Oleh:
Revita Dwi Cahyani
031311133179
031311133181
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Selama tahun 2003 hingga tahun 2008, sengketa tanah Lemukih seperti api
dalam sekam. Warga sesekali tetap melakukan aksi-aksi demo agar sertifikat atas
tanah yang disengketakan itu dibatalkan. Sementara warga pemegang sertifikat
tetap ngotot mempertahankan tanah mereka. Di tengah-tengah ketegangan antara
dua kelompok itu mulai terjadi aksi-aksi kriminal, misalnya pengelupasan pohon
cengkeh dan perusakan pohon-pohon perkebunan lainnya.
Pemkab Buleleng tetap melakukan upaya penyelesaian, misalnya dengan
membentuk tim eksistensi tanah Lemukih melalui SK Bupati. Tim ini
dimaksudkan untuk mencari asal-usul tanah tersebut. Setelah tim bekerja beberapa
bulan ditemukan kesimpulan bahwa tanah yang disengketakan antara Desa
Pakraman Lemukih dengan sekelompok warga pemegang sertifikat adalah tanah
duwe pura yang dikerjakan oleh para penggarap secara turun-temurun dan
disertifikatkan menjadi hak milik perseorangan berdasarkan Surat Gubernur
Nomor 34 sampai dengan Nomor 62/HM/DA/BLL/74.
Peralihan dari tanah duwe pura menjadi hak milik perseorangan terjadi
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Bali Nomor 34
sampai dengan 62/HM/DA/BLL/74 yang kemudian didaftarkan menjadi hak milik
di Kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng (dalam hal ini Kantor Sub Direktorat
Agraria).
Menurut Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali
dalam surat Nomor 570.61-594 yang ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional, prosedur penerbitan sertifikat itu cacat administrasi.
Keluarnya kesimpulan tim ini menimbulkan berbagai persepsi baru.
Karena dinilai cacat administrasi, warga Lemukih kembali mendesak pihak
berwenang untuk membatalkan sertifikat itu. Sementara Pemkab Buleleng
menyarankan agar desa pakraman menempuh jalur hukum untuk membatalkan
sertifikat tersebut. Namun warga dan kuasa hukumnya tidak menempuh jalur
hukum dan sengketa tetap berkembang.
Suasana makin panas ketika tahun 2009 ada rencana Kantor Pertanahan
mengukur tanah yang disengketakan tersebut. Rencana pengukuran itu beberapa
kali tertunda sehingga kembali menimbulkan suasana panas di Lemukih. Warga
kembali melakukan aksi agar Kantor Pertanahan secepatnya melakukan
dikatakan
cacat
adminitrasi
malah
membuat
perpecahan
akibat
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2008)