NIM : 195120607111049
Sebeneranya, Jalan Tol Trans-Jawa telah dirancang sejak tahun 1996 pada era
kepemimpinan Presiden Soeharto. Proses perencanaan hingga sampai pada tahap
pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa memakan waktu puluhan tahun. Pada awal perencanaan
krisis moneter Indonesia tahun 1998 menjadi hambatan yang serius. Banyak proyek
pembangunan pemerintah yang harus direstrukturisasi dan pembangunannya sempat berhenti.
Oleh karena itu, biaya pembangunan membengkak dan berakibat pada mahalnya tarif tol.
Jalan Tol Trans-Jawa memiliki panjang 1,350 kilometer dan dioperasikan pada tahun
2019. Jalan tol ini menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa dan membentang dari Jakarta
hingga Surabaya. Pembangunan jalan tol Trans-Jawa di atas 10 ruas jaringan tol, antara lain
Cikampek-Palimanan, Kanci-Pejagan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, Batang-
Semarang, Semarang-Solo, Solo-Ngawi-Kertosono, Kertosono-Mojokerto dan Mojokerto-
Surabaya. Berdasarkan perhitungan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) dana yang dibutuhkan
untuk pembangunan yaitu Rp. 40 Triliun dan sudah termasuk dana pembebasan lahan. Dalam
pembangunan dan pengoperasiannya, terdapat berbagai dampak positif dan negative bagi
pemerintah dan masyarakat.
Dalam pembangunan Tol Trans-Jawa masih terdapat banyak dampak negative. Salah
satunya yaitu pada pembangunan ruas tol Solo-Kertosono tidak berwawasan lingkungan dan
tidak sesuai dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) karena menurunkan
jumlah lahan produktif yang harusnya dapat digunakan sebagai lahan pertanian, menurunnya
pendapatan petani karena berkurangnya lahan pertanian dan hilangnya saluran irigasi sawah
serta meningkatnya polusi udara karena tol dilewati oleh kendaraan besar yang notabene
bermuatan material.
Jalan Tol Trans-Jawa mengonversi lahan pertanian sebesar 655.400 hektar, yang
mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal Pulau Jawa memiliki peran sebagai pemasok
53% kebutuhan pangan di Indonesia. Lahan hijau di Pulau Jawa yang smeakin kecil akibat
penggilisan tanah subur yang mengurangi produksi padi dan menimbulkan tingginya angka
pengangguran dan kemiskinan bagi masyarakat yang terdampak pembebasan lahan. Dampak
negatif lainnya yaitu kurangnya daerah resapan air, salah satu contohnya berada di Daerah
Kramas semacam lembah yang dikelilingi jaan melingkar dari Perumnas Banyumanik ke
daerah Tembalang. Daerah tersebut awalnya merupakan daerah respaan air yang berupa sawah
tadah hujan. Akibat pengerugan daerah tersebut untuk dijadikan tol, maka tidak ada lagi daerah
resapan air jika musim hujan. Dan akibatnya, masyarakat yang tinggal disekitar tersebut harus
menerima konsekuensi sering terjadinya banjir.
Khasanah, U., Nugraha, N., & Kokotiasa, W. (2017). Dampak Pembangunan Jalan Tol Solo-
Kertosono Terhadap Hak Ekonomi Masyarakat Desa Kasreman Kecamatan Geneng
Kabupaten Ngawi. Citizenship Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 5 No 2.
Diakses pada 15 November 2020 dari
http://e-journal.unipma.ac.id/index.php/citizenship/article/view/1644/1381
Rosana, E. (2011). Modernisasi dan perubahan social. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi
Politik islam Vol 2 No. 7, diakses pada 16 November 2020 dari
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/view/1529
Sumaryoto, S. (2018). Dampak Keberadaan Jalan Tol Terhadap Kondisi Fisik, Sosial, dan
Ekonomi Lingkungannya. Jurnal of Rural and Development, Vol. 1 NO.2. Diakses pada
15 November 2020 dari
https://jurnal.uns.ac.id/rural-and-development/article/view/23808/17120