Anda di halaman 1dari 9

Nama : Angga Putri Utami

NIM : 195120607111049
“EKSISTENSI KOMISI PEMERANTASAN KORUPSI (KPK) SEBAGAI STATE
AUXILIARY INSTITUTION DAN DINAMIKANYA DENGAN LEMBAGA NEGARA
LAINNYA DI INDONESIA”

PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang
menganut sistem demokrasi dan trias politika dalam menjalankan roda
pemeritahannya. Sistem pemerintahan demokrasi diselenggarakan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Trias politika sendiri merupakan gagasan salah satu
ilmuan politik yaitu Montesquieu yang diterapkan dalam pemerintahan di
Indonesia. Konsep trias politika memisahkan kekuasaan negara atau separation of
power menjadi tiga bagian kekuasaan. Tujuan dari pemisahan kekuasaan yaitu
agar berlaku mekanisme checks and balances sebagai bentuk pecegahan dalam
penyelewengan kekuasaan oleh penguasa dan menghindari kekuasaan yang
bersifat absolut.
Pembahasan mengenai pembagian kekuasaan kelembagaan telah diatur
dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah banyak merubah paradigma sistem
ketatanegaraan Indonesia sekaligus membawa dampak pada sistem kelembagaan
negara. Amandemen di Indonesia telah dilakukan sebanyak empat kali sejak tahun
1999 hingga 2002. Amandemen UUD 1945 ini tentunya berpengaruh terhadap
struktur kelembagaan, kedudukan Lembaga-lembaga negara, hubungan antar
lembaga negara, kewenangan masing-masing lembaga negara, hingga
penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan lembaga-lembaga
negara baru.
Lembaga-lembaga baru yang didirikan setelah adanya amandemen
konstitusi dikenal dengan sebutan state auxialiary organ atau state auxialiary
institutions yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu
dan dalam hal ini hanya sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang.1 Secara
umum, lembaga-lembaga penunjang dibentuk karena didorong oleh fakta bahwa
birokrasi di lingkungan pemerintahan dinilai tidak dapat lagi memenuhi tuntutan
kebutuhan akan pelayanan publik dengan standar mutu yang semakin meningkat
dan berkualitas serta diharapkan pelayanan publik dapat semakin efektif dan
efisien.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa korupsi melekat dengan sejarah bangsa
Indonesia, pasalnya, sejak awal kemerdekaan hingga terjadinya gerakan moral
yang menuntut perubahan yang kemudian kita kenal sebagai aksi reformasi,
praktik korupsi yang secara terstruktur, sistematis, dan masif telah menentukan
arah perjalanan bangsa Indonesia. Rezim pemerintahan Orde Baru yang terkenal
akan Korupsi, Kolusi, dan Nepotismenya (KKN) merupakan sebuah pengalaman
buruk, hal tersebut mengakibatkan rakyat menuntuk agar pemerintahan
kedepannya bersih dari praktik KKN yang mengancam berjalannya demokrasi di
Indonesia. Akhirnya, tuntutan rakyat tersebut dijawab dengan dikeluarkannya
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.XI/1998, Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.2
Dengan adanya Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 akhirnya badan khusus
untuk pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dibentuk dan disebut
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam rangka mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum maka pemerintah membentuk KPK
sebagai sebuah lembaga negara baru yang diharapkan dapat mengembalikan citra
penegakan hukum di Indonesia. Badan ini berwenang dalam melakukan
koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja
dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur
dengan undang-undang. Eksistensi dan legitimasi KPK diperkuat dalam undang-

1
Rizky Argama. 2007. Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara
Bantu. Skripsi. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
2
Ermansjah Djaja. 2008. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika, hlm 183.
undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.3
Ironinya, eksistensi KPK sebagai state auxiliary institution dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ini, acapkali tidak diinginkan
kehadirannya oleh pihak-pihak tertentu. Dikarenakan KPK memiliki power penuh
dan luar biasa dalam hal pemberantasan korupsi. Banyak kalangan menyatakan
bahwa komisi ini menjelma sebagai lembaga yang memiliki kewenangan ekstra
konstitusional.4 Tak hanya itu, problematika tumpeng tindih kewenangan
mengakibatkan sering adanya persinggungan KPK dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya dengan Lembaga utama negara contohnya kepolisian dan
kejaksaan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis memiliki
ketertarikan untuk membahas problematika tersebut dengan judul “Eksistensi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai State Auxiliary Institution dan
Dinamikanya dengan Lembaga Negara Lainnya di Indonesia”.

PEMBAHASAN
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia mengalami kenaikan signifikan
dari tahun ke tahun. Hal tersebut menandakan masih lemahnya pemberantasan
korupsi di Indonesia serta kurangnya integritas dari pejabat publik di Indonesia.
Eksistensi KPK beberapa kali dicoba diperbaiki melalui revisi dari undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada tanggal 17 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi
mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK).

3
Anastasia Sumakul. 2012. Hubungan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Kejaksaan dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Lex Crimen Vol. 1 No.4.
4
Ibid
Adanya revisi UU KPK menuai banyak kontroversi dalam masyarakat. poin
penting yang disepakati dalam revisi UU KPK dianggap bukan untuk memperkuat
KPK, justru melemahkan KPK. Pertama, independensi. Revisi UU KPK mengatur
kedudukan KPK menjadi lembaga eksekutif yang semula KPK merupakan lembaga
ad hoc independen di luar struktur pemerintahan. Revisi tersebut menjadikan KPK
bukan sebagai lembaga independen di luar pemerintahan yang bertugas untuk
mengawasi pemerintahan, akan tetapi menjadi bagian dari pemerintahan itu
sendiri. Yang dikhawatirkan dengan perubahan kedudukan KPk yaitu akan lebih
patuhnya KPK kepada pemerintah, karena status kepegawaiannya harus patuh
dan tunduk pada UU Aparatur Sipil Negara (ASN).5
Kedua, dibentuknya Dewan Pengawas dalam KPK, menandakan bahwa
adanya perubahan struktur dalam tubuh KPK. Berdasarkan revisi UU KPK, Dewan
Pengawas terdiri dari 5 orang yang dipilih oleh DPR berdasarkan usulan Presiden.
Fungsinya yaitu mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberikan
atau tidak memberikan izin dalam penyadapan, penggeledahan, dan/atau
penyitaan. Hal tersebut akan menghambat kinerja KPK, karena segala bentuk izin
harus melalui Dewan Pengawas. Hal yang lebih mengkhawatirkan yaitu ke
independenan petugas Dewan Pengawas dalam artian tidak memiliki kepentingan
tersendiri dalam melaksanakan tugasnya.
Revisi UU KPK dapat dikatakan sebagai hasil evaluasi selama 17 tahun KPK
berdiri dan melihat bagaimana kinerja KPK dalam jangka waktu tersebut. Tentunya
jika dilihat dari usia KPK, seharusnya kasus korupsi di Indonesia mengalami
penurunan, karena pada dasarnya pembentukan KPK bertujuan untuk
membebaskan Indonesia dari korupsi, akan tetapi berdasarkan hasil rekapitulasi
tindak pidana korupsi dari tahun 2004 sampai tahun 2018, menjelaskan bahwa
semakin meningkatnya kasus korupsi di Indonesia. Hal tersebut menjadi
pertanyaan dalam masyarakat, apakah selama ini strategi pemberantasan korupsi
yang dilakukan KPK gagal?

5
Chandra Bayu. 2021. Tranformasi Kelembagaan KPK: UU KPK Sebagai Kebijakan Pencegahan
Korupsi di Indonesia. Jurnal Dinamika Sosial Budaya Vol. 23 No.1 hlm 90.
Berdasarkan Survei Indikator Politik Indonesia (IPI), hasil survey terkait
dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada bulan Desember 2021 semakin merosot sejak Revisi UU KPK disahkan.
KPK yang biasanya menempati posisi dua besar turun ke posisi delapan dengan
perolehan hanya 59% suara. Fenomena tersebut tentunya menandakan bahwa
saat ini masyarakat mulai tidak percaya akan eksistensi KPK sebagai Lembaga
pemberantas korupsi.

Tantangan Eksistensi KPK dalam Memberantas Korupsi di Indonesia


Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya KPK mengalami
kendala-kendala eksistensinya sebagai state auxiliary institution. Pertama,
keterbatasan ruang gerak KPK dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Undang-undang No 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dalam melakukan kegiatannya. KPK mendapatkan
pengawasan dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa
Keuangan. Hal tersebut menandakan ruang gerak KPK masih dibatasi oleh 3
lembaga negara tersebut. Faktanya, apabila sasaran KPK berasal dari Lembaga-
lembaga tersebut maka akan sangat terbatas pergerakannya.
Kendala kedua yaitu Sumber Daya Manusia sebagai state auxiliary
institution yang tergolong Lembaga baru, KPK memiliki kewenangan dalam
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Bahkan dinyatakan dalam
undangundang KPK bahwa penyidikan dilakukan tanpa memerlukan izin khusus.
Melihat tugas Komisi Pemberantasan Korupsi yang berat maka KPK harus
melakukan pembenahan manajemen sumber daya manusia (SDM). Sumber daya
manusia yang baik merupakan supporting system bagi pemberantasan korupsi
yang dilakukan KPK. Komisi Pemberantasan Korupsi memerlukan sumber daya
manusia yang profesional dengan track record yang baik serta memiliki spesifikasi
keahlian.6

6
Ernny Apriyanti Salakay. Eksistensi Komisi PAemberantasan Korupsi Sebagai State Auxiliary Body
dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Tesis. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Ketiga yaitu anggaran yang merupakan faktor krusial dalam keberhasilan
kinerja KPK. Tambahan anggaran merupakan dukungan pemerintah agar kinerja
KPK lebih baik dalam menjalankan kewajibannya dan sebagai bentuk penguatan
bagi eksistensi KPK. Untuk memberantas kejahatan korupsi yang terus-menerus
memiskinkan rakyat KPK membutuhkan dukungan anggaran. Keterbatasan
Anggaran dapat melemahkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Anggaran
yang dibutuhkan oleh Komisi Pemberantasan korupsi tidak hanya dalam hal
operasional namun juga dalam fasilitas.

Dinamika KPK dengan Kejaksaan dan Kepolisian


Hubungan koordinasi antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai
sub sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System) dan juga
tugas dan peranan KPK sendiri yang terkesan sebagai lembaga super body. KUHAP
mengatur bahwa proses penyidikan dan penuntutan merupakan tugas kejaksaan.
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur
bahwa KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan.
terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kejaksaan.
Disisi lain kejaksaan juga mempunyai kewenangan sebagai eksekutor terhadap
penanganan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK, dilihat dari
hal tersebut maka KPK dengan kejaksaan akan selalu mempunyai hubungan
koordinasi, baik dalam penanganan perkara korupsi maupun dalam hal eksekusi
terhadap perkara yang ditangani oleh KPK, tetapi kondisi ini pada akhirnya
dianggap sebagai dualisme kewenangan yang menyebabkan hubungan kejaksaan
dengan KPK cenderung menjadi kurang harmonis.7
Pada dasarnya undang-undang sudah mengatur hubungan fungsional dan
koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 43 UU No. 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa tugas dan
wewenang KPK adalah melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan

7
Hendar Rasyid Nasution. 2010. Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Tesis. Medan: Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tugas KPK dirinci dalam Pasal 6 UU No. 30
Tahun 2002 tersebut, yaitu :
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
Pidana Korupsi (TPK)
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap TPK.
d. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah negara
Berdasarkan tugas yang diemban oleh KPK, maka wewenang KPK yaitu :8
a. Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan,
penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan instansi yang melaksanakan pelayanan publik.
b. Dalam melaksanakan wewenang tersebut maka KPK berwenang juga
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
c. Dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau
kejaksaan wajib menyerahkan tersangka adn seluruh berkas perkara beserta
alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
d. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan membuat
dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan
kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
PENUTUP
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah auxiliary state institution yang
dibentuk sebagai salah satu bagian untuk pemberantasan korupsi yang
merupakan salah satu pemberantasan terpenting dalam pembenahan tata

8
Pasal 8 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
pemerintahan di Indonesia. Eksistensi dan penekanan legitimasi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk
politik hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Kendala eksistensi KPK
diguncang oleh adanya Revisi UU KPK tahun 2019 yang menyebabkan
kemerosotan kepercayaan publik terhadap KPK sebagai Lembaga pemberantas
korupsi di Indonesia. Tak hanya itu, kendala yang dialami KPK untuk
mempertahankan eksistensinya antara lain kelembagaan, anggaran, sumber daya
manusia. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berkoordinasi
terutama dengan Kejaksaan dan Kepolisian serta Lembaga lainnya yang memiliki
wewenang. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi sangat penting, oleh karena
itu kedepannya KPK tidak hanya diatur dalam undangundang tersendiri tetapi
eksistensinya dapat diatur dalam konstitusi sebagai lembaga yang disebut sebagai
constitutionally importance yang sama dengan lembaga-lembaga negara lainnya
yang disebutkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945.

DAFTAR PUSTAKA

Argama, Rizky. (2007). Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai


Lembaga Negara Bantu. Skripsi. Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Bayu, Chandra. (2021). Tranformasi Kelembagaan KPK: UU KPK Sebagai Kebijakan
Pencegahan Korupsi di Indonesia. Jurnal Dinamika Sosial Budaya Vol. 23
No.1 hlm 90

Djaja, Ermansjah. (2008). Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar


Grafika, hlm 183.

Nasution, Hendar Rasyid. (2010). Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia. Tesis. Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.

Salakay, Ernny Apriyanti. (2015). Eksistensi Komisi PAemberantasan Korupsi


Sebagai State Auxiliary Body dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia.
Tesis. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Sumakul, Anastasia. 2012. Hubungan dan Kewenangan Komisi Pemberantasan


Korupsi (KPK) dan Kejaksaan dalam Menangani Tindak Pidana Korupsi.
Jurnal Lex Crimen Vol. 1 No.4.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi (KPK).

Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai