Anda di halaman 1dari 112

KATA PENGANTAR

Dengan ini penulis ingin mengantarkan karya ilmiahnya "Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia",
Buku Ketiga, berjudul "Hukum Pengangkutan", ke haribaan pembaca yang budiman dengan beberapa
penjelasan sebagai berikut:

1. Judul buku ketiga ini ialah "Hukum Pengangkutan", yang meli- puti:

a. Hukum pengangkutan darat;

b. Hukum pengangkutan udara, dan

c. Hukum pengangkutan perairan darat.

2. Hukum pengangkutan laut tidak penulis masukkan dalam buku ke- tiga ini, sebab hukum
pengangkutan laut itu hubungannya erat sekali dengan hukum pelayaran laut dan oleh karenanya
khusus mengenai hukum pengangkutan laut akan penulis bicarakan dalam buku kelima dari
"Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia", tentang "Hukum Pelayaran Laut"

3. Menurut pengalaman penulis, kesempurnaan suatu karya ilmiah itu sukar sekali dicapai dalam
jangka waktu singkat. Bagi penulis ada dua masalah yang selalu menjadi pertimbangan yang serius,
apakah segera memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya buku pelajaran hukum dagang yang
sederhana, tetapi lengkap, dan persoalan, apa- kah penulisan buku-buku tersebut harus dilakukan
dengan sempur na. Mengingat bahwa tujuan tersebut terakhir itu membutuhkan waktu sangat lama
dan ketelitian luar biasa, maka penulis menda- hulukan tujuan yang pertama, yaitu segera memenuhi
kebutuhan mendesak akan adanya buku pelajaran hukum dagang Indonesia yang, meskipun
sederhana, asal lengkap. Sesudah itu terpenuhi, maka kesempurnaan dapat diusahakan dengan cara
bertahap, sudah tentu dengan bantuan para pembaca, teman pengajar dan para ma- hasiswa yang
bersangkutan. Menurut pengamatan penulis selama menjadi pengajar hukum dagang di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, di antara para mahasiswa FH-UI Bagian Sore (Extensi on) sering terdapat
pejabat-pejabat yang ahli dalam bidang-bidang yang diajarkan dalam.hukum dagang, misalnya,
pejabat dari depar-
temen Perhubungan, Perdagangan, Perbankan, Pengusaha-pengusa- ha dan lain-lain. Kepada
mahasiswa-mahasiswa jenis inilah yang penulis harapkan turut menyumbangkan keahliannya untuk
me- nyempurnakan buku pelajaran hukum dagang tersebut.

4. Penulis selalu sadar bahwa karyanya jauh daripada sempurna, dari itu masih tetap mengharapkan
kritik yang membangun dari para pembacanya, agar karya ini akan menjadi lebih sempurna dan lebih
berfaedah bagi para mahasiswa yang berkepentingan. Untuk bantuan yang ikhlas itu dengan ini
penulis lebih dulu mengucapkan diperbanyak terima kasih.

Penulis

KATA PENGANTAR

Catakan Kedua

Dengan ucapan Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin, cetakan kedua dari Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia Buku Ketiga ini penulis antarkan ke haribaan pembaca yang budiman dengan beberapa ca-
tatan singkat sebagai berikut:

a. Beberapa kesalahan dan kekurangan pada cetakan yang pertama sudah penulis perbaiki;

b. Daftar Staatsbladen sampai dengan daftar yurisprudensi penulis hapuskan, karena daftar-daftar
tersebut penulis pandang kurang begitu penting;

c. Walaupun demikian, penulis masih berpendapat bahwa kesempur naan karya ini masih jauh untuk
dicapai. Dari itu penulis masih tetap mengharap supaya para pembaca ahli suka memberi tegur
sapanya, agar karya ini lebih bermanfaat lagi bagi para mahasiswa dan pembaca yang bersangkutan.

Semoga.

Penulis

Akhir April 1984

KATA PENGANTAR

Cetakan Ketiga

Alhamdulillah, cetakan ketiga Pengertian Pokok Hukum Dagang Buku ketiga akhinya dapat penulis
sajikan kepada para pembaca yang ter- hormat dengan beberapa catatan sebagai berikut:

1. Beberapa kesalahan cetak dan salah letak sudah penulis perbaiki;

2. Berhubung dengan telah berlakunva Undang-Undang No. 6 Tahun


1984 (LN 1984-28) tentang "Pos", maka nomor pelajaran 136 sampai dengan 139 mengalami
perubahan dan dari itu telah penulis uraikan kembali.

Meskipun demikian, penulis masih mengharapkan tegur sapa dari para pembaca yang budiman agar
kesempurnaan buku ini dari sedikit ke sedikit dapat didekati. Mudah-mudahan Allah -mengabulkan
doa penulis. Amin.

Penulis

Akhir tahun 1986

KATA PENGANTAR

Cetakan Kelima

Karena dirasa belum ada materi yang perlu ditambahkan, maka cetakan kelima ini terbit dengan isi
yang sama dengan cetakan yang lalu.

Saran dan kritik dari pembaca diharapkan untuk kesempurnaan cetakan yang akan datang

Penerbit

Jakarta, Januari 1995 XIV


BAB 1

HAL-HAL UMUM PADA PENGANGKUTAN

1. PENGANTAR

Nilai suatu barang itu tidak hanya tergantung dari barang itu sendiri tetapi juga tergantung pada
tempat, di mana barang itu berada, misal- nya, di Puncak atau Cipanas, Jawa Barat, hampir tiap-tiap
rumah pe- tani sayuran bertumpuklah sayuran kol dan sejenisnya sampai meng gunung. Di sana harga
sebuah kol sangat murah, tetapi setelah di- angkut ke Jakarta, maka harga sebuah kol tersebut akan
menjadi dua atau tiga kali lipat, Inilah jasa angkutan. Para pedagang memperguna kan jasa angkutan
ini sebagai salah satu cara untuk mendapat keun- tungan, Hal ini terjadi di mana-mana dan terhadap
semua barang. Di tempat asal barang itu pada umumnya harganya murah, tetapi kalau sudah diangkut
ke tempat lain, maka harga itu naik. Ke tempat mana barang itu harus diangkut untuk mendapat
kenaikan harga setinggi- tingginya, adalah persoalan besar bagi pedagang yang bersangkutan. Dari
contoh ini jelaslah sudah bahwa pengangkutan memegang peran- an penting dalam lalu-lintas
perdagangan dalam masyarakat. Peranan pengangkutan dalam dunia perdagangan bersifat mutlak,
sebab tanpa pengangkutan, perusabaan tidak mungkin dapat berjalan. Barang barang yang dihasilkan
oleh produsen atau pabrik-pabrik dapat sampai di tangan pedagang atau pengusaha hanya dengan
jalan pengangkutan, dan seterusnya dari pedagang atau pengusaha kepada konsumen juga harus
menggunakan jasa pengangkutan. Pengangkutan di sini dapat dilakukan oleh orang, kendaraan yang
ditarik oleh binatang, kendara- an bermotor, kereta api, kapal laut, kapal sungai, pesawat udara dan
lain-lain.

2. FUNGSI PENGANGKUTAN

pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan
maksud untuk meningkat- kan daya guna dan nilai. Di sini jelas, meningkatnya daya guna dan nilai
merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai di tempat baru itu tidak
naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan
bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan
saja, tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lain.

3. DEFINISI PENGANGKUTAN

Pengangkutan adalah perjanjían timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana


pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari
suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim meng- ikatkan diri
untuk membayar uang angkutan.

Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah pengangkut dan pengirim. Adapun sifat perjanjian
pengangkutan adalah timbal-balik, artinya kedua belah pihak, baik pengangkut maupun pengirim
masing- masing mempunyai kewajiban sendiri-sendiri. Kewajiban pengangkut ialah:
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan
tertentu dengan selamat, sedangkan kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan, Istilah
"menye- lenggarakan pengangkutan" berarti, bahwa pengangkutan itu dapat dilakukan sendiri oleh
pengangkut atau dilakukan oleh orang lain atas perintahnya. Istilah "dengan selamat" mengandung
arti, bila pengangkutan berjalan dengan "tidak selamat" itu menjadi tanggung jawab pengangkut.
Keadaan "tidak selamat" ini hanya mempunyai dua arti, yaitu: barangnya tidak ada, lenyap atau
musnah, sedang arti kedua ialah barangnya ada, tetapi rusak sebagian atau seluruhnya Barangnya
tidak ada itu mungkin disebabkan karena terbakar, teng- gelam, sengaja dilempar ke laut, dicuri orang
atau karena sebab lain. Kalau barang itu rusak, baik sebagian atau seluruhnya, sedemikian rupa
sehingga barang itu tidak bisa dipergunakan sebagaimana mesti- nya.

Kewajiban pengirim ialah membayar uang angkutan sebagai kontra prestasi dari penyelenggaraan
pengangkutan yang dilakukan oleh pengapgkut. Di tempat tujuan, barang diterima oleh penerima,
yang mungkin si pengirim sendiri atau orang lain. Hal ini akan saya bicara- kan lebih lanjut dalam
pelajaran yang lain.

4. JENIS-JENIS PENGANGKUTAN DAN PERATURANNYA

Jenis-jenis pengangkutan ialah:

a. Pergangkutan darat, diatur dalam:

1) KUHD, Buku I, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90 sampai dengan 98. Dalam bagian ini diatur
sekaligus pengangkutan darat dan pengangkutan perairan darat, tetapi hanya khusus mengenai
pengangkutan barang;
2) Peraturan-peraturan khusus lainnya, misalnya:

a) S. 1927-262, tentang pengangkutan dengan kereta api;

b) UU No. 3 Tahun 1965 (LN 1965-25), tentang "Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya";

c) S. 1936-451 bsd. PP No. 28 Tahun 1951 (LN 1951-47), yang teläh dirubah dan ditambah dengan PP
No. 44 Tahun 1954 (LN 1954-76) dan PP No. 2 Tahun 1964 (LN 1964-5), tentang "Peraturan Lalu-Lintas
Jalan (Wegverkeersverordening)

d) Peraturan-peraturan tentang pos dan telekomunikasi dan lain- lain

b.Pengangkutan laut, diatur dalam

1) KUHD, Buku 11, Bab V. tentang "Perjanjian carter kapal"

2) KUHD, Buku 11, Bab V-A: tentang "Pengangkutan Barang barang"

3) KUHD, Buku 11, Bab V-B: tentang "Pengangkutan Orang":

4) Peraturan khusus lainnya.

c. Pengangkutan udara, diatur dalam:

1) S. 1939-100 (Luchtvervoerordonnantie) bsd. UU No. 83 Tahun 1958 (LN 1958-159 dan TLN No. 1687,
tentang "Penerbang an")

2) Peraturan-peraturan lainnya.

d. Pengangkutan perairan darat, diatur dalam:

1) KUHD, Buku 1, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90 sampai 98

2) Peraturan khusus lainnya di luar KUHD

Catatan : Dalam KUHD, Buku II. Bab XIII, diatur tentang "Kapal-kapal yang Melayari Perairan Darat."
Bab ini hanya mengatur tentang hukum per- kapalan dan Kerugian yang terjadi di perairan darat, dan
tidak meng- atur tentang pengangkutan perairan darat. Dari itu Bab XIII tersebut tidak saya bahas
dalam hukum pengangkutan, tetapi dalam hukum pelayaran laut dan perairan darat Jenis
pengangkutan laut (huruf b di atas), tidak saya bicarakan dalam Buku ini, sebab pengangkutan laut itu
hubungannya erat sekali dengan hukum laut keperdataan sebagai keseluruhan. Khusus menge nai
hukum pengangkutan laut, akan saya bicarakan dalam Buku Ke lima tentang hukum pelayaran laut
dan perairan darat.

5.PENGANGKUT DAN PENGIRIM

Mengenai pengangkut pada umumnya tidak ada definisinya dalam


KUHD. Pasal 466 dan pasal 521 KUHD menetapkan definisi peng- angkut laut dan bukan pengangkut
pada umumnya. Pada hemat saya, pengangkut pada umumnya adalah orang, yang mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan
tertentu dengan selamat. Lawan pihak dari pengangkut ialah pengirim, yang definisinya juga tidak
terdapat dalam KUHD. Pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang ang- kut an Dimaksudkan
juga dia memberikan muatan. Tetapi apakah ini dapat dikatakan kewajiban bagi si pengirim, orang
tidak sependapat. Pada umumnya orang menjawab bahwa itu bukan suatu kewajiban bagi si
pengirim.')

Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang di- serahkan kepadanya, selanjutnya
menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang
muatan itu. Kalau perjanjian pengangkutan itu berbentuk perjanjian carter kapal, maka pengangkut
mengikatkan diri untuk menyediakan ruang an dalam satu atau beberapa kapal bagi kepentingan si
pengirim.

Di sini pengangkut melakukan penawaran umum bagi siapa saja. Kalau ada seseorang yang akan
memakai jasanya, dia harus menerima nya. Tetapi ada kalanya pengangkut menolak muatan yang
diserahkan kepadanya, misalnya karena barang yang akan dimuat itu adalah jelas barang larangan,
barang yang berbahaya atau barang yang kurang baik mengepaknya. Kalau alasan penolakan
semacam itu tidak ada, maka penolakan pengangkut tersebut merupakan suatu wanprestasi. Sebalik-
nya, kalau si pengirim tidak memberi barang muatan sebagai yang telah dijanjikan kepada pengangkut,
tidak merupakan wanprestasi bagi si pengirim, sebab menyerahkan muatan bukanlah kewajiban
baginya.

6. KEDUDUKAN PENERIMA

Sebagai yang telah kita ketahui bersama, adalah termasuk kewajiban pengangkut untuk menyerahkan
barang angkutan kepada penerima seperti yang sudah ditetapkan dalam perjanjian pengangkutan
yang bersangkutan. Si penerima itu mungkin si pengirim sendiri atau orang lain. Sebagai contoh
peristiwa yang pertama, misalnya seorang Duta Besar RI yang sudah habis masa jabatannya di Jepang,
dipanggil kembali ke Indonesia untuk memangku jabatan negara di tanah air. Duta Besar yang
bersangkutan mengirimkan barang-barang miliknya yang penting-penting ke Indonesia melalui
sebuah perusahaan peng angkutan di Jepang. Dalam perjanjian pengangkutan yang diadakan

1) Dorhout Mees, Ned. Handels. III, 6e druk, 1974, b1. 183, No. 8.7; 4
untuk itu, Duta Besar RI bertindak sebagai pengirim, sedangkan per- usahaan pengangkutan di Jepang
tersebut bertindak sebagai peng angkut Barang-barang yang diangkut tersebut di Indonesia diterima
oleh Duta Besar RI yang mengirim barang dari Jepang tersebut. Di sini Duta Besar RI tersebut tidak
hanya berkedudukan sebagai pengirim, juga sebagai penerima. Adapun contoh peristiwa kedua
adalah sebagai berikut: Importir A di Jakarta menutup suatu per- janjian jual-beli perusahaan dengan
eksportir B di Amerika. Adalah kewajiban eksportir B di Amerika untuk mengirim barang-barang yang
dipesan kepada importir A di Jakarta. Eksportir B lalu menutup perjanjian pengangkutan dengan
pengangkut C di Amerika untuk mengirimkan barang-barang pesanan kepada A di Jakarta. Setelah
barang-barang sampai di Jakarta, pengangkut menyerahkannya lang- sung kepada A di Jakarta. Dalam
hal ini, B adalah pengirim,C adalah pengangkut, sedangkan A adalah penerima. Dalam contoh
peristiwa kedua ini, si penerima bukanlah si pengirim, tetapi orang lain, yaitu importir (pembeli dalam
perjanjian jual-beli perusahaan). Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka penerima
adalah pihak ketiga yang berkepentingan, yakni berkepentingan terhadap diterima nya barang-barang
kiriman tersebut. Dalam hal ini A bukanlah pihak dalam perjanjian pengangkutan, sebab pihak-pihak
yang bersangkutan dalam perjanjian pengangkutan adalah B dan C. Di sini A menjadi pihak ketiga (di
luar pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan) yang berkepentingan terhadap terlaksananya
perjanjian pengangkutan tersebut. Kedudukan A sebagai pihak ketiga yang berkepentingan mendapat
sifat hukumnya dalam pasal 1317 ayat (1) KUHPER yang berbunyi: "Lagi pula diperbolehkan untuk
minta ditetapkan janji khusus, yang dibuat guna kepentingan pihak ketiga, apabila suatu pe- netapan
janji, yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukan kepada
orang lain mengandung suatu janji seperti itu. "Ayat (2) berbunyi: "Orang yang membuat janji khu- sus
itu tidak boleh mencabut janjinya, kalau pihak ketiga sudah me- nyatakan akan memanfaat kan janji
khusus itu."Pihak ketiga yang ber- kepentingan ini mempunyai hak dan kewajiban, sebagai akibat dari
kedudukan hukumnya, di antaranya ialah hak untuk memanfaatkan janji khusus dalam perjanjian
pengangkutan tersebut, yakni menerima barang-barang kiriman dari B.

7. BEBERAPA PENDAPAT MENGENAI KEDUDUKAN PENERIMA

Ada beberapa pendapat mengenai kedudukan penerima:

a. Penerima sebagai pihak ketiga yang berkepentingan seperti dimak-


sud dalam pasal 1317 KUHPER (lihat pelajaran yang lalu);

b. Penerima sebagai cessionaris (orang yang menerima cessie) diam diam mengenai hak menagih
pengirim terhadap pengangkut. Menurut Prof. Soekardono2) pendapat ini bertentangan dengan
makna pasal 613 ayat (2) KUHPER, yang menghendaki adanya unsur terang-terangan.

c.Penerima sebagai pemegang kuasa atau penyelenggara urusan (zaak- waarnemer) si pengirim.
Pendapat ini pun menurut Prof. Soekar- dono tidak sesuai dengan kenyataan, bahwa dalam praktek
sehari- hari, penerima itu kebanyakan kalinya adalah pembeli, sedangkan pengirim adalah penjual,
dalam hubungan perjanjian jual-beli umum atau perusahaan.2)

8. KAPAN PENERIMA MULAI MENDAPATKAN HAKNYA

Menurut pasal 1317 ayat (2) KUHPER, sejak penerima menyatakan kehendaknya untuk menerima
barang-barang kiriman itu, maka pada saat itu si penerima mulai mendapatkan haknya sesuai dengan
janji khusus dalam perjanjían pengangkutan yang dibuat oleh si pengirim dan si pengangkut. Sejak
saat inilah si pengirim tidak berwenang lagi mengubah tujuan pengiriman barang-barang itu.

9 PENERIMA WAJIB MEMBAYAR UANG ANGKUTAN

Sejak penerima mendapat haknya untuk menerima barang angkutan, dia otomatis menjadi pihak yang
berkepentingan dalam perjanjian pengangkutan (pasal 1317 KUHPER). Akibatnya ialah, bagi dia
berlaku ketentuan-ketentuan dalam perjanjian pengangkutan yang mengenai- nya, termasuk
kewajiban membayar uang angkutan, kecuali bila dalam perjanjian itu ditentukan lain (pasal 491
KUHD). Pasal 491 KUHD berbunyi: "Setelah barang angkutan itu diserahkan di tempat tujuan, maka si
penerima wajib membayar uang angkutan dan semua yang wajib dibayarnya menurut dokumen-
dokumen, atas dasar mana barang tersebut diterimakan kepadanya." Pengecualian tersebut dalam
perjanjian pengangkutan misalnya, dalam perjanjian pengang- kutan ditentukan bahwa uang
angkutan menjadi tanggung jawab pe ngirim. Dalam hal ini penerima tidak wajib membayar uang
angkutan.

2) Sockardono, Hukum Dagang Indonesia, II, Bagian Pertama, 1961, halaman 15;
10. PENERIMA TIDAK BOLEH MINTA AGAR BARANG-BA RANG DISERAHKAN DI TEMPAT SELAIN DARI
TEMPAT TUJUAN

Dengan adanya pernyataan kehendak dari penerima untuk menerima barang-barang kiriman, tidak
berarti bahwa penerima dapat minta atau memerintahkan kepada pengangkut agar menyerahkan
barang- barang kiriman itu di tempat yang bukan tempat tujuan (banding- kan pasal 509 KUHD). Kalau
hal ini terjadi, maka terjadilah pelang- garan atas perjanjian pengangkutan, khusus mengenai tempat
tujuan, di mana dia sendiri sudah turut serta di dalamnya sebagai pihak ke- tiga yang berkepentingan
(pasal 1317 KUHPER). Perubahan tempat tujuan hanya mungkin bila telah ada persetujuan dari
pengirim dan pengangkut (pasal 1338 ayat (2) KUHPER.

11. SIFAT HUKUM PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak, yaitu pengi- rim dan pengangkut sama tinggi,
tidak seperti dalam perjanjian per- buruhan, di mana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan mem-
punyai kedudukan lebih tinggi daripada si buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan
ini disebut kedudukan subordinasi (gesubordineerd), sedangkan kedudukan para pihak dalam
perjanjian pengangkutan adalah kedudukan sama tinggi atau kedudukan koor dinasi (gecoördineerd).

Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan itu, hubungan kerja antara pengirim dengan
pengangkut tidak terus-menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan
pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini disebut "pelayanan ber- kala," sebab
pelayanan itu tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan.
Perjanjian yang bersifat "pelayanan berkala"ini disinggung dalam pasal 1601 KUHPER Saya
mengatakan "disinggung," karena pengaturan selanjutnya me- ngenai perjanjian berkala itu tidak ada.
Bab VII-A, Buku III, KUHPER itu ada 6 bagian. Bagian I mengenai ketentuan umum, Bagian II sampai
dengan ke-V mengenai perjanjian perburuhan, sedangkan bagian VI mengenai perjanjian
pemborongan. Di sini jelas bahwa per- janjian pelayanan berkala (het verrichten van enkele diensten)
tidak ada pengaturan lebih lanjut, hanya dicukupkan dengan adanya ketentuan-ketentuan umum
dalam bagian I. Karena perjanjian pe- layanan berkala ini tidak diatur lagi secara terperinci dan karena
perjanjian pengangkutan ini mempunyai sifat-sifat rangkap, misal- nya unsur pemborongan
(aanneming van werk), unsur penyim
panan (bewaargeving) dan lain-lain, maka mengenai sifat hukum per janjian pengangkutan itu ada
beberapa pendapat, yaitu:

a. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pelayanan berkala, yang dipertahankan oleh Polak3)
Molengraaff4) Völlmar5) dan Soekardono.6)

b. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah pemborongan;

c. Sifat hukum perjanjian pengangkutan adalah campuran.

Hal tersebut dalam huruf b danc akan saya bicarakan lebih lanjut dalam pelajaran berikut.

12. PERJANJIAN PENGANGKUTAN TIDAK BERSIFAT PEM BORONGAN

Ada pendapat bahwa sifat hukum perjanjian pengangkutan itu bukan "pelayanan berkala," (het
verrichten van enkele diensten) tetapi pem borongan, sebagai dimaksud dalam pasal 1601-b KUHPER.
Pendapat ini mendasarkan diri atas pasal 1617 KUHPER, yang merupakan pasal penutup dari BAB VII-
A, Bagian Keenam KUHPER, yang merupakan pasal penutup dari Bab VII A, Bagian Keenam KUHPER,
tentang pe- kerjaan pemborongan, yang berbunyi demikian: "Hak-hak dan ke wajiban pengangkut dan
nakhoda ditetapkan dalam KUHD." Dengan adanya pasal ini, maka orang mengira bahwa perjanjian
pengangkutan termasuk dalam kelompok perjanjian pemborongan.

Kalau benar perjanjian pengangkutan tergolong perjanjian pem- borongan, maka perjanjian
pengangkutan harus mempunyai sifat sebagai perjanjian pemborongan seperti yang ditetapkan dalam
pasal 1601-b KUHPER yang berbunyi: "De aanneming van werk is de overeenkomst waarbij de ene
partij, de aannemer, zich verbindt voor de andere partij, de aanbesteder, tegen ene bepaalde prijs een
bepaald werk tot stand te brengen." (Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak
yang satu, sipemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan stiatu pekerjaan tertentu bagi
pihak lain, yakni yang memborongkan, dengan sejumlah harga tertentu). Pasal 1601-b KUHPER ini
dijabarkan lagi dalam pasal 1604 sampai dengan pasal 1616 KUHPER. Pada waktu pembentuk undang-
undang mene tapkan pasal-pasal ini tidak memikirkan adanya "perjanjian peng angkutan," ternyata
bahwa pasal 1608, 1647 dan 1648 tidak bisa

3) Polak, Handboek, II, Ie stuk, le druk, 1920, bl. 7

4) Molengraaff. Leidraad, IV. 9c druk, 1966, bl. 906;

5) völlmar. Het Ned. Handles., I, 8e druk. 1953, bl. 202;

6) Sockardono, Hukum Dagang Indonesia II, Bagian 1, halaman 11;


diberlakukan pada perjanjian pengangkutan. Kecuali itu sifat "peker- jaan" yang dilakukan oleh
pengangkut itu berbeda dengan yang di- lakukan oleh pemborong. Pembentuk undang-undang
menghendaki pekerjaan yang dilakukan oleh pemborong itu "dapat diraba" (tast- baar) seperti
misalnya: adanya gedung baru, bangunan baru, jalan baru dan lain-lain, yang tadinya tidak ada.
Sedangkan pekerjaan yang dilakukan oleh pengangkut adalah suatu jasa dan tidak menim- bulkan
barang baru. Dengan penjelasan ini maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan tidak
bersifat pemborongan.

13. PERJANJIAN PENGANGKUTAN ADALAH PERJANJIAN CAMPURAN

Mr. Kist, ) berpendapat bahwa perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran, yakni
perjanjian melakukan pekerjaan (pelayan- an berkala) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving).
Prof. Soekar- dono,) tidak keberatan atas pendapat ini mengingat pasal 459 ayat (3), pasal 468 ayat
(1) KUHD bsd. pasal 1706 dan 1714 ayat (1) KUHPER. Memang pada pengangkutan ada unsur
melakukan peker- jaan (pelayanan berkala) dan unsur penyimpanan, karena pengangkut
berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan dan menyimpan barang-barang yang
diserahkan kepadanya untuk diangkut (pasal 466, 468 ayat (1) KUHD)

Saya setuju dengan pendapat bahwa perjanjian pengangkutan itu adalah perjanjian campuran, karena
mempunyai unsur

a. pelayanan berkala (pasal 1601-b, KUHPER). Karena pasal ini ada- lah satu-satunya pasal yang khusus
mengenai pelayanan berkala, yang berarti tidak ada pasal lain-lain yang dapat menolak adanya unsur
lain yang ada pada perjanjian pengangkutan, dan karena da- lam perjanjian pengangkutan ada unsur
lain, yang tidak dapat di- tolak oleh pasal 1601-b KUHPER tersebut, maka unsur lain itu masih hidup,
yakni:

b. unsur penyimpanan (bewaargeving), terbukti adanya ketetapan da- lam pasal 468 ayat (1) KUHD
yang berbunyi: "Perjanjian pengang- kutan mewajibkan pengangkut untuk menjaga keselamatan
barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya hingga saat diserahkan- nya barang tersebut." Juga
pasal 346 KUHD.

c. Unsur pemberian kuasa (lastgeving). Hal ini terbukti dengan adanya ketetapan dalam pasal 371
KUHD, 365 dan lain-lain. Pasal 371

7) Soekardono. Hukum Dagang Indonesia, II, Bagian I, 1961, halaman 12 nomor 18.

8) Ibid.
ayat (1) berbunyi: "Nakhoda diwajibkan selama perjalanan men- jaga kepentingan-kepentingan para
pemilik muatan, mengambil tin dakan-tindakan yang diperlukan untuk itu dan jika perlu untuk itu
menghadap di muka Hakim." Ayat (3) berbunyi: "Dalam keadaan yang mendesak ia diperbolehkan
merjual barang muatan atau se- bagian dari itu, atau guna membiayai pengeluaran-pengeluaran yang
telah dilakukan guna kepentingan muatan tersebut, meminjam uang dengan mempertaruhkan
muatan itu sebagai jaminan."

14. PERJANJIAN PENGANGKUTAN BERSIFAT KONSENSUIL

Menurut sistem hukum Indonesia, pembuatan perjanjian pengangkut- an tidak disyaratkan harus
tertulis, cukup dengan lisan, asal ada per- setujuan kehendak (konsensus).

Dalam bidang perjanjian carter kapal ada dokumen yang disebut "charterpartij" (pasal 454 KUHD). Hal
ini perlu saya ingatkan bahwa perjanjian carter kapal juga termasuk kelompok perjanjian pengang-
kutan, meskipun perjanjian ini menyerupai perjanjían sewa-menyewa Selanjutnya dalam perjanjian
pengangkutan laut ada dokumen yang disebut "konosemen", yakni tanda penerimaan barang yang
harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang (pasal 504 dan 506 KUHD). Dalam bidang hukum
pengangkutan darat ada dokumen yang disebut "surat muatan" atau "vrachtbrief" (pasal men-
dokumen ini bukanlah merupakan syarat mutlak tentang ada- nya perjanjian pengangkutan. Tanpa
dokumen-dokumen tersebut perjanjian pengangkutan juga ada. Tidak adanya dokumen-dokumen
tersebut tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada (ingat pasal-pasal: 454, 504 dan
90 KUHD). Jadi, dokumen-dokumen tersebut tidak merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan,
tetapi hanya merupakan salah satu tanda bukti tentang adanya perjanjian pengangkutan. Alat bukti
lainnya juga dapat dikemukakan. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian
pengang- kutan itu bersifat konsensuil.

15 PENAWARAN UMUM UNTUK PENGANGKUTAN TERTENTU Pengangkut dapat mengadakan


penawaran yang ditujukan kepada umum, bahwasanya dia bersedia untuk menyelenggarakan peng-
angkutan barang atau orang dengan jarak tertentu dan dengan syarat- syarat tertentu pula.
Pengangkut yang sudah melakukan penawaran umum wajib mena'ati ketentuan-ketentuan perikatan
pada umumnya seperti tercantum dalam bab I, Buku Ketiga, KUHPER

Orang yang mempergunakan kesempatan tersebut dan menerima


tawaran itu, maka terjadilah perjanjian pengangkutan. Ingat saja pada pengangkutan: kereta api, bus-
bus, truk-truk dan lain-lain alat pengangkutan. Bandingkan dengan pasal 517 KUHD bagi
pengangkutan kapal laut jurusan tetap yang berbunyi: "Apabila pengangkut telah mengumumkan
syarat-syarat tentang pengangkutan dan tarip tarip, maka wajiblah dia mengangkut segala barang
yang diterimakan kepadanya dengan syarat-syarat dan tarip-tarip itu, sekedar ruangan yang
disediakan olehnya untuk trayek yang diminta itu memper- kenankannya. Si pengangkut
diwajibkan........... dan seterusnya." Syarat-syarat yang diajukan oleh pengangkut misalnya, benda
yang diangkut tidak boleh berbahaya, bukan binatang buas yang tidak dikerangkeng atau orang yang
dapat mengganggu keamanan dan ketertiban penumpang lainnya.

16. PENGANGKUT TIDAK MEMPUNYAI HAK RETENSI

Pengangkut tidak mempunyai hak retensi terhadap barang-barang angkutan, yaitu hak untuk
menahan barang-barang angkutan bila penerima menolak untuk membayar uang angkutan. Pasal 493
ayat (1) KUHD berbunyi: "Dengan tak mengurangi ketentuan ayat (2) pasal ini, gunakan menjamin
uang angkutan dan sumbangan avary grosse, tak berhaklah si pengangkut menahan barang angkutan
yang diangkutnya. Setiap janji yang bertentangan dengan ini adalah ba- tal." Dari bunyi pasal ini jelas
bahwa pengangkut tidak mempunyai hak retensi. Kalau penerima menolak untuk membayar uang
angkutan, maka pengangkut harus menuntutnya melalui Hakim Pengadilan Negeri setempat (Pasal 94
KUHD). Dalam hal ini Hakim dapat memerintahkan penjualan umum atas barang-barang muatan itu
secukupnya bagi pelunasan pembayaran uang angkutan itu. Selama persoalan itu dalam proses, maka
Hakim dapat memerintahkan me- nyimpan barang-barang angkutan itu dalam gudang umum.
BAB II

PERANTARA PENGANGKUTAN

A. EKSPEDITUR

17. PENGANTAR

Pada perjanjian pengangkutan, baik menutupnya, maupun melaksana- kan, kebanyakan kalinya
diserahkan kepada orang lain, yang ahli di bidang yang bersangkutan. Begitulah misalnya pada waktu
menutup perjanjian pengangkutan atau perjanjian carter kapal, un- tuk yang pertama diserahkan
kepada ekspeditur, sedangkan bagi yang kedua kepada makelar kapal (cargadoor). Convooiloper atau
agen- duane (fungsi ini sekarang dikerjakan oleh EMKL) mengusahakan in dan uitklaring. Pengatur
muatan (stuwadoor) atau juru-padat mengusahakan tentang pemuatan dan pembongkaran. Fungsi-
fungsi ini terkadang bersatu dalam satu atau dua perusahaan, misalnya, ada perusahaan EMKL yang
berfungsi sebagai ekspeditur, makelar kapal dan agen-duane atau convooiloper, sedang perusahaan
lain berfungsi sebagai pemuatan (stuwadoor) dan pembongkaran muatan.

18. SIAPA EKSPEDITUR ITU

Bila ada seorang perantara yang bersedia untuk mencarikan peng- angkut yang baik bagi seorang
pengirim itu namanya "ekspeditur." Mengenai ekspeditur ini diatur dalam KUHD, Buku I, Bab V, Bagian
II, pasal 86 sampai dengan 90. Pasal 86 ayat (1) KUHD berbunyi: "De expediteur is iemand, die zich
met het doen vervoeren van koopmanschappen en goederen te land of te water bezig houdt.
(Ekspeditur adalah orang, yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya melalui daratan atau perairan). Di
sini je- las, bahwa ekspeditur menurut undang-undang hanya seorang peran- tara yang bersedia
mencarikan pengangkut bagi pengirim dan tidak mengangkut sendiri barang-barang yang telah
diserahkan kepadanya itu

Perjanjian yang dibuat antara ekspeditur dan pengirim disebut perjanjian ekspedisi, sedangkan
perjanjian antara ekspeditur, atas nama pengirim dengan pengangkut disebut perjanjian
pengangkutan.
Kecuali pasal 86 sampai dengan 90 KUHD, juga pasal 95 KUHD mengenai persoalan daluwarsa bagi
gugatan terhadap ekspeditur dan lain-lain berlaku bagi ekspeditur. Daluwarsa bagi gugatan ter hadap
ekspeditur hanya satu tahun bagi pengiriman-pengiriman dalam wilayah Indonesia dan dua tahun
terhadap pengiriman dari Indonesia ke luar negeri.

Di antara para perantara pengangkutan, hanya ekspeditur sajalah yang mendapat pengaturannya
dalam undang-undang. Sebagai yang sudah saya katakan di atas, bagi ekspeditur berlakulah pasal 86
sampai dengan 90 KUHD. Di samping itu berlaku juga pasal 95 KUHD tentang daluwarsa gugatan
hukum terhadap ekspeditur. Peraturan in semua adalah peraturan pelengkap dan berlaku juga bagi
ekspeditur yang tidak tetap, yaitu ekspeditur insidentil.

19. SIFAT HUKUM PERJANJIAN EKSPEDISI

Perjanjian ekspedisi adalah perjanjian timbal-balik antara ekspeditur dengan pengirim, di mana
ekspeditur mengikatkan diri untuk men carikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, sedangkan si
pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada ekspeditur. Per- janjian ekspedisi ini
mempunyai sifat hukum rangkap, yaitu "pela- yanan berkala" (pasal 1601 KUHPER) dan "pemberian
kuasa (pasal 1792 dsl KUHPER)

Sifat hukum "pelayanan berkala" ada, karena hubungan hukum antara ekspeditur dan si pengirim
tidak tetap, hanya kadang kala saja, yakni bila si pengirim membutuhkan seorang pengangkut untuk
mengirim barangnya. Sifat hukum "pemberian kuasa" ini ada ka- rena si pengirim telah memberikan
kuasa kepada si ekspeditur untuk mencarikan seorang pengangkut yang baik baginya. Kedudukan
kedua belah pihak dalam perjanjian ekspedisi ini sama tinggi, yakni ke- dudukan yang koordinatif
(geordineerd), dari itu kontra prestasi yang diberikan kepada ekspeditur bukan upah atau gaji, tetapi
pro- visi.

Sifat hukum perjanjian ekspedisi "pemberian kuasa" ini jelas ada, bila si-ekspeditur mengadakan
perjanjian pengangkutan dengan pengangkut atas nama pengirim, tetapi kalau ekspeditur menutup
perjanjian pengangkutan pengirim, maka perjanjian ekspedisi itu mempunyai sifat "hubungan komisi"
(pasal 76 KUHD). Kemungkinan juga ada, bahwa ekspeditur harus menyimpan barang-barang yang
diserahkan oleh pengirim itu lebih dulu dalam gudang ekspeditur, maka sifat perjanjian eks- peditur
itu bertambah dengan unsur "penyimpanan" (bewaargeving).
Mungkin pula perjanjian ekspeditur itu mempunyai unsur "penye- lenggaraan urusan"
(zaakwaarneming), bila ekspeditur untuk barang barang itu harus berhadapan dengan pihak ketiga
atas nama pengirim (pasal 1354 KUHPER)

20. TUGAS EKSPEDITUR

Dalam merumuskan tugas ekspeditur, sebagai yang dilakukan dalam pasal 86 ayat (1) KUHD,
pembentuk undang-undang memakai istilah "doen vervoeren" (menyuruh mengangkut). Jadi,
menurut pemben- tuk undang-undang tugas ekspeditur adalah terpisah dengan tugas pengangkut.
Tugas ekspeditur hanya mencarikan pengangkut yang baik bagi si pengirim, dan tidak
menyelenggarakan pengangkutan itu sendiri. Sedang "menyelenggarakan pengangkutan" adalah
tugas pengangkut.

Dalam usaha mencarikan pengangkut yang baik dan cocok dengan barang yang akan diangkut,
biasanya ekspeditur bertindak atas nama sendiri, walaupun untuk kepentingan dan atas tanggung
jawab pengi- rim (lihat pasal 455 KUHD). Pasal 455 KUHD berbunyi: "Barang siapa membuat perjanjian
carter kapal untuk orang lain, terikatlah dia untuk diri sendiri terhadap pihak lawannya, kecuali apabila
pada waktu membuat perjanjian tersebut dia bertindak dalam batas-batas kuasanya dan
menyebutkan nama si pemberi kuasa yang bersang kutan." Kedudukan ekspeditur ini adalah sama
dengan komisioner, yang biasanya bertindak atas nama diri sendiri (pasal 76 KUHD).

21 KEWAJIBAN DAN HAK EKSPEDITUR

Berhubung dengan perjanjian ekspedisi itu mempunyai banyak sifat hukumnya seperti yang sudah
saya uraikan di muka, maka sebagai akibatnya ekspeditur dapat mempunyai kewajiban-kewajiban dan
hak-hak sebagai berikut:

a. Sebagai pemegang kuasa. Ekspeditur melakukan perbuatan hukum atas nama pengirim. Dengan ini
maka dia tunduk pada ketentuan ketentuan mengenai pemberian kuasa (pasal 1792 sampai dengan
1819 KUHPER)

b. Sebagai komisioner. Kalau ekspeditur berbuat atas namanya sendiri, maka berlakulah ketentuan-
ketentuan mengenai komisioner (pasal 76 dsl. KUHD).

c. Sebagai penyimpan barang. Sebelum ekspeditur mendapat/menemukan pengangkut yang


memenuhi syarat, maka sering juga ekspeditur terpaksa harus menyimpan dulu barang-barang
pengirim
digudangnya. Untuk ini berlakulah ketentuan-ketentuan menge- nai penyimpanan barang
(bewaargeving), pasal 1694 dsl KUHPER

d. Sebagai penyelenggara urusan (zaakwaarnemer). Untuk melaksana- kan amanat pengirim,


ekspeditur banyak sekali harus berurusan dengan pihak ketiga untuk kepentingan barang-barang
tersebut, misalnya: melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang pengeluar- an dan pemasukan
barang-barang di pelabuhan, bea-cukai dan lain- lain. Di sini ada unsur "penyelenggaraan urusan"
(zaakwaarneming) dan untuk ini berlakulah pasal 1354 dsl. KUHPER

e. Register dan surat muatan. Sebagai pengusaha, seorang ekspeditur harus memelihara register
harian tentang macam dan jumlah barang-barang dagangan dan barang lainnya yang harus diangkut,
begitu pula harganya (pasal 86 ayat (2) KUHD). Hal ini erat hu bungannya dengan pasal 6 KUHD. Kecuali
register harian tersebut di atas, dia harus membuat surat muatan (vrachtbrief - pasal 90 KUHD) pada
tiap-tiap barang yang akan diangkut. Mengenai surat muatan ini akan saya bicarakan lebih lanjut pada
kesem- patan lain

f. Hak retensi. Berdasarkan fungsi-fungsi atau sifat-sifat perjanjian ekspedisi tersebut di atas, maka
menjadi persoalan apakah eks- peditur mempunyai hak retensi. Sebagai yang telah diketahui,
pemegang kuasa mempunyai hak retensi (pasal 1812 KUHPER), begitu juga komisioner (pasal 85
KUHD), penyimpan barang (pa- sal 1729 KUHPER), penyelenggara urusan (menurut arrest H.R. tanggal
10 Desember 1948,) maka pada hemat saya ekspeditur pun mempunyai hak retensi.

22. TANGGUNG JAWAB EKSPEDITUR

Pasal 87 KUHD menetapkan tanggung jawab ekspeditur terhadap barang-barang yang telah
diserahkan pengirim kepadanya untuk:

a. menyelenggarakan pengiriman selekas-lekasnya dengan rapi pada barang-barang yang telah


diterimanya dari pengirim;

b. mengindahkan segala upaya untuk menjamin keselamatan barang- barang tersebut.

Kecuali tanggung jawab seperti tersebut di atas, juga hal-hal di bawah ini menjadi tanggung jawabnya:

c. pengambilan barang-barang dari gudang pengirim;

d. bila perlu penyimpanan di gudang ekspeditur;

1) H.R, 10 Desember 1948, 1949 No. 1 22, nt. Ph. A.N.H


e. pengambilan barang-barang muatan dari tempat (pelabuhan) tujuan untuk diserahkan kepada
penerima yang berhak atau kepada pengangkut selanjutnya. Tugas tersebut dalam huruf c, d, dan e
hanya dilakukan bila tegas- tegas telah ditetapkan dalam perjanjian ekspedisi yang bersangkutan.

23. PASAL 86 DAN 87 KUHD ADALAH PERATURAN PELENGKAP

Menurut Molengraaff, 2) Polak 3) dan Dorhout Mees, 4) pasal 86 dan 87 KUHD adalah peraturan
pelengkap, artinya penyimpangan dari ketentuan-ketentuan pasal 86 dan 87 KUHD diperbolehkan.
Misalnya, pasal 86 KUHD menetapkan bahwa tugas ekspeditur hanya "mencarikan pengangkut" bagi
pengirim yang mempergunakan ja- sanya. Bila seorang ekspeditur yang tugasnya merangkap menjadi
pengangkut, tidak sesuai dengan maksud pasal Tetapi dalam praktek, banyak juga seorang ekspeditur
yang merangkap menjadi pengangkut, tidak menímbulkan kesulitan-kesulitan hukum

Berhubung pasal 86 dan 87 KUHD adalah peraturan pelengkap, maka sebagai juga pengangkut,
ekspeditur dapat mengurangi tang- gung jawabnya sedemikian rupa sehingga hampir dapat dikatakan
tidak mempunyai tanggung jawab. Berbeda dengan pengangkut laut dan udara, di sini undang-undang
tidak memberi pembatasan, kecuali ketertiban umum dan kesusilaan. Meniadakan tanggung ja- wab
untuk kesengajaan dan kelalaian yang besar pada hemat saya tidak diperkenankan. KUHD tersebut.

24 BATAS TANGGUNG JAWAB EKSPEDITUR

Menurut pasal 87 KUHD, tanggung jawab ekspeditur berhenti pada saat barang-barang dari pengirim
itu telah diterima oleh pengangkut. Tetapi menurut pasal 88 KUHD, kerugian-kerugian sesudah saat
tersebut, bila dapat dibuktikan bersumber pada kesalahan atau kelalaian ekspeditur, maka kerugian
itu dapat dibebankan kepada ekspeditur.

Kecuali itu, ekspeditur juga harus bertanggung jawab atas ekspeditur-antara (tussen-expediteur), yang
jasanya dipergunakannya (pasal 89 KUHD). Tanggung jawab ekspeditur seperti ditentukan dalam pa-
sal 89 KUHD ini sifatnya lebih luas daripada tanggung jawab se-

2) Molengraaff, Leidraad, IV, 9e druk, bl. 896;

3)Polak, Handboe k, II, 1e stuk, 1e druk, 1920, bl. 53

4) Dorhout Mees, Kort Begrip, 1953, bl. 309; del 16


orang pemegang kuasa menurut pasal 1803 KUHPER yang berbunyi sebagai berikut: "Si pemegang
kuasa bertanggung jawab untuk orang yang telah ditunjuk sebagai penggantinya dalam melaksanakan
tugasnya, bila:

a. dia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;

b. kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu, sedangkan orang
yang dipilihnya untuk itu ternyata seorang yang tidak cakap atau tidak mampu. Dan selanjutnya.
Perbedaan yang besar ialah pasal 89 KUHD tanpa syarat, sedang kan pasal 1803 KUHPER dengan
syarat.

25. EKSPEDITUR TIDAK TETAP

Di samping adanya ekspeditur sebagai pengusaha yang bersifat tetap, dalam praktek ada ekspeditur
yang tidak tetap (insidentil), artinya dia bertindak sebagai ekspeditur hanya kadang kala saja.
Ekspeditur macam ini tidak diatur dalam KUHD. Sesuai (analogi) dengan kedu- dukan komisioner
insidentil, yang diatur dalam pasal 85-a KUHD maka bagi ekspeditur insidentil juga berlaku ketentuan-
ketentuan bagi ekspeditur tetap, yang diatur dalam pasal 86 sampai dengan 90 KUHD.$

26. HUBUNGAN PENERIMA DENGAN PERJANJIAN EKSPEDISI

Kalau penerima telah menerima barang muatan, atau dia menolak untuk menerimanya, karena ada
kerusakan atau kekurangan, maka. dia tidak hanya bersangkutan dengan perjanjian pengangkutan
saja, tetapi juga dengan perjanjian ekspedisi, sejauh dapat diketahui dari dokumen-dokumen yang
ada. Dia harus membayar uang angkutan, bila ditentukan demikian dalam perjanjian (pasal 491
KUHD).

Penerima mempunyai hak sendiri yang bersangkutan dengan perjanjian ekspedisi dan juga dengan
perjanjian pengangkutan. Hak sendiri yang dimiliki oleh penerima inilah yang menjadi dasar ketentuan
pasal 93 dan 94 KUHD. Dalam hal ini kesulitan hanya ada, bila penerima tidak menggunakan haknya.
Pada pengangkutan dengan konosemen, kesulitan itu tidak akan terjadi, sebab di sini hanya pemegang
konosemen sajalah yang berhak bertindak dalam penuntutan kepada pengangkut.

5)Vollmar, Het Ned. Handelsrech t, 1, 8e druk, bl. 219, No 282; Dorhout Mees, Ned. Handels., 3e deel,
6e druk, bl. 194, No 8.34: Polak, Handboek, II, bl. 57;
27. KEWAJIBAN PENERIMA TERHADAP PENYELENGGARAAN URUSAN

Pengirim sebagai pemberi kuasa memberi perintah kepada ekspeditur yang selanjutnya harus
dilaksanakan oleh ekspeditur. Termasuk tugas ekspeditur ialah menerima barang-barang dari
pengangkut yang se- lanjutnya diserahkan kepada penerima, yang pada umumnya bukan si pengirim.
Biasanya si penerima adalah pihak pembeli dalam per- janjian jual-beli yang dibuatnya lebih dulu,
sedangkan si pengirim adalah si penjual. Dengan penyerahan barang-barang oleh ekspeditur tersebut
kepada penerima, maka beralihlah hak milik atas barang- barang tersebut. Kalau hak milik sudah
beralih sebelum barang dise- rahkan, maka ekspeditur mulai saat itu harus menjadi penyelenggara
urusan (zaakwaarneming) terhadap barang-barang untuk kepentingan si penerima. Terhadap
penyelenggaraan urusan untuk kepentingannya ini penerima wajib memberi honorarium, (pasal 1357
KUHPER) de- ngan cara mengganti semua uang muka yang telah dikeluarkan ekspe- ditur, dan untuk
ini ekspeditur mempunyai hak retensi. Mengenai penyelenggaraan urusan (zaakwaarneming) sendiri,
tidak menimbul kan hak atas provisi (pasal 1358 KUHPER). Dengan ini penerima ti- dak secara otomatis
terikat pada perjanjian ekspedisi.

28 HAK GUGAT EKSPEDITUR TERHADAP PENGANGKUT

Kalau seorang pengangkut melakukan perbuatan melawan hukum dan menurut pasal 91 KUHD dia
bertanggung jawab atas kerugian itu maka hak apa yang dapat dipergunakan oleh ekspeditur terhadap
pengangkut yang bersangkutan. Kalau ekspeditur menutup perjanji- an pengangkutan atas nama
pengirim, maka pengirim dapat lang- sung menuntut ganti kerugian kepada pengangkut. Tetapi bila
ekspe- ditur menutup perjanjian pengangkutan atas namanya sendiri, maka hanya ekspeditur yang
berhak menuntut ganti kerugian dan bukan pengirim, sebab pengirim tidak mempunyai hubungan
kontraktuil dengan pengangkut. Karena ekspeditur berbuat atas tanggungan pengirim, maka orang
dapat berkata: kerugian barang-barang tidak mengenainya, jadi, dia tidak mempunyai kepentingan
terhadap tun- tutan ganti rugi. Orang juga dapat berkata: pengirim tidak ada hu- bungan kontraktuil
dengan pengangkut, jadi dia tidak bisa menuntut ganti rugi berdasar perjanjian pengangkutan, tetapi
dapat menuntut berdasarkan perbuatan melawan hukum, pada mana dia harus dapat membuktikan
sifat melawan hukumnya perbuatan pengangkut. Ke- sulitan persoalan ini ditambah pula, bila dalam
perjanjian pengang kutan itu tidak jelas benar, apakah ekspeditur berbuat atas namanya
pengirim atau atas namanya sendiri. Mengenai soal ini praktek mem- butuhkan penyelesaian yang
praktis. Untung juga, ada keputusan pengadilan Hof's-Gravenhage 26 Januari 1967, 6) di mana
ditetapkan bahwa kepada ekspeditur yang berbuat atas namanya sendiri diberi hak khusus untuk
menuntut ganti kerugian. Kepentingan atas tun tutannya itu merupakan suatu jasa servis bagi pemberi
kuasanya untuk memasukkan ganti kerugian. Kalau dia bertanggung jawab atas kerugian itu, maka
disitulah letak kepentingannya. Penyele- saian ini dapat dipakai juga bagi seorang pengangkut yang
bertindak sebagai ekspeditur bagi suatu transport yang bersambungan dengan trayeknya sendiri.

B. PENGUSAHA TRANSPOR

29. PENGERTIAN

Orang bertindak sebagai pengusaha transpor (transportondernemer) bila dia menerima barang-
barang tertentu untuk diangkut dengan uang angkutan tertentu pula, tanpa mengikatkan diri untuk
mela kukan pengangkutan ita sendiri. Jadi, pengusaha transpor menerima seluruh pengangkutan
dengan satu jumlah uang angkutan untuk selu- ruhnya, tetapi tidak, atau hanya sebagian saja yang
diangkutnya sendiri.

Mengenai pengusaha jenis ini, saya tidak mempergunakan istilah "pengusaha pengangkutan," sebab
kata "pengangkutan" di sini me- ninibulkan kecenderungan orang menganggap bahwa pengusaha
pengangkutan itu sama saja dengan "pengangkut." Kecuali itu, kata "transpor" sudah menjadi istilah
bahasa Indonesia (lihat Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, cetakan tahun 1976,
halaman 1089). Dengan istilah "pengusaha transpor" itu, saya memperkira- kan, orang akan
beranggapan bahwa pengusaha transpor berbeda dengan pengangkut.

Tentang pengusaha transpor ini tidak diatur dalam KUHD atau undang-undang lain. Baginya berlaku
hukum kebiasaan perniagaan dan yurisprudensi, misalnya: pasal 93, 94 dan 493 dan selanjutnya KUHD
berlaku. baik bagi pengangkut umum maupun bagi pengusaha transpor. 7) Selanjutnya, H.R. dalam
arrest-nya tanggal 17 Jun 1921, 8) menetapkan bahwa pasal 95 KUHD tidak berlaku bagi pengusaha
transpor.

6) Hof's Graventhage 26 Januari 1967,1968, No 7:

7) Dorhout Mees, Ne d. Handels. 6e druk, bl.199

8) HR 17 Juni 1921. W. 10780, NJ. 1921, bl. 974


30. SIFAT HUKUM PERBUATAN PENGUSAHA TRANSPOR

Meskipun pengusaha transpor itu menerima pekerjaan pengangkut- an tertentu, tetapi tidak berarti
bahwa dia melakukan pemborongan pekerjaan, sebagai yang diatur dalam pasal 1604 sampai dengan
1616 KUHPER. Perbuatan pengusaha transpor itu bukan pemborongan pekerjaan, karena tidak
menimbulkan barang baru seperti halnya pada pemborongan

Perbuatan pengusaha transpor lebih-lebih bersifat pemberian jasa yang tidak terus-menerus.
Pemberian jasa itu diberikan, bila ada yang membutuhkan. Jadi, sifat perbuatan pengusaha transpor
itu adalah pelayanan berkala. Kecuali sifat pelayanan berkala, perbuatan peng usaha transpor juga
mengandung sifat lain, yaitu: pemberian kuasa Dalam hal ini si pengusaha transpor diberi kuasa oleh
pengirim untuk melakukan segala macam pekerjaan bagi terselenggaranya pengangkut- an yang aman
sampai di tempat tujuan, yang selanjutnya harus dise rahkan kepada penerima yang ditunjuk oleh
pengirim. Dari itu saya berpendapat bahwa sifat hukum perbuatan pengusaha transpor ada- lah
rangkap, yaitu pelayanan berkala dan pemberian kuasa. Menurut Dorhout Mees,9) perbuatan
pengusaha transpor itu hanya bersifat pelayanan berkala.

31. PERBEDAAN ANTARA PENGANGKUT, EKSPEDITUR DAN PENGUSAHA TRANSPOR

Kalau kita berpedoman pada pasal 466 KUHD, maka yang disebut pengangkut adalah orang yang
mengikatkan diri untuk menyelengga- rakan pengangkutan. Sedangkan ekspeditur menurut pasal 86
KUHD adalah orang yang bersedia untuk mencarikan pengangkut bagi pengi- rim. Pengusaha transpor
adalah orang bersedia menyelenggarakan seluruh pengangkutan dengan satu jumlah uang angkutan
yang dite- tapkan sekalgus untuk semuanya, tanpa mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan
itu sendiri. Dari itu, perbedaan antara ekspeditur, pengangkut dan pengusaha transpor dapat
diuraikan sebagai berikut:

a. Perbedaan antara ekspeditur di satu pihak dengan pengangkut dan pengusaha transpor di lain pihak
adalah: ekspeditur hanya berse- dia untuk mencarikan pengangkut bagi pengirim, sedangkan
pengangkut dan pengusaha transpor bersedia untuk menyelenggarakan pengangkutan

b. Perbedaan antara pengangkut dengan pengusaha transpor dapat dijelaskan sebagai berikut:

9) Dorhout Mees. Ned. Handels, III, 6e druk, bt. 198, No. 8.52;
1) pengangkut menerima pengangkutan yang dapat diangkut dalam trayeknya sendiri;

2) pengusaha transpor menerima yang dapat diangkut melalui trayeknya sendiri, maupun di luarnya.
Sudah tentu, pada hal yang terakhir ini pengusaha transpor mempergunakan pengangkut lain. Uang
angkutan bagi pengangkutan yang melalui trayeknya sendiri, maupun melalui trayek orang lain
diperhitungkan sekaligus dan merupakan satu jumlah yang tidak diperinci lagi. Hal yang terakhir inilah
yang menjadi ciri khas daripada pengusaha transpor.

Perbedaan antara pengangkut dan pengusaha transpor dapat lebih jelas kalau diterapkan dalam suatu
kasus sebagai berikut:

Seorang pengangkut menerima suatu pengangkutan terusan (doorgaandvervoer), yang terjadi dari
pengangkutan pertama, terletak dalam trayeknya, sedangkan pengangkutan kedua terletak di luar
trayeknya. Persoalan timbul, apakah pengangkut tersebut dalam men- jalankan pengangkutan kedua
bertindak sebagai ekspeditur, ataukah dia bagi seluruh pengangkutan bertindak sebagai pengusaha
transpor? Jawaban dari persoalan ini dapat diberikan melalui penelitian terhadap kwitansi
penerimaan uang angkutan. Kalau dalam kwitansi itu dite- tapkan satu jumlah uang angkutan untuk
seluruh pengangkutan te- rusan itu sekaligus, kita menghadapi seorang pengusaha transpor, tetapi
kalau jumlah dalam kwitansi itu diperinci yang terdiri dari se- jumlah uang angkutan untuk
pengangkutan pertama, ditambah de- ngan uang angkutan bagi pengangkutan kedua, yang dilakukan
oleh pengangkut lain, ditambah lagi dengan uang provisi, maka kita meng- hadapi bagi pengangkutan
yang pertama seorang pengangkut dan bagi pengangkutan kedua seorang ekspeditur

Begitu pula kalau seorang pengusaha transpor menerima suatu pengangkutan terusan
(doorgaandvervoer), di mana sebagian dari pengangkutan itu dilaksanakan sendiri, sedangkan
selebihnya di- serahkan kepada pengangkut lain, maka di sini timbul persoalan, apakah dia dalam
melakukan pengangkutan kedua ini dapat dika- takan bertindak sebagai ekspeditur atau tetap sebagai
pengusaha transpor? Jawabannya tergantung dari isi perjanjian yang dibuat antara pengirim dengan
pengusaha transpor tersebut, dalam hal isi itu tidak ada, maka terletak dalam maksud mereka. Satu
jumlah uang angkutan untuk seluruh pengangkutan di sini juga merupakan suatu tanda kita
menghadapi pengusaha transpor.

Persoalan lain timbul, apakah mungkin seorang pengusaha transpor sama sekali tidak mempunyai alat
pengangkutan dan juga tidak mem-
punyai trayeknya sendiri? Pada hemat saya hal yang demikian mung- kin saja, sebab pemilikan atas
alat pengangkutan dan trayek tidak lah menjadi syarat bagi seorang pengusaha transpor. Tetapi
pengang- kut laut Indonesia diwajibkan memiliki alat pengangkutan (kapal) lebih dari satu unit dengan
jumlah minimal 3.000 m3 isi kotor (pasal 15 ayat (2) huruf b, PP No 2 Tahun 1969, LN 1969-2)

C.MAKELAR KAPAL

32. PENGERTIAN MAKELAR KAPAL

Makelar kapal (cargadoor of scheepsmakelaar) adalah perantara di bidang jual-beli kapal atau carter-
mencarter kapal. Untuk fungsi yang terakhir ini makelar kapal bertindak atas nama pengusaha kapal.
Makelar kapal mengusahakan selanjutnya agar kapal dimuati, di- bongkar dan diserahkan kembali
kepada pengusaha kapal. Dorhout Mees membimbangkan apakah pengurusan ganti kerugian menjadi
wewenang makelar. 10) Pada hemat saya makelar tidak berwenang mengurus persoalan ganti
kerugian, sebab dia bukan pihak dalam perjanjian carter kapal, paling banter dia dapat menjadi saksi.

33. SIFAT HUKUM PERBUATAN MAKELAR KAPAL

Pada hemat saya, sifat-hukum perbuatan makelar kapal itu rangkap, yaitu:

a. pelayanan berkala, sebab perbuatan itu baru dilakukan, bilamana ada amanat dari pemberi kuasa.
Jadi, perbuatan itu kadang kala saja, yakni bila jasanya dibutuhkan oleh pengusaha kapal atau oleh
pencarter (pasal 1601 KUHPER)

b. pemegang kuasa, sebab dia bertindak bila ada amanat dari pem- beri kuasa, baik dari pengusaha
kapal atau pencarter (pasal 1792 dsl. KUHPER);

c.makelar, sebab dia bertindak sebagai makelar. Dengan ini berlaku- lah ketentuan-ketentuan
mengenai makelar (pasal 62 dsl. KUHD).

D. AGEN DUANE

34. TUGAS AGEN DUANE

Agen-duane (convooiloper of Douane-agent) ini adalah perantara perkapalan, yang dulu tugasnya
mengusahakan sebuah kapal masuk dalam rombongan kapal (convooi) tertentu. Sekarang tugasnya
ialah

10) Dorhou t Mees, Ned. Handels, III,6e dru k, bl. 199


mengusahakan dokumen kapal yang dikenal dengan nama "in- dan uitklaring", menyelesaikan dan
membayar bea-cukai dan lain-lain pekerjaan kepelabuhanan.

35. SIFAT HUKUM PERBUATAN AGEN-DUANE

Sebagai juga pada perantara perkapalan yang lain, sifat hukum per- buatan agen-duane (convooiloper
of douane agent) adalah:

a.pelayanan berkala, sebab hubungan kerja dengan pemberi kuasa- nya tidak tetap, hanya kadang
kala saja, bila dibutuhkan;

b. pemberian kuasa, sebab agen-duane itu bertindak atas nama pem- beri kuasa. Siapa yang menjadi
pemberi kuasanya, tergantung siapa yang memberi amanat, apakah pengusaha kapal, pemilik barang,
pencarter atau lain-lainnya.

E. PENGATUR MUATAN

36 PENGATUR MUATAN

Pengatur muatan (stuwadoor) atau juru padat adalah orang yang tugasnya menetapkan tempat di
mana suatu barang harus disimpan dalam ruangan kapal. Sifat kodrat barang itu ada yang membutuh-
kan ventilasi yang cukup, ada pula yang mempunyai sifat yang mudah terbakar, ada yang mudah pecah
dan lain-lain. Untuk mengatur ba- rang-barang dalam ruangan kapal yang terbatas itu dibutuhkan ahli-
nya yang pandai menempatkan barang-barang sesuai dengan sifat nya, jangan sampai mudah
bergerak kalau kapal kebetulan oleng dan lain-lain. Orang ahli pengatur muatan di kapal itu disebut
pe ngatur muatan atau juru padat atau stuwadoor. Jadi, pengatur muatan itu biasanya yang
melakukan pemuatan dan pembongkaran barang.

37. HUBUNGAN KERJA PENGATUR MUATAN

Pengatur muatan biasanya merupakan pengusaha tersendiri, yang ber- sedia melakukan tugas
pemuatan dan pembongkaran muatan dan untuk itu mempunyai anak buah sendiri. Meskipun
pengatur muatan itu merupakan perusahaan tersendiri, tidak termasuk perusahaan kapal, tetapi kalau
sudah ada dalam kapal, maka segala perbuatannya tunduk pada aturan yang berlaku di kapal (pasal
321 KUHD). Jadi, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pengatur kapal dan/ atau anak
buahnya, menjadi tanggung jawab pengusaha kapal. Kalau pengatur muatan beserta anak buahnya,
bila sudah tidak ada tugas lagi dalam kapal, maka mereka kembali ke induk perusahaannya.
F.PER-VEEM-AN DAN EKSPEDISI MUATAN

38. PENGERTIAN TENTANG PER-VEEM-AN

Sampai di sini saya sudah membicarakan jenis-jenis perantara peng- angkutan yang terdiri dari :
ekspeditur, pengusaha transpor, makelar kapal, agen duane, dan pengatur muatan. Dalam praktek di
Indonesia beberapa fungsi perantara pengangkutan tersebut dipersatukan dalam sebuah perusahaan
tertentu, misalnya pada per-veem-an dan ekspe disi muatan kapal laut. Dua perusahaan tersebut
terakhir ini adalah lazim di bidang pengangkutan laut. Sebagai perusahaan perantara pengangkutan
laut, per-veem-an dan ekspedisi muatan laut penga- turannya dipersatukan dengan perusahaan laut,
yakni dalam Per- aturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969 (LN 1969-2), tentang "Penyelenggaraan dan
Pengusahaan Angkutan Laut". Pasal 28 ayat (1) PP ini menetapkan bahwa persyaratan usaha per-
veem-an dan pro- sedur memperoleh izin ditetapkan oleh Menteri Perdagangan, yaitu: Surat
Keputusan Menteri Perdagangan tanggal 8 Juni 1970, No 122/ Kp/VI/70, tentang "Persyaratan dan
Prosedur Memperoleh Izin Usaha (Per-veem-an)"

Menurut pasal 1 PP No 2 Tahun 1969 yang dimaksud dengan per- veem-an ialah :usaha yang ditujukan
pada penampungan dan pe- numpukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan dengan
mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, di mana dikerja- kan dan disiapkan barang-
barang yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan untuk diserahkan kepada
per- usahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi antara lain ke- giatan: ekspedisi muatan,
pengepakan, pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuran, penandaan dan lain-lain
pekerjaan yang bersifat teknis ekonomis yang diperlukan perdagangan dan pelayaran.

Menurut pasal 1 PP No 2 Tahun 1969 tersebut di atas, tugas eks- pedisi muatan kapal laut termasuk
tugas per-veem-an. Dari itu sebaiknya kita mengerti dulu apa yang menjadi tugas ekspedisi muatan
kapal laut itu.

39. TUGAS EKSPEDISI MUATAN KAPAL LAUT

Menurut pasal 1 PP No 2 Tahurn 1969, tugas ekspedisi muatan kapal laut ialah: usaha yang ditujukan
kepada pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan yang menyangkut penerimaan/penyerahan
muatan yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada/ diterima dari perusahaan pelayaran
untuk kepentingan pemilik barang.
Izin penyelenggaraan dan pengusahaan ekspedisi muatan laut diberikan oleh Menteri Perhubungan
kepada:

a. perusahaan pelayaran atau perusahaan per-veem-an yang memi- liki izin usaha berdasarkan PP No
2 Tahun 1969;

b. perusahaan-perusahaan milik warga negara R.I. yang memiliki izin impor/ekspor, perusahaan
perdagangan antar pulau berdasar- kan rekomendasi dari Menteri Perdagangan (pasal 32 PP No 2/
1969)

Sungguhpun demikian peraturan tersebut tidak menutup kemung kinan untuk mendirikan usaha
ekspedisi muatan kapal secara spe sialisasi, yakni perusahaan tersendiri terpisah dari perusahaarn per
veem-an, perusahaan pelayaran atau perusahasn lainnya seperti disebut dalam pasal 32 PP No 2
Tahun 1969 Dimaksudkan oleh PP No 2/1969 agar perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang ber-
diri sendiri ini harus diarahkan kepada peningkutannya menjadi usaha per-veem-an (penjelasan pasal
demi pasal PP No 2/1969, pasal 32).

Memperhatikan tugas ekspedisi muatan kapal laut seperti ditetap kan dalam pasal 1 PP No 2/1969
tersebut di atas, maka ekspedisi muatan kapal laut dapat mengandung sifat-sifat sebagai: ekspeditur
pengusaha transpor dan agen-duane

Kegiatan ekspedisi muatan ini tidak hanya terdapat pada peng angkutan laut saja, di bidang
pengangkutan jenis lain pun ada, misal nya di bidang pengangkutan udara, pengangkutan jalan raya
dan pada pengangkutan kereta api.

40. PERINCIAN TUGAS PER-VEEM-AN DAN SIFAT-SIFAT NYA

Telah saya bicarakan tugas per-veem-an seperti yang ditentukan dalam PP No 2/1969 yaitu: usaha
yang ditujukan pada penampungan dan penumpukan barang-barang (warehousing), yang dilakukan
dengan mengusahakan gudang-gudang, lapangan-lapangan, di mana dikerjakan dan disiapkan barang-
barang yang diterima dari kapal untuk peredaran selanjutnya atau disiapkan untuk diserahkan kepada
perusahaan pelayaran untuk dikapalkan, yang meliputi antara lain kegiatan: ekspedisi muatan,
pengepakan, pengepakan kembali, sortasi, penyimpanan, pengukuran, penandaan dar lain-lain
pekerjaan yang bersifat teknis ekonomis diperlukan perdagangan dan pelayaran.

Tugas tersebut dapat diperinci sebagai berikut:

a. Pengurusan dokumen-dokumen dan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut penerimaan dan


penyerahan barang-barang/muatan, yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada perusaha-
an pengangkutan, atau selanjutnya disampaikan kepada pemi- lik barang;

b. Pengepakan, pengepakan kembali, penandaan barang-barang untuk kepentingan lin pemilik barang
dan pengiriman selanjutnya dari barang-barang dimaksud dengan alat-alat angkutan laut;

c. Penerimaan dan penyimpanan barang-barang dalam gudang-gudang lapangan-lapangan yang


diusahakan untuk itu, dengan atau tanpa mengerjakan perubahan yang bersifat teknis pada barang-
barang dimaksud;

d. Sortasi daripada barang-barang untuk kepentingan pemilik barang;

e. Lain-lain pekerjaan yang lazim dalam tata niaga barang-barang, yang dilakukan oleh usaha-usaha
per-veem-an (pasal 2. SK Menteri Perdagangan R.I. No 122/Kp/VI/70, tanggal 8 Juni 1970).

Mengenai syarat-syarat untuk dapat diberi izin berusaha di bidang per-veem-an adalah sebagai
berikut:

1) Tenaga ahli untuk melakukan penyusunan, penyimpanan, pemin dahan dan penerimaan serta
pengepakan barang-barang dagangan untuk kepentingan pihak ketiga dan juga tenaga-tenaga ahli
dalam bidang administrasi seperti pembukuan, boomzaken dan lain-lain

2) Perlengkapt perusahaan berupa ruangan-ruangan kerja untuk me lakukan pekerjaan, ruangan-


ruangan terbuka dan tertutup serta lapangan-lapangan untuk penyimpanan barang-barang, alat peng-
angkut untuk pemindahan barang-barang dan perlengkapan yang diperlukan untuk menyusun barang-
barang dengan baik, perleng- kapan mana sekurang-kurangnya sesuai untuk keperluan peng- urusan
kurang lebih 50 m3/ton barang;

3) Mempunyai modal kerja

a) pelabuhan laut sebagai mainport Rp 5.000.000,-

b) pelabuhan laut lainnya Rp 3.000.000,-

c) pelabuhan pantai Rp 2.000.000,-

Izin usaha penyelenggaraan kegiatan per-veem-an diberikan oleh Menteri Perdagangan, sedangkan
dalam wilayah pelabuhan diberi- kan oleh Menteri Perhubungan (pasal 28 ayat (2) PP No 2/1969),
kepada perusahaan nasional yang berbentuk perseroan terbatas, yang didirikan berdasar undang-
undang Indonesia dan tidak ber tujuan untuk melakukan kegiatan perdagangan (pasal 3, SK Menteri
Perdagangan No 122/Kp/VI/70, tanggal 8 Juni 1970).

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan per-veem-an meliputi
juga kegiatan ekspedisi muatan, agen duane dan lain-lain pekerjaan yang lazim dalam tata niaga
barang barang, yang dilakukan oleh usaha-usaha per-veem-an.
BAB II PENGANGKUTAN DARAT

BAGIAN I : PENGANGKUTAN DARAT PADA UMUMNYA

SEKSI I: PENGANGKUTAN BARANG

41. BAHAN PEMBICARAAN

Bahan pembicaraan mengenai bab III, pengangkutan darat, ini dapat dibagi sebagai berikut

a. Pasal 90 sampai dengan 98 KUHD

b. Peraturan-peraturan mengenai pengangkutan dengan kereta api;

c. Peraturan-peraturan mengenai pengangkutan melalui jalan raya

d. Peraturan-peraturan mengenai pengangkutan melalui pos, telepon dan telegrap;

42. PERATURAN-PERATURAN YANG BERSANGKUTAN DENGAN PENGANGKUTAN

A.KETENTUAN-KETENTUAN DARI KUHD/KUHPER

a. Pengangkutan barang (pasal 90 sampai dengan 98 KUHD);

b.Pengangkutan orang;

B.KETENTUAN-KETENTUAN DARI LUAR KUHD/KUHPER

a. Peraturan-peraturan pokok bagi pengangkutan dengan kereta api:

1) Bepalingen betreffende het vervoer over de spoorwegen (B.V.S.- S. 1927 262);

2) S. 1939 556 (Kereta api sebagai perusahaan I.B.W.)

3) PP No 22 Tahun 1963 (LN 1963-43), Kereta api sebagai Perusahaan Negara (PNKA);

4) PP No. 61 Tahun 1971 (LN 1971-1975), Kereta api sebagai Perusahaan Jawatan (PJKA);

b. Peraturan-peraturan pokok mengenai pengangkutan melalui jalan raya

1) UU No 3 Tahun 1965 (LN 1965-25), tentang "Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya". Undang-Undang
ini adalah penggan- ti "Wegverkeerordonnantie" (S. 1933-86);

2) Wegverkeersverordening" (S. 1936-451) bsd. PP No 2 Tahun 1964 (LN 1964-5);


c. Peraturan-peraturan pokok mengenai pengangkutan pos

1) UU No 4 Tahun 1959 (LN 1959-12), tentang "Undang-Undang Pos"

2) PP No 26 Tahun 1959 (LN 1959-41), tentang "Peraturan Pos Dalam Negeri;

3) PP No. 27 Tahun 1959 (LN 1959-42), tentang "Hubungan Pos Internasional";

4) PP No 29 Tahun 1965 (LN 1965-62), tentang "Pendirian PN Pos dan Giro";

5) UU No 13 Tahun 1969 (LN 1969-53), tentang "Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia di Wina-1964".

d. Peraturan-peraturan pokok mengenai pengangkutan melalui tele komunikasi:

1) UU No 5 Tahun 1964 (LN 1964-59), tentang "Telekomuni- kasi";

2) PP No 30 Tahun 1965 (LN 1965-63), tentang "Pendirian PN Telekomunikasi";

3) PP No 35 Tahun 1965 (LN 1965-95), tentang "Pedoman Po- kok Kebijaksanaan dalam Bidang
Telekomunikasi";

4) UU No. 2 Tahun 1957 (LN 1957-15), tentang "Perjanjian Internasional mengenai Pemberitaan Jarak
Jauh"

5) UU No 10 Tahun 1969 (LN 1969-53), tentang "Konvensi Internasional Telecomunication Union" di


Montreux 1965

43. APA YANG DIMAKSUD DENGAN PENGANGKUT

Judul bagian ketiga, Bab V, buku I, KUHD berbunyi: "Van voerlieden en yan schippers, rivieren en
binnenwateren bevarende" (Tentang pengangkut darat dan pengangkut perairan darat). Di sini
"voerlieden" saya terjemahkan dengan "pengangkut darat", sedangkan "schippers rivieren en binnen
wateren bevarende" saya terjemahkan dengan "pengangkut perairan darat". Yang dimaksud dengan
"pengangkut" tersebut di atas, bukanlah "sopir" pada mobil atau "nakhoda" pada kapal atau "pilot"
pada pesawat terbang, tetapi majikan dari sopir nakhoda atau pilot tersebut, yang menjadi pihak
dalam perjanjian pengangkutan, di mana pihak lainnya adalah "pengirim". Sebagai yang telah kita
ketahui para pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah pengangkut dan pengirim. Baik pengangkut
maupun pengirim berdasarkan perjanjian tersebut mempunyai hak dan kewajibannya. Pengangkut
bertanggung jawab kepada pengirim atas semua barang barang yang dikirimkannya, sedangkan sopir,
nakhoda atau pilot, kecuali beberapa hal tersebut dalam undang-undang, tidak bertang-
gung jawab secara langsung terhadap pengirim. Kalau antara pengang- kut dan pengirim terjadi
perjanjian pengangkutan, antara sopir, nakhoda atau pilot terhadap pengangkut terjadi perjanjian
perburuh- an, yang mempunyai dua sifat, yaitu: sifat perburuhan dan sifat perm berian kuasa. Jadi,
sopir, nakhoda dan pilot merupakan buruh dari pengangkut. Sekali lagi perlu saya tekankan bahwa
pengangkut bu kanlah orang yang,menjalankan kendaraan atas perintah pengangkut tetapi
pengangkut adalah orang yang menjadi pihak dalam perjanjian pengangkutan.

44. TERJADINYA PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Tentang bagaimana terjadinya perjanjian pengangkutan itu tidak di atur dalam bagian III, buku I,
KUHD, tetapi diatur dalam bagian II, buku 1 KUHD, yaitu dalam pasal 90, yang berbunyi sebagai
berikut: "Surat muatan merupakan perjanjian antara si pengirim atau ekspe ditur pada pihak pertama,
dengan pengangkut pada pihak kedua, dan surat itu memuat selain apa yang telah disetujui oleh
kedua belah pihak, seperti misalnya mengenai waktu dalam mana pengangkutan harus telah selesai
dilakukan dan mengenai penggantian kerugian dalam hal ada kelambatan... dan seterusnya".

Beberapa catatan mengenai pasal 90 KUHD kiranya perlu diutarakan:

a. Pasal 90 KUHD itu mengenai terjadinya perjanjian pengangkutan, yang seharusnya terletak dalam
bagian III, buku I, KUHD, tetapi anehnya justru terletak dalam bagian II, buku I, KUHD, yang me- ngatur
tentang ekspeditur;

b. Pasal 90 KUHD itu menentukan bahwa surat muatan (vracht brief) merupakan perjanjian antara
pengirim dan pengangkut Jadi, menurut pasal 90 KUHD, perjanjian pengangkutan itu tidak bersifat
konsensuil, tetapi tertulis. Pada hal kenyataannya dalam praktek kita mengetahui bahwa perjanjian
pengangkutan itu ber- sifat konsensuil, artinya untuk terjadinya perjanjian pengangkutan cukup bila
telah ada persetujuan kehendak (konsensus) antara pengirim dan pengangkut, tidak perlu adanya
surat muatan vracht- brief) atau akta lain. Surat muatan seperti yang diatur dalam pasal 90 KUHD itu
hanya merupakan salah satu alat pembuktian ten tang adanya perjanjian pengangkutan. Alat
pembuktian lainnya juga mungkin dapat diajukan, misalnya: pengakuan, saksi, perki- raan Hakim dan
sumpah. Sanksi bila surat muatan itu tidak ada, perjanjian pengangkutan itu tidak ada atau batal, juga
tidak dapat ditemukan dalam rumusan pasal 90 KUHD tersebut.
Ketentuan dalam pasal 90 KUHD itu berbeda dengan ketentuan dalam pasal 38 KUHD, yang
menetapkan bahwa akta perseroan terbatas itu harus dalam bentuk otentik, kalau tidak-batal. Jadi
tanpa adanya akta otentik itu, perseroan terbatas tidak ada. Di sini jelas, akta otentik itu merupakan
bagian mutlak bagi perseroan terbatas. Lain daripada surat muatan (vrachtbrief) yang tidak
merupakan unsur mutlak daripada perjanjian pengangkutan, yang berarti bahwa tidak adanya surat
muatan tersebut, perjanjian pengangkutan tetap ada, yang dapat dibuktikan dengan alat pembuktian
lainnya.

45. PASAL 90 KUHD ADALAH SALAH RUMUS

Rumusan pasal 90 KUHD berbunyi sebagai berikut: "Surat muatan merupakan perjanjian antara si
pengirim atau ekspeditur pada pihak pertama, dengan pengangkut pada pihak kedua, dan surat itu
memuat selain apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti misal nya mengenai waktu
dalam mana pengangkutan harus telah selesai dilakukan dan mengenai penggantian kerugian dalam
hal kelambat- an dan seterusnya." Dari rumusan itu dapat disimpulkan bahwa tanpa surat muatan,
berarti tidak ada perjanjian pengangkutan. Hal ini tidak sesuai dengan rumusan pasal 90 ayat (1)
nomor 6 KUHD, di mana ditetapkan bahwa surat muatan itu harus memuat juga: tanda tangan si
pengirim atau ekspeditur, sedangkan tanda tangan si pengangkut tidak disebut. Dari rumusan pasal
90 ayat (1) no: 6 KUHD tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa surat muatan itu dianggap cukup
ditanda tangani oleh pengirim atau ekspeditur saja, jadi, hanya merupakan surat keterangan sepihak.
Kalau surat muatan itu dimak- sudkan sebagai perjanjian pengangkutan, maka surat muatan itu harus
ditandatangani oleh pengirim atau ekspeditur atas namanya dan pengangkut sebagai lawan pihaknya.

Bila apa yang dirumuskan dalam pasal 90 ayat (1) itu benar, yak- ni surat muatan merupakan perjanjian
antara si pengirim dan si pengangkut, maka surat muatan itu harus ditanda tangani oleh pe- ngirim
dan pengangkut. Karena rumusan pasal 90 ayat (1) nomor 6 itu jelas, bahwa surat muatan itu harus
hanya ditandatangani oleh si pengirim atau ekspeditur saja, maka surat muatan itu bersifat se bagai
surat pengantar saja, yang baru merupakan tanda bukti adanya perjanjian pengangkutan, bila surat
muatan itu juga sudah ditanda- tangani oleh pengangkut atau wakilnya sebagai tanda terima. Maka
dengan ini dapat diambil kesimpulan bahwa pasal 90 ayat (1) KUHD itu salah rumus, karena jelas
bahwa surat muatan itu bukan merupa- kan perjanjian pengangkutan.
46 PENDAPAT MOLENGRAAFF DAN POLAK MENGENAL SURAT MUATAN

Molengraaff,') berpendapat bahwa surat muatan sebagai yang di- sebut dalam pasal 90 KUHD itu
adalah surat pengantar terbuka yang ditujukan kepada pihak alamat. Sedangkan Polak, ) berpen-
dapat bahwa bila surat muatan beserta barang-barang muatannya sudah diterima dengan baik oleh
pengangkut dengan cara menaruh kan tanda tangannya dalam surat muatan itu, barulah surat muat-
an itu merupakan tanda bukti tentang adanya perjanjian pengang kutan antara pengirim dengan
pangangkut.

Saya berpendapat bahwa surat muatan sebagai yang disebut da lam pasal 90 KUHD itu adalah surat
pengantar biasa, yang dituju- kan kepada pengangkut, agar barang-barang yang disertakan dengan
surat muatan itu disampaikan kepada penerima. Bilamana surat muatan itu sudah diterima oleh
pengangkut beserta barang-barang- nya, dan pengangkut menaruh tanda tangan beserta cap jabatan-
nya dalam surat muatan itu, maka surat muatan itu sekarang meru pakan tanda bukti adanya
perjanjian pengangkutan. Di sini saya katakan bahwa surat muatan itu merupakan tanda bukti, bukan
merupakan perjanjian pengangkutan itu sendiri, yang berarti bukan merupakan unsur perjanjian
pengangkutan, yang dapat berakibat, bila surat muatan itu tidak ada, maka perjanjian pengangkutan
itu juga tidak ada. Pada hal perjanjian pengangkutan itu bersifat kon- sensuil, artinya cukup, bila sudah
ada kesepakatan kehendak (kon- sensus) saja. Jadi, tidak diperlukan adanya bukti surat, semacam
surat muatan tersebut.

47 FAEDAH SURAT MUATAN

Pengangkut sebagai pihak dalam perjanjian pengangkutan berhak minta surat muatan sebagai yang
dimaksud dalam pasal 90 ayat (1) KUHD kepada pengirim, agar dia dapat meneliti barang-barang apa
saja yang diangkut dan apakah barang-barang itu telah dibungkus dengan rapi. Bila barang-barang itu
sudah angkut dapat minta kepada pengirim agar dalam surat muatan itu ditulis hal-hal yang menjadi
catatan pengangkut mengenai barang- barang muatan dipandang dari luar, misalnya: pembungkusan
atau pengepakkannya kurang rapi, bau busuk masih dapat dicium dari luar, pembungkusnya sebagian
rusak dan lain-lain. Untuk meng-

1).Molengraaff, Leidraad, IV, druk 9, bl. 909;

2)Polak, Handboek, II, le stuk. 1e druk, bl. 20,


hindari hal-hal yang sulit di belakang hari, bagi mudahnya peng angkut menulis dalam surat muatan
itu suatu kalimat yang berbunyi: "Telah menerima, pada zahirnya dalam keadaan baik, barang-barang
dari ....... dan seterusnya." Ini berarti bahwa pengangkut telah me- nerima barang-barang, yang bila
dilihat dari luar tampak baik. Jadi, apa dan bagaimana yang ada dalam bungkusan, pengangkut tidak
bertanggung jawab. Surat muatan tanpa catatan apa-apa dari peng- angkut dinamakan surat muatan
bersih (schoone vrachtbrief).

48. ISI SURAT MUATAN

Isi surat muatan itu mengenai:

a. Barang-barang muatan: nama, jumlah, berat, ukuran, merek dan lain-lain;

b. Alamat dan nama penerima, yaitu, orang kepada siapa barang itu dikirimkan;

c. Nama dan tempat kediaman pengangkut

d. Uang angkutan;

e. Tanggal dibuatnya surat muatan itu

f. Tanda tangan pengirim

g. Klausula

Menurut pasal 90 ayat (2) KUHD, ekspeditur diwajibkan mencatat surat muatan itu dalam register
hariannya. Sayang undang-undang tidak mewajibkan pengangkut juga mencatat surat muatan itu
dalam register hariannya sebagai halnya ekspeditur. Hal ini penting sekali bagi pengangkut, apa lagi
bila mana ada tuntutan kepada pengangkut mengenai barang yang diangkutnya, apakah kurang
jumlahnya, rusak atau hilang

49. FUNGSI SURAT MUATAN

Surat muatan itu biasanya dikeluarkan atas nama, akibatnya tidak mudah dipindah-tangankan kepada
orang lain. Memang surat muat- an itu tidak dimaksudkan untuk dapat diperalihkan kepada orang lain.
Kalau memang dikehendaki agar surat muatan itu dapat diper- alihkan kepada orang lain, maka surat
muatan itu harus diganti dengan surat berharga, yaitu: konosemen (cognossement) seperti yang
diatur dalam pasal 504 ayat (1) KUHD.

Menurut pasal 90 KUHD, surat muatan itu hanya ditandatangani oleh pengirim atau ekspeditur. Dalam
hal ini surat muatan itu ber- fungsi sebagai surat pengantar bagi barang yang akan dimuat atau dikirim.
Surat muatan macam ini belum dapat dipandang sebagai tanda bukti adanya perjanjian
pengangkutan. Baru, setelah surat
muatan beserta barang yang akan dimuat itu diterima oleh peng- angkut atau kuasanya, dan
pengangkut memberi tanda tangan pene- rimaan atas barang muatan itu, maka surat muatan itu
merupakan alat pembuktian bagi adanya perjanjian pengangkutan.

50. APAKAH SURAT MUATAN OTOMATIS MENGIKAT PE NGANGKUT

Surat muatan atau "vrachtbrief" itu tidak secara otomatis mengi- kat pengangkut, karena surat itu
hanya ditandatangani oleh pengi- rim atau ekspeditur saja (pasal 90 ayat (1) sub 6 KUHD). Bila surat
muatan beserta muatannya itu diterima oleh pengangkut dan peng- angkut menaruhkan
tandatangannya dalam surat muatan itu, maka surat muatan merupakan tanda bukti adanya
perjanjian pengang kutan. Untuk kepentingannya si pengirim dapat minta tembusan (duplikat) surat
muatan itu. Setelah sampai di tempat tujuan, ba- rang-barang muatan beserta surat muatan
diserahkan kepada penerima yang bersangkutan. Surat muatan yang sudah ditandatangani peng
angkut, mengikat secara otomatis kepada pengangkut, karena surat muatan itu sudah menjadi tanda
bukti adanya perjanjian pengangkut- an. Jadi, baik pengirim, maupun pengangkut terikat pada isi per
janjian pengangkutan itu.

51. KEWAJIBAN-KEWAJIBAN PARA PIHAK

Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan ialah: pengirim atau eks- peditur dan pengangkut.
Kewajiban pengangkut ialah mengangkut atau menyelenggarakan pengangkutan barang dari tempat
pemuat an sampai tempat tujuan dengan selamat, agar barang muatan itu dapat diserahkan kepada
penerima dengan lengkap dan utuh, tidak rusak atau kurang, ataupun tidak terlambat (pasal 1235 jo
1338 ayat (1) dan (3) KUHPER). Sebagai kontra prestasi penerima ber- kewajiban membayar uang
angkutan (pasal 491 KUHD) dan ongkos- ongkos lain yang telah diperjanjikan. Tentang uang angkutan
dapat diperjanjikan lain, misalnya dengan dibayar lebih dulu oleh pengirim sesuai dengan perjanjian
yang mendasari pengiriman barang itu (ingat: pengangkutan atau perjanjian jual beli perusahaan
dengan janji khu- sus (beding) c.i.f.)

Pasal 94 KUHD memberi jaminan pembayaran uang angkutan, meskipun barang-barang ditolak oleh
penerima atau menjadi per- selisihan. Prosedur volunter untuk mendapat jaminan itu harus melalui
Hakim Pengadilan Negeri. Bila tukup alasan, Hakim dapat memerintahkan pemeriksaan ekspertise
(pemeriksaan keahlian), sedang-
kan barang-barang atas perintah Hakim dapat disimpan di gudang yang baik. Atas permohonan
pengangkut, sesudah mendengar pen- dapat si penerima, Hakim dapat memerintahkan menjual
secara le- lang barang-barang muatan, terutama yang lekas rusak atau busuk untuk melunasi gugatan
pengangkut tentang uang angkutan dan ong- kos-ongkos lain.

Kewajiban pengangkut sebagai diuraikan di atas itu sebetulnya sudah terkandung dalam pasal 1235
KUHPER, yang menetapkan bahwa dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk di
dalamnya suatu kewajiban untuk menyerahkan dan menjaga sesuatu (barang-barang) itu sebagai
seorang bapak yang baik. Dan bila ada pihak yang tidak memenuhi kewajibannya, maka dia dapat
dibebani ganti rugi, biaya dan bunga (pasal 1236 bsd 1243 KUHPER).

Biasanya pengirim menyerahkan tugasnya kepada ekspeditur untuk mengirimkan barang-barangnya,


karena dia sendiri sangat sibuk dengan urusannya. Dalam hal ini yang menjadi pihak dalam perjan-
jian pengangkutan ialah ekspeditur dan bukan pengirim. Bila eks peditur menjadi pihak dalam
perjanjian pengangkutan, maka antara pengirim dan ekspeditur terjadi perjanjian ekspedisi, yang hak
dan ke- wajibannya diatur dalam pasal 86 sampai dengan 90 KUHD. Di sini ekspeditur bertanggung
jawab kepada pengirim tentang pengiriman- barangnya. Sedangkan dalam perjanjian pengangkutan
yang ditutup- nya dengan pengangkut, hak dan kewajiban antara para pihak diatur dalam pasal 91
sampai dengan 98 KUHD. Dalam hal ini pengangkut bertanggung jawab kepada ekspeditur.

52. TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Telah saya katakan bahwa kewajiban pengangkut ialah menyelengga- rakan pengangkutan barang
mulai dari tempat pemuatan sampai tempat tujuan dengan selamat. Kalau tidak selamat, menjadi
tanggung jawab pengangkut. Bila penyelenggaraan pengangkutan tidak selamat, akan terjadi dua hal,
yaitu barangnya sampai di tempat tujuan tidak ada (musnah) atau ada, tetapi rusak, sebagian atau
seluruhnya. Barang tidak ada, mungkin disebabkan karena terbakar, tenggelam, dicuri orang, dibuang
di laut dan lain-lain. Barang rusak sebagian atau seluruhnya, meskipun barangnya ada, tetapi tidak
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Kalau barang muatan tidak ada atau ada tetapi rusak,
menjadi tanggung jawab pengangkut, artinya pengangkut harus membayar ganti kerugian terhadap
barang yang musnah atau rusak tersebut, kecuali kalau kerugian itu timbul dari 4 macam sebab
sebagai tersebut di bawah ini, yaitu:
a.keadaan memaksa (overmacht atau force majeure);

b. cacat pada barang itu sendiri;

c. kesalahan atau kelalaian si pengirim atau si ekspeditur (pasal 91 KUHD)

d. keterlambatan datangnya barang di tempat tujuan, yang disebab- kan karena keadaan memaksa
(pasal 92 KUHD); dalam hal in barang tidak rusak atau musnah

Sebetulnya ketentuan-ketentuan dalam pasal 92 KUHD itu sudah dapat disimpulkan dari pasal 1244
dan 1245 KUHPER. Ketentuan ketentuan dalam pasal 92 KUHD itu lebih menjelaskan dalam bidang
hukum dagang dan sesuai dengan adagium "lex specialis derogat lex generali"

Tanggung jawab di sini dalam bentuk perikatan yang mewajib kan penanggung jawab untuk mengganti
kerugian kepada pihak ke- tiga, bila terjadi kerugian yang disebabkan karena sebab-sebab yang
menjadi tanggung jawab pengangkut, yang disebut oleh undang- undang

53. PENGANGKUT DAPAT MENOLAK TUNTUTAN PIHAK LAWAN

Pasal 1244 KUHPER menentukan bahwa pengangkut, bilamana cukup alasan, dapat dituntut
membayar ganti rugi, biaya dan bunga, kalau dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak
dilaksanakannya, tidak sempurna atau tidak tepat waktu dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan
karena suatu peristiwa yang tidak dapat diduga lebih dulu dan tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya, serta pula tidak ada iktikad buruk padanya. Jadi, secara a contrario dapat di- simpulkan
bahwa pengangkut dapat menolak tuntutan pihak lawan, bilamana pengangkut dapat membuktikan:

a. tidak dilaksanakannya;

b. tidak sempurna dilaksanakannya, atau

c. tidak tepat waktu pelaksanaan perikatan itu disebabkan karena suatu peristiwa yang tidak dapat
diduga lebih dulu dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Penolakan pengangkut
tersebut tidak berhasil. bila pihak lawan bisa membuktikan adanya iktikad buruk pada pengangkut.
Iktikad baik dianggap ada pada tiap-tiap perbuatan, sedang iktikad buruk (jahat) harus dibuktikan
adanya pihak lawan (pasal 533 dan 1965 KUHPER)

Tetapi, berdasarkan pasai 91 KUHD, pengangkut dapat menolak tuntutan pihak lawan, bila peristiwa
yang menimbulkan kerugi an itu disebabkan karena:
1) cacat pada barang itu sendiri

2) kesalahan atau kealpaan pengirim atau ekspeditur;

3) keadaan memaksa (overmacht, force majeure)

Sebab-sebab tersebut di atas harus dibuktikan adanya oleh peng- angkut. Persoalan mana di antara
pasal 1244 KUHPER dan pasal 91 KUHD yang berlaku bagi peristiwa tersebut, maka kita harus
mengingat adagium "lex specialis derogat lex generali", yang terjelma dalam pasal 1 KUHD., dari mana
dapat ditentukan bahwa pasal 91 KUHD adalah "lex specialis", jadi, yang berlaku bagi peristiwa ter
sebut di atas. Hal-hal yang tersebut dalam pasal 91 KUHD ini akan saya bicarakan secara terperinci
dalam pelajaran berikut.

54 PERSELISIHAN TENTANG PRESTASI

Bila ada perselisihan tentang prestasi, tidak dilaksanakannya sama sekali, kurang sempurna atau tidak
tepat waktu pelaksanaannya, yang diajukan dan diperiksa di muka Hakim, pihak penerima-penggugat
di- anggap cukup dengan mendalilkan bahwa prestasi, sama sekali tidak di- laksanakan, kurang
sempurna atau tidak tepat waktu pelaksanaan- nya, dan menuntut ganti kerugian. Penerima-
penggugat tidak perlu mendalilkan atau membuktikan kesalahan atau kelalaian pengangkut- tergugat.

Sebaliknya, pengangkut-tergugat dapat mengemukakan dan mem buktikan hal-hal yang dapat men-
diskulpir (memaafkan) dirinya, yakni hal-hal yang dapat melenyapkan kulpa (kesalahan atau ke lalaian)
pengangkut-tergugat. Diskulpasi menurut undang-undang terkandung dalam pasal 1244 KUPER dan
pasal 91 KUHD. Ingat bahwa iktikad baik selalu dianggap ada pada setiap perbuatan, ke cuali bila
dibuktikan sebaliknya (pasal 533 bsd. 1965 KUHPER), ini berarti bahwa iktikad jahat harus dibuktikan
adanya oleh lawan.

55. CACAT PADA BARANG DAN KELALAIAN PENGIRIM

Menurut pasal 91 KUHD, pengangkut (darat atau perairan darat) harus menanggung segala kerusakan
yang terjadi pada barang-ba- rang setelah diterimanya untuk diangkut, kecuali kerusakan-keru- sakan
yang diakibatkan karena cacat pada barang itu sendiri, karena keadaan yang memaksa atau karena
kesalahan atau kelalaian pengirim atau ekspeditur

Dengan cacat ini dimaksudkan sifat pembawaan (eigenschap) dari barang itu sendiri, yang
menyebabkan rusak atau terbakarnya barang dalam perjalanan. Lain halnya, bila kerusakan atau
terbakarnya barang itu disebabkan karena salah penempatan atau kelalaian peng-
angkut, maka kerugian ini dibebankan kepada pengangkut.

Hal lain yang dapat menjadi alasan bagi pengangkut untuk me- nolak tuntutan pengirim ialah
"kelalaian atau kesalahan" pengi- rim atau ekspeditur, misalnya: cara mengepaknya kurang sempurna
sehingga mudah dimasuki air laut. Dalam hal pengangkut mengetahui kesalahan atau kelalaian
pengirim atau ekspeditur itu, dia harus menolak atau memperingatkan atau paling sedikit menyuruh
agar dicatat dalam surat muatan bahwa pengepakannya kurang sempurna, dan lain-lain.

56. KEADAAN MEMAKSA

Unsur ketiga, yang dapat dipakai alasan oleh pengangkut untuk me nolak tuntutan pengirim atau
ekspeditur ialah "keadaan memaksa" (overmacht, force majeure). Pengertian ini dalam pasal 91 dan
92 KUHD disebut: keadaan memaksa (overmacht), tetapi dalam pasal 1245 KUHPER pengertian
tersebut disebut: keadaan memaksa atau peristiwa kebetulan (overmacht of door toeval).

Menurut Molengraaff, 3) Polak 4) dan Prof. Soekardono 5) dua istilah itu adalah sama, karena dua-
duanya bila ternyata dapat di buktikan, pengangkut-tergugat bebas dari tanggungjawabnya. Bahwa
kedua istilah itu mempunyai pengertian yang sama, dapat juga disimpulkan dari rumusan pasal 1244
KUHPER, yang mempergu- nakan istilah: sebab yang tidak dapat diduga semula (vreemde oorza- ak).
Bila "sebab yang tidak dapat diduga semula" itu berhasil dibuk- tikan, maka pengangkut-tergugat
dibebaskan dari tanggungjawabnya.

57. KEADAAN MEMAKSA OBYEKTIF DAN SUBYEKTIF

Dalam membuktikan adanya keadaan memaksa, dapat ditempuh duz jalan, yaitu:

a. Apakah benar-benar sama sekali tidak ada kesalahan atau kelalai an pada pengangkut-debitur. Jalan
atau cara ini disebut cara yang "obyektif." Jadi, keadaan di sini bersifat obyektif. Cara ini adalah sangat
berat bagi pengangkut-debitur.

b. Apakah dalam keadaan konkrit, pengangkut-debitur telah berusaha sejauh mungkin untuk
mencegah datangnya kerugian, meskipun usaha itu tidak berhasil. Cara ini disebut cara "subyektif,"
dan keadaan memaksa di sini disebut keadaan memaksa subyektif. Dalam hal ini pembentuk undang-
undang condong pada cara

3)Molengraaff, Leidraad, IV,drk 9, bl. 913;

4)Polak, Handboek, II, le stuk, le druk. bl. 28; )

5), Hukum D.I.. I, Bagian Pertama, halaman 28:


yang kedua, yakni keadaan memaksa yang subyektif, karena dalam pasal 468 ayat (2) dan pasal 522
ayat (2) KUHD, istilah "overmacht" atau "toeval" tidak ada. Dalam kedua pasal tersebut istilah
"overmacht" diganti dengan "toeval, dat hij redelijkerwijze niet heeft kunnen voorkomen of
afwenden" (suatu malapetaka, yang sepa tutnya dia tidak dapat mencegah atau menghindari) dapat
diambil kesimpulan bahwa pembentuk undang-undang meng- hendaki adanya keadaan memaksa
yang subyektif dalam KUHD Dari sini

58. SIAPA YANG HARUS BERAKSI

Bila prestasi sama sekali tidak, kurang sempurna atau tidak tepat wak tu melaksanakannya, di antara
pengirim dan penerima siapa yang harus beraksi?

a. Si penerima berhak mengadakan aksi, bila dia telah menyatakan kehendaknya untuk menerima
barang-barang muatan. Apa lagi kalau dari awal mula telah ditetapkan dalam perjanjian bahwa si
penerimalah yang harus membayar uang angkutan;

b. Bila halnya tidak seperti tersebut di atas, maka si pengirimlah yang berhak mengajukan perkaranya
di muka Hakim. Kalau yang men- jadi pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah ekspeditur, maka
ekspediturlah yang harus beraksi.

Pada umumnya mengenai siapa yang harus beraksi, kita dapat mempergunakan kriterium, siapa di
antara pengirim dan penerima yang menurut kenyataannya menderita kerugian, sebagai akibat lang
sung dari tidak terlaksananya prestasi dalam perjanjian pengangkutan. dialah yang berhak beraksi.

59. LUAS DAN BATAS LUAS TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan oleh pasal 1236 dan 1246 KUHPER. Pasal 1236 KUHPER
menentukan, pengangkut wajib memberi ganti rugi atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang
layak diterimanya, bila dia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk
menyelamatkan barang-barang muatan.

Pasal 1246 KUHPER menentukan, biaya, kerugian dan bunga itu pada umumnya terdiri atas kerugian
yang telah dideritanya dan laba yang sedianya akan diterimanya. Kerugian yang harus diganti ialah
misalnya: harga pembelian barang, biaya pengiriman barang dan laba yang layak diterimanya.

Luas tanggung jawab pengangkut tersebut di atas dibatasi oleh pasal 1247 KUHPER dan pasal 1248
KUHPER, yaitu
a. Kerugian tersebut ialah kerugian yang dapat diperkirakan secara layak pada saat timbulnya
perikatan;

b. Kerugian itu harus merupakan akibat yang langsung dari tidak ter laksananya perikatan dari
perjanjian pengangkutan.

Meskipun pengangkut-debitur melakukan penipuan yang merugi- kan penerima atau pengirim, beban
tanggung jawab untuk menggan ti kerugian oleh pengangkut-debitur terbatas dengan ketentuan-
keten tuan tersebut di atas.

60. PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN TANGGUNG JA WAB PENGANGKUT

Pengurangan tanggung jawab pengangkut hanya mungkin bila ada persetujuan dari pengirim atau
penerima (pasal 1320 KUHPER). Sedangkan penghapusan tanggung jawab pengangkut adalah tidak
mungkin, bila ada unsur kesengajaan atau ketidakjujuran pengangkut (pasal 23 A.B. bsd 1338
KUHPER). Pasal 23 A.B. berbunyi: "Door geene handelingen of overeenkomsten kan aan de wetten,
die op de publieke orde of goede zeden betrekking hebben, hare kracht ontnomen worden." (Pada
ketentuan undang-undang yang mengenai ketertiban umum dan kesusilaan tidak boleh dihilangkan
kekuatan nya dengan perbuatan atau perjanjian)

Adanya klausula pengurangan atau penghapusan tanggung jawab pengangkut itu boleh saja, asal
klausula itu disetujui kedua belah pi- hak (pasal 1320 sub 1 KUHPER yang berbunyi: "Untuk adanya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1e. adanya kesepakatan antara mereka yang mengikatkan dirinya; 2e. dsl. "Hal ini mungkin terjadi,
karena pasal 91 dan 92 KUHD itu bukan hukum memaksa (dwingenrecht). Klausula itu tidak perlu
tertulis dalam akta perjanjian pengangkutan, cukup bila pengirim sudah mengetahuinya. Dianggap
pengirim atau penerima sudah me ngetahuinya, bila klausula itu sudah ada dan telah diumumkan sebe
bun perjanjian pengangkutan itu terjadi.

Perlu kiranya diperingatkan bahwa segala macam perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad
baik, sebagai ditentukan dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPER yang berbunyi: "Perjanjian harus dilak
sanakan dengan iktikad baik (kejujuran). "Ketentuan ini adalah keten- tuan yang bersifat memaksa
(dwingenrecht), yang akibatnya menurut pasal 23 A.B. tersebut di atas, tidak boleh dihilangkan
kekuatannya dengan suatu perbuatan atau suatu perjanjian
61. KLAUSULA PENGURANGAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Adanya pengurangan tanggung jawab pengangkut menambah risiko pengirim, karena mengurangi hak
pengirim untuk menuntut ganti ke- rugian. Pengurangan tanggung jawab pengangkut tersebut
diadakan dengan maksud untuk mengurangi uang angkutan. Jadi, di samping pengirim atau penerima
risikonya bertambah, uang angkutan yang ha- rus dibayar oleh pengirim atau penerima menjadi
kurang. Meskipun tindakan ini mengandung sifat keseimbangan, tetapi keseimbangan ini jangan
sedemikian rupa, sehingga barang-barang muatan tidak ter jamin keselamatannya. Untuk itulah
pembentuk undang-undang mencampuri persoalan tersebut. Campur tangan pembentuk undang
undang ini dalam hukum laut sudah ada, yaitu dalam pasal 470 dan seterusnya. KUHD bagi
pengangkutan barang, dan pasal 524 dan seterusnya KUHD untuk pengangkutan orang

Pengurangan tanggung jawab pengangkut itu sudah terang merugi kan penerima atau pengirim, dari
itu penerima dan pengirim layak mendapat perlindungan dari pembentuk undang-undang. Untuk
peng- angkutan di darat perlu sekali adanya pasal-pasal semacam 470 dan 524 KUHD tersebut.
Perlindungan kepada pengirim atau penerinma ini perlu sekali, mengingat bahwa kedudukan
ekonomis pengirim atau penerima dalam perjanjian pengangkutan kalah kuat daripada pengangkut.

Pasal 470 ayat (1) KUHD, melarang pengangkut memperjanjikannya:

a. dia, sama sekali tidak bertanggung jawab, atau

b. hanya mau mengganti rugi tiap-tiap koli terbatas pada suatu jum lah tertentu, tethadap kerugian-
kerugian yang disebabkan karena:

1) kurang diusahakannya pemeliharaan, perlengkapan atau per- anakbuahan alat pengangkutan, atau

2) kurang diusahakan kelaikan (kesanggupan) alat pengangkutnya untuk dipakai menyelenggarakan


pengangkutan menurut perjanjian, atau karena:

3) salah memperlakukannya atau kurang penjagaannya terhadap barang yang diangkut.

Menurut pasal 470 ayat (1) KUHD tersebut, larangan kepada pengangkut untuk sama sekali tidak
bertanggung jawab atau hanva mau mengganti kerugian tiap-tiap koli terbatas pada suatu jumlah ter
tentu itu bersyarat, sebagai yang tersebut dalam angka 1), 2) dan 3) tersebut di atas. Kalau syarat-
syarat tersebut tidak ada, maka menurut hemat saya larangan tersebut tidak berlaku. Jadi, secara a
con-
trario dapat dikatakan kalau:

a) pemeliharaan, perlengkapan atau peranakbuahan alat pengangkutannya;

b) kelaikan (kesanggupan) alat pengangkutnya untuk dipakai me- nyelenggarakan pengangkutan


menurut perjanjian;

c) penjagaan terhadap barang yang diangkut; telah diusahakan oleh pengangkut dengan sebaik-
baiknya dan tidak salah melakukannya, maka pengangkut dapat saja memperjanjikan dia tidak
bertanggung jawab sama sekali atau hanya mau memberi ganti rugi tiap-tiap koli terbatas pada suatu
jumlah tertentu. Hal tersebut, menurut hemat saya memang sudah dikawekani oleh pembentuk
undang-undang dengan adanya kalimat terakhir pada pasal 470 ayat (1) KUHD tersebut di atas yang
berbunyi: "Janji- janji yang bermaksud demikian, adalah batal." Jadi, kalau pengang- kut telah
memperjanjikan sama sekali tidak bertanggung jawab, karena dia yakin tidak adanya kenyataan-
kenyataan sebagai disebut dalam angka 1), 2) dan 3) tersebut, tetapi ternyata dalam perja- lanan pada
waktu mengangkut barang, salah satu kenyataan terse- but itu ada, maka klausula yang menyatakan
bahwa pengangkut sama sekali tidak bertanggung jawab atau hanya mau memberi ganti rugi tiap-tiap
koli terbatas pada jumlah uang tertentu itu batal.

Meskipun ada kemungkinan bagi pengangkut untuk memperjan- jikan sama sekali tidak bertanggung
jawab, tetapi dalam praktek tidak ada pengangkut yang berbuat demikian, sebab para pengirim tentu
akan memilih pengangkut yang bertanggung jawab terhadap barang- barangnya, walaupun uang
angkutannya agak tinggi. Dengan keadaan begini, maka pengangkut yang sama sekali tidak mau
bertanggung jawab akan kehilangan banyak langganan, yang dapat merugikan peru- sahaannya.
Persoalan mengenai pengangkut yang memperjanjikan tidak bertanggung jawab sama sekali itu
memang diperbolehkan dalam undang-undang, yaitu dalam ayat (3) pasal 470 KUHD, yakni bila sifat
dan nilai barang dengan sengaja diberitahukan secara keliru. Persoalan mengenai pengangkut yang
memperjanjikan hanya akan mengganti kerugian tiap-tiap koli dengan satu jumlah uang tertentu juga
diperbolehkan dalam undang-undang, yaitu dalam ayat (2) pasal 470 KUHD, kecuali kalau sifat dan
harga barang muatan itu sudah di beritahukan kepada pengangkut pada waktu penerimaannya

62. BOLEHKAH PENERIMA MENOLAK BARANG YANG DI ALAMATKAN KEPADANYA

Bila barang-barang muatan ada yang rusak atau tidak lengkap jum-
lahnya, apakah penerima dapat menolak dengan cara membiarkan barang-barang itu berada pada
pengangkut dan penerima lalu menun tut ganti rugi atas semua barang muatan, seperti halnya
bilamana pengangkut sama sekali tidak berprestasi?

Tuntutan penerima tersebut sepatutnya ditolak, karena tidak se- suai dengan azas yang tercantum
dalam pasal 1246, 1247 dan 1248 KUHPER. Azas itu membatasi tanggung jawab pengangkut yang bo-
leh dibebankan kepadanya, yaitu hanya kerugian yang betul-betul atau nyata-nyata ada pada waktu
itu. Dengan ini berarti bahwa pem- bentuk undang-undang tidak mengizinkan adanya orang yang ingin
memperkaya diri dengan cara melawan hukum (onrechtvaardiae verrijking).

63 KAPAN PENERIMA TIDAK BERHAK LAGI MENUNTUT GANTI KERUGIAN

Pasal 93 KUHD mengatur barang-barang muatan yang sampai di tem- pat tujuan dalam keadaan
kurang atau rusak. Kalau keadaan itu dapat dilihat dari luar, toh penerima telah menerimanya dengan
baik, se- dangkan uang angkutan telah dibayar, maka menurut pasal 93 KUHD tersebut si penerima
tidak berhak lagi untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan perjanjian pengangkutan (pasal 93 ayat
(1) KUHD)

Jadi, kalau barang muatan itu tampak dari luar ternyata kurang atau rusak, tetapi penerima toh
menerimanya dengan baik dan uang angkutan telah dibayar juga, maka penerima kehilangan hak
untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan perjanjian pengangkutan. Ke tentuan ini mendorong
kepada penerima agar dia bertindak dengan sekedar ketelitian yang layak. Bila dia melihat bahwa
barang-barang- nya kurang atau rusak, maka dia dapat menolaknya atau tidak membayar uang
angkutannya.

64. BAGAIMANA KALAU KERUSAKAN ATAU KURANGNYA BARANG ITU TIDAK TAMPAK DARI LUAR

Bila kerusakan atau kurangnya barang itu tidak tampak dari luar, jadi, penerima tidak dapat
melihatnya sekali pandang dari luar, maka hal yang demikian itu disebut "cacat tersembunyi." Jika ada
hal yang demikian itu, yakni cacat tersembunyi, maka penerima mendapat waktu dua kali duapuluh
empat jam untuk menuntut pemeriksaan ekspertise (pemeriksaan oleh para ahli) kepada Hakim
Pengadilan Negeri setempat (pasal 93 ayat (2) KUHD)

Prosedur pemeriksaan bersifat volunter dan cukup dengan mengajukan surat permohonan sederhana
agar diadakan pemeriksaan
ekspertise terhadap barang-barang muatan yang bersangkutan (pasal 94 KUHD). Ketentuan ini
mendorong penerima untuk lekas-lekas membuka bungkusan barang-barang muatan yang
diterimanya dan memeriksanya secara teliti. Perlu diingat bahwa pemeriksaan ekspertise itu
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dari itu permin- taan pemeriksaan ekspertise ini baru dianggap
efisien bila mengenai barang-barang yang jumlah dan nilainya banyak .

65 PERLU DAN TIDAKNYA PERMINTAAN PEMERIKSAAN EKSPERTISE

Tujuan pemeriksaan ekspertise ialah untuk menetapkan jenis dan besar jumlah kerugian yang diderita
penerima karena rusak atau ku- rangnya barang-barang yang telah diterimanya dan telah dibayar uang
angkutannya. Adapun syarat mutlak bagi adanya pemeriksaan ekspertise ialah samanya barang-
barang yang dimintakan ekspertise itu dengan barang-barang yang telah diterima oleh penerima. Bila
hal itu disangkal oleh pengangkut, maka penerima harus membuktikan adanya kesamaan itu

Pemeriksaan ekspertise dianggap tidak perlu, bila:

1. nilai barang muatan yang akan dimintakan pemeriksaan ekspertise itu begitu kecil, sehingga tidak
seimbang dengan biaya ekspertise yang besar itu

2. pengangkut telah mengakui adanya kerusakan atau kekurangan yang diberitahukan oleh penerima
kepadanya itu.

Tenggang waktu untuk minta pemeriksaan ekspertise itu hanya dua kali 24 jam. Sesudah tenggang
waktu tersebut lampau, penerima ma- sih diperkenankan mengajukan permintaan pemeriksaan
ekspertise, kalau alasan-alasan keterlambatan itu dapat diterima oleh Hakim. Kalau alasan-alasan itu
tidak dapat diterima, maka permintaan pene- rima ditolak

66 TUNTUTAN GANTI RUGI KARENA KETERLAMBATAN

Bila barang muatan itu terlambat datangnya di tempat tujuan, sehing ga mengakibatkan kerugian,
maka penerima dapat menuntut ganti rugi kepada pengangkut atas dasar pasal 95 KUHD atau pasal
1365 KUHPER

a. Pasal 95 KUHD berbunyi: "Segala hak untuk mengajukan gugatan kepada ekspeditur atau
pengangkut, karena hilangnya barang seluruhnya atau karena terlambat penyampaiannya atau pula
karena rusak, berdaluwarsa setelah tenggang waktu selama satu tahun ........ dan seterusnya." Syarat
untuk penuntutan ini ialah bahwa ke-
terlambatan datangnya barang-barang muatan itu menimbulkan ke- rugian bagi penerima. Kerugian
itu terjadi misalnya, karena teng- gang waktu untuk menjual barangbarang itu dengan keuntungan
besar telah lampau, justru karena barangnya terlambat datang Ketika barang-barang muatan itu
datang, masa penjualan secara untung telah lampau (di luar musim)

b. Penuntutan ganti kerugian dapat didasarkan atas pasal 1365 KUHPER, dimana penerima-penggugat
harus dapat membuktikan bahwa perbuatan pengangkut yang mendatangkan kerugian itu bersifat
melawan hukum. Ingat arrest H.R. tanggal 31 Januari 1919 (W.10365), tentang pengluasan pengertian
perbuatan melawan hukum. Tuntutan ex pasal 1365 KUHPER ini lebih tepat bila dipergunakan oleh
pihak di luar perjanjian pengangkutan, yang merasa dirugikan oleh pengangkut, misalnya pemilik
barang yang bukan penerima. Tuntutan ex pasal 1365 KUHPER yang di ajukan bersama-sama dengan
pasal 93 KUHD, karena barangnya rusak atau kurang, hanya mungkin bila tidak berakibat memperkaya
diri sendiri bagi si penggugat.

Dalam melakukan aksi melalui pasal 1365 KUHPER, penggugat harus mendalilkan bahwa perbuatan
pengangkut dalam mengangkut barang itu melawan hukum. Kalau dalil itu disangkal oleh peng angkut-
tergugat, maka penerima-penggugat berkewajiban membuk tikannya.

67. BILA BARANG-BARANG MUATAN DITOLAK OLEH PENERIMA

Bila barang-barang muatan ditolak oleh penerima atau mengenai ba- rang tersebut timbul
perselisihan antara penerima dan pengangkut, maka perkara itu dapat diajukan kepada Pengadilan
Negeri setempat dengan cara sederhana. Hakim yang memeriksa sesudah mendengar pengangkut,
dapat memerintahkan untuk mengadakan pemeriksaan ekspertise, menyimpan barang-barang itu
dalam gudang yang baik agar dari barang-barang muatan itu, dapat dilunasinya uang ang kutan dan
ongkos-ongkos lainnya (pasal 94 ayat (1) KUHD)

Bila di tempat itu tidak ada Pengadilan Negeri, maka permohonan itu dapat diajukan kepada Kepala
Daerah setempat (pasal 94 ayat (1) KUHD). Atas permohonan, Ketua Pengadilan Negeri atau Kepala
Daerah setempat berhak memberi kuasa untuk menjual di muka umum barang-barang yang lekas
menjadi busuk, sekedar cukup untuk melunasi uang angkutan dan ongkos-ongkos lainnya (pasal 94
ayat (2) KUHD)
68. TENGGANG PENDEK BAGI GUGATAN TERHADAP PENGANGKUT

Menurut pasal 93 KUHD, kerugian penerima yang disebabkan karena kurang atau rusaknya barang
yang tidak dapat dilihat dari luar, dapat dibuktikan dengan melalui pemeriksaan ekspertise.
Pembuktian macam ini hanya diperbolehkan bila diminta dalam tenggang waktu dua kali 24 jam
setelah barang-barang itu diterimanya. Sesudah jang- ka waktu tersebut lampau, maka penerima tidak
boleh mempergu nakan pasal 93 KUHD lagi untuk menggugat pengangkut. Dalam hal ini penerima
harus mempergunakan pasal 1967 KUHPER, yakni selama jangka waktu 30 tahun belum dilampaui,
pengangkut masih saja dapat digugat oleh penerima. Dengan pasal 93 KUHD, penerima harus
membuktikan kerugiannya dengan jalan ekspertise, tetapi dengan dasar pasal 1967 KUHPER,
penerima harus membuktikan dengan alat pembuktian yang lain, misalnya dengan surat-surat, faktur-
faktur, pengakuan dan lain-lain

Hubungan hukum antara penerima dan pengangkut adalah hubungan perniagaan, yang
membutuhkan kecepatan waktu untuk menyelesaikan segala soal. Dari itu tenggang waktu bagi
kemungkinan gugatan terhadap pengangkut diperpendek, bukan 30 tahun, tetapi satu ta- hun (pasal
95 KUHD). Bila ada gugatan dari penerima, maka peng- angkut sebagai tergugat dapat mengajukan
eksepsi peremtor (eksepsi penolakan gugatan karena lampaunya waktu satu tahun). Eksepsi peremtor
itu tidak boleh diserahkan kepada Hakim, sebab Hakim ex offisio tidak boleh menetapkan adanya
daluwarsa bagi suatu gugatan.

69. DALUWARSA PENDEK MENURUT PASAL 95 KUHD

Menurut pasal 95 KUHD, gugatan penerima terhadap pengangkut hanya mengenai sebab-sebab
kerugian: hilang seluruhnya, terlambat penyerahannya dan rusak barang-barangnya. Hal ini dapat
diuraikan lebih lanjut sebagai berikut

a. Hilang seluruhnya, termasuk bilamana tidak sampai di tempat tu juan atau diserahkan ke alamat
yang keliru. Tenggang waktu dalu- warsa mengenai hal ini dihitung mulai pada hari, pada mana peng-
angkutan seharusnya sudah selesai dilakukan.

b. Terlambat diserahkan itu terjadi bilamana penyerahan itu dilakukan sesudah melampaui waktu
yang sudah ditetapkan dalam per janjian atau melampaui tenggang waktu yang layak bagi penye rahan
barang menurut kebiasaan di tempat tujuan. Di sini tenggang waktu daluwarsa itu dimulai pada hari
sampainya barang-barang itu di tempat tujuan.
c. Kerusakan barang-barang, termasuk kehilangan sebagian. Teng- gang waktu daluwarsa dimulai pada
hari sampainya barang-barang itu di tempat tujuan.

Tenggang waktu daluwarsa ini selama satu tahun bila mengenai pengangkutan dalam wilayah
Republik Indonesia dan selama dua tahun bila mengenai pengangkutan barang-barang dari Indonesia
ke luar negeri.

Tenggang waktu pendek ini tidak berlaku dalam hal telah terjadi penipuan atau ketidakjujuran (bedrog
of ontrouw)-(pasal 95 ayat (2) KUHD). Dalam hal ini tenggang waktu tersebut menjadi 30 tahun sesuai
dengan ketentuan dalam pasal 1967 KUHPER

70 TENGGANG DALUWARSA BAGI PENGANGKUTAN DARI LUAR NEGERI KE INDONESIA

Pasal 95 KUHD hanya mengatur tenggang waktu daluwarsa bagi peng- angkutan dalam wilayah
Indonesia dan dari Indonesia ke luar negeri, tetapi bagi pengangkutan dari luar negeri ke Indonesia
tidak diatur. Mengenai hal yang terakhir ini ada 3 pendapat:

a. Molengraaff, 6) berpendapat bahwa tenggang itu sebaiknya 2 (dua) tahun

b. Dorhout Mees,7) berpendapat baliwa tenggang itu sebaiknya 2 kali 2 tahun. Jadi, dilipatkan dua
daripada tenggang yang berlaku bagi pengangkutan dari Indonesia ke luar negeri.

c. Prof. Soekardono, 8) menyetujui pendapat Molengraaff, yakni 2 tahun bagi pengangkutan dari luar
negeri ke Indonesia. Saya berpendapat bahwa pada zaman sekarang, yang segalanya bisa di- lakukan
dengan cepat, sesuai pula dengan prinsip dalam dunia perdagangan bahwa "waktu itu adalah uang,"
maka saya dapat me nyetujui pendapat Molengraaff tersebut di atas

71. GUGATAN EX PASAL 95 KUHD ITU TIDAK HANYA TERHADAP PERJANJIAN PENGANGKUTAN SAJA,
JUGA MENGENAI KENYATAAN HUKUM LAIN

Menurut Polak, 9) kata "alle" pada kalimat pasal 95 yang berbunyi: "Alle rechtsvordering tegen de
expediteur, voerman"........dan seterusnya," mengandung arti bahwa gugatan itu tidak hanya
ditujukan pada perjanjian pengangkutan saja, tetapi juga dapat ditujukan pada kenya-

6) Molengraaff, Le idraad, IV, druk 9, bl. 930

7)Dorh out Mees, Kort Begrip, 1953, bl. 322

8) Soekardono, HK. Dagang In donesia, II, Bagian Pertama, halaman 39;

9) Polak, Handboek, II, ie stuk, le druk, bl. 47;


taan hukum (rechtsfeit) lain, misalnya tertuju pada perbuatan mela- wan hukum ex pasal 1365
KUHPER. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Polak tersebut, sebab pengertian "alle" (semua)
itu tidak hanya mengenai satu kenyataan hukum saja, tetapi bisa berarti "be- berapa" kenyataan
hukum.

72. UNSUR TIDAK JUJUR PADA PENGANGKUT

Menurut pasal 95 ayat (2) KUHD, daluwarsa yang disebut dalam pasal 95 ayat (1) tidak berlaku, bila
ada unsur tidak jujur pada pengangkut Sedang menurut pasal 95 ayat (1) KUHD, pengangkut berhak
meno- lak gugatan penerima atas dasar daluwarsa. Tetapi hak ini hapus bila penerima dapat
membuktikan tidak jujurnya pengangkut dalam men jalankan kewajibannya. Istilah asli yang dipakai
dalam pasal 95 ayat (2) KUHD adalah "bedrog of ontrouw" (penipuan atau ketidak jujuran). Termasuk
dalam pengertian "ketidakjujuran" ini ialah:

a. penyelewengan;

b. tiap-tiap perbuatan yang mengandung unsur dengan sengaja tuk tidak memenuhi kewajiban
kontraktuil, meskipun kesengaja an itu tidak timbul dari alasan-alasan tercela;

c. dengan sewenang wenang dan tanpa memberi tahu kepada pengi- rim, menyerahkan barang-
barang muatan kepada alamat yang salah

Menurut Polak, 10) istilah "ontrouw" adalah "kwade trouw" (dengan iktikad buruk) dan tidak boleh
disamakan dengan "kelalaian besar." Prof. Soekardono, 11) berpendapat di sini harus ada kesengajaan
pada pengangkut untuk tidak berprestasi. Dengan demikian pengangkut tidak dapat mempergunakan
eksepsi peremtor (eksepsi mutlak) ber dasarkan daluwarsa pendek tersebut dalam pasal 95 ayat (1)
KUHD dan oleh karena itu bagi dia berlaku daluwarsa panjang seperti disebut dalam pasal 1967
KUHPER

73. PENGANGKUT DAPAT MENGGUGAT PENGIRIM ATAU PENERIMA

Sebagai imbangan bagi pasal 95 KUHD, maka pengangkut dapat meng- gugat pengirim atau penerima
mengenai uang angkutan. Hak pengang kut untuk menggugat tersebut tidak tunduk pada pasal 95
KUHD, melainkan tunduk pada pasal 1967 KUHPER dengan daluwarsa selama 30 tahun

10)Polak, Handboek 11, le stuk, le druk, bl. 47;

11)Soekardono, HDI (hukum Dagang Indonesia), II, Bagian Pertama, halaman 40:
Mengenai gugatan macam ini Prof. Soekardono, 12) berpendapat bahwa daluwarsa bagi hak
menggugat pengangkut sebaiknya disama- kan dengan yang ditentukan dalam pasal 95 KUHD, sebab
sifat kedua gugatan itu sama

74. UANG ANGKUTAN ADALAH HAK ISTIMEWA

Menurut ketentuan pasal 1139 sub 7 bsd. 1147 KUHPER, uang ang kutan dan biaya-biaya tambahan
lainnya adalah hak-istimewa (pri- vilege) atas barang-barang muatan tertentu. Hak istimewa itu
bersifat perikatan (obligator), terhadap barang-barang muatan. Meskipun barang-barang muatan itu
sudah diserahkan kepada penerimanya, sifat istimewa pada uang angkutan itu masih tetap ada.

75. KENDARAAN DAN TAMBANGAN UMUM

Menurut pasal 96 KUHD, ketentuan-ketentuan dalam bagian III, Bab V, Buku I, KUHD, berlaku juga bagi
pengusaha-pengusaha kenda- raan umum dan tambangan umum (penyeberangan dengan perahu)

Kendaraan umum ialah kendaraan-kendaraan yang memelihara hu- bungan antar kota, misalnya
antara Jakarta Cirebon, Jakarta Yogyakarta dan lain-lain,di mana orang dapat naik kendaraan tersebut
dengan membayar harga karcis (uang angkutan)

Tambangan umum ialah perahu/kapal-kapal yang memelihara hu bungan antar pulau atau antar kota
melalui laut, di mana tiap orang dapat naik dengan membayar harga tiket (uang angkutan)

Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi kendaraan umum dan tam- bangan umum tidak hanya KUHD,
Buku I, Bab V, Bagian III saja tetapi juga ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan lainnya.
Dalam pasal 96 KUHD,, "peraturan perundangan lain" itu di- sebut "peraturan khusus" (bijzondere
reglementen). Kendaraan umum dan tambangan umum itu tidak hanya mengangkut orang saja, tetapi
juga mengangkut barang-barang.

76. PENGUSAHA PENGANGKUTAN BERKEWAJIBAN MEMELIHARA DAFTAR

Pasal 96 ayat (1) kalimat akhir menetapkan bahwa pengusaha-peng usaha kendaraan umum dan
tambangan umum diwajibkan memeliha ra sebuah daftar catatan barang-barang yang diterimanya
untuk di- angkut. Daftar ini berisi jenis, jumlah, nilai dan uang angkutan. Faedah daftar itu banyak, baik
bagi pengusaha sendiri maupun bagi pihak ketiga.

12)Soekard on o, HDI, I. Bagian 1, halaman 41;


77. BARANG MUATAN BERUPA UANG, EMAS, PERMATA DAN LAIN-LAIN

Bila barang-barang muatan itu berupa emas, perak, uang, permata, mutiara, manikam, efek-efek atau
surat-surat berharga lainnya, maka si pengirim wajib menyebutkan harga (nilai) dan dia berhak
menun- tut pencatatan harga itu dalam daftar (pasal 96 ayat (2) KUHD).

Pasal 96 ayat (3) KUHD menolong pengangkut dalam hal pengirim tidak menyebutkan harga barang-
barang yang dikirim. Bila barang- barang itu rusak atau hilang dan timbul perselisihan antara
pengangkut dengan pengirim mengenai jumlah ganti rugi, maka pembuktian hanya diperbolehkan
"menurut penglihatan dari luar" (naar het uitterlijk aanzien).

Pasal 96 ayat (4) KUHD adalah untuk kepentingan pengiriman yang memberitahukan harga barang-
barangnya kepada pengangkut. Bila barang-barang itu hilang atau rusak dan tidak tercapai kesesuaian
pendapat tentang jumlah ganti rugi, maka pengirim aapat membukti- kan kerugiannya itu dengan
segala upaya pembuktian di muka Hakim. Malahan Hakim dapat mempercayai sepenuhnya atas
keterangan si pengirim di bawah sumpah. Atas dasar keterangan tersebut Hakim menaksir jumlah
ganti rugi bagi pengirim

Tanggung jawab mengenai barang-barang berharga tersebut dalam pasal 96 ayat (2) dan (3) hanya
berlaku bagi pengusaha yang menye lenggarakan pengangkutan dengan kendaraan atau tambangan
umum.

78. PASAL 91 - 98 KUHD MERUPAKAN LEX GENERALI BAGI SEMUA MACAM PENGANGKUTAN DARAT
DAN PERAIRAN DARAT

Pasal 97 KUHD berbunyi: "De beurtvaart en alle andere middelen van vervoer blijven onderworpen
aan de op dit stuk bestaande verordeningen en reglementen, voor zo verre dezelve niet met de
bepalingen van deze titel strijden." (Pelayaran gilir dan semua alat pengangkutan yang lain tunduk
pada peraturan-peraturan dan reglemen-reglemennya sendiri, selama peraturan itu tidak bertentang
an dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga ini).

Menurut Molengraaff, 13) "de beurtvaart" adalah suatu pelayaran tetap, yang dilakukan dengan kapal
antara dua tempat atau lebih Ciri khasnya pelayaran gilir ini ialah adanya rencana pelayaran yang
tetap. Jadi, pelayaran gilir dan alat pengangkutan yang lain dapat saja membuat peraturannya sendiri,
asal tidak bertentangan dengan ke

13)Mole ng raaff, Leidraad, deel4, druk 9, bl. 1356


tentuan dalam pasal 91 sampai dengan 98 KUHD. Dengan ini dapat dikatakan bahwa pembentuk
undang-undang menghendaki agar pasal 91 sampai dengan 98 KUHD merupakan peraturan umum
(lex generali) bagi semua macam pengangkutan darat dan perairan darat. Peraturan-peraturan yang
dibuat khusus bagi jenis pengangkutan ter tentu merupakan "lex specialis," yang penjabarannya
seirama dengan pasal 1 KUHD. Jenis pengangkutan yang termasuk dalam lingkungan kekuasaan
pengangkutan darat dan perairan darat ialah: pengangkutan dengan kereta api, pengangkutan melalui
jalan raya, pengangkutan sungai, pengangkutan pos, telepon dan telegram dan pengangkutan ferry

79. PASAL 91-98 KUHD TIDAK BERLAKU BAGI PENJUAL DAN PEMBELI

Pasal 98 KUHD berbunyi: "Ketentuan-ketentuan dalam bagian ini tidak berlaku terhadap hak dan
kewajiban antara pembeli dan penju al." Tampaknya ketentuan ini adalah logis, malahan dapat
dikatakan bahwa ketentuan ini berkelebihan, sebab tidak adanya pasal ini tidak akan menjadikan
berlakunya bagian ketiga ini pada perjanjian jual beli, karena perjanjian jual beli telah diatur secara
khusus dalam bab V, buku ketiga, KUHPER. Tetapi tidak mungkin tindakan pemben- tukan undang-
undang dengan menetapkan ketentuan dalam pasal 98 KUHD itu tanpa rasio. Dengan ini maka dapat
dipersoalkan apa yang menjadi rasio pembentuk undang-undang menetapkan ketentuan ter- sebut
dalam pasal 98 KUHD itu. Pada hemat saya, pembentuk undang-undang khawatir bahwa ketentuan
dalam bagian ketiga ini, yang sebetulnya hanya untuk perjanjian pengangkutan, lalu diper- gunakan
juga bagi perjanjian jual beli, karena perjanjian jual beli dan perjanjian pengangkutan itu sering terjadi
bersama-sama, terutama da lam bidang jual beli perusahaan (handelskoop). Misalnya: Importir A di
Jakarta menutup perjanjian jual beli perusahaan dengan eksportir B di Amerika. Dalam usahanya
eksportir B di Amerika untuk menye rahkan barang-barang pesanan kepada importir A di Jakarta,
maka eksportir B lalu menutup perjanjian pengangkutan dengan pengangkut C. Pengangkut C
mengangkut barang muatan ke Jakarta dan diserah kan kepada importir A. Di sini ada kedudukan
rangkap, Importir A dalam perjanjian jual beli sebagai pembeli, tetapi dalam perjanjian pengangkutan
berkedudukan sebagai penerima, sedangkan eksportir B di Amerika dalam perjanjian jual beli
berkedudukan sebagai pen- jual, tetapi dalam perjanjian pengangkutan berkedudukan sebagai
pengirim. Dalam hal kedudukan yang rangkap tersebut dikhawatirkan adanya penggunaan ketentuan
undang-undang yang simpang siur
SEKSI II: PENGANGKUTAN ORANG

80. PENGANGKUTAN ORANG DI DARAT

Dalam KUHD tidak ada aturan mengenai penga ngkutan orang di da- rat dan diperairan darat, tetapi
peraturan pengangkutan orang di laut ada, yaitu yang diatur dalam Bab V-B, Buku II, KUHD, mulai
pasal 521 sampai dengan 533z, tentang "Pengangkutan Orang". Pun dalam KUHPER tidak ada
peraturan umum mengenai pengangkutan orang. Oleh karena itu perjanjian mengenai pengangkutan
orang di darat dan di perairan darat hanya dapat didasarkan atas pasal-pasal dari bab I sampai dengan
bab IV, Buku III, KUHPER

Di luar KUHD dan KUHPER ada peraturan mengenai pengang- kutan orang di darat, yaitu dalam
peraturan tentang "Pengangkut- an dengan Kereta Api" (Bepalingen Vervoer Spoorwegen-S. 1927
262). Dalam UU No. 3 Tahun 1965, tentang "Lalu Lintas dan Ang kutan Jalan Raya" tidak mengatur
secara khusus mengenai peng- angkutan orang. Meskipun dalam undang-undang tersebut ada judul
yang berbunyi "Pengangkutan orang dengan kendaraan bermotor", yaitu Bab IX, mulai pasal 18
sampai dengan pasal 21, tetapi tidak mengatur tentang pengangkutan orang sebagai demikian. Bab
ter- sebut hanya mengatur tentang: pengusahaan mobil bis umum un- tuk pengangkutan orang, izin
perusahaan, peraturan pengangkut- an orang untuk keperluan pariwisata dan mengenai tata tertib
peng- angkutannya.

Dalam ordonansi pengangkutan udara, S. 1939-100, ada per- aturan tentang pengangkutan orang,
tetapi bukan di darat atau di perairan darat, tetapi di udara, jadi tidak bisa dipergunakan.

81. PERBEDAAN ANTARA PENGANGKUTAN BARANG DAN ORANG

Dalam perjanjian pengangkutan barang, obyek perjanjian adalah benda atau binatang, sedangkan
dalam perjanjian pengangkutan orang yang menjadi obyek adalah orang. Dalam hal obyek perjanjian
peng angkutan itu barang, mulai pada saat diserahkannya barang itu kepada pengangkut, maka
penguasaan dan pengawasan atas benda-benda itu ada di tangan pengangkut. Penguasaan dan
pengawasan itu akan lebih berat lagi bila benda angkutan itu berwujud binatang. Pengangkut baru
dapat dipertanggungjawabkan bila benda-benda itu terlambat datang di tempat tujuan, kurang, rusak
atau musnah

Dalam hal perjanjian mehgenai pengangkutan orang, penyerah an kepada pengangkut tidak ada.
Tugas pengangkut hanya membawa
atau mengangkut orang-orang itu sampai di tempat tujuan dengan selamat.

82. TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA TERHADAP BURUH BURUHNYA

Menurut pasal 1367 KUHPER yang sesuai dengan pasal 523 KUHD mengenai pengangkutan orang di
laut, seorang pengusaha bertang gung jawab atas akibat-akibat perbuatan melawan hukum atau ke-
lalaian-kelalaian pegawai atau buruh bawahannya, misalnya: bila seorang sopir, karena kelalaiannya
mobilnya membentur mobil orang lain, sehingga beberapa penurmpang menderita luka-luka. Me-
ngenai peristiwa ini pengusaha yang menjadi atasan sopir yang lalai tersebut bertanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh penumpang maupun pemilik mobil yang dibentur

Pasal 1367 ayat (1) KUHPER berbunyi sebagai berikut: "Setiap orang tidak saja bertanggungjawab
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebab kan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya."

Pasal 523 KUHD berbunyi: "Si pengangkut harus menanggung terhadap segala perbuatan dari mereka
yang diperkerjakannya, dan terhadap segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan
pengangkutan tersebut."

83. BEBAN PEMBUKTIAN DALAMTUNTUTAN GANTI RUGI

Bila seorang penumpang mengajukan tuntutan ganti rugi karena luka atau lain-lainnya kepada
pengangkut, cukuplah bila dia mendalil- kan bahwa dia menderita luka disebabkan pengangkutan itu.
Jika tuntutan ini dibantah oleh pengangkut, maka pengangkut harus mem- buktikan bahwa kelalaian
atau kesalahan tidak ada padanya. Bila pembuktian pengangkut ini berhasil, maka giliran penumpang
yang harus membuktikan adanya kelalaian atau kesalahan pada pengangkut.

Jadi, kalau ada tuntutan ganti rugi dari penumpang yang men derita luka-luka, maka beban
pembuktian terletak di atas pundak pengangkut, bahwa dia tidak lalai atau salah.

Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan adanya azas, bahwa pengangkut berkewajiban
untuk mengangkut orang penumpang dengan selamat sampai di tempat tujuan (pasal 522 KUHD),
sehingga dia bertanggung jawab atas segala kerugian atau
luka-luka yang diderita oleh penumpang, yang disebabkan karena atau berhubung. dengan
pengangkutan yang diselenggarakan itu, kecuali bila pengangkut dapat mendiskulpir dirinya (pasal
1339 KUHPER bsd. pasal 522 ayat (2) KUHD)

84. TUNTUTAN MELALUI PASAL 1365 KUHPER

Pendapat yang telah dibicarakan dalam pelajaran yang lalu adalah pendapat pertama, yang
berazaskan adanya suatu kewajiban pada pengangkut yang harus mengangkut penumpang sampai di
tempat tujuan dengan selamat KUHD)

Di samping pendapat yang pertama tersebut ada pendapat yang kedua, yang menetapkan bahwa
kewajiban pengangkut hanya "meng angkut penumpang sampai di tempat tujuan." Jadi, unsur
"dengan se- lamat" atau "dengan cara yang aman" tidak termasuk dalam kewa- jiban pengangkut.
Tetapi menurut pendapat yang kedua ini, peng- angkut wajib secara pantas dan cukup berikhtiar untuk
mencegah kecelakaan. Bila terjadi apa-apa yang merugikan penumpang maka pengangkut dianggap
berbuat melawan hukum terhadap penum- pang. Dan penumpang yang menderita kerugian itu dapat
menuntut ganti kerugian kepada pengangkut berdasar pasal 1365 KUHPER

Ketentuan bahwa pengangkut wajib secara pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah kecelakaan
ini sesuai dengan ketentuan yang tersebut dalam pasal 1602-w, ayat (1) KUHPER yang ber- bunyi
sebagai berikut: "Majikan diwajibkan untuk mengatur dan memelihara ruangan-ruangan, alat-alat
atau perkakas-perkakas, da- lam mana atau dengan mana ia menyuruh melakukan pekerjaan- nya,
begitu pula mengenai hal melakukan pekerjaan, majikan wajib mengadakan aturan-aturan dan
memberikan petunjuk-petunjuk se- demikian rupa, sehingga si buruh terlindung terhadap bahaya-
bahaya yang mengancam jiwa, kehormatan dan harta bendanya, begitu jauh bagaimana dapat
dituntut sepantasnya berhubung dengan sifat peker- jaan yang dihadapinya." Dari ketentuan ini dapat
disimpulkan bah- wa majikan berkewajiban secara pantas dan cukup berikhtiar untuk mencegah
kecelakaan. Sedang pasal 1602-w ayat (2) KUHPER berbunyi: "Apabila majikan tidak memenuhi
kewajibannya seperti tersebut dalam ayat (1) di atas, dan kelalaian mana mengakibat- kan kerugian
bagi si buruh, maka majikan wajib memberi ganti rugi, kecuali bila majikan dapat membuktikan bahwa
wanprestasinya itu disebabkan karena adanya keadaan memaksa (overmacht) atau keru- gian itu
disebabkan karena kelalaian si buruh sendiri. Jadi, beban
pembuktian ada pada majikan, untuk mendiskulpir dirinya."

85. SYARAT MUTLAK YANG HARUS ADA PADA TUNTUTAN GANTI RUGI

Syarat mutlak yang harus ada pada setiap tuntutan ganti rugi terhadap pengangkut ialah bahwa
kerugian itu disebabkan oleh pengangkut an atau hal yang erat hubungannya dengan pengangkutan.
Dua buah misal tersebut di bawah ini semoga menjelaskannya

a. Calon penumpang yang baru menanti datangnya bus atau kereta api di tempat menunggu,
mendadak kepalanya kejatuhan genting dari atap tempat menunggu itu, sehingga luka dan dirawat di
rumah sakit sampai beberapa hari. Calon penumpang ini dapat menuntut ganti rugi kepada
pengangkut.

b. Penumpang yang sedang ada dalam bus atau kereta api berselisih dengan penumpang lainnya dan
dia ditusuk sampai luka berat. Perkara ini menjadi luka dibawa ke rumah sakit dan dirawat di sana.
Kerugian macam ini tidak dapat dimintakan ganti rugi kepada pengangkut, sebab peristiwa itu tidak
ada hubungannya dengan pengangkutan yang sedang diselenggarakan.

86 BESARNYA JUMLAH GANTI KERUGIAN

Mengenai penetapan besarnya jumlah ganti rugi, berlaku azas-azas yang tercantum dalam pasal-pasal
1246, 1247 dan 1248 KUHPER, yang pada pokoknya mengganti yang hilang dan laba yang tidak di-
perolehnya, dengan batasan bahwa kerugian itu layak dapat diper C. kirakan pada saat perjanjian
pengangkutan itu dibuat dan lagi pula kerugian itu harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi
peng angkut.

Bagi kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang, misalnya cacat badan, cacat pada mukanya dan
lain-lain, bekas penumpang Sa be itu tetap berhak untuk menuntut ganti rugi kepada pengangkut. ma
Sudah tentu kalau terjadi perselisihan tentang besarnya jumlah gan- ti rugi, hanya Hakimlah yang
berwenang menentukannya.

87. PERBEDAAN ANTARA AKSI ATAS DASAR PASAL 1365 KUHPER DAN ATAS DASAR PERJANJIAN
PENGANGKUTAN

Perbedaan aksi ex pasal 1365 KUHPER dengan aksi atas dasar per janjian pengangkutan dapat ditinjau
dari sudut tujuan dan beban pembuktian
a. Dari sudut tujuan. Tujuan kedua macam aksi itu adalah untuk mendapat uang ganti kerugian dari
pengangkut. Jadi, dari kedua aksi itu tidak ada perbedaan.

b. Dari sudut beban pembuktian

1) Bagi penuntut penumpang ex pasal 1365 KUHPER harus mendalilkan, dan kalau diingkari oleh
pengangkut, membuk tikan adanya perbuatan-perbuatan pengangkut yang bersifat melawan hukum
yang mengakibatkan kerugian secara langsung dari penuntut penumpang;

2) Bagi penuntut penumpang ex perjanjian pengangkutan tidak perlu mendalilkan atau membuktikan
adanya kesalahan atau kelalaian (perbuatan melawan hukum) pengangkut, tetapi cukup
mendalilkan/mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berhubungan langsung (kausal) dengan
kecelakaan yang me- nimbulkan kerugian.

88 PENUMPANG YANG MATI KARENA KECELAKAAN

Mengenai persoalan penumpang yang mati karena kecelakaan dalam pengangkutan ada tiga
pendapat:

a. Polak 14) masih meragukan adanya hak ahli waris si mati untuk menuntut ganti rugi kepada
pengangkut tentang matinya suami/ anggota keluarga/isteri, karena kecelakaan dalam pengangkutan;

b. Molengraaff 15) mengingkari hak ahli waris si mati untuk menuntut ganti kerugian, tetapi
menasehatkan agar mereka menuntut ganti kerugian melalui pasal 1370 KUHPER

c. Prof. Soekardono 16) berpendapat bahwa ahli waris si mati berhak menuntut ganti kerugian
berdasar pasal 1318 KUHPER. Beliau juga berpendapat bahwa pasal 1370 KUHPER dapat dipakai dalam
gugatan subsidier

Saya berpendapat: kalau peristiwa yang menyebabkan kecelakaan itu bersumber pada suatu peristiwa
yang selayaknya tidak dapat dicegah, maupun dihindarkan (overmacht dalam arti subyektif) atau
karena kesalahan penumpang sendiri, maka si pengangkut tidak diwajibkan mengganti kerugian (pasal
522 ayat 2 KUHD). Tetapi bilamana luka itu menyebabkan matinya si penumpang, maka si pengangkut
wajib mengganti kerugian yang oleh karenanya diderita oleh suami/isteri anak-anak/orang tua si
penumpang (pasal 522 ayat (3) KUHD). Meski-

14)Polak, Han dboek, II. Ie stuk, le druk, bl.74

15)Molengraaff. Leidraad, IV, 9e druk, bl. 937

16)Soekardono, HDI, II, Bagian Pertama, 1961, halaman 55, 56


pun pasal tersebut diperuntukkan bagi penumpang kapal laut, tetapi kiranya tidak ada salahnya bila
diperuntukkan juga bagi penumpang kendaraan di darat, maupun penumpang kapal di perairan darat.
Saya juga berpendapat bahwa pasal 1318 dan 1370 KUHPER dapat juga di- pakai untuk dasar
penuntutan ganti rugi kepada si pengangkut.

89. PENGANGKUTAN ORANG DENGAN CUMA-CUMA

Yang dimaksud dengan pengangkutan orang dengan cuma-cuma ialah pengangkutan yang
diselenggarakan oleh pengangkut dengan tidak mengharapkan kontra prestasi dari penumpang,
dalam hal ini ialah pembayaran uang angkutan dan biaya-biaya lainnya. Mengenai ini ada beberapa
pendapat:

a. Dalam hal adanya pengangkutan dengan cuma-cuma, maka tidak terjadi perjanjian pengangkutan
biasa, karena tidak ada pembayar an uang angkutan, yang merupakan syarat mutlak bagi adanya per
janjian pengangkutan. Perjanjian pengangkutan itu termasuk go- longan perjanjian pelayanan berkala
(pasal 1601 KUHPER). Jadi, pengangkutan dengan cuma-cur nama, di mana kontra prestasi dari
penumpang tidak ada.

b. Meskipun pengangkutan dengan cuma-cuma itu bukan perjanjian pengangkutan yang biasa, tetapi
dipandang dari sudut keadilan dan perikemanusiaan, pengangkut wajib menunaikan kewajibannya se-
bagai pengangkut yang baik, yang wajib membawa penumpang itu dengan selamat dan dengan cara
yang aman sampai di tempat tu- juan adalah suatu erjanjian tanpa

BAGIAN II PENGANGKUTAN MELALUI JALAN UMUM

90. PERATURAN-PERATURAN YANG PENTING

Mengenai istilah "jalan umum" di sini dimaksudkan semua jalan yang bukan jalan kereta api, yang bisa
dilalui oleh umum (setiap orang) dan kendaraan bermotor. Alat pengangkutan yang dipergunakan di
atas ialan umum ini ialah kendaraan bermotor. Adapun peraturan-peratur an yang penting mengenai
pengangkutan melalui jalan umum ini ialah:

a. UU No. 3 Tahun 1965 (LN 1965 - 25), tentang "Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya";

b. "Wegverkeersverordening" (S. 1936 - 451), yang telah dirubah dan ditambah dengan PP No. 44
Tahun 1954 (LN 1954 - 76) dan PP. No 2 Tahun 1964 (LN 1964 - 5), tentang "Peraturan Lalu Lintas
Jalan." Peraturan ini mengatur tentang: peraturan mengenai pengemudi, kecepatan maksimum,
perlombaan dan pacuan, pem-
berian tanda dan penerangan bentuk dan perlengkapan, ukuran dan muatan kendaraan, aturan-
aturan bagi penumpang dan pegawai bis, memasang dan menggandeng kendaraan, nomor kendaraan
ber motor, nomor kendaraan-kendaraan lain, kecakapan untuk menge mudikan kendaraan bermotor,
pemeriksaan kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan, kendaraan-kendaraan umum
pengangkutan orang dengan bis atau mobil penumpang umum pengangkutan barang dengan
kendaraan bermotor, penetapan- penetapan mengenai jalan-jalan, aturan pengecualian dan lain lain.

c. Penetapan Lalu Lintas Jalan Perhubungan (Surat Keputusan Di- rektur Perhubungan dan Pengairan,
tanggal 26 September 1936, no W.1/9/2, Bijblad no. 13699, seperti yang telah dirubah dan ditam bah
terakhir dengan Penetapan Menteri Perhubungan tanggal 1 Juli 1951, no 2441/Ment. (TLN No 144).
Penetapan ini meng atur pelaksanaan "Wegverkeersverordening" (S. 1936 - 451), yang isi pokoknya
adalah sebagai berikut: rambu-rambu untuk mengatur lalu lintas, tugu-tugu lalu lintas, tanda-tanda
untuk pe- ngendara sepeda yang tuli, tanda (lambang) untuk tabib yang menjalankan praktek, tanda
untuk kendaraan bermotor kepunyaan barisan pemadam kebakaran dan polisi, peraturan mengenai
pene rangan kendaraan, peraturan tentang pembikinan dan perleng- kapan kendaraan bermotor,
ketetapan tentang daya angkut ken- daraan bermotor dan kereta gandengan, cara memuat kerlaraan
bermotor dan kereta gandengan, ukuran, susunan tempat duduk dan tempat berdiri pada kendaraan
bermotor dan kereta gandeng- an, tulisan berat kendaraan," daya angkut, kelas jalan, jumlah tempat
duduk dan tempat berdiri, memasang kendaraan, nomor kendaraan bermotor dan lain-lain

d. Penetapan Lalu Lintas Jalan Dalam Negeri (Surat Keputusan Di rektur Pemerintahan Dalam Negeri,
tanggal 8 Oktober 1936, No Pol. 35/6/1, Bijblad No 13700, seperti yang telah dirubah dan ditambah
dengan Surat Keputusan tanggal 29 Desember 1938, No Pol. 35/8/16 (Bijblad No 14137). Penetapan
ini mengatur hal- hal sebagai berikut: keterangan mengemudi, penyelidikan tentang pengetahuan
peraturan lalu lintas dan ketangkasan mengemudi, tanda mengenal, tanda kenyataan, tanda
penerimaan dan lain- lain. Peraturan ini mulai berlaku pada 1 Januari 1937.

e. UU No 33 Tahun 1964 (LN 1964 -137) tentang, "Dana Pertanggungan wajib Kecelakaan
Penumpang."

f. PP No 17 Tahun 1965 (LN 1965 - 28), tentang "Ketentuan Pe-


laksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang;

g. UU No 34 Tahun 1964 (LN 1964 - 138), tentang "Dana Kecela kaan Lalu-Lintas Jalan."

h. PP No 18 Tahun 1965 (LN 1965 - 29), tentang "Ketentuan- Ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan."

91. UNDANG-UNDANG TENTANG "LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN RAYA"

Undang-undang tentang "Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya," yaitu UU No 3 Tahun 1965 (LN 1965 -
25) itu mencabut "Wegverkeersordonnantie" (S. 1933 - 86), sebagai yang dirubah dan ditambah yang
terakhir dengan UU No 7 Tahun 1951 (LN 1951- 42), karena dianggapnya bahwa
"Wegverkeersordonnantie" itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan lalu lintas jalan raya dan
kema- juan di bidang teknik kendaraan bermotor di Indonesia sekarang.

Dalam pasal 1 UU No 3 Tahun 1965 tersebut ada beberapa definisi yang perlu mendapat perhatian,
yaitu:

a.Kendaraan bermotor ialah: setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik yang ada pada
kendaraan itu dan biasanya diper gunakan untuk pengangkutan orang atau barang di jalan, selain dari
pada kendaraan yang berjalan di atas rel kereta api;

b. Mobil penumpang ialah: setiap kendaraan bermotor yang semata mata diperlengkapi dengan
sebanyak-banyaknya 8 tempat duduk. tidak termasuk tempat duduk pengemudinya, baik dengan,
maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.

c. Mobil bis ialah: setiap kendaraan bermotor yang diperlengkapi de- ngan lebih dari 8 tempat duduk,
tidak termasuk tempat duduk pengemudinya, baik dengan, maupun tanpa perlengkapan pengang-
kutan barang;

d. Mobil barang ialah: kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam golongan mobil
penumpang atau mobil bis dan bukan pula kendaraan bermotor berroda dua;

e. Kendaraan umum ialah setiap kendaraan yang biasanya disediakan untuk dipergunakan oleh umum
dengan pembayaran

f. Pengemudi ialah: orang yang mengemudikan kendaraan atau yang langsung mengawasi orang lain
mengemudikannya.

92. KEWAJIBAN PEMAKAI JALAN

Setiap pemakai jalan dilarang mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi,
membahayakan kebebasan atau keamanan lalu lintas atau yang mungkin menimbulkan kerusakan
pada jalan itu
(pasal 2 ayat (1) ULL (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Ja lan Raya)).

Jalan itu dibuat dengan biaya banyak, dimaksudkan agar dapat di- pakai oleh setiap orang dalam
jangka waktu selama mungkin. Oleh karena pemakai jalan itu banyak, maka harus dijaga jangan
sampai pemakai yang satu akan menimbulkan gangguan atau kecelakaan bagi pemakai jalan yang lain,
karena itu perlu adanya peraturan tata tertib Dan karena jalan itu harus dipergunakan selama
mungkin, maka harus diadakan peraturan yang menuju penghematan pemakaian jalan, agar jalan
dapat dipergunakan selama mungkin. Karena peraturan tata tertib di jalan itu perlu sekali ditaati
secara disiplin, maka di jalan harus ada petugas yang mengawasi ketertiban lalu lintas dan kalau perlu
bertindak "on the spot" untuk melaksanakan tujuan ketentuan sebagai disebut dalam pasal 2 ayat (1)
ULL tersebut di atas

93 SYARAT-SYARAT PENGEMUDI DI JALAN

Seorang pengemudi yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan umum

a. harus dapat memperlihatkan surat izin mengemudi, surat nomor kendaraan, surat coba kendaraan
atau tanda-tanda bukti lainnya yang berlaku (pasal 5, huruf s, ULL)

b. harus dapat memperlihatkan bahwa kendaraannya lengkap semua peralatan dan perlengkapannya
seperti dimaksud dalam undang- undang;

c. harus mengerti tentang tanda-tanda atau rambu-rambu jalan;

d. harus mampu mengemudikan kendaraannya dengan lancar

e. tidak dalam keadaan mabuk, dalam keadaan sakit atau sebab lain- lain yang dapat menimbulkan
gangguan dalam jiwanya (pasal 5 huruf b,c dan d, ULL)

Syarat-syarat ini semua diperlukan untuk memberi jaminan bahwa seorang pengemudi yang sudah
berani ada di jalanan tidak akan meng- ganggu pemakai jalan lainnya, tidak akan membahayakan
dirinya sen- diri atau orang lain dan tidak akan merusakkan jalan yang telah dengan susah payah dibuat
dengan biaya dan tenaga yang tidak sedikit

94. TINDAKAN PENGEMUDI YANG TERLIBAT DALAM PERISTIWA KECELAKAAN

Pengemudi yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan di jalan:

a. harus menghentikan kendaraannya, apabila dalam peristiwa ini terdapat seseorang yang mati, luka
atau kesehatannya terganggu ataupun menderita kerugian besar;
b. harus berusaha agar orang yang luka atau terganggu kesehatannya itu mendapat pertolongan;

Pengemudi yang berdasar alasan mendesak tidak dapat melaksana. kan apa yang tersebut di atas,
berjalan terus dan tidak memberi per tolongan kepada orang yang menderita kecelakaan, maka dia
harus melaporkan diri kepada pejabat kepolisian yang terdekat (pasal 6, ULL). Rasio dari ketentuan
tersebut di atas ialah, bahwa bila dia memberhentikan kendaraannya sesudah dia menabrak orang
atau menubruk kendaraan, maka ada kemungkinan dia dianiaya oleh orang lain atau keluarganya,
sehingga membahayakan jiwanya. Dalam hal yang demikian itu dia diperbolehkan jalan terus sampai
pada pos po- lisi yang terdekat untuk melaporkan diri dan minta perlindungan

95. MENDIRIKAN PERUSAHAAN PENGANGKUTAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR

Untuk mendirikan perusahaan pengangkutan dengan kendaraan ber motor umum harus mendapat
izin dari:

a. Bupati/Kepala Daerah, bila perusahaan itu berkedudukan di wila yah Daerah Tingkat II;

b. Wali Kota/Kepala Daerah, bila perusahaan itu berkedudukan di wilayah Kotapraja;

c.Gubernur/Kepala Daerah, bila perusahaan itu berkedudukan di wilayah Daerah Khusus Ibukota
(pasal 27, ULL)

96. DEWAN ANGKUTAN DARAT

Di Tingkat pusat dan di setiap Daerah Tingkat I dibentuk Dewan Angkutan Darat Pusat dan Dewan
Angkutan Daerah, yang memberi pertimbangan masing-masing kepada Menteri dan kepada
Gubernur/ Kepala Daerah yang bersangkutan (pasał 31, ULL). Tugas pokok Dewan Angkutan Darat itu
ialah mengkoordinasikan segala usaha dan kegiatan di bidang angkutan darat, baik dalam taraf
perencanaan, pembinaan, maupun dalam taraf pelaksanaan dan pengawasan. Dewan Angkutan Darat
Pusat dibentuk dengan keputusan Presiden, sedang kan Dewan Angkutan Darat Daerah dibentuk
dengan keputusan Men teri. Dewan itu mempunyai susunan anggota sebagai berikut:

a. Pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai keahlian dalam bidang angkutan darat dan tugasnya
berhubungan dengan pembinaan angkutan darat

b.Wakil-wakil organisasi perusahaan di bidang angkutan darat;

c.Wakil-wakil organisasi buruh di bidang angkutan darat.


97. PENGANGKUTAN ORANG

Dalam UU No 3 Tahun 1965, tentang "Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya" tidak mengandung aturan
khusus tentang pengangkutan orang, terjadinya perjanjian pengangkutan orang, hak dan kewajiban
pengangkut terhadap penumpang dan hak serta kewajiban penumpang terhadap pengangkut. Dalam
undang-undang tersebut memang ada judul "Pengangkutan orang dengan kendaraan bermotor,"
yaitu Bab IX, mulai pasal 18 s/d 21. Tetapi bab ini mengatur tentang "pengusahaan mobil bis umum
untuk pengangkutan orang," mengenai izin perusa- haan.pengangkutan orang untuk keperluan
pariwisata dan mengenai tata tertib pengangkutannya

Jadi, mengenai pengangkutan orang, terjadinya perjanjian peng- angkutan, hak dan kewajiban yang
timbul dari perjanjian tersebut, tanggung jawab pengangkut dan penumpang serta akibat hukum lain-
nya yang timbul dari adanya perjanjian pengangkutan orang itu, UU No.3 Tahun 1965, tidak
mengaturnya. Kiranya hal yang demikian itu dianggap telah dicukupkan dengan adanya peraturan
mengenai perjanjian tak bernama dalam Bab I s/d IV, Buku III, KUHPER sebagai yang sudah pernah
saya bicarakan dalam pelajaran nomor 80 s/d 89

Mengenai tanggung jawab pengusaha kendaraan umum terhadap kerugian-kerugian yang diderita
oleh penumpang diatur bersama-sama dengan kerugian yang ditimbulkan karena kerusakan-
kerusakan barang yang berada dalam kendaraan dalam pasal 24 ULL (undang-undang lalu lintas dan
angkutan jalan raya).

Tentang kewajiban pengangkut untuk mengangkut orang atau ba- rang-barang yang sudah memenuhi
syarat-syaratnya, yakni telah mem- bayar uang angkutan menurut tarif yang telah ditetapkan berdasar
ULL, diatur dalam pasal 25 ayat (1) ULL. Pengecualian mengenai ke- wajiban tersedut akan diatur
dalam peraturan pemerintah. Begitu juga mengenai kewajiban pengangkut serta penumpang dan
cara-cara meng angkut orang dan barang-barang dengan kendaraan umum akan diatur secara khusus
dengan peraturan pemerintah (pasal 25 ayat (3) ULL)

98. PENGANGKUTAN BARANG-BARANG

Mengenai pengangkutan barang-barang dengan kendaraan bermotor umum diatur dalam Bab X, pasal
22 dan 23 ULL. Tetapi pengaturan ini tidak mengenai persoalan terjadinya perjanjian pengangkutan,
perikatan-perikatan yang timbul karenanya, akibat-akibat hukum kewajiban-kewajidan dan tanggung
jawab masing-masing pihak dan lain-lain. Pengaturan pengangkutan barang-barang di sini juga sama
se-
dikitnya dengan persoalan pengangkutan orang, sebagai yang sudah saya bicarakan di muka. Kiranya
pasal 91 s/d 98 KUHD berlaku untuk pengangkutan barang-barang dengan kendaraan bermotor um
ULL mengatur tanggung jawab pengusaha kendaraan bermotor umum terhadap kerugian yang
diderita oleh penumpang dan kerugian kerugian yang disebabkan karena kerusakan-kerusakan barang
diatu dalam pasal 24 ULL, yang juga sudah saya bicarakan di muka. Penga turan tersebut sangat
sederhana, ternyata pasalł 24 ayat (2) ULL menyatakan bahwa pengangkut bisa menolak tuntutan
penerimal pengirim bila kerusakan itu disebabkan karena pembungkusan yang kurang sempurra.
Dalam ULL ini tidak mengatur tentang surat muat an, surat bagasi dan lain-lain. Mungkin hal ini
disebabkan karena pengangkutan orang dan barang-barang itu dalam sebuah kendaraan bermotor
umum tidak banyak jumlahnya, seperti misalnya di kereta api, kapal dan pesawat udara. Boleh
dikatakan, pengangkutan orang dan pengangkutan barang-barang dengan kendaraan bermotor
umum mulai dulu sudah berlaku hukum kebiasaan yang sudah baik. Hanya mengenai tanggung jawab
pengangkut kendaraan bermotor umum itu dianggap penting oleh pembentuk undang-undang ULL,
dari itu hal tersebut diatur dalam pasal 24, sebagai yang akan saya bicara- kan dalam pelajaran berikut
ini

99. TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA PENGANGKUTAN DENGAN KENDARAAN BERMOTOR

Pengusaha pengangkutan dengan kendaraan bermotor umum ber tanggung jawab terhadap kerugian-
kerugian yang diderita oleh pe- numpang dan kerusakan-kerusakan barang yang berada dalam kenda
raan tersebut, kecuali bila dia dapat membuktikan bahwa kerugian itu terjadi di luar kesalahannya
atau kesalahan buruh-buruhnya. Tetapi tanggung jawab itu tidak ada, bila kerusakan atau kerugian
tersebut terjadi karena tidak sempurnanya bungkusan (verpakking) barang yang diangkut dan hal itu
telah diberitahukan oleh pengangkut kepada pengirim sebelum pengangkutan dimulai (pasal 24 ULL)

100. DANA PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUM PANG

Akibat pembangunan lima tahun yang bertahap-tahap, maka di Indo- nesia sekarang tampak sekali
bertambahnya jumlah kendaraan berm tor, kereta api, pesawat terbang dan kapal, yang selanjutnya
m akibatkan juga bertambahnya kecelakaan-kecelakaan penumpang makin hari makin meningkat.
Kecelakaan penumpang ini sebagai ge-
jala sosial perlu mendapat perhatian dari Pemerintah. Dalam hal ini salah satu tindakan yang dapat
diambil oleh Pemerintah ialah mem perlunak penderitaan orang yang kena kecelakaan atau
keluarganya, dengan cara memberi bantuan uang kepada si penderita atau keluarga nya. Untuk itu
perlu adanya suatu dana yang cukup besar. Dana ini dibentuk berdasar UU No 33 Tahun 1964 (LN 1964
- 137), tentang "Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang." Dengan pelak- sanaan undang-
undang ini maka Indonesia selangkah lebih maju ke suatu sistim jaminan sosial (social security).
Pelaksanaan undang-un- dang ini diatur dalam PP No. 17 Tahun 1965 (LN 1965-28), tentang
"Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kece- lakaan Penumpang."

Mengenai pengertian "dana pertanggungan wajib kecelakaan pe numpang" ialah suatu dana yang
terhimpun dari iuran-iuran, terkecu- ali jumlah yang ditetapkan oleh Menteri untuk pembayaran ganti
rugi akibat kecelakaan penumpang (pasal 1, huruf c, UU 33/1964). Pokok pokok isi UU 33/1964
tersebut akan saya bicarakan secara singkat di bawah ini

101. DANA DAN IURAN

Pertanggungan wajib kecelakaan penumpang itu adalah pertanggungan yang bersifat wajib bagi setiap
penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat udara dan kapal dari perusahaan
nasional. Setiap penumpang dari kendaraan tersebut diwajibkan mengadakan perjanjian
pertanggungan kecelakaan penumpang. Penumpang ter sebut harus membayar premi (iuran) kepada
perusahaan pertanggung an yang ditunjuk oleh Pemerintah. Iuran (premi) itu dikumpulkan melalui
pengusaha pengangkutan yang bersangkutan dengan cara me- nambahkan iuran itu pada uang
angkutan. Tiap-tiap tanggal 27 pengu- saha pengangkutan, yang penagihannya hanya merupakan
"incasso" saja, harus menyetorkan uang iuran dari para penumpang itu kepada perusahaan
pertanggungan yang ditunjuk oleh Pemerintah tersebut yaitu: Perum Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(pasal 3, PP No 17 Tahun 1965 bsd. Surat Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pem biayaan dan
Pengawasan R.I. tanggal 30 Maret 1965, No. BAPN 1-3-3, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1965).
Uang-uang iuran yang dikumpulkan itu merupakan suatu dana, yang bertujuan untuk dipakai memberi
ganti kerugian terhadap penumpang yang menderita kecelakaan selama dalam pengangkutan
102. PERJANJIAN PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG

Pada saat seseorang menjadi penumpang sah dari kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat
udara atau kapal dari perusahaan peng angkutan nasional, dia wajib membayar iuran (premi)
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang melalui pengusaha/pemilik kendaraan yang
bersangkutan (pasal 3 ayat (1), huruf a UU-33/64). Pada saat itu penumpang yang bersangkutan tidak
hanya menutup perjanjian pengangkutan saja, tetapi sekaligus juga menutup perjanjian pertang-
gungan wajib kecelakaan penumpang. Sifat "wajib" di sini menunjuk- kan unsur dari Pemerintah.
Unsur paksaan ini tertuju pada adanya sis- tim jaminan sosial. Unsur paksaan ini bila sudah menjadi
kebiasaan, tidak terasa lagi, sebaliknya tujuan paksaan ini tercapai, yakni suatu sistim jaminan sosial
dalam masyarakat Indonesia.

Telah dikatakan di atas bahwa penumpang pada saat yang sama menutup perjanjian pengangkutan
dan perjanjían pertanggungan Dalam hal menutup perjanjian pertanggungan, penumpang bertindak
sebagai tertanggung, sedang yang bertindak sebagai penanggung adalah perum asuransi kerugian Jasa
Raharja (pasal 8 PP 17/65). Kewajiban tertanggung ialah membayar iuran (premi) kepada penanggung
dengan melalui pengusaha pengangkutan (pasal 1 ayat (1), PP 17/65), sedang- kan hak tertanggung
ialah ganti kerugian, kalau dia menderita kece lakaan dalam pengangkutan, yakni:

a. bila penumpang mati, atau

b. penumpang mendapat cacat tetap akibat dari kecelakaan penumpang.

Kewajiban penanggung ialah memberi ganti kerugian kepada ter tanggung (penumpang), bila dia mati
atau mendapat cacat tetap akibat kecelakaan penumpang. Sedangkan hak penanggung ialah
menerima premi dari tertanggung dengan melalui pengusaha pengangkutan yang bersangkutan

Berbeda dengan pertanggungan biasa, yang sifatnya bebas bagi se- tiap orang untuk menutup
perjanjian pertanggungan atau tidak, maka menutup perjanjian pertanggungan wajib kecelakaan
penumpang ini sifatnya mutlak bagi setiap penumpang kendaraan umum.

Istilah "ganti kerugian" bagi penumpang yang mati itu sesungguh- nya tidak tepat, sebab hilangnya
jiwa seseorang penumpang tidak da- pat dinilai dengan uang, jadi, tidak dapat diganti rugi dengan
uang Mengenai istilah "ganti rugi" bagi si mati tersebut saya lebih suka menggantinya dengan istilah
"uang duka."
103. TERTANGGUNG DARI PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG

Yang menjadi tertanggung dari pertanggungan wajib kecelakaan pe- numpang ini ialah setiap
penumpang kendaraan bermotor umum, ke- reta api, pesawat udara dan kapal dari perusahaan
nasional (pasal 3 ayat (1), huruf a UU 33/64). Dari ketentuan ini dapat diambil kesim- pulan bahwa
penumpang kendaraan bermotor khusus (pribadi) tidak termasuk dalam kewajiban ini. Bagi kendaraan
macam ini, orang- orang yang turut duduk dalam kendaraan tidak termasuk dalam pengertian
penumpang seperti dimaksud dalam UU 33/64. Bagi ken- daraan macam ini terkena kekuasaan UU No
34 Tahun 1964 (LN 1964-138), tentang "Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan."

Telah dikatakan di muka bahwa setiap penumpang kendaraan umum diharuskan membayar iuran
kepada penanggung dari pertang- gungan wajib kecelakaan penumpang, kecuali

a. penumpang kendaraan bermotor umum di dalam kota (pasal 3 ayat 1 huruf b, UU 33/64). Meskipun
penumpang ini tidak mem bayar iuran, tetapi mereka ini dapat menikmati jaminan pertang gungan
kecelakaan diri dan hak-hak yang bersangkutan (pasal 19 PP 17/65)

b. penumpang kendaraan umum, selain dari yang tersebut di atas yang dibebaskan dari pembayaran
iuran (premi) berdasarkan peraturan pemerintah.

Pasal 19, PP 17/65 berbunyi sebagai berikut: "Penumpang kenda- raan umum dalam kota, penumpang
kereta api dalam kota, kereta api jalan lingkaran (ringbaan) dan kereta api jarak pendek, yakni kurang
dari 50 km dibebaskan dari iuran wajib dan selanjutnya"

Karena pertanggungan itu bersifat wajib, maka tiap-tiap penumpang harus membayar iuran wajib itu
dan untuk itu pengusaha/pemilik kendaraan berkewajiban memberikan tanda lunas, yang disebut
Tkupon pertanggungan." Untuk ini, seorang petugas dari perusahaan pengangkutan atau petugas lain
yang ditunjuk oleh Menteri (Keuang- an) dapat menanyakan "kupon pertanggungan" tersebut kepada
se- tiap penumpang. Bila seorang penumpang tidak dapat membuktikan adanya "kupon
pertanggungan" tersebut dia dapat didenda (pasal 6 bsd. pasal 21, PP 17/65)

104. SURAT BUKTI TERTUTUPNYA PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG

Surat bukti tentang telah ditutupnya perjanjian pertanggungan wajib kecelakaan penumpang
berwujud kupon pertanggungan." yang ben-
tuk dan isinya ditetapkan oleh Menteri Keuangan (pasal 4, UU 33/64 bsd pasal 4, PP No 17/65). Surat
bukti tersebut diberikan kepada se tiap penumpang yang wajib membayar iuran, bersama dengan
uang pembelian tiket. Jadi, setiap tiket yang dikeluarkan harus disertai de- ngan "kupon
pertanggungan." Kupon pertanggungan ini merupakan satu-satunya alat pembuktian bagi tertutupnya
perjanjian pertang gungan wajib kecelakaan penumpang

Berbeda dengan polis, sebagai alat pembuktian telah ditutupnya perjanjian pertanggungan biasa,
bilamana polis itu tidak ada, maka pembuktian akan adanya perjanjian pertanggungan dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain (pasal 258 KUHD), maka "kupon pertanggungan" itu
adalah satu-satunya alat pembuktian bagi adanya perjanjian pertanggungan wajib kecelakaan
penumpang. Jadi, kalau kupon pertanggungan itu tidak ada, maka perjanjían pertanggungan itupun
dianggap tidak ada (pasal-6 PP 17/65)

105. KEWAJIBAN PENGUSAHA/PEMILIK KENDARAAN YANG BERSANGKUTAN

Pengusaha/pemilik kendaraan yang bersangkutan harus menarik iuran wajib dari setiap penumpang
yang mempergunakan kendaraannya (pasal 3, UU 33/64). Iuran wajib itu ditarik bersama-sama de
ngan uang angkutan penumpang yang bersangkutan. Untuk itu pengu- saha memberikan "kupon
pertanggungan" sebagai tanda lunas pemba- yaran iuran wajib itu, sedangkan tanda lunas
pembayaran uang angkutan adalah "karcis atau tiket". Dari itu setiap karcis atau tiket yang dijual oleh
pengusaha/pemilik kendaraan harus disertai dengan "kupon pertanggungan," yang harus dibayar
bersama-sama dengan pembayaran karcis atau tiket itu. Iuran wajib itu harus dikumpulkan oleh
pengusaha/pemilik kendaraan yang bersangkutan dan setiap bulan paling lambat tanggal 27,
pengusaha/pemilik kendaraan terse but harus menyetor iuran tersebut kepada perusahaan asuransi
kerugi- an "Jasa Raharja." Kewajiban tersebut harus dilakukan oleh peng- usaha/pemilik kendaraan
yang bersangkutan, kalau tidak, dia dapat didenda (pasal 21, PP 17/65), atau dicabut izin usahanya
untuk se- lama-lamanya 3 bulan (pasal 22, PP-17/65.)

106. JAMINAN PERTANGGUNGAN KECELAKAAN DIRI BAGI PENUMPANG

Jaminan pertanggungan kecelakaan diri diberikan kepada:

a.setiap penumpang kendaraan bermotor umum, kereta api, pesawat udara dan kapal dari
perusahaan nasional;
b.penumpang, yang dibebaskan dari pembayaran iuran pertang- gungan berdasar peraturan
pemerintah, yaitu:

1) penumpang kendaraan bermotor umum dalam kota;

2) penumpang kereta api dalam kota;

3) penumpang kereta api jalan lingkaran (ringbaan), dan

4) penumpang kereta api jarak pendek, kurang dari 50 km (pasal 19, PP 17/65)

Jaminan ini diberikan selama penumpang itu berada dalam alat pengangkut yang disediakan oleh
pengangkut untuk jangka waktu antara saat penumpang naik kendaraan yang bersangkutan di tem-
pat pemberangkatan dan saat turunnya dari kendaraan tersebut di tem- pat tujuan (pasal 10 ayat (1)
PP 17/65). Jaminan tersebut di atas berupa pembayaran ganti kerugian pertanggungan dalam hal
tertanggung (penumpang):

a) meninggal dunia;

b) mendapat cacat tetap;

c) membutuhkan perawatan dan pengobatan dokter (pasal 10 ayat (2) PP 17/65)

Jaminan tersebut diberikan kepada keluarga si korban, bila penum- pang itu mati. Tetapi bila si korban
masih hidup, jaminan itu diberikan kepada si korban sendiri (pasal 12, PP 17/65).

107. PEMBEBASAN PENANGGUNG DALAM KEWAJIBAN UNTUK MEMBAYAR GANTI KERUGIAN

Penanggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian kepada tertanggung, bila:

a. si korban atau ahli warisnya telah mendapat pembayaran ganti kerugian berdasarkan UU No 34
Tahun 1964, tentang "Dana kece lakaan Lalu Lintas Jalan"

b. penumpang melakukan bunuh diri, percobaan bunuh diri atau se suatu kesengajaan lain pada pihak
korban atau ahli warisnya.

c.penumpang mendapat kecelakaan pada waktu dia sedang:

1) mabuk atau tak sadar.

2) melakukan perbuatan kejahatan;

3) kecelakaan itu disebabkan karena korban mempunyai cacat badan atau keadaan
badaniyah/rohaniyah luar biasa (pasal 13, PP-17/65).

d. kecelakaan yang terjadi itu tidak mempunyai hubungan dengan ri- siko lalu lintas modern atau tidak
langsung disebabkan oleh peng- gunaan alat angkutan penumpang umum yang bersangkutan, mi-
salnya dalam hal-hal sebagai berikut:
1) kendaraan bermotor penumpang umum yang bersangkutan sedang dipergunakan untuk turut serta
dalam suatu perlombaan kecakapan atau kecepatan;

2) kecelakaan terjadi pada waktu di dekat kendaraan bermotor penumpang umum itu ternyata ada
akibat-akibat gempa bum atau letusan gunung berapi, angin puyuh atau suatu gejala geologi atau
meteorologi lain;

3) kecelakaan-kecelakaan sebagai akibat dari senjata-senjata perang dan lain-lain.

108. PEMBAYARAN GANTI KERUGIAN TIDAK MENGURANGI TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Pembayaran ganti kerugian pertanggungan berdasarkan PP-17/65 ini tidak mengurangi tanggung
jawab pengangkut atau pihak lain yang da- pat dipersalahkan menurut hukum pidana, perdata atau
perjanjian- perjanjian internasional yang bersangkutan (pasal 14, PP-17/65) Jadi, penumpang sesudah
menerima uang ganti kerugian dari perum asuransi kerugian "Jasa Raharja," masih berhak untuk
meruntut ganti kerugian kepada pengangkut, bila ada alasan untuk itu

109. DANA KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN

Untuk melaksanakan tujuan jaminan sosial (social security) di Indonesia, kecuali telah dibuatnya
undang-undang "Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang," UU No. 33 tahun 1964 (LN
1964 137), juga telah dibuat UU No 34 tahun 1964 (LN 1964-138) tentang "Dana Kecelakaan Lalu Lintas
Jalan". Pelaksanaan undang- undang ini ditetapkan dalam PP No. 18 Tahun 1965 (LN 1965-29). Dalam
undang-undang tersebut ada beberapa istilah yang perlu mendapat perhatian:

a. Yang dimaksud dengan "dana" ialah dana yang terhimpun dari sumbangan wajib, yang dipungut
dari para pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan dan yang disediakan untuk menutup akibat
keuangan karena kecelakaan lalu lintas jalan:

b. Yang dimaksud dengan "alat angkutan lalu lintas jalan" ialah ken- daraan bermotor dan kereta api
yang sedang mempergunakan jalan;

c. Yang dimaksud dengan "sumbangan wajib" ialah sumbangan tahunan yang wajib dibayar oleh
pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan untuk dijadikan "dana" dalam dana kecelakaan lalu
lintas jalan.

Adapun pokok-pokok isi undang-undang tersebut akan saya bicarakan dalam pelajaran di bawah ini.
110. KEWAJIBAN PENGUSAHA/PEMILIK ALAT PENGANGKUTAN LALU LINTAS JALAN

Setiap tahun pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan di haruskan memberi sumbangan wajib
kepada "dana." Jumlah sumbang an wajib ini ditentukan dengan peraturan pemerintah (pasal 2, UU
34/64). Paling lambat pada akhir setiap bulan Juni, pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan
harus sudah membayar sumbangan wa- jibnya mengenai tahun yang sedang berjalan kepada perum
asuransi kerugian "Jasa Raharja", ialah badan hukum asuransi kerugian yang telah ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mengurus "dana" kecelakaan lalu lintas jalan (pasal 3 bsd. 5 UU 34/64, bsd, Surat
Keputusan Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan R.I. tanggal 30 Maret 1965, No.
BAPN 1-3-3, mulai berlaku pada 1 Januari 1965). Pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan yang
melalaikan ke- wajibannya tersebut dapat dipidana dengan hukuman denda (pasal 7. UU 34/64)

Kalau pengusaha/pemilik kendaraan bermotor ada kesalahan atas terjadinya kecelakaan lalu lintas
yang menimpa si korban, maka dia wajib mengganti jumlah pembayaran dana yang telah dibayarkan
oleh Perum Asuransi Kerugian Jasa Raharja kepada si korban atau warisnya. Uang penggantian itu
diberikan kepada Perum Asuransi Kerugian Jasa Raharja tersebut.

Dianggap suatu kesalahan bagi pengusaha/pemilik kendaraan ber- motor bila:

a. kendaraannya dikemudikan oleh orang yang tidak mempunyai surat izin mengemudi yang sah;

b. pengemudinya dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, minimum sesuatu yang mengandung alkohol
atau obat bius ataupun oleh hal- hal lain

c. lain-lain tindakan yang merupakan pelanggaran dengan sengaja peraturan lalu lintas jalan

d. pengusaha/pemilik kendaraan bermotor belum lunas membayar sumbangan wajib;

kecuali, bila pengusaha/pemilik kendaraan bermotor itu dapat mem- buktikan bahwa kecelakaan itu
terjadi di luar tanggung jawab atau di luar kesalahannya (pasal 14, PP-18/65)

Pengusaha/pemilik kendaraan bermotor yang tidak memenuhi kewajibannya membayar sumbangan


wajib dalam waktu yang sudah ditentukan, dia dianggap telah melakukan pelanggaran dan diancam
dengan hukuman denda (pasal 19, PP-18/65). Kecuali itu pengusaha/ pemilik kendaraan bermotor itu
juga dapat dicabut :
1) surat nomor kendaraan bermotor

2) surat coba kendaraan bermotor

3) surat uji kendaraan bermotor

4) izin trayek, untuk selama-lamanya satu tahun (pasal 20, PP-18/65)

111. PEMBEBASAN PEMBAYARAN SUMBANGAN WAJIB

Tiap pengusaha/pemilik alat angkutan lalu lintas jalan diwajibkan memberi sumbangan setiap
tahunnya kepada "Dana Kecelakaan Lalu Lintas jalan." Tetapi pengusaha/pemilik alat angkutan
tersebut di bawah ini dibebaskan dari kewajiban untuk membayar sumbangan wajib menurut UU-
34/64, yaitu:

a. sepeda motor kumbang dengan isi silinder 50 cc atau kurang

b.kendaraan ambulans

c.kendaraan pemadam kebakaran

d. kendaraan jenazah, dan

e. kereta api (pasal 2 ayat (2) PP-18/65)

112. SIAPA YANG BERHAK MENDAPAT GANTI RUGI DARI DANA

Yang berhak mendapat ganti rugi dari dana ialah setiap orang yang menjadi korban, sehingga mati
atau mendapat cacat tetap akibat kecelakaan yang disebabkan oleh alat angkutan lalu lintas jalan.
Dalam hal ini "dana" akan memberi ganti kerugian kepadanya atau ahli warisnya (pasal 4, UU-34/64)

Setiap orang yang berada di luar alat lalu lintas jalan yang menim bulkan kecelakaan, yang menjadi
korban akibat kecelakaan dari peng- gunaan alat angkutan lalu lintas jalan, diberi hak atas suatu
pembayar an dari "dana" (pasal 1 ayat (1) PP-18/65). Uraian tersebut di atas da- pat digambarkan
sebagai berikut: sebuah kendaraan bermotor berja lan cepat pada jalan yang licin karena hujan. Pada
suatu saat di tempat tertentu, kendaraan itu selip dan menubruk orang yang sedang ber- jalan kaki di
pinggir jalan, sehingga mati. Si korban inilah yang berhak menerima uang ganti kerugian dari "dana."
Sedangkan mobil yang menubruk orang tersebut masuk dalam sungai di pinggir jalam itu se hingga
penumpangnya ada yang mati dan luka-luka berat. Orang-orang penumpang mobil yang menjadi
korban ini tidak dapat menerima gan- ti kerugian dari "dana", sebab mereka itu ada di dalam mobil
(pasal 10, PP-18/65).

Kalau si korban pejalan kaki tersebut mati, maka yang berhak men- dapat pembayaran "dana" ialah
janda/dudanya yang sah. Bila ini tidak ada, maka anak-anak yang sah. Dan kalau inipun tidak ada, ma
ka orang tuanya yang sahlah yang berhak menerimanya. Dalam hal si korban tidak meninggal dunia,
pembayaran dana diberikan kepada si korban (pasal 12, PP-18/65).

113. KAPAN DANA DIBEBASKAN DARI KEWAJIBANNYA

Dalam hal ada kecelakaan lalu lintas jalan sehingga menimbulkan kor- ban, maka "dana" berkewajiban
untuk memberi ganti kerugian ke- pada si korban. Tetapi dalam beberapa hal "dana" dibebaskan dari
kewajibannya untuk membayar ganti kerugian tersebut, ialah:

a. bila si korban atau ahli warisnya telah menerima uang ganti kerugi- an berdasarkan UU No. 33 Tahun
1964, tentang "Dana Pertang- gungan Wajib Kecelakaan Penumpang."

b.bila si korban bunuh diri, mencoba membunuh diri atau melaku- kan tindakan kesengajaan lain pada
pihak korban atau ahli warisnya:

c. bila kecelakaan itu terjadi:

1) pada waktu si korban sedang dalam keadaan mabuk atau tak sadar

2) pada waktu si korban sedang melakukan perbuatan kejahatan;

3) yang diakibatkan oleh atau karena si korban mempunyai cacat badan atau keadaan
badaniyah/rokhaniyah luar biasa lain

d.kecelakaan yang terjadi tidak langsung disebabkan oleh peng- gunaan alat kendaraan bermotor atau
kereta api yang bersangkut- an, misalnya:

1) alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan sedang diper- gunakan untuk turut serta dalam
suatu perlombaan kecakapan atau kecepatan;

2) kecelakaan terjadi pada waktu didekat alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan ada akibat-
akibat gempa bumi atau meteorologi lain;

3) kecelakaan akibat senjata-senjata perang

4) dan lain-lain (pasal 13, PP-18/65)

114. BUKTI TENTANG PEMBAYARAN SUMBANGAN WAJIB

Sumbangan wajib dibuktikan semata-mata dengan suatu bukti yang bentuk dan hal-hal lain
mengenainya ditetapkan oleh Menteri (pasal 4 PP-18/65). Pengemudi kendaraan bermotor wajib
memperlihatkan bukti sumbangan wajib setiap kali diminta oleh polisi lalu lintas atau pejabat lain yang
berwenang (pasal 6, PP-18/65). Bukti itu berupa surat bukti lunas pembayaran sumbangan wajib, yang
harus disimpan dan sebuah "penning" (kertas tanda lunas), yang harus
ditempelkan di kaca muka mobil agar mudah tampak bagi petugas yang berwenang memeriksanya.
Hal tanda lunas sebagai yang ter sebut terakhir ini sekarang sudah dirubah dengan cara mempersatu-
kannya dalam STNK (Surat tanda Nomor Kendaraan Bermotor) yang tiap-tiap tahun harus
diperbaharui. Sedangkan "penning" se karang dipersatukan dalam "nomor polisi" kendaraan
bermotor, yang juga tiap-tiap tahun harus diperbaharui sesuai dengan STNK tersobut. Dengan "nomor
polisi" kendaraan bermotor yang baru ini, yang harus dipasang di muka dan di belakang kendaraan
ber- motor, maka baik polisi lalu lintas, maupun pejabat lainnya yang berwenang, dapat melihat dari
jauh apakah pengusaha/pemilik ang- kutan lalu lintas jalan sudah melunasi kewajibannya atau belum
terhadap sumbangan wajib tersebut

115. GUGURNYA HAK ATAS PEMBAYARAN DANA

Hak atas pembayaran dana menjadi gugur dalam hal-hal sebagai berikut:

a jika tuntutan permbayaran dana tidak dilakukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah
terjadinya kecelakaan lalu lintas yang bersangkutan

b. jika tidak diajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri yang ber- wenang dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sesudah tuntutan pembayaran dana ditolak secara tertulis oleh Direksi Perum Asu- ransi
Kerugian Jasa Raharja yang bersangkutan;

c. jika hak atas pembayaran dana tidak direalisasikan dengan suatu penagihan kepada Perum Asuransi
Kerugian Jasa Raharja dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah hak tersebut diakui, ditetap kan atau
disahkan oleh Direksi Perum A.K. Jasa Raharja (pasal18 ayat (1), PP-18/65).

116. PEMBUKTIAN KEABSAHAN TUNTUTAN TERHADAP DANA

Tuntutan pembayaran dana ditujukan kepada Perum Asuransi Keru gian Jasa Raharja atau kepada
instansi Pemerintah lain yang ditun- juk oleh Menteri keuangan (pasal 16, PP-18/65). Adapun
peraturan pembuktian dalam hal tuntutan pembayaran dana menurut hukum acara perdata biasa,
kecuali dalam hal-hal tersebut di bawah ini:

a. Dalam hal ada kematian:

1) proses perbal polisi lalu lintas atau pejabat lain yang berwenang tentang kecelakaan yang telah
terjadi dengan alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan, yang mengakibatkan kema tian
pewaris si penuntut
2) keputusan Hakim atau pihak berwajib lain yang berwenang ten- tang pewarisan yang bersangkutan;

3) surat keterangan dokter dan bukti lain yang dianggap perlu guna pengesahan fakta kematian yang
terjadi; hubungan sebab musabab kematian tersebut dengan penggunaan alat angkutan lalu lintas
jalan dan hal-hal lain yang berguna bagi penentuan jumlah pembayaran dana yang harus diberikan
(pasal 17 ayat (2), PP-18/65)

b. Dalam hal si korban mendapat cacat tetap atau cedera

1) proses perbal dari polisi lalu lintas atau pejabat lainnya yang berwenang tentang memproses perbal
kecelakaan yang telah terjadi dengan alat angkutan lalu lintas jalan yang bersangkutan, yang
mengakibatkan cacat tetap pada si korban/penuntut;

2) surat keterangan dokter tentang jenis cacat tetap/cedera yang telah terjadi sebagai akibat
kecelakaan lalu lintas jalan;

3) surat-surat bukti lain yang dianggap perlu untuk pengesahan fakta cacat tetap/cedera yang terjadi:
hubungan sebab musabab antara cacat tetap dengan penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan; dan
dalam hal-hal lain yang merupakan faktor yang da- pat menentukan jumlah pembayaran dana yang
harus diberi- kan kepada si korban (pasal 17 ayat (2)-b,PP-18/65).

117. DIREKSI PERUM A.K. JASA RAHARJA BERHAK MENOLAK TUNTUTAN

Direksi Perum A.K. Jasa Raharja berhak menolak tuntutan pembayar- an dana, bila:

a. direksi berpendapat bahwa si penuntut belum cukup membukti- kan dirinya sebagai yang berhak
(pasal 17 ayat (3), PP-18/65);

b. pemeriksaan/bantuan dokter sebagai yang diharuskan tidak diteri- ma oleh yang bersangkutan
(pasal 18 ayat (2), PP-18/65);

Akhirnya perlu dinyatakan bahwa pembayaran dana tidak mengu- rangi tanggung jawab pihak yang
dapat dipersalahkan menurut hukum pidana ataupun perdata untuk kecelakaan yang terjadi (pasal,
I5, PP-18/65). Jadi, kecuali si korban menuntut pembayaran kerugian kepada Perum A.K. Jasa Raharja,
juga dapat menuntut kepada peng angkut atau pihak lain, bila ada alasan untuk itu

BAGIAN III: PENGANGKUTAN DENGAN KERETA API

SEKSI I: HAL-HAL UMUM

118. PERUSAHAAN JAWATAN KERETA API

Pengusahaan pengangkutan dengan kereta api itu dilakukan oleh se


buah perusahaan berbadan hukum yang disebut "Perusahaan Jawat- an Kereta Api", disingkat: PJKA.
PJKA ini ada di bawah lingkungan Departemen Perhubungan. Bentuk badan hukum dari PJKA itu sudah
mengalami 3 kali perubahan, yakni:

a. Dengan S. 1939-556, bentuk badan hukum PJKA adalah "Jawatan Kereta Api", yang termasuk dalam
golongan perusahaan I.B.W (Indonesische Bedrijvenwet);

b. Dengan PP No 22 Tahun 1963 (LN 1963-43), bentuk badan hukum itu dirubah menjadi "Perusahaan
Negara Kereta Api"(PNKA);

c. Dan akhirnya dengan PP No 61 Tahun 1971 (LN 1971 - 75), bentuk PNKA dirubah lagi menjadi
"Perusahaan Jawatan Kereta Api", disingkat menjadi: PJKA.

PJKA ini adalah perusahaan yang modalnya sepenuhnya milik Pemerintah Indonesia dan ditempatkan
di bawah lingkungan Depar temen Perhubungan. Tugas utamanya adalah mengangkut. Mengenai
pengangkutan dengan kereta api ini telah ada peraturannya yang berasal dari zaman Hindia Belanda,
yaitu: S. 1927 262, tentang "Bepalingen Betreffende het Vervoer over de Spoorwegen", disingkat:
B.V.S. (Bepalingen Vervoer Spoorwegen) Ketentuan-ketentuan tentang pengangkutan dengan Melalui
Rel Kereta Api.

119. PERATURAN YANG BERLAKU MENGENAL PENGANGKUTAN DENGAN KERETA API

Mengenai pengangkutan dengan kereta api ada dua peraturan pokok yang berlaku, yaitu:

a. Bepalingen Vervoer Spoorwegen (B.V.S. -S. 1927 - 262); dan

b. KUHD, Buku I, Bab V, Bagian II/III, pasal 90 sampai dengan 98

Hubungan antara dua peraturan itu, pasal 2 B.V.S. menetapkan sebagai berikut: "Ketentuan-
ketentuan dalam pasal 90 ayat (1), pasal 91 sampai pasal 97 KUHD, mengenai pengangkutan barang-
barang, hanya berlaku bila B.V.S. tidak mengaturnya secara khusus". Jadi, di sini ada ketentuan bahwa
B.V.S.(BVS) itu merupakan hukum khusus bagi KUHD, Dengan begitu di sini berlaku adagium: lex
specialis derogat lex generali (hukum khusus menghapus berlaku- nys hukum umum). Di sini yang
menjadi hukum umum adalah KUHD, pada hal menurut pasal 1 KUHD, KUHD merupakan hukum
khusus bagi KUHPER. Sebagai kesimpulan, KUHD merupakan hu- kum khusus terhadap KUHPER, tetapi
merupakan hukum umum terhadap BVS.

Pasal 90 ayat (1) KUHD itu mengenai surat muatan (vrachtbrief). Mengenni surat muatan ini BVS sudah
mengaturnya secara khusus
bagi kereta api, yakni dalam pasal 36 dst. BVS. Jadi, pasal 90 ayat (1) KUHD ini tidak berlaku bagi
pengangkutan dengan kereta api. Pasal 91 sampai dengan 97 KUHD mengenai tanggung jawab peng-
angkut dan peraturan daluwarsa, yang akan saya singgung kelak bila hal ini dibicarakan dalam rangka
pembahasan BVS

120. KEWAJIBAN PENGANGKUT DENGAN KERETA API

Pengusaha pengangkutan dengan kereta api berkewajiban untuk mengangkut barang atau orang
sesuai dengan tugas yang diberikan kepada PJKA, kecuali kalau dalam BVS ada ketentuan yang mela-
rangnya (pasal 3 dan 4 BVS). Pengangkut, dalam hal ini tidak boleh merugikan pengirim atau penerima
dengan cara mengadakan klau- sul tambahan dalam reglemen dinas atau dalam surat muatan, yang
bertentangan dengan tanggung jawab, beban pembuktian, besarnya atau lamanya kewajiban yang
telah ditentukan dalam BVS.

Besarnya kewajiban tersebut dalam pasal 3 BVS itu dibatasi de- ngan ketentuan-ketentuan tersebut
dalam pasal4 BVS, yakni

a. bila pengangkutan terhalang, karena suatu keadaan memaksa (overmacht);

b. pengirim tidak menaati ketentuan-ketentuan tentang pengangkut- an dengan kereta api;

c. barang muatan tidak memenuhi syarat syarat untuk pengangkutan;

d. barang muatan, pada waktu pemuatan, pembongkaran atau pada waktu pengangkutan
menimbulkan banyak kesukaran.

SEKSI II: PENGANGKUTAN ORANG

121. LARANGAN MENGANGKUT ORANG MABUK, BERBAHAYA DAN MENDERITA PENYAKIT MENULAR

Menurut pasal 3 BVS pengangkut kereta api, berkewajiban untuk mengangkut setiap orang, kecuali
bila ada ketentuan dalam BVS yang melarangnya. Larangan itu disebut dalam pasal 13 BVS yang isinya
sebagai berikut:

a. Orang yang tampak mabuk atau bagi penumpang lainnya me- rupakan gangguan atau berbahaya,
dapat ditolak untuk naik ke- reta api atau kalau sudah ada dalam kereta api, orang itu dapat
dikeluarkan atau diturunkan di setasiun yang terdekat;

b. Orang yang menderita penyakit menular atau menurut dinas ke- sehatan orang tersebut harus
disendirikan tempatnya, maka orang itu dapat ditolak naik kereta api atau kalau sudah ada dalam
kereta api, dapat diturunkan di setasiun yang terdekat
c. Akibat tindakan pengangkut kereta api tersebut dalam nomor 1 dan 2 di atas, maka uang harga
karcis sebagian atau seluruhnya harus dikembalikan;

d. Pengangkutan orang-orang tersebut di atas dapat diperkenankan, bila orang-orang itu di bawah
pengawasan yang berwajib dan mendapat tempat khusus

122. TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT KERETA API TERHADAP PENUMPANG

Mengenai tanggung jawab pengangkut kereta api terhadap penum- pang dapat diuraikan sebagai
berikut:

a. Pengangkut kereta api, berdasarkan perjanjian pengangkutan, bertanggung jawab terhadap


kerugian yang diderita oleh penumpang dalam jangka waktu pengangkutan, kecuali kalau pengang-
kut dapat membuktikan bahwa kerugian itu terjadi di luar ke- salahannya dan di luar perbuatan
buruhnya;

b. Gangguan teknis, terlambat berangkat atau terlambat datang tidak menimbulkan hak menuntut
ganti kerugian;

c. Penumpang yang terlambat masuk kereta api, tidak mempunyai hak untuk mendapat ganti harga
karcis;

d. Penumpang tidak berhak untuk mendapat kembali harga karcis, bila dia salah masuk ke dalam
kereta api yang lain (pasal 27 BVS)

123. BARANG-BARANG YANG BOLEH DAN YANG TIDAK BOLEH DIBAWA OLEH PENUMPANG

Penumpang boleh membawa barang bawaan tangan yang harus di- letakkan di bawah tempat
duduknya atau di tempat yang tersedia di gerbongnya. Terhadap barang-barang tersebut tidak usah
memba- yar (pasal 29 BVS). Tetapi penumpang dilarang membawa dalam gerbong barang-barang
sebagai tersebut di bawah ini (pasal 30 BVS);

a. barang atau binatang, yang menurut pegawai kereta api, berbahaya atau dapat menggangu
penumpang lainnya atau dapat menim- bulkan kerugian pada kereta api;

b. barang atau binatang yang tidak boleh diangkut dengan kereta api;

C. penumpang yang berbuat melanggar ketentuan tersebut di atas, bertanggung jawab terhadap
kerugian yang timbul karenanya dan kemungkinan diterapkannya ketentuan pidana dalan p sal 174
BVS;

d. barang atau binatang yang ada di gerbong bertentangan dengan ketentuan di atas, harus lekas
dikeluarkan dari gerbong atau di
pindahkan ke dalam gerbong barang (bagage) atau diturunkan pada setasiun berikutnya.

124. TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP BARANG BAWAAN

Telah dikatakan di muka bahwa penumpang diperbolehkan mem- bawa barang bawaan, yang harus
ditaruh di bawah tempat duduknya Barang-barang itu harus dijaga oleh penumpang sendiri. Dari itu
pe- ngangkut kereta api tidak bertanggung jawab atas hilang atau rusak- nya barang-barang tersebut,
kecuali kalau terbukti bahwa hilang atau rusaknya barang-barang itu disebabkan karena kesalahan
peng angkut atau kelalaian buruh-buruhnya (pasal 31 BVS)

SEKSI III: PENGANGKUTAN BARANG

125. JENIS-JENIS PENGANGKUTAN BARANG

Sebagai yang telah kita ketahui, kereta api itu bertugas mengangkut orang dan barang. Termasuk
barang adalah binatang. Pengangkutan barang dengan kereta api itu dapat dilakukan dengan
beberapa jenis pengangkutan, yakni: pengangkutan barang muatan (vrachtgoed), kiriman kilat
(ijlgoed), barang kiriman (bestelgoed) dan bagasi (bagage). Jenis-jenis pengangkutan tersebut dapat
diuraikan secara ringkas sebagai berikut:

a. Pengangkutan sebagai barang kiriman (bestelgoed)

Barang-barang yang beratnya tidak lebih dari 50 kg, diangkut sebagai "barang kiriman", kecuali kalau
pengirim menghendaki agar barangnya dikirim sebagai "barang muatan" atau "kiriman kilat"(pasal 95,
(1) BVS). Selanjutnya barang yang beratnya le- bih dari 50 kg sampai dengan 500 kg, atas permintaan
pengirim dapat dikirim sebagai "barang kiriman" (pasal 95, (2) BVS) Pengangkutan barang kiriman
harus disertai dengan alamat jelas atau dengan surat muatan (vrachtbrief)- (pasal 95 , (3) BVS).
Ketentuan ini adalah logis, karena barang ini bukan barang bawaan, yakni pengangkutan barang ini
tidak diikuti oleh perngirimnya, jadi, harus dilakukan oleh pengangkut sendiri.

b. Pengangkutan sebagai barang muatan (vrachtgoed)

Barang-barang yang beratnya lebih dari 500 kg atau barang-barang lain, yang diminta oleh pengirim
agar barangnya dikirim sebagai "barang muatan", pengangkutannya dilakukan sebagai "barang
muatan" (vrachtgoed). Pasal 95 BVS menetapkan barang-barang mana saja yang diperbolehkan
dikirim sebagai "barang kiriman",
maka barang-barang lain di luar ketentuan tersebut dalam pasal 95 BVS, harus dikirim sebagai "barang
muatan" (vrachtgoed)

c. Pengangkutan sebagai kiriman kilat (ijlgoed)

Barang-barang yang diinginkan agar dapat dikirim dengan cenar dapat diangkut sebagai "kirimart
kilat" (ijlgoed). Barang yang dikirim sebagai kiriman kilat ini, pelaksanaannya lebih cepat daripada
pengangkutan sebagai "barang muatan" atau "barane kiriman". Ketentuan-ketentuan lainnya hampir
sama saja dengan kedua jenis pengiriman tersebut di atas

d. Pengangkutan barang sebagai "bagasi" (bagage)

Barang-barang keperluan dalam perjalanan, kalau tidak bisa di bawa sebagai barang bawaan, harus
dibagasikan. Barang-barang ini disebut "bagasi" dan disimpan dalam gerbong bagasi, yang terpisah
dari gerbong penumpang. Pemilik barang bagasi harus memiliki surat bukti bagasi.

126. PENGANGKUTAN TERUSAN

Pengangkutan sebagai barang muatan (vrachtgoed) dan kiriman kilat (ijlgoed) dapat dilaksanakan dari
dan ke semua jurusan seta- siun kereta api yang terbuka dan peralihan pengangkutan dari kereta api
yang pertama ke kereta api yang kedua dari lain perusahaan, tanpa perlu adanya perantara (pasal 35
BVS). Pengangkutan macam ini disebut "pengangkutan terusan" (doorgaandvervoer), bila hanya ada
sepucuk surat muatan untuk seluruh perjalanan pengangkutan dan uang angkutan dibayar sekaligus
(pasal 41 BVS)

127. SURAT MUATAN

Telah dikatakan bahwa BVS merupakan hukum khusus (lex specialis) bagi KUHD. Mengenai surat
muatan (vrachtbrief) telah diatur dalam pasal 90 KUHD, tetapi surat muatan bagi kereta api diatur
secara khusus dalam pasal 36 BVS. Jadi, ketentuan terakhir inilah yang berlaku bagi surat muatan
kereta api.

Pengirim, dalam pengangkutan dengan kereta api, berkewajiban untuk menyertai pada tiap-tiap
pengirimannya dengan surat an yang sudah diisi dan ditandatangani dengan baik (pasal 36 BVS).
Jadi,.surat muatan itu harus ditandatangani oleh pengirim dan tidak oleh pengangkut. Dengan begini,
surat muatan itu merupakan bukti bagi pengangkut dan bukan bagi pengirim. Menurut pasal 36 ayat
(2) BVS, isi surat muatan itu dapat diperinci sebagai berikut:

a. Uraian mengenai barang yang akan dikirimkan;

b. Setasiun pemuatan dan setasiun tujuan serta perusahaan kereta


api yang akan mengangkut;

c. Tempat tujuan, bilamana ini tidak sama dengan setasiun tujuan;

d. Nama dan alamat si pengirim;

e. Nama dan alamat orang yang harus menerima barang itu;

f. Tempat dan tanggal, di mana surat muatan itu dibuat;

g. Keterangan atau surat-surat penting sebagai yang dimaksud dalam pasal 40 BVS, misalnya: surat
pajak, surat keterangan Kepolisian dan lain-lain;

h. Janji-janji khusus (bedingen) lainnya, kalau ada, dapat dimasukkan dalam surat muatan (pasal 36
ayat (3) BVS). Barang-barang yang dapat dikumpulkan dalam satu tempat, dapat dipersatukan dalam
satu surat muatan (pasal 38 ayat(1) BVS).

Tentang kebenaran dan kesempurnaan isi surat muatan ini men- jadi tanggung jawab pengirim (pasal
45 BVS). Pengirim bertanggung jawab, bila ada keterangan yang tidak jelas, tidak teliti atau tidak
sempurna. Surat muatan ini disebut surat muatan asli, yang akan mengikuti barang muatan.
Sedangkan bila si pengirim menginginkan, dia dapat minta duplikat surat muatan itu kepada
pengangkut (pasal 44 BVS)

128. SAAT DITUTUPNYA PERJANJIAN PENGANGKUTAN

Sesudah surat muatan ditandatangani oleh pengirim, maka barang dan surat muatan diserahkan
kepada pengangkut. Pengangkut me- nerima barang yang lalu dicocokkan dengan surat muatan yang
ber- sangkutan. Bila sudah cocok, maka surat muatan lalu disetempel oleh pengangkut dihadapan
pengirim. Pada setempel itu ditulis tang- gal diterimanya barang-barang tersebut. Pada saat surat
muatan dise tempel, yang berarti bahwa barang-barang sudah diterima baik oleh pengangkut dan
dengan ini perjanjian pengangkutan telah ditutup (pasal 42 kalimat terakhir, BVS).

129. KEKUATAN PEMBUKTIAN SURAT MUATAN DAN SETEMPEL YANG DILEKATKAN DI ATASNYA

Surat muatan yang telah disetempel oleh pengangkut merupakan suatu alat pembuktian bagi si
pengirim dan si pengangkut tentang telah ditutupnya perjanjian pengangkutan. Dan setempel sendiri
itu merupakan bukti tentang telah diterimanya barang-barang pada saat penyetempelan. Ketentuan
ini semua berlaku, kecuali bila ada pem- buktian sebaliknya (pasal 43 ayat (1) BVS).

Bagi barang-barang yang berat dan jumlahnya ditimbang dan dihitung sendiri oleh pengirim, maka
berat dan jumlah barang ter
sebut dalam surat muatan itu tidak merupakan bukti terhadap peng- angkut, kecuali kalau barang-
barang itu juga ditimbang dan dihitung oleh pengangkut (pasal 43 ayat (2) BVS)

130. DUPLIKAT SURAT MUATAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA

Bila pengirim membutuhkan bukti telah diterimanya barang-barang yang dikirim, maka dia
berkewajiban untuk mengajukan duplikat surat muatan, yang harus juga disetempel dan dikembalikan
oleh pengangkut kepada pengirim. Duplikat ini tidak mempunyai ke- kuatan pembuktian seperti
halnya surat muatan asli, yang mengikuti barang, tetapi hanya membuktikan bahwa barang-barang
yang ter sebut dalam duplikat surat muatan itu telah diterima dengan baik oleh pengangkut (pasal 44
ayat (1) BVS)

Pada surat muatan asli yang mengikuti barang, haruslah ditulis bahwa surat muatan itu telah dibuat
duplikatnya. Keterangan dalam surat muatan asli tersebut harus diparap oleh kedua belah pihak (pasal
44 ayat (2) BVS)

131. PERTANGGUNGAN JAWAB PENGANGKUT KERETA API

Pengangkut kereta api bertanggung jawab tentang pelaksanaan per- janjian pengangkutan mulai pada
saat barang diterima sampai ba rang diserahkan kepada penerima yang berhak, baik yang mengenai
rute (route)-nya sendiri, maupun rutenya pengusaha kereta api lain dalam hal ada perjanjian
pengangkutan terusan (doorgaandvervoer- overeenkomst). Pertanggungan jawab itu meliputi hilang
seluruhnya atau sebagian, kerusakan seluruhnya atau sebagian ataupun penye- rahan terlambat dari
barang, kecuali kalau pengangkut dapat mem buktikan bahwa kerugian itu di luar kesalahannya dan
di luar ke- salahan buruh-buruhnya (pasal 78 BVS). Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal
91 dan 92 KUHD.

132. PEMBEBASAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT KERETA API

Pasal 90 BVS menetapkan adanya beberapa peristiwa yang mem bebaskan pengangkut kereta api dari
tanggung jawabnya, yaitu:

a. terhadap barang-barang yang dikecualikan untuk diangkut dengan K.A. atau dapat diangkut dengan
syarat-sayarat tertentu, tetapi dengan tipu muslihat yang licik, pengirim akhirnya bisa menyuruh
mengangkut barang-barangnya itu; misalnya, dengan memberi nama yang tidak benar atau tidak
tepat atau pengirim
tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan mengenai persoalan yang dihadapi (pasal 90 ayat (1) BVS);

b. terhadap barang-barang yang dilarang untuk diangkut dengan K.A. (kereta api), tetapi dia menyuruh
mengangkutnya dengan cara tanpa atau memberi keterangan yang tidak benar atau palsu (pasal 90
ayat (2) BVS).

Dalam hal-hal tersebut di atas, pengangkut K.A. terbebas dari tanggung jawabnya.

133. PERATURAN DALUWARSA MENGENAL TUNTUTAN HUKUM KEPADA PENGANGKUT DENGAN


KERETA API

Segala tuntutan hukum kepada pengangkut dengan kereta api ka- rena kerusakan atau kerugian
seluruhnya atau sebagian berdaluwar- sa dalam jangka waktu satu tahun (pasal 167 ayat (1) BVS).
Adapun saat mulai berlakunya jangka waktu daluwarsa tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bagi tuntutan hukum karena barang itu hilang seluruhnya, jangka waktu itu dimulai pada saat si
pengangkut menerima kabar ten tang hilangnya barang itu;

b. Bagi tuntutan hukum karena hilang atau kerusakan sebagian, tenggang itu dihitung mulai pada hari
diserahkannya barang itu kepada penerima;

c. Daluwarsa yang tersebut dalam pasal 167 ayat (1) BVS itu tidak berlaku, bila pengangkut atau buruh-
buruhnya melakukan ke- salahan dengan sengaja atau melakukan kelalaian besar

d. Tuntutan mengenai kurangnya pembayaran atau pengembalian pembayaran yang kelebihan


daripada uang angkutan atau ong- kos-ongkos lainnya, berdaluwarsa dalam jangka waktu satu tahun,
dihitung mulai hari pembayaran yang bersangkutan itu dilaku- kan (pasal 167 ayat (2), (3), (4) dan (5)
BVS).

BAGIAN IV: PENGANGKUTAN DENGAN POS, TELEGRAP DAN TELEPON

134. PERATURAN-PERATURAN MENGENAI POS, TELEGRAP DAN TELEPON

Dulu, pengangkutan pos, telegrap dan telepon dilakukan oleh Ja watan Pos, Telegrap dan Telepon,
disingkat: Jawatan PTT. De- ngan PP No 240 Tahun 1961 (LN 1961 -306) telah didirikan "Pe- rusahaan
Negara Pos dan Telekomunikasi. Pada akhir-akhir ini PN Pos dan Telekomunikasi itu sangat pesat
berkembang, sehingga
PN Pos dan Telekomunikasi itu perlu dipecah menjadi dua perusa- haan, yang masing-masing berdiri
sendiri, yaitu dengan:

a.PP No 29 Tahun 1965 (LN 1965 - 62) telah didirikan PN dan Giro;

b. PP No 30 Tahun 1965 (LN 1965 - 63), telah didirikan PN Telekomunikasi;

c. PP No 36 Tahun 1974 (LN 1974 - 50), PN Telekomunikasi itu telah dialih-bentukkan menjadi Perum
Telekomunikasi (Perrusahaan Umum Telekomunikasi).

Mengenai persoalan pengangkutan pos, telegrap dan telepon itu ada beberapa peraturan yang perlu
mendapat perhatian, yakni:

1) UU No. 6 Tahun 1984 Tentang "Pos

2) UU No 5 Tahun 1964 (LN 1964-59), tentang"Telekomunikasi",

3) PP No 26 Tahun 1959 (LN 1959-41), tentang "Pos Dalam Negeri";

4) PP No 27 Tahun 1959 (LN 1959-42), tentang "Pos Internasional";

5) UU No 13 Tahun 1969 (LN 1969 - 53) tentang "Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia di Wina 1964";

6) UU No 2 Tahun 1957 (LN 1957 - 15), tentang "Perjanjian Internasional mengenai Pemberitaan Jarak
Jauh"

7) UU No 10 Tahun 1969 (LN 1969 - 41), tentang "Konvensi International Telekomunication Union di
Montreux - 1965"

8) PP No 22 Tahun 1974 (LN 1974 27), tentang "Telekomunikasi Untuk Umum"

Dari peraturan-peraturan tersebut di atas, untuk kepentingan persoalan pengangkutan pos, telegrap
dan telepon, saya hanya akan membicarakan dua buah peraturan saja, yaitu: UU No 4 Tahun 1959 dan
UU No 5 Tahun 1964, meskipun peraturan lain-lainnya juga penting untuk diketahui. 1965"

135. UNDANG-UNDANG POS

Pos, artinya: pengantaran surat-surat. Dulu, pengantaran surat-surat itu dilakukan dengan kereta
kuda, yang disebut "kereta pos" dan kudanya disebut "kuda pos". Karena dari jauhnya perjalanan,
maka kudanya itu harus sering diganti, dan tempat pemberhentian untuk mengganti kuda pos itu
dinamai "pemberhentian pos". Pengantaran surat-surat itu tidak hanya dilakukan oleh kereta pos saja,
juga dapat dilakukan oleh orang, burung merpati, anjing dan lain-lain. Di laut sering dilakukan,
bilamana ada keadaan darurat, misalnya ada ke- celakaan, surat dikirimkan dengan sebuah botol yang
diberi pasir se-
dikit dan lalu dilempar di laut. Sekarang "pos" itu merupakan lem- baga umum, yang bertugas
mengurus pengantaran dan pengangkutan surat-surat. Termasuk surat-surat juga barang-barang
kecil, yang dibungkus dan disebut "paket".

Mengenai pengangkutan surat-surat ini dulu di Indonesia diatur dalam "Postordonnantie 1935 (S.
1934 720)", yang telah diru- bah dan ditambah, terakhir dengan UU No 30 Tahun 1956 (LN 1956 75).
Peraturan ini dalam beberapa hal sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tata negara Republik
Indonesia, maka lalu dicabut dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 1959 (LN 1959-12), tentang "Pos".
Selanjutnya UU terakhir ini diganti lagi oleh UU No 6 Tahun 1984 (LN 1984 28) tentang "Pos". Lembaga
negara yang mendapat tugas untuk melaksanakan undang-undang ini ialah PN Pos dan Giro. Di
Indonesia dinas pos dikuasai oleh negara dan diselengga- rakan oleh PT Pos dan Giro (pasal 1, UU Pos).
Pada waktu undang- undang ini mulai berlaku, dinas Pos dan Telekomunikasi diselenggara kan oleh
Jawatan Pos, Telegrap dan Telepon (disingkat: Jawatan PTT) Sekarang Jawatan PTT itu sudah dipecah
menjadi dua, yakni: PN Pos dan Giro serta Perum Telekomunikasi. PN ini mempunyai monopoli pada
penyelenggaraan pengangkutan pos. Jadi, badan lain tidak boleh menyelenggarakan pengangkutan
pos ini, kecuali kalau diizinkan ber dasar kuasa suatu Peraturan Pemerintah (pasal 4 ayat (5) UU Pos
1984)

136. PENGANTARAN SURAT DAN PAKET

Pengantaran pos (surat dan paket) dilakukan oleh PN Pos dan Giro de- ngan bantuan semua
pengusaha pengangkutan umum darat, laut, uda- ra dan media telekomunikasi umum (UU 6/84, pasal
3 (3) bsd. pasal 10 (1)). Para pengusaha pengangkutan umum dan media telekomuni- kasi tersebut
wajib mengangkut pos yang diserahkan kepadanya oleh PN Pos dan Giro (UU 6/84 pasal 10 (1)). Yang
wajib mengangkut pos tidak hanya perusahaan pengangkutan umum serta media telekomuni- kasi
umum saja, tetapi juga yang bukan untuk umum dengan meneri- ma imbalan sesuai dengan ke
tentuan yang berlaku (UU 6/84 pasal 10 (3)). Kewajiban ini juga dibebankan kepada nakhoda kapal
perairan darat, yang isi kotornya paling sedikit 20 meter kubik. Tetapi kewajiban ini tidak dibebankan
kepada nakhoda kapal perang.

137. TIMBULNYA PERJANJIAN PENGANTARAN

Setelah pos (surat atau paket) diterima oleh pejabat PN Pos dan Giro maka terjadilah perjanjian antara
pengirim pos dengan PN Pos dan Gi-
ro. Dari perjanjian ini timbul perikatan, di mana PN Pos dan Giro mengikatkan diri untuk mengantarkan
pos milik si pengirim, sedang kan pengirim mengikatkan diri untuk membayar ongkosnya yang di-
wujudkan dalam bentuk perangko. Ongkos pengantaran pos itu dise- but tarif pos, yang diatur dalam
peraturan pemerintah (UU 6/84 pasal 9 (1).

138. TANGGUNG JAWAB PN POS DAN GIRO DAN PERUSAHAAN PENG ok ANGKUTAN/MEDIA
TELEKOMUNIKASI TERHADAP PENGIRIM

Bila surat atau paket sudah diterima pejabat PN Pos dan Giro, maka tanggung jawab selanjutnya
mengenai surat atau paket itu ada di pun- dak PN Pos dan Giro. Selanjutnya pengangkut yang
mengangkut surat atau paket itu bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan pos terhadap
PN Pos dan Giro (UU 6/84 pasal 12 bsd. pasal 10 ayat (4). Adapun batas luas tanggung jawab tersebut
meliputi:

a. kehilangan atau kerusakan isi surat atau paket yang dikirim dengan uang tanggungan;

b. kehilangan surat pos tercatat atau paket pos tanpa uang tanggungan

c. kerusakan isi paket pos tanpa uang tanggungan

139. TANGGUNG JAWAB PENGIRIM

Tanggung jawab tidak hanya terletak di pundak PN Pos dan Giro be- serta pengangkut saja, tetapi juga
membebani pengirim, yaitu bila kewajiban-kewajiban tidak dipenuhi atau larangan-larangan
dilanggar, yakni:

a. bila pengirim mengirimkan barang-barang yang menjadi larangan Pemerintah untuk dikirimkan
melalui pos

b. pengirim telah memberikan perincian-perincian yang tidak benar mengenai isi surat atau barang
kiriman itu

c. bila pengirim menyalahgunakan "hak kebebasan porto" untuk kiriman pribadi atau
menyalahgunakan wewenang mempergunakan hak kebebasan porto.

Bagi perbuatan-perbuatan ini si pengirim tidak hanya diancam de- ngan hukuman sebagai yang
ditetapkan dalam pasal 13, tetapi juga diwajibkan membayar ganti kerugian dalam hal pelanggaran
tersebut menimbulkan kerugian bagi negara (pasal 20 UU 6/84 Tentang Pos).

139.1. HUBUNGAN DENGAN POS INTERNASIONAL

Surat-surat atau paket tidak hanya boleh ditujukan ke alamat dalam negeri saja, tetapi dapat juga
ditujukan ke alamat di luar negeri. Seba-
liknya surat-surat atau paket dari luar negeri juga dapat ditujukan ke alamat dalam negeri. Dari itu
adalah mutlak adanya peraturan yang mengatur lalu lintas pengiriman surat atau paket dari dalam
negeri ke luar negeri dan dari luar negeri ke dalam negeri. Karena persoalan ini menyangkut banyak
negara, maka perlu adanya perjanjian antar ne- gara mengenai penyelenggaraan pos. Untuk ini telah
ada Undang-un- dang tentang "Konstitusi Perhimpunan Pos Sedunia di Wina 1964", yaitu UU No. 13
Tahun 1969 (LN 1969-53). Undang-undang ini mencabut UU No. 5 Tahun 1961 (LN 1961-20), tentang
"Perjanjian Pos Sedunia dan persetujuan-persetujuannya".

UU No. 13 Tahun 1969 ini memuat lampiran "Universal Postal Union, Constitution and General
Regulation, Vienna, 10th July, 1964". Juga mengenai ganti kerugian surat-surat dan paket yang hi lang
atau rusak. Peraturan-peraturan Indonesia mendasarkan diri atas ketetapan-ketetapan yang ada
dalam lampiran "Universal Union" ter- sebut. Dalam UU No. 6 Tahun 1984 hal ini diatur dalam pasal
18, yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

140. TELEKOMUNIKASI

Istilah "telekomunikasi" itu mempunyai penafsiran otentik, yakni dalam pasal 1 huruf a, UU
Telekomunikasi, UU No 5 Tahun 1964. yang berbunyi: "Telekomunikasi ialah setiap pemancaran,
pengirim- an atau penerimaan tiap jenis tanda-tanda, isyarat-isyarat, tulisan- tulisan, gambar-gambar
dan suara-suara atau berita-berita melalui kawat, visuil, radio atau sistim electromagnetik lain".
Definisi ini lebih luas daripada pengertian kata-kata "telegrap dan telepon", seperti tertera dalam S.
1876-257, tentang "De Bepalingen Omtrent de Aanleg en het Gebruik van Telegrafen in Nederlandsch-
Indie" dan S. 1926 aturan yang berasal dari zaman Hindia-Belanda ini telah dicabut de- ngan UU No 5
Tahun 1964 (LN 1964 59), tentang "Telekomuni- kasi"

Telekomunikasi dikuasai, diselenggarakan dan diatur oleh Pe- merintah. Badan yang bukan
Pemerintah dapat menyelenggarakan telekomunikasi hanya atas izin dari Pemerintah (pasal 2 bsd. 11
UU Telekomunikasi).

Jadi, telekomunikasi dapat diselenggarakan oleh:

a. Pemerintah untuk kepentingan umum;

b. Pemerintah bagi Pemerintah sendiri;

c. Badan bukan Pemerintah untuk kepentingan badan itu sendiri.


141. TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH

Khusus untuk dinasnya sendiri, instansi Pemerintah dapat menyeleng. garakan telekomunikasi.
Penguasaan, pemasangan, pengusahaan dan penggunaan alat-alat telekomunikasi untuk keperluan
instansi Pemerintah ini diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah (pasal 10 UU Telekomunikasi,
disingkat: UU Tel.). Misal dari instansi Pe merintah yang menyelenggarakan telekomunikasi sendiri
ialah "ABRI" (Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian), Departemen Luar Negeri, Pertamina dan
lain-lain.

142. TELEKOMUNIKASI YANG DISELENGGARAKAN OLEH BADAN BUKAN PEMERINTAH

Badan bukan instansi Pemerintah yang akan menyelenggarakan telekomunikasi sendiri harus
mendapat izin dari Pemerintah. Izin dapat diberikan selama sepuluh tahun, yang dapat diperpanjang
Sebaliknya izin itu dapat dicabut oleh Pemerintah, bila penyeleng- gara telekomunikasi itu tidak
mematuhi ketentuan-ketentuan dalam UU Telekomunikasi. Izin itu dapat bersifat: tetap, sementara
dan kadang kala (pasal 11 UU Tel).

Telekomunikasi yang diselenggarakan oleh kapal berbendera asing dan oleh pesawat udara tidak perlu
minta izin, kecuali kalau penyelenggaraan tetapkan dalam peraturan pemerintah. Penyelenggaraan
telekomu- nikasi tersebut hanya untuk kepentingan navigasi, operasi udara atau keamanan lalu lintas
saja (pasal 12 dan 13 UU Tel.)

Penyelenggaraan telekomunikasi bagi perwakilan negara asing di Indonesia dapat dengan izin
Pemerintah. Izin ini diberikan atas usul Menteri Luar Negeri dengan memperhatikan azas timbal-balik
(reciprociteits beginsel) yang berlaku antar negara

143. HUBUNGAN DENGAN TELEKOMUNIKASI INTERNASIONAL

Sama dengan persoalan pos, telekomunikasi juga tidak hanya men- jadi persoalan nasional, tetapi juga
merupakan persoalan internasio- nal. Lalu lintas telekomunikasi internasional harus diatur sebaik-baik
nya, sebab tiap-tiap hari telekomunikasi, baik yang berasal dari gun d. Dal per an sebu Indonesia
maupun yang berasal dari luar negeri, sangat banyak di- 433 lakukan, apalagi dengan adanya satelit
komunikasi "Palapa" yang memungkinkan orang dapat seketika berhubungan dengan orang di luar
negeri. Hal ini sudah disadari oleh Indonesia dan dari sebab itu Indonesia telah turut serta dalam
perjanjian internasional mengenai
telekomunikasi, yakni dengan adanya UU No 10 Tahun 1969 (LN 1969 Union di Montreux 1965."
Undang-undang ini mencabut UU No 6 Tahun 1961 (LN 1961 21), tentang "Perjanjian Internasional
Mengenai Pengiriman Berita Jarak Jauh". Undang-undang No 10 Tahun 1969 ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Agustus 1969.

144. TELEKOMUNIKASI UNTUK UMUM

Telekomunikasi untuk umum diselenggarakan dan diatur oleh Pe- merintah. Setiap orang berhak
mempergunakan segala fasilitas telekomunikasi ini dengan membayar, dan harus memperhatikan
ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini

a. Dilarang mengirimkan berita atau membicarakan sesuatu melalui telekomunikasi tentang hal-hal
yang:

1) membahayakan keselamatan negara;

2) mengganggu ketertiban umum

3) bertentangan dengan tata-susila.

Bila hal-hal tersebut di atas terjadi, maka Perum Telekomunikasi dapat menolak atau menghentikan
pengirimannya atau meng- hentikan kelanjutan percakapannya (pasal 7 UU Tel).

b. Bila ada perang, bahaya perang, huru hara dalam negeri atau pe- rang antara negara-negara asing
yang menyangkut kepentingan Indonesia, maka Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuknya dapat:

1) minta penjelasan tentang berita atau percakapan yang dilaku- kan melalui telekomunikasi;

2) minta salinan atau ulangan dari setiap berita dengan tertulis atau terrekam (pasal 8 ayat (1) UU Tel).

c. Dalam rangka pengusutan perbuatan pidana, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuknya dapat
memerintahkan penyerahan berita-berita tertulis atau terrekam yang sekiranya dapat diper- gunakan
sebagai alat bukti (pasal 8 ayat (2) UU Tel);

d. Dalam hal tanggung jawab dapat dikatakan bahwa Negara atau pemegang izin tidak bertanggung
jawab tentang kerugian-kerugi- an yang timbul dalam penggunaan fasilitas telekomunikasi ter- sebut
di atas, kecuali dalam hal-hal yang tercantum dalam pasal 433 dan 434 KUHP

Pasal 433 KUHP berbunyi: "Pejabat pada Jawatan Telegrap dan Telepon atau orang lain, yang bertugas
untuk mengawasi atau yang diw grap dan Telepon untuk umum, dihukum
1) dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun, jika dia dengan sengaja dan dengan melawan
hukum memberitah kan kepada orang lain berita yang diserahkan kepada Jawat. an Telegrap dan
Telepon atau kepada lembaga semacam itu atau jika dia dengan sengaja dan dengan melawan hukum
mem buka dan membaca berita telegrap atau telepon, atau memberi- tahukan isi berita itu kepada
orang lain;

2) dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika dia de- ngan sengaja memberikan kepada
orang lain daripada yang berhak atau menghancurkan, membinasakan, menghilangkan, mengambil
untuk diri sendiri atau merubah isinya berita, tele- grap atau telepon yang diserahkan kepada Jawatan
Telegrap dan Telepon atau lembaga sejenis."

Pasal 434 KUHP berbunyi sebagai berikut: "Pegawai dari lem- baga umum untuk pengangkutan atau
pejabat pada Jawatan Tele grap dan Telepon atau orang lain yang dimaksud dalam pasal 433 KUHP,
yang dengan sengaja membiarkan orang lain melakukan salah satu dari perbuatan-perbuatan yang
tersebut dalam pasal 431-433, atau menolong sebagai pembantu orang lain itu dalam perbuatan
tersebut, dihukum dengan hukuman dan menurut per bedaan yang ditetapkan dalam aturan itu."

Selanjutnya mengenai telekomunikasi untuk umum ini diatur dalam PP No 22 Tahun 1974 (LN 1974 -
27).

145. PEMASANGAN, PEMINDAHAN DAN GANTI RUGI

Jika untuk pemasangan alat-alat telekomunikasi untuk kepentingan umum yang diselenggarakan oleh
Negara, dianggap perlu untuk memasang alat-alat di tanah milik orang lain, maka pemilik tanah harus
memperkenankan, setelah diberitahukan sekurang-kurangnya dua kali dua puluh empat jam.

Dalam hal diperlukan pemindahan bangun-bangunan (rumah, gedung), maka pemberitahuan itu
harus dua kali tujuh hari. Jika pemindahan bangun-bangunan itu berakibat pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah itu, maka berla kulah ketentuan-ketentuan dalam UU
No 20 Tahun 1961 (LN 1961 288). Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atas
tanah itu menimbulkan akibat bahwa Negara harus memberi ganti kerugian kepada pemilik tanah dan
benda-benda tersebut (pasal adu 3 dsl. UU No 20 Tahun 1961).

Pemilik, penghuni atau pemegang persil yang persilnya dilintasi alat-alat telekomunikasi wajib
memperkenankan pemasangan alat-
alat telekomunikasi itu, baik di atas, maupun di dalam tanah (pasal 18 UU Tel).

146. RAHASIA BERITA

Setiap orang tidak diperbolehkan mengumurmkan atau menyatakan adanya berita yang diperoleh dari
penerimaan berita telekomuni- kasi tanpa hak dan tidak diperuntukkan bagi umum (pasal 22 UU Tel).
Ketentuan ini tidak mengurangi berlakunya pasal 8 UU Tel, yakni pembatasan hak mempergunakan
segala fasilitas telekomunikasi, bila ada perang atau keadaan darurat lainnya, serta pasal 322 dan 323
KUHP (pembocoran rahasia).

Pasal 322 KUPH ayat (1) berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja membocorkan rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda pa- ling banyak enam ratus rupiah."
Ayat (2) berbunyi: "Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang yang bersangkutan."

Pasal 323 ayat (1)KUHP berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja memberitahukan hal-hal khusus
tentang suatu perusahaan dagang, kerajinan atau pertanian, di mana dia bekerja atau dahulu bekerja,
yang olehnya supaya dirahasiakan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
denda paling banyak enam ratus rupiah."

Ayat (2) berbunyi: "Kejahatan ini hanya dapat dituntut atas peng- aduan pengurus perusahaan yang
bersangkutan."
BAB IV

HUKUM PENGANGKUTAN UDARA

147. PERATURAN-PERATURAN YANG BERLAKU BAGI PENGANGKUTAN UDARA

Hukum pengangkutan udara adalah sebagian dari hukum udara. Hu- kum udara Indonesia dapat dibagi
menjadi dua,yaitu:

a. Hukum udara kenegaraan (publiek luchtrecht)

b. Hukum udara keperdataan (privaat luchtrecht)

Hukum pengangkutan udara adalah sebagian dari hukum udara keperdataan. Mengenai bidang ini ada
beberapa peraturan yang.per lu diperhatikan, yaitu:

1) UU No 83 Tahun 1958 (LN 1958 159), tentang "Penerbang- an". Undang-undang ini mengatur
tentang: larangan penerbangan, endaftaran dan kebangen esawat-pesawat udara, surat tan
pendartaran da kelaikan dan kecakapan terbang, lapangan terbang, Dewan tuan me hendak
Penerbangan dan lain-lain

2) Luchtverkeersverordening (S. 1936 425), yang mengatur lalu lintas udara, misalnya: mengenai
penerangan, tanda-tanda dan is- yarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-
lain

3) Verordening Toezicht Luchtvaart (S. 1936-426), yang merupa- kan peraturan pengawasan atas
penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personil penerbangan, syarat-syarat
jasmani, surat tanda kecakapan sebagai ahli mesin dan ahli radio, penga- wasan atas materiil
penerbangan, selanjutnya pemeriksaan sebab- sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di
wilayah Indo- nesia dan lain-lain.

4) Luchtvaartquarantine Ordonnantie (S. 1939 149, jo S. 1939- 150), yang mengatur persoalan-
persoalan yang berhubungan de- ngan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penum-
pang-penumpang pesawat terbang;

5) Luchtvervoerordonnantie (S. 1939 100), "Ordonansi Peng angkutan Udara", yang mengatur
pengangkutan penumpang bagasi dan pengangkutan barang serta pertanggungan jawab peng
angkutan udara.
148. PERJANJIAN-PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN PERJANJIAN KHUSUS

Mengenai bidang pengangkutan udara ada beberapa perjanjian in- ternasional dan perjanjian khusus
yang perlu mendapat perhatian:

A.Perjanjian-perjanjian internasional

a.Perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September
1933. Perjanjian ini sangat erat hubungannya dengan "Luchtvervoerordonnantie" (S. 1939 100). Hal
ini terbukti dari bunyinya konsiderans "Luchtvervoeror- donnantie" sebagai berikut: "Dat Hij, in
aansluiting aan het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor
Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van een- heid in enige bepalingen inzake het
internasionale luchtvervoer (S 1933-344) voorzieningen willende treffen inzake het binnenlandsch
luchtvervoer, zoveel mogelijk overeenkomstig de bij de wet van 10 September 1936 (Ned. S. 1936-
523) voor Nederland vastgestelde voorschriften; enz." (Bahwa Dia, dengan menghubungkan
perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai gal tuan mengenai
pengangkutan udara internasional (S. 1933-344), hendak mengatur tentang pengangkutan udara
nasional yang sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dengan undang- undang
Nederland tanggal 10 September 1936 (Ned. S. 1936 523).

Pasal 1, "Luchtvervoerordonnantie" (S. "De bepalingen van deze ordonnantie vinden toepassing,
voorzoveel niet ingevolge het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933
voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake
het inter- nationale luchtvervoer (S. 1933 344), hierna te noemen "het verdrag", een andere
voorzieningen geldt" (Ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini berlaku, bila perjanjian tanggal 12
Oktober 1929 di Warsawa, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933 untuk
mempersatukan ketentuan-ketentuan mengenai peng- angkutan udara internasional (S. 1933-344)
selanjutnya disebut "Perjanjian", tidak menetapkan ketentuan lain).

b. Perjanjian Roma tanggal 29 Mei 1933, tentang "Convention on Damage caused by Foreign Aircraft
to Third Parties on The Surface" Perjanjian ini mengatur tentang tanggung jawab pengangkut udara
mengenai kerusakan/kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di muka bumi. Perjanjian ini
diperbaharui pada tahun 1952.
B.Perjanjian internasional khusus pengangkutan.

International Air Transport Association (IATA), sebagai suatu or ganisasi internasional, dalam mana
tergabung sebagian besar peng- angkut-pengangkut udara di seluruh dunia, mempunyai kekuataan
yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya. IATA telah menye- tujui "General Condition of
Carriage" (syarat-syarat umum peng- angkutan), baik untuk penumpang, bagasi maupun untuk barane
berdasarkan ketentuan-ketentuan perjanjian Warsawa. Syarat-sya- rat umum pengangkutan ini
bertujuan untuk mengadakan kesera gaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya,
ber. laku bagi pengangkutan udara internasional yang diselenggarakan oleh pengangkut udara
anggota IATA

Selain daripada itu, setiap pengangkut udara mempunyai pula syarat-syarat khusus sendiri yang
didasarkan pada "General Con- dition of Carriage" dari IATA. Syarat-syarat khusus itu selalu da pat
diminta untuk dilihat oleh setiap orang yang akan membeli tiket atau akan mengangkut barangnya
dengan pesawat terbang dari pengangkut udara yang bersangkutan. Syarat-syarat khusus ini perlu
diketahui lebih dulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab dalam tiket penumpang itu
selalu disebutkan bahwa peng. angkutan udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus
pengangkutan dan Ordonansi Pengangkutan Udara di Indonesia (S. 1939 100). Siapa yang telah
membeli tiket pengangkutan udara, maka terjadilah perjanjian pengangkutan antara pengusaha
dengan penumpang dan dengan sendirinya berlakulah semua keten- tuan-ketentuan yang disebut
dalam tiket itu terhadap' pengangkut dan penumpang.

149. SYARAT-SYARAT KHUSUS PENGANGKUTAN UDARA

Sebagai yang telah saya utarakan dalam pelajaran 146 huruf B, tiap tiap pengangkut udara dapat
mempunyai "syarat-syarat khusus yang didasarkan atas "syarat-syarat umum" dari IATA, "The Generi
Condition of Carriage". Sebagai contoh "syarat-syarat khusus te sebut, kita bisa mengambil syarat-
syarat khusus pengangkutan udara yang tercantum pada tiket GIA (Garuda Indonesian Airways) bagi
pengangkutan dalam negeri, yakni:

a. Perjanjian pengangkutan ini tunduk pada ketentuan-ketentuan Ordonansi Pengangkutan


Udara Indonesia (S. 1939 100), serta pada syarat-syarat pengangkutan, tarif-tarif, peraturan-
peraturan dalamnya, dan peraturan-peraturan lain dari pengangkut yang me-
rupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini, dan yang dapat diperiksa di kantor-
kantor pasasi pengangkut;

b. Tiket penumpang ini hanya dapat dipergunakan oleh orang yang namanya tertera di atasnya, dan
tidak dapat dipergunakan oleh orang lain. Penumpang meinyetujui bahwa bila perlu pengangkut dapat
memeriksa apakah tiket ini benar dipakai oleh orang yang berhak. Jika tiket ini dipergunakan atau
dicoba untuk dipergu- nakan oleh seorang lain daripada yang namanya tersebut dalam tiket ini, maka
pengangkut berhak menolak pengangkutan orang ini, serta hak pengangkutan dengan tiket ini oleh
orang yang ber hak menjadi batal.

c. Hak untuk menyerahkan penyelenggaraan perjanjian pengangkutan ini kepada perusahaan


pengangkutan lain, serta hak untuk mengu bah tempat-tempat pemberhentian yang telah disetujui,
tetap ber- ada di tangan pengangkat;

d. Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun, juga yang ditimbulkan oleh pembatalan
dan/atau kelambatan penye- rahan bagasi;

e. Bagasi tercatat, yang diangkut berdasarkan perjanjian ini, hanya akan diserahkan kepada
penumpang, jika surat bagasinya dikem- balikan kepada pengangkut;

f. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang timbul pada penumpang dan bagasi
dengan mengingat pada syarat-syarat dan batas-batas yang ditentukan dalam Ordonansi
Pengangkutan Udara Indonesia (S. 1939 100) dan syarat-syarat khusus peng- angkutan dari
pengangkut;

g. Bila penumpang pada saat penerimaan bagasi tidak mengajukan protes, maka dianggap bahwa
bagasi itu telah diterima dalam ke- adaan lengkap dan baik;

h. Semua tuntutan kerugian harus dapat dibuktikan besarnya keru- gian yang diderita

i. Tidak seorangpun dari agen-agen, pegawai-pegawai atau wakil wakil pengangkut berhak mengubah
atau membatalkan syarat- syarat pengangkutan, tarif-tarif, peraturan-peraturan dinas dan peraturan-
peraturan lain dari pengangkut yang berlaku, baik se- bagian maupun seluruhnya.

150. ORDONANSI PENGANGKUTAN UDARA

Mengenai pengangkutan udara Indonesia, peraturan pokoknya adalah: Ordonansi Pengangkutan


Udara (Luchtvervoer Ordonantie, S. 1939 100). Adapun yang saya anggap penting untuk dibicarakan
ialah
a. Ketentuan-ketentuan umum;

b. Dokumen-dokumen pengangkutan udara, yaitu:

1) tiket penumpang;

2) tiket bagasi;

3) surat muatan udara.

c. Tanggung jawab pengangkut.

Ordonansi Pengangkutan Udara Indonesia ini telah dibuat sesuai dengan perjanjian internasional di
Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang telah diberlakukan di Indonesia mulai tanggal 29 September
1933 (S. 1933-347). Perjanjian Warsawa itu adalah perjanjian yang bertujuan untuk mempersatukan
beberapa ketentuan dalam hal peng- angkutan udara internasional. Karena isi perjanjian Warsawa itu
sudah termasuk dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (S. 1939 100, disingkat: QPU), maka saya tidak
akan membicarakan perjanjian Warsawa itu secara khusus.

151. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Ordonansi Pengangkutan Udara (disingkat: OPU) menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan


dalam OPU berlaku ketentuan lain menurut perjanjian Warsawa. Jadi, kalau dalam perjan- jian
Warsawa telah menentukan sesuatu, maka ketentuan mengenai hal yang sama di OPU tidak berlaku.
Dengan begini, maka perjanjian War sawa merupakan hukum khusus terhadap OPU, sedangkan OPU
me- rupakan hukum umum bagi perjanjian Warsawa. Dengan begitu, hubungan antara perjanjian
Warsawa dengan OPU berlaku adagium: lex specialis derogat lex generali (hukum khusus menghapus
berlaku- nya hukum umum). Kedudukan pasal 1 OPU ini adalah sama dengan kedudukan pasal 1
KUHD, di mana dinyatakan bahwa KUHD meru- pakan hukum hhusus bagi KUHPER, sedangkan
KUHPER merupa- kan hukum umumnya.

OPU ini ditujukan untuk mengatur pengangkutan udara, tetapi ti- dak semua pengangkutan udara
tunduk pada OPU ini (pasal 2 OPU) Ada beberapa jenis pengangkutan, di mana OPU tidak berlaku,
yaitu:

a. Pengangkutan udara tanpa bayaran, yang tidak diselenggarakan oleh suatu perusahaan
pengangkutan udara;

b. Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan pengangkutan udara sebagai
suatu percobaan pertama, berhubung dengan maksud untuk mengadakan lin (lijn, line) penerbangan
teratur

c. Pengangkutan udara yang dilakukan dalam keadaan luar biasa, menyimpang dari usaha yang normal
dari suatu perusahaan pener- bangan;
d.Pengangkutan pos dan paket melalui udara yang dilaksanakan atas permintaan dari atau atas nama
penguasa yang berwenang;

e.Pengangkutan udara yang dilakukan oleh pesawat-pesawat terbang militer,pabean dan polisi.

152. PENGANGKUTAN ORANG DAN TIKET PENUMPANG

Saya sekarang akan membicarakan tentang dokumen pengangkutan udara yang ada 3 jenis, yaitu:
tiket penumpang, tiket bagasi dan surat muatan udara.

Tiket penumpang adalah suatu tanda bukti bahwa seseorang telah membayar uang angkutan dan
akibatnya berhak naik pesawat udara sebagai penumpang. Tiket penumpang juga merupakan tanda
bukti telah ditutupnya perjanjian pengangkutan antara penumpang dan pengangkut. Jadi, penumpang
adalah salah satu pihak dalam perjanji- an pengangkutan udara, sedangkan pihak lawannya adalah
pengangkut udara. Tiket penumpang merupakan syarat dalam perjanjían pengang- kutan udara, tetapi
bukan merupakan svarat mutlak, sebab tidak ada- nya tiket penumpang tidak berarti tidak adanya
perjanjian pengang kutan udara (pasal 5 ayat (2) OPU). Jadi, perjanjian pengangkutan dara bersifat
konsensual, yang adanya perjanjian itu pertama kali harus dibuktikan dengan tiket penumpang. Bila
tiket penumpang ini tidak ada, salah dibuatnya atau hilang, maka perjanjian pengang kutan udara
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain

Dengan adanya sifat konsensual pada perjanjian pengangkutan uda- ra dan tiket penumpang bukan
merupakan syarat mutlak bagi seorang penumpang, tidak berarti bahwa tiket merupakan hal yang
tidak perlu ada, sebab dalam pasal 5 ayat (1) OPU, pengangkut diharuskan memberikan tiket
penumpang kepada setiap penumpang. Bilamana pengangkut menerima seorang penumpang tanpa
tiket penumpang maka pengangkut tidak berhak mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam OPU
yang meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (pasal 5 ayat (2) kalimat terakhir).

Adapun tiket penumpang itu berisi:

a. tempat dan tanggal pemberian

b. tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;

c. pendaratan yang direncanakan dengan mengingat hak pengangkut untuk mengadakan perubahan-
perubahan bila perlu;

d. nama dan alamat pengangkut udara;

e.pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan- ketentuan tanggung jawab
yang diatur dalam OPU dan perjanjian Warsawa (pasal 5 ayat (1) OPU).
Dari ketentuan tersebut di atas tampak bahwa nama penumpane tidak diharuskan ditulis dalam tiket
penumpang itu. Tetapi dalam praktek nama penumpang itu selalu ditulis dalam tiket. Saya setuin
dengan kebiasaan ini, apalagi kalau ditinjau dari sudut ketertiban dan keamanan. Hal ini berhubungan
erat dengan syarat-syarat khusus dar perusahaan pengangkutan udara yang bersangkutan, misalnya
pada GIA yang berbunyi: "2. Tiket penumpang ini hanya dapat diperguna kan óleh orang yang
namanya tertera di atasnya, dan tidak dapat dipergunakan oleh orang lain. Penumpang menyetujui
bahwa hila perlu pengangkut dapat memeriksa apakah tiket ini benar-benar di- pakai oleh orang yang
berhak. Jika tiket ini dipergunakan atau dicoba untuk dipergunakan oleh seorang lain daripada yang
namanya terse- but dalam tiket ini, maka pengangkut berhak untuk menolak pengang- kutan orang
ini, serta hak pengangkutan dengan tiket ini oleh orang yang berhak menjadi batal." Jadi, untuk
kepentingan ketertiban dan keamanan, saya setuju nama penumpang itu ditulis dalam tiket
penumpang yang bersangkutan. Tidak pertu tiket ini dinyatakan me- akan mak tenis jian suat mem ra,
(pas baga dia yang OPU kepe bag bara nas rupakan perjanjian pengangkutan udara, tetap tiket itu
merupakan tanda bukti adanya perjanjian pengangkutan udara, dan perjanjian pengangkutan udara
itu tetap bersifat konsensuil. Saya berpendapat bahwa perlu sekali dalam pasal 5 ayat (1) OPU, sebagai
isi tiket pe numpang itu ditambah "nama dan alamat penumpang."

153. TIKET BAGASI

Barang-barang yang dibawa oleh penumpang dalam perjanjian ada dua macam, yaitu:

a.barang bawaan, ialah barang-barang kecil, yang dapat dibawa serta oleh penumpang dalam tempat
duduknya, misalnya: koper tangan (handback). Adanya barang-barang ini tidak perlu dilapor kan
kepada pengangkut dan terhadap barang-barang ini tidak dipu ngut biaya

b. barang-barang bagasi, ialah barang-barang yang dilaporkan kepada pengangkut dan untuk ini
penumpang mendapat tiket bagasi. Sampai berat tertentu penumpang dapat melaporkan barang
bagasi tanpa biaya. Definisi otentik mengenai bagasi terdapat da- lam pasal 6 ayat (2) OPU yang
berbunyi: "Bagasi adalah semua barang kepunyaan atau di bawah kekuasaan seorang penumpang
yang olehnya atau atas namanya, sebelum ia menumpang pesawat terbang, diminta untuk diangkut
melalui udara."

Tiket bagasi itu merupakan tanda bukti penitipan barang. yang nanti bila penumpang turun dari
pesawat terbang, barang bagasi itu
akan diminta kembali. Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan
bagasi ini merupakan "accessoire verbin tenis." Jadi, tiket bagasi itu hubungannya erat sekali dengan
perjan- jian pengangkutan. Tetapi meskipun begitu, tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di
dalamnya atau hilangnya tiket bagasi itu tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian
pengangkutan uda- ra, yang tetap akan tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam OPU (pasal 6 ayat
(5) OPU). Akan tetapi bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa memberikan
suatu tiket bagasi, maka dia tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan OPU, yang
meniadakan atau membatasi tanggung jawabnya (pasal 5 ayat (3) OPU). Dari ketentuan ini dapat
diambil kesimpulan bahwa untuk kepentingannya sendiri, pengangkut udara harus memberikan tiket
bagasi kepada penumpang, sebab kalau tidak, dia sendiri akan rugi bila barang bagasi itu hilang atau
rusak

Tiket bagasi itu harus berisi:

1) tempat dan tanggal pemberian

2) tempat pemberangkatan dan tempat tujuan

3) nama dan alamat pengangkut

4) nomor tiket penumpang:

5) pemberitahuan bahwa bagasi akan diserahkan kepada pemegang tiket bagasi:

6) jumlah dan berat barang

7) harga yang diberitahukan oleh penumpang;

8) pemberitahuan bahwa pengangkutan bagasi ini tunduk pada keten- tuan-ketentuan mengenai
tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa

Dari ketentuan isi nomor 5 tersebut di atas, dapat disimpulkan bah- wa tiket bagasi ini bersifat kepada-
pembawa, tetapi tidak dimaksudkan bahwa tiket ini bisa diperjual belikan. Tiket bagasi dibuat rangkap
dua, satu untuk penumpang, yang lainnya untuk pengangkut udara yang bersangkutan

154. PENGANGKUTAN BARANG DAN SURAT MUATAN UDARA

Bila seseorang akan mengirimkan barang dengan pesawat udara, se- dang dia sendiri tidak turut pergi,
maka pengirim barang itu memberi- kan surat muatan kepada pengangkut udara. Sebaliknya pengirim
berhak minta kepada pengangkut untuk menerima surat muatan udara tersebut (pasal 7 ayat (1)
OPU). Surat muatan itu dibuat oleh pengirim dalam rangkap tiga dan diserahkan bersama-sama
dengan
barangnya kepada pengangkut. Tiga rangkap muatan tersebut dapat diperinci sebagai berikut:

a. Lembar pertama memuat kata-kata "untuk pengangkut." Lembar ini ditandatangani oleh pengirim;

b. Lembar kedua memuat kata-kata "untuk penerima." Lembar ini ditanda tangani oleh pengirim dan
pengangkut, dan dikirim bersa- ma-sama dengan barangnya;

c. Lembar ketiga ditandatangani oleh pengangkut, dan setelah barang barang diterimanya, diserahkan
kepada pengirim.

Setelah barang-barang diterimanya, maka pengangkut harus menan- datangani surat muatan itu.
Tanda tangan pengangkut diganti dengan cap, sedang tanda tangan pengirim dapat dicetak atau
dengan cap.

Surat muatan udara itu biasanya sudah siap pada pengangkut ber- wujud "formelir blangko" yang
sudah dicetak. Bila si pengirim menya- takan kehendaknya untuk mengirim barang, maka pengangkut
mem- berikan formulir blangko yang sudah dicetak itu kepada pengirim untuk diisi. Tetapi bila
pengangkut membuat surat muatan atas per- mintaan pengirim, maka itu dianggap pengangkut
bertindak atas tang- gung jawab pengirim, kecuali bila ada bukti yang menyatakan seba- liknya (pasal
8 OPU).

Kedudukan hukum surat muatan udara itu sama dengan tiket pe- numpang atau tiket bagasi, yakni
kalau surat muatan tidak ada, ada kesalahan di dalamnya atau hilang, maka hal itu tidak
mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap tunduk pada
ketentuan-ketentuan dalam OPU. Tetapi kalau pengang- kut menerima barang muatan tanpa
memberikan surat muatan udara, maka pengangkut tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-
ketentuan dalam OPU yang meniadakan atau membatasi tanggung- jawabnya (pasal 11 OPU). Surat
muatan udara merupakan bukti:

1) tentang adanya perjanjian pengangkutan udara;

2) tentang penerimaan barang-barang;

3) tentang syarat-syarat pengangkutan (pasal 14 OPU).

155. ISI SURAT MUATAN UDARA

Menurut pasal 10 OPU, surat muatan udara itu harus berisi:

1) tempat dan tanggal surat muatan udara itu dibuat;

2) tempat pemberangkatan dan tempat tujuan;

3) pendaratan-pendaratan yang direncanakan dengan mengingat hak pengangkut udara untuk


merubah rencana itu bila perlu;

4) nama dan alamat pengangkut pertama;

5) nama dan alamat pengirim;

6) nama dan alamat penerima;


7) macam barang;

8) jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor barang-barang;

9) berat, jumlah, besar atau ukuran barang-barang;

10) keadaan luar barang-barang dan pembungkusannya

11) uang angkutan udara, tanggal dan tempat pembayaran dan orang- orang yang harus membayar;

12) jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran, harga ba- rang-barang dan jumlah biaya-
biaya;

13) jumlah nilai barang-barang;

14) dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat;

15) surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barang-barang;

16) lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang rute yang akan ditempuh;

17) pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan- ketentuan tanggung jawab yang
diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas ini dapat dikatakan bah wa surat muatan udara ini isinya
lebih lengkap daripada tiket penum- pang atau tiket bagasi. Tetapi kedudukan hukumnya toh sama
saja dengan tiket penumpang atau tiket bagasi, artinya bila tiket tidak ada, ada kesalahan di dalamnya
atau hilang, maka perjanjian udara masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Dengan
tidak adanya surat muatan udara berakibat bahwa pengangkut akan mende- rita kerugian bila barang-
barang itu hilang atau rusak. Tetapi hal yang demikian itu sulit digambarkan adanya, karena surat
muatan itu tidak hanya dipegang oleh pengangkut saja, tetapi juga oleh pengirim dan penerima.

156. HAK, KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PENGIRIM DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SURAT
MUATAN UDARA

Adalah kewajiban pengirim untuk mengisi formulir surat muatan udara untuk kepentingan
pengangkut dan dirinya sendiri. Dalam surat muatan udara itu pengirim harus memberitahukan
keterangan-kete- rangan secara lengkap mengenai barang-barang yang akan dikirim kan. Mengenai
kebenaran keterangan-keterangan ini pengirim ber- taggung jawab, artinya pengirim bertanggung
jawab terhadap semua kerugian yang diderita oleh pengangkut atau pihak-pihak lain sebagai akibat
dari pemberitahuannya dan keterangannya yang kurang teliti, salah atau tidak lengkap (pasal 12 OPU).
Pengirim juga wajib menyertai surat muatan itu dengan surat-surat yang diperlukan pada penyerahan
barang-barang kepada penerima, untuk memenuhi syarat-syarat dari pabean, pajak-pajak setempat
dan polisi. Mengenai kelengkapan surat-surat ini pengirim bertanggung jawab, yang berarti, kalau
timbul suatu kerugian akibat tidak adanya tidak lengkapnya atau tidak telitinya terhadap surat-surat
itu, yang di- derita oleh pengangkut, maka pengirim bertanggung jawab atas keru- gian itu terhadap
pengangkut udara. Mengenai kebenaran keterangan- keterangan, lengkap atau tidaknya surat-surat
itu pengangkut tidak wajib memeriksanya (pasal 13 OPU).

Pengirim berhak menguasai barang, asal dia memenuhi kewajib an-kewajiban menurut perjanjian
pengangkutan udara dengan cara- cara

a.mengambil kembali barang-barang itu di lapangan udara pembe- rangkatan atau di lapangan udara
tujuan

b. menahan barang-barang itu pada suatu pendaratan selama dalam perjalanan;

c.menyuruh menyerahkan barang-barang itu di tempat tujuan atau selama perjalanan kepada seorang
lain daripada penerima sebagai yang disebutkan dalam surat muatan udara;

d. minta supaya barang-barang dikirim kembali ke lapangan pembe- rangkatan; asal saja penggunaan
hak ini tidak merugikan pengang- kut maupun pengirim-pengirim yang lain, dan pengirim yang ber-
kepentingan mengganti biaya-biaya yang timbul karenanya (pasal 15 ayat (1) OPU).

Kalau pengangkut tidak mungkin melaksanakan perintah pengi- rim itu, dia harus memberitahukan
kepada pengirim pemberi perintah. Tetapi kalau pengangkut telah dapat melaksanakan perintah
pengirim itu, dia harus minta kembali surat muatan udara yang telah diberi- kan kepadanya. Kalau
tidak, dia bertanggung jawab terhadap pihak lain yang memiliki surat muatan itu secara sah, dengan
tidak mengu- rangi hak pengangkut untuk menuntut penggantian kepada pengirim. Hak pengirim
untuk menguasai barang, hilang pada saat penerima mu- lai melaksanakan haknya, yaitu bila barang
sudah sampai di lapangan udara tujuan, penerima menuntut penyerahan surat muatan udara serta
barangbarangnya dengan cara:

1) membayar semua biaya yang menjadi kewajibannya;

2) memenuhi ketentuan-ketentuan seperti yang tersebut dalam surat muatan udara. Pada saat inilah
hak pengirim untuk menguasai barang itu menjadi lenyap.
157. HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA DAN PENGANGKUT DALAM HUBUNGANNYA DENGAN SURAT
MUATAN UDARA

Bila barang sudah sampai di lapangan udara tujuan, maka pengangkut berkewajiban untuk memberi
tahu si penerima, kecuali kalau ada perjanjían sebaliknya. Penerima berhak menuntut penyerahan
surat muatan udara dengan barang-barangnya bila dia telah memenuhi ke- wajibannya dengan
membayar uang angkutan dan memenuhi segala ketentuan yang tersebut dalam surat muatan udara

Dalam hal:

a. penerima tidak datang;

b. penerima menolak untuk menerima barang

c. penerima menolak untuk membayar apa yang harus dibayarnya;

d. bila barang-barang itu disita;

pengangkut wajib menyimpan barang-barang tersebut di tempat yang baik atas tanggung jawab orang
yang berhak. Dalam hal ini pengangkut wajib memberitahukan kepada pengirim, dan dalam hal
adanya pensitaan juga harus memberitahukan kepada peneri- ma, secepat mungkin dengan telegram
atau telepon atas biaya yang berhak, mengenai penyimpanan dan sebab-sebabnya (pasal 17 OPU)

Bila barang yang disimpan itu mudah busuk, dan pengirim sesudah lampau waktu 12 jam sejak
diberitahukannya tentang penyimpanan itu tidak mengurus barang-barangnya, maka pengangkut
wajib menjual barang itu untuk seluruhnya atau sebagian dengan cara yang paling tepat dan hal itu
segera diberitahukan kepada pengirim. Hak menjual barang-barang itu juga dapat diberikan kepada
orang yang diberi kuasa oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat, dengan ketentuan bahwa ha- sil
penjualan itu dipergunakan untuk membayar uang angkutan dan biaya penyimpanan, sedangkan
selebihnya disimpan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang (pasal 18 OPU).

Bila barang muatan itu disita, maka menurut ketentuan pasal 17 OPU, pengangkut wajib menyimpan
barang itu di tempat yang baik Kalau pengangkut menyalahi ketentuan ini, yakni menyerahkan ba-
rang itu kepada si penerima, maka dia bertanggung jawab secara priba- di atas kerugian yang timbul
terhadap orang yang melakukan pensita- an. Dalam hal ini si penerima dianggap mengetahui adanya
pensitaan barang itu, kecuali kalau ada bukti sebaliknya. Dan bila pensitaan itu bukan pensitaan
revindikasi, maka tuntutan itu dapat dibebankan pada barang yang bersangkutan (pasal 19 OPU).

Bila pengangkut telah menyerahkan barang kepada penerima, maka hal uang angkutan belum lunas
dibayarnya, maka pengangkut kehi-
langan hak untuk mendapat sisa uang angkutan itu dari pengirim. Da- lam hal ini tuntutan pengangkut
kepada penerima menjadi daluwarsa sesudah lampau waktu satu tahun. Jangka waktu ini mulai
berjalan se- jak mulai berakhirnya perjalanan (pasal 20 ayat (2) OPU).

Penerima yang telah menerima bagasi atau barang tanpa protes dianggap bahwa barang atau bagasi
itu telah diterima dengan baik Dalam hal ada kerusakan, maka penerimaeharus mengajukan protes
kepada pengangkut segera setelah kerusakan itu diketahui dan selam- bat-lambatnya dalam jangka
waktu 3 hari untuk bagasi dan 7 hari bagi barang muatan, terhitung mulai hari penerimaan bagasi atau
ba- rang yang bersangkutan. Dalam ada kelambatan, maka protes harus diajukan dalam itu ada di
dalam kekuasaannya (pasal 35 OPU)

158. TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA

Pengangkut udara bertanggung jawab untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau jejas (lichamelijke
letsel) pada tubuh penumpang, bila:

a. kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara;

b. terjadi di atas pesawat terbang;

c. selama jangka waktu antara naik dan turun dari pesawat terbang (pasal 24 ayat (1) OPU).

Kalau luka itu menimbulkan kematian si penumpang, maka ahli waris penumpang yang sah, dapat
menuntut ganti kerugian yang di- nilai sesuai dengan kedudukan, kekayaan dan keadaan yang bersang
kutan

Pengangkut bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi se- bagai akibat kemusnahan,
kehilangan atau kerusakan bagasi atau ba- rang muatan bila:

1) peristiwa yang menyebabkan kerugian itu terjadi selama pengang- kutan udara;

2) termasuk "selama pengangkutan udara" ialah selama bagasi atau barang muatan itu ada di bawah
pengawasan pengangkut, baik di lapangan terbang, di dalam pesawat atau di luar lapangan terbang

3) waktu pengangkutan udara tidak meliputi pengangkutan di darat, laut atau sungai, yang
dilaksanakan di luar suatu lapangan terbang (pasal 25 OPU).

Ganti kerugian yang harus dibayar oleh pengangkut bila bagasi atau barang muatan itu:

a) hilang seluruhnya atau sebagian, diperhitungkan harga barang yang semacam dan sama sifatnya di
tempat tujuan, pada waktu atau ba-
rang atau bagasi itu seharusnya diserahkan, dikurangi dengan jumlah uang yang karena barangnya
tidak ada itu tidak perlu diba- yar, yakni mengenai uang angkutan dan biaya-biaya lain (pasal 26 OPU)

b) bila rusak, diperhitungkan harga barang sebagai di atas, dikurangi dengan harga barang yang rusak,
dan sisanya dikurangi pula dengan jumlah uang, yang karena kerusakan itu tidak perlu dibayar, yakni
mengenai uang angkutan dan biaya-biaya lain (pasal 27 OPU).

c) terlambat datang di tempat tujuan. Hal ini tidak hanya mengenai barang muatan dan bagasi, tetapi
juga mengenai penumpang, ke- cuali kalau ada perjanjian lain (pasal 28 OPU)

159. PENGANGKUT BERHAK MENOLAK TANGGUNGJAWABNYA

Pengangkut berhak menolak tanggungjawabnya bila:

a. pengangkut dapat membuktikan bahwa dia dan semua buruhnya telah mengambil segala usaha dan
tindakan yang perlu untuk meng- hindarkan kerugian itu;

b. pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak mungkin meng- ambil tindakan pencegahan
tersebut.

c. kerugian itu disebabkan karena kesalahan yang menderita kerugian sendiri;

d. kesalahan si penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu; dalam hal kejadian seperti
tersebut pada huruf c dan d, Hakim da- pat mengenyampingkan atau mengurangi tanggung jawab
pengang kut (pasal 29 ayat (1) OPU). Pasal ini ada kesesuaiannya dengan pasal 91 dan 92 KUHD.

Bila mengenai pengangkutan barang muatan dan bagasi, pengang- kut dapat menolak
tanggungjawabnya, bila:

1) pengangkut dapat membuktikan bahwa kerugian itu disebabkan oleh kesalahan pada
pengemudian, pada pimpinan penerbangan dari pesawat terbang atau pada navigasi;

2) pengangkut dan semua buruhnya sudah mengambil semua tindakan untuk menghindarkan
timbulnya kerugian itu;

3) pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak mungkin mela- kukan tindakan pencegahan
seperti tersebut di atas (pasal 29 ayat (2) OPU)

160. PEMBATASAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT UDARA

Tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang yang luka, jejas atau mati dibatasi pada
jumlah Rp 12.500,- per orang. Menge-
nai bagasi dan barang muatan, ganti kerugian itu dibatasi sampai Rp 25,- per kg, sedang mengenai
barang bawaan dibatasi sampai jumlah Rp 500,- per penumpang. Peraturan ini berlaku, kecuali ka- lau
ada perjanjian khusus mengenai hal itu (pasal 30 OPU). Pada teks aslinya, dalam bahasa Belanda,
mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut udara itu dengan "gulden," bukan dengan
rupiah," pada hal kurs "gulden" terhadap rupiah sekarang (21 Agustus 1979) PENCER rad dPe inKe
sudah mencapai 313. Pada umumnya jumlah batasan tanggung jawab pengangkut, dengan suatu
perjanjian khusus, telah dirubah dengan jawab pengangkut itu dinyatakan dengan "rupiah," hanya
jumlahnya yang dirubah. Perubahan demikian itu dimungkinkan oleh pasal 30 OPU, dengan suatu
perjanjian khusus.

Pengangkut harus mengganti kerugian pada barang bawaan penum pang, yaitu barang yang dibawa
di tempat duduk, kalau penumpang telah mengambil tindakan seperlunya untuk menjaga barang
tersebut, kecuali bila pengangkut:

a. dapat membuktikan bahwa dia dan semua buruhnya telah meng- ambil segala tindakan yang perlu
untuk menghindarkan kerugian itu;

b. tidak mungkin bagi pengangkut dan buruh-buruhnya untuk meng- ambil tindakan tersebut;

c. dapat membuktikan bahwa kerugian itu akibat dari kesalahan pada pengemudian, pada pimpinan
penerbangan dari pesawat terbang atau pada navigasi (pasal 31 OPU).

Kecuali mengenai soal keterlambatan datangnya barang, setiap sya- rat yang bertujuan untuk
meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas yang
telah diten- tukan dalam OPU, adalah batal. Akan tetapi batalnya syarat ini tidak membatalkan
perjanjian pengangkutan, yang tetap tunduk pada OPU (pasal 32 OPU)

Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara ini dapat dipergu nakan, kecuali apabila kerugian itu
diakibatkan karena kesalahan atau kesengajaan pengangkut udara atau buruh-buruhnya (pasal 34
OPU).

Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut udara harus diaju- kan dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun, terhitung mulai saat tibanya ditempat tujuan, atau mulai hari pesawat udara seharusnya tiba,
atau mulai perjanjian pengangkutan udara diputuskan atau dibubarkan Bila sudah lampau waktu 2
tahun, maka hak penuntutan itu lenyap (pasal 36 OPU).
BAB V

HUKUM PENGANGKUTAN PERAIRAN DARAT

161. PENCERTIAN PERAIRAN DARAT

Perairan darat ialah perairan di daerah darat, seperti: sungai, terusan dan danau. Pemerintah
Indonesia mempergunakan istilah "perairan pedalaman" (Keputusan Menteri Perhubungan tanggal
15 April 1970, No SK 117/M/70, mengenai "Ketentuan-ketentuan tentang Penggu- naan Perairan
Pedalaman untuk Angkutan Umum dan Angkutan Ba rang Khusus"). Dalam keputusan tersebut pasal
1 huruf a berbunyi: "Perairan pedalaman adalah semua perairan di daerah daratan seperti: sungai-
sungai, terusan-terusan, danau-danau dan lain sebagainya. Istilah"perairan pedalaman" ini berasal
dari istilah Belanda "binnen- wateren," yang dalam W.v.K. Belanda ada ketentuannya, yaitu dalam
pasal 748 ayat (2) W.v.K.Ned. yang berbunyi: "Onder schepen zijn begrepen schepen in aanbouw;
onder binnenwateren de stromen, de rivier monden, de Dollart, de Lauwerszee, de Waddenzee en
het Ijsselmeer" (Termasuk pengertian kapal ialah kapal dalam pembangun an; yang dimaksud dengan
perairan pedalaman ialah sungai-sungai, muara sungai, Dollart, Laut Lauwer, Laut Wadden dan danau
ljssel).) Tepat juga Dorhout Mees mengatakan dalam bukunya "Nederlands Handels noemt echter
enige wateren waaromtrent twifel mogelijk ware en brengt die onder de binnenwateren. Dit geeft dus
tevens de grens aan van wat onder zee valt te rekenen." Jelasnya, Dorhout membim- bangkan apakah:
laut Lauwer dan laut Wadden termasuk dalam go- longan "binnenwateren" (perairan pedalaman).
Molengraaff )menga- takan "Binnenwateren zijn de stromen, riviermonden, de Dollart, de
Lauwerszee, de Waddenzee en het ljsselmeer en uiteraard ook de rivieren en kanalen in binnen en
buitenland."

Apa yang dinyatakan oleh pasal 748 ayat (2) W.v.K. Nederland itu khusus buat Nederland, artinya tidak
bisa dipakai untuk Indonesia, sebab di Indonesia tidak ada: Dollart, Lauwerzee dan Waddenzee. Buat
saya di Indonesia masih ada jenis perairan yang masih menjadi

1) Cremers We tboek van Koophandel en Faillisse mentswet, 1974, bl. 411;

2) Dorh ou t Mees, Ned. Handels-.I1I, druk 6, bl. 239, no. 9.13;

3) Molengraaff, deel Iv, druk 9, bl. 1308:


persoalan, yaitu: perairan di pantai di belakang rambu laut, di mana dilarang dilayari oleh kapal laut,
tetapi diperbolehkan dilayari oleh kapal sungai, yang telah melayari sungai yang satu dan akan masuk
melayari sungai yang lain. Perairan kedua yang menjadi persoalan ia lah perairan yang ada dalam
lingkungan tembok pelabuhan. Pada hemat saya kedua jenis perairan tersebut belakangan ini
termasuk perairan darat, oleh karena keduanya tidak lazim dikatakan perairan laut. Jadi, pada hemat
saya yang disebut "perairan darat" ialah sungai, terusan, danau, muara sungai, pantai di belakang
rambu laut dan perairan dalam lingkungan tembok pelabuhan. Perairan selain itu disebut perairan
laut atau laut saja.

Mengenai stilah "perairan pedalaman", menurut pendapat saya kurang dapat memberi gambaran
yang jelas apa yang dimaksud, se- bab muara sungai, perairan pantai di belakang rambu laut, perairan
di lingkungan tembok pelabuhan (di Indonesia) dan de Dollart, de Lauwerszee dan Waddenzee (di
Nederland) tidak terletak di pedalam- an. Dari itu saya mempergunakan istilah "perairan darat," yang
dapat lebih menggambarkan perairan yang dimaksud, yaitu perairan yang masih di lingkungan atau
dekat dengan darat

Pengangkutan di perairan darat di Indonesia, yang paling banyak dilakukan di sungai, sebab terusan
(kanal) dan danau di Indonesia kecil-kecil, tidak memenuhi syarat untuk pengangkutan. Pengangkut-
an sungai di Indonesia semuanya di luar Jawa, sebab sungai di Jawa kecil-kecil, tidak memenuhi syarat
untuk pengangkutan, pula karena pengangkutan di Jawa lebih gampang dilakukan melalui jalan raya
atau dengan kereta api. Pengangkutan sungai di luar Jawa yang banyak dilakukan misalnya di sungai:
Musi, Batanghari, Barito, Mahakam, Kapuas dan lain-lain

162. DIREKTORAT PELAYARAN SUNGAI, DANAU DAN FERRY

Pengangkutan perairan darat diurus oleh suatu direktorat yang disebut "Direktorat Sungai, Danau dan
Ferry," yang termasuk dalam ling kungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat pada Departem
Perhubungan RI. Di sini ada satu kata baru vang perlu mendapa penjelasan, yaitu kata "ferry." Menurut
lampiran surat Keputusan Menteri Perhubungan Tanggal 22 Januari 1971, No. SK/20/P/71 "lintasan
ferry" adalah: perairan laut/sungai/danau, yang memisahkan dua buah tempat yang bersifat
kelanjutan ataunraiangan dari ke- giatan perhubungan jalan raya atau kereta api. Direktorat ini adalah
direktorat baru, yang dibentuk hubungan tanggal 22 Juni 1970, No SK/234/U/1970, yang kekuasaan
nya meliputi seluruh sungai-sungai, danau-danau, terusan-terusan, perairan bandar dan lintasan-
lintasan ferry

163. PERATURAN-PERATURAN PENTING MENGENAL PENGANGKUTAN PERAIRAN DARAT

Peraturan-peraturan yang penting bagi pengangkutan perairan darat ialah:

a. Binnenschepen-ordonnantie 1927 (S. 1927-289 jo 1929-111), tentang "Pengawasan atas Kapal-


Kapal yang Berlayar di Sungai dan Perairan Darat Lainnya."

b. Binnenaanvaringsreglement (S. 1914-226, yang diubah dan ditam- bah yang terakhir dengan S.
1947-50), tentang "Tubrukan Kapal di Sungai dan di Perairan Darat Lainnya."

c. Surat Keputusan Menteri Perhubungan, tanggal 4 Agustus 1964, No Kab. 4/12/25, "Pengaturan
tentang Penyelenggaraan Pelayaran Sungai, Terusan dan Danau.

d. Surat Keputusan Menteri Perhubungan, tanggal 15 April 1970, No SK/117/M/70, "Ketentuan-


Ketentuan Tentang Penggunaan Perairan Pedalaman untuk Angkutan Umum dan Angkutan Barang
Khusus"

e. KUHD, Buku I, Bab V, Bagian III, pasal 91 sampai dengan 98, tentang "Pengangkutan Barang melalui
Jalan Darat dan Perairan Darat"

f. KUHD, Buku II, Bab XIII, pasal 748 sampai dengan 754, mengenai "Kapal-Kapal yang Melalui Perairan
Darat.”

Dari daftar peraturan-peraturan tersebut di atas tampak jelas bahwa pengangkutan di perairan darat
erat hubungannya dengan pengangkut- an di darat dan di laut. Itu sebabnya maka beberapa peraturan
menge- nai hukum laut di berlakukan pada pengangkutan perairan darat, misalnya: Bab XIII, Buku II,
KUHD. Sedangkan peraturan pengang- kutan barang di darat dipersatukan dengan peraturan
pengangkutan barang di perairan darat, misalnya: KUHD, Buku I, Bagian V, pasal 91 s/d 98.

164. PERATURAN PERATURAN YANG DIBERLAKUKAN PADA KAPAL-KAPAL PERAIRAN DARAT

Beberapa peraturan yang diberlakukan pada kapal-kapal perairan darat, yaitu:

a. Untuk pendaftaran kapal perairan darat berlaku "Regeling van Teboekstelling van Schepen" (S.
1933-48 jo 38-2, m.b. 1 April 1938). Lihat pasal 749 KUHD
b. Pasal 315 s/d 319 KUHD, mengenai hak hipotik dan hak istimew pada Kapal dan Muatan Kapal (pasal
750 KUHD)

c. Pasal 320 s/d 322 KUHD, mengenai "Pengusaha Kapal" (pasal 75 KUHD);

d. Bab VI dan VII, Buku II, KUHD, tentang "Tubrukan Kapal" dan "Kapal Pecah, Kandas dan Penemuan
Barang di Laut (pasal 75 KUHD): Mengenai soal "Tubrukan Kapal" juga ada peraturan di luar KUHD,
yaitu: "Binnenaanvaringsreglement" (S.1914-226, yang telah dirubah dan ditambah, yang terakhir
dengan S. 1947 50).

e. Mengenai daluwarsa dan gugurnya penagihan-penagihan, berlaku Bab XII, Buku II, KUHD, pasal 741
s/d 747 (pasal 753 KUHD);

f. Mengenai hal-hal lain yang menyangkut persoalan pelayaran kapal perairan darat berlaku "Hukum
Kebiasaan" dan ketentuan-keten- tuan yang ada mengenai itu (pasal 754 KUHD).

165. PENGANGKUTAN BARANG MELALUI PERAIRAN DARAT

Mengenai hal ini belaku KUHD, Buku I, Bab V, Bagian III, pasal91 98, yang juga berlaku bagi
pengangkutan barang melalui jalan darat, seperti yang telah saya uraikan dalam Bab III, Bagian 1, seksi
I, pasal 90 sampai dengan 98 di muka (pelajaran nomor 41 sampai dengan 79). Jadi, uraian pada
pelajaran nomor 41 s/d 79 berlaku juga bagi pengangkutan barang melalui perairan darat. Tetapi,
untuk mengingat kembali uraian-uraian tersebut, saya pandang perlu untuk memberi- kan
ringkasannya sebagai berikut:

a. Tanggung jawab pengangkut


Pengangkut bertanggung jawab terhadap barang-barang yang telah ditérimanya atas segala
kerusakan yang terjadi, kecuali bila ke- rusakan itu disebabkan karena:
1) cacat pada barang itu sendiri;
2) keadaan memaksa, yang bersifat subyektif;
3) kesalahan atau kealpaan pengirim atau ekspeditur (pasal 91 KUHD):
4) keterlambatan karena keadaan memaksa (pasal 92 KUHD).

b. Bila barang sudah diterima oleh penerima

Hak menuntut kerugian kepada pengangkut karena rusak atau ku- rangnya barang menjadi
gugur, bila:
a) barang itu sudah diserahkan kepada penerima dengan baik, dan
b) uang angkutan sudah dibayar, dan
c) dilihat dari luar barang itu tidak rusak atau kurang.
Tetapi bila rusak atau kurangnya barang itu tidak dapat dilihat dari

Anda mungkin juga menyukai