Anda di halaman 1dari 12

PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

DI INDONESIA

LOGO

KELOMPOK
NAMA
NIM

TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seperti yang sudah kita ketahui, Indonesia merupakan negara hukum.
Pernyataan tersebut sudah secara jelas tercantum dalam Pasal UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Isu-isu yang berkaitan dengan hukum Indonesia
pun sangat beragam, terutama terkait dengan penegakan hukum. Penegakan
hukum di Indonesia ialah merupakan salah satu contoh nyata dari isu strategis
yang terdapat dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik di tingkat nasional
maupun lokal. Penegakan hukum jika berdasarkan dari pengelolaan pemerintah
yang baik (good governance) yaitu memiliki prinsip di mana segala sesuatu harus
dilaksanakan, jika pemerintahan ingin dinobatkan sebagai pemerintahan yang
bersih dan berwibawa.
Selain itu, terdapat salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu
negara hukum ialah perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Selain negara
Indonesia yang sudah diakui sebagai negara hukum, Hak Asasi Manusia pun
sudah diakui sejak awal oleh para pendiri bangsa dan tentunya hal tersebut telah
tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Namun, kenyataannya kondisi permasalahan dari kasus Hak Asasi Manusia
(HAM) ini telah mengalami banyak pelanggaran, bahkan dikategorikan ke dalam
bentuk pelanggaran berat. Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi isu strategis
yang cukup menjadi sorotan saat ini.
Permasalahan terkait dengan penegakan HAM ini selalu beriringan dengan
masalah penegakan hukum yang di mana hal ini menjadi salah satu hal yang
sering menjadi keluhan masyrakat Indonesia. Tentunya, hal ini terjadi disebabkan
oleh salah satu faktor yaitu lemahnya pengekan hukum di Indonesia. Masyarakat
terkesan acuh tak acuh terhadap kasus-kasus hukum seperti ini, bahkan dalam
beberapa kasus pelanggaran berat ini, masih banyak yang belum terselesaikan.
Sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada
Pasal 1 ayat (2) bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Berdasarkan pernyataan di atas, sudah sangat
jelas jika negara Indonesia ini merupakan suatu negara yang segara hal nya selalu
berdasarkan atas Undang-Undang Dasar yang mengatur segala problematika
kehidupan yang berawal dari kedaulatan rakyat dan selanjutnya akan diutuskan
kepada negara yang bermuara demi kedaulatan rakyat itu sendiri. Meskipun,
terdapat beberapa elemen-elemen lain yang dirasa sudah cukup memadai, hal ini
tidak menutup kemungkinan jika hukum masih belum dapat menunjukan kondisi
seperti yang diharapkan.
Berdasarkan kondisi-kondisi penegakan hukum yang sudah terjadi dan
begitu banyaknya permasalahan hukum yang belum terselesaikan secara tuntas.
Permasalah ini tentunya harus segera ditangani agar terjadinya peningkatan
kepastian hukum di Indonesia. Upaya-upaya ini tentunya tidak bisa hanya
melibatkan pemerintah dan aparat penegak hukum saja, namun harus melibatkan
seluruh elemen-elemen masyarakat Indonesia. Berdasarkan pernyataan di atas,
penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut terkait “Problematika Penegakan
Hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dirumuskan sebuah rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia saat ini?
2. Bagaimana penerapan hukum pada pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini
ialah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk dari perlindungan HAM dalam peraturan
perundang-undangan saat ini di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pada pelanggaran HAM di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bentuk Perlindungan HAM dalam Peraturan Perundang-Undangan
Hakikat hak asasi manusia secara pengertian pada dasarnya meliputi hak-
hak alamiah manusia, yang menurut Piagam PBB tentang Deklarasi Universal of
Human Right meliputi Hak berpikir & mengeluarkan pendapat; b. Hak memiliki
sesuatu; c. Hak mendapatkan pendidikan & pengajaran; d. Hak menganut aliran
kepercayaan atau agama; e. Hak untuk hidup; f. Hak untuk kemerdekaan hidup; g.
Hak untuk memperoleh nama baik; h. Hak untuk memperoleh pekerjaan; i.
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Dalam konteks instrumentasi
hukum HAM di Indonesia pengakuan dan perlindungan terhadap HAM pada
periode pasca reformasi bisa dikatakan sebagai tahapan penentuan dan penataan
aturan secara konsisten yang bersesuaian dengan prinsip-prinsip HAM universal.
Berikut instrumen hukum HAM yang lahir pasca reformasi, pertama, TAP
MPR No. XVII/ MPR/1998 tentang HAM. Ketetapan MPR ini merupakan
instrumen HAM yang muatannya bukan hanya tentang Piagam HAM, tetapi juga
memuat amanat kepada Presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk
memajukan perlindungan HAM, termasuk mengamanatkan kepada mereka untuk
meratifikasi instrumen-instrumen internasional yang berkaitan dengan jaminan
pemenuhan HAM.Pada masa ini, BJ. Habibie membuat Rencana Aksi
Nasional HAM (RAN-HAM) tahun 1998-2003, yang memuat agenda
pemerintahannya dalam penegakan HAM, meliputi pendidikan dan sosialisasi
HAM serta program ratifikasi instrumen internasional HAM. Kedua, UUD 1945
setelah amandemen yang mengatur Pasal khusus tentang HAM, terletak pada bab
tersendiri yaitu Bab XA, di dalamnya terdapat 26 butir ketentuan yang menjamin
terhadap pemenuhan HAM yang melekat dalam ketentuan pasal 28.
Ketiga, UU. No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Undang-Undang ini
merupakan instrumen yang pokok yang menjamin semua hak yang tercantum di
berbagai instrumen internasional tentang HAM. Undang-undang ini memuat
pengakuan dan perlindungan hak-hak yang sangat luas karena banyak
ketentuannya yang merujuk pada katagorisasi hak yang ada dalam UDHR,
ICCPR, ICESCR, CRC, dan beberapa lainnya. Selain itu, UU. No. 39 tahun 1999
tentang HAM juga mengatur soal kelembagaan Komnas HAM.
Keempat, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Secara
umum, Undang-undang ini mengatur dua hal, pertama, pengaturan soal perbuatan
pidana yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM, kedua, pengaturan
soal hukum acara proses pengadilan HAM. Pengaturan soal kategorisasi
pelanggaran berat HAM diatur dalam pasal 7-9 yang secara umum rumusannya
diambil dari Statuta Roma, sedangkan hukum acara yang diatur meliputi
penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di
persidangan, syarat-syarat pengangkatan hakim sampai pada ketentuan eksekusi
hukuman pelanggaran.
Kelima, UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Pengesahan
Undang-Undang ini sebagai reaksi atas pelanggaran yang dilakukan banyak
oknum terhadap anak-anak. Dalam Undang-Undang salah satunya diatur soal
larangan pelibatan anak dalam berbagai kegiatan orang dewasa. Anak harus
dilindungi untuk tidak dilibatkan dalam kegiatan politik seperti kampanye,
sengketa bersenjata, kerusuhan sosial dan beberapa lainnya. Keberadaan undang-
undang ini sudah dilengkapi lebih lanjut dengan adanya UU No. 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Anak terkait dengan perlindungan anak yang berhadapan
dengan kasus hukum yang mengatur secara khusus hukum acara untuk menangani
perkara anak.
Keenam, UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
UndangUndang ini mengatur soal fungsi dari pendidikan, prinsip-prinsip
penyelenggaran pendidikan, tanggungjawab negara terhadap pendidikan dan
lainnya. Dalam pasal 11 UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa pemerintah dan
Pemda wajib memberikan layanan dan kemudahan,serta menjamin
terselenggarannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga tanpa diskriminasi.
Ketujuh, UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Keberadaan MK melalui undang-undang ini sangatlah penting bagi eksistensi
perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM, karena banyak hak-hak
masyarakat yang telah dijamin dalam UUD 1945 ternyata dilanggar oleh berbagai
undang-undang.
Kedelapan, UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga. Undang-Undang ini disahkan karena desakan aktifis perempuan
yang selama ini meneriakkan soal diskriminasi dan subordinasi hak-hak kaum
perempuan atas kaum laki-laki.
Kesembilan, UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Undang- Undang menjadi jaminan perlindungan keamanan daripada
saksi dan korban. Kesepuluh, UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis. Undang-Undang ini memberi penegasan bahwa
diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan
bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian,
keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga
negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan. Diskriminasi ras dan etnis
merupakan satu bentuk pelanggaran HAM sehingga harus dihapuskan.
Kesebelas, UU No. 19 tahun 2002 tentan Hak Cipta. Undang-Undang ini
menjawab tentang pentingnya pengaturan hak cipta dari karya setiap manusia.
Undang-Undang ini mengatakan bahwa negara memiliki keanekaragaman
etnik/sukubangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan
pengembangan-pengembangannya yang memerlukan perlindungan Hak Cipta
terhadap kekayaan intelektual yang lahir dari keanekaragaman tersebut.
Keduabelas, UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(KIP). Undang- Undang menjadi landasan tentang jaminan daripada hak
kebebasan informasi dan hak akses atas informasi publik. Undang-Undang ini
menjadi penguat bahwa tidak saatnya lagi informasi-informasi yang ada di badan-
badan publik ditutup-tutupi. Masyarakat mempunyai akses untuk mengetahui
terhadap informasi yang dibangun untuk kepentingan publik.
Ketiga belas, UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Instrumen
ini menjadi penegasan bahwa negara mempunyai tanggungjawab terhadap
pelayanan setiap warga negara dalam rangka pemenuhan hak-hak kebutuhan dasar
mereka tanpa diskriminasi. Undang-Undang-Undang ini sekaligus menegaskan
keberadaaan dan eksistensi Ombudsman (UU No. 39 tahun 2008 tentang
Ombudsman RI) yang ditetapkan sebaga lembaga negara yang ditugaskan untuk
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.
Keempat belas, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau
Buruh. Undang-Undang ini mengatur perihal kebebasan berpedapat, berserikat,
berkumpul dari serikat ataupun buruh. Berkaitan dengan ini juga diatur berkaitan
dengan ketenagakerjaan (UU No. 13 tahun 2003), tentang penempatan tenaga
kerja di luar negeri (UU No. 39 tahun 2004), dan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial(UU No. 2 tahun 2004). Secara umum, Undang-Undang
ketenagakerjaan di atas mendapatkan kritik yang substansial dari serikat pekerja.
Kelima belas, UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
UndangUndang ini menegaskan bahwa terbukanya pasar nasional sebagai akibat
dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan atau jasa
yang diperolehnya di pasar. Undang-Undang menjamin dengan jelas soal hak dan
kewajiban daripada konsumen, termasuk tata cara penyelesaian sengketa
konsumen yang bisa dilalui lewat jalur litigasi dan atau jalur non litigasi sesuai
dengan kesepakatan antar pihak bersengketa.
Selain berbagai instrumen hukum HAM di atas, masih banyak peraturan
hukum HAM lainnya yang menjadi media tanggungjawab pemenuhan,
penghormatan, dan perlindungan HAM, seperti UU No. 21 tahun 2007 tentang
Perdagangan Orang, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, UU No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian,
UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 3 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, UU No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, UU 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganeraan
Indonesia, UU No. 22 tahun 2007 tentang Partai Politik, Peraturan tentang
Rencana Aksi Nasional. Selain itu pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi
beberapa hukum internasional yang berarti bahwa pemerintah Indonesia telah
menyatakan kesediaannya untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional
tersebut.
Dari berbagai instrumen hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemenuhan HAM di atas, dapat dikatakan bahwa pemerintahan di era reformasi
telah responsif dan progresif untuk melakukan instrumentasi terkait perlindungan,
penghormatan dan pemenuhan HAM. Namun demikian dalam tataran
implementasi, seluruh aturan perundang-undangan tersebut khususnya yang
berkaitan dengan pelanggaran HAM dalam definisi hukum rezim hak asasi
manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 belum
berjalan efektif.
2.2 Penerapan Hukum Pada Pelanggara Hak Asasi Manusia
Pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya
Pancasila sebagai dasar pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat. Baik
yang menyangkut mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa,
maupun hubungan manusia dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila yang terdapat pada pancasila. Dalam Undang-
Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hah Asasi Manusia, pengaturan mengenai
Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen
internasional lain yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia. Materi Undang-
Undang ini tentu saja harus disesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat
dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Sedangkan di dalam Undang- Undang Dasar 1945 (yang telah
diamandemen), masalah mengenai Hak Asasi Manusia dicantumkan secara
khusus dalam bab XA pasal 28A sampai dengan 28J yang merupakan hasil
amandemen kedua tahun 2000.9Pemerintah dalam hal untuk melaksanakan
amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR tersebut di atas, di bentuklah
Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada tanggal 23
September 1999 telah disahkan Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia yang mengatur beberapa hal penting yang menyangkut Pengadilan
Hak Asasi Manusia.
Pertama, definisi pelanggaran Hak Asasi Manusia dideskripsikan sebagai
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang- Undang ini, dan
tidak mendapatkan atau di khawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (pasal 1
ayat 6).
Kedua, hak untuk hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut dapat di kecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ketiga, dalam Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk
menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua
pelanggaran hak asasi manusia yang di jamin oleh hukum Indonesia oleh negara
Republik Indonesia menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional.
Keempat, di dalam Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai berikut : Untuk mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat di bentuk pengadilan dalam ayat (1) di bentuk dengan Undang- Undang
dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai mana dimaksudkan dalam ayat (2) di adili oleh pengadilan yang
berwenang.
Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) Undang- Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa yang berwenang mengadili
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pengadilan Hak Asasi
Manusia. Pada tanggal 8 Oktober 1999 ditetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang pengadilan Hak
Asasi Manusia yang bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Namun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 1 Tahun 1999 tentang pengadilan hak asasi manusia yang dinilai tidak
memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia menjadi Undang-Undang dan oleh karena itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut di cabut. Pada tanggal 23 November 2000 di
tetapkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999. Pengadilan Hak Asasi
Manusia bertugas menyelesaikan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat dalam hal ini adalah kejahatan genosida yaitu penghancuran atau
pemusnahan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama dengan melakukan perbuatan membunuh anggota kelompok.
Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok.Menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan mengakibatkan
kelompok tersebut musnah.Memaksakan tindakan- tindakan yang bertujuan
mengenai kelahiran dalam kelompok tersebut. Memindahkan secara paksa anak-
anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu perbuatan yang dilaksanakan
sebagai bagian dari serangan yang meluas ataupun sistematik yang diketahuinya
bahwa akibat serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa pembunuhan, pemusnahan, pembudakan, pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik secara
sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan kehamilan, sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin maupun alasan lain yang telah diakui secara
Universal sebagai hal yang dilarang oleh hukum internasional, penghilangan
orang secara paksa kejahatan apartheid.
Dari berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi
tersebut telah mendorong munculnya suatu usulan untuk membantu pengadilan
Hak Asasi Manusia ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
berat di Aceh. Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usulan kepada
Presiden Republik Indonesia untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia ad
hoc telah disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
“Ketika pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia amat luas,
pengabaian memang seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun upaya
menyelesaikan masa lalu tidaklah sederhana. Dalam sebuah dunia yang sejak
perang dunia ke-II disibukkan dengan penyebaran isu demokratisasi dan
penghormatan terhadap martabat manusia, di lama antara proses penegakan
keadilan dan kepentingan politik antara masa transisi, melahirkan apa yang oleh
Tina Rosenberg disebut sebagai dimana besar moral, politik dan filosofis abad
ini”.
Sungguhpun Begitu, prospek penegakan Hak Asasi Manusia kedepan
tentu akan lebih baik dan cerah, mengingat pada satu sisi proses institusional Hak
Asasi Manusia, antara lain melalui pembaruan serta pembentukan hukum terus
menunjukkan kemajuan yang berarti, maupun pada sisi lain terbangunnya ruang
publik yang lebih terbuka bagi perjuangan Hak Asasi Manusia dalam kurun
waktu beberapa tahun belakangan ini.
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah bahwa sebagai anugerah dari Tuhan
terhadap makhluknya, hak asasi tidak boleh dijauhkan atau dipisahkan dari
dipisahkan dari eksistensi pribadi individu atau manusia tersebut. Hak asasi tidak
bisa dilepas dengan kekuasaan atau dengan hal-hal lainnya, Bila itu sampai terjadi
akan memberikan dampak kepada manusia yakni manusia akan kehilangan
martabat yang sebenarnya menjadi inti nilai kemanusiaan.
Permasalahan terkait dengan penegakan HAM ini selalu beriringan dengan
masalah penegakan hukum yang di mana hal ini menjadi salah satu hal yang
sering menjadi keluhan masyrakat Indonesia. Tentunya, hal ini terjadi disebabkan
oleh salah satu faktor yaitu lemahnya pengekan hukum di Indonesia. Masyarakat
terkesan acuh tak acuh terhadap kasus-kasus hukum seperti ini, bahkan dalam
beberapa kasus pelanggaran berat ini, masih banyak yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan bagaimana penerapan hukum dalam
kasus pelangagaran HAM dan perlunya penegakan hukum yang nantinya akan
membuat prospek penegakan Hak Asasi Manusia kedepan tentu akan lebih
baik dan cerah
3.2 Saran
1) Pada era reformasi sekarang ini, pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti
apapun bentuknya, harus dapat diproses melalui peradilan, maka perlu juga di
buat sarana yang akan mendukung masalah penegakan Hak Asasi Manusia.
Hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah dengan pembentukan komnas HAM.
2) Berkaitan dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di NKRI, apabila
proses upaya penyelesaian melalui pengadilan dapat berjalan dengan fair,
maka akan menjadi tonggak sejarah perjuangan yang akan Hak Asasi
Manusia bagi bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan
kualitas para aparat penegak hukum yang memahami nilai-nilai yang
berkenaan dengan Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Nurdin, Boy. 2012. Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Bandung : PT. Alumni.
Sujadmoko, Andrey. 2015 Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Anam,Koffi, Buletin Wacana Hak Asasi Manusia, Pesan Sekretaris Jenderal PBB
Memperingati Hari HAM ke- 57, Edisi 20 tahun III/ Desember 2005.
CST, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Data Hukum Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka,1986.
Direktorat Bina HAM, 2004, Monograf Mata Kuliah Hukum dan HAM, Jakarta :
Kementerian Hukum & HAM RI.
Kurnia, TironSlamet 2005. Reparasi (Reparation) terhadap korban pelanggaran
HAM di Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Nurdin, Boy. 2012. Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Bandung : PT. Alumni.
Sujadmoko, Andrey. 2015 Hukum HAM dan Hukum Humaniter, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Dirjdjosisworo, Seodjono, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Bandung: Citra Aditya
Bakti,2002
Hamzah, Dr. Andi S. H., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990.
Maududi, Abul A’la, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1985.
Nusantara,Abdul Hakim G. Sebuah Upaya Memutus Impunitas: Tanggung Jawab
Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM. Vol
2. no. 2 Nopember 2004,
Sumantri M, Prof. Dr. Sri. S. H., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, 1992.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali
Grafindo Persada, 1987

Anda mungkin juga menyukai