Anda di halaman 1dari 28

HUKUM PERTAMBANGAN DAN

KETENAGAKERJAAN
Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Sintang

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
DEWINTA MONALISA HARDIANA D1101131035
HERLAMBANG RESCO S D1101131041
CHARLES ERVIN D1101141002
IGO RISNIARDI D1101141012
HANDI AKBAR D1101141022
ISTANYIA YANSELIA S D1101141025
YOPI CAHYADI D1101141037
ARDYA PRAMESTI PUTRI ARINDRY D1101151002
PRIMANS ESA LUCKY SITOMPUL D1101151007
SULAIMAN DULU D1101151010
ALVI AKBAR D1101151013

TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmatnya kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali serta salawat dan salam
kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, karena atas
hidayah-Nyalah makalah ini dapat diselesaikan. Makalah ini saya ajukan kepada
dosen pembimbing saya Bapak Yoga Herlambang sebagai salah satu tugas mata
kuliah Hukum Petambangan dan Ketenagakerjaan. Tidak lupa saya ucapkan
terima kasih kepada Bapak yang telah memberi saya kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini.

Saya mengharapkan kepada Bapak serta pembaca, apabila menemukan


kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini, baik dari segi bahasa maupun isi,
saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun, agar lebih baik
kedepannya.

Pontianak, 4 Januari 2017

Kelompok 2

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusaan Masalah...........................................................................................................4
1.3 Tujuan...............................................................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................6
2.1 Pengertian PETI................................................................................................................6
2.2 Faktor Pendorong PETI....................................................................................................7
2.3 Dampak Negatif dari kegiatan PETI................................................................................8
2.4 Kebijakan Penanggulangan Masalah PETI....................................................................12
2.5 Dasar Penegakan Hukum...............................................................................................13
2.6 Macam-Macam Tindak Pidana di Bidang Pertambangan..............................................15
2.7 Program Pemberantasan PETI........................................................................................21
BAB III PENUTUP..................................................................................................................23
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................23
3.2 Saran...............................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................25

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai
banyak kekayaan alam baik yang dapat diperbaharui (renewable) maupun yang
tidak dapat diperbaharui (unrenewable). Jenis kekayaan alam yang tidak dapat
diperbaharui contohnya adalah sumber daya alam berupa tambang. Banyak sekali
jenis bahan tambang yang ada di Indonesia, antara lain emas

.Tidak semua daerah mempunyai potensi tambang emas. Salah satu yang
mempunyai tambang emas adalah Provinsi Kalimantan Barat tepatnya di daerah
Kabupaten Sintang. Tambang emas yang terdapat di kabupaten ini tidak saja
terdapat di daerah daratan tetapi juga di Daerah Aliran Sungai (DAS).

Provinsi Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah yang mempunyai


banyak sungai besar, maka dikenal dengan sebutan waterfront city atau “kota air”,
Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi mempunyai tipikal kota air/kota tepian
sungai. Sungai-sungai yang ada di provinsi ini antara lain Sungai Kapuas dan
Sungai Melawi.

Sungai yang ada di Provinsi Kalimantan Barat dimanfaatkan masyarakat


untuk berbagai kegiatan, antara lain transportasi, MCK (mandi, cuci, kakus/WC),
perdagangan (karena sungai juga dipergunakan sebagai pasar terapung),
perumahan (karena sungai juga difungsikan layaknya tanah tempat tinggal dengan
membuat rumah terapung), dan kegiatan ekonomi (karena sungai juga mempunyai
berbagai potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan). Salah satu sumber
daya alam yang ada di Sungai Kapuas dan Sungai Melawi adalah sumber daya
emas, juga dimanfaatkan untuk sumber penghasilan penduduk di sepanjang aliran
sungai tersebut dengan cara menambang emas.

Penambangan emas di Kalimantan Barat sejak dahulu sudah dikelola oleh


masyarakat secara tradisional atau dengan cara mendulang. Namun sejalan dengan

1
semakin terbukanya isolasi di daerah-daerah pendalaman Kalimantan Barat,
pertambangan emas mulai dikelola secara modern dengan menggunakan mesin-
mesin berkekuatan besar yang dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang.
Penetapan wilayah pertambangan rakyat oleh pemerintah dituangkan dalam
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 0687/21 023/M.PE/1994
Tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk bahan galian emas di
daerah Kabupaten. Sambas, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang dan
Kabupaten Kapuas Hulu di Provinsi Kalimantan Barat.

Dilihat dari lokasinya, penambangan emas di Kabupaten Sintang ada yang


dilakukan di daratan dan ada juga yang dilakukan di sungai. Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, “Sungai adalah tempat-tempat
dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai dengan
muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis
sempadan” (Pasal 1 angka 1). Garis batas sempadan sungai adalah batas tempat
yang dicapai air sungai pada waktu air surut terendah (Peraturan Daerah
Kabupaten Sintang Nomor 6 Tahun 2002 Pasal 1 angka 22).

Lebih lanjut mengenai penambangan emas di daerah aliran sungai diatur


dalam PP No. 75 Th. 2001 tentang Usaha Pertambangan Rakyat dan Peraturan
Menteri Pertambangan dan Energi No. 1 P/201/M.PE/1986 tentang Penetapan
Wilayah Pertambangan Rakyat Bahan Galian Strategis dan Vital (Golongan A dan
B). Di dalam kedua peraturan itu ditentukan bahwa penambangan rakyat di sungai
tidak diperbolehkan/dilarang. Dengan demikian sangat jelas bahwa berdasarkan
PP No. 75 Th. 2001 dan Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1
P/201/M.PE/1986 penambangan emas di sungai tidak boleh dilakukan/dilarang.

Kenyataan yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa di Kabupaten


Sintang ternyata penambangan emas rakyat banyak dilakukan di daerah aliran
sungai. Sungai yang menjadi tempat penambangan di Kabupaten Sintang adalah
Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Penambangan emas yang ada di kedua sungai
ini menimbulkan masalah yang tidak kecil bagi Pemerintah Daerah Kabupaten
Sintang. Hal ini dikarenakan kegiatan penambangan yang dilakukan di kedua
sungai itu sudah menimbulkan dampak lingkungan yang cukup serius.

2
Dampak lingkungan yang terjadi akibat penambangan emas di sungai
adalah terjadinya pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara, dan
pencemaran suara. Pencemaran air dan tanah terjadi karena dalam kegiatan
penambangan yang dilakukan digunakan merkuri sebagai bahan yang
dipergunakan untuk memisahkan bijih emas dengan pasir. Menurut Wiro Indra
Pranata ST anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) yang
merupakan karyawan Kantor Pertambangan dan Energi Kabupaten Sintang,
merkuri atau sering disebut dengan air raksa adalah sejenis logam cair. Jika logam
cair ini masuk ke tubuh manusia, maka akan menimbulkan dampak yang sangat
serius bagi kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian. Hal ini dikarenakan
merkuri dapat menyerang organ tubuh vital seperti ginjal, hati, jantung bahkan
otak (www.pontianakpost.com).

Penelitian tentang pencemaran merkuri di Daerah Aliran Sungai (DAS)


Kapuas telah beberapa kali dilakukan, yaitu antaranya oleh Lembaga Penelitian
Untan, FMIPA Untan, HEDS dan Pemda Kalimantan Barat. Dari hasil penelitian
di DAS Kapuas diungkapkan bahwa kandungan merkurinya telah melampaui
batas aman. Ambang batas merkuri pada air baku untuk diminum yang
diperbolehkan oleh PP No 82 Tahun 2001 sebesar 1 ug/L.

Pencemaran udara dan pencemaran suara di sekitar Sungai Kapuas dan


Sungai Melawi disebabkan penggunaan mesin-mesin pengeruk yang
menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas 25 PK ke atas. Padahal dalam
ketentuan penambangan ditetapkan kapasitas mesin yang diperbolehkan maksimal
hanyalah 25 PK.

Ditinjau dari segi administrasi ternyata para penambang emas tersebut


tidak memiliki izin dari pemerintah setempat. Padahal dalam ketentuan Pasal 8
ayat (1) Perda No. 6 Th. 2002 tentang Izin Usaha Pertambangan Daerah
ditentukan bahwa setiap kegiatan Pertambangan Daerah dapat dilaksanakan
setelah mendapat Izin Usaha Pertambangan dari Kepala Daerah atau Pejabat yang
berwenang memberikan Izin Usaha Pertambangan. Dilihat dari ketentuan
peraturan tersebut di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi pelanggaran
peraturan yang dilakukan oleh para penambang emas yang tidak memiliki izin

3
penambangan. Oleh karena itulah kasus penambangan emas di sekitar aliran
sungai Kapuas dan Sungai Melawi di Kabupaten Sintang dikatakan sebagai
Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).

Dilihat dari permasalahan PETI yang ada di Kabupaten Sintang dapat


diketahui bahwa permasalahan tersebut berada pada ruang lingkup yang luas,
antara lain jika dikaji menurut hukum lingkungan, maka pencemaran lingkungan
yang terjadi akibat penambangan emas tersebut merupakan wilayah hukum
lingkungan. Jika dilihat secara administratif bahwa penambangan emas yang
dilakukan oleh para penambang tersebut tidak mempunyai izin dari instansi
terkait, maka dapat dikatakan bahwa masalah ini merupakan wilayah hukum
administrasi. Jika dilihat dari ketentuan perundang-undangan yang menentukan
adanya pidana bagi penambang emas liar, maka dapat dikatakan bahwa PETI
merupakan wilayah hukum pidana.

1.2 Rumusaan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Apa pengertian PETI ?
2. Apa saja faktor pendorong peti ?
3. Sebutkan dampak negative dari kegiatan PETI !
4. Bagaimana kebijakan penanggulangan masalah PETI ?
5. Bagaimana upaya penegakan hukum terhadap PETI?
6. Sebutkan macam-macam tindak pidana di pertambangan !
7. Bagaimana program pemberantasan PETI ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian PETI.
2.Mengetahui faktor-faktor pendorong PETI.
3.Mengetahui dampak negative dari PETI.
4.Mengetahui penanggulangan masalah PETI.
5. Mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap PETI.
6. Mengetahui macam-macam tindak pidana PETI.

4
7. Mengetahui program pemberantasan PETI.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Bagi ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan hukum lingkungan nasional.
2. Bagi Pemerintah Kabupaten Sintang
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang langkah-langkah yang
dapat ditempuh Pemerintah Kabupaten Sintang untuk melakukan penegakan
hukum terhadap pertambangan emas tanpa izin.
3. Bagi aparat penegak hukum.
Hasil penelitian ini dapat memberikan bagi aparat penegak hukum dalam
penegakan hukum terhadap pertambangan emas tanpa izin di kabupaten Sintang

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian PETI


PETI adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok
orang, atau perusahaan/yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memilki
izin dari instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
demikian, izin, rekomendasi , atau bentuk apapun yang diberikan kepada perseorangan,
sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan oleh instansi pemerintah di luar ketentuan
peraturan perundangundangan yang berlaku, dapat dikategorikan sebagai PETI.

Mengingat kegiatan PETI yang tidak menerapkan kaidah pertambangan


secara benar (good mining practice) dan hampir-hampir tidak tersentuh hukum,
sementara di sisi lain bahan galian bersifat tak terbarukan (non renewable
resources) dan dalam pengusahaannya berpotensi merusak lingkungan (potential
polluter), maka yang terjadi kemudian adalah berbagai dampak negatif yang tidak
saja merugikan Pernerintah, tetapi juga masyarakat luas dan generasi mendatang.
Kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kemerosotan moral
merupakan contoh dari dampak negatif yang merugikan Pemerintah, masyarakat
luas dan generasi mendatang. Khusus bagi Pemerintah, dampak negatif itu
ditambah pula dengan kerugian akibat kehilangan pendapatan dari pajak dan
pungutan iainnya, biaya untuk memperbaiki lingkungan, pelecehan terhadap
kewibawaan, dan kehilangan kepercayaan dari investor asing yang nota bene
menjadi tulang punggung pertumbuhan sektor pertambangan nasional. Akhirnya
Indonesia kehilangan salah satu andalan untuk mendorong laju pertumbuhan
ekonomi, serta kehilangan kesempatan untuk menurunkan angka pengangguran.

Penanggulangan masalah PETI selau saja dihadapkan kepada persoalan


dilematis. Hal ini disebabkan PETI identik dengan kehidupan masyarakat bawah
yang tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi lain karena keterbatasan
pendidikan, keahlian, dan ketrampilan yang dimilikinya. Penutupan kegiatan
usaha berarti menambah panjang daftar angka pengangguran dan kemiskinan,
sementara membiarkan mereka tetap beroperasi berarti menginjak-injak peraturan

6
perundang-undangan yang berlaku. Meski memberikan dampak yang berbeda,
keduanya membawa resiko bagi Pemerintah.

Di sisi lain, upaya untuk mewadahi masyarakat miskin (rakyat kecil)


melalui pola Pertambangan Rakyat dan Pertambangan Skala Kecil belum
memberikan hasil optimal. Disamping dihadapkan masalah internal,
kekurangberhasilan kedua pola ini juga diakibatkan oleh keberadaan cukong di
tengah-tengah masyarakat miskin yang terus meracuni kehidupan mereka. Para
cukong tersebut, mampu berperan sebagai dewa penyelamat dengan iming-iming
uang, meski dalam prakteknya menerapkan sistem ijon, sehingga masyarakat
miskin terjerat dan tidak dapat lagi melepaskan diri dari cengkeraman cukong.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka perlu pendekatan baru dalam
menanggulangi masalah PETI, yaitu bersifat manusiawi, arif, adil dan
mengedepankan pendekatan sosial kemasyarakatan dengan tetap memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk berperan langsung secara proporsional pada
kegiatan usaha pertambangan, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pertambangan
yang baik dan benar.

2.2 Faktor Pendorong PETI


Faktor pendorong kehadiran PETI dapat dikelompokkan menjadi:
1. Faktor Sosial , yaitu :
- Keberadaan penambang tradisional oleh masyarakat setempat yang telah
berlangsung secara turun - temurun.
- Hubungan yang kurang harmonis antara pertambangan resmi/berizin
dengan masyarakat setempat
- Penafsiran keliru tentang reformasi yang diartikan sebagai kebebasan
tanpa batas.

2. Faktor Hukum, yaitu


- Ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang- undangan yang
berlaku dibidang pertambangan
- Kelemahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan, yang
antara lain tercermin dalam kekurang berpihakan kepada kepentingan

7
masyarakat luas dan tidak adanya teguran terhadap pertambangan
resmi/berizin yang tidak memanfaatkan wilayah usahanya (lahan tidur).
- Kelemahan dalam penegakan hukum dan pengawasan.
3. Faktor Ekonomi, yaitu :
- Keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang sesuai dengan
tingkat keahlian/ ketrampilan masyarakat bawah.
- Kemiskinan dalam berbagai hal, miskin secara ekonomi, pengetahuan, dan
ketrampilan.
- Keberadaan pihak ketiga yang memanfaatkan kemiskinanuntuk tujuan
tertentu, yaitu penyandang dana (cukong), backing (oknum aparat) dan
LSM.

- Krisis ekonomi berkepanjangan yang melahirkan pengangguran terutama


dari kalangan masyarakat bawah.Penemuan cadangan baru oleh
perusahaan tambang resmi/ berizin,

2.3 Dampak Negatif dari kegiatan PETI

1. Kehilangan Penerimaan Negara


Dengan status yang tanpa izin, maka otomatis PETI tidak terkena kewajiban
untuk membayar pajak dan pungutan lainnya kepada Negara. Menurut
perhitungan, kerugian Negara atas tidak terpungutnya pajak dari PETI
diperkirakan mencapai Rp. 315,1 milyar/tahun. Jumlah ini dipastikan akan
membengkak jika memperhitungkan penerimaan negara dari sektor lain yang
mendukung kegiatan PETI (multiplier effect) dan tidak dapat dipungut oleh
Negara.
2. Kerusakan Lingkungan Hidup
Pada perusahaan tambang resmi/berizin, yang notabene dibebani kewajiban untuk
melaksanakan program pengelolaan lingkungan melalui AMDAL, faktor
lingkungan hidup tetap menjadi masalah krusial yang perlu mendapat pengawasan
intensif, Dengan kegiatan PETI yang nyaris tanpa pengawasan, dapat dibayangkan
kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Terlebih lagi, para pelaku PETI praktis
tidak mengerti sama sekali tentang pentingnya pengelolaan lingkungan hidup,

8
sehingga lahan suburpun berubah menjadi hamparan padang pasir yang tidak
dapat ditanami akibat tertimbun limbah penambangan dan pengolahan.
 Dampak Lingkungan Akibat Penambangan Liar
 Logam berat lain As dan Cd, logam logam ini berasal dari batuan-
batuan yang mengandung biji emas,
 logam-logam ini berasosiasi dengan emas, karena sifat sifat kimia
dari logam
tersebut. Dampak terhadap manusia dan lingkungan yang paling
parah adalah adanya sifat Bio magnifikasi dimana logam-logam
tersebut akan ikut berpindah dari tubuh predator awal hingga
terakumulasi dan terus bertambah didalam tubuh predator akhir
(ikan ke manusia).
 Akibat Negatif , terdiri dari
 Akibat secara fisik ;
- pencemaran terhadap air, baik berupa erosi maupun larutnya unsur-
unsur logam berat (leaching) karena sistim penirisan yang tidak baik,
- pencemaran udara berupa debu dan kebisingan oleh kendaraan
pengangkut,
- perubahan kontur,
- perubahan alur sungai, akibat penambangan pasir sungai,
- longsor dikarenakan pembuatan jenjang yang terlalu curam, dan
- subcidence, terjadi pada penambangan yang dilakukan secara bawah
tanah.
 Akibat non fisik :
- pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan berkurang

- konflik sosial, terjadinya persaingan antar buruh tambang, dan

- terganggunya keiatan sektor lain, seperti pertanian dikarenakan


rusaknya irigasi dan perubahan alur sungai, dan perubahan kontur.
 Akibat positif:
- Membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lingkar tambang,

9
- Meningkatnya pendapatan masyarakat,

- Tumbuhnya usaha penunjang kegiatan pertambangan seperti; usaha


warung makan, fabrikasi alat-alat pertambangan konvensional.

3. Kecelakaan Tambang
Dari aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kegiatan PETI telah
menimbulkan kecelakaan tambang yang memakan korban luka-luka dan
meninggal dunia, serta berbagai penyakit. Memang tidak ada laporan resmi
tentang jumlah korban, baik yang luka, cacat, maupun meninggal dunia, namun
diperkirakan cukup banyak. Hai ini dapat diprediksi dari berita di berbagai media
cetak, baik lokal maupun nasional, yang memberitakan kecelakaan tambang.

4. Iklim Investasi Tidak Kondusif


Tertarik tidaknya investor untuk menanamkan modalnya disektor
pertambangan, bukan semata-mata, dilihat dari sisi geologis, namun dipengaruhi
juga dari stabilitas politik dan ekonomi yang mampu memberikan jaminan
kepastian hukum. Dua faktor terakhir inilah yang kini tengah mengalami batu
ujian di Indonesia menyusul maraknya PETI di berbagai wilayah, sebab telah
mengakibatkan iklim investasi menjadi tidak kondusif dan menimbulkan
ketidakpastian hukum. Menurut hasil beberapa studi, sebelum terjadi krisis
ekonomi dan politik, sudah diidentifikasi bahwa dalam segi kepastian hukum dan
keamanan investasi, Indonesia dinilai lebih rendah dibanding kompetitor
terdekatnya (Cina). Dengan terjadinya krisis ekonomi dan politik yang
berkepanjangan, serta disusul oleh penjarahan PETI terhadap wilayah
pertambangan berizin, maka dapat dipastikan Indonesia berada pada peringkat
bawah sebagal negara berisiko tinggi untuk berinvestasi (high country risk).

5. Pemborosan Sumber Daya Mineral


Teknologi penambangan dan pengolahan yang dilakukan oleh PETI secara
umum sangat sederhana, sehingga perolehannya (recovery) sangat kecil (sekitar
40%), Baik sisa cadangan yang masih tertinggal di dalam tanah maupun limbah
hasil pengolahan (tailing), yang masing-masing sebesar 60%, sangat sulit untuk
ditambang atau diolah kembali karena kondisinya sudah rusak (idle resources).

10
Disamping itu, karena PETI hanya menambang cadangan berkadar tinggi, maka
cadangan berkadar rendah menjadi tidak ekonomis untuk ditambang. Padahal jika
penambangan dilakukan secara benar (good mining practice), cadangan berkadar
rendah sebenarnya ekonomis untuk ditambang apabila dicampur (mixing) dengan
cadangan berkadar tinggi sepanjang sesuai cut off grade yang telah ditentukan.

6. Pelecehan Hukum
Kegiatan PETI telah menimbulkan preseden buruk bagi upaya penegakan
dan supremasi hukum di Indonesia. Hukum memang sulit atau mustahil
diberlakukan di wilayah-wilayah PETI, sebab aparat penegak hukum sendiri
seringkali harus berhadapan dengan kelompok masyarakat yang tidak mengerti
hukum, karena berbagai alasan. Dampak negatif lebih buruk yang muncul
kemudian adalah keengganan pengusaha untuk berusaha sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi Pemerintah
untuk menumbuhkan sektor perekonomian secara menyeluruh.

7. Kerawanan Sosial
Di hampir semua lokasi kegiatan PETI, gejolak sosial merupakan penstiwa
yang kerap terjadi, baik antara perusahaan resmi dengan pelaku PETI, antara
masyarakat setempat dengan pelaku PETI (pendatang), maupun diantara sesama
pelaku PETI sendiri dalam upaya mempertahankan/melindungi kepentingan
masing-masing. Masyarakat bawah, yang seringkali menjadi korban dari
penyandang dana (penadah) dan oknum aparat, mengakibatkan kehidupan mereka
sangat rawan terhadap rnuncuinya gejolak sosial.

 Kondisi Saat Ini


Sejauh ini jenis bahan galian yang diusahakan oleh PETI yang berhasil
diinventansasi adalah emas, batubara, dan intan. Hal ini tidak menutup
kemungkinan adanya bahan galian Golongan A dan Golongan B lain yang juga
diusahakan oleh PETI. Khusus untuk bahan galian Golongan C, berdasarkan hasil
survei Puslitbang Teknologi Mineral, terungkap bahwa lebih dari 90% usaha
pertambangan bahan galian Golongan C berstatus tanpa izin (PETI/non SIPD),
mencakup hampir seluruh provinsi (60% berada di P.Jawa), serta meliputi seluruh

11
jenis bahan galian golongan C (terbesar adalah bahan galian agregat, seperti batu,
pasir, dan kapur

2.4 Kebijakan Penanggulangan Masalah PETI


Penanggulangan masaiah PETI, selalu dihadapkan kepada berbagai
hambatan dan masalah, yaitu:
1. Masih banyaknya oknum aparat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang
terlibat atau melibatkan diri pada kegiatan PETI.
2. Perangkat hukum di berbagai sektor yang terkait dengan kegiatan
pertambangan, mulai dari tahapan eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, sampah
kepada pengawasan komoditi tambang, menunjukkan belum adanya visi yang
sama/seragam, sehingga sering menimbulkan biaya tinggi dan lolosnya komoditi
tambang illegal berikut pelakunya dari jeratan hukum. Sementara itu, sanksi bagi
pelaku PETI sesuai Undang-undang No.11 tahun 1967, masih relatif ringan dan
belum memenuhi rasa keadilan masyarakat luas.
3. Pemerintah pusat dan daerah belum bekerja secara fungsional dan terpadu,
sehingga penertiban oleh berbagai instansi belum berjalan optimal.
4. Walaupun sudah diterbitkan Inpres No.3 Tahun 2000, belum seluruh Pemda
memberikan respon terhadap kegiatan penanggulangan masalah PETI. Padahal
Pemda merupakan ujung tombak dari kegiatan ini.

Mengingat permasalahan PETI begitu kompleks, maka penang-


gulangannya memerlukan konsep yang terintegrasi dan harus dilakukan secara
terpadu. Dengan mernpertimbangkan permasalahan faktual yang terjadi dibidang
sosial, ekonomi, hukum dan politik, maka penanggulangan masalah PETI ini
menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan seiring dengan ditegakkannya
hukum. Artinya, bagaimana kepentingan masyarakat dapat diakomodasikan secara
proporsional tanpa mengabaikan prinsip-prinsip praktek pertambangan yang balk
dan benar, yang diarahkan kepada:
1. Transfornnasi struktural, agar kegiatan ekonomi masyarakat setempat dapat
diarahkan kepada kegiatan usaha disektor lainnya yang lebih menarik daripada
sebagai penambang tanpa izin, atau pada kegiatan usaha penunjang di sektor
pertambangan.

12
2. Bagi masyarakat yang ingin menekuni usaha di sektor pertambangan,
diakomodasikan melalui pola Pertambangan Rakyat/ Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR) dan Pertambangan Skala Kecil (PSK) yang mengalokasikan
wilayahnya dikaitkan dengan kebijakan penciutan wilayah, dan mendapat
bimbingan serta subsidi dari pemerintah. Disamping itu, pemerintah akan
rnengalokasikan cadangan mineral dangkal dan atau sekunder (alluvial) yang
terdapat di sungai-sungai atau bekas sungai untuk diusahakan oleh rakyat melalui
pertambangan berskala kecil. Dalam kaitan ini diperlukan pembinaan dan
pengawasan secara intensif, serta dalam pelaksanaannya dapat dilakukan
bekerjasama dengan perusahaan tambang swasta dan BUMN.
3. Apabila kedua Cara diatas belum mampu mengurangi atau meniadakan
aktivitas PETI secara keseluruhan, masih dimungkinkan melalui program
kemitraan usaha, sehingga (eks) pelaku PETI yang aktivitasnya berada pada
konsesi perusahaan pemegang pertambangan (KP/KK/PKP2B) menjadi
subordinat dari kegiatan usaha pertambangan tersebut dengan kondisi tertentu
yang saling menguntungkan (win-win solution).
4. Penerapan strategi dengan mengupayakan adanya penegakan
hukum. Mendorong perusahaan pertambangan melaksanakan pengembangan
masyarakat (community development) yang sesuai setempat. Mengupayakan usaha
pertambangan yang berpihak dapat masyarakat dan ramah lingkungan.
Mengupayakan adanya keterpaduan usaha kegiatan pertambangan tradisional,
skala kecil, menengah, dan skala besar melalui kemitraan yang saling
menguntungkan. Akhirnya, bahwa masalah penanggulangan PETI adalah kunci
bagi pembenahan sektor pertambangan guna mendorong terlaksananya good
mining practice yang berwawasan lingkungan dan terciptanya iklim yang
kondusif.

2.5 Dasar Penegakan Hukum


Undang-undang yang membahas mengenai PETI adalah Undang-Undang
Nomor 11Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3475) dalam Pasal 31,yang menyebutkan:

13
(1) Dihukum dengan Hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau
dengandenda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah, barangsiapa yang tidak
mempunyaikuasa pertambangan melakukan usaha pertambangan seperti dimaksud
dalam pasal 14 dan 15.

(2) Dihukum dengan hukuman kurungan selama lamanya satu tahun dan/atau
dengandenda setinggi tingginya lima puluh ribu rupiah, barang siapa yang
melakukan usahapertambangan sebelum memenuhi kewajiban-kewajiban
terhadap yang berhak atastanah menurut Undang-undang ini.Selain itu terdapat
juga Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2000 Tentang KoordinasiPenanggulangan
Masalah Pertambangan Tanpa Izin. Pada Instruksi tersebut, daerah
diberikanwewenang untuk membuat tim yang dikoordinasi oleh Kepala Dearah
untuk menindak dengantegas terhadap kegiatan pertambangan tanpa ijinPeraturan
tersebut ditindak lanjuti dengan keputusan Presiden Republik IndonesiaNomor 25
Tahun 2001 Tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Pertambangan Tanpa
Izin,Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak Serta Perusakan Instalasi
Ketenagalistrikan DanPencurian Aliran Listrik diputuskan untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan secaralintas sektoral/instansi serta dengan
melibatkan peran serta masyarakat untuk mendukungkelancaran pelaksanaan
program penanggulangan pertambangan tanpa izin, penyalahgunaanbahan bakar
minyak, serta perusakan instalasiketenagalistrikan dan pencurian aliran
listrik,serta didukung oleh Perda di bidang pertambangan.

 Sudut Hukum | Tindak Pidana Pertambangan Tanpa Izin


Dalam kamus bahasa Indonesia pertambangan adalah “urusan tambang
menambang” yang berkata dasar tambang, yang berarti “lombong tempat
mengambil hasil dari dalam bumi”.[1] Tanpa, memiliki arti “tidak dengan”.[2]
Sedangkan izin adalah “sikap atau pernyataan meluluskan/mengabulkan dan tidak
melarang”[3]. Secara keseluruhan dapat diartikan urusan terkait kegiatan
pengambilan hasil dari dalam bumi yang dilakukan dengan tidak mendapatkan
pernyataan terkait untuk meluluskan/memperbolehkan hal tersebut dilakukan.

14
Pengertian Pertambangan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009 Pasal
1 Ayat 1 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara memiliki arti
“Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kontruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca
tambang. Pengertian izin disini adalah izin untuk melakukan usaha pertambangan
sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun 2009, yang dikeluarkan oleh pejabat
berwenang yaitu Bupati/Gurbernur/Menteri sesuai Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) yang menjadi kewenangannya masing-masing”.
Sebagaimana telah diketahui di atas bahwa Negara mempunyai hak
menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang akan melakukan
pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin terlebih dahulu dari
Negara/Pemerintah. Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak
memiliki izin, maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam
Pasal 158 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan[4] yang berbunyi “Setiap
orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat
(1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

2.6 Macam-Macam Tindak Pidana di Bidang Pertambangan


Dalam UU Pertambangan selain mengenal adanya tindak pidana Illegal
Mining juga terdapat bermacam-macam tindak pidana lainnya, yang sebagian
besar ditujukan kepada pelaku usaha pertambangan, dan hanya satu macam tindak
pidana yang ditujukan kepada pejabat penerbit izin di bidang pertambangan.
Tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tindak pidana melakukan pertambangan tanpa izin


Sebagaimana telah diketahui diatas bahwa negara mempunyai hak
menguasai atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
termasuk tambang. Berdasarkan hal tersebut setiap orang yang akan melakukan

15
kegiatan pertambangan aturan mainnya wajib meminta izin lebih dahulu dari
negara/pemerintah.
Apabila terjadi kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin,
maka perbuatannya merupakan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU No
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Setiap
orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR atau IUPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat
(1), Pasal 74 ayat (1) atau (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

2. Tindak pidana menyampaikan data laporan keterangan palsu.


Dalam melaksanakan kegiatan pertambangan dibutuhkan datadata atau
keterangan-keterangan yang benar dibuat oleh pelaku usaha yang bersangkutan
seperti data studi kelayakan, laporan kegiatan usahanya, dan laporan penjualan
hasil tambang, agar hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Perbuatan memberikan data atau laporan yang tidak benar sebenarnya


sanksinya sudah diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat. Oleh
karena pemalsuan suratnya di bidang pertambangan dan sudah diatur secara
khusus, terhadap pelakunya dapat dipidana berdasarkan Pasal 159 UU
Pertambangan yang dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun
dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.

3. Tindak pidana melakukan eksplorasi tanpa hak

Pada dasarnya untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan wajib


memiliki izin dan setiap izin yang dikeluarkan ada dua kegiatan yang harus
dilakukan yaitu untuk eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan eksplorasi meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Yang dimaksud eksplorasi
adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara
terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran kualitas, dan sumber
daya terukur dari bahan galian serta informasi mengenai lingkungan sosial dan
lingkungan hidup (Pasal 1 angka 15).

16
Oleh karena melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan didasarkan atas
izin yang dikeluarkan pemerintah yaitu IUP atau IUPK, maka eksplorasi yang
dilakukan tanpa izin tersebut merupakan perbuatan pidana yang diancam
hukuman berdasarkan Pasal 160 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2009 dipidana dengan
pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00”.

4. Tindak pidana sebagai pemegang IUP eksplorasi tidak melakukan kegiatan


operasi produksi

Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan pada prinsipnya


melakukan penambangan dengan cara menggali tanah untuk mendapatkan hasil
tambang kemudian dijual dan akan memperoleh keuntungan. Seperti diketahui di
atas bahwa kegiatan usaha pertambangan terdiri atas kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi.

Oleh karena terdapat dua tahap dalam melakukan usaha pertambangan


maka pelaksanaanya harus sesuai dengan prosedur, melakukan kegiatan eksplorasi
baru eksploitasi. Sehubungan dengan itu khusus bagi pemegang IUP eksplorasi
setelah melakukan kegiatan eksplorasi tidak boleh melakukan operasi produksi
sebelum memperoleh IUP Produksi. Pelanggaranya diancam dengan Pasal 160
Ayat 2 UU No. 4 Tahun 2009 yang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.

Ketentuan tersebut digunakan pemerintah sebagai alat untuk mengontrol


perusahaan pertambangan yang nakal, ketika melakukan kegiatan eksplorasi
sesuai dengan izinnya langsung melakukan kegiatan operasi produksi padahal
belum menjadi pemegang IUP Eksploitasi.

5. Tindak pidana pencucian barang tambang

Dalam kegiatan keuangan dan perbankan dikenal adanya pencucian uang


atau money loundering, dimana uang yang berasal dari kejahatan “dicuci” melalui
perusahaan jasa keuangan agar menjadi uang yang dianggap “bersih”. Di bidang

17
pertambangan juga dapat terjadi pencucian hasil tambang, penambang-penambang
gelap dapat berhubungan dengan para penambang yang memiliki izin untuk
mengadakan transaksi hasil tambangnya sehingga sampai kemasyarakat
merupakan barang tambang yang sah.

Tindak pidana pencucian barang tambang (mining loundering) dalam UU


No.4 Tahun 2009 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda
paling banyak Rp 10.000.000.000,00”.

Untuk dapat membongkar kejahatan tersebut tentu tidak mudah karena


pada umumnya penambangan dilakukan di daerah pedalaman yang biasanya jauh
dari keramaian dan sepi petugas, sehingga dibutuhkan adanya pengawasan
intensif dengan kerja sama antara aparat Kementrian Pertambangan, Pemerintah
Daerah setempat dan Kepolisian.

6. Tindak pidana menghalangi kegiatan usaha pertambangan

Pengusaha pertambangan yang telah memperoleh izin dari pejabat yang


berwenang dapat segera melakukan kegiatannya sesuai lokasi yang diberikan.
Dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangan terkadang tidak dapat berjalan
lancar karena adanya gangguan dari warga masyarakat setempat.

Gangguan tersebut terjadi antara lain karena disebabkan jalan menjadi


rusak akibat dilalui kendaraan-kendaraan berat, sungai dan sawah tertutup tanah
galian, tanaman menjadi rusak, dan lain-lain. Warga yang merasa dirugikan
biasanya protes dengan menghalangi dengan berbagai cara agar penambangan
tidak diteruskan. Terhadap perbuatan yang menggangu kegiatan usaha
pertambangan tersebut merupakan tindak pidana yang diancam dengan Pasal 162
UU No. 32 Tahun 2009, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun
atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00”.

Akibat adanya gangguan dari masyarakat akan merepotkan pengusaha


pertambangan karena proyeknya tidak dapat jalan, sebaiknya hal tersebut telah
tergambar dalam analisis risiko sehingga pengusaha dapat menghindari akan
timbulnya risiko yang akan terjadi. Misalnya jika jalan yang dilewati menuju
proyek sebelum rusak berat segera diperbaiki tentu masyarakat akan senang.

18
7. Tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang pejabat
pemberi izin

Ketentuan pidana yang telah dibicarakan di atas lebih banyak ditujukan


kepada perbuatan yang dilakukan oleh penerima/pemegang izin tambang. Selain
itu UU Pertambangan juga mengatur tentang tindak pidana yang ditujukan kepada
pejabat pemberi izin sebagaimana Pasal 165 yang berbunyi : “Setiap orang yang
mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan undang-undang ini
dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama 2 tahun
penjara dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00”.

Perbuatan penyalahgunaan kewenangan sifatnya luas tetapi terhadap


pejabat penerbit izin tersebut dibatasi sepanjang perbuatan penerbitan IUP, IPR,
atau IUPK saja. Tujuan diaturnya tindak pidana ini agar pejabat tersebut dapat
bekerja dengan baik dan melayani kepentingan masyarakat dengan semestinya.

8. Tindak Pidana yang Pelakunya Badan Hukum

Badan hukum adalah sekelompok orang yang terkait suatu organisasi yang
dipandang sebagai manusia pada umumnya. Suatu organisasi disebut badan
hukum apabila akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah. Untuk perusahaan
yang berbentuk perseroan terbatas, pengesahan akta pendiriannya dilakukan oleh
Menteri Hukum dan Ham dan diumumkan dalam berita Negara RI.

Dalam badan hukum kegiatannya dilakukan oleh pengurusnya. Oleh


karena badan hukum dipandang sebagai manusia maka badan hukum dapat
menjadi pelaku pidana dan yang bertanggung jawab adalah pengurusnya.

Dalam tindak pidana di bidang pertambangan badan hukum dapat sebagai


pelaku pidananya sebagaimana diatur pada Pasal 163 Ayat 1 UU No. 4 Tahun
2009. Meskipun demikian dalam undang- undang tersebut tidak memberikan
pengertian tentang badan hukum. Istilah badan hukum disinggung dalam
pengertian badan usaha (Pasal 1 angka 23). Badan usaha adalah setiap badan
hukum yang bergerak dibidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

19
Sehubungan dengan itu dalam UU No. 4 Tahun 2009 pelaku usaha di
bidang pertambangan dalam Pasal 38 dan Pasal 65 terdiri atas badan usaha,
koperasi, dan perseorangan. Kemudian dalam PP No. 23 Tahun 2003 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, badan usaha
dapat berupa badan usaha, swasta, BUMN, atau BUMD, sedangkan perorangan
dapat berupa orang perseorangan, perusahaan firma, atau perusahaan komanditer.

Memperhatikan ketentuan badan hukum dalam UU No. 4 Tahun 2009


tersebut hanya tertuju kepada badan usaha saja yaitu badan usaha swasta berupa
perseroan terbatas (UU No. 40 Tahun 2007), BUMN, dan BUMD. Oleh karena
UU No. 4 Tahun 2009 sebagai lex spesialis maka perusahaan pertambangan yang
berbentuk koperasi yang didirikan berdasarkan UU No. 25 Tahun 1992 dan akta
pendiriannya disahkan oleh Menteri Transmigrasi dan Koperasi, tampaknya tidak
termasuk dalam pengertian badan hukum dalam UU No. 4 Tahun 2009. Jika
koperasi melakukan tindak pidana di bidang pertambangan yang dapat dituntut
hanyalah orang perorangan yang ada dalam koperasi sedangkan koperasi sebagai
badan hukum tidak dapat dituntut dan dihukum pidana.

Kekurangan yang ada dalam UU No. 4 Tahun 2009 adalah tidak mengatur
tentang korporasi yang dapat sebagai pelaku pidana seperti dalam undang-undang
yang lain yaitu UU Penerbangan, UU Perikanan, UU Narkotika. Ole karena
korporasi pengertiannya mencakup sekumpulan orang baik yang berbadan hukum
atau yang tidak berbadan hukum maka apabila hal itu diatur dalam UU No. 4
Tahun 2009 semua perusahaan yang didirikan minimal dua orang dapat menjadi
pelaku tindak pidana dibidang perbankan apabila melanggar undang-undang yang
bersangkutan.

Jika tindak pidana di bidang pertambangan dilakukan oleh suatu badan


hukum, maka yang dapat dituntut ke pengadilan adalah badan hukumnya, namun
hukuman yang dijatuhkan hakim selain pidana penjara, juga pidana denda
terhadap pengurusnya. Di samping itu terhadap badan hukum tersebut dijatuhi
hukuman berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari
ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. Kemudian hakim juga dapat

20
menjatuhkan hukuman tambahan terhadap badan hukum berupa pencabutan izin
usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

9. Pidana tambahan

Dalam hukum pidana dikenal adanya hukuman pokok dan hukuman


tambahan. Pelaku tindak pidana dibidang pertambangan di atas yang dijatuhi
pidana penjara dan denda merupakan hukuman pokok.

Selain jenis hukuman tersebut terhadap pelakunya dapat dijatuhi dikenai pidana
tambahan berupa :

- Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana


- Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
- Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana
Kemudian hakim juga dapat menjatuhkan hukuman tambahan terhadap
badan hukum berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status
badan hukum.

2.7 Program Pemberantasan PETI


Dalam menyelesaikan masalah peti PETI diatas perlu dilibatkannya
stakeholder yang bertanggung jawab yakni ;
1. Pemerintah, sebagai leading sector-nya adalah DESDM di tingkat pusat
dan Dinas Pertambangan pada tingkat daerah.
2. Pengusaha pertambangan, baik perorangan maupun kelompok.
3. Masyarakat, terutama masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan
dilakukan, mempunyai fungsi pengawasan, baik melaui lembaga swadaya
masyarakat (LSM) maupun melalui kelompok-kelompok lain.
Solusi dalam menyelesaikan masalah PETI harus dilakukan bersama-sama antar
beberapa stakeholder yang terdiri dari ;
1. Pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai berikut ;
- Mempermudah proses perijian pertambangan melaui sistim satu atap,
sehingga waktu setra biaya yang dibutuhkan dalam memproses perijinan
lebih sedkit dan singkat.
- Melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan pertambangan.

21
- Memberikan penyuluhan pada masyarakat dan pengusaha pertambangan
tentang kesadaran lingkungan.
- Melakukan pembinaan dan bimbingan teknis terhadap pengusaha
pertambangan.
- Membuat zonasi wilayah pertambangan sehingga tidak terjadi tumpang
tindih dengan sektor lain dan penyebaran kerusakan lingkungan dapat
dicegah.
- Memberikan alternatif usaha lain terhadap pengusaha dan buruh tambang
dengan cara memberikan tambahan keterampilan bagi pengusaha dan
buruh tambang.
2. Masyarakat dan LSM
- Bekerjasama dengan pemerintah memberikan penyuluhan terhadap buruh
dan pengusaha tentang kesadaran lingkungan.
- Mendorong dibentuknya kelompok-kelompok baik buruh maupun
pengusaha tambang yang difasilitai oleh pemerintah.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
PETI adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan,
sekelompok orang, atau perusahaan/yayasan berbadan hukum yang dalam
operasinya tidak memilki izin dari instansi pemerintah sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun pada saat ini kegiatan tersebut telah
banyak menimbulkan dampak negatif pada lingkungan disekitar tambang tersebut
seperti pencemaran air.hal ini tejadi akibat adanya penggunaan senyawa merkuri
untuk memisahkan biji emas dengan logam lainnya. Akibat aktifitas
pertambangan emas lainnya tersebut menimbulkan pencemaran, kerusakan
lingkungan hidup akibat limbah yang dihasilkan dari aktifitas pertambangan
tersebut, sehingga menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat. Hal ini telah
bertentangan dengan pengaturan fungsi sungai sebagaimana yang termuat dalam
Pasal 7 ayat (1) dan (2) PP No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Apabila hal ini
tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah maka masyarakat yang berada di sekitar
tambang tersebut akan mengalami berbagai macam penyakit salah satunya
penyakit Minamata. Penanggulangan masalah PETI selau saja dihadapkan kepada
persoalan dilematis. Hal ini disebabkan PETI identik dengan kehidupan
masyarakat bawah yang tidak memiliki akses kepada sumber daya ekonomi lain
karena keterbatasan pendidikan, keahlian, dan ketrampilan yang dimilikinya.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, maka perlu pendekatan baru dalam
menanggulangi masalah PETI, yaitu bersifat manusiawi, arif, adil dan
mengedepankan pendekatan sosial kemasyarakatan dengan tetap memberikan
kesempatan kepada rakyat untuk berperan langsung secara proporsional pada
kegiatan usaha pertambangan, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pertambangan
yang baik dan benar.

23
3.2 Saran
1. Diharapkan kepada pemerintah agar dapat memberikan suatu tidakan tegas
terhadap PETI sesuai peraturan yang berlaku.

2. Diharapkan kepada LSM dan lembaga pemerintahan lainnya yang terkait


bidang kegiatan yang berbasis lingkungan maupun kesehatan agar dapat
mensosialisasi bagaiman cara melakukan pertambangan yang sesuai peraturan
yang berlaku dan tidak mencemari lingkungan.

24
DAFTAR PUSTAKA

https://ariagusti.wordpress.com/2010/10/19/penambangan-emas-tanpa-izin/

http://e-journal.uajy.ac.id/5382/6/5BL01105.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai