Anda di halaman 1dari 3

Nama : Angga Putri Utami

NIM : 195120607111049

KONSTITUSI BENARKAH TEREALISASI?

Konstitusi berasal dari bahas latin yaitu Constituante, yang biasa kita kenal dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut
Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis yang juga disebut konvensi. Konstitusi
menjabarkan garis besar arah perjuangan bangsa dan negara, dan merupakan hukum dasar yang
dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi memuat aturan dalam
prinsip-prinsip politik, hukum, kewajiban pemerintah, dan juga sebagai batasan wewenang
pemerintah secara garis besar yang benar-benar harus ditaati dan dijalankan oleh segenap
komponen negara.

Indonesia sebagai negara hukum, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat
(3) UUD 1945 setelah amandemen ketiga disahkan pada 10 November 2001, seharusnya
menjunjung tinggi keadilan dan persamaan di depan hukum. Akan tetapi, sepertinya seolah-
olah para penegak hukum di Indonesia lupa akan pentingnya kedua hal itu. Persamaan di depan
hukum sebagaiman ditekankan dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 amandemen IV yang
berbunyi, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya", seolah-olah
dapat dianulir bila seseorang berkuasa dan ber-uang. Para pejabat dan konglomerat seperti
ditempatkan di atas hukum itu sendiri, padahal mereka termasuk warga negara yang seharusnya
memiliki kedudukan sama di depan hukum.

Contoh kasus pelanggaran Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 salah satunya adalah kasus
kecelakaan yang melibatkan para public figure misalnya kasus kecelakaan putra bungus
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada saat itu, Rasyid Amrullah Rajasa,
seakan-akan terhapuskan dari ingatan masyarakat saat ini. Ia terbukti melanggar Pasal 310 ayat
2 dan 4 UU Lalu Lintas yang berisi tentang pelanggaran pengemudi kendaraan bermotor yang
mengakibatkan kecelakaan dengan korban luka dan meninggal. Kecelakaan tersebut
menghilangkan nyawa dua orang dan salah satunya adalah bayi berusia enam bulan. Namun,
Rasyid hanya mendapat hukuman yang sangat ringan yaitu pidana penjara 5 bulan atau denda
Rp12 juta dengan masa percoaan 12 bulan. Karena hakim mempertimbangkan Restorative
Justice dimana Rasyid berjanji akan bertanggung jawab terhadap keluarga korban dan
menyantuni mereka, yang saya rasa tidak sebanding dengan kesalahan yang sudah dia lakukan
dan duka yang keluarga korban rasakan. Selain itu, berdasar pada kasus tersebut seakan-akan
hukum di Indonesia selalu menginjak yang bawah dan tidak pernah menyentuh kalangan atas.

Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, pasal ini membahas mengenai
perlindungan dan hak warga negara Indonesia dalam hal pekerjaan dan penunjang kehidupan,
dengan kriterianya adalah layak bagi kemanusiaan. Pasal ini penting bagi keberlangsungan
hidup tiap-tiap warga negara agar dapat hidup secara layak sebagai tanggung jawab Negara
terhadap warganya. Secara teori bunyi ayat pasal tersebut telah dijelaskan dalam UUD 1945,
namun secara praktik belum dapat dikatakan bahwa implementasi pasal tersebut telah
dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya tingkat pengangguran dan
warga negara dengan tingkat kehidupan yang kurang layak .

Pengangguran dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, terutama tingkat


pendidikan dan kemampuan. Hal tersebut merupakan pemicu terbesar dari tingginya tingkat
pengangguran. Tingginya angka tingkat pengangguran menyebabkan terjadinya
ketidakefisienan terhadap kegiatan produksi yang mengakibatkan semakin jauhnya tingkat
kehidupan yang layak bagi warga negara . Dan disisi lain, tingkat kehidupan yang kurang layak
dapat disebabkan oleh sifat malas dari warga negara tersebut yang tidak ingin mencoba
merubah tingkat kehidupannya ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Pada umumnya,
warga negara demikian terfokus untuk menunggu uluran tangan dari individu lain maupun
pemerintah, tanpa melakukan suatu usaha sebagai kewajiban untuk memenuhi hak
penghidupan yang layak.

Ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapat jaminan konstitusional


yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD
1945 pada pasal 28, yang menetapkan hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat
akan diatur dalam undang/undang. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat
demokrasi. Berbeda dengan keputusan pemerintah yang menerapkan batasan terhadap
pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat yang salah satunya diatur dalam Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Sejak diundangkan pada 2008, UU ITE telah digunakan secara jamak oleh penegak
hukum untuk menindak penyalahgunaan teknologi informasi utamanya melalui media internet.
Di antara beberapa pasal yang mengatur mengenai tindak pidana di bidang Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik, UU ITE mengatur mengenai pemidanaan terhadap
aktivitas berpendapat di internet. Pembatasan tersebut berulang kali mengundang perhatian
publik, selain karena sering kali melibatkan figur publik, juga karena dianggap secara
berlebihan mengekang publik dalam berpendapat. Seperti contohnya polemik kasus
penyebaran konten pencemaran nama baik maskapai Garuda Indonesia di Youtube dan di
Instagram yang menyangkut Rius Vernandes. Dalam video dan pernyataan yang dibuatnya,
Rius mengkritik pelayanann yang diterima sebagai konsumen GI. Namun, hal tersebut justru
membuatnya tersangkut kasus pidana atas dugaan pelanggaran UU ITE karena dianggap
melakukan pencemaran nama baik maskapai Garuda. Jelas dalam kasus ini pasal tersebut
disalahgunakan hingga membatasi hak berekspresi dan hak berpendapat netizen yang
seharusnya menjadi bagian dalam demokrasi di Indonesia.

Selain hal diatas salah satu pasal yang tidak terealisasi dengan baik adalah Pasal 34
ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh
negara”. Dalam hal ini jelas disebutkan bahwa negara sebagai pengayom dan pelindung serta
harus bertanggung jawab langsung dalam penanganan dan pembinaan terhadap fakir miskin
dan anak-anak terlantar. Namun, realita saat ini masih banyak fakir miskin dan anak-anak yang
terlantar ditemukan di kota-kota besar, bahkan di Jakarta sangat membludak jumlahnya dan
mereka seringkali tidur di kolong jembatan dan daerah kumuh lainnya. Yang artinya, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak memelihara fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar sesuai dengan UUD 1945.

Undang-Undang Dasar 1945, sebagai konstitusi tertinggi di Indonesia harusnya selalu


menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945, tidak boleh hanya
menjadi sebuah dokumen kenegaraan. Karena dalam pembukaan terdapat diktum yang sangat
penting mengenai bentuk, cita-cita dan arah negara. Dan dalam batang tubuh UUD 1945
mengatur segala hal mengenai ketatanegaraan, Seharusnya segala hal yang tercantum dalam
UUD 1945 dilaksanakan dengan optimal agar terealisasi. Agar UUD NKRI 1945, tetap hidup
dan bekerja, maka konstitusi itu harus selalu terelaborasi ke dalam UU yang ada di bawahnya.
Konstitusi harus menjadi rujukan, sumber utama dalam penyusunan UU, atau peraturan di
bawahnya. Jangan sampai hanya disebut semata, tapi tidak ada realisasinya.

Anda mungkin juga menyukai