Anda di halaman 1dari 5

Nama : Angga Putri Utami

NIM : 195120607111049

BIROKRAT DAN PENDIDIKAN INDONESIA PADA MASA PANDEMI COVID-19


Awal 2020, dunia digemparkan dengan menyebarnya virus jenis baru dari (SARS-CoV-
2) yaitu corona virus yang kemudian disebut Coronavirus disease 2019 (COVID-19). Setelah
ditelusuri, diketahui bahwa virus ini berasal dari Wuhan, Tiongkok. Direktur Jenderal WHO
mengumumkan kondisi kegawatdaruratan kesehatan dunia pada 30 Januari 2020, yang
mengisyaratkan bahwa Covid-19 ini berpotensi menyebar ke negara lain dan berdampak
besar terhadap populasi dunia. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan Covid-19
sebagai pandemi.

Pandemi Covid-19 berdampak pada kebijakan yang diambil oleh Pemerintah


Indonesia yang menghimbau agar warganya bekerja dari rumah, beribadah di rumah, belajar
dari rumah, atau lebih popular dengan istilah Work From Home (WFH). WFH disarankan oleh
pemerintah sebagai upaya social distancing untuk meminimalisasi virus Covid-19 yang begitu
cepat menyebar dan memutus rantai penularan virus Covid-19.

Kondisi pandemi Covid-19 berdampak besar di berbagai sektor pembangunan,


termasuk bidang pendidikan. Opsi kebijakan terkait pendidikan yang telah diambil oleh
pemerintah yaitu kebijakan Belajar dari Rumah hingga Peniadaan Ujian Nasional di tingkat SD,
SMP, dan SMA. Selain itu, Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang pada awalnya dilakukan
secara langsung atau tatap muka diganti menggunakan sistem daring dikarenakan kampus
dan sekolah ditutup sementara oleh pemerintah.

Tenaga pendidik merupakan salah satu birokrat tingkat jalanan/ street-level


bureaucracy dalam bidang Pendidikan yang mengimplementasikan kebijakan KBM daring.
Emy Kholifah (2013:126) menjelaskan bahwa Michael Lipsky memiliki pandangan mendalam
tentang Birokrasi Tingkat Jalanan / Street Level Bureaucracy dengan perannya sebagai
implementor kebijakan di lapangan yang dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan
kebijakan. Lipsky menganggap guru, polisi, pegawai departemen kesejahteraan, pegawai
rendahan pengadilan, kantor jasa hukum sebagai birokrat tingkat ‘jalanan’ (street level
bureaucrat) yang memiliki karakteristik sama secara umum dengan birokrat lain pada tataran
pelaksana.

Menurut Lipsky (1980) Street Level Bureaucracy lah penentu keberhasilan suatu
kebijakan karena publik menganggap mereka adalah cerminan dari birokrasi pemerintah yang
mampu mempengaruhi persepsi dan pandangan masyarakat terhadap implementasi
kebijakan. Oleh karena itu, tenaga pendidik harus memberikan pelayanan pendidikan
seoptimal mungkin untuk memastikan KBM berjalan lancar dan efektif meskipun tidak
bertatap muka secara langsung. Tenaga pendidik juga dituntut berinovasi dan mendesain
format media pembelajaran yang efektif dengan memanfaatkan media daring, agar capaian
materi di setiap pertemuan dapat tetap diterima dan dipahami oleh para siswa/mahasiswa
secara maksimal.

Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat
Penyebaran Covid-19. Sistem pembelajaran dilaksanakan secara daring dengan
memanfaatkan teknologi Pembelajaran online pada pelaksanaannya membutuhkan
dukungan perangkat-perangkat mobile seperti telepon pintar, tablet dan laptop yang dapat
digunakan untuk mengakses informasi dimana saja dan kapan saja (Gikas & Grant, 2013).

Namun, dengan dirilisnya Surat Edaran mengenai pembelajaran secara daring, coba
bayangkan bagaimana bingungnya saudara-saudara kita di ujung Papua? Atau bagi mereka
yang berada di pedalaman Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi yang listrik saja jarang hidup
apalagi jaringan internet? Kita saja yang berdomisili di Pulau Jawa saja kadanag terjadi
pemadaman bergilir ataupun sinyal yang terganggu. Maka dapat dibayangkan betapa sulitnya
saudara-saudara kita yang berada diluar Pulau Jawa.

Maka dari itu, pertanyaannya adalah apakah sejauh ini model pembelajaran daring
sudah efektif dan transfer ilmu antara tenaga pendidik dan mahasiswa sudah berjalan dengan
baik?

Setyosari (2015:7-8) menyatakan bahwa pembelajaran melalui jaringan memiliki


potensi-potensi,antara lain:kebermaknaan belajar, kemudahan mengakses, dan peningkatan
hasil belajar. Dalam konteks belajar secara online, Mahasiswa dapat berhubungan secara
cepat dan langsung dengan teks, gambar, suara, data, dan video dua arah, dengan bimbingan
pengajar.

Namun, hingga saat ini terdapat berbagai macam tanggapan mengenai model
pembelajaran daring. Tidak meratanya infrastruktur yang ada seperti aliran listrik, akses
internet dan kepemilikan perangkat sebagai media pembelajaran daring, menjadi
penghambat berjalannya KMB dengan model daring terutama untuk mereka yang tinggal di
pelosok negeri. Model pembelajaran daring hanya sebatas untuk memberikan tugas, bahkan
mereka kesulitan untuk mengikuti kelas perkuliahan. Tak jarang mereka harus naik bukit
untuk mendapatkan akses internet.

Selain itu, bagi mahasiswa yang dirumahnya tidak menggunakan Wifi ataupun
mahasiswa yang berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah, tentunya biaya yang
dikeluarkan untuk pembelian kuota internet sebagai penunjang perkuliahan daring,
membengkak dan memberatkan secara finansial. Ditambah lagi dengan adanya isu beberapa
PTN yang menaikkan UKT mahasiswanya tentu hal ini semakin memberatkan baik mahasiswa
maupun keluarganya.

Model pembelajaran daring dengan lokasi tenaga pendidik dan siswa/mahasiswa yang
terpisah saat melaksanakan pembelajaran, membuat tenaga pendidik tidak bisa memantau
secara langsung aktivitas yang dilakukan oleh mahasiswanya selama proses pembelajaran
berlangsung. Dan tidak ada jaminan bahwa siswa/mahasiswa tersebut benar-benar
memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh tenaga pendidik. Szpunar, Moulton, &
Schacter, (2013) menyatakan bahwa mahasiswa menghayal lebih sering pada perkuliahan
online dibandingkan dengan perkuliahan tatap muka.

Permasalahan yang ditimbulkan akibat model pembelajaran daring, harusnya lebih


didengar dan dievaluasi oleh birokrat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyuarakan
aspirasi demi terciptanya sebuah solusi. Berbagai macam aksi protes dan kritik telah dilakukan
melalui media sosial agar para birokrat kampus dapat memberi solusi dari permasalahan yang
timbul akibat kebijakan metode pembelajaran daring ini.

Salah satu contohnya adalah hashtag #AmarahBrawijaya yang sempat viral di media
sosial Instagram dan Twitter membuahkan hasil. Birokrat Universitas Brawijaya sebagai
street-level bureaucracy bersedia memberikan subsidi kuota bagi mahasiswa bidikmisi dan
UKT Golongan 1. Tentunya hal ini memberikan persepsi yang baik di mata mahasiswa
terhadap birokrat kampus, karena suara mereka didengar.

Walaupun masih memiliki banyak kekurangan, metode pembelajaran daring ini


memiliki manfaat positif baik bagi tenaga pendidik maupun bagi siswa atau mahasiswa.
Karena dengan model pembelajaran daring, dapat menguasai teknologi secara cepat karena
tuntutan model pembelajaran daring. Yang tentunya, penguasaan teknologi ini dapat
bermanfaat karena seperti yang kita tahu, penguasaan teknologi adalah pendukung dalam
berjalannya Revolusi Industri 4.0.

Selain itu, jika dahulu teknologi komputer, laptop, dan gawai lebih sering digunakan
untuk hal yang tidak bermanfaat seperti game online dll, saat ini teknologi tersebut
dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh pelajar di Indonesia untuk mereka gunakan sebagai
media pembelajaran daring.

Walaupun kebijakan ini belum maksimal, kita harus mengapresiasi segala hal yang
telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan beserta street-level bureaucracy di bidang
Pendidikan terutama tenaga pendidik yang berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan
KBM agar dapat mentransfer ilmu kepada seluruh pelajar di Indonesia di tengah wabah Covid-
19.

Lambat laun, birokrasi di Indonesia seharusnya dapat mengatasi ketidaksiapan dalam


pemenuhan infrastruktur aliran listrik, akses internet dan berbagai perangkat penunjang
model pembelajaran daring hingga ke pelosok negeri. Agar seluruh pelajar di Indonesia dapat
merasakan keberlangsungan dan kelancaran kuliah daring, sehingga ilmu dari tenaga pendidik
juga dapat “ditransfer” kepada para pelajar tanpa adanya ketimpangan sarana dan prasarana.
DAFTAR PUSTAKA

Gikas, J., & Grant, M. M. (2013). Mobile computing devices in higher education: Student
perspectives on learning with cellphones, smartphones & social media. Internet
and Higher Education. Retrieved from https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2013.06.002

Khasanah, D. R., Pramudibyanto, H., & Widuroyekti, B. (2020, April). Pendidikan Dalam Masa
Pandemi Covid-19. Jurnal Sinestesia, Vol.10, 42. Retrieved from
https://sinestesia.pustaka.my.id/journal/article/view/44

Kholifah, E. (2013). Pemikiran Kritis Tentang Bureaucrat Street Level Theory Oleh Michael
Lipsky. Jurnal Ekonomi, 126. Retrieved from http://jurnal.stie-
mandala.ac.id/index.php/relasi/article/download/14/12

Lipsky, Michael. (1980). Street Level Bureaucracy, Dilemmas Of The Individual In Public
Services. New York: Russel Sage Foundation

Setyosari, P. (2007). Pembelajaran Sistem Online: Tantangan dan Rangsangan. Jurnal Majalah
Ilmiah Pembelajaran Edisi Oktober 2007 No.2. Universitas Negeri Yogyakarta. Hal 7-8

Szpunar, K. K., Moulton, S. T., & Schacter, D. L. (2013). Mind wandering and education: From
the classroom to online learning. Frontiers in Psychology.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2013.00495

SURAT EDARAN MENDIKBUD NO 4 TAHUN 2020 TENTANG PELAKSANAAN KEBIJAKAN


PENDIDIKAN DALAM MASA DARURAT PENYEBARAN CORONA VIRUS DISEASE (COVID-
1 9). (2020, Maret 24). Retrieved from pusdiklat.kemendikbud.go.id:
https://pusdiklat.kemdikbud.go.id/surat-edaran-mendikbud-no-4-tahun-2020-
tentang-pelaksanaan-kebijakan-pendidikan-dalam-masa-darurat-penyebaran-
corona-virus-disease-covid-1-9/

Anda mungkin juga menyukai