Anda di halaman 1dari 18

PERAN HUKUM LAUT DALAM TRANSPORTASI

PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas


Pada Mata Kuliah Hukum Laut
(Dosen : Dr. Eko Budi S, S.H, M.H.)

OLEH:

NAMA :ARMAN NURFAIZI

NRP : 195710027

KELAS : KPN – A

UNIVERSITAS MARITIM AMNI SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Peran hukum laut dalam
transportasi pengangkutan laut di Indonesia” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr.
Eko Budi S, S.H, M.H. pada mata kuliah Hukum Laut.Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang hukum laut dalam transportasi laut di
Indonesia bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Eko Budi S, S.H, M.H. selaku Dosen
Pembimbing mata kuliah Hukum Lautyang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua sumber yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Ciamis, 30 Maret 2020

ARMAN NURFAIZI

1|Makalah Hukum Laut


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. 1

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 3

A. Latar Belakang………………………………………………………….. 3
B. Permasalahan……………………………………………………………. 5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………. 6

1. Pengertian hukum pengangkutan laut…………………………………… 6


2. Dasar hukum pengangkutan laut di Indonesia………………………….. 7
3. Tanggung jawab pengangkut……………………………………………. 9
4. Pihak – pihak terkait dalam pengangkutan 11

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………… 14

A. Kesimpulan……………………………………………………………….. 14
B. Saran………………………………………………………………………. 15

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 17

2|Makalah Hukum Laut


BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Hukum sebagai gejala sosial mengandung berbagai aspek, faset, ciri, dimensi waktu
dan ruang, serta tatanan abstraksi yang majemuk. Karena itu, hukum dapat dikaji dan
dipelajari secara rasional-sistematikal-metodikal dari berbagai sudut pandang dan
pendekatan.Dari pengkajian tersebut terbentuklah sebuah disiplin ilmiah yang
objeknya adalah hukum. Keseluruhan disiplin ilmiah tersebut dapat disebut dengan
istilah, yaitu Disiplin Ilmiah tentang Hukum (sciences concerned with law,
Radbruch), atau Ilmu-ilmu Hukum (Mochtar Kusumaatmadja) atau Pengembanan
Hukum Teoritikal (theoretische rechtsbeofening, Meuwissen). Istilah-istilah tersebut
menunjukkan pada kegiatan akal budi untuk secara ilmiah rasional-sistematikal-
metodikal dan terus menerus) berupaya untuk memperoleh pengetahuan tentang
hukum dan penguasaan intelektual atas hukum.[1]

Menurut Surojo Wignodipuro, Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat


memaksa yang menentukan tingkah laku masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturn-peraturan tersebut berakibat
suatu tindakan. Hukum itu sendiri melingkupi berbagai bidang dalam kehidupan
sehari-hari.Yang sistem pengaturan dan pelaksanaannya ada yang memiliki kesamaan
dan adapula yang memiliki perbedaan.
Sebagai contoh di bidang Pengangkutan.Hukum pengangkutan merupakan bagian dari
hukum dagang (perusahaan) dan hukum dagang (perusahaan) termasuk dalam bidang
hukum keperdataan.Dilihat dari segi susunan hukum normatif, bidang hukum
keperdataan adalah sub-sistem tata hukum nasional.Jadi, hukum dagang (perusahaan)
termasuk dalam sus-sistem tata hukum nasional.

Pengangkutan di Indonesia memiliki peranan penting dalam memajukan dan


memperlancar perdagangan dalam maupun luar negeri karena adanya pengangkutan
dapat memperlancar arus barang dari daerah produksi ke konsumen sehingga
kebutuhan konsumen dapat terpenuhi.Hal tersebut dapat terlihat pada perkembangan

3|Makalah Hukum Laut


dewasa ini jasa pengangkutan di Indonesia mulai menunjukkan kemajuan, terbukti
dengan ditandainya banyaknya perusahaan industri yang percaya untuk menggunakan
jasa pengangkutan.

Melalui jasa angkutan ini dapat melahirkan berbagai kegiatan bisnis


lainnya.Meskipun demikian, perlu disadari bahwa kegiatan pengangkutan melalui
laut, juga memiliki resiko yang cukup besar.Salah satu karakteristik bisnis pelayaran
di samping padat modal dan pengembalian modalnya lama, resiko terkena hokum
ataupun syarat yang harus dipatuhi sangatlah tinggi.Oleh karena itu, antara
keselamatan internasional dan implementasinya menjadi sangat penting untuk
memastikan pengoperasian kapal kapal di laut.

Pengangkutan laut terjadi karena adanya suatu perjanjian antara kedua pihak, yaitu
pihak pemberi jasa pengangkutan dengan pemakai jasa. Dengan adanya perjanjian
tersebut menyebabkan suatu tanggung jawab bagi pengangkut yang terletak pada
keamanan dan keselamatan kapal serta muatannya terutama pada saat pelayaran atau
selama dalam pengangkutan sebagaimana yang tercantum pada pasal 468 KUHD

Salah satu aturan yang menjadi sumber hukum internasional mengenai tanggung
jawab pengangkutan laut dapat dilihat dari United Nation Convention The Carriage of
Goods by Sea (The 1978 Hamburg Rules), khusus mengenai pertangung jawaban
terdapat dalam pasal 4 sampai pasal 8. Pasal 4 ayat 1 The 1978 Hamburg Rules
memberikan aturan mengenai pihak yang bertanggung jawab atas barang dalam
pengangkutan laut serta masa bertanggung jawab atas barang dalam pengangkutan
tersebut

Salah satu perselisihan yang sering timbul dalam pengangkutan laut adalah adanya
kerusakan barang yang menimbulkan hak tuntutan ganti rugi dari pemilik barang
kepada pengangkut. Timbulnya claim-claim dari pemilik barang berupa kerusakan
barang, penting di perhatikan oleh para pihak yang terlibat dalam proses
pengangkutan untuk dapat menentukan pihak mana yang benar-benar bertanggung
jawab terhadap tuntutan ganti rugi atas kerusakan barang tersebut.

4|Makalah Hukum Laut


Dari berbagai masalah praktik di lapangan penulis akan melakukan penelitian
tanggung jawab perusahaan jasa bongkar muat barang angkutan laut yang terjadi di
pelabuhan Teluk Bayur Sumatera Barat. Banyak pihak pengguna jasa, baik pengirim
maupun penerima barang yang kecewa dengan pelayanan jasa bongkar muat barang
karena banyaknya resiko yang timbul terhadap barang yang dikirim oleh pengguna
jasa, sehingga mengakibatkan kerugian.Oleh sebab itu harus ada kejelasan tanggung
jawab dari perusahaan perusahaan bongkar muat barang menurut aturan internasional
dan nasional.Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat
masalah pengaturan hukum angkutan laut.

B.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas. ruang lingkup


permasalahan ini perlu di beri batasan agar penelitian ini tidak menyimpang dari sasaran
yang hendak dicapai.
untuk itu, saya memberi batasan sebagai berikut :

1. Apa pengertian hukum pengangkutan laut. ?


2. Apa saja dasar hukum pengangkutan laut di Indonesia ?
3. Bagaimana tanggung jawab pengangkut bila terjadi kerusakan yang
ditimbulkan akibat dari pengangkutan ?
4. Pihak – pihak mana saja yang terkait dalam pengangkut ?

5|Makalah Hukum Laut


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian hukum pengangkutan laut

Menurut sistem hukum Indonesia, perjanjian pengangkutan tidak disyaratkan


harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari
pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan
cukup dengan adanya kesepakatan (konsensus) diantara para pihak, hal ini
sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 90 KUHD yang menyatakan :
Surat angkutan merupakan persetujuan antara si pengirim atau ekspeditur pada pihak
satu dan pengangkut atau juragan perahu pada pihak lain dan surat itu memuat selain
apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah pihak, seperti misalnya mengenai
waktu dalam mana pengangkutan telah harus selesai dikerjakannya dan mengenai
penggantian rugi dalam hal kelambatan, memuat juga : 1o. Nama dan berat atau
ukuran barang-barang yang diangkut, begitupun merek-merek dan bilangannya; 2o.
Nama orang kepada siapa barang-barang dikirimkannya; 3o. Nama dan tempat si
pengangkut atau juragan perahu; 4o. Jumlah upah pengangkut; 5o. Tanggal; 6o.
Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur. Dalam Pasal 90 KUHD ditentukan bahwa
dokumen/surat angkutan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dan
pengangkut atau nakhoda. Sebetulnya tanpa dokumen/surat angkutan, apabila tercapai
persetujuan kehendak antara kedua belah pihak perjanjian telah ada, sehingga
dokumen/surat angkutan hanya merupakan surat bukti belaka mengenai perjanjian
angkutan. Dokumen/surat angkutan dinyatakan telah mengikat bukan hanya ketika
dokumen/surat angkutan tersebut telah ditandatangani pengirim atau ekspeditur,

6|Makalah Hukum Laut


2. Dasar Hukum Pengaturan Pengangkutan Laut di Indonesia

Dasar Hukum Pengaturan Pengangkutan Laut di Indonesia


a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang : pasal 307 s/d pasal 747
c. UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU lain yang terkait
d. Peraturan Internasional
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjadi dasar hukum karena Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dapat digunakan sebagai landasan untuk menghindari
kekosongan hukum dalam bidang hukum Pengangkutan. Yaitu apabila di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang tidak ada dan / atau belum diatur, maka kita bisa
menemukannya di dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum, yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Prof. Soekardono kemudian membagi Hukum Laut menjadi 2 (dua) yaitu Hukum
Laut Keperdataan dan Hukum Laut Publik. Hukum laut bersifat keperdataan atau
privat, karena hukum laut mengatur hubungan antara orang-perorangan. Dengan kata
lain orang adalah subjek hukum. Yang dimaksud dengan orang di sini adalah
pengirim dan penumpang dengan perusahaan pengangkutan.
Sifat dasar dari perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran (jasa dan
pemborongan), timbal balik (para pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan dan
berhak memperoleh prestasi) dan konsensual (perjanjian pengangkutan sah terjadinya
kesepakatan).
Adapun perjanjian pengangkutan laut itu sendiri terbagi atas:
1) Perjanjian Carter Menurut Waktu (Time Charter)
Pasal 453 (2) KUHD, Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk:
- Waktu tertentu
- Menyediakan sebuah kapal tertentu
- Kapalnya untuk pelayaran di laut bagi Bevrachter
- Pembayaran harga yang dihitung berdasarkan waktu
Kewajiban pengangkut

7|Makalah Hukum Laut


• Pasal 453 (2) Menyediakan sebuah kapal tertentu menurut waktu tertentu
• Pasal 470 jes 459 (4), 308 (3) KUHD
• Kesanggupan atas Kapal meliputi mesin dan perlengkapan (terpelihara/ lengkap)
dan ABK (cukup dan cakap)
Pasal 460 (1) KUHD menyebutkan bahwa kewajiban pencarter untuk memelihara,
melengkapi dan menganakbuahi.
2) Perjanjian Carter Menurut Perjalanan (Voyage Charter)
Pasal 453 (3) KUHD “Vervrachter mengikatkan diri kepada Bevrachter untuk :
- Menyediakan sebuah kapal tertentu
- Seluruhnya atau sebagian dari kapal
- Untuk pengangkutan orang/barang melalui lautan
- Pembayaran harga berdasarkan jumlah perjalanan
Kewajiban Pengangkut
- Menyediakan kapal tertentu atau beberapa ruanagan dalam kapal tersebut
- Pasal 453 (2) KUHD
- Pasal 459 (4): terpelihara dengan baik, diperlengkapi, sanggup untuk pemakaian
- Pasal 470 (1): Pengangkut tidak bebas untuk mempersyaratkan, bahwa ia tidak
bertanggung jawab atau bertanggung jawab tidak lebih daripada sampai jumlah yang
terbatas untuk kerugian yang disebabkan karena kurang cakupnya usaha untuk
pemeliharaan, perlengkapan atau pemberian awak untuk alat pengangkutnya, atau
untuk kecocokannya bagi pengangkutan yang diperjanjikan, maupun karena
perlakuan yang keliru atau penjagaan yang kurang cukup terhadap barang itu.
Persyaratan yang bermaksud demikian adalah batal.
3) Perjanjian Pengangkutan Barang Potongan
- Pasal 520g KUHD: Pengangkutan barang berdasarkan perjanjian selain
daripada perjanjian carter kapal
- Kapalnya tidak perlu tertentu seperti perjanjian carter
Kewajiban Pengangkut
- Pasal 468 (1) KUHD: Perjanjian pengangkutan menjanjikan pengangkut untuk
menjaga keselamatan barang yang harus diangkut dari saat penerimaan sampai saat
penyerahannya.
- Pasal 470 (1)
• Mengusahakan kesanggupan kapalnya untuk dipakai sesuai perjanjian

8|Makalah Hukum Laut


• Harus benar dalam memperlakukan muatan, dan melakukan penjagaan
terhadap barang yang diangkutnya
• Yang diutamakan adalah barang/muatan/cargonya sebagai objek perjanjian

Tuntutan Ganti Rugi


- Jangka Waktu pengajuan
Diajukan dalam waktu satu tahun sejak barang diserahkan, atau sejak hari barang
tersebut seharusnya diserahkan (pasal 487 KUHD)
- Hak previlige: kedudukan si penerima barang didahulukan atas upah
pengangkutan, tapi setelah piutang2 yang diistimewakan dalam pasal 316 KUHD ia
meminta sita atas pengangkutan terlebih dahulu dalam jangka waktu satu tahun.
- Tuntutan diajukan kepada ketua pengadilan negeri setempat, dimana terjadinya
penyerahan barang dari pengangkut kepada penerima barang

3. Tanggung jawab pengangkut bila terjadi kerusakan yang timbul akibat dari
pengangkutan

Pada dasarnya pengangkut bertanggung jawab atas musnah, hilang atau


rusaknya barang yang diangkut sejak barang tersebut diterima oleh pengangkut dari
pihak.
pengirim/pemilik barang, merupakan suatu konsekuensi perjanjian pengangkutan
yang telah diadakan antara pengangkut dengan penumpang atau pemilik barang atau
pengirim barang, dimana sesuai dengan pasal 40 UU No. 17 Tahun 2008.Tanggung
jawab yang tertuang dalam pasal 40 UU No. 17 Tahun 2008 tersebut kembali
diperjelas kedalam pasal 41 UU No. 17 Tahun 2008 yang menentukan sebagai
berikut:
1. Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai
akibat pengoperasian kapal, berupa :
a) kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b) musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c) keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau

9|Makalah Hukum Laut


d) kerugian pihak ketiga.

2. Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan
angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.

3. Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar
penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Berdasarkan ketentuan pasal 41 ayat (3) dapat diperoleh bahwa atas tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud pada pasal 41 (1) UU No. 17 Tahun 2008, yaitu
akibat dari pengoperasian kapal, pengangkut juga diwajibkan untuk mengasuransikan
tanggung jawabnya tersebut. Apabila perusahaan pengangkutan tidak melaksanakan
ketentuan pasal 41 ayat (3) di atas, dapat dijatuhkan sanksi yang ditentukan sesuai
dengan Pasal 292 UU No. 17 tahun 2008. Ketentuan umum lainnya mengenai
tanggung jawab pengangkut (Liability of the Carrier) dapat dilihat didalam pasal 468
KUHD, sebagai suatu pasal mengenai pertanggungjawaban pengangkut yang
membawa konsekuensi berat bagi pengangkut. Selain itu, Pasal 477 KUHD
menetapkan pula bahwa pengangkut juga bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan karena terlambatnya diserahkan barang yang diangkut
Pertanggungjawaban pengangkut ini juga telah diatur dalam The Hague Rules 1924
article 1 (2) yaitu sejak barang itu dimuat sampai barang dibongkar. Dengan demikian
maka pertanggungjawaban pengangkut itu berakhir sejak barang itu dibongkar dan
diserahkan dekat kapal

The Hamburg Rules 1978 yang ditemukan didalam article 4, menyatakan bahwa
pertanggungjawaban pengangkut adalah pada saat barang-barang berada
dibawahpenguasaannya yaitu di pelabuhan pemberangkatan, selama berlangsungnya
pengangkutan sampai di pelabuhan pembongkaran. Dengan ketentuan demikian
sangat jelas bahwa masa pertanggungjawaban pengangkut (period of responsiblity of
the carrier) dalam The Hamburg Rules 1978 adalah lebih tegas, nyata dan memberi
tanggung jawab yang besar bagi pengangkut. 4 Akan tetapi, pengangkut dapat
10 | M a k a l a h H u k u m L a u t
terbebas dari sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya dengan membuktikan
bahwa kerugian atas musnah, hilang atau rusaknya barang bukan merupakan
kesalahannya yang juga diatur dalam KUHD Pasal 477

Didalam tanggung jawab pengangkut atas kerusakan barang tersebut diwujudkan


melalui pemberian ganti rugi, seperti yang tercantum dalam pasal 472 KUHD
sebagaimana yang disebutkan bahwa : “Ganti kerugian yang harus dibayar oleh si
pengangkut karena diserahkannnya barang seluruhnya atau sebagian, harus dihitung
menurut harganya barang dan jenis dan keadaan yang sama di tempat penyerahan
pada saat barang tadi sedianya harus diserahkannya, dengan dipotong apa yang telah
terhemat dalam soal bea, biaya dan upah pengangkutan, karena tidak diserahkannya
barang tadi.” Pihak yang bersangkutan dapat mengajukan klaim secara resmi dan
tertulis kepada pihak pengangkut dengan dibuktikannya dokumen-dokumen yang sah,
tetapi biasanya penyelesaian klaim didasarkan pada asas kekeluargaan dan
musyawarah
Namun dalam hal ini, juga tidak menutup kemungkinan penggantian ganti rugi dapat
berupa perbaikan terhadap barang-barang yang mengalami kerusakan sehingga dapat
dianggap bahwa pihak pengangkut telah melakukan pembayaran ganti rugi.

4. Pihak – pihak yang terkait dalam pengngkutan

Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam pengangkutan adalah para subjek


hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam hubungan hukum pengangkutan.
Mengenai siapa saja yang menjadi pihak-pihak dalam pengangkutan ada beberapa
pendapat yang dikemukakan para ahli antara lain: Wihoho Soedjono menjelaskan
bahwa di dalam pengangkutan di laut terutama mengenai pengangkutan di laut
terutama mengenai pengangkutan barang, maka perlu diperhatikan adanya tiga unsur
yaitu pihak pengirim barang, pihak penerima barang dan barangnya itu sendiri.

Menurut H.M.N Purwosutjipto, pihak-pihak dalam pengangkutan yaitu pengangkut


dan pengirim. Pengangkut adalah orang yang mengikatkan diri untuk
menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat
tujuan tertentu dengan selamat. Lawan dari pihak pengangkut ialah pengirim yaitu
11 | M a k a l a h H u k u m L a u t
pihak yang mengikatkan dari untuk membayar uang angkutan, dimaksudkan juga ia
memberikan muatan. Menurut Abdulkadir Muhammad, subjek hukum pengangkutan
adalah “pendukung kewajiban dan hak dalam hubungan hukum pengangkutan, yaitu
pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam proses perjanjian sebagai pihak
dalam perjanjian pengangkutan”. Mereka itu adalah pengangkut, pengirim,
penumpang, penerima, ekspeditur, agen perjalanan, pengusaha muat bongkar, dan
pengusaha pergudangan. Subjek hukum pengangkutan dapat berstatus badan hukum,
persekutuan bukan badan hukum, dan perseorangan.

a. Pengangkut (Carrier)

Dalam perjanjian pengangkutan barang, pihak pengangkut yakni pihak yang


berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan, barang dan berhak atas
penerimaan pembayaran tarif angkutan sesuai yang telah diperjanjikan. Dalam
perjanjian pengangkutan penumpang, pihak pengangkut yakni pihak yang
berkewajiban memberikan pelayanan jasa angkutan penumpang dan berhak atas
penerimaan pembayaran tarif (ongkos) angkutan sesuai yang telah ditetapkan.

b. Pengirim ( Consigner, Shipper)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Indonesia tidak mengatur definisi pengirim


secara umum. Akan tetapi, dilihat dari pihak dalam perjanjian pengangkutan,
pengirim adalah pihak yang mengikatkan diri untuk membayar pengangkutan barang
dan atas dasar itu dia berhak memperoleh pelayanan pengangkutan barang dari
pengangkut. Dalam bahasa Inggris, pengirim disebut consigner, khusus pada
pengangkutan perairan pengangkut disebut shipper.

c. Penumpang (Passanger)

Penumpang adalah pihak yang berhak mendapatkan pelayanan jasa angkutan


penumpang dan berkewajiban untuk membayar tarif (ongkos) angkutan sesuai yang
ditetapkan.59 Menurut perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai dua status,
yaitu sebagai subjek karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan sebagai objek
karena dia adalah muatan yang diangkut. Kenyataan menunjukkan bahwa anak-anak
12 | M a k a l a h H u k u m L a u t
dapat membuat perjanjian pengangkutan menurut kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat. Berdasarkan kebiasaan, anak-anak mengadakan perjanjian pengangkutan
itu sudah mendapat restu dari pihak orang tua tau walinya. Berdasarkan kebiasaan itu
juga pihak pegangkut sudah memaklumi hal tersebut. Jadi yang bertanggung jawab
adalah orang tua atau wali yang mewakili anak-anak itu. Hal ini bukan menyimpangi
undang-undang, bahkan sesuai dengan undang-undang dan kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat.

d. Penerima (Consignee)

Pihak penerima barang yakni sama dengan pihak pengirim dalam hal pihak pengirim
dan penerima adalah merupakan subjek yang berbeda. Namun adakalanya pihak
pengirim barang juga adalah sebagai pihak yang menerima barang yang diangkut di
tempat tujuan. Dalam perjanjian pengangkutan, penerima mungkin pengirim sendiri,
mungkin juga pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam hal penerima adalah
pengirim, maka penerima adalah pihak dalam perjanjian pengangkutan. Dalam
penerima adalah pihak ketiga yang berkepentingan, penerima bukan pihak dalam
perjanjian pengangkutan, melainkan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan atas
barang kiriman, tetapi tergolong juga sebagai subjek hukum pengangkutan. Adapun
kriteria penerima menrut perjanjian, yaitu :
1. perusahaan atau perorangan yang memperoleh hak dari pengirim barang;
2. dibuktikan dengan penguasaan dokumen pengangkutan;
3. membayar atau tanpa membayar biaya pengangkutan.

e. Ekspeditur

Ekspeditur dijumpai dalam perjanjian pengangkutan barang, dalam bahasa Inggris


disebut cargo forwarder. Ekspeditur digolongkan sebagai subjek hukum
pengangkutan karena mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengirim atau
pengangkut atau penerima barang. Ekspeditur berfungsi sebagai pengantara dalam
perjanjian pengangkutan yang bertindak atas nama pengirim. Pengusaha transport
seperti ekspeditur bekerja dalam lapangan pengangkutan barang-barang namun dalam
hal ini ia sendirilah yang bertindak sebagai pihak pengangkut. Hal ini nampak sekali
dalam perincian tentang besarnya biaya angkutan yang ditetapkan. Seorang ekspeditur
13 | M a k a l a h H u k u m L a u t
memperhitungkan atas biaya muatan (vrachtloon) dari pihak pengangkut jumlah biaya
dan provisi sebagai upah untuk pihaknya sendiri, yang tidak dilakukan oleh
pengusaha transport. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui kriteria ekspeditur
menurut ketentuan undang-undang, yaitu:
1. perusahaan pengantara pencari pengangkut barang;
2. bertindak untuk dan atas nama pengirim; dan
3. menerima provisi dari pengirim.

f. Agen Perjalanan ( Travel Agent)

Agen perjalanan (travel agent) dikenal dalam perjanjian pengangkutan penumpang.


Agen perjalanan digolongkan sebagai subjek hukum pengangkutan karena
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pengangkut, yaitu perusahaan
pengangkutan penumpang. Agen perjalanan berfungsi sebagai agen (wakil) dalam
perjanjian keagenan (agency agreement) yang bertindak untuk dan atas nama
pengangkut. Agen perjalanan adalah perusahaan yang kegiatan usahanya mencarikan
penumpang bagi perusahaan pengangkutan kereta api, kendaraan umum, kapal, atau
pesawat udara.Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan kriteria agen perjalanan
menurut undang-undang, yaitu :
1. pihak dalam perjanjian keagenan perjalanan;
2. bertindak untuk dan atas nama pengangkut;
3. menerima provisi (imbalan jasa) dari pengangkut; dan
4. menjamin penumpang tiba di tempat tujuan dengan selamat.

g. Pengusaha Muat Bongkar (Stevedoring)

Untuk mendukung kelancaran kegiatan angkutan barang dari dan ke suatu pelabuhan,
maka kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal mempunyai kedudukan yang
penting. Di samping itu keselamatan dan keamanan barang yang dibongkar muat dari
dan ke pelabuhan sangat erat kaitannya dengan kegiatan bongkar muat tersebut.
Menurut Pasal 1 butir 16 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 pengusaha
muat bongkar adalah ”kegiatan usaha yang bergerak dalam bidang bongkar muat
barang dan/atau hewan dari dan ke kapal”. Perusahaan ini memiliki tenaga ahli yang
pandai menempatkan barang di dalam ruang kapal yang terbatas itu sesuai dengan
14 | M a k a l a h H u k u m L a u t
sifat barang, ventilasi yang diperlukan, dan tidak mudah bergerak/bergeser. Demikian
juga ketika membongkar barang dari kapal diperlukan keahlian sehingga barang yang
dapat dibongkar dengan mudah, efisien, dan tidak menimbulkan kerusakan.

Menurut Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 untuk memperoleh


izin usaha bongkar muat, wajib memenuhi persyaratan :
1. memiliki modal dan peralatan yang cukup sesuai dengan perkembangan
teknologi;
2. memiliki tenaga ahli yang sesuai;
3. memiliki akte pendirian perusahaan;
4. memiliki surat keterangan domisili perusahaan; dan
5. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

h. Pengusaha Pergudangan (Warehousing)

Menurut Pasal 1 alinea kedua Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1969, pengusaha
pergudangan adalah ”perusahaan yang bergerak di bidang jenis jasa penyimpanan
barang di dalam gudang pelabuhan selama barang yang bersangkutan menunggu
pemuatan ke dalam kapal atau penunggu pemuatan ke dalam kapal atau menunggu
pengeluarannya dari gudang pelabuhan yang berada di bawah pengawasan Dinas Bea
dan Cukai”.

15 | M a k a l a h H u k u m L a u t
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan

Dari berbagai pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa peran
hukum dalam transportasi pengangkutan laut sangatlah berperan penting, contohnya
didalam tanggung jawab pengangkut atas kerusakan barang tersebut diwujudkan
melalui pemberian ganti rugi sesuai dengan pasal 472 KUHD, merupakan bentuk
perlindungan hukun secara normatif untuk melindungi pengirim atau penerima barang
dalam pengangkutan laut. Proses tuntutan ganti rugi dilakukan di pelabuhan
pembongkaran dengan menyertakan Bill of Ladingserta Notice of Claim yang
diperoleh dari pihak pengangkut.

Pihak – pihak yang terkait dalam pengangkutan diantaranya


Shipper,carrier,consignee,pasangger,ekspeditur,travel agent,steve doring and ware
housing.

16 | M a k a l a h H u k u m L a u t
b. Saran
Berdasarkan dai hasil pembahasan diatas, saran saya pada prinsipnya pengangkutan
merupakan perjanjian yang tidak tertulis. Para pihak mempunyai kebebasan
menentukan kewajiban dan hak yang harus dipenuhi dalam pengangkutan. Undang-
undang hanya berlaku sepanjang pihak-pihak tidak menentukan hal lain dalam
perjanjian yang mereka buat dan sepanjang tidak merugikan kepentingan umum.
untuk memperbaiki keadaan tersebut, maka untuk Memperjelas hukum perjanjian
yang disepakati oleh pihak pemilik barang dengan pengangkut yang berkaitan dengan
klausul pengajuan klaim dan tuntutan ganti rugi yang memperjelas jenis-jenis
kerusakan seperti apa yang bisa dituntut dan dipertanggungjawabkan oleh pemilik
barang kepada pengangkut

DAFTAR PUSTAKA
• Purba, Radiks. 1997. Angkatan Muatan Laut 2. Jakarta : Rineka Cipta
• Purba, Hasim. 2011. Modul Kuliah Hukum Pengangkutan Di Laut. Medan :
Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara
• https://hukumlautdanpengangkutan.blogspot.com/2013/10/hukum-laut-dan-
pengangkutan_3067.html
• https://media.neliti.com/media/publications/19496-ID-pengangkutan-melalui-
laut.pdf
• https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1203005259-3-BAB%20II.pdf
• http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2012/04/pengangkutan-laut-di-
indonesia.html
• http://vickysurya99.blogspot.com/p/hukum.html

17 | M a k a l a h H u k u m L a u t

Anda mungkin juga menyukai