Disusun Oleh :
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan
tepat waktu, guna memenuhi penugasan pada mata kuliah Hukum Agraria.
Makalah ini disusun atas sinergi dan dorongan semangat dari dosen saya
untuk melatih skill analisis saya dan saya tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada Bapak Dr © Hirwansyah, S.H.,M.H selaku dosen pembimbing dan teman-
teman mahasiwa serta semua pihak yang telah berkontribusi secara langsung
maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin saya berikan kepada masyarakat dari hasil
makalah ini. Karena itu saya berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu
yang berguna bagi kita bersama.
Saya selaku penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta
masukan yang bersifat membangun guna kesempurnaan atas makalah ini. Saya
sebagai penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis serta pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
ii
COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 4
1.4 Metode Penelitian 4
BAB II PEMABAHASAN 6
2.1 Tanah Adat 6
2.2 Di Dalam Tanah Ulayat Terdapat Tanah Individual, Tanah Kolektif,
Dan Tanah Komunal. 15
SARAN 62
DAFTAR PUSTAKA 63
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Tanah dan Masyarakat adat mempunyai hubungan erat satu dengan yang
lainnya. Bagi masyarakat adat mempunyai hubungan erat satu dengan yang
lainnya. Bagi masyarakat adat tanah memiliki kedudukan yang sangat penting.
Pertama, Sifatnya: Merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimana juga bersifat tetap dalam keadaannya bahkan
kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Kedua, Fakta: Kenyataan bahwa
tanah merupakan tempat tinggal masyarakat adat, memberikan penghidupan
kepada masyarakat adat, Tempat dimana masyarakat adat yang meninggal dunia
dikebumikan dan tempat tinggal para leluhur dari masyarakat adat. Makna
kedudukan tanah dalam hukum adat memberi arti bahwa adanya hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan
masyarakat.
1
tuntutan dari setiap anggota dalam berbagai cara, dengan maksud memperoleh
semua bagian yang sesuai dengan manfaat umum.
Ini berarti bahwa hukum tanah adat sebagai hukum asli rakyat Indonesia di
bidang pertanahan mempunyai semangat kerakyatan, kebersamaan dan keadilan
dijadikan sumber utamanya. Dengan mengambil hukum adat sebagai sumber
utama memberi makna hukum tanah nasional menggunakan konsepsi, asas-asas
dan lembaga-lembaga hukum adat dengan peraturan-peraturan yang berbentuk
hukum perundang-undangan disusun menurut sistemnya hukum adat. Hukum adat
di Indonesia dikenal sebagai perangkat hukum yang beraneka ragam dengan isi
dan norma-norma hukumnya. Akan tetapi kenyataannya yang beragam itu adalah
perangkat hukum yang mengatur bidang kekeluargaan dan pewarisan.
Hukum adat dan masyarakat hukum adat yang mengatur tanah pada
dasarnya ada keseragaman, karena mewujudkan konsepsi, asas-asas hukum dan
sistem pengaturan yang sama dengan penguasaan yang tertinggi apa yang dalam
perundang-undangan dikenal sebagai hak ulayat lembaga-lembaga hukumnya bisa
berbeda karena adanya keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Sebutan-sebutan lembaga-lembaga hukumya pun berbeda. Pengertian hak ulayat
secara umum utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat
hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Dalam pengertian
hukum merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban sesuatu masyarakat
hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulatnya, sebagai
“lebensraum” para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
2
termasuk tanah, perairan, tanaman dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi
sumber kehidupan dan mata pencariannya.1
3
Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007” saya sebagai penulis akan
mambahas dan mengkaji lebih lanjut mengenai Tanah adat dan Pembuktian Hak
Atas Tanah adat yang dimiliki Masyarakat Hukum adat.2
2
Putusan Pengadilan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007
4
dengan isu hukum yang sedang ditangani.Pendekatan konseptual beranjak dari
pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan
dengan isu yang dihadapi.
Bahan hukum primer yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
yaitu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tap MPR
No. IX/MPR/2001, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-X/2007 serta undang-
undang dan peraturan- peraturan lainnya yang berkaitan dengan isu penelitian.
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, hasil penelitian, jurnal
hukum, surat kabar, media internet, makalah dan sumber-sumber lainnya yang
terkait dengan masalah Tanah adat dan masayarakat hukum adat.
5
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum tanah (groundrecht) ialah semua norma yang tertulis maupun tidak
tertulis mengenai tanah, yang antara lain mengatur tentang : Hak dan kewajiban
subyek hukum atas tanah, Cara-cara memperoleh tanah, Peralihan hak atas tanah
dan Semua perjanjian yang berhubungan dengan tanah. Menurut Mr.B.Ter Haar
Bzn membedakan dua macam pengertian mengenai hukum tanah, yaitu
Menurut hukum adat, terdapat berbagai jenis tanah, yang diberi nama
menurut cara memperolehnya atau menurut tujuan penggunaanya. Berdasarkan
cara memperolehnya:
6
1. Tanah yasan/ tanah trukah/ tanah truko, ialah tanah yang diperoleh
seseorang dengan cara membuka tanah sendiri (membuka hutan).
2. Tanah pusaka/ tanah tilaran, ialah tanah yang diperoleh seseorang dari
pemberian (hibah) atau warisan orang tuanya.
3. Tanah pekulen/ tanah gogolan, ialah tanah yang diperoleh seseorang dari
pemberian desanya.
7
kenyataannya memungkingakn penafsiran yang banyak dalam hal merugikan para
warga masyarakat adat yang bersangkutan.
8
(HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai yang diatur dalam Pasal 21
huruf a dan Pasal 22 Ayat (1) Undnag-Undang Penanaman Modal. Namun
Mahkamah Konstitusi telah menganulir ketentuan pasal ini dengan kembali
berlaku UUPA jo PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, Hak Pakai.
Berpedoman pada PP Nomor 40 Tahun 1996 jo Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 khususnya dalam pemberian HGU
berbagai dokumen yang harus dilampirkan adalah izin lokasi atau surat izin
penunjukkan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dan bukti pemilikan perolehan tanah yang diikuti
dengan buktibukti berupa pelepasan kawasan hutan, atau pelepasan tanah hak
milik adat, surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.
Berdasarkan hal tersebut akhimya diterbitkan HGU. Hal ini dapat terjadi
bahwa pada saat itu tidak ada klaim dari msyarakat hukum adat sebab mereka
belum mengetahui tentang eksistensi hak tersebut atau pihak perusahaan sudah
menempuh cara-cara pendekatan dengan beberapa anggota masyarakat hukum
adat, ternyata mereka itu bukanlah pihak yang sah dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Namun karena pada masa lalu hak masyarakat hukum adat
belum memperoleh yang semestinya dari normatif, sehingga pendekatan formal
yang lebih mengemuka.
9
sehingga tidak menimbulkan pergeseran hak masyarakat hukum adat (tanah
adat/ulayat) yang merupakan hak asasi manusia. 3
Di dalam UUPA, keberadaan hak pengelolaan tidak diatur dan juga tidak
dimasukkan sebagai salah satu bentuk hak yang dimasuldcan dalam Pasal 16
UUPA. Pendelegasian kewenangan hak menguasai negara dalam hale pengelolaan
lebih memberikan kesan kewenangan yang sangat luas. Dengan demikian, hak
menguasai negara atas tanah yang diberikan UUPA Nomor 5 Tahun 1960, yang
ditafsirkan berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Berdasarkan hasil penelitian seperti
ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka hak menguasai negara
tidaklah harus diartikan sebagai pemilikan atas tanah. Hak menguasai negara
hanya memberi negara kewenangan untuk merumuskan "kebijakan (beleid)",
melakukan "pengaturan (regelen)", "pengurusan (besturen)", "pengelolaan
(beberen)", dan "pengawasan (toezicht bouden)". 16 Kewenangan inilah yang
dikritik telah disalahgunakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara lain
dengan mementingkan dan mendahulukan perusahaanperusahaan besar dan
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya
Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan, 1999, hlm. 193.
10
kebanyakan bermodalkan dana asing untuk memanfaatkan tanah-tanah yang
secara turun-temurun dikuasai masyarakat adat.
UUPA Nomor 5 Tahun 1960 juga mengatur bahwa atas dasar hak
menguasai negara itu, maka negara juga dapat mengatur pengambilan kekayaan
alam yang terkandung di dalam bumi, air, dan rang angkasa.
Hak menguasai negara yang jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945
ditujukan untuk “sebesar-bensarnya kemakmuran rakyat” telah ditafsirkan sebagai
hak pemerintah (pusat dan daerah) untuk pemberian berbagai jenis izin kepada
perusahaan besar pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan pertanian.
Umumnya yang dapat memanfaatkan persyaratan yang diminta oleh izin-izin
tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar bemodalkan dana asing. Persoalan
yang sering muncul adalah bergesernya kebenaran penggunaan hak menguasai
yang berintikan ‘mengatur’ dalam kerangka populisme menjadi ‘memiliki’ dalam
rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan4.
11
manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Kedua, pembatasan yang bersifat
substantif, bahwa peraturan yang dibuat oleh negara hags relevan dengan tujuan
yang hendak dicapai, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan
kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena
menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Dengan
adanya pendelegasian kepada swasta, maka bagian dari masyarakat akan
menimbulkan konflik kepentingan dan karena itu tidak dimungkinkan sebab akan
menimbulkan konflik kepentingan. Menurut penulis, rasa keadilan belum
dirasakan secara signifikan oleh masyarakat, khususnya terhadap hak individu
dalam keadaan tanah untuk kepentingan umum. Pendelegasian kewenangan hak
menguasai negara atas tanah lebih memberikan kesan kewenangan yang sangat
luas, sehingga apabila merujuk pada
5
Marjono Reksodiputro, (Seic etaris Komisi Hukum Nasional) "Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat
Hukum Adat (Perlukah Reformasi Agraria?)" Desain Huk m7 Vol. 11 No. 3 April 2011, hlm. 22
12
Menghadapi fakta tersebut, kepada masyarakat hukum adat yang tanah
ulayatnya diperlukan bagi pembangunan wajib diberikan recognitie, seperti juga
dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA. Recognitie tidak diberikan dalam
bentuk uang, melainkan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk
lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Rekognisi merupakan upaya
negara mengakui otonomi masyarakat untuk menerapkan sistem tenurialnya
secara penuh. Meskipun otonomi dimaksud diakui melalui sebuah instrumen
hukum negara, tetapi negara tidak mengintervensi masyarakat dalam
pemberlakuan system tenurialnya. Rekognisi ini mengindikasikan pengakuan
politik Negara terhadap keberadaan sekelompok masyarakat yang mempunyai
kewenangan mengatur tanah, kekayaan alam dan hubungan terunial di
wilayahnya. Disebut sebagai pengakuan politik karena dengan rekognisi ini
negara mengakui bahwa ada hak-hak masyarakat terambil oleh negara.18
Pembentukan negara nasional dan pemberlakuan sistim hukum nasional
menyebabkan hak-hak yang sedemikian itu hilang dari masyarakat
pengembannya. Dengan recognisi maka negara mengembalikan lagi hakhak itu
kepada masyarakat tersebut.
13
Sifat semi-otonom dari masyarakat hukum adat terwujud dalam
pengaturan terhadap warga persekutuan adat dan wilayahnya yang diperlakukan
berdasarkan hukum adat dan ditegakkan oleh lembaga adat, namun terhadap
pengaturan lain. Masyarakat hukum adat itu juga tunduk pada peraturan yang
diproduksi oleh negara. Jika rekognisi memberikan semiotonomi pada sistem
tenurial masyarakat, maka integrasi bersifat sebaliknya. Dengan konsep integrasi
ini maka sisem tenurial masyarakat diserap ke dalam sistem tenurial negara.
Artinya formulasi, penanaman, pengaturan dan cara-cara perlindungan hakhak
atas tanah mengikuti seluruhnya pada hukum negara. Ketentuan-ketentuan
konversi hak-hak tanah berdasarkan hukum adat sebagaimana dianut dalam
UUPA merupakan contoh model integrasi.6
14
1. Hak Ulayat atau hak serupa itu dari masyarakat hukum adat adalah hak
asasi manusia;
2. Negara mengakui dan melindungi hak ulayat dan hak-hak serupanya;
3. Masyarakat hukum adat merupakan persekutuan hukum pemegang hak
ulayat atas wilayahnya;
4. Penentuan mengenai pengakuan masyarakat hukum adat di tetapkan
dengan undang-undang;7
15
penataan tata guna tanah. Kemudian tanah ulayat yang telah ditetapkan
sebagai kawasan strategis harus tercantum dalam peta tata ruang wilayah;
5. Hak atas tanah individual dan kolektif dari warga masyarakat hukum adat,
apabila dikehendaki oleh pemegang haknya, dapat didaftar sebagai hak-
hak atas tanah menurut ketentuan undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya;
6. Pendaftaran hak atas tanah ini dilakukan dengan terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari persekutuan hukum adatnya. Pendaftaran hak tidak
menyebabkan gugurnya kewajiban menurut hukum adat dari pemegang
hak atas tanahnya; Dalam hal instansi pemerintah, badan hukum dan
perorangan yang bukan warga masyarakat hukum adat memerlukan tanah
ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu, maka terhadap tanah ulayat itu
dapat dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu dengan persetujuan.
Warganya dan sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang
berlaku. Persetujuan warga masyarakat hukum adat ini harus dilakukan
oleh pihak yang memerlukan tanah dengan tanpa paksaan dan disertai
dengan pemberian informasi awal yang memadai mengenai akibatakibat
hukum, sosial dan lingkungan yang akan ditimbulkan dari pelepasan hak
ulayat itu. Tata cara persetujuan ditetapkan dengan peraturan
perundangundangan.
Hak ulayat yang telah dilepaskan menjadi tanah negara yang diatasnya
dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Dalam hal hak atas tanah sebagaimana dimaksud diatas habis masa
berlakunya,maka tanah tersebut kembali menjadi tanah ulayat.
16
dalam hal, upaya menyeimbangkan kepentingan investor dan masyarakat hukum
adat melalui upaya fasilitas antara kedua belah pihak untuk mencapai musyawarah
tentang bentuk dan isi kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak dan
masyarakat luas, kemudian merancan kebijakan daerah yang memberikan
keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan dan perlindungan hukum bagi semua
pihak terkait sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku
17
menyatakan sah/ benar atau menyatakan masyarakat hukum adat berhak atas
sumber daya alam yang dimiliki dan mewajibkan pemerintah untuk melinduingi
hakhak tersebut dari ancaman/gangguan pihak lain.
Sejalan dengan cakupan konsep agraria yang luas dalam UUPA yang
meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka
pengakuan terhadap hak ulayat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UUPA
juga berlaku pada hak ulayat yang dipraktikan di wilayah masyarakat adat
Eksistensimasyarakatadat diIndonesiadiakui secara konstitusional sebagaimana
tertuang dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun
1945 dan perubahannya menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Pengakuan
terhadap eksistensi masyarakat adat secara de jure juga ditegaskan dalam UUD
1945 Pasal 28I Ayat (3) yang menyebutkan, “Identitas budaya dan hak
8
Emil Kleden, 2006, “Masyarakat Adat, Demokrasi Dan Otonomi Masyarakat Hukum Adat”, Makalah dalam
Masyarakat Hukum Adat, Kerjasama Komnas HAM dan UNDP, Jakarta, hal. 44.
18
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan
peradabannya”.
Pasal 33 UUD NRI 1945 mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejalan dengan ketentuan tersebut, harus
senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan
berkelanjutan. Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat tidak hanya
berhenti pada ranah konstitusi. Sejumlah undangundang mengatur lebih lanjut
eksistensinya
1. Masih hidup:
Ada masyarakat dengan warga yang memiliki perasaan kelompok (in-
group feeling)
Ada pranata pemerintahan adat
Ada harta kekayaan dan/atau bendabenda adat
Ada perangkat norma hukum adat
Jika bersifat territorial ada wilayah tertentu
2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat:
Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku
sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam
masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun
bersifatsektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain
maupun dalam peraturan daerah;
Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih
luas, serta tidak bertentangan dengan hakhak asasi manusia.
3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI):
19
Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
20
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 9 Ayat
2 UU Perkebunan menyatakan bahwa “Dalam hal tanah yang diperlukan
merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya
masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1),
pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,
untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.
Ketentuan ini dapat dipahami bahwa mewajibkan kepada setiap orang maupun
badan hukum terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum
adat pemegang hak ulayat suatu wilayah. Ketentuan ini memposisikan masyarakat
hukum adat sebagai subjek atas suatu wilayah tetapi hak itu harus dilepaskan
dengan ganti rugi atau kesepakatankesepakatan tertentu demi kepentingan konsesi
perkebunan.9
21
subjek hukum. Dengan putusan ini maka hukum Indonesia mengenai tiga bentuk
subjek hukum yaitu perseorangan, badan hukum dan masyarakat hukum adat.
Sebagai subjek hukum maka masyarakat hukum adat merupakan penyandang hak
dan kewajiban. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007 dengan menyatakan: Dalam ketentuan konstitusional tersebut,
terdapat satu hal penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal
penting dan fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara
konstitusional diakui dan dihormati sebagai-penyandang hak yang dengan
demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat
hukum adat adalah subjek hukum.
22
Indonesia Tahun 1945. Untuk itu pemerintah perlu untuk segera mensahkan
Rancangan Undangundang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Adat. RUU tersebut sangat diperlukan guna memberi kepastian hukum atas
berlangsungnya masyarakat adat dalam mempertahankan tradisi dan budayanya.
Karena selama ini, telah terjadi perampasan secara sepihak hak-hak masyarakat
adat dan konflik sosial yang terjadi di masyarakat adat. Konflik agraria yang
melibat masyarakat adat sudah sangat kronis dan memprihatinkan. RUU ini
bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat agar tidak dirampas semena-mena
dan diabaikan. Masyarakat adat punya hak berekonomi, hak perlindungan dan
pemilikan tanah ulayat, mempertahankan kepercayaan spiritual hingga pewarisan
nilai budayanya. Oleh sebab itu, mendesak untuk diperjuangkan perlindungan dan
pengakuan atas masyarakat adat melalui sebuah RUU yang representatif mewakili
seluruh komunitas adat di Indonesia.10
10
I Ketut Sudantra, 2016, Pengakuan Peradilan Adat (Dalam Politik Hukum Kekuasaan
Kehakiman), Cetakan Pertama,Swasta Nulus bekerjasama dengan Bali Shanti Pusat Pelayanan
Konsultasi Adat dan Budaya Bali ( LPPM Unud) dan Pusat Hukum Adat (LPPM Unud),
Denpasar, hal. 41-52
23
dengan soal konsepsi. Dari satu sisi, masyarakat adat sering dipandang sebagai
kelompok masyarakat yang (agak) terasing, atau yang disebut sebagai kelompok
masyarakat asli, atau suatu kelompok masyarakat dengan kehidupan social yang
berpegang pada tradisi-tradisi yang berasal dari leluhurnya sedangkan masyarakat
itu telah mengenal kehidupan modern juga. Atau, mereka adalah kelompok
masyarakat yang menggunakan bahasa maupun yang memiliki kepercayaan
tertentu. Masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei bukanlah masyarakat hukum
adat yang terisolasi. Masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei adalah masyarakat
hukum adat yang di dalam kehidupan sosial, pemerintahan, budaya maupun
ekonominya masih berpegang pada tradisitradisi yang berasal dari leluhurnya, dan
pada saat yang bersamaan merekapun mengenal segi-segi kehidupan modern.
Ada ciri yang dicoba untuk dikemukakan agar dapat membantu menetapkan ada
tidaknya masyarakat adat.
24
kekuasaan atau wewenang de facto dan dapat juga dikualifikasi sebagai kekuasaan
atau wewenang de jure. Kekuasaan atau wewenang de facto atas petuanan
dijalankan berdasarkan kualifikasi orisinalitas yang berpangkal pada sejarah yang
menjadi dasar kekuasaan atau wewenang de jure. Jadi dasar kekuasaan de jure
tidak didasarkan pada pengakuan oleh hukum positif tetapi didasarkan pada
prinsip kekuasaan riil, turun-temurun dan historis yang melegitimasi kekuasaan
atau wewenang, de facto menjadi kekuasaan atau wewenang de jure. Hak atas
wilayah petuanan di laut; dimaksudkan dengan hak ialah adanya wewenang dan
kemampuan yang dipunyai masyarakat adat; jadi, hak atas petuanan laut adalah
adanya wewenang dan kemampuan di atas wilayah laut tertentu untuk memiliki,
menguasai, menjaga dan mempertahankannya terhadap pihak lain.
25
yang berada di kolong laut, dasar laut, maupun bumi di bawah dasar laut
yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hak-hak tersebut di atas masih dapat dilihat pada kehidupan di hamper sebagian
besar masyarakat adat pesisir pantai di pulau-pulau di Maluku, dan lebih khusus
lagi pada masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei, yang kini dikenal berada
dalam lingkup Kabupaten Maluku Tenggara.
Lor Lim adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terdiri dari lima
Ratschap dengan simbol-simbol adat tertentu yang diakui secara turun temurun di
Kabupaten Maluku Tenggara. Sedangkan Lor Siw adalah kesatuan masyarakat
adat yang terdiri dari sembilan ratschap dengan simbol-simbol adat tertentu yang
diakui secara turun temurun di Kabupaten Maluku Tenggara. Ratschap adalah
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis dan territorial yang
memiliki batas-batas yuridiksi, dan berfungsi untuk mengatur serta memutuskan
26
masalah-masalah hukum adat dilingkungannya serta di Iingkungan Ohoi yang
berada di bawah koordinasinya, diakui dalam system pemerintahan nasional dan
berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara.
Lor Lim (Lim Itel) maupun Ur Siw (Siw Ifaak) merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat yang membawahi beberapa ratschap. Ratschap
membawahi beberapa desa. Desa membawahi beberapa dusun. Daerah kekuasaan
hukum adat dan masyarakat hukum adat Lor Lim (Lim Itel) dan Ur Siw (Siw
Ifaak) yang berbentuk ratschap, desa dan dusun sebagaimana dijelaskan di atas
ada yang berada di dalam satu wilayah/daerah yang sama, Kesatuan masyarakat
adat ini pun kemudian diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 5
Tahun 2005 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Daerah di Kabupaten
Maluku Tenggara yang sampai saat ini masih dalam proses pembahasan di DPRD
Kabupaten Maluku Tenggara.
Maluku Tenggara.
27
Mengikuti Draft Academic yang di susun oleh Universitas Pattimura dapat
dikedepankan hal-hal sebagai berikut:
Pada masa sebelum lahir hukum Larvul Ngabal dikenal hukum Hawear
Balwirin yang hanya terbatas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan larangan-
larangan tertentu. Oleh sebab itu melalui Hilaai (raja) disusunlah hukum ‘Larvul’
dari Kelompok Ursiuw (kelompok sembilan) dan hukum ‘Ngabal’ dari Kelompok
Lor Lim (kelompok lima), dan sebagai kelompok penengah dikenal pula
Kelompok Lor-Lobai yang bertugas, menengahi Kelompok Ursiw dan Kelompok
Lor Lim.
Dalam perkembangannya kedua hukum ini (Larvul Ngabal) menjadi lambing dari
masyarakat adat Maluku Tenggara yang di dalamnya mengatur berbagai perilaku adat,
termasuk sistem pemerintahan adat yang saat itu dikenal dengan ‘ratschap’. Dalam
perkembangan selanjutnya pembahasan pada sebutan beri gelar (jabatan) ‘rat’ atau ‘raja’
yang memimpin ‘ratschap’. Untuk mengkoordinasi tugas pemerintahan, setiap Ratschap
kemudian dibagi lagi ke dalam satuan wilayah yang disebut ‘shap’ dengan ‘Orang Kay’
atau ‘Patti’”.
28
1. Forum Saniri Ratchap
29
Selanjutnya “Orang Kay” atau “Kepala Kampung” (Ohoi/Desa) merupakan
kepala pemerintahan dalam suatu wilayah Ohoi yang membawahi beberapa
dusun. Adapun fungsi “Orang Kay” adalah:
Selain raja dan Orang Kay, dalam struktur masyarakat adat dan juga pemerintahan
di Maluku Tenggara dikenal jabatan “Kepala Soa” yakni pimpinan dalam wilayah
pemerintahan pada tingkat dusun, yang berada di bawah kekuasaan Orang Kay
dalam suatu Kampung atau Ohoi. Kepala Soa ini memiliki fungsi:
a. Memimpin dusun.
b. Melaksanakan pembanguhan diwilayah dusunnya.
c. Melaksanakan perintah dan bertanggungjawab kepada “Orang Kay”.
d. Bertindak sebagai Kepala Marga (Fam).
e. Menjaga batas-batas dusun.
30
Kay1dan Kepala Soa serta berfungsi memberikan pertimbangan kepada
Raja,1Orang Kay dan Kepala Soa. Jabatan lain yang dikenal dalam struktur
pemerintahan adat Maluku Tenggara adalah, “marinyo” yang
bertugasmengumumkan perintah atasan kepada masyarakat umum.Raja memiliki
kewenangan bertindak untuk dan atas nama kesatuanmasyarakat hukum adat Lor
Lim (lim Itel) maupun Ur Siw (Siw Ifaak) bila terjadimasalah hukum diantara
masyarakat.
31
Aspirasi umum atas sumbersumber daya alam tersebut ahli identifikasikan
sebagai berikut: 1) Sumber Daya Alam yang ada di sekeliling mereka adalah
warisan yangmereka peroleh dari nenek moyang; 2) Mereka merasa perlu untuk
melindungi wilayah dari tindakan destruktif oranglain atau anggota komunitas
lain; 3) Mereka sadar bahwa kondisi hidup mereka dan kehidupan sehari-
harimereka harus dipenuhi oleh mereka sendiri di dalam wilayah yang
merekamiliki.Hal ini sejalan dengan pemikiran Jull yang kemudian
mengidentifikasi adanyaaspirasi yaitu: 1) Adanya perlindungan terhadap
lingkungan yang sama pentingnya denganperlindungan terhadap tradisi budaya
lokal masyarakat; 2) Diperolehnya kesempatan berperan serta dalam lembaga-
lembagapengambilan keputusan; 3) Adanya otonomi sosial dan budaya dalam
masyarakat; 4) Diharapkan pemerintah tidak melahirkan kebijakan-kebijakan
yang opresifdan restriktif.
32
wilayahyang disengketakan oleh Ohoi maupun Rat sehubungan dengan
pengelolaansumber daya alam di pesisir maupun laut.
33
ganjalan dalamkehidupan sosial, pemerintahan, kepatuhan terhadap pimpinan di
luar struktur yang telah ada
.Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa keadaan yang sedang terjadi pada
saatini merupakan refleksi kegelisahan dari masyarakat hukum adat di Kepulauan
Kei. Budaya masyarakat hukum adat yang sangat mengental di Kepulauan Keiini,
sangat berbeda dengan budaya masyarakat hukum adat di Kepulauan
Aru,masyarakat hukum adat di Kepulauan Tanimbar dan masyarakat hukum adat
dipulau-pulau di Selatan Daya. Pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara
yangdahulu menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten
KepulauanAru tidak menimbulkan resistensi dari masyarakat hukum adat yang
ada diKepulaan Aru, maupun masyarakat hukum adat di Maluku Tenggara
Barat(yang terdiri dari masyarakat hukum adat Kepulauan Tanimbar, dan
jugamasyarakat hukum adat pulau-pulau Selatan Daya).
34
hukum adat baik di darat maupun di pesisirdan laut, yang disebut Bat-batang,
Fitroa-fitnangan, sistem penegakan hukum.Khusus untuk penegakan hukum
pidana atas perbuatan-perbuatan yang murniperbuatan pidana, maka
penanganannya tetap dilakukan oleh negara.
35
hukum dari Paul Scholten, makamaksud Pasal 18B maupun Pasal 28I UUD 1945
Amandemen Kedua yangmelindungi dan mengakui serta menghormati
masyarakat hukum adat besertahak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai denganperkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesiayang diatur dalam perundang-undangan, adalah merupakan asas yang
berlakuumum dan mengikat ketentuan-ketentuan hukum maupun
keputusankeputusan hukum secara keseluruhan terhadap masyarakat hukum
adat,sehingga dipandang sebagai ketentuan yang memberi perlindungan secara
khusus. Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan juga kehadiran Pasal 27International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasioleh Republik
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, justrusejalan dengan
maksud Pasal 18B maupun Pasal 27 ICCPR (Undang-UndangNomor 12 Tahun
2005), dan lebih spesifik diatur dalam Peraturan DaerahProvinsi Maluku Nomor
14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali NegeriSebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Dalam Lingkungan PemerintahanProvinsi Maluku. Kehadiran
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 justrukontradiktif dengan terhadap
seluruh perundang-undangan tersebut.
36
atas marga/fam yang memiliki kepemimpinannyasendiri-sendiri. Kumpulan
marga/faam ini kemudian mendiami wilayah yangkemudian berkembang menjadi
Ohoi (dusun) yang dipimpin Soa, dan jugaOhoi (desa) yang dipimpin orang Kay
serta secara genealogis maupunteritori menggabungkan diri menjadi Ratschap
yang dipimpin Rat.¾ Soa terbentuk atas penyatuan atau pengelompokan
faam/marga padasuatu wiiayah yang disebut Ohoi yang dipimpin oleh Kepala
Soa. 118¾ Ohoi yang dimaksud ini adalah kumpulan masyarakat yang Iebih
besar(Orang Kaya Schap) yang Iangsung dipimpin oleh Orang Kay.¾ Ratschap
adalah kumpulan Ohoi/Orang Kaya Schap secara teritoriyang Iangsung dipimpin
oleh seorang Rat.
2. Secara Yuridis
3. Secara Sosiologis
37
berdasarkan kepercayaan dan hukum.4. Secara RealitaSecara realita persekutuan
masyarakat yang berada pada ohoi-ohoitersebut atau gabungan ohoi memiliki
pemerintahan dengan strukturnyasendiri-sendiri serta memiliki fungsi yang secara
umum hampir sama.Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 telahterjadi penyeragaman nomenklatur Ohoi, Orang Kaya Schap
danRatschap menjadi desa.Mereka yang memimpin baik pada tingkat Saniri, Soa,
Ohoi, Ratschapadalah para pemuka yang berasal dari marga/faam yang secara
stratalebih tinggi.
38
sejak masyarakat yang datang mulai mendiami wilayah Kepulauan Kei berdasar
keterikatan atas hukum adat yang dipegangnya, seperti Lor Lim dengan hukum
adat Ngabal dan Ur Siu dengan Hukum Adat Larwul. Dalam memperluas
pengaruh terjadi peperangan di antara mereka yang berlangsung untuk saling
menguasai atau memperoleh wilayah kekuasaan yang pada akhirnya muncul
kelompok penengah atau kelompok netral (Lor Lobay) yang mampu
mendamaikan dan mempersatukan mereka yang menjadikan hukum yang
dipegang masing-masing sebagai satu kesatuan untuk menyatukan mereka yang
disebut dengan nama LarwulNgabal. Hukum Larwul-Ngabal ini mengatur seluruh
aspek kehidupan masyarakat Kei baik yang bersifat publik maupun keperdataan.
Berdasarkan keterangan berbagai sumber yang diperoleh di lapangan yang
mengatakan bahwa hukum Larwul-Ngabal merupakan cikal bakal atau dasar bagi
terbentuknya hukum-hukum adat yang mengatur tentang saksi, perkawinan, dan
lain-lain.
1. Rat Sebagai kepala persekutuan antar Ratschap dan Ohoi dengan tugas:
¾ Menyelesaikan masalah-masalah adat pada tingkat Ratschap; ¾ Mengayomi
seluruh warga masyarakat adat yang ada pada wilayah Ratschap; ¾ Sebagai
koordinator dan sekaligus sebagai lambang pemersatu di wilayah Ratschap. Rat
dipilih berdasarkan garis keturunan lurus dari marga yang telah ditentukan atau
yang memiliki strata yang Iebih tinggi, serta memegang jabatan untuk masa
seumur hidup atau sampai dengan tidak mampu menjalankan tugas.
39
Raja Di Raja, Tidak ada Raja Membawahi Raja, dan tidak ada Raja Mewakili
Raja yang lainnya.
3. Soa
4. Saniri
Saniri adalah kepala fam atau marga yang diangkat oleh warga marga
berdasarkan unsur dituakan serta bijaksana. Fungsi Saniri adalah: ¾
Menyelesaikan masalah-masalah adat kemasyarakatan pada tingkat marga atau
faam. ¾ Bersama Kepala Soa membantu Rat/Orang Kay dalam tugas adat dan
kemasyarakatan serta tugas pemerintahan atau administrasi. Disamping unsur-
unsur pemerintahan tersebut di atas masih ada lagi unsur lain yang turut berperan
dalam sistem pemerintahan adat Kei, antara lain:
40
1. Tuan Tan
Tuan Tan adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang lebih baik
tentang seluk beluk menyangkut dengan tanah-tanah yang dimiliki Ohoi. Fungsi
Tuan Tan adalah: ¾ Membantu memberikan informasi kepada Orang Kay atau
Rat menyangkut dengan masalah tanah di petuanan Ohoi atau Ratschap. ¾
Membantu Orang Kay atau Rat dalam menyelesaikan kasus kepemilikan tanah,
baik oleh warga masyarakat maupun antar Ohoi. ¾ Memiliki fungsi religius magis
dengan lingkungan hidup pada wilayah lainnya.
2. Marin
3. Juru Tulis
41
Ratschap, Orang Kay Schap, Ohoi maupun Soa. Konsep pengelolaan darat
sepenuhnya diserahkan kepada penguasaan individu/marga/ohoi.
Sedangkan konsep pengelolaan wilayah laut diletakkan pada konsep
pengelolaan bersama oleh masyarakat Ohoi dengan mengacu pada aturan-
aturan adat atau keputusan-keputusan adat tentang bentuk dan jenis
sumber daya alam yang dikelola.
Berdasarkan temuan yang ada bahwa sampai dengan saat ini, pola
penguasaan hak ulayat masih diletakkan pada masyarakat adat baik secara
individu maupun secara kelompok (Ohoi), dan tidak ada pengambilalihan
oleh pihak pemerintah.V. Penyelesaian SengketaDalam menyelesaiakan
sengketa yang muncul dalam masyarakat adat Maluku Tenggara, masih
digunakan pendekatan adat oleh masyarakat di Kepulauan Kei. Bentuk
penyelesaian sengketa-sengketa adat oleh masyarakat Adat Kei Iebih
banyak bertumpuk pada masalah tanah dan masalah pelanggaran
kesusilaan. Masalah atau sengketa yang muncul diatur dan diselesaikan
dengan merujuk pada hukum Larwul Ngabal. Hukum Larwul dikenal oleh
masyarakat Kei sebagai kaidah yang berhubungan dengan hukum pidana,
sedangkan hukum Ngabal merupakan cermin dari kaidah hukum perdata.
Adapun tindakan penyelesaiannya atau kewenangan peradilan adat
dilakukan secara berjenjang dan dapat digambarkan sebagai berikut: ¾
Penyelesaian Tingkat Saniri Saniri menyelesaikan sengketa di dalam
tingkat marga/faam dengan mendengar keterangan kedua belah pihak yang
bersengketa.
42
tidak dapat diselesaikan, maka perkara tersebut ditingkatkan ke tingkat
Ohoi (Orang Kay). ¾ Penyelesaian Tingkat Ohoi/ Orang Kay.
Pada tingkat ini, Orang Kay bersama-sama dengan Kepala Soa dan
Saniri selaku pemangku adat dapat mengambil keputusan langsung setelah
mendengar keterangan dari Soa dan Saniri yang menangani sengketa
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, sampai saat ini, belum ada
kasus yang tidak dapat diselesaikan setelah ada putusan Ohoi/Orang Kay.
¾ Penyelesaian Tingkat Ratschap/Rat Penyelesaian pada tingkat ini,
apabila terjadi sengketa antar Ohoi yang tidak bisa diselesaikan secara
internal Ohoi yang bersengketa. Oleh Rat semua Orang Kay yang
memiliki kewenangan adat diundang dalam Rapat Besar Kepala Adat
(RBKA) untuk mendengar keterangan dan mempelajari bukti-bukti yang
disampaikan oleh masing-masing Ohoi yang bersengketa, dan dari bukti-
bukti tersebut, barulah diambil keputusan adat oleh Rat.
43
agenda pemekaran, dan ini menjadi Renstra Gubernur Provinsi Maluku.
Mengingat situasi dan kondisi sosial politik di Maluku khususnya Maluku
Tenggara, maka proses pemekaran daerah di Provinsi Maluku sampai
tahun 2004 yang terealisasi adalah Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
Kabupaten Pulau Buru,Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram
Bagian Barat dan Kabupaten Seram Bagian Timur.
11
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU/2007
44
Lim (Lim Itel), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Ratschap Dullah, dan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Ratschap Lo Ohoitel.
A. Formil
B. Materil
1. Bahwa Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 menentukan
bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang “.
45
2. Bahwa latar belakang maksud dan tujuan dimasukkannya Pasal 18B ayat
(2) ke dalam UUD 1945 oleh pembuat konstitusi adalah merupakan
pengakuan dan penghormatan negara karena Negara Kesatuan Republik
Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan bermacam-macam suku
bangsa, yang masing-masing suku bangsa memiliki kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
3. Bahwa dengan disahkan dan diundangkan berlakunya UU Kota Tual,
maka Kabupaten Maluku Tenggara dimekarkan menjadi Kabupaten
Maluku Tenggara dan Kota Tual dengan cakupan wilayah dan batas-batas
wilayah sebagaimana diatur dalam Bab II Bagian Kesatu Pasal 2, Bagian
Kedua Pasal 3, Pasal 4 dan Bagian Ketiga Pasal 5, dan Pasal 6 UU Kota
Tual. Pasal 2 UU Kota Tual berbunyi, “Dengan undang-undang ini
dibentuk Kota Tual di wilayah Provinsi Maluku dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.
46
1) ” Kota Tual mempunyai batas-batas wilayah:
a. sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda;
b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tenggara di
Selat Nerong;
c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau-Pulau Kei
Kecil Kabupaten Maluku Tenggara dan Laut Arafura; dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Laut Banda.
2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam
peta wilayah yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-
undang ini.
3) Penegasan batas wilayah Kota Tual secara pasti di lapangan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
paling lama 5 (lima) tahun sejak diresmikannya Kota Tual”.
47
Ohoidertavun, Desa Ohoililir dan 3 (tiga) dusun, yaitu Dusun Mangon,
Dusun Pulau Ut , Dusun Fair. Desa Tual dan Desa Taar, Dusun Mangon,
Dusun Pulau Ut dan Dusun Fair masuk dalam wilayah Kota Tual,
sedangkan Desa Ohoidertavun dan Desa Ohoililir masuk dalam wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara. Ratschap Yarbadang, terdiri dari 9
(sembilan) desa, yaitu Desa Tetoat, Desa Letvuan, Desa Wab, Desa
Waurvut, Desa Evu, Desa Dian Pulau, Desa Tayando Yamru, Desa
Tayando Yamtel, Desa Tayando Ohoiel, dan 6 (enam) dusun, yaitu Dusun
Dian Darat, Dusun Ngursit, Dusun Madwat, Dusun Ohoibadar, Dusun
Wab Watngil, Dusun Arso. Desa Tayando Yamru, Desa Tayando Yamtel,
Desa Tayando Ohoiel masuk dalam wilayah Kota Tual, sedangkan Desa
Tetoat, Desa Letvuan, Desa Wab, Desa Waurvut, Desa Evu, Desa Dian
Pulau, Dusun Dian Darat, Dusun Ngursit, Dusun Madwat, Dusun
Ohoibadar, Dusun Wab Watngil dan Dusun Arso masuk dalam wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara.
Daerah kekuasaan Pemohon II, Ratschap Lo Ohoitel yaitu wilayah Laut di
Selat Nerong sebagian masuk dalam wilayah Kota Tual dan sebagian lagi
masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara.
Daerah kekuasaan adat dan masyarakat hukum adat Pemohon III,
Ratschap Dullah yang terdiri dari 9 (sembilan) desa, yaitu Desa Dullah,
Desa Warbal, Desa Dullah Laut, Desa Letman, Desa Tamedan, Desa
Labetawi, Desa Ngadi, Desa Fiditan, Desa Tayando Langgiar, dan 2 (dua)
dusun, yaitu Dusun Sidniohoi, Dusun Dudunwahan. Desa Dullah, Desa
Dullah Laut, Desa Tamedan, Desa Labetawi, Desa Ngadi, Desa Fiditan,
Desa Tayando Langgiar masuk dalam wilayah Kota Tual, sedangkan Desa
Warbal, Desa Letman, Dusun Sidniohoi dan Dusun Dudunwahan masuk
dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Dengan terjadinya
pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara menjadi Kabupaten Maluku
Tenggara dan Kota Tual, masyarakat hukum adat para Pemohon yang
berada di luar tempat kedudukan para Pemohon berpotensi untuk
48
membentuk kesatuan masyarakat hukum adat sendiri lepas dari daerah
kekuasaan adat dan masyarakat adat para Pemohon.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Kota Tual berasal dari sebagian wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara, mencakup 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan
Dullah Utara, Kecamatan Dullah Selatan, Kecamatan PulauPulau Tayando-Tam
dan Kecamatan Pulau-Pulau Kur, dan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Kota Tual
mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
Akan tetapi berdasarkan Peta Wilayah yang tercantum dalam lampiran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU Kota Tual, Wilayah Kota Tual
mencakup 7 (tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Dullah Utara, Kecamatan Dullah
Selatan, Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kecamatan Kei Kecil
Barat, Kecamatan Pulau-Pulau Tayando-Tam dan Kecamatan Pulau-Pulau Kur,
dengan batas-batas sebagai berikut:
49
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tenggara di
Selat Nerong;
Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura; dan
Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda.
50
7. Substansi hak-hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat
tersebutdiakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang
bersangkutanmaupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan
dengan hak-hakasasi manusia.
8. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI
9. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
10. Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya tersebut telah diakui berdasarkan UU ataupun Peraturan
Daerah (Perda).
51
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kota Tual di Provinsi Maluku tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat; dan/atau; materi muatan Bab II Bagian Kesatu Pasal 2,
Bagian Kedua Pasal 3, Pasal 4 dan Bagian Ketiga Pasal 5, dan
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku bertentangan dengan
UUD 1945; Bab II Bagian Kesatu Pasal 2, Bagian Kedua Pasal 3,
Pasal 4 dan Bagian Ketiga Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi
Maluku tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
52
masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya. Diharapkan Kota Tual lebih
dimasa yang akan datang akan menjadi growth center pusat pengembangan
ekonomi kelautan untuk Kabupaten Maluku Tenggara. Pada dasarnya wilayah
kekuasaan adat dan/atau hak ulayat di Provinsi Maluku, termasuk di Kabupaten
Maluku Tenggara, tidak selalu sama dan sebangun dengan kewenangan
pemerintahan daerah. Sehingga, pembentukan Kota Tual sebagai DOB tidak
membagi/memecah kesatuan masyarakat hukum adat.
53
penghargaan dari Negara terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia,
nilai kebersamaan dan nilai keadilan.
54
Disisi lain desakan dari gerakan masyarakat adat masih melakukan
advokasi pengakuan masyarakat adat melalui perda. Sebagian masyarakat adat
masih kurang terorganisis dengan baik dalam memperjuangkan perda. Dari segi
proses, pembahasan rancangan perda membutuhkan waktu yang cukup lama. Dari
mulai proses advokasi mengusulkan masuk ke prolegda, penyusunan dan
pembahasan hingga pengesahan rancangan perda menjadi perda memerlukan
waktu sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun. 12
Suatu kesatuan masyarakat hukum ada secara de facto masih hidup (actual
existence), baik yang bersifat teritorial, geneologis, maupun yang bersifat
fungsional, setidaknya-tidaknya mengandung unsur-unsur:
12
Ibid, hlm 1 - 172
55
perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut,
Kedudukan hukum MHA dalam mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 1 angka
4 dalam Perma Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa
56
Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata
Usaha Negara, yang berbunyi:
Penggugat adalah Pihak yang Berhak terdiri atas perseorangan, badan hukum,
badan sosial, badan keagamaan, atau instansi pemerintah yang memiliki atau
menguasai Objek Pengadaan Tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, yang meliputi:
Sedangkan tata cara mengajukan gugatan di PTUN, diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf a angka 4, yang berbunyi: Dalam hal masyarakat hukum adat: bukti bahwa
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
57
setempat dan kedua, MHA yang tidak diakui namun ingin mengajukan gugatan.
Terhadap MHA yang sudah diakui dalam bentuk perda setempat tentu akan sangat
mudah diterima kedudukan hukum penggugatnya, karena keberadaan perda
tersebut merupakan bentuk pengakuan MHA berdasarkan Pasal 22 Perpres 71
Tahun 2012.
58
d. Perangkat norma hukum adat; dan Aturan-aturan yang berlaku dalam
MHA tersebut, yang dituangkan dalam tulisan.
e. Masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya
wilayah tertentu.
Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.
59
membuktikan dirinya, karena pengakuan MHA diatur oleh pemerintah daerah
melalui Keputusan Kepala Daerah setempat.
60
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas, sebagai penutup dari penulisan makalah ini dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengakuan eksistensi tanah ulayat diakui dalam ketentuan beberapa
peraturan perundangan sepanjang eksistensinya masih ada;
2) Lembaga adat dapat memberikan rekomendasi atas tanah untuk setiap
pengolaan tanah agar keberadaan dan perlindungan terhadap hak ulayat
dan masyarakat hukum adat dapat memberikan keadilan, kepastian hukum,
perlindungan hukum bagi masyarakat adat dengan dibuat peraturan khusus
bagi keperluan masyarakat daerah tersebut dalam penyelesaian sengketa
tanah ulayat dengan demikian dapat mengakomodasi keanekaragaman
ketentuan hukum adat setempat yang merupakan bagian hukum tanah
nasional;
3) Bahwa dalam pembentukan peraturan Per Undang-Undangan tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945
4) Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara gugatan
tersebut dirasa sudah benar karena dasar-dasar pembuktian jelas dan tanpa
adanya tekana atau intervensi pihak mana pun.
61
SARAN
62
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
PelaksanaannyaJilid I, Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan, 1999,
Bedner, Adrian dan Ward Berenschot, “Tantangan bagi Pengakuan Hak Atas
Tanah Komunal diIndonesia : Sebuah Pengantar”, Dalam Van Vollenhoven
Institue dan Bappenas. Masa Depan Hakhak Komunal atas Tanah : Beberapa
Gagasan untuk Pengakuan Hukum, 2010,
63