Anda di halaman 1dari 12

PERAN HUKUM DALAM PENEGAKAN HAK-HAK CASAR RAKYAT

PASCA SATU DEKADE REFORMASI

Oleh: Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H.*


Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

A.PENDAHULUAN

Reformasi yang dipelopori oleh para mahasiswa tanpa terasa

telah memasuki tahun kesepuluh. Gerakan yang dimulai sejak 1998

tersebut telah 'memaksa' kita untuk melakukan reformasi di segala

bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk bidang

hukum. Reformasi telah membawa berkah bagi semua orang,

sehingga siapa pun dapat leluasa menyatakan ekspresinya,

termasuk mempersoalkan konstitusi yang berlaku. Dalam bidang

politik, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, semua orang

telah mengakui dan merasakan perubahannya dari orde sebelumnya.

Namun di bidang ekonomi, harus diakui masih banyak pihak yang

mempertanyakan keberhasilannya.

Reformasi di bidang hukum bahkan telah menghasilkan sebuah


''big bang" yaitu dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang

Dasar 1945 sebanyak empat kali, dari tahun 1999 hingga tahun 2002.

*Mewakili Menteri Hukum dan HAM. Disampaikan pada Stadium Generale dalam rangka Lomba
Karya Tulis llmiah (LKTI) Bidang Hukum 2008. Diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keilmuan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta pada tanggal 15 Februari 2008.
Banyak pihak yang berpendapat bahwa tanpa adanya perubahan

terhadap UUD 1945 maka tidak akan ada reformasi, karena

perubahan UUD 1945 tersebut menjadi awal bagi perubahan berbagai

aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.

Reformasi konstitusi bahkan telah menegaskan bahwa Indonesia

adalah negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan:

'Negara Indonesia adalah negara hukum." Di dalamnya terkandung

pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan

konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan

menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang

Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam Undang-

Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak

yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta

jaminan keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan

wewenang oleh pihak yang berkuasa.

Dalam faham negara hukum yang demikian itu, pada

hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu sesuai dengan

prinsip nomokrasi (nomocracy) dan doktrin "the Rule of Law and not of

Man". Dalam kerangka 'the Rule of Law" itu diyakini adanya pengakuan

bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of Jaw),

adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan (equality before

the Law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam

2
kenyataan praktik atau penegakan hukum yang tidak bertentangan

dengan hukum. 1

Hakikatdari hukum adalah keadilan, dan dalam konteks kenegaraan,

keadilan bagi masyarakat memerlukan kePasalian hukum. Sementara

fungsi hukum itu sendiri selain sebagai pencipta keteraturan

(order), juga harus dapat memberikan perlindungan bagi rakyat untuk

memperoleh keadilan. Keadilan akan dirasakan oleh seluruh lapisan

masyarakat dengan parameter terpenuhinya hak-hak dasarnya. Sebagai

jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar itulah kemudian sejak

Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000 telah dicantumkan

secara memadai hak-hak dasar sebagaimana tertuang di dalam

aturan-aturan tentang Hak Asasi Manusia (yang terdiri dari 26 butir

dalam Bab XA tentang Hak Asasi Man usia, Pasal 28 sampai 281).

Pertanyaannya adalah, sejauhmana jaminan konstitusi terhadap

hak-hak dasar tersebut telah terimplementasikan di dalam berbagai

peraturan perundang-undangan dan kebijakan sehingga memenuhi

kebutuhan hak-hak dasar bagi rakyat? Permasalahan apa sajakah yang

menjadi kendala bekerjanya reformasi di bidang hukum selama satu

dekade reformasi ini? Dan, bagaimanakah hukum harus berperan?

'Julius Stahl dalam mengembangkan konsep negara hukum (rechtsstaat) mensyaratkan adanya
4 (empat) unsur, yaitu : perlindungan HAM, pembagian kekuasaan, pemerintah yang berdasarkan
undang-undang dan peradilan tata usaha negara.

3
B. HAK-HAK DASAR MENURUT UUD NRI 1945

Salah satu hal yang mengesankan dari berlangsungnya


reformasi konstitusi adalah perlindungan terhadap HAM menjadi
lebih impresif. UUD 1945 hasil Perubahan berhasil memiliki aturan-
aturan tentang HAM yang memadai.

Hak-hak dasar yang tercantum dalam UUD Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 di antaranya: hak hidup, hak mengeluarkan
pendapat, hak untuk bebas dari diskriminasi, hak memperoleh
pendidikan, hak yang sama di depan hukum, hak untuk memeluk
agama sesuai dengan keyakinan (Pasal28 sampai 28E). Kemudian
ada pula hak-hak masyarakat yang juga dimasukkan dalam
kategori hak asasi manusia, yaitu hak memperoleh informasi,
hak perlindungan diri, keluarga, harta, dan martabat, hak hidup
sejahtera, hak mendapat kesempatan yang sama, hak atas
jaminan sosial, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
tidak berlaku surut (Pasal 28F sampai Pasal 281).

Kesepuluh pasal ini diadopsi dari UU No. 39 Tahun 1999


tentang HAM, dan UU No. 39 Tahun 1999 sendiri merupakan
tindak lanjut dari Tap MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM. Tap
ini menugaskan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) tentang HAM (Pasal 2).

Munculnya Tap MPR tentang HAM ini didorong oleh tuntutan


reformasi pad a sa at itu yang sang at menginginkan agar dikeluarkan
perundang-undangan yang menyangkut pemberantasan KKN dan

4
penegakan HAM. Maka MPR pada tahun 1998 membuat Tap
MPR tentang HAM No.XVII/MPR/1998, di samping Tap MPR No
XII MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta Tap MPR
No X/MPR/1998 tentang Pokok Reformasi Pembangunan.

Sebagai negara hukum, sejak kelahirannya pada tahun


1945 sudah menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut
dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum
diproklamasikannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
UUD 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang
penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut
antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea
pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal
26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia
di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1 )); hak
warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2));
hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak
bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)); hak berserikat dan
berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan
setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu
(Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia
atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1 )).

Dari perspektif hukum tata negara, norma yang


terkandung dalam UUD ini merupakan sumber hukum atau
rechtsidee bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini
mempunyai makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD
harus mengalir dalam peraturan perundang-undangan di

5
bawahnya. Maka dengan kata lain, peraturan perundang-undangan
yang merupakan norma original maupun norma jabaran tidak boleh
menyimpang dari nilai-nilai HAM yang dinormakan oleh UUD 1945.

C. PERATURAN YANG MEMUAT NILAI-NILAI HAM

Dalam rangka memenuhi hak-hak dasar masyarakat, pasca


reformasi, badan legislatif telah menghasilkan berbagai undang-
-
undang yang menjamin hak-hak dasar masyarakat dalam jumlah
yang signifikan jika dibandingkan dengan orde sebelumnya.

Contohnya adalah, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-


hak Asasi Manusia, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No.
26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, UU No. 23 Tahun 2003
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilu DPR, DPD, DPRD, UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU
No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 2 Tahun 2008 tentang
Parpol, dan saat ini pun tengah dibahas RUU Keterbukaan lnformasi
Publik di DPR.

Kesemua pembentukan peraturan perundang-undangan


tersebut adalah dalam rangka melindungi hak-hak dasar masyarakat
yang jelas-jelas telah diatur dalam konstitusi. Pembentukan UU
yang memuat jaminan perlindungan hak-hak dasar masyarakat ini
nampaknya mencoba mengaplikasikan teori Roscoe Pond mengenai
law as a tool of social engineering. Di mana peraturan perundang-

6
undangan sebagai pembentuk ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat dengan memberikan perlindungan hak-hak masyarakat
itu sendiri.

D. PERMASALAHAN DAN PERAN HUKUM YANG DIHARAPKAN

Permasalahan
Hak-hak dasar tiap warga negara tidak dapat dilecehkan
oleh siapapun, sebab hak-hak ini melekat pada kodrat tiap manusia
dan mendahului semua bentuk hukum positif. Namun fakta empiris
menunjukkan gejala yang lain. Permasalahan hukum yang te~adi ini
tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dan politik yang ada.
Beberapa permasalahan ikutan dari proses reformasi yang kurang
berjalan dengan baik mengakibatkan terabaikannya hak-hak dasar
rakyat. Sekedar memberikan contoh, berikut beberapa permasalahan
yang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Krisis ekonomi yang masih terus berjalan sejak 1997,


telah melahirkan utang luar negeri yang menumpuk. Hal ini dapat
menimbulkan kecenderungan pengorbanan pemenuhan hak-hak
dasar rakyat, karena dalam dimensi politis, pemerintah mau tidak mau
lebih mendengarkan negara donor. Demikian juga ketika menghadapi
penurunan defisit anggaran dan ketahanan fiskal, pemerintah akan lebih
berkonsentrasi pada masalah tersebut. Di bidang otonomi daerah,
bel urn dapat menjamin mudahnya akses informasi dan pelayanan sosial
untuk masyarakat.

7
Di bidang peraturan perundang-undangan, terdapat potensi
yang menghambat bagi pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Misalnya,
keluarnya UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air berpotensi
terhadap privatisasi dan komersialisasi air yang pada gilirannya
memberi jalan bagi perusahaan air multinasional menguasai sumber
daya air yang selama ini menjadi kebutuhan dasar rakyat. UU No. 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan yang memuat sistem unbundling
dan kompetisi dinilai bertentangan dengan Pasal33 UUD 1945 karena
ketenagalistrikan menguasai hajat hid up orang ban yak oleh karenanya
harus dikuasai oleh Negara. Namun UU ini telah dibatalkan oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi. MK menilai UUD 1945 menolak sistem
mekanisme pasar bebas, walau bukan berarti anti divertasi, privatisasi
dan persaingan. Peraturan lain, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas,
UU terkait dengan hak kekayaan intelektual (Cipta dan Paten), UU No.
41 Tahun 2007 tentang Kehutanan.

Pada tingkat peraturan presiden, pernah dipermasalahkan


Perpres No. 36 Tahun 2005 yang kemudian direvisi dengan Perpres
65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Di tingkat Perda, contohnya adalah Perda DKI No. 8 Tahun 2007
tentang Ketertiban Umum. Perda ini dipandang oleh banyak kalangan
dapat dibatalkan karena melanggar hak hidup yang dijamin UUD 1945,
seperti pedagang asongan. Hal-hal terserbut seringkali menimbulkan
ketidakadilan bagi yang lemah dan miskin.

8
Peran Hukum yang diharapkan

Landasan hakiki perwujudan hak-hak dasar rakyat adalah prinsip


keadilan yang mengandung nilai fundamental dalam pelaksanaan roda
pemerintahan. Keadilan ini adalah berasaskan pertimbangan
objektif dan bukan sekadar "rasa" keadilan yang tak dapat
diperdebatkan. Hanya, tuntutan pemenuhan hak-hak dasar ini
harus diimbangi dengan pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar
kita sebagai warga negara, seperti memenuhi ketentuan hukum
yang sedang berlaku. Lalu bagaimana hukum dapat berperan dalam
penegakan hak-hak rakyat?

Pembukaan UUD NRI 1945 yang menyebutkan "Pemerintah


melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa" dan
tercermin dalam pasal-pasal yang terkait dengan hak-hak dasar
rakyat (=HAM) menunjukkan pilihan para pendiri bangsa untuk
memilih dan membentuk negara kesejahteraan (welfare state). Dalam
konsep welfare state, hukum merupakan alat untuk meraih tujuan
""kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat". Oleh karena itu hukum
ikut turun tangan untuk mengatur penyelenggaraan berbagai upaya
kesejahteraan, seperti pendidikan, kesehatan, papan, dan kebutuhan
publik lainnya.

lni merupakan koreksi terhadap bekerjanya hukum liberal yang


memegang semboyan 'laissez fair laissez passez' (biarkan semua
berjalan sendiri secara bebas), dimana hukum bertugas hanya agar
individu-individu di masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa ada
intervensi oleh siapapun termasuk negara. Oleh karena itu hukum
bukan rasionalitas di atas segala-galanya tetapi keadilan dan

9
kebahagiaan di atas segala-galanya. Dalam pandangan ini para
penyelenggara hukum akan merasa gelisah apabila hukum belum bisa
membuat rakyat bahagia. lnilah yang disebut penyelenggaraan hukum
yang progresif.2

Oleh karenanya, untuk lebih mendorong berperannya hukum


di dalam penegakan hak-hak dasar rakyat, Pemerintah harus secara
aktif melahirkan peraturan perundang-undangan yang 'pro rakyat"
dan tegas dalam pengimplementasiannya. Untuk itu hukum atau
peraturan perundang-undangan yang dibentuk sedikitnya memenuhi
tiga kualitas: stabilitas, kePasalian dan adil. Pertama, hukum harus
menciptakan stabilitas dengan mengakomodir atau menyeimbangkan
kepentingan yang saling bersaing di lingkungan masyarakat. Kedua,
menciptakan kePasalian, sehingga setiap orang dapat memperkirakan
akibat dari langkah-langkah atau perbuatan yang diambilnya. Dan
Ketiga, hukum harus menciptakan rasa adil dalam bentuk persamaan di
depan hukum, perlakuan yang sama dan adanya standar yang tertentu.
Untuk merealisasikan hal ini, telah ditetapkan secara bersama oleh
DPR bersama dengan Pemerintah, Program Legislasi Nasional yang
berkaitan dengan jaminan hak-hak dasar rakyat, baik yang tertuang
dalam daftar Program RUU Tahun 2005-2009 maupun yang telah dan
sedang pembahasannya sebagai prioritas tahunan.

Hal lain yang perlu disadari pula adalah, kita tidak bisa mengelak
bahwa nilai-nilai HAM yang telah tercantum baik dalam UU No. 39
Tahun 1999 maupun UUD 1945 adalah hukum yang lahir dari Barat
dengan masyarakat yang mempunyai karakteristik individualistik.

2
Uhat, Saljipto Raharcljo, " Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2006, him
14

10
Berbeda dengan budaya Indonesia yang integralistik
(kekeluargaan) dengan ciri hukum yang komunal dan religius. Padahal
budaya hukum adalah salah satu unsur yang penting dalam be~alannya

sebuah sistem hukum.

Maka konsep HAM yang harus dibawa adalah yang disesuaikan


dengan kebudayaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang
terkait dengan falsafah, doktrin dan wawasan bangsa Indonesia,
baik secara individual maupun secara kolektif secara proporsional.
Oleh karenanya, konsep HAM di Indonesia bukan saja terhadap hak-hak
dasar man usia, tetapi juga ada kewajiban dasar man usia sebagai warga
negara, dengan menghormati HAM orang lain, moral, etika. Konstitusi
kita pun menyadari hal itu dengan memuat Pasal 28J yang memuat
kewajiban asasi masyarakat.

Selain fungsi konstitutif, UUD 1945 juga punya fungsi regulatif bagi
ius constituendum bagi hukum nasional. Artinya UU yang telah ada dan
pembentukan UU yang akan datang harus mengoperasionalkan prinsip-
prinsip HAM yang ada dalam UUD NRI 1945. Salah satu pelajaran
yang dapat diambil dari konsekuensi operasionalisasi UU yang terkait
dengan nilai-nilai HAM adalah dibatalkannya UU No.16 Tahun 2003
tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan
Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme pada Peristiwa Peledakan Born Bali tanggal 12 Oktober
2002, Menjadi Undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi
karena dianggap bertentangan dengan UUD.

ll
Dengan demikian, penegakan hak-hak dasar masyarakat di masa
yang akan datang dapat lebih terjamin perlindungannya, sementara
karakter bangsa Indonesia yang khas juga tidak ikut tergusur oleh
penetrasi aspekaspek kehidupan yang dibawa dari "luar", termasuk
tradisi hukum.

E.PENUTUP

Demikian beberapa pemikiran yang dapat saya sampaikan pada


forum ini, dengan harapan dapat menjadi masukan sekaligus renungan
untuk kita kembangkan bersama.

12

Anda mungkin juga menyukai