Anda di halaman 1dari 66

TEMA : TANAH ADAT

PEMBUKTIAN HAK ATAS TANAH ADAT


MASYARAKAT HUKUM ADAT

(Studi Kasus Putusan Pengadilan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007)

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Hukum Hukum Agraria

Dosen Pembimbing : Hirwansyah , S.H.,M.H

Disusun Oleh :

Tina Dwiyanti 201810115301

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA II BEKASI

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan
tepat waktu, guna memenuhi penugasan pada mata kuliah Hukum Agraria.

Makalah ini disusun atas sinergi dan dorongan semangat dari dosen saya
untuk melatih skill analisis saya dan saya tidak lupa mengucapkan terimakasih
kepada Bapak Dr © Hirwansyah, S.H.,M.H selaku dosen pembimbing dan teman-
teman mahasiwa serta semua pihak yang telah berkontribusi secara langsung
maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.

Tentunya ada hal-hal yang ingin saya berikan kepada masyarakat dari hasil
makalah ini. Karena itu saya berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu
yang berguna bagi kita bersama.

Saya selaku penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran serta
masukan yang bersifat membangun guna kesempurnaan atas makalah ini. Saya
sebagai penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis serta pembaca pada umumnya.

Bekasi, Juni 2020

Penulis

DAFTAR ISI

ii
COVER i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 4
1.4 Metode Penelitian 4
BAB II PEMABAHASAN 6
2.1 Tanah Adat 6
2.2 Di Dalam Tanah Ulayat Terdapat Tanah Individual, Tanah Kolektif,
Dan Tanah Komunal. 15

2.3 Tanah Adat Dan Kesatuan Masyarakat Adat 23

2.4 Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/Puu-V/2007 44

BAB III PENUTUP 61


KESMIPULAN 61

SARAN 62

DAFTAR PUSTAKA 63

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tanah dan Masyarakat adat mempunyai hubungan erat satu dengan yang
lainnya. Bagi masyarakat adat mempunyai hubungan erat satu dengan yang
lainnya. Bagi masyarakat adat tanah memiliki kedudukan yang sangat penting.
Pertama, Sifatnya: Merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimana juga bersifat tetap dalam keadaannya bahkan
kadang-kadang menjadi lebih menguntungkan. Kedua, Fakta: Kenyataan bahwa
tanah merupakan tempat tinggal masyarakat adat, memberikan penghidupan
kepada masyarakat adat, Tempat dimana masyarakat adat yang meninggal dunia
dikebumikan dan tempat tinggal para leluhur dari masyarakat adat. Makna
kedudukan tanah dalam hukum adat memberi arti bahwa adanya hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan tanahnya menciptakan hak yang memberikan
masyarakat.

Sebagai kelompok hukum, hak untuk menggunakan tanah bagi


keuntungan masyarakat. Meliputi semua tanah di lingkungan masyarakat adat
yang dianggap sebagai sumber hak atas tanah lainnya di dalam lingkungan
masyarakat hukum adat dan dapat dipunyai oleh seluruh anggota masyarakat adat
setempat. Hak ini dapat diperlakukan terhadap pihak luar dan terhadap sesama
anggota kelompok masyarakat hukum adat. Pelaksanaan terhadap pihak luar,
kelompok masyarakat hukum adat tersebut mempunyai wewenang tersendiri atas
tanah di lingkungannya. Masyarakat hukum adat berkewajiban untuk mengawasi
penggunaan tanah di antara anggota-anggota sendiri dan mengatur hak dan

1
tuntutan dari setiap anggota dalam berbagai cara, dengan maksud memperoleh
semua bagian yang sesuai dengan manfaat umum.

Dalam pasal 5 UUPA Nomor 5 Tahun 1960 secara normative


Mengakomodasi hak ulayat yang menyatakan hukum agrarian yang berlaku atas
bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Ini berarti bahwa hukum tanah adat sebagai hukum asli rakyat Indonesia di
bidang pertanahan mempunyai semangat kerakyatan, kebersamaan dan keadilan
dijadikan sumber utamanya. Dengan mengambil hukum adat sebagai sumber
utama memberi makna hukum tanah nasional menggunakan konsepsi, asas-asas
dan lembaga-lembaga hukum adat dengan peraturan-peraturan yang berbentuk
hukum perundang-undangan disusun menurut sistemnya hukum adat. Hukum adat
di Indonesia dikenal sebagai perangkat hukum yang beraneka ragam dengan isi
dan norma-norma hukumnya. Akan tetapi kenyataannya yang beragam itu adalah
perangkat hukum yang mengatur bidang kekeluargaan dan pewarisan.

Hukum adat dan masyarakat hukum adat yang mengatur tanah pada
dasarnya ada keseragaman, karena mewujudkan konsepsi, asas-asas hukum dan
sistem pengaturan yang sama dengan penguasaan yang tertinggi apa yang dalam
perundang-undangan dikenal sebagai hak ulayat lembaga-lembaga hukumnya bisa
berbeda karena adanya keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Sebutan-sebutan lembaga-lembaga hukumya pun berbeda. Pengertian hak ulayat
secara umum utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat
hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Dalam pengertian
hukum merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban sesuatu masyarakat
hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulatnya, sebagai
“lebensraum” para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,

2
termasuk tanah, perairan, tanaman dan binatang dalam wilayahnya yang menjadi
sumber kehidupan dan mata pencariannya.1

Disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan


Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, direspon oleh Mahkamah Agung (MA)
dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2016
tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata Usaha Negara. Perma tersebut
menjadi pedoman beracara bagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam
memutus gugatan penetapan lokasi pengadaan tanah bagi kepentingan umum,
yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur atau Bupati/Walikota yang
mendapat delegasi dari Gubernur, yang dipergunakan sebagai izin untuk
pengadaan tanah. Poin penting dalam Perma tersebut yaitu mengatur Masyarakat
Hukum Adat (MHA) dapat menjadi penggugat dan mengatur pembuktian
kedudukan hukum/legal standing MHA.

Jika merujuk pada perma, MHA harus membuktikan bahwa kesatuan


MHA tersebut masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Aspek pembuktian MHA yang diatur dalam Perma tersebut menimbulkan
perbedaan ketika disandingkan dengan Perpres Nomor 71 Tahun 2012, yang
mengakui MHA setelah dilaksanakan penelitian dan ditetapkan dengan peraturan
daerah setempat. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana
jika kedudukan hukum MHA yang tidak ditetapkan dengan perda dan bagaimana
membuktikan kedudukan hukumnya dalam persidangan. Sehingga pembuktian
MHA sebagai penggugat dalam sengketa penyelenggaraan tanah untuk
kepentingan umum, menjadi penting untuk dikaji lebih lanjut, Untuk itu dalam
Makalah yang berjudul “ PEMBUKTIAN HAK ATAS TANAH ADAT
MASYARAKAT HUKUM ADAT” dengan Studi Kasus Putusan Pengadilan
1
Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung, 1983. Hlm. 197

3
Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007” saya sebagai penulis akan
mambahas dan mengkaji lebih lanjut mengenai Tanah adat dan Pembuktian Hak
Atas Tanah adat yang dimiliki Masyarakat Hukum adat.2

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Pembuktian kedudukan Hukum Tanah adat yang dimiliki


Masayarakat Hukum adat dalam persidangan jika terjadi sengketa?
2. Bagaimana Kepemilikan dan Pengolahan Tanah dalam Prepektif Hukum
Tanah Adat (Pengakuan Hukum Nasional)?
3. Apakah sudah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat adat?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Untuk mengetahui Pembuktian kedudukan Hukum Tanah Adat yang


dimiliki Masayarakat Hukum adat dalam persidanga jika terjadi sengketa.
2. Untuk mengetahui Kepemilikan dan Pengolahan Tanah dalam Prepektif
Hukum Tanah Adat (Pengakuan Hukum Nasional).
3. Untuk mengetahui apakah dalam Putusan Mahkamah Kontstitusi Nomor
31/PUU-V/2007 memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat adat.

1.4 METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (normative legal


research) yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan
menelaah peraturan perundang-undangan.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua)


yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut-paut

2
Putusan Pengadilan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007

4
dengan isu hukum yang sedang ditangani.Pendekatan konseptual beranjak dari
pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan
dengan isu yang dihadapi.

Bahan hukum primer yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
yaitu, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tap MPR
No. IX/MPR/2001, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-X/2007 serta undang-
undang dan peraturan- peraturan lainnya yang berkaitan dengan isu penelitian.
Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku, hasil penelitian, jurnal
hukum, surat kabar, media internet, makalah dan sumber-sumber lainnya yang
terkait dengan masalah Tanah adat dan masayarakat hukum adat.

Data diperoleh peneliti melalui penelusuran bahan-bahan hukum. Untuk


pendekatan perundang-undangan, peneliti mencari perundang-undangan terkait
dengan masyarakat hukum adat baik yang bersifat regulation bahkan juga
delegated legislation dan delegated regulation. Sedangkan untuk pendekatan
konsep peneliti mengumpulkan dengan cara melakukan penelusuran buku-buku
dan Journal hukum (treatises) yang membahas mengenai Hak Asasi Masyarakat
Hukum Adat.

Bahan-bahan hukum tersebut kemudian diteliti menggunakan pendekatan


yang ada untuk menjawab isu hukum yang selanjutnya memberikan preskripsi
tentang legal solution (solusi hukum) atas isu hukum yang dibahas.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TANAH ADAT

A. Pengertian Tanah Adat

Hukum tanah (groundrecht) ialah semua norma yang tertulis maupun tidak
tertulis mengenai tanah, yang antara lain mengatur tentang : Hak dan kewajiban
subyek hukum atas tanah, Cara-cara memperoleh tanah, Peralihan hak atas tanah
dan Semua perjanjian yang berhubungan dengan tanah. Menurut Mr.B.Ter Haar
Bzn membedakan dua macam pengertian mengenai hukum tanah, yaitu

Hukum tanah dalam keadaan diam (groundrecht in rust) Mengatur tentang


hak-hak atas tanah, baik hak masyarakat hukum atas tanah, maupun mengenai hak
perseorangan atas tanah, seperti hak membuka tanah, hak milik, hak memungut
hasil, hak wenang pilih/hak wenang beli, hak keuntungan jabatan atas tanah dan
sebagainya.

Hukum tanah dalam keadaan bergerak (grondrecht in bewoging) Mengatur


tentang hak untuk memperoleh dan memindahkan hak atas tanah, seperti hak
menjual tanah, menghadiahkan tanah, menghibahkan tanah, menyediakan tanah
untuk badan hukum adat (wakaf, yayasan) dan sebagainya.

B. Macam-Macam Tanah Menurut Hukum Adat.

Menurut hukum adat, terdapat berbagai jenis tanah, yang diberi nama
menurut cara memperolehnya atau menurut tujuan penggunaanya. Berdasarkan
cara memperolehnya:

6
1. Tanah yasan/ tanah trukah/ tanah truko, ialah tanah yang diperoleh
seseorang dengan cara membuka tanah sendiri (membuka hutan).
2. Tanah pusaka/ tanah tilaran, ialah tanah yang diperoleh seseorang dari
pemberian (hibah) atau warisan orang tuanya.
3. Tanah pekulen/ tanah gogolan, ialah tanah yang diperoleh seseorang dari
pemberian desanya.

C. Hak Ulayat Dalam Hukum Nasional.

Dalam Pasal 3 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, secara normative


mengakomodasi hak ulayat yang menyatakan, “Dengan mengingat
ketentuanketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain
yang lebih tinggi”. Makna Pasal 3 ini memberikan suatu pengakuan dengan
pembatasan tertentu mengenai eksistensi dan pelaksanaannya. Menurut Boedi
Harsono dalam bukunya “Hukum Agraria Indonesia” menyebutkan alasan para
perancang dan pembentukan UUPA untuk tidak mengatur tentang hak ulayat
sebab pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensi maupun
pendaftarannya akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangakn secara
alamiah terdapat kecenderungan melemahkannya hak ulayat.

Kenyataannya ketidak kriteriaan persyaratan eksistensi hak ulayat


merupakan salah satu factor yang berpengaruh terhadap marjinalisasi hak
masyarakat hukum adat. Tanpa adanya kriteria objektif, pihak yang berhadapan
dengan masyarakat hukum adat (Pemerintah atau swasta/insvestor, BUMN) dapat
secara sepihak menafikan eksistensi suatu masyarakat. Secara objektif, posisi
tawar masyarakat hukum adat berhadapan dengan pihak yang posisinya lebih kuat
dari segi politik ataupun modal yang sudah jelas tidak seimbang, Karena rumusan
yang kurang jelas pada Pasal 3 UUPA Nomor 5 Tahun 1960, mengakibatkan pada

7
kenyataannya memungkingakn penafsiran yang banyak dalam hal merugikan para
warga masyarakat adat yang bersangkutan.

Beberapa peraturan yang mengatur masalah tanah ulayat Selain diatur


dalam UUPA, antara lain dalam undang-undang tentang kebun tanah, undang-
undang tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, Instruksi Presiden
tentang sinkronisasi pelaksanaan bidang keagrarian dengan bidang kehutanan,
pertambangan, transmigrasi, dan pekerjaan umum : Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang
pedoman penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Dalam peraturan perundang-undang tersebut (Permen) disebutkan antara


lain: kriteria eksistensi hak ulayat berkenan dengan subjek, objek dan
kewenangannya. Sedangkan Pasal 2 peraturan ini menyebutkan tentang kriteria
penentu eksistensi hak ulayat yang terdiri dari tiga (3) unsur, yakni: adanya
masyarakat adat, adanya wilayah dan adanya tatanan hokum adat mengenai
pengurusan, penguasaan adat yang masih aktif, penggunaan tanah ulayat yang
berlaku dan ditaati oleh masyarakat hukum adat. Seluruh rangkaian peraturan
perundangan tersebut bermaksud untuk melindungi hak ulayat atau hak
masyarakat hukum adat termasuk tanah ulayat.

Namun apabila ditelaah kembali, terdapat ketidakjelasan dalam pengaturan


- pengaturan. mengenai hak ulayat termasuk tanah ulayat tersebut sehingga
menimbulkan berbagai penafsiran yang tidak memadai dengan tujuan
perlindungan tanah-tanah tersebut. Tidak jarang dalam implementasinya, sering
menimbulkan kelemahan atas ketidakjelasan tersebut yang digunakan oleh
pihakpihak tertentu untuk mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak
masyarakat hukum adat..

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang


Penanaman Modal ditentukan mengenai layanan dan atau perizinan hak atas
tanah, dapat diberikan dan diperpanjang berkaitan dengan masalah hak guna usaha

8
(HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai yang diatur dalam Pasal 21
huruf a dan Pasal 22 Ayat (1) Undnag-Undang Penanaman Modal. Namun
Mahkamah Konstitusi telah menganulir ketentuan pasal ini dengan kembali
berlaku UUPA jo PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, Hak Pakai.
Berpedoman pada PP Nomor 40 Tahun 1996 jo Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 khususnya dalam pemberian HGU
berbagai dokumen yang harus dilampirkan adalah izin lokasi atau surat izin
penunjukkan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan tanah sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dan bukti pemilikan perolehan tanah yang diikuti
dengan buktibukti berupa pelepasan kawasan hutan, atau pelepasan tanah hak
milik adat, surat-surat bukti perolehan tanah lainnya.

Berdasarkan hal tersebut akhimya diterbitkan HGU. Hal ini dapat terjadi
bahwa pada saat itu tidak ada klaim dari msyarakat hukum adat sebab mereka
belum mengetahui tentang eksistensi hak tersebut atau pihak perusahaan sudah
menempuh cara-cara pendekatan dengan beberapa anggota masyarakat hukum
adat, ternyata mereka itu bukanlah pihak yang sah dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Namun karena pada masa lalu hak masyarakat hukum adat
belum memperoleh yang semestinya dari normatif, sehingga pendekatan formal
yang lebih mengemuka.

Kenyataan empiris menunjukkan ada klaim dari masyarakat hukum adat


yang merasa tidak diikutsertakan dalam proses pemberian hak tersebut, yang
lokasinya diwilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hal-hal itulah
yang kemudian menimbulkan tuntutan masyarakat hukum adat agar tanah ulayat
atau hak ulayat yang benar-benar ada diakui dan kepada masyarakat diberikan
kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan usaha atau melakukan
kerjasama/kemitraan dengan masyarakat baik lewat BUMN maupun swasta besar
untuk menciptakan iklim bisnis atau investasi yang lebih baik dan konduktif, baik
bagi pengusaha lokal maupun asing di wilayah masyarakat hukum adat tersebut,

9
sehingga tidak menimbulkan pergeseran hak masyarakat hukum adat (tanah
adat/ulayat) yang merupakan hak asasi manusia. 3

D. Hak Menguasai Negara

Sesuai dengan prinsip domein verklaring (Pernyataan Pemilikan) yang


dianut Pemerintah Belanda sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Agrarische
Besluit, maka semua tanah yang bebas sama sekali dari hak-hak seseorang (baik
yang berdasarkan atas Hukum Adat maupun Hukum Barat) dianggap menjadi vrij
landsdomein (tanah Negara bebas), takni yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh
Negara. Pendekatan Pemerintah Kolonial ini ternyata diambil alih oelh Pemerintar
RI dalam bentuk hak menguasai Negara. Dengan hak menguasai negara atas tanah
mengandung tiga kewenangan yang dapat didelegasikan kepada masyarakat
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) dan (4) UUPA, pendelegasian
kewenangan yang terjadi di dalam praktiknya diberikan kepada badan-badan atau
departemen-departemen. yang kemudian populer dengan nama hak pengelolaan,
sementara terhadap masyarakat adat belum pernah dilakukan.

Di dalam UUPA, keberadaan hak pengelolaan tidak diatur dan juga tidak
dimasukkan sebagai salah satu bentuk hak yang dimasuldcan dalam Pasal 16
UUPA. Pendelegasian kewenangan hak menguasai negara dalam hale pengelolaan
lebih memberikan kesan kewenangan yang sangat luas. Dengan demikian, hak
menguasai negara atas tanah yang diberikan UUPA Nomor 5 Tahun 1960, yang
ditafsirkan berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. Berdasarkan hasil penelitian seperti
ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), maka hak menguasai negara
tidaklah harus diartikan sebagai pemilikan atas tanah. Hak menguasai negara
hanya memberi negara kewenangan untuk merumuskan "kebijakan (beleid)",
melakukan "pengaturan (regelen)", "pengurusan (besturen)", "pengelolaan
(beberen)", dan "pengawasan (toezicht bouden)". 16 Kewenangan inilah yang
dikritik telah disalahgunakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara lain
dengan mementingkan dan mendahulukan perusahaanperusahaan besar dan
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya
Jilid I, Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan, 1999, hlm. 193.

10
kebanyakan bermodalkan dana asing untuk memanfaatkan tanah-tanah yang
secara turun-temurun dikuasai masyarakat adat.

UUPA Nomor 5 Tahun 1960 juga mengatur bahwa atas dasar hak
menguasai negara itu, maka negara juga dapat mengatur pengambilan kekayaan
alam yang terkandung di dalam bumi, air, dan rang angkasa.

Hak menguasai negara yang jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945
ditujukan untuk “sebesar-bensarnya kemakmuran rakyat” telah ditafsirkan sebagai
hak pemerintah (pusat dan daerah) untuk pemberian berbagai jenis izin kepada
perusahaan besar pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan pertanian.
Umumnya yang dapat memanfaatkan persyaratan yang diminta oleh izin-izin
tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar bemodalkan dana asing. Persoalan
yang sering muncul adalah bergesernya kebenaran penggunaan hak menguasai
yang berintikan ‘mengatur’ dalam kerangka populisme menjadi ‘memiliki’ dalam
rangka pragmatisme untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan4.

Pemiskinan masyarakat adat terjadi karena pemerintah keluar dari desain


ideologis UUPA, yakni dari populisme menjadi liberal individualisme. Pergeseran
pilihan nilai dan penerobosan atas desain ideologis kemudian ditindih oleh
problem-problem lain seperti tak diperhatikannya lagi secara sungguh-sungguh
tanah-tanah milik masyarakat menurut hukum adat yang dikenal sebagai hak
ulayat. Sangat banyak kasus yang diadukan menyangkut banyaknya tanah yang
seharusnya merupakan milik masyarakat adat dipindahkan haknya kepada pihak
lain. Ketiadaan bukti formal tentang tanah ulayat serta anggota masyarakat yang
secara hukum kadangkala cair dan sangat fleksibel telah mempermudah
pencaplokan tanah-tanah adat ini.

Sebenarnya, kewenangan negara, menurut penulis, dibatasi pada dua hal.


Pertama, hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat melanggar hak asasi
4
Maria S.W. Sumardjono, 2010, Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit Bagian
Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Maria
S.W. Sumardjono III), hal. 22.

11
manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Kedua, pembatasan yang bersifat
substantif, bahwa peraturan yang dibuat oleh negara hags relevan dengan tujuan
yang hendak dicapai, yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan
kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena
menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Dengan
adanya pendelegasian kepada swasta, maka bagian dari masyarakat akan
menimbulkan konflik kepentingan dan karena itu tidak dimungkinkan sebab akan
menimbulkan konflik kepentingan. Menurut penulis, rasa keadilan belum
dirasakan secara signifikan oleh masyarakat, khususnya terhadap hak individu
dalam keadaan tanah untuk kepentingan umum. Pendelegasian kewenangan hak
menguasai negara atas tanah lebih memberikan kesan kewenangan yang sangat
luas, sehingga apabila merujuk pada

UUPA Nomor 5 Tahun 1960 telah meletakkan kerangka filosofis yang


berpihak kepada kepentingan rakyat. Pelaksanaan hak menguasai negara dalarn
tanah perlu dikembalikan pada politik hukum tanah yang secara tegas dinyatakan
dalarn Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kutipan pasal ini menunjukkan poin penting
bahwa "kemakmuran rakyat" menjadi entry point dari proses-proses
pembangunan bangsa. Tidak ada tujuan lain selain dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban negara
untuk semakin mendekatkan negara cita-cita bersama. Penulis berpendapat bahwa
negara seharusnya secara periodik dan terstruktur memberikan peluang dan
kernudahan kepada seluruh rakyat untuk mendapatkan akses sebagaimana sudah
diamanatkan di dalam UUD 1945 dan negara harus menjaga dan merawat segala
yang dimiliki bangsa ini untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bersama
tanpa kecuali, karena memang demikianlah tugas dari negara dan
penyelenggaraan pernerintahan didirikan.5

E. Upaya Yang Harus Dilakukan

5
Marjono Reksodiputro, (Seic etaris Komisi Hukum Nasional) "Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat
Hukum Adat (Perlukah Reformasi Agraria?)" Desain Huk m7 Vol. 11 No. 3 April 2011, hlm. 22

12
Menghadapi fakta tersebut, kepada masyarakat hukum adat yang tanah
ulayatnya diperlukan bagi pembangunan wajib diberikan recognitie, seperti juga
dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA. Recognitie tidak diberikan dalam
bentuk uang, melainkan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk
lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Rekognisi merupakan upaya
negara mengakui otonomi masyarakat untuk menerapkan sistem tenurialnya
secara penuh. Meskipun otonomi dimaksud diakui melalui sebuah instrumen
hukum negara, tetapi negara tidak mengintervensi masyarakat dalam
pemberlakuan system tenurialnya. Rekognisi ini mengindikasikan pengakuan
politik Negara terhadap keberadaan sekelompok masyarakat yang mempunyai
kewenangan mengatur tanah, kekayaan alam dan hubungan terunial di
wilayahnya. Disebut sebagai pengakuan politik karena dengan rekognisi ini
negara mengakui bahwa ada hak-hak masyarakat terambil oleh negara.18
Pembentukan negara nasional dan pemberlakuan sistim hukum nasional
menyebabkan hak-hak yang sedemikian itu hilang dari masyarakat
pengembannya. Dengan recognisi maka negara mengembalikan lagi hakhak itu
kepada masyarakat tersebut.

Konstruksi rekognisi ini menjelaskan relasi hukum antara negara dan


masyarkat hukum adat. Hak-hak ulayat yang muncul dari sistim tenurial adat
banyak yang tersingkirkan karena adanya hak-hak baru atas tanah yang diberikan
negara pada wilayah-wilayah adat. Rekognisi juga menciptakan konsep yang lain
terkaait dengan otonomi masyarakat hukum adat. Dengan fakta bahwa masyarakat
hukum adat telah menjadi elemen dari negara nasional maka otonomi mereka
tidaklah bersifat mutlak. Kewenangan untuk melakukan pengaturan atas wilayah
adat itu bersifat semi-otonom. Wilayah adat adalah arena-arena pengaturan semi
otonom (semi-autonomous social fields). Sebagaimana dikonseptualisasikan oleh
Moore, karena itu menunjukkan pada kemampuan relasi sosial dalam masyarakat
untuk menghasilkan dan menerapkan aturan dan kebiasan mereka sendiri, namun
pada saat yang bersamaan, mereka juga rentan terhadap penetrasi aturan dan
keputusan lain diluar mereka.

13
Sifat semi-otonom dari masyarakat hukum adat terwujud dalam
pengaturan terhadap warga persekutuan adat dan wilayahnya yang diperlakukan
berdasarkan hukum adat dan ditegakkan oleh lembaga adat, namun terhadap
pengaturan lain. Masyarakat hukum adat itu juga tunduk pada peraturan yang
diproduksi oleh negara. Jika rekognisi memberikan semiotonomi pada sistem
tenurial masyarakat, maka integrasi bersifat sebaliknya. Dengan konsep integrasi
ini maka sisem tenurial masyarakat diserap ke dalam sistem tenurial negara.
Artinya formulasi, penanaman, pengaturan dan cara-cara perlindungan hakhak
atas tanah mengikuti seluruhnya pada hukum negara. Ketentuan-ketentuan
konversi hak-hak tanah berdasarkan hukum adat sebagaimana dianut dalam
UUPA merupakan contoh model integrasi.6

Menghadapi kenyataan ini maka pengakuan dan penghormatan pada hak


ulayat harus dilakukan berdasarkan pada prinsip penghormatan hak asasi manusia
dan prinsip-prinsip negara hukum. Dengan adanya pengakuan hukum nasional
terhadap hukum adat dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah pertanyaan yang
timbul adalah bagaimana sebenarnya makna untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat yang menjadi landasan UUPA dipahami dan diterjemahkan secara benar,
apakah sudah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat adat? Sesuai dengan teori
Aristoteles “distributive and corrective justice” keadilan yang sifatnya merata
(Distributive Justice) dikaitkan terutama dengan alokasi hak-hak, kewajiban, dan
beban (tanggung jawab) di antara para anggota komunitas agar dapat dijamin
keseimbangannya. Hal ini melibatkan pelakuan yang sama atas kegiatan-kegiatan
tersebut yang sama sebelum melalui hukum. Keadilan yang sifatnya pembenahan
atau perbaikan (Corrective or remedial justice) mengoreksi setiap
ketidakseimbangan dalam komunitas dengan pemulihan kesamaan dalam hal
apapun yang ada sebelum kekeliruan berlangsung.

Asas keadilan diletakkan sebagai dasar dalam kepemilikan dan


pengelolaan tanah adat oleh karena itu dengan pengelolaan tanah lembaga adat
dapat memberikan rekomendasi untuk setiap pengelolaan tanah dengan:
6
Ibid,

14
1. Hak Ulayat atau hak serupa itu dari masyarakat hukum adat adalah hak
asasi manusia;
2. Negara mengakui dan melindungi hak ulayat dan hak-hak serupanya;
3. Masyarakat hukum adat merupakan persekutuan hukum pemegang hak
ulayat atas wilayahnya;
4. Penentuan mengenai pengakuan masyarakat hukum adat di tetapkan
dengan undang-undang;7

2.2 DI DALAM TANAH ULAYAT TERDAPAT TANAH INDIVIDUAL,


TANAH KOLEKTIF, DAN TANAH KOMUNAL.

1. Tanah ulayat harus di daftarkan, yang bertujuan memberikan jaminan


kepastian hukum dibidang pertanahan. Dengan pendaftaran tanah
menginginkan seseorang menguasai tanah secara mantap dan aman.
Penguasaan yang mantap ditinjau dari aspek waktu lamanya seseorang
dapat mempunyai atau menguasai tanahnya, dan isi kewenangan dari hak
atas tanah tersebut. Sedangkan penguasaan tanah secara aman berarti
bebas dilindungi dari / terhadap gangguangangguan dan ada upaya untuk
menanggulanginya. Gangguan tersebut dapat berasal dari sesame anggota
masyarakat, pihak penguasa/pemerintah maupun investor. Upaya yang
harus dilakukan dengan pendaftaran tanah telah memberikan jaminan
kepastian.
2. Hak Ulayat harus dilakukan dengan menghormati hak-hak warga
masyarakat hukum adat dan warga masyarakat lainnya serta kelestarian
lingkungan;
3. Penentuan mengenai tata cara pendaftaran hak ulayat harus ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan;
4. Pemerintah dan pemerintah daerah dapat menetapkan tanah-tanah ulayat
sebagai kawasan strategis dengan memperhatikan penataan ruang dan
7
Bedner, Adrian dan Ward Berenschot, “Tantangan bagi Pengakuan Hak Atas Tanah Komunal di
Indonesia : Sebuah Pengantar”, Dalam Van Vollenhoven Institue dan Bappenas. Masa Depan Hakhak Komunal
atas Tanah : Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum, 2010, hlm, 8.

15
penataan tata guna tanah. Kemudian tanah ulayat yang telah ditetapkan
sebagai kawasan strategis harus tercantum dalam peta tata ruang wilayah;
5. Hak atas tanah individual dan kolektif dari warga masyarakat hukum adat,
apabila dikehendaki oleh pemegang haknya, dapat didaftar sebagai hak-
hak atas tanah menurut ketentuan undang-undang dan peraturan
pelaksanaannya;

6. Pendaftaran hak atas tanah ini dilakukan dengan terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari persekutuan hukum adatnya. Pendaftaran hak tidak
menyebabkan gugurnya kewajiban menurut hukum adat dari pemegang
hak atas tanahnya; Dalam hal instansi pemerintah, badan hukum dan
perorangan yang bukan warga masyarakat hukum adat memerlukan tanah
ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu, maka terhadap tanah ulayat itu
dapat dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu dengan persetujuan.
Warganya dan sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang
berlaku. Persetujuan warga masyarakat hukum adat ini harus dilakukan
oleh pihak yang memerlukan tanah dengan tanpa paksaan dan disertai
dengan pemberian informasi awal yang memadai mengenai akibatakibat
hukum, sosial dan lingkungan yang akan ditimbulkan dari pelepasan hak
ulayat itu. Tata cara persetujuan ditetapkan dengan peraturan
perundangundangan.
 Hak ulayat yang telah dilepaskan menjadi tanah negara yang diatasnya
dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
 Dalam hal hak atas tanah sebagaimana dimaksud diatas habis masa
berlakunya,maka tanah tersebut kembali menjadi tanah ulayat.

Perlu dipikirkan untuk menyempurnakan Peraturan Menteri Negara


Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Permenag) sesuai dengan perkembangan
yang berlaku dan harmonisasinya dengan peraturan perundangan terkait. Kini ke
depan, belajar dan pengalaman masa lalu, peran pemerintah daerah sangat penting

16
dalam hal, upaya menyeimbangkan kepentingan investor dan masyarakat hukum
adat melalui upaya fasilitas antara kedua belah pihak untuk mencapai musyawarah
tentang bentuk dan isi kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak dan
masyarakat luas, kemudian merancan kebijakan daerah yang memberikan
keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan dan perlindungan hukum bagi semua
pihak terkait sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku

Pengakuan terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat Secara


terminologis, ”pengakuan” berarti proses, cara, perbuatan mengaku atau
mengakui, sedangkan kata “mengakui” berarti menyatakan berhak. Pengakuan
dalam konteks ilmu hukum internasional, misalnya terhadap keberadaan suatu
Negara/pemerintahan biasanya mengarah pada istilah pengakuan de facto dan de
jure. Pengakuan yang secara nyata terhadap entitas tertentu untuk menjalankan
kekuasaan efektif pada suatu wilayah disebut dengan pengakuan de facto.
Pengakuan de facto adalah pengakuan yang bersifat sementara, karena pengakuan
ini ditunjukkan kepada kenyataan-kenyataan mengenai kedudukan pemerintahan
yang baru, apakah ia didukung oleh rakyatnya dan apakah pemerintahannya
efektif yang menyebabkan kedudukannya stabil. Jika kemudian bisa
dipertahankan terus dan makin bertambah maju, maka pengakuan de facto akan
berubah dengan sendirinya menjadi pengakuan de jure. Pengakuan de jure bersifat
tetap yang diikuti dengan tindakan tindakan hukum lainnya. Sedangkan
pengakuan secara hukum (de jure) adalah pengakuan suatu Negara terhadap
Negara lain yang diikuti dengan tindakan-tindakan hukum tertentu,misalnya
pembukaan hubungan diplomatik dan pembuatan perjanjian antar kedua Negar.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pengakuan terhadap


masyarakat hukum adat atas tanah mengarah pada pengertian pengakuan dari
Negara/pemerintah baik secara politik maupun secara hukum, melalui pengaturan
hak dan kewajiban pemerintah dalam memberikan penghormatan, kesempatan dan
perlindungan bagi berkembangnya masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisional yang dimiliki dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa Negara/ pemerintah telah mengakui,

17
menyatakan sah/ benar atau menyatakan masyarakat hukum adat berhak atas
sumber daya alam yang dimiliki dan mewajibkan pemerintah untuk melinduingi
hakhak tersebut dari ancaman/gangguan pihak lain.

Pengakuan tersebut merupakan pengakuan yang diformulasikan dalam


bentuk hukum Negara terhadap hak masyarakat hukum adat atas tanah dan
sumber daya alam lainnya Hak-hak masyarakat hukum adat meliputi hak-hak
tradisional yang merupakan hak yang lahir dari masyarakat tersebut sebagaimana
dilegitimasi oleh hukum adatnya (hak bawaan) serta hak-hak lain yang diberikan
oleh negara. Di antara hakhak tradisional yang ada pada masyarakat hukum adat
adalah hak ulayat atau disebut pula dengan berbagai nama lainnya. Pasal 3
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) menyatakan pengakuan terhadap hak ulayat
tersebut sepanjang menurut kenyataan masih ada, sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, berdasrkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundangundangan lain yang lebih tinggi. 8

Sejalan dengan cakupan konsep agraria yang luas dalam UUPA yang
meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, maka
pengakuan terhadap hak ulayat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UUPA
juga berlaku pada hak ulayat yang dipraktikan di wilayah masyarakat adat
Eksistensimasyarakatadat diIndonesiadiakui secara konstitusional sebagaimana
tertuang dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun
1945 dan perubahannya menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang. Pengakuan
terhadap eksistensi masyarakat adat secara de jure juga ditegaskan dalam UUD
1945 Pasal 28I Ayat (3) yang menyebutkan, “Identitas budaya dan hak

8
Emil Kleden, 2006, “Masyarakat Adat, Demokrasi Dan Otonomi Masyarakat Hukum Adat”, Makalah dalam
Masyarakat Hukum Adat, Kerjasama Komnas HAM dan UNDP, Jakarta, hal. 44.

18
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan
peradabannya”.

Pasal 33 UUD NRI 1945 mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejalan dengan ketentuan tersebut, harus
senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan
berkelanjutan. Pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat tidak hanya
berhenti pada ranah konstitusi. Sejumlah undangundang mengatur lebih lanjut
eksistensinya

Untuk menafsirkan ketentuan Pasal 18BAyat (2) di atas, Mahkamah Konstitusi


dalam Putusan Nomor 31/PUU/2007 menetapkan tolok ukur untuk menilai
keberadaan masyarakat hukum adat, yaitu:

1. Masih hidup:
 Ada masyarakat dengan warga yang memiliki perasaan kelompok (in-
group feeling)
 Ada pranata pemerintahan adat
 Ada harta kekayaan dan/atau bendabenda adat
 Ada perangkat norma hukum adat
 Jika bersifat territorial ada wilayah tertentu
2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat:
 Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku
sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam
masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun
bersifatsektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain
maupun dalam peraturan daerah;
 Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga
kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih
luas, serta tidak bertentangan dengan hakhak asasi manusia.
3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI):

19
 Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

 Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan


peraturanperundang-undangan.

4. Diatur dalam undang-undang Ketentuan undang-undang yang menyatakan


pengakuan keberadaan masyarakat adat, diantaranya yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria


(UUPA).

Undang-undang ini memberikan landasan hukum bahwa masyarakat


hukum adat dapat melakukan pengelolaan terhadap sumber daya hutan maupun
sumber daya alam lainnya yang berada di wilayah adat. Hal itu dapat dilihat di
Pasal 2 Ayat 4 UUPA yang menyatakan “Hak menguasai dari negara tersebut di
atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.


Undang-undang ini telah mencantumkan pengakuan masyarakat hukum adat atas
hak ulayat. Pasal 6 Ayat 2 UU Tahun 2004 menyatakan “Penguasaan sumber daya
air sebagaiman dimaksud pada Ayat (1) di selenggarakan oleh pemerintah
dan/atau pemerintah daerah dengan tetapmengakui hak ulayatmasyarakat hukum
adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. Hak yang
serupa dimaksud dalam penjelasan pasal ini adalah hak yang sebelumnya diakui
dari berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya sama
dengan hak ulayat, seperti: tanah wilayah pertuanan di Ambon, panyam peto atau
pewtasan di Kalimantan, wewengkon di Jawa, prabumian dan payar di Bali,
totabuan di Bolaang-Mangondouw, torluk di angkola, limpo di Sulawesi-Selatan,
muru di pulau Buru, paer di Lombok, dan panjaean di Tanah Batak

20
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 9 Ayat
2 UU Perkebunan menyatakan bahwa “Dalam hal tanah yang diperlukan
merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya
masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada Ayat (1),
pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat
pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan,
untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah, dan imbalannya.
Ketentuan ini dapat dipahami bahwa mewajibkan kepada setiap orang maupun
badan hukum terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum
adat pemegang hak ulayat suatu wilayah. Ketentuan ini memposisikan masyarakat
hukum adat sebagai subjek atas suatu wilayah tetapi hak itu harus dilepaskan
dengan ganti rugi atau kesepakatankesepakatan tertentu demi kepentingan konsesi
perkebunan.9

Ini tidak memberikan persyaratan bagi pengakuan masyarakat hukum adat


dan tidak menggunakan istilah masyarakat hukum adat tetapi masyarakat adat.
Masyarakat adat di undang-undang ini didefinisikan sebagai kelompok
masyarakat pesisir yang secara turuntemurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Undang-undang ini
merumuskan tanggung jawab pemerintah untuk mengakui, menghormati dan
melindungi hakhak masayarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal
atas wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang telah di manfaatkan secara
turutemurun. Meskipun undang-undang ini lebih maju namun belum ada
peraturan pelaksana tentang pelaksanaan tanggung jawab pemerintah terhadap
masyarakat adat.

Pengaturan dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan


tersebut, kemudian dikuatkan kembali berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-V/2007 menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat merupakan
9
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU/2007

21
subjek hukum. Dengan putusan ini maka hukum Indonesia mengenai tiga bentuk
subjek hukum yaitu perseorangan, badan hukum dan masyarakat hukum adat.
Sebagai subjek hukum maka masyarakat hukum adat merupakan penyandang hak
dan kewajiban. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-V/2007 dengan menyatakan: Dalam ketentuan konstitusional tersebut,
terdapat satu hal penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal
penting dan fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara
konstitusional diakui dan dihormati sebagai-penyandang hak yang dengan
demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat
hukum adat adalah subjek hukum.

Sebagai subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara


maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian sebagaimana subjek
hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam
rangka pengalokasian sumbersumber kehidupan. Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 31/PUU-V/2007 menegaskan tidak dibenarkannya diskriminasi terhadap
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum. Demikianlah maka penguasaan
negara atas sumber daya alam wajib melindungi, menghormati dan memenuhi hak
masyarakat hukum adat. Berbagai peraturan hukum yang telah ada mengatur
mengenai masyarakat adat, seharusnya dapat dijadikan pedoman bagi
penyelesaian berbagai masalah pertanahan di Indonesia khsusnya konflik
pertanahan yang menepatkan masyarakat hukum adat sebagai korban sehingga
kasus-kasus pertanahan yang berbuntut pada kekerasan horizontal maupun
vertikal sebagaimana yang terjadi di Mesuji, Sumatera Selatan, Riau dan Jambi
tidak terulang kembali.

Selain itu diharapakan juga dapat memberikan pedoman/pencerahan dalam


rangka memberikan pengetahuan bagi masyarakat khususnya masyarakat hukum
adat dalam melindungi hakhaknya, yang memang menurut kenyataanya masih
ada. Dengan demikian menurut penulis, jika ada undang-undang yang tidak
mengakui keberadaan hak-hak tradisional komunitas maka undang-undang
tersebut jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negera Republik

22
Indonesia Tahun 1945. Untuk itu pemerintah perlu untuk segera mensahkan
Rancangan Undangundang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat
Adat. RUU tersebut sangat diperlukan guna memberi kepastian hukum atas
berlangsungnya masyarakat adat dalam mempertahankan tradisi dan budayanya.
Karena selama ini, telah terjadi perampasan secara sepihak hak-hak masyarakat
adat dan konflik sosial yang terjadi di masyarakat adat. Konflik agraria yang
melibat masyarakat adat sudah sangat kronis dan memprihatinkan. RUU ini
bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat agar tidak dirampas semena-mena
dan diabaikan. Masyarakat adat punya hak berekonomi, hak perlindungan dan
pemilikan tanah ulayat, mempertahankan kepercayaan spiritual hingga pewarisan
nilai budayanya. Oleh sebab itu, mendesak untuk diperjuangkan perlindungan dan
pengakuan atas masyarakat adat melalui sebuah RUU yang representatif mewakili
seluruh komunitas adat di Indonesia.10

2.3 TANAH ADAT DAN KESATUAN MASYARAKAT ADAT

A. Kesatuan Msayarakat Adat

Terdapat pemikiran yang mengedepankan bahwa yang dimaksudkan


dengan kesatuan masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok teratur yang
sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda materiil
dan immaterial, yang memiliki ciri-ciri:

a. Adanya kelompok-kelompok teratur;


b. Menetap di suatu wilayah tertentu;
c. Mempunyai pemerintahan sendiri;
d. Memiliki benda-benda materiil dan immateriil.

Menurut ahli, identifikasi masyarakat adat suatu masyarakat tertentu


apakah merupakan suatu masyarakat adat atau bukan, sebenarnya berkaitan

10
I Ketut Sudantra, 2016, Pengakuan Peradilan Adat (Dalam Politik Hukum Kekuasaan
Kehakiman), Cetakan Pertama,Swasta Nulus bekerjasama dengan Bali Shanti Pusat Pelayanan
Konsultasi Adat dan Budaya Bali ( LPPM Unud) dan Pusat Hukum Adat (LPPM Unud),
Denpasar, hal. 41-52

23
dengan soal konsepsi. Dari satu sisi, masyarakat adat sering dipandang sebagai
kelompok masyarakat yang (agak) terasing, atau yang disebut sebagai kelompok
masyarakat asli, atau suatu kelompok masyarakat dengan kehidupan social yang
berpegang pada tradisi-tradisi yang berasal dari leluhurnya sedangkan masyarakat
itu telah mengenal kehidupan modern juga. Atau, mereka adalah kelompok
masyarakat yang menggunakan bahasa maupun yang memiliki kepercayaan
tertentu. Masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei bukanlah masyarakat hukum
adat yang terisolasi. Masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei adalah masyarakat
hukum adat yang di dalam kehidupan sosial, pemerintahan, budaya maupun
ekonominya masih berpegang pada tradisitradisi yang berasal dari leluhurnya, dan
pada saat yang bersamaan merekapun mengenal segi-segi kehidupan modern.

Ada ciri yang dicoba untuk dikemukakan agar dapat membantu menetapkan ada
tidaknya masyarakat adat.

1) Adanya sebuah masyarakat yang langsung menyebut dirinya sebagai


masyarakat adat.
2) Adanya susunan khas dan turunan-menurun dalam lingkup sosial maupun
pemerintahan masyarakat itu.
3) Adanya wewenang-wewenangan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan
(umumnya sangat berpengaruh), maupun dalam penyelenggaraan
kehidupan di bidang sosial, politik, budaya, maupun ekonomi masyarakat
secara keseluruhan, di atas wilayah tertentu yang cukup Iuas, bukan
sekedar di suatu wilayah pemukiman dan sumber kehidupan seadanya.
Ciri-ciri ini sangat tampak dalam susunan kemasyarakatan pada
masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei sebagaimana diuraikan di
bawah.

Ciri-ciri tersebut mengarah pada suatu keadaan bahwa masyarakat tersebut


memiliki lingkup petuanan, mengatur secara otonom sumber-sumber daya alam
yang sejak dahulu kala dan turun-temurun menjadi satu dengan petuanan tersebut.
Kekuatan atau wewenang yang dijalankan di atas lingkup petuanan adalah

24
kekuasaan atau wewenang de facto dan dapat juga dikualifikasi sebagai kekuasaan
atau wewenang de jure. Kekuasaan atau wewenang de facto atas petuanan
dijalankan berdasarkan kualifikasi orisinalitas yang berpangkal pada sejarah yang
menjadi dasar kekuasaan atau wewenang de jure. Jadi dasar kekuasaan de jure
tidak didasarkan pada pengakuan oleh hukum positif tetapi didasarkan pada
prinsip kekuasaan riil, turun-temurun dan historis yang melegitimasi kekuasaan
atau wewenang, de facto menjadi kekuasaan atau wewenang de jure. Hak atas
wilayah petuanan di laut; dimaksudkan dengan hak ialah adanya wewenang dan
kemampuan yang dipunyai masyarakat adat; jadi, hak atas petuanan laut adalah
adanya wewenang dan kemampuan di atas wilayah laut tertentu untuk memiliki,
menguasai, menjaga dan mempertahankannya terhadap pihak lain.

1) Adanya hak memiliki berarti adanya hak untuk menempatkannya di bawah


kepunyaan sendiri dan mengecualikan pihak lain untuk mempunyainya,
kecuali atas izin;
2) Adanya hak menguasai berarti adanya hak untuk menjadi tuan yang
mampu dan sanggup untuk menentukan penggunaan wilayah laut dan
pesisir seperti mengolah, memanfaatkan, atau memberi izin untuk
dimanfaatkan oleh pihak lain;
3) Adanya hak menjaga berarti adanya hak untuk menunggui, mengawali,
melindungi, merawat, mengawasi wilayah laut dan pesisir laut terhadap
gangguan atas keselamatan, keamanan, kelestarian wilayah laut dan pesisir
tersebut;
4) Adanya hak untuk mempertahankan berarti adanya tindakan sedemikian
rupa yang berpangkal pada kekuasaan (authority) ataupun kekuatan
(power) terhadap intervensi pihak lain yang bertujuan menguasai,
merusak, atau memanfaatkan wilayah laut maupun pesisir;
5) Hak memperoleh kebutuhan hidup berarti adanya hak pada masyarakat
adat di pesisir untuk menangkap ikan, mengambil hasil-hasil laut lain
seperti Iola, teripang, batu laga, mutiara, rumput laut dan sebagainya di
atas wilayah petuanan laut, termasuk mengambil semua sumber daya alam

25
yang berada di kolong laut, dasar laut, maupun bumi di bawah dasar laut
yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hak-hak tersebut di atas masih dapat dilihat pada kehidupan di hamper sebagian
besar masyarakat adat pesisir pantai di pulau-pulau di Maluku, dan lebih khusus
lagi pada masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei, yang kini dikenal berada
dalam lingkup Kabupaten Maluku Tenggara.

Faktor-faktor pembentuk kesatuan masyarakat hukum adat yakni:

1. Faktor Genealogis yaitu masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya


merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa
mereka berasal dari satu keturunan yang sama.
2. Faktor Teritorial yaitu masyarakat hukum adat yang para anggotanya
merasa bersatu, dan oleh karena merasa bersama-sama merupakan
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada
ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya.

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang ada di Kabupaten Maluku


Tenggara dan wilayah kekuasaan adat dan masyarakat hukum adat di Kabupaten
Maluku Tenggara. Dalam masyarakat adat di Kabupaten Maluku Tenggara
terdapat kesatuan masyarakat hukum adat Lor Lim (Lim Itel) dan Ur Siw (Siw
Ifaak). Dijumpai juga satu-satunya Lor yang lain, yang berdiri sendiri tanpa
berada dengan satuan-satuan masyarakat hukum adat lain yang disebut sebagai
Lor Lobai.

Lor Lim adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang terdiri dari lima
Ratschap dengan simbol-simbol adat tertentu yang diakui secara turun temurun di
Kabupaten Maluku Tenggara. Sedangkan Lor Siw adalah kesatuan masyarakat
adat yang terdiri dari sembilan ratschap dengan simbol-simbol adat tertentu yang
diakui secara turun temurun di Kabupaten Maluku Tenggara. Ratschap adalah
kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis dan territorial yang
memiliki batas-batas yuridiksi, dan berfungsi untuk mengatur serta memutuskan

26
masalah-masalah hukum adat dilingkungannya serta di Iingkungan Ohoi yang
berada di bawah koordinasinya, diakui dalam system pemerintahan nasional dan
berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Maluku Tenggara.

Sedangkan Ohoi adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang berfungsi


geneologis dan teritorial yang memiliki batas-batas yuridiksi, berfungsi mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak-hak asalusul dan adat
istiadat setempat, diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di bawah
ratschap sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Kabupaten Maluku
Tenggara. Rat atau Raja adalah kepala kesatuan masyarakat hukum adat yang
memimpin sebuah Ratschap. Orang Kay atau Patti adalah kepala kesatuan
masyarakat hukum adat Ohoi yang berfungsi untuk memimpin administrasi
pemerintahan diwilayahnya dan sekaligus sebagai kepala kesatuan masyarakat
hukum adat yang berada koordinasi Rat atau Raja. Kepala Soa adalah kepala
wilayah administrasi dan geneologis di bawah orang Kay yang bertugas
memimpin Ohoi serta mempunyai kedudukan lebih rendah dari Ohoi.

Lor Lim (Lim Itel) maupun Ur Siw (Siw Ifaak) merupakan kesatuan
masyarakat hukum adat yang membawahi beberapa ratschap. Ratschap
membawahi beberapa desa. Desa membawahi beberapa dusun. Daerah kekuasaan
hukum adat dan masyarakat hukum adat Lor Lim (Lim Itel) dan Ur Siw (Siw
Ifaak) yang berbentuk ratschap, desa dan dusun sebagaimana dijelaskan di atas
ada yang berada di dalam satu wilayah/daerah yang sama, Kesatuan masyarakat
adat ini pun kemudian diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor 5
Tahun 2005 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Daerah di Kabupaten
Maluku Tenggara yang sampai saat ini masih dalam proses pembahasan di DPRD
Kabupaten Maluku Tenggara.

3. Struktur pemerintahan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten

Maluku Tenggara.

27
Mengikuti Draft Academic yang di susun oleh Universitas Pattimura dapat
dikedepankan hal-hal sebagai berikut:

“...pada mulanya pemerintahan adat di Maluku Tenggara memiliki system


pemerintahan yang tidak berbeda dengan sistem pemerintahan adat Iainnya di
berbagai daerah, karena sistem pemerintahan itu sendiri dibangun atas dasar adat
istiadat dan budaya masyarakat. Pada masa sebelum hukum Larvul Ngabal hingga
terbentuk, pimpinan pemerintahan dikenal dan dinamakan ‘dir U’. Lembaga ini
kemudian mengalami perkembangan dan berubah menjadi Hilaai (raja) yang
kemudian mengalami penyebutan "Orang Kay” hingga saat ini dengan beberapa
pembagian tugas pemerintahan seperti Soa dan Saniri.

Pada masa sebelum lahir hukum Larvul Ngabal dikenal hukum Hawear
Balwirin yang hanya terbatas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan larangan-
larangan tertentu. Oleh sebab itu melalui Hilaai (raja) disusunlah hukum ‘Larvul’
dari Kelompok Ursiuw (kelompok sembilan) dan hukum ‘Ngabal’ dari Kelompok
Lor Lim (kelompok lima), dan sebagai kelompok penengah dikenal pula
Kelompok Lor-Lobai yang bertugas, menengahi Kelompok Ursiw dan Kelompok
Lor Lim.

Dalam perkembangannya kedua hukum ini (Larvul Ngabal) menjadi lambing dari
masyarakat adat Maluku Tenggara yang di dalamnya mengatur berbagai perilaku adat,
termasuk sistem pemerintahan adat yang saat itu dikenal dengan ‘ratschap’. Dalam
perkembangan selanjutnya pembahasan pada sebutan beri gelar (jabatan) ‘rat’ atau ‘raja’
yang memimpin ‘ratschap’. Untuk mengkoordinasi tugas pemerintahan, setiap Ratschap
kemudian dibagi lagi ke dalam satuan wilayah yang disebut ‘shap’ dengan ‘Orang Kay’
atau ‘Patti’”.

Pada satuan wilayah persekutuan “ratschap”, demikian juga wilayah “shap”


pimpinan dijabat oleh “Orang Kay” yang berada di bawah kekuasaan Raja. Di Kepulauan
Kei dikenal 20 Ratschap dengan beberapa desa/kampung yang dipimpin oleh masing-
masing seorang "rat' atau "raja", di mana wilayah kekuasaannya meliputi
Ohoi/Kampung.

28
1. Forum Saniri Ratchap

Raja berkedudukan sebagai “Kepala Pemerintahan Ratschap”, sedangkan


Orang Kay/Patti berkedudukan sebagai “Kepala Pemerintahan Ohoi” atau
“kampong” (bagian dari ratschap). Selain jabatan pemerintah, dikenal juga
beberapa jabatan adat Iainnya, seperti Uwel-Uwel, Ai, Rang-Rang, Kapitan,
Forum Saniri Ratschap, Saniri, Orang Kay/Patti, Soa, Tuan Tan, Mitu Duan,
Marin Wab-Wab.

Sebagai kepala pemerintahan dalam suatu Ratschap, Raja bertugas


mengkoordinasikan penyelenggaran tugas-tugas pemerintahan yang dilakukan
oleh Orang Kay, seperti:

a. Menyelesaikan sengketa tanah yang tidak dapat diselesaikan


ditingkat Orang Kay.
b. Memberi visi dalam pencalonan Orang Kay.
c. Melindungi dan mempertahankan hukum adat.
d. Menyebarluaskan hukum Larwul Ngabal.
e. Memeriksa dan mengadili pelanggaran adat.

Di dalam sistem pemerintahan adat, jabatan “Raja” dipandang memiliki hak


istimewa, seperti:

a. Hak jabatan sebagai raja, berdasarkan keturunan lurus (patrilinela) dari


mata rumah;
b. Menjadi panutan masyarakat, karena memiliki kharisma sebagai pimpinan;
c. Menjadi hakim dalam penyelesaian berbagai sengketa;
d. Memiliki hak untuk menunjuk pengganti, jika mengundurkan diri dan
biasanya yang menggantikan adalah putra sulung (tertua) atau adik atau
orang lain dalam garis lurus.

29
Selanjutnya “Orang Kay” atau “Kepala Kampung” (Ohoi/Desa) merupakan
kepala pemerintahan dalam suatu wilayah Ohoi yang membawahi beberapa
dusun. Adapun fungsi “Orang Kay” adalah:

a. Memimpin penyelenggaraan tugas dalam pemerintahan di wilayahnya


b. Mengkoordinasikan kegiatan pembangunan dalam wilayahnya;
c. Mengatur, menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat
dalam wilayahnya;
d. Mengangkat Kepala Dusun dalam wilayahnya.

Hak istimewa yang dimiliki oleh Orang Kay, seperti:

a. Memiliki kewenangan atas tanah/petuanan, penduduk dalam wilayahnya.


b. Memiliki kewenangan untuk membuat berbagai kebijakan yang terbaik
untuk wilayahnya.

Selain raja dan Orang Kay, dalam struktur masyarakat adat dan juga pemerintahan
di Maluku Tenggara dikenal jabatan “Kepala Soa” yakni pimpinan dalam wilayah
pemerintahan pada tingkat dusun, yang berada di bawah kekuasaan Orang Kay
dalam suatu Kampung atau Ohoi. Kepala Soa ini memiliki fungsi:

a. Memimpin dusun.
b. Melaksanakan pembanguhan diwilayah dusunnya.
c. Melaksanakan perintah dan bertanggungjawab kepada “Orang Kay”.
d. Bertindak sebagai Kepala Marga (Fam).
e. Menjaga batas-batas dusun.

Pengangkatan seseorang menjadi Kepala Soa tidak melalui pemilihan,


tetapi berdasarkan musyawarah atas dasar keturunan garis lurus dan mata rumah
(kerabat) yang berhak mewarisi jabatan dimaksud, serta diutamakan orang tertua
di dalam Soa.Selain jabatan-jabatan di atas, dikenal juga jabatan “Badan Saniri”
yang1merupakan suatu badan yang berkedudukan mendampingi Raja, Orang

30
Kay1dan Kepala Soa serta berfungsi memberikan pertimbangan kepada
Raja,1Orang Kay dan Kepala Soa. Jabatan lain yang dikenal dalam struktur
pemerintahan adat Maluku Tenggara adalah, “marinyo” yang
bertugasmengumumkan perintah atasan kepada masyarakat umum.Raja memiliki
kewenangan bertindak untuk dan atas nama kesatuanmasyarakat hukum adat Lor
Lim (lim Itel) maupun Ur Siw (Siw Ifaak) bila terjadimasalah hukum diantara
masyarakat.

Keadaan ini di sebut sebagaikewenangan dalam yurisdiksi perskriptif,


yang mendukung adanya yurisdiksiajudikatif ataupun yang ebih nyata adanya
yurisdiksi penegakan kewenanganyang tampak melalui haweardi Maluku
Tenggara.Secara ontologis hal ini merupakan deskriptif dari keadaan aktual
dimana Ohoidan Rat dipandang sebagai basis sosial yang otonom. Ohoi, Rat, Lor
Lim-LorSiw merupakan basis sosial bahkan basis hukum yang otonom. Sebagai
basissosial tersebut keadaan itu merupakan pencitraan sosialnya yang hakiki
sertamemberi jaminan hak publik dalam perjumpaan atau pergaulan secara Iuas.

Karena itu, meskipun mereka telah merantau jauh, misalnya; ke


Jakarta,Ambon, atau Belanda namun keterikatan subjektifnya dengan basis
sosialnya(negeri atau Ohoi)-nya tidak dilepaskan, sebab di sana ada rumah tua,
adaIeluhur (tete nene moyang), ada status sosial, ada dusun, serta pusat
jaringankekerabatan yang nengikatnya secara subjektif. Bahkan, ketika merantau
pun, mereka selalu mencari saudara senegerinya dan membentuk
komunitasnegerinya secara ekslusif di perantauan. tempat lain yang seolah tidak
memilikikedaulatan penuh. Dalam hal-hal tertentu perbuatan hukum baik di
dalammaupun di luar pengadilan.Hal ini harus dapat dipahami oleh karena tema
kritis yang seringmengedepankan adalah menyangkut tuntutan memperoleh
kesempatanmengelola tanah dan sumber daya alam bagi sejumlah besar
masyarakat adatmaupun masyarakat lokal lainnya, yang didasarkan pada prinsip
kepemilikan,kemanfaatan (utility) maupun keuntungan (benefit) atas penggunaan
air,tanah, hutan, maupun sumber daya alam lainnya.

31
Aspirasi umum atas sumbersumber daya alam tersebut ahli identifikasikan
sebagai berikut: 1) Sumber Daya Alam yang ada di sekeliling mereka adalah
warisan yangmereka peroleh dari nenek moyang; 2) Mereka merasa perlu untuk
melindungi wilayah dari tindakan destruktif oranglain atau anggota komunitas
lain; 3) Mereka sadar bahwa kondisi hidup mereka dan kehidupan sehari-
harimereka harus dipenuhi oleh mereka sendiri di dalam wilayah yang
merekamiliki.Hal ini sejalan dengan pemikiran Jull yang kemudian
mengidentifikasi adanyaaspirasi yaitu: 1) Adanya perlindungan terhadap
lingkungan yang sama pentingnya denganperlindungan terhadap tradisi budaya
lokal masyarakat; 2) Diperolehnya kesempatan berperan serta dalam lembaga-
lembagapengambilan keputusan; 3) Adanya otonomi sosial dan budaya dalam
masyarakat; 4) Diharapkan pemerintah tidak melahirkan kebijakan-kebijakan
yang opresifdan restriktif.

Dengan demikian, masyarakat hukum adat sebenarnya menginginkan


adanyapilihan untuk melakukan praktik yang mereka kenal yang sesuai
denganaspirasi mereka dan mereka membutuhkan dukungan pemerintah
bagidiselenggarakannya praktik tersebut. Praktik masyarakat hukum adat
umumnyaterdapat di dalam hukum adat mereka maupun tradisi-tradisi
yangmenimbulkan hak. Praktik-praktik itu dijalankan berdasarkan kepentingan
yang 105mereka rasakan atau butuhkan secara turun-temurun, terutama dilakukan
padasetiap saat atas sumber-sumber daya alam di sekitar mereka.

Akibat hukum yang timbul dari pemekaran Kabupaten Maluku


Tenggaraterhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten
MalukuTenggara.Akibat hukum dari pemisahan tersebut adalah sebagian Ohoi
maupun Ratkehilangan Jurisdiksi Perskriptif, Jurisdiksi Ajudikatif, maupun
JurisdiksiPemaksaan/Penegakan di atas wilayah-wilayah yang masuk dalam
wilayahKota Tual, khususnya terhadap sumber daya alam yang terdapat di
dalamnyamaupun terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran di atas
wilayahtersebut. Lebih-Iebih lagi wilayah-wilayah yang masuk dalam Kota
Tualberdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 akan merupakan

32
wilayahyang disengketakan oleh Ohoi maupun Rat sehubungan dengan
pengelolaansumber daya alam di pesisir maupun laut.

UU Kota Tual sebagai pecahan dari Kabupaten Maluku Tenggara telah


membawa dampak bagi kehidupanmasyarakat adat. Akibat terbentuknya undang-
undang tersebut makaKabupaten Maluku Tenggara kini terbagi menjadi dua
bagian yakni KabupatenMaluku Tenggara dan Kota Tual.Dengan terbaginya
Kabupaten Maluku Tenggara menjadi Kabupaten MalukuTenggara dan Kota
Tual, maka kesatuan masyarakat hukum adat Lor Lim(Lim Itel) dan Ur Siw (Siw
Ifaak) ada sebagian yang masuk di wilayahKabupaten Maluku Tenggara, dan
sebagian masuk di wilayah Kota Tual.Mereka yang berada di Iuar tempat
kedudukan kesatuan masyarakat hukuma datnya berdasarkan kebijakan dan
peraturan daerah yang bersangkutanberpotensi untuk membentuk kesatuan
masyarakat hukum adat sendiri.Sehingga induk kesatuan masyarakat hukum adat
akan kehilangan daerahkekuasaan hukum adat dan masyarakat hukum
adat.Potensi untuk membentuk kesatuan masyarakat hukum adat sendiri
tampakpada kejadian-kejadian yang menegasikan eksistensi dan otoritas
Ratschapyang induknya berkedudukan di wilayah administrasi Kabupaten
MalukuTenggara, sedangkan sebagian Ohoi yang dibawahinya yang masuk
wilayahadministrasi Kota Tual.

Dalam keadaan sedemikian, maka hak-hak tradisionalmereka yang akan


terganggu berada di dalam ranah-ranah: kewilayahan 106(geografi) yang
berpengaruh terhadap adanya pengurangan otoritas ataukewenangan dalam
hubungan dengan yurisdiksi preskriptif, yurisdiksi ajudikatif,maupun yurisdiksi
penegakan (enforcement jurisdiction) dari penguasa adat(Ohoi maupun Rat;
dalam hubungan dengan pengelolaan sumber-sumber dayaalam yang berada
dalam petuanan (= ulayat) ohoi dan dengan sendirinyaberada dalam struktur rat
tertentu yang telah ada sejak turun temurun.Hal yang sangat kuat mengedepan
adalah kepatuhan terhadappimpinan ohoi, dan dengan sendirinya adalah juga
kepatuhan dari tiap-tiap ohoidari satu ratschap yang sama terhadap Rat (Raja)-nya
masing-masing.Penyimpangan dari keadaan sedemikian akan menimbulkan

33
ganjalan dalamkehidupan sosial, pemerintahan, kepatuhan terhadap pimpinan di
luar struktur yang telah ada

.Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa keadaan yang sedang terjadi pada
saatini merupakan refleksi kegelisahan dari masyarakat hukum adat di Kepulauan
Kei. Budaya masyarakat hukum adat yang sangat mengental di Kepulauan Keiini,
sangat berbeda dengan budaya masyarakat hukum adat di Kepulauan
Aru,masyarakat hukum adat di Kepulauan Tanimbar dan masyarakat hukum adat
dipulau-pulau di Selatan Daya. Pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara
yangdahulu menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten
KepulauanAru tidak menimbulkan resistensi dari masyarakat hukum adat yang
ada diKepulaan Aru, maupun masyarakat hukum adat di Maluku Tenggara
Barat(yang terdiri dari masyarakat hukum adat Kepulauan Tanimbar, dan
jugamasyarakat hukum adat pulau-pulau Selatan Daya).

Berdasar lingkup kebudayaan sedemikian, termasuk lingkup budaya


hukumyang berbeda-beda satu sama lain, maka geo-etnik atau ada
yangmenyebutkan sosio-kosmik (diistilahkan sebagai adatrechtskringen)
dalampembagian-pembagian yang pernah dikemukakan oleh van Vollenhoven
dandiikuti oleh Ter Haar, sudah harus ditinggalkan, oleh karena tidak
sesuaidengan kenyataan. Masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei merupakan
satukesatuan tersendiri.Selain itu pula pembentukan Kota Tual sebagai kota
administrasi tersendiriberpotensi pada terjadinya konflik sosial diantara
masyarakat hukum adattersebut, yakni dalam hal penentuan batas-batas wilayah
kekuasaannya.

Sebab menurut masyarakat adat Kabupaten Maluku Tenggara


tanahmerupakan harga diri yang harus dipertahankan, jika tidak maka
peperangandan konflik akan menjadi taruhannya.Istilah harga diri yang harus
dipertahankan mengindikasikan adanya ataueksisnya masyarakat hukum adat,
yang dapat dibuktikan melalui strukturpemerintahan hukum adat, sistem
pengelolaan sumber daya alam, berikut tataruang dan tata guna lahan menuruti

34
hukum adat baik di darat maupun di pesisirdan laut, yang disebut Bat-batang,
Fitroa-fitnangan, sistem penegakan hukum.Khusus untuk penegakan hukum
pidana atas perbuatan-perbuatan yang murniperbuatan pidana, maka
penanganannya tetap dilakukan oleh negara.

Tetapi jika perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan perkara


perdata, atauperkara perdata yang bercampur dengan perbuatan pidana, atau hal-
hal yangberkaitan dengan sengketa hak atas tanah, sengketa pengelolaan
wilayah,penyelesaiannya tetap dilakukan melalui hukum adat. Diadilinya Raja
Ibra diPengadilan Negeri Tual saat ini adalah berkaitan dengan laporan pidana
yangdituduhkan kepadanya, karena memiliki kaitan dengan penjualan tanah
untuklapangan terbang. Tetapi sebelum laporan, yang kemudian menjadi
tuntutanpidana, terjadi kasus yang dihadapi oleh Raja lbra ditangani secara
hukumadat. Keberlakuan hukum adat yang kuat tampak juga pada Program
Nasional Agraria (PRONA) beberapa waktu lalu yang tidak banyak
berhasildilaksanakan.Sebagai pembanding dari adanya ketidakhati-hatian
memperhatikan aspeksosial budaya maupun hukum dari masyarakat hukum adat,
tampak pada sikapyang ditunjukkan sebagian masyarakat yang menjadi bagian
dari masyarakathukum adat dari beberapa negeri di Pulau Ambon, yang memiliki
petuanan(= ulayat) di wilayah Tanjung Sial yang terletak di Kabupaten Seram
Bagian Barat, Pulau Seram. Di wilayah ini terdapat dusun Umeputi yang masuk
dalampetuanan dari salah satu negeri di Kecamatan Leihitu Pulau Ambon. Negeri
inisejak dahulu masuk wilayah administrasi Kabupaten Maluku Tengah. Dusun
Umeputi ini hendak dimasukan ke dalam administrasi Kabupaten Seram Bagian
Barat.

Tetapi terdapat penolakan dari masyarakat negeri maupun dusunterhadap


rencana tersebut karena mereka tetap menghendaki berada di bawahadministrasi
Kabupaten Maluku Tengah di Masohi. Pengabaian terhadap aspek-aspek sosial,
ekonomi maupun budaya bahkandalam derajat tertentu “sistem politik” dalam
hukum adat masyarakat hukum adat di Kepulauan Kei, memberi akibat hilangnya
hak-hak konstitusional masyarakathukum adat. Menggunakan pemahaman asas

35
hukum dari Paul Scholten, makamaksud Pasal 18B maupun Pasal 28I UUD 1945
Amandemen Kedua yangmelindungi dan mengakui serta menghormati
masyarakat hukum adat besertahak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai denganperkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesiayang diatur dalam perundang-undangan, adalah merupakan asas yang
berlakuumum dan mengikat ketentuan-ketentuan hukum maupun
keputusankeputusan hukum secara keseluruhan terhadap masyarakat hukum
adat,sehingga dipandang sebagai ketentuan yang memberi perlindungan secara
khusus. Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan juga kehadiran Pasal 27International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasioleh Republik
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, justrusejalan dengan
maksud Pasal 18B maupun Pasal 27 ICCPR (Undang-UndangNomor 12 Tahun
2005), dan lebih spesifik diatur dalam Peraturan DaerahProvinsi Maluku Nomor
14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali NegeriSebagai Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Dalam Lingkungan PemerintahanProvinsi Maluku. Kehadiran
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 justrukontradiktif dengan terhadap
seluruh perundang-undangan tersebut.

Menurut ahli, hadirnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tersebut


justru contralegem terhadap rumusan Pasal 18B dan 28I UUD 1945 Amandemen
Kedua.

1. Asal Usul Dan Terbentuknya Masyarakat Adat Kei

Pada umumnya masyarakat yang ada di Kepulauan Kei, berdomisili


padadesa/dusun yang disebut dengan nama Ohoi, serta mengakui dirinya
adalahmasyarakat adat. Pengakuan ini berdasarkan pada:1. Legenda
SejarahMasyarakat Kei di Maluku Tenggara berdasarkan cerita dari para
Ieluhurmereka bahwa: mereka secara berkelompok datang ke Kepulauan Kei.Para
pendatang tersebut kemudian bergabung dengan masyarakat asli(Tuan Tan atau
Tuan Tanah) yang membentuk Ohoi. Kehidupan yangberdampingan ini terbagi

36
atas marga/fam yang memiliki kepemimpinannyasendiri-sendiri. Kumpulan
marga/faam ini kemudian mendiami wilayah yangkemudian berkembang menjadi
Ohoi (dusun) yang dipimpin Soa, dan jugaOhoi (desa) yang dipimpin orang Kay
serta secara genealogis maupunteritori menggabungkan diri menjadi Ratschap
yang dipimpin Rat.¾ Soa terbentuk atas penyatuan atau pengelompokan
faam/marga padasuatu wiiayah yang disebut Ohoi yang dipimpin oleh Kepala
Soa. 118¾ Ohoi yang dimaksud ini adalah kumpulan masyarakat yang Iebih
besar(Orang Kaya Schap) yang Iangsung dipimpin oleh Orang Kay.¾ Ratschap
adalah kumpulan Ohoi/Orang Kaya Schap secara teritoriyang Iangsung dipimpin
oleh seorang Rat.

2. Secara Yuridis

Pengelompokan masyarakat yang berada di Kepulauan Kay menjadi 3 kelompok


yakni:

a. persekutuan masyarakat yang tergabung dalamkelompok Lor


Lim dengan hukum Ngabal;
b. persekutuan masyarakatyang tergabung dalam kelompok
persekutuan dengan nama Ur Siudengan hukum adatnya
Larwul;
c. Kelompok Persekutuan Baru yaitu LorLobay
(penengah).Penggabungan hukum Larwul dari kelompok siwa
dan hukum Ngabalsebagai hukum adat bersama masyarakat
Kei yakni hukum adat LarwulNgabal (saat ini Larwul-Ngabal
dijadikan sebagai Lambang DaerahKabupaten Maluku
Tenggara).

3. Secara Sosiologis

Secara sosiologis mereka hidup secara berkelompok pada teritori


masingmasing yang dikenal dengan nama Ohoi (Orang Kaya Schap danRatschap).
Pengelompokan ini atas dasar garis keturunan atau hubungankekeluargaan atau

37
berdasarkan kepercayaan dan hukum.4. Secara RealitaSecara realita persekutuan
masyarakat yang berada pada ohoi-ohoitersebut atau gabungan ohoi memiliki
pemerintahan dengan strukturnyasendiri-sendiri serta memiliki fungsi yang secara
umum hampir sama.Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979 telahterjadi penyeragaman nomenklatur Ohoi, Orang Kaya Schap
danRatschap menjadi desa.Mereka yang memimpin baik pada tingkat Saniri, Soa,
Ohoi, Ratschapadalah para pemuka yang berasal dari marga/faam yang secara
stratalebih tinggi.

B. Sistem Hukum Adat Maluku Tenggara

Masyarakat Maluku Tenggara secara umum terikat dalam hukum adat


LarwulNgabal, hal ini terjadi karena landasan filosofis yang dianut mereka adalah
Ain Ni Ain. Seperti diketahui bahwa di Kepulauan Kei terdapat pengelompokan
persekutuan atas 3 (tiga) kelompok yaitu: Kelompok Lor Lim (Pata Lima),
Kelompok Ur Siu (Pata Siwa) dan yang terakhir kelompok Lor Labay. Kelompok
masyarakat yang berada pada wilayah Lor Lim, baik yang berada di Key Besar
maupun Kei Kecil terdiri 9 (sembilan) ratschap yaitu Ratschap Tiflean Mangur,
Ratschap Ohoililim Nangan, Ratshcap Tuvle, Ratschap Yarbadang, Ratschap
Tabab Yanlim, Ratschap Songli, Ratschap Kirkes, Ratschap Lo Ohoitel, Ratschap
Ohoilim Tahit, Ratschap Fau Ohoiwut, Ratschap Ub Ohoifaak. Di dalam
ratschap-ratschap masih terdapat ohoi-ohoi yang secara territorial berada pada
ratschap-ratschap tersebut.Sedangkan pada kelompok Ur Siw terdapat ratschap-
ratschap antara lain: Ratschap Kamear Kur, Ratschap Mantilur, Ratschap Magrib,
Ratschap Famur Danar, Ratschap Disakmas, Ratschap Utan Tel Timur, Ratschap
Utan Tel Barat, Ratschap Mer Ohoinangan, Ratschap Meu Unfit, Ratschap Maur
Ohoiwut.

Seperti halnya pada ratschap-ratschap tersebut juga memiliki ohoiohoi


yang secara teritori juga saling menggabungkan diri.Sedangkan untuk Lor Lobay
atau Penengah terdapat 2 (dua) ratschap yaitu Ratschap Taam di Kepulauan Kei
Kecil dan Ratschap Werka di Kepulauan Kei Besar. Pengelompokan ini terjadi

38
sejak masyarakat yang datang mulai mendiami wilayah Kepulauan Kei berdasar
keterikatan atas hukum adat yang dipegangnya, seperti Lor Lim dengan hukum
adat Ngabal dan Ur Siu dengan Hukum Adat Larwul. Dalam memperluas
pengaruh terjadi peperangan di antara mereka yang berlangsung untuk saling
menguasai atau memperoleh wilayah kekuasaan yang pada akhirnya muncul
kelompok penengah atau kelompok netral (Lor Lobay) yang mampu
mendamaikan dan mempersatukan mereka yang menjadikan hukum yang
dipegang masing-masing sebagai satu kesatuan untuk menyatukan mereka yang
disebut dengan nama LarwulNgabal. Hukum Larwul-Ngabal ini mengatur seluruh
aspek kehidupan masyarakat Kei baik yang bersifat publik maupun keperdataan.
Berdasarkan keterangan berbagai sumber yang diperoleh di lapangan yang
mengatakan bahwa hukum Larwul-Ngabal merupakan cikal bakal atau dasar bagi
terbentuknya hukum-hukum adat yang mengatur tentang saksi, perkawinan, dan
lain-lain.

C. Sistem Pemerintahan Adat

Sistem Pemerintahan Adat di Maluku Tenggara masih memiliki


keterikatan yang sangat kuat dengan adat budaya mereka. Fungsi-fungsi dari
setiap unsur yang terdapat pada sistem Pemerintahan Adat di Maluku Tenggara
dalah sebagai berikut:

1. Rat Sebagai kepala persekutuan antar Ratschap dan Ohoi dengan tugas:
¾ Menyelesaikan masalah-masalah adat pada tingkat Ratschap; ¾ Mengayomi
seluruh warga masyarakat adat yang ada pada wilayah Ratschap; ¾ Sebagai
koordinator dan sekaligus sebagai lambang pemersatu di wilayah Ratschap. Rat
dipilih berdasarkan garis keturunan lurus dari marga yang telah ditentukan atau
yang memiliki strata yang Iebih tinggi, serta memegang jabatan untuk masa
seumur hidup atau sampai dengan tidak mampu menjalankan tugas.

Rat yang karena jabatannya sebagai kepala pemerintahan bertanggung


jawab secara pemerintahan kepada Camat. Sebagai kepala pemerintahan
bertanggung jawab kepada Rapat Besar Kepala Adat (RBKA). Catatan: Tidak ada

39
Raja Di Raja, Tidak ada Raja Membawahi Raja, dan tidak ada Raja Mewakili
Raja yang lainnya.

2. Orang Kay Sebagai kepala persekutuan pada tingkat Orang Kay


Schap/Gabungan Beberapa Ohoi dengan fungsi dan tugas sebagai berikut: ¾
Sebagai Kepala Adat pada tingkat Orang Kay Schap. ¾ Sebagai Kepala
pemerintahan administrasi Iangsung di bawah Camat ¾ Bertindak selaku hakim
pada tingkat Orang Kay Schap dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
muncul yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat Soa atau Saniri. Orang Kay
diangkat dan dipilih oleh masyarakat Ohoi dari marga atau faam yang telah atau
yang memiliki strata yang Iebih tinggi. Untuk masa jabatan sebagai kepala
pemerintahan mengacu kepada ketentuan hukum negara, sedangkan sebagai
kepala adat berlaku seumur hidup.

3. Soa

Soa Merupakan kepala dari persekutuan kepala marga. Soa bertugas


membantu Orang Kay dalam pemerintahan dan adat budaya pada tingkat Ohoi.
Soa dipilih dari marga yang telah ditentukan atau memiliki hak untuk itu yang
tingkatan stratanya dalam masyarakat Iebih tinggi.

4. Saniri

Saniri adalah kepala fam atau marga yang diangkat oleh warga marga
berdasarkan unsur dituakan serta bijaksana. Fungsi Saniri adalah: ¾
Menyelesaikan masalah-masalah adat kemasyarakatan pada tingkat marga atau
faam. ¾ Bersama Kepala Soa membantu Rat/Orang Kay dalam tugas adat dan
kemasyarakatan serta tugas pemerintahan atau administrasi. Disamping unsur-
unsur pemerintahan tersebut di atas masih ada lagi unsur lain yang turut berperan
dalam sistem pemerintahan adat Kei, antara lain:

40
1. Tuan Tan

Tuan Tan adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang lebih baik
tentang seluk beluk menyangkut dengan tanah-tanah yang dimiliki Ohoi. Fungsi
Tuan Tan adalah: ¾ Membantu memberikan informasi kepada Orang Kay atau
Rat menyangkut dengan masalah tanah di petuanan Ohoi atau Ratschap. ¾
Membantu Orang Kay atau Rat dalam menyelesaikan kasus kepemilikan tanah,
baik oleh warga masyarakat maupun antar Ohoi. ¾ Memiliki fungsi religius magis
dengan lingkungan hidup pada wilayah lainnya.

2. Marin

Berperan sebagai jembatan informasi atau penyampai berita yang berasal


dari Rat/Orang Kay/Soa. Pada wilayah-wilayah Ratschap/Ohoi tertentu, Marin ini
sudah hampir punah atau artinya sudah kurang difungsikan lagi.

3. Juru Tulis

Juru Tulis adalah orang yang diangkat pada tingkat Ratschap


maupun Ohoi dengan tugas membantu Rat/Orang Kay yang dianggap
mampu dalam mengelola administrasi pemerintahan (cakap menulis dan
membaca). Di samping yang disebutkan di atas masih ada lagi jabatan-
jabatan lain seperti Kapitan, Mituduan, dan Hawaerduan. Ketiga jabatan
ini berdasarkan data lapangan berfungsi manakala ada upacara-upacara
adat semata.

D. Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Dalam persekutuan masyarakat adat Kabupaten Maluku Tenggara


berdasarkan kondisi lapangan yang ditemukan bahwa pengakuan tentang
hak atas wilayah (tanah atau laut) secara adat budaya masih diakui dan
masih dihormati. Bentuk penguasaan wilayah adat hanya diakui
berdasarkan batasbatas alam, pengakuan sejarah yang sampai saat ini
masih berlaku baik di wilayah darat maupun wilayah laut dalam Iingkup

41
Ratschap, Orang Kay Schap, Ohoi maupun Soa. Konsep pengelolaan darat
sepenuhnya diserahkan kepada penguasaan individu/marga/ohoi.
Sedangkan konsep pengelolaan wilayah laut diletakkan pada konsep
pengelolaan bersama oleh masyarakat Ohoi dengan mengacu pada aturan-
aturan adat atau keputusan-keputusan adat tentang bentuk dan jenis
sumber daya alam yang dikelola.

Berdasarkan temuan yang ada bahwa sampai dengan saat ini, pola
penguasaan hak ulayat masih diletakkan pada masyarakat adat baik secara
individu maupun secara kelompok (Ohoi), dan tidak ada pengambilalihan
oleh pihak pemerintah.V. Penyelesaian SengketaDalam menyelesaiakan
sengketa yang muncul dalam masyarakat adat Maluku Tenggara, masih
digunakan pendekatan adat oleh masyarakat di Kepulauan Kei. Bentuk
penyelesaian sengketa-sengketa adat oleh masyarakat Adat Kei Iebih
banyak bertumpuk pada masalah tanah dan masalah pelanggaran
kesusilaan. Masalah atau sengketa yang muncul diatur dan diselesaikan
dengan merujuk pada hukum Larwul Ngabal. Hukum Larwul dikenal oleh
masyarakat Kei sebagai kaidah yang berhubungan dengan hukum pidana,
sedangkan hukum Ngabal merupakan cermin dari kaidah hukum perdata.
Adapun tindakan penyelesaiannya atau kewenangan peradilan adat
dilakukan secara berjenjang dan dapat digambarkan sebagai berikut: ¾
Penyelesaian Tingkat Saniri Saniri menyelesaikan sengketa di dalam
tingkat marga/faam dengan mendengar keterangan kedua belah pihak yang
bersengketa.

Apabila masalah ini dapat diselesaikan, maka keputusan Saniri


bersifat final, sedangkan kalau tidak dapat diselesaikan maka masalah ini
ditingkatkan di tingkat Soa. ¾ Penyelesaian Tingkat Soa Penyelesaian
sengketa pada tingkat Soa ini adalah kelanjutan dari sengketa yang tidak
dapat diselesaikan pada tingkat Saniri. Di mana Saniri dan pihak-pihak
yang bersengketa didengar keterangannya, dan apabila dapat diselesaikan
oleh Kepala Soa, maka keputusannya bersifat final dan mengikat. Bila

42
tidak dapat diselesaikan, maka perkara tersebut ditingkatkan ke tingkat
Ohoi (Orang Kay). ¾ Penyelesaian Tingkat Ohoi/ Orang Kay.

Pada tingkat ini, Orang Kay bersama-sama dengan Kepala Soa dan
Saniri selaku pemangku adat dapat mengambil keputusan langsung setelah
mendengar keterangan dari Soa dan Saniri yang menangani sengketa
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, sampai saat ini, belum ada
kasus yang tidak dapat diselesaikan setelah ada putusan Ohoi/Orang Kay.
¾ Penyelesaian Tingkat Ratschap/Rat Penyelesaian pada tingkat ini,
apabila terjadi sengketa antar Ohoi yang tidak bisa diselesaikan secara
internal Ohoi yang bersengketa. Oleh Rat semua Orang Kay yang
memiliki kewenangan adat diundang dalam Rapat Besar Kepala Adat
(RBKA) untuk mendengar keterangan dan mempelajari bukti-bukti yang
disampaikan oleh masing-masing Ohoi yang bersengketa, dan dari bukti-
bukti tersebut, barulah diambil keputusan adat oleh Rat.

Keputusan pada tingkat ini merupakan keputusan final dan


mengikat para Ohoi yang bersengketa. Sampai dengan saat ini,
perkara/sengketa masih tetap dapat diselesaikan dengan cara adat, namun
telah terjadi perubahan dalam bentuk dan besarnya sanksi. Contoh:
Hukuman badan dapat diganti dengan denda, denda benda-benda dapat
diganti dengan nilai uang. Berdasarkan kondisi lapangan ditemukan juga
perubahan-perubahan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh warga
masyarakat dengan cara berperkara ke pengadilan umum. Dari kondisi
lapangan juga ditemukan bahwa Ratschap Lo Lobay tidak memiliki daerah
petuanan atau ohoi-ohoi di bawahnya seperti Ratschap yang ada pada Lor
Lim dan Ur Siu. Tidak semua Ohoi terdapat Rat, hanya Ohoi yang menjadi
pusat pemerintahan Ratschap. Demikian pula Ohoi tersebut juga terdapat
Orang Kay Menyangkut Proses Pemekaran Kota Tual Bahwa pemekaran
Kota Tual bukan serta-merta atau tiba-tiba lahir tanpa sebuah proses. Pada
tahun 1997 ada Keputusan DPRD Provinsi Maluku terhadappemekaran
wilayah di Provinsi Maluku, yang di dalamnya Kota Tual masuk dalam

43
agenda pemekaran, dan ini menjadi Renstra Gubernur Provinsi Maluku.
Mengingat situasi dan kondisi sosial politik di Maluku khususnya Maluku
Tenggara, maka proses pemekaran daerah di Provinsi Maluku sampai
tahun 2004 yang terealisasi adalah Kabupaten Maluku Tenggara Barat,
Kabupaten Pulau Buru,Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram
Bagian Barat dan Kabupaten Seram Bagian Timur.

Sedangkan Kota Tual tidak jadi dimekarkan karena kekuatan


politik pada saat itu sedang bertarung memperebutkan kursi Bupati.Proses
pemekaran Kota Tual sendiri sudah menjadi hak usul inisiatif DPR periode
1999 – 2004 tepatnya pada tahun 2003. Pada saat itu ahli sebagai Anggota
Komisi II DPR yang sekaligus sebagai Putra Daerah Maluku Tenggara
merasa terpanggil untuk memajukan daerah ahli yang masih tertinggal dan
karena adanya aspirasi masyarakat dan dukungan Pemerintah Daerah dan
DPRD sebagai representasi dari masyarakat Maluku Tenggara melalui
Keputusan DPRD Maluku Tenggara Nomor 135/KEP/17/2002 tentang
Persetujuan Pembentukan Kota Tual, dan Surat Rekomendasi DPRD
Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 07/DPRD.II.MT/II/1999 tentang
Perjuangan Pembentukan Kota Tual, maka diajukan hak usul inisiatif yang
ditandatangani oleh 25 Anggota DPR yang terdiri dari semua Unsur Fraksi
tentang Usul Inisiatif DPR mengenai RUU tentang Kota Tual.11

2.4 ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 31/PUU-


V/2007

Putusan MK No. 31/PUU-V/2007 adalah putusan Mahkamah Konstitusi


atas permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan uji materiil ini diajukan
oleh 3 pemohon bersama-sama, yakni Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Lor

11
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 31/PUU/2007

44
Lim (Lim Itel), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Ratschap Dullah, dan
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Ratschap Lo Ohoitel.

Melalui Putusan No. 31/PUU-V/2007 ini, MK menganulir beberapa pasal


bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual
Di Provinsi Maluku baik formil dan/atau materiilnya bertentangan dengan Pasal
18 ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945, Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua
UUD 1945, Pasal 20 ayat (1) Perubahan Kesatu UUD 1945, dan Pasal 22A
Perubahan Kedua UUD 1945.

A. Formil

1. Pasal 18 ayat (1) Perubahan Kedua UUD 1945 berbunyi, “Negara


Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur
dalam undangundang “.
1. Pasal 22A Perubahan Kedua UUD 1945 dan Pasal 20 ayat (1) Perubahan
Kesatu UUD 1945. Pasal 22A Perubahan Kedua UUD 1945 berbunyi,
“Ketentuan lebih lanjut tentang cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang ”.
2. Pasal 20 ayat (1) Perubahan Kesatu UUD 1945 berbunyi, “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang “.

B. Materil

1. Bahwa Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945 menentukan
bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang “.

45
2. Bahwa latar belakang maksud dan tujuan dimasukkannya Pasal 18B ayat
(2) ke dalam UUD 1945 oleh pembuat konstitusi adalah merupakan
pengakuan dan penghormatan negara karena Negara Kesatuan Republik
Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau dan bermacam-macam suku
bangsa, yang masing-masing suku bangsa memiliki kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
3. Bahwa dengan disahkan dan diundangkan berlakunya UU Kota Tual,
maka Kabupaten Maluku Tenggara dimekarkan menjadi Kabupaten
Maluku Tenggara dan Kota Tual dengan cakupan wilayah dan batas-batas
wilayah sebagaimana diatur dalam Bab II Bagian Kesatu Pasal 2, Bagian
Kedua Pasal 3, Pasal 4 dan Bagian Ketiga Pasal 5, dan Pasal 6 UU Kota
Tual. Pasal 2 UU Kota Tual berbunyi, “Dengan undang-undang ini
dibentuk Kota Tual di wilayah Provinsi Maluku dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.

Pasal 3 UU Kota Tual berbunyi:

1) “Kota Tual berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Maluku Tenggara


yang terdiri atas cakupan wilayah:
a. Kecamatan Dullah Utara;
b. Kecamatan Dullah Selatan;
c. Kecamatan Pulau Tayando Tam, dan
d. Kecamatan Pulau-Pulau Kur.

2) Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan


dalam peta wilayah yang tercantum dalam lampiran dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini”.

Pasal 4 UU Kota Tual berbunyi, “Dengan terbentuknya Kota Tual,


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, wilayah Kabupaten Maluku Tenggara
dikurangi dengan wilayah Kota Tual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 “.

Pasal 5 UU Kota Tual berbunyi:

46
1) ” Kota Tual mempunyai batas-batas wilayah:
a. sebelah utara berbatasan dengan Laut Banda;
b. sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tenggara di
Selat Nerong;
c. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau-Pulau Kei
Kecil Kabupaten Maluku Tenggara dan Laut Arafura; dan
d. sebelah barat berbatasan dengan Laut Banda.
2) Batas wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam
peta wilayah yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-
undang ini.
3) Penegasan batas wilayah Kota Tual secara pasti di lapangan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
paling lama 5 (lima) tahun sejak diresmikannya Kota Tual”.

Pasal 6 UU Kota Tual berbunyi:

2) ”Dengan terbentuknya Kota Tual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,


Pemerintah Kota Tual menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
3) Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tual sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku
serta memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota di
sekitarnya”.

Dengan disahkan dan diundangkan berlakunya UU Kota Tual yang


membagi Kabupaten Maluku Tenggara menjadi Kabupaten Maluku Tenggara dan
Kota Tual telah menimbulkan kerugian bagi para Pemohon karena
terbagi/terpecahnya masyarakat hukum adat dan wilayah kekuasaan hukum adat
para Pemohon, yaitu:

 Daerah kekuasaan adat dan masyarakat hukum adat Pemohon I, Ratschap


Tual terdiri dari 4 (empat) desa, yaitu Desa Tual, Desa Taar, Desa

47
Ohoidertavun, Desa Ohoililir dan 3 (tiga) dusun, yaitu Dusun Mangon,
Dusun Pulau Ut , Dusun Fair. Desa Tual dan Desa Taar, Dusun Mangon,
Dusun Pulau Ut dan Dusun Fair masuk dalam wilayah Kota Tual,
sedangkan Desa Ohoidertavun dan Desa Ohoililir masuk dalam wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara. Ratschap Yarbadang, terdiri dari 9
(sembilan) desa, yaitu Desa Tetoat, Desa Letvuan, Desa Wab, Desa
Waurvut, Desa Evu, Desa Dian Pulau, Desa Tayando Yamru, Desa
Tayando Yamtel, Desa Tayando Ohoiel, dan 6 (enam) dusun, yaitu Dusun
Dian Darat, Dusun Ngursit, Dusun Madwat, Dusun Ohoibadar, Dusun
Wab Watngil, Dusun Arso. Desa Tayando Yamru, Desa Tayando Yamtel,
Desa Tayando Ohoiel masuk dalam wilayah Kota Tual, sedangkan Desa
Tetoat, Desa Letvuan, Desa Wab, Desa Waurvut, Desa Evu, Desa Dian
Pulau, Dusun Dian Darat, Dusun Ngursit, Dusun Madwat, Dusun
Ohoibadar, Dusun Wab Watngil dan Dusun Arso masuk dalam wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara.
 Daerah kekuasaan Pemohon II, Ratschap Lo Ohoitel yaitu wilayah Laut di
Selat Nerong sebagian masuk dalam wilayah Kota Tual dan sebagian lagi
masuk dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara.
 Daerah kekuasaan adat dan masyarakat hukum adat Pemohon III,
 Ratschap Dullah yang terdiri dari 9 (sembilan) desa, yaitu Desa Dullah,
Desa Warbal, Desa Dullah Laut, Desa Letman, Desa Tamedan, Desa
Labetawi, Desa Ngadi, Desa Fiditan, Desa Tayando Langgiar, dan 2 (dua)
dusun, yaitu Dusun Sidniohoi, Dusun Dudunwahan. Desa Dullah, Desa
Dullah Laut, Desa Tamedan, Desa Labetawi, Desa Ngadi, Desa Fiditan,
Desa Tayando Langgiar masuk dalam wilayah Kota Tual, sedangkan Desa
Warbal, Desa Letman, Dusun Sidniohoi dan Dusun Dudunwahan masuk
dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara. Dengan terjadinya
pemekaran Kabupaten Maluku Tenggara menjadi Kabupaten Maluku
Tenggara dan Kota Tual, masyarakat hukum adat para Pemohon yang
berada di luar tempat kedudukan para Pemohon berpotensi untuk

48
membentuk kesatuan masyarakat hukum adat sendiri lepas dari daerah
kekuasaan adat dan masyarakat adat para Pemohon.

Dengan demikian negara telah tidak mengakui dan menghormati kesatuan


masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya (in casu Masyarakat Hukum
Adat para Pemohon). Oleh karenanya, Bab II Bagian Kesatu Pasal 2, Bagian
Kedua Pasal 3, Pasal 4 dan Bagian Ketiga Pasal 5, dan Pasal 6 UU Kota Tual
bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945. Bahwa
selain itu terdapat kontradiksi antara Pasal 3 tentang cakupan Wilayah dan Pasal 5
tentang Batas Wilayah dengan Lampiran Peta Wilayah Kota Tual yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU Kota Tual.

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU Kota Tual berasal dari sebagian wilayah
Kabupaten Maluku Tenggara, mencakup 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan
Dullah Utara, Kecamatan Dullah Selatan, Kecamatan PulauPulau Tayando-Tam
dan Kecamatan Pulau-Pulau Kur, dan berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Kota Tual
mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda;


 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tenggara di
Selat Nerong;
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau-Pulau Kei
Kecil Kabupaten Maluku Tenggara dan Laut Arafura; dan
 Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda.

Akan tetapi berdasarkan Peta Wilayah yang tercantum dalam lampiran dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU Kota Tual, Wilayah Kota Tual
mencakup 7 (tujuh) kecamatan yaitu Kecamatan Dullah Utara, Kecamatan Dullah
Selatan, Kecamatan Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Timur, Kecamatan Kei Kecil
Barat, Kecamatan Pulau-Pulau Tayando-Tam dan Kecamatan Pulau-Pulau Kur,
dengan batas-batas sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda;

49
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tenggara di
Selat Nerong;
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Arafura; dan
 Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda.

Membuktikan bahwa pembentukan UU Kota Tual dilakukan secara


tergesagesa dan tanpa kajian mendalam dan komprehensif.

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah dijelaskan sebagaimana


tersebut di atas, terbukti menurut hukum bahwa UU Kota Tual baik secara formil
maupun materiil bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) Perubahan Kedua UUD
1945, Pasal 18B ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945, Pasal 20 ayat (1)
Perubahan Kesatu UUD 1945, dan Pasal 22A Perubahan Kedua UUD 1945.

Terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh kesatuan masyarakat


hukum adat tersebut, Berkaitan dengan syarat-syarat pengakuan keberadaan suatu
kesatuan masyarakat hukum adat, maka perlu juga dirujuk syarat-syarat tersebut
sebagaimana yang diatur dalam pasal 18B ayat 2 UUD 1945, yang jika didasarkan
pada pendapat MK sebagaimana yang tertuang dalam putusan MK No. 31/PUU-
V/2007, syarat-syarat tersebut dapat dijabarkan menjadi 10 unsur kumulatif, yakni

1. Kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan adalah


kesatuanmasyarakat hukum adat yang eksistensinya telah ada sejak jaman
nenek moyangdan berhasil mempertahankan eksistensinya tersebut hingga
kini tanpaterputus;
2. Warga anggotanya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
3. Memiliki pranata pemerintahan adat;
4. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
5. Memiliki perangkat norma hukum adat;
6. Khusus untuk kesatuan masyarakat hukum adat berjenis teritorial,
memilikiwilayah tertentu.

50
7. Substansi hak-hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat
tersebutdiakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang
bersangkutanmaupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan
dengan hak-hakasasi manusia.
8. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI
9. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
10. Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya tersebut telah diakui berdasarkan UU ataupun Peraturan
Daerah (Perda).

Berdasarkan kesepuluh syarat di atas, maka dapat dikatakan bahwa syarat-


syarat yang ada dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku tidak tercakup dalam ke-10 unsur
dalam pasal 18B ayat 2 UUD 945 yang dipaparkan oleh MK dalam putusannya
No. 31/PUU-V/2007 sebagaimana dijabarkan di atas. Sehingga, bisa dikatakan
bahwa syarat agar suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat diakui
keberadaannya terkait dengan hak masyarakat hukum adat, maka kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut harus memenuhi secara kumulatif kesepuluh
syarat tersebut di atas.

Berdasarkan seluruh penjabaran di atas, ada beberapa poin penting yang


bisa diambil terkait hak masyarakat hukum adat atas tanah sebagaimana yang
diatur dalam Putusan MK No. 31/PUU-V/2007. Poin-poin penting tersebut adalah
sebagai berikut:

a. Pertama, putusan MK No. 31/PUU-V/2007 adalah sebuah putusan


yang menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan UUD 1945;.

51
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan
Kota Tual di Provinsi Maluku tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat; dan/atau; materi muatan Bab II Bagian Kesatu Pasal 2,
Bagian Kedua Pasal 3, Pasal 4 dan Bagian Ketiga Pasal 5, dan
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku bertentangan dengan
UUD 1945; Bab II Bagian Kesatu Pasal 2, Bagian Kedua Pasal 3,
Pasal 4 dan Bagian Ketiga Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi
Maluku tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adanya prasyarat sebagaimana di atas tentu akan menjadi sebuah kesulitan


tersendiri bagi suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk mendapatkan hak
mereka atas tanah. Hal ini dikarenakan akan sangat sedikit kesatuan masyarakat
hukum adat yang dapat memenuhi kesepuluh unsur prasyarat tersebut. Semisal
mengenai unsur prasyarat nomor 9, yakni bahwa Substansi norma hukum adatnya
sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
tentu saja cukup sulit untuk dipenuhi, Karena dalam Putusan ini sudah jelas
bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual
di Provinsi Maluku bertentangan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD
1945. Hal ini mengingat adanya pasal-pasal yang tidak terpeuhi oleh Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi
Maluku.

2. Peran Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan perlindungan hukum masyarakat


hukum adat atas hutan adat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-
V/2007.

Sebagai pengabaian terhadap hak adat dan/atau hak konstitusional


masyarakat hukum adat berkenaan dengan dibentuknya Kota Tual sebagai
pemekaran dari Kabupaten Maluku Tenggara adalah tidak benar. Maksud dari
pembentukan Kota Tual adalah untuk lebih mensejahterakan dan memberdayakan

52
masyarakat adat dan masyarakat pada umumnya. Diharapkan Kota Tual lebih
dimasa yang akan datang akan menjadi growth center pusat pengembangan
ekonomi kelautan untuk Kabupaten Maluku Tenggara. Pada dasarnya wilayah
kekuasaan adat dan/atau hak ulayat di Provinsi Maluku, termasuk di Kabupaten
Maluku Tenggara, tidak selalu sama dan sebangun dengan kewenangan
pemerintahan daerah. Sehingga, pembentukan Kota Tual sebagai DOB tidak
membagi/memecah kesatuan masyarakat hukum adat.

Sesuai amanat pasal 18B UUD 1945 bahwa keberadaan masyarakat


hukum adat diakui dengan prasyarat yaitu sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Pengakuan bersyarat oleh UUD 1945
menunjukan bahwa oleh hukum nasional indonesia keberadaan masyarakat
hukum adat diakui dan dilindungi. secara filosofis pengakuan dan penghormatan
Negara terhadap masyarakat hukum adat mencakup 3 (tiga) hal yaitu: keberadaan
masyarakat hukum adat, keberadaan lembaga/institusi yang ada dalam masyarakat
hukum adat dan keberadaan aturan/norma hukum adat dalam kehidupan
masyarakat hukum adat. Bentuk pengakuan dan penghormatan Negara terhadap
masyarakat hukum adat di indonesia dapat ditelusuri dari ketentuan-ketentuan
yang ada dalam UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, dan Peraturan
Pemerintah.

Secara filosofis, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat


hukum adat juga mengandung makna bahwa Negara juga harus mengakui dan
menghormati keberadaan masyarakat hukum adat. Hukum adat yang ada, hidup,
tumbuh, dan berkembang di Indonesia bersifat luwes, fleksibel dan sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila. Pembukaan UUD 1945 memuat pokok-pokok pikiran yang
menjiwai sistem hukum nasional yang terdiri atas unsure hukum tertulis, hukum
tidak tertulis (hukum adat) dan hukum agama. Hukum adat sebagai wujud
kebudayaan rakyat indonesia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup
di kalangan rakyat dan mencerminkan kepribadian masyarakat dan bangsa
Indonesia. Secara filosofis, pengakuan dan penghormatan tersebut merupakan

53
penghargaan dari Negara terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia,
nilai kebersamaan dan nilai keadilan.

Secara yuridis, ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional


bagi arah politik hukum pengakuan dan penghormatan hak-hak tradisional
masyarakat hukum adat atas hak sumber daya alam.Hubungan antara masyarakat
adat dengan sumberdaya alamnya atau hak ulayat merupakan kondisi konstitutif
bagi eksistensi masyarakat adat. Hubungan antara masyarakat dengan tanah atau
sumberdaya alamnya merupakan inti dari konsep ulayat. Konsep ulayat lahir dari
hak alamiah (natural rights), kemudian dalam negara modern atau negara
demokratis konstitusional, ulayat sebagai natural rights itu dikonversi menjadi
natural law di dalam hukum positif. Tidak semua negara yang mengadopsi konsep
ulayat di dalam hukum positifnya. Adopsi ulayat sebagai hak dalam hukum positif
merupakan suatu upaya mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk
menata kehidupan (secondary rules) dengan hukum asli yang ada di dalam
komunitas masyarakat (primary rules). Dengan demikian pengakuan bersyarat
keberadaan masyarakat adat melalui perda sebagaimana dimandatkan undang-
undang masih tetap berlaku. Mahkamah konstitusi sepertinya lupa
mempertimbangkan bahwa realitas politik local pengakuan melalui perda sangat
berat dan memerlukan biaya politik yang tidak muruh. Pengakuan hukum
mestinya cukup melalui keputusan kepala daerah provinsi/kabupaten/kota.

Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya perda pengakuan masyarakat


adat di daerah disebabkan masih minimnya keinginan politik pemerintah daerah
untuk mengakui keberadaan masyarakat adat dan menganggap bahwa pengakuan
masyarakat adat belum menjadi hal yang urgent dan prioritas. Faktor lain juga
seringkali timbul dari adanya tarik menarik kepentingan antara korporasi dengan
pemerintah daerah dan masyarakat adat. Ada “kekhawatiran” dengan diakuinya
masyarakat adat akan meningkatkan perlawanan masyarakat adat kepada
perusahaan kepada perusahaan yang berada di atas wilayah adat, sehingga
dianggap akan menyebabkan terhambatnya iklim investasi di daerah.

54
Disisi lain desakan dari gerakan masyarakat adat masih melakukan
advokasi pengakuan masyarakat adat melalui perda. Sebagian masyarakat adat
masih kurang terorganisis dengan baik dalam memperjuangkan perda. Dari segi
proses, pembahasan rancangan perda membutuhkan waktu yang cukup lama. Dari
mulai proses advokasi mengusulkan masuk ke prolegda, penyusunan dan
pembahasan hingga pengesahan rancangan perda menjadi perda memerlukan
waktu sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun. 12

A. Pertimbangan Hukum dalam Putusan

Pembuktian yang diminta dalam perma tersebut, sebelumnya sudah


merupakan isi dari Pasal 18B UUD 1945 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Selain itu pembuktian
hukum MHA sudah terjadi di MK tahun 2007, yaitu dalam pertimbangan hukum
Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 yang intinya memberikan penafsiran terhadap
Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 41 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berkenaan dengan ada atau
tidaknya kedudukan hukum MHA[3], yaitu:

Suatu kesatuan masyarakat hukum ada secara de facto masih hidup (actual
existence), baik yang bersifat teritorial, geneologis, maupun yang bersifat
fungsional, setidaknya-tidaknya mengandung unsur-unsur:

a. Adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-


group feeling);
b. Adanya pranata pemerintahan adat;
c. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
d. Adanya perangkat norma hukum adat; dan
e. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga
terdapat unsur adanya wilayah tertentu. Suatu kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan

12
Ibid, hlm 1 - 172

55
perkembangan masyarakat apabila kesatuan masyarakat hukum adat
tersebut,

Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku


sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam
masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat
sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam
peraturan daerah; Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh
warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih
luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya


sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Masyarakat Indonesia apabila kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut tidak menggangu eksistensi Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu: a.
Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan
Republik Indonesia; b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam pertimbangannya, Hakim Anggota II menilai kedudukan MHA


harus dibuktikan secara hukum, yaitu dalam bentuk peraturan daerah. Jika sudah
terbukti secara hukum, maka baru akan masuk pada aspek kepentingan.
Pembuktian secara hukum tersebut, merujuk pada ketentuan Pasal 67 ayat (1) dan
(2) beserta penjelasan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam pasal tersebut mengharuskan adanya pengukuhan MHA dalam peraturan
daerah (perda), yang didahului dengan penelitian dari para pakar hukum adat,
aspirasi masyarakat adat setempat dan tokoh masyarakat adat yang ada didaerah
setempat, dan instansi/pihak lain yang terkait.

B. Pembuktian Kedudukan Hukum MHA

Kedudukan hukum MHA dalam mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 1 angka
4 dalam Perma Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara Dalam Sengketa

56
Penetapan Lokasi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pada Peradilan Tata
Usaha Negara, yang berbunyi:

Penggugat adalah Pihak yang Berhak terdiri atas perseorangan, badan hukum,
badan sosial, badan keagamaan, atau instansi pemerintah yang memiliki atau
menguasai Objek Pengadaan Tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, yang meliputi:

1. Masyarakat hukum adat;

Sedangkan tata cara mengajukan gugatan di PTUN, diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf a angka 4, yang berbunyi: Dalam hal masyarakat hukum adat: bukti bahwa
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;

Berdasarkan aturan tersebut, maka MHA harus membuktikan terlebih


dahulu kedudukan hukumnya yaitu: a. Kesatuan MHA tersebut masih hidup; b.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan; c. Sesuai Prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Rujukan kedudukan
hukum MHA dalam gugatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, harus
melihat pada Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan Pasal 22
Perpres Nomor 71 Tahun 2012, MHA sebagai pihak yang berhak atas objek
pengadaan tanah, harus memenuhi syarat tertentu. Setelah syarat tertentu tersebut
telah terpenuhi, selanjutnya akan dilakukan penelitian dan ditetapkan dengan
perda setempat, sebagai pengakuan kedudukan hukum MHA tersebut.

Berdasarkan klausul demikian, terdapat 2 (dua) skema pembuktian


kedudukan hukum MHA yang dapat terjadi dalam pengajuan gugatan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum yaitu: pertama, MHA yang diakui dengan perda

57
setempat dan kedua, MHA yang tidak diakui namun ingin mengajukan gugatan.
Terhadap MHA yang sudah diakui dalam bentuk perda setempat tentu akan sangat
mudah diterima kedudukan hukum penggugatnya, karena keberadaan perda
tersebut merupakan bentuk pengakuan MHA berdasarkan Pasal 22 Perpres 71
Tahun 2012.

Terhadap MHA yang tidak diakui, namun ingin mengajukan gugatan


paling tidak harus menguraikan ketiga klausul dalam Putusan MK Nomor
31/PUU-V/2007 yang sudah disebutkan diatas dalam mengajukan gugatan,
dengan pengecualian atas klausul “keberadaanya telah diakui berdasarkan
undang-undang yang berlaku.” Hal ini dilakukan dengan dasar pertimbangan
bahwa klausul dalam perma tersebut sesuai dengan isi dalam Pasal 18B UUD NRI
1945 dan perma tidak menjelaskan lebih teknis bagaimana MHA harus melakukan
pembuktian.

Selain itu pengakuan MAH yang diharuskan dengan ketentuan produk


hukum negara berupa perda, menimbulkan kondisi timpang antara MHA dan
Negara, karena dalam perpres tersebut juga tidak mengatur pelibatan MHA dalam
proses penelitian. Maka, bagi MHA yang tidak diakui dalam perda dapat
melakukan “identifikasi diri sendiri”[5] dalam pengajuan gugatan. Hal ini didasari
bahwa dalam perpres tersebut tidak mengatur adanya MHA yang akan
mengajukan diri untuk ditetapkan dengan perda. Identifikasi diri tersebut diajukan
dengan klausul yaitu:

1. Klausul Indikator Pengakuan MHA

Kesatuan MHA tersebut masih hidup;

a. Masyarakat yang memiliki perasaan kelompok Dapat berupa daftar nama


masyarakat sebagai bagian dari MHA tersebut.
b. Pranata pemerintahan adat; Struktur pemerintahan adat.
c. Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;

58
d. Perangkat norma hukum adat; dan Aturan-aturan yang berlaku dalam
MHA tersebut, yang dituangkan dalam tulisan.
e. Masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya
wilayah tertentu.

2. Teritorial tersebut menjadi wilayah lingkungan hidup dan penghidupan


kebutuhan bagi MHA.

Sesuai dengan perkembangan masyarakat dan; Substansi hak-hak tradisional


tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan
maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak
asasi manusia.

Sesuai Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang.

a. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara


Kesatuan Republik Indonesia;

Keberadaan MHA tidak bertujuan menjadi gerakan yang mengancam kekuasaan


negara.

b. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan.

Identifikasi diri sendiri ini penting dilakukan MHA dalam proses


pengajuan gugatan, karena tidak dikenal proses dismissal dan pemeriksaan
persiapan. Sehingga, ketika MHA sudah mampu membuktikan sesuai dengan
klausul dan indikator, pembuktian kedudukan hukum MHA selanjutnya dapat
dibuktikan lebih lanjut dalam persidangan. Selain itu keterbatasan pengakuan
MHA juga terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor
52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat. Permendagri ini juga menjadi batu sandungan bagi MHA untuk

59
membuktikan dirinya, karena pengakuan MHA diatur oleh pemerintah daerah
melalui Keputusan Kepala Daerah setempat.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menilai MHA sebagai penggugat


tidak memiliki kedudukan hukum untuk menggugat, karenakan sampai pada
pembuktian terakhir, penggugat tidak dapat membuktikan pengakuan sebagai
MHA, berupa Keputusan Kepala Daerah setempat berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sehingga, kendala pengakuan secara
hukum oleh negara tentu perlu dijawab dengan “identifikasi diri sendiri” oleh
MHA sangat mungkin diwujudkan dalam gugatan Sengketa Penetapan Lokasi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

60
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas, sebagai penutup dari penulisan makalah ini dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengakuan eksistensi tanah ulayat diakui dalam ketentuan beberapa
peraturan perundangan sepanjang eksistensinya masih ada;
2) Lembaga adat dapat memberikan rekomendasi atas tanah untuk setiap
pengolaan tanah agar keberadaan dan perlindungan terhadap hak ulayat
dan masyarakat hukum adat dapat memberikan keadilan, kepastian hukum,
perlindungan hukum bagi masyarakat adat dengan dibuat peraturan khusus
bagi keperluan masyarakat daerah tersebut dalam penyelesaian sengketa
tanah ulayat dengan demikian dapat mengakomodasi keanekaragaman
ketentuan hukum adat setempat yang merupakan bagian hukum tanah
nasional;
3) Bahwa dalam pembentukan peraturan Per Undang-Undangan tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945
4) Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara gugatan
tersebut dirasa sudah benar karena dasar-dasar pembuktian jelas dan tanpa
adanya tekana atau intervensi pihak mana pun.

61
SARAN

1) Peran pemerintah daerah adalah sebagai fasilitator, koordinator dan


pembuat kebijakan berkenan dengan eksistensi tanah ulayat diperlukan
pemahaman yang konsepsional yang benar dengan memperhatikan
sinkronisasinya dengan peraturanperaturan yang lebih tinggi;
2) Tanah ulayat harus didaftarkan sesuai dengan tata guna tanah dan tata
ruang wilayah sehingga menimbulkan rasa, mantap dan aman yang
memberikan kepastian hukum terhadap tanah ulayat masyarakat hukum
adat. Dengan prinsip penghormatan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip
negara hukum. Dalam hal atas tanah yang dilepaskan untuk keperluan
investor (HGU) maka pada saat habis masa berlakunya, maka tanah
tersebut kembali menjadi tanah ulayat;

62
DAFTAR PUSTAKA

Surojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung


Agung, 1983.

Putusan Pengadilan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007

Maria S.W. Sumardjono, 2010, Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit


BagianHukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
(selanjutnya disebut MariaS.W. Sumardjono III),

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
PelaksanaannyaJilid I, Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Djambatan, 1999,

Emil Kleden, 2006, “Masyarakat Adat, Demokrasi Dan Otonomi Masyarakat


Hukum Adat”, Makalah dalam Masyarakat Hukum Adat, Kerjasama Komnas
HAM dan UNDP, Jakarta,

Bedner, Adrian dan Ward Berenschot, “Tantangan bagi Pengakuan Hak Atas
Tanah Komunal diIndonesia : Sebuah Pengantar”, Dalam Van Vollenhoven
Institue dan Bappenas. Masa Depan Hakhak Komunal atas Tanah : Beberapa
Gagasan untuk Pengakuan Hukum, 2010,

I Ketut Sudantra, 2016, Pengakuan Peradilan Adat (Dalam Politik Hukum


KekuasaanKehakiman), Cetakan Pertama,Swasta Nulus bekerjasama dengan Bali
Shanti Pusat PelayananKonsultasi Adat dan Budaya Bali ( LPPM Unud) dan
Pusat Hukum Adat (LPPM Unud),Denpasar.

63

Anda mungkin juga menyukai