Oleh :
Cindy Isabelle Ekak
1804551410
Sistem Peradilan Pidana ( E )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), dimana prinsip negara
hukum ini secara umum telah diterapkan hamper di seluruh negara modern. Proses
penegakan hukum merupakan salah satu bagian penting dalam upaya
mengimplementasikan prinsip negara hukum. Penegakan hukum sendiri biasanya
indentik dengan kasus – kasus dalam lingkungan pidana.
Penegakan Hukum Pidana melalui pendekatan sistem dikenal dengan
istitlah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice sytem). Sistem Peradilan Pidana
sendiri merupakan suatu mekanisme kerja dalam pengendalian penanggulangan
kejahatan yang menggunakan lembaga-lembaga yang terdapat di dalamnya
sebagai suatu kesatuan dan saling berkaitan serta mempengaruhi satu sama lain.
Di dalam sistem peradilan pidana tersebut lembanga-lembaga yang ada di
dalamnya bekerja sesuai fungsi yang masing-masing harus saling berhubungan
dan juga bekerja sama. Menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistem
peradilan pidana, yaitu Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen
peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga
Pemasyarakatan), Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh
komponen peradilan pidana, Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih
utama dari efesiensi penyelesaian perkara, Penggunaan hukum sebagai instrumen
untuk memantapkan The Administration Of Justice.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau
yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( disingkat
KUHAP ) dapat dikatakan lahir karena sebagai suatu upaya yang nyata dalam
mewujudkan penyelenggaraan peradilan pidana yang terpadu dengan
menggunakan suatu sistem yaitu Criminal Justice System.
Dalam pelaksanaan sistem kerja ini kinerja antar Lembaga sangat akan
berpengaruh satu sama lainnya, maka dari itu analisis dalam mengetahui
pengaturan sistem peradilan pidana di Indonesia yang diatur dalam KUHAP sudah
mencerminkan sebagai sistem yang terpadu sesuai (Integreted) sesuai dengan ciri-
ciri pendekatan Sistem Peradilan Pidana menurut Romli Atmasasmita.
1
Balakrama. (2016). Sistem Peradilan Pidana. Diambil dari http://balakrama.blogspot.com/2016/02/sistem-
peradilan-pidana.html, (6 diakses April 2020).
2
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Terselenggaranya sistem peradilan pidana di Indonesia tidak dapat terlepas
dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk dengan tujuan untuk
mendukung pelaksanaan sistem peradilan pidana, sehingga muncul subsistem-
subsistem sebagai berikut3:
a. Subsistem penyidik
b. Subsistem penuntutan
c. Subsistem Pengadilan
3
Budi, Achmad. (2018). Implementasi Sistem Perdilan Pidana Dalam Perspektif Integrasi. Jurnal Daulat
Hukum. 1(1), 293-300.
Menurut sistem KUHAP Tahun 1981, hakim memiliki posisi yang sentral
dan sangat menentukan, karena hakimlah yang menetapkan tentang terbukti atau
tidaknya kesalahan terdakwa. Kegiatan pengumpulan bukti-bukti dilakukan oleh
penyidik, pemanfaatan alat-alat bukti menjadi tanggung jawab penuntut umum
karena dialah yang berkewajiban membuat dakwaan dan membuktikannya melalui
alat-alat bukti yang dikumpulkan oleh penyidik. Keadaan demikian adalah
konsekuensi logis dari sistem peradilan yang dianut oleh negara kita yang
mewarisi sistem hukum Eropa Kontinental dimana menempatkan posisi hakim
sebagai figur sentral dalam proses peradilan pidana.
2.2 Analisis Sistem Peradilan Pidana dalam KUHAP dengan Ciri-ciri pedekatan SPP
menurut Romli Atmasasmita
Romli Atmasasmita menyebutkan bahwa dalam sistem peradilan pidana dikenal
tiga bentuk pendekatan yaitu dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif yang
memandang keempat aparatur (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga
pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku
sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum. Pendekatan manajemen atau administratif yang memandang keempat
aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme
kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai
dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang
digunakan adalah sistem administrasi. Pendekatan sosial yang memandang keempat
aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem
sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan
atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial. Berikut uraian
analisis KUHAP 1981 dengan ciri pendekatan SPP menurut Romli Atmasasmita:
1. Pada KUHAP sudah diatur mengenai pendekatan normatif dimana adanya keempat
aparatur negara sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Diantara keempat aparatur penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan petugas
lembaga pemasyarakatan) bersama-sama dengan penasihat hukum/advokat memiliki
hubungan yang sangat erat satu sama lain dalam kapasitas mereka selaku penegak
hukum. Jadi pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan KUHAP Tahun 1981
idealnya dilaksanakan melalui sebuah mekanisme peradilan pidana yang telah ditata
sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem sesuai dengan tahapan hukum
acara pidana yang diatur pada Bab XIV sampai Bab XX KUHAP 1981. Namun,
Sebagaimana diketahui bahwa dalam subsistem penyidikan terdapat beberapa instansi
yang melaksanakan penyidikan. Menurut Pasal 6 angka 1 KUHAP, selain POLRI
juga terdapat PPNS (Pajak, Bea Cukai, Pasar Modal, Kehutanan, Lingkungan Hidup,
Haki) serta Penyidik dalam tindak pidana khusus (Kejaksaan, KPK, Perwira TNI AL).
Dengan begitu banyaknya instansi yang menangani penyidikan, maka tidak mustahil
bahwa akan banyak terjadi tumpang tindih dan pertentangan dalam pelaksanaannya.
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan
pidana juga diatur di dalam KUHAP yang berlaku sampai sekarang dapat dilihat pada
menimbang huruf C, bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di
bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan
kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para palaksana penegak
hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum,
keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. KUHAP
sesungguhnya dibuat menggunakan prinsip Due Process Of Law dengan memberikan
perlindungan HAM bagi pihak-pihak terkait, serta kerjasama fungsional antar
penegak hukum dengan mekanisme pengawasan atas pelaksanaan kewenangan
mereka. Dalam hal menciptakan sebuah keadilan maka perlunya dibentuk sebuah
system peradilan pidana (SPP) yang dimana sistem ini diharapkan menjadi sebuah
gebrakan dalam menegakan hukum di dalam peradilan yang baik dan benar. Di dalam
penegakannya kita bisa melihat beberapa asas-asas yang mencerminkan Due Process
Model diantaranya yaitu Pasal 1 ayat 1 KUHAP Asas Legalitas (legality principle),
Ketentunan umum butir 3 huruf C KUHAP Asas Praduga Tak Bersalah (presumption
of innocent) dan Pasal 5 ayat 1 KUHAP Asas Persamaan di muka Hukum (equality
before the law). Selain itu terkadang berlaku juga Crime Control Model juga menjadi
andalan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut masih sangat
terlihat pada proses Penyidikan dan Penyelidikan yang dilakukan oleh aparat
kepolisian, dalam kenyataannya masih melakukan tugasnya tidak berdasarkan
terhadap hukum acara yang berlaku seharusnya sehingga terjadi penyimpangan –
penyimpangan yang tidak diinginkan.
3. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian
perkara sudah terkandung dalam KUHAP 1981. Hal ini bisa kita lihat dari tujuan
dilahirkannya sistem peradilan pidana pada KUHAP 1981, yaitu mencegah
masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi
sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan mengusahakan
mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulanginya lagi. Namun
kenyataannya, tidak dapat kita pungkiri hingga saat ini masih banyak kasus pidana
baru bermunculan akibat seiring dengan berkembangnya jaman.
4. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) KUHAP 4, untuk kepentingan penyelidikan,
penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan. Namun untuk
menjamin hak-hak asasi tersangka, perintah penangkapan tersebut harus didasarkan
pada bukti permulaan yang cukup. Adapun bukti permulaan yang cukup adalah
sebagaimana disebutkan dalam SK Kapolri No.Pol.SKEP/04/I/1982 tanggal 18
Februari 1982 yang menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan
keterangan dan data yang terkandung dalam dua diantara: 1. Laporan polisi; 2. Berita
acara pemeriksaan polisi; 3. Laporan hasil penyelidikan; 4. Keterangan saksi/Saksi
ahli; dan 5. Barang bukti. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukannya penggunaan
hukum sebagai suatu instrumen untuk memantapkan The Administration Of Justice.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Komponen sistem peradilan pidana di Indonesia menurut KUHAP terdiri atas unsur-
unsur Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai
aparat penegak hukum. Komponen lainnya dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia mencakup pula penasihat hukum yang meskipun bukan aparat penegak
hukum tetapi mereka bersama-sama dengan polisi, jaksa, hakim, petugas
pemasyarakatan sebagi penegak hukum.
2. UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sudah mencerminkan ciri-ciri pendekatan
sistem peradilan pidana menurut Romli Atmasasmita. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya sistem peradilan pidana yang terkandung dalam KUHAP 1981 belum
dapat dikatakan sesuai dengan ciri pendekatan tersebut. Hal ini disebabkan karena
beragamnya pengaturan sistem peradilan pidana dalam KUHAP Tahun 1981 dan
peraturan perundang-undangan lainnya menciptakan ketidakterpaduan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia dan adanya instansi penyidik di luar kepolisian
4
Putra, Angga. (2015). Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Penataan Administrasi Peradilan.
Lex Crimen. 4(3), 51-53.
menunjukkan bahwa tidak adanya sinkronisasi dengan desain yang ditata dalam
KUHAP Tahun 1981 sebagai induk hukum acara pidana.
3.2 Saran
Dalam kaitannya dengan membangun suatu sistem peradilan pidana yang terpadu,
diperlukannya suatu perundang-undangan pengaturan lebih luas megenai hubungan dan
mekanisme kerja antar subsistem dan instansi yang turut mempunya peran dalam sistem
peradilan di Indonesia.
Selanjutnya untuk membangun suatu sinkronisasi visi dan misi penegakan hukum
pidana antar subsistem peradilan pidana diperlukan suatu forum komunikasi yang
melibatkan seluruh komponen SPP yang nantinya dapat membahas mengenai sistem
hukum peradilan pidana dari sisi substansi, structural dan kultur hukum.
Daftar Pustaka
Perundang-undangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Jurnal
Putra, Angga. (2015). Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Melalui Penataan Administrasi
Peradilan. Lex Crimen. 4(3), 51-53.
Supriyanta. (2009). KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Jurnal Wacana Hukum.
3(1), 6-11.
Budi, Achmad. (2018). Implementasi Sistem Perdilan Pidana Dalam Perspektif Integrasi.
Jurnal Daulat Hukum. 1(1), 293-300.
Internet
Balakrama. (2016). Sistem Peradilan Pidana. Diambil dari
http://balakrama.blogspot.com/2016/02/sistem-peradilan-pidana.html, diakses pada 6
April 2020.