Anda di halaman 1dari 11

PAPER

SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN DI BALI


Paper ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan
Kebudayaan Bali
Pengempu :
DRA. A.A. AYU MURNIASIH, M.Si.

NAMA ANGGOTA KELOMPOK :


KADEK RIO RENDY RAMANDA (1901581050)
HOWARD (1901581051)
NI MADE DWI MARTA JELIA (1901581052)
MORIOKA MARINA (1901581053)
I KADEK TOTI WIJAYA (1901581054)
I KADEK GENTA ASTAWA (1901581055)

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
BALI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas limpahan rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas paper ini yang diamanatkan kepada kami dalam rangka
memenuhi tugas dengan baik dan tepat waktu.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami terutama kepada
dosen pembimbing kami dalam mata kuliah Kebudayaan Bali yang telah memberikan banyak ilmu
kepada kami dan memberikan pemahaman kepada kami tentang sistem kekerabatan dan
perkawinan di Bali. Kepada semua pihak yang telah membantu kami baik secara langsung maupun
tidak lansung dan semua pihak yang telah mendukung, serta memberikan dorongan kepada kami
baik secara moril maupaun materil sehingga kami dapat menyelesaikan tugas paper ini yang
berjudul “SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN DI BALI” dengan baik.
Kesempurnaan hanya milik Tuhan, kekurangan dan kesalahan murni milik manusia. Oleh
karena itu kami sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun atau
memberikan perbaikan kepada penyusun dari para pembaca, sehingga kami dapat menjadikan hal
tersebut sebagai bahan evaluasi dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diamanahkan kepada kami
selanjutnya dengan lebih baik lagi.

Demikian paper ini kami harapkan mampu memberikan pengetahuan dan wawasan baru
bagi kita sehingga kita dapat memahami dengan baik bagaimana sistem kekerabatan dan
perkawinan di Bali.

Denpasar, 19 November 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………….4


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………5
1.3 Tujuan…………………………………………………………………..5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pemahaman mengenai sistem kekerabatan di Bali………………………..6


2.2 Pemahaman mengenai sistem perkawinan di Bali……………………..8

BAB III KESIMPULAN

KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 10


DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….…………11
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tidak perlu diragukan lagi bahwa salah satu daerah di Indonesia yang menjadi destinasi
tujuan pariwisata no 1 adalah Bali, setiap tahunnya banyak wisatawan dari dalam maupun luar
negeri datang ke Bali, tidak hanya terkenal dengan pemandangannya saja tetapi Bali juga
terkenal dengan kebudayaan dan adat istiadatnya. Seperti yang sudah kita ketahui, kehidupan
orang bali sangatlah religius karena pengaruh agama Hindu yang sangat kuat. Maka setiap
melaksanakan upacara yang dilakukan oleh masyarakat Bali selalu berpedoman pada ajaran
agama Hindu salah satunya adalah upacara dalam pelaksanaan suatu perkawinan, tetapi semua
itu memiliki sistemnya masing-masing, terutama bagaimana sistem kekerabatan dan sistem
perkawinan di Bali. Menurut agama Hindu salah satu tujuan dalam perkawinan adalah untuk
memenuhi tujuan niskala (keyakinan), yaitu suatu jalan untuk membebaskan dosa (nyupat)
orangtua dan luhurnya dengan jalan membayar tiga hutang, dan ketiga hutang itu patut dibayar
melalui upkara (ritual) yang dilaksanakan sesuai dengan tatwa (filsafat) dan susila (etika)
Hindu. Agama Hindu menggambarkan hakekat perkawinan itu dengan bermacam-macam cara,
hakekat perkawinan dapat menterjemahkan perkawinan itu melalui kasta yang berlainan,
terdapat empat tingkatan Kasta dalam suku bangsa bali yaitu: Brahmana, Kesatria, Wesya,
Sudra. Di dalam setiap pelaksanaan upacara perkawinan di Bali, tidak mengabaikan adat yang
telah ada dalam masyarakat, karena umat Hindu selain berpedoman pada Kitab Weda, juga
berpedoman pada Śmrti dan hukum Hindu yang berdasarkan pada kebiasaan yang telah
dilakukan secara turun temurun disuatu tempat yang disebut Acara. Dengan melakukan
upacara yang dilandasi kitab suci Weda dan mengikuti tata cara adat yang telah berlaku turun
temurun, maka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia ini (jagaditha) dan kebahagiaan yang
abadi (Moksa) Hukum adat Bali dewasa ini mengenal dua cara melangsungkan perkawinan,
yaitu: (1) kawin dengan cara memadik (meminang) dan (2) kawin dengan cara ngerorod (lari
bersama). Apabila dalam masa pertunangan mendapat restu orangtua dan keluarga kedua belah
pihak, maka akan dipilih dengan cara memadik.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari paper ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem kekerabatan dan perkawinan di Bali ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari paper ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana sistem kekerabatan dan sistem perkawinan di Bali.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemahaman Mengenai Sistem Kekerabatan di Bali


Perkawinan adalah bentuk kekerabatan yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat Bali, karena dengan perkawinan akan membentuk sebuah kekerabatan yang
terjalin dalam sebuah keluarga. Bagus (dalam Koentjaraningrat, 2010: 294) menguraikan
bahwa menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia)
dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara
warga se-klen, atau setidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta.
Orang-orang se-Klen di Bali adalah orang-orang yang setingkat kedudukannya dalam adat
dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam
batas klen-nya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan dan noda-noda keluarga yang
akan terjadi akibat perkawinan antar-kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini
terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan
pria yang lebih rendah derajat kastanya. Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis
keturunan Patrinial, diantaranya:
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam
generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan.
Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi
seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan
kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan
yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu
menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang
akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang
berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk
anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida
untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut
dengan “Griya”.
Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam
pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta
ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat
ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih
merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta
ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga
yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan
“Puri”. Sedangkan Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja,
prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang
ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena
melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini
menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti.
Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan “Jero”.
Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki
kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus
berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi
atau yang disebut dengan Tri Wangsa – Brahmana, Ksatria dan Ksatria (yang dianggap
Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan
dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan
menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan dalam
penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan “umah”.
Sistem kekerabatan yang menggunakan sistem patrilinial-mengikuti garis ayah-
mengharuskan perempuan yang menikah meleburkan wangsanya terhadap suaminya.
Oleh karena itu, bagi seorang individu semua kaum kerabat ayahnya dianggap sebagai
anggota kelompok kekerabatannya, sedangkan kaum kerabat ibunya berada di luar
kelompok kekerabatannya. Dalam pewarisan, yang berhak memperoleh harta warisan
hanya anak laki-laki saja, sedangkan anak perempuan akan mendapat warisan melalui
keluarga suaminya.
2.2 Pemahaman Mengenai Sistem Perkawinan di Bali
Pernikahan tradisional adat di Bali adalah salah satu tata cara pernikahan atau
perkawinan di Indonesia yang diakui oleh oleh pemerintah, hukum agama dan masyarakat.
Dalam halaman ini, akan membahas sedikit tentang tata cara pernikahan tradisional adat
Bali, karena tentunya setiap suku dan agama memiliki tata cara yang berbeda. Perbedaan
tersebut membuat bentuk dari tata cara upacara pernikahan tersebut juga berbeda yang
berkaitan erat dengan agama, tradisi dari sebuah suku bangsa, budaya maupun juga kelas
sosial dari masyarakat yang melangsungkan acara pernikahan atau perkawinan tersebut.
Termasuk juga di wilayah pulau Bali sendiri yang memiliki sejumlah budaya dan tradisi
yang terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, sehingga terkadang tata
cara pernikahan adat tersebut juga berbeda.
Pernikahan adat di Bali memang sangat berhubungan erat dengan tatanan
keagamaan, adat dan budaya setempat. Sehingga hampir tata cara perkawinan di Bali
terutama mereka yang beragama Hindu sama berdasarkan hukum agama, tetapi terkadang
dalam pelaksanaan ada beberapa perbedaan berdasarkan adat dan budaya pada masing-
masing tempat atau wilayah.
Bali sendiri menganut sistem perkawinan Patrilineal, dimana masyarakat mengatur
keturunan ataupun hak asli waris berdasarkan keturunan ayah atau laki-laki, sedangkan
pihak wanita dilepaskan hukumnya dari keluarganya. Pernikahan itu sangatlah suci
melalui proses upacara keagamaan sakral di Bali, sehingga bagi masyarakat yang ingin
melakukan upacara pernikahan atau perkawinan tersebut, akan mempersiapkan segala
sesuatu dari awal termasuk juga pemilihan hari baik, sehingga dalam melaksanakan
upacara pernikahan tersebut berjalan lancar dan setelah menjalani ikatan suami istri, bisa
menjalani kehidupan baru sesuai dengan harapan. Sistem Perkawinan di bali dalam Agama
Hindu yaitu :
- Memadik atau melamar
Sistem perkawinan ini dalam pernikahan adat Bali ini yang paling lazim dilakukan,
adapaun urutan prosesinya seperti yang telah diuraikan di atas. Dilandasi cinta sama cinta
dan restu dari kedua pihak orang tua ataupun keluarga. Upakara pawiwahan atau upacara
pernikahan dilakukan di rumah kediaman mempelai pria.
- Sistem Ngerorod
Sistem perkawinan ini dilandasi cinta sama cinta kedua mempelai, namun karena
beberapa alasan, misalnya tidak disetujui atau direstui oleh salah satu ataupun kedua pihak
keluarga, salah satu atau kedua belah pihak tidak memiliki sanak keluarga, atau dengan
pertimbangan untuk efisiensi biaya. Istilah ngerorod ini dikenal dengan kawin lari.
- Sistem Nyentana
Pernikahan adat Bali atau acara pawiwahan ini digelar berdasarkan cinta sama cinta
terkadang lebih karena permintaan keluarga, yang mana karena keinginan keluarga
perempuan yang ingin punya penerus laki-laki atau pewaris, sehingga pihak mempelai
wanita memadik atau melamar mempelai pria, dan pihak keluarga pria wajib melepas
hukum baik menyangkut kewajiban dan hak atas mempelai pria. Upacara pernikahan
dilakukan di kediaman keluarga wanita.
- Sistem Mekaro Lemah (medua umah)
Sistem ini mengadopsi sistem nyentana (matrilineal) dan juga patrilineal yang mana
dalam sistem pernikahan ini kedua belah pihak baik itu keluarga perempuan dan laki-laki
memiliki hak dan kewajiban yang sama atau keluarga masing-masing, jadi upacara adat
pernikahan atau upakara pawiwahan dilangsungkan di kedua tempat secara bergantian.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan


dalam paper ini adalah sebagai berikut:
Sistem kekerabatan masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilinieal.
Patrilineal yang ditunjukkan melalui perkawinan sekasta, karena sudah menjadi
hukum adat Bali seorang perempuan Brahmana harus menikah dengan laki-laki
Brahmana agar tidak terjadi malapetaka dan aib bagi keluarga.
3.2 Saran
Dari materi yang sudah disampaikan melalui paper ini diharapkan mampu
menyampaikan pengertian sistem kekerabatan dan sistem perkawinan di Bali
dengan baik dan lengkap agar pembaca lebih bisa untuk mendalami.
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, I Gusti Ngurah. (2010). Kebudayaan Bali. Jakarta: Djambatan.


http://nyakizza.blogspot.com/2013/05/sistem-kekerabatan-suku-bali.html
https://www.nafiun.com/2013/02/suku-bali-kebudayaan-sistem-kepercayaan-bangsa-kekerabatan.html

Anda mungkin juga menyukai