari
sebelumnya. Dengan adanya kecacatan formil tersebut, DPR telah mencederai
hukum yang berlaku di Indonesia. Karena akhirnya banyak menimbulkan
kecurigaan publik, seperti adanya kepentingan penguasa sekarang terhadap
munculnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ini.
B. Implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019
Terdapat beberapa pasal yang mengubah prosedur penindakan, penyelidikan,
penyidikan, dan penyadapan. Pasal tersebut ialah Pasal 37B ayat 1 huruf b yang
mengatur tentang tindakan penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan
terlebih dulu harus mendapatkan izin Dewan Pengawas, yang dimana hal tersebut
dapat menghampat proses pemberantasan, dan menjadikan KPK tidak menjadi
lembaga yang seganas dulu dalam memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini
pula yang akan menimbulkan kecurigaan publik, apabila Dewan Pengawas
tersebut adalah salah satu orang dari pihak penguasa, maka pemberantasan tindak
pidana korupsi akan bertabrakan dengan kepentingan penguasa pada saat itu, dan
KPK tidak akan efektif lagi dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Dilihat dari perubahan pasal diatas, tentu saja implementasinya akan


berdampak buruk bagi KPK itu sendiri. Prosedur dalam menangkap pelaku
kejahatan korupsi harus melewati birokrasi yang cukup rumit, sehingga hambatan
tersebut akan terjadi di masa mendatang. Padahal, seharusnya jika terdapat
perubahan dalam peraturan tindak pidana korupsi, implementasinya harus menjadi
lebih efektif dan efisien untuk KPK memberantas korupsi di Indonesia, agar
perubahan tersebut dapat menjadikan Indonesia bersih dari tindak pidana korupsi.

Kesimpulan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi telah menimbulkan kritikan dari berbagai elemen masyarakat,
penulis pun memang melihat adanya beberapa kecacatan formil dari proses
pembentukannya. Tidak hanya itu, materi yang termuat dalam UU tersebut
implementasinya akan berdampak buruk bagi pemberantasan korupsi di
Indonesia. Akan terhambatnya pemberantasan korupsi di Indonesia yang salah
satunya disebabkan oleh kepentingan penguasa yang bertentangan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut. Perlu adanya UU KPK yang baru
untuk mengoptimalisasi pemberantasan korupsi di Indonesia. Sehingga,
pemberantasan korupsi dapat lebih efektif dan efisien, dan Indonesia akan bersih
dari korupsi.

Anda mungkin juga menyukai