Anda di halaman 1dari 15

Hukum Jaminan Kebendaan

Summary Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan


Prof. Dr. H. Moch. Isnaeni, SH, MS

Oleh:
Audia Andini Ariputri
NIM 233221004

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2023
Benda sebagai pendukung kehidupan sehari-hari diinginkan oleh setiap

orang bahwasanya dapat dipergunakan atau dimanfaatkan secara penuh dan bebas

tanpa terkendala oleh gangguan pihak-pihak lain. Untuk memperoleh benda yang

demikian maka tak lain harus ada label hak milik di atas benda tersebut,

memperoleh hak milik benda diatur dalam Pasal 584 BW, yaitu dengan cara

pemilikan atau pendakuan, perlekatan, pewarisan, daluwarsa, dan penyerahan atau

dasar peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang yang berwenang. Merujuk cara

memperoleh hak milik seperti yang diatur Pasal 584 BW, khususnya cara yang

kelima yaitu penyerahan atas dasar peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang

yang berwenang, maka benda tersebut hak miliknya harus dapat dialihkan dari

satu tangan ke tangan yang lain lewat penyerahan atau levering, umumnya paling

banyak berupa Perjanjian Jual Beli.

Paparan citra benda diatas mengindikasikan bahwa suatu benda akan dapat

dijadikan objek transaksi mana kala memenuhi 2 (dua) macam syarat, yaitu bahwa

benda yang bersangkutan harus memiliki nilai ekonomis dan hak miliknya dapat

dialihkan. Sepanjang kedua syarat tersebut melekat pada sebuah benda, maka

transaksi selaku cermin eksistensi bisnis akan dijadikan lahan operasional

mobiltitas benda dalam ranah kehidupan masyarakat.

Hak milik merupakan salah satu jenis hak kebendaan yang bercorak

menikmati. Latar belakang yang menyebabkan orang mengejar atribut hak milik

atas suatu benda yang diinginkan, karena dengan hak milik, seseorang dapat

menggunakan benda tersebut dengan leluasa sebagaimana diatur dalam Pasal 570

BW, bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan penuh dan

bebas sepanjang tidak melanggar hak orang laindan undang-undang, namun tidak
menutup kemungkinan untuk dicabut demi kepentingan umum dengan

mendapatkan ganti rugi. Ciri unggul hak milik kalau dibandingkan dengan

keperdataan lainnya, tak terkecuali hak kebendaan manapun, adalah:

1. Hak milik itu dapat menjadi induk dari hak keperdataan lainnya. Sebagai

induk, dengan lahirnya hak keperdataan lain, tidak membawa serta hilangnya

hak milik.

2. Hak milik merupakan hak yang secara kuantitatif lebih kuat dan lengkap dari

pada hak keperdataan yang lain. Meski hak milik ditindih oleh hak keperdataan

ataupun hak kebendaan lain, hak milik tetap eksis. Pemegang hak milik juga

punya keleluasaan untuk melakukan perbuatan hukum atas benda yang

bersangkutan tanpa perlu meminta restu pihak manapun.

3. Hak milik bersifat tetap, dalam arti tak mengenal batas durasi waktu. Andai

pemegang hak milik meninggal dunia, hak milik atas benda tersebut tidak ikut

pupus karenanya dan segera akan digantukan kepemilikan atas benda itu oleh

ahli warisnya.

Adapun salah satu perlindungan hukum hak milik ialah hak revindikasi

seperti yang diatur oleh Pasal 574 BW, dimana sebagai sebuah senjata hak

revindikasi ini hanyak dipunyai oleh pemilik (pemegang hak) semata.

Dalam perkembangannya, para kodifikator melakukan pembagian

antara benda bergerak dan benda tidak bergerak. Sejalan dengan pembagian

benda dalam BW, pembentuk BW merasa perlu turun tangan menetapkan

dengan tegas bagi masing-masing golongan benda yang dimaksud.

Menyangkut benda bergerak ada 2 (dua) macam, yakni:


1. Benda bergerak karena sifatnya, dimana benda tersebut pada dasarnya dapat

dipindah-pindah sesuai ciri alamiahnya (Pasal 509 BW)

2. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang sebagaimana yang

ditetapkan oleh Pasal 511 BW. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki,

penguasa menentukan apa saja yang dapat digolongkan sebagai benda

bergerak sehingga dengan cara tersebut, masyarakat tidak menjadi ragu dan

cemas dalam menanggapi kedudukan suatu benda secara pasti.

Sifat benda bergerak yang pada dasarnya relatif mudah dipindah-

pindahkan, tingkat mobilitasnya menjadi amat tinggi, Penguasaan benda

bergerak oleh sesuatu pihak, terkadang sulit dipastikan apakah pihak yang

memegangnya itu benar pemiliknya atau sekedar houder (pemegang)

semata. Menyikapi kondisi pelik ini, menyangkut benda bergerak,

pembentuk undang-undang memberikan solusinya dengan menetapkan

sebuah asas sebagaimana tertera dalam Pasal 1977 BW yang intinya

mengutarakan bahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap

sebagai pemilik. Keterkaitan Pasal 1977 BW dengan Pasal 1965 jo 1966

BW secara filosofis bermakna bahwa siapa yang menguasai atau

memperoleh sebuah benda bergerak dengan itikad baik, oleh hukum

dianggap sebagai pemiliknya.

Untuk menentukan benda tidak bergerak, pembentuk BW

menetapkan 3 (tiga) macam, yaitu:

1. Benda tidak bergerak karena sifatnya, dimana jenis bend aini berdasar

ciri alamiahnya memang tidak dapat dipindah-pindah (Pasal 506 BW)


2. Benda tidak bergerak karena tujuannya. Sebenarnya suatu benda itu

semula termasuk golongan benda bergerak, tetapi oleh karena

pemiliknya dilekatkan pada benda tidak bergerak secara terus-

menuerus demi mencapai suatu tujuan tertentu, akhirnya benda

bergerak yang bersangkutan berubah menjadi benda tidak bergerak

(Pasal 507 BW)

3. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang. Sekali lagi

penguasa berdasar kewenangan yang dimilikin perlu menetapkan

benda-benda tertentu dimasukkan sebagai benda tidak bergerak (Pasal

508 BW)

Dibandingkan dengan benda bergerak, sejak dulu sudah diakui nilai

benda tidak bergerak, dalam hal ini tanah, selalu dianggap relatif lebih tinggi. Atas

dasar inilah maka ketentuan penjaminan benda tidak bergerak menggunakan

lembaga jaminan hipotek yang jika ditinjau dari jumlah pasalnya jauh lebih

banyak (Pasal 1162-1232 BW) ketimbang gadai untuk benda bergerak.

Jaminan umum diatur dalam Pasal 1131 BW, yang menyatakan segala

barang yang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada

maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan

itu. Sesuai dengan bunyi pasal tersebut jika debitur lalai atau wanprestasi tidak

dapat memenuhi perikatannya maka kreditur dapat meminta pelunasannya dari

barang-barang milik debitur.

Jaminan umum terjadi secara otomatis, maksudnya tanpa diperjanjikan

lebih dulu di awal antara debitur dengan kreditur namun nantinya apabila debitur

lalai dan tidak dapat membayar utangnya maka upaya yang harus dilakukan oleh
kreditur adalah dengan mengajukan gugatan ke PN (Pengadilan Negeri) dan

meminta sita atas harta debitur terlebih dahulu dan setelah itu melakukan

eksekusi. Kreditur yang hanya memiliki jaminan umum memiliki resiko untuk

kehilangan jaminan dari debitur karena karena harta debitur dialihkan. Dalam

jaminan umum, harta debitur tidak memiliki sifat droit de suite sehingga ketika

dialihkan maka harta tersebut tidak dapat lagi menjadi jaminan umum bagi

kreditur. Di sisi lain apabila debitur memiliki harta yang baru setelah perjanjian

antara debitur dan kreditur maka harta baru ini bisa menjadi jaminan umum bagi

kreditur selama harta ini tidak dibebankan dengan jaminan khusus untuk kreditur

lainnya.

Jaminan selanjutnya adalah jaminan khusus, jaminan khusus berbeda

dengan jaminan umum dalam hal karakteristik dan juga cara lahirnya. Secara

umum, jaminan khusus terbagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni jaminan kebendaan

dan jaminan perorangan. Berikut penjelasannya masing-masing:

A. Jaminan Kebendaan

Karakteristik dari jaminan kebendaan, antara lain:

i. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemiliknya (droit de

preference), dengan demikian pemegang jaminan kebendaan memperoleh

hak yang didahulukan daripada kreditur lainnya.

ii. Jaminan kebendaan akan mengikuti/melekat pada kebendaannya (droit de

suite). Dalam hal ini apabila benda yang dijaminkan dengan jaminan

kebendaan tersebut beralih ke tangan orang lain, jaminan kebendaan tetap

melekat pada benda tersebut.


iii. Bersifat accessoir, artinya mengikuti perjanjian pokok atau perjanjian

pendahulunya

iv. Lahirnya jaminan kebendaan ini tidak secara otomatis, melainkan perlu

diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditur dan debitur. Bahkan, khusus

untuk hak tanggungan, jaminan fidusia dan hipotek perlu dibuat dengan

akta otentik.

Dalam hukum Indonesia, jaminan kebendaan dibagi menjadi 4

(empat) jenis yaitu gadai, hak tanggungan, jaminan fidusia, dan hipotek.

i. Gadai

Gadai diatur dalam Pasal 1150-1161 BW. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1150 BW, barang-barang yang dapat dijaminkan

dengan gadai adalah kebendaan yang bergerak, baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud.

Kebendaan atau barang-barang yang digadai harus dibawah

penguasaan kreditur sebagai pemegang hak gadai atau pihak ketiga

untuk dan atas nama pemegang gadai. Gadai mempunyai sifat tidak

dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), yaitu membebani secara utuh objek

kebendaan atau barang-barang yang digadaikan dan setiap bagian

daripadanya. Hal ini berarti dengan dilunasinya sebagian dari utang

yang dijamin, maka tidak berarti bebasnya pula sebagian kebendaan

atau barang-barang yang digadai dari beban hak gadai, hak gadai itu

tetap membebani seluruh objek kebendaan atau barang-barang yang

digadaikan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Khusus untuk gadai
atas benda bergerak tidak berwujud, maka ada syarat bahwasanya harus

ada pemberitahuan kepada debitur.

ii. Hak Tanggungan

Hak tanggungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996, Hak tanggungan diartikan sebagai hak jaminan yang dibebankan

pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA. Dalam

ketentuan UU Hak Tanggungan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi

objek dari hak tanggungan adalah tanah, bisa tanah itu sendiri ataupun

beserta benda-benda lainnya yang berkaitan dan merupakan satu

kesatuan dengan tanah tersebut. Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (1) dan

ayat (2) UU Hak Tanggungan, diatur bahwa yang dilekatkan dengan

hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, dan Hak Pakai. Khusus untuk Hak Pakai, yang dapat

dibebankan dengan hak tanggungan hanya Hak Pakai yang wajib

didaftar dan dapat dipindah tangankan. Ciri lain dari hak tanggungan

adalah adanya peringkat, suatu objek tanah yang dijaminkan dengan

hak tanggungan dapat dijaminkan untuk lebih dari 1 (satu) kreditur,

namun terdapat peringkat antara kreditur pertama dengan kreditur yang

kedua dst sesuai Pasal 5 UU Hak Tanggungan.

iii. Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU

Fidusia, jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik

yang berwujud maupun tak berwujud dan benda tidak bergerak


khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana yang dimaksud dalam UU Hak Tanggungan yang tetap

berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi

pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

Apabila dilihat dari pengertiannya, objek jaminan fidusia dapat

merupakan objek yang sama dengan gadai namun yang membedakan

adalah dalam jaminan fidusia, barang yang menjadi jaminan fidusia

tetap berada dalam penguasaan debitur, sedangkan dalam gadai

objeknya berada dalam penguasaan gadai (kreditur).

Objek jaminan fidusia berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4

UU Jaminan Fidusia adalah; benda bergerak yang berwujud, benda

bergerak yang tidak berwujud, dan benda bergerak yang tidak dapat

dijaminkan dengan hak tanggungan dan hipotek. Lebih lanjut, ketentuan

Pasal 10 mengatur, kecuali diperjanjikan lain, maka jaminan fidusia

juga meliputi; hasil dari benda yang merupakan jaminan fidusia dan

klaim asuransi apabila benda yang dijaminkan diasuransikan.

iv. Hipotek

Hipotek diatur dalam Pasal 1162 sd. Pasal 1232 BW. Pasal 1162

BW mendefinisikan, hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang

tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.

Walaupun hipotek adalah lembaga jaminan kebendaan terhadap barang

tak bergerak, perlu menjadi catatan bahwa untuk tanah di Indonesia


telah berlaku UUPA maka dengan demikian penjaminan atas tanah

tidak lagi dengan menggunakan hipotek.

Secara umum dalam praktek, saat ini hipotek diberlakukan

untuk penjaminan kapal. Penjaminan hipotek terhadap kapal diatur

dalam Pasal 314 KUHD, khususnya pada ayat (3) dan (4). Untuk

memperjelas, kapal yang dimaksud dalam Pasal 314 KUHD ini adalah

kapal yang berat kotor paling sedikit 20 m 3 sesuai ketentuan Pasal 314

ayat (1) KUHD.

B. Jaminan Perorangan (Borgtocht)

Selain jaminan kebendaan, terdapat jaminan perorangan dalam jaminan

khusus. Istilah lainnya untuk jaminan perorangan adalah penanggungan atau

borgtocht. Jaminan perorangan ini diatur dalam Pasal 1820 – 1864 BW dalam

ketentuan tentang Penanggungan Utang. Pasal 1820 BW mengatur,

penanggungan ialah suatu persetujuan dimana pihak ketiga demi kepentingan

kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu

tidak memenuhi perikatannya.

Jaminan perorangan dilahirkan dengan suatu perjanjian, yakni pihak

ketiga yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian kepada kreditur terkait

dengan suatu utang debitur. Jaminan perorangan ini mengikatkan seseorang

pihak ketiga dimana apabila debitur lalai dan tidak dapat melunasi utangnya

maka pihak ketiga ini yang akan melunasi utang tersebut. Hal ini yang

membedakan jaminan perorangan dengan jaminan kebendaan, apabila dalam

jaminan kebendaan yang menjadi jaminan adalah kebendaan milik debitur


namun dalam jaminan perorangan penanggunglah yang akan melunasi utang

tersebut.

Berdasarkan Pasal 1831 dan Pasal 1832 BW, walaupun debitur telah

lalai untuk melunasi utangnya, penanggung belum dapat dimintakan untuk

membayar utang debitur tersebut sampai seluruh harta debitur disita dan dijual

untuk melunasi utangnya. Namun demikian dalam keadaan tertentu, hak ini

bisa saja hilang dan dengan demikian penanggung dapat langsung dimintakan

untuk melunasi utang debitur ketika ia lalai. Keadaan tersebut antara lain:

1) Bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut agar barang-

barang debitur lebih dulu disita dan dijual;

2) Bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama

secara tanggung-menanggung;

3) Jika debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai

dirinya secara pribadi;

4) Jika debitur dalam keadaan pailit;

5) Dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh hakim.

Walaupun memiliki istilah jaminan perorangan, dalam prakteknya tidak

hanya orang-perorangan yang dapat menjadi penanggung, badan hukum seperti

Perseroan Terbatas, juga dapat menjadi penanggung. Penanggungan yang

dilakukan oleh badan hukum dikenal sebagai jaminan perusahaan atau

corporate guarantee. Selain itu, ada juga penanggungan yang diberikan oleh

lembaga keuangan yaitu bank. Penanggungan yang dilakukan oleh bank

dikenal dengan istilah Bank Garansi (Bank Guarantee).

 Jaminan - Jaminan Lainnya


Hak privilege adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang

kepada kreditur yang satu diatas kreditur yang lainnya semata-mata

berdasarkan sifat dari piutangnya. Hak privilege ini diatur dalam Pasal 1138 –

Pasal 1149 BW, hak privilege ini bukan merupakan hak kebendaan namun

hanya untuk mendahulukan dalam pembayaran dan/atau pelunasan piutangnya.

Hak retentie merupakan hak untuk menahan suatu benda, sampai suatu

piutang yang bertalian dengan benda itu dilunasi. Hak retentie diatur dalam

beberapa pasal dalam BW, yakni terdapat pada Pasal 567, 575, 576, 579, 715,

725, 834, 1159, 1616, 1729, 1756 dan 1812 BW.

 Benturan Antar Piutang Istimewa

Piutang istimewa seperti yang tercantum dalam Pasal 1133 BW dalam

operasionalisasinya dapat saja suatu saat saling berbenturan. Hanya perlu

dipahami dengan seksama bahwa yang berbenturan itu antara faktor yang

dibuat oleh masyarakat, yakni gadai dan hipotek, dengan aktor yang dicipta

oleh penguasa yaitu privilege. Peristiwa terjadinya benturan itu dapat berupa

hak gadai berbenturan dengan privilege, atau hak hipotek bertabrakan dengan

privilege. Maka agar tidak menimbulkan kegaduhan, penguasa sejak dini

menyediakan aturan hukum sebagai dasar penyelesaiannya.

Mengantisipasi adanya perbenturan antar piutang istimewa, justru

pertama yang diperhatikan oleh penguasa adalah peristiwa tabrakan antara

privilege di satu sisi dengan gadai atau hipotek pada sisi lainnya. Perbenturan

jenis inilah yang justru paling awal diperhatikan oleh penguasa, lalu disediakan

upaya penyelesaiannya dengan menghadirkan Pasal 1134 ayat (2) BW yang

mengutarakan bahwa pada dasarnya gadai dan hipotek harus lebih didahulukan
daripada privilege, kecuali undang-undang menentukan lain. Prinsip dasarnya

jika terjadi benturan antara gadai atau hipotek dengan privilege, maka gadai

atau hipotek harus didahulukan ketimbang privilege. Asumsinya bahwa

piutang yang didukung oleh gadai atau hipotek adalah merupakan unsur pokok

dalam bisnis yang sengaja dikemas oleh rakyat dalam bentuk perjanjian dan ini

relatif lebih banyak terjadi dalam kehidupan konkrit. Sebaliknya sosok

privilege hanya dianggap sebagai unsur sekunder yang kehadirannya untuk

melengkapi unsur pokok dunia bisnis, oleh sebab itu yang primer wajib

diutamakan dari yang sekunder. Itu pola dasarnya, namun kalau privilege yang

bersosok sebagai sekunder itu mulai merambah kepentingan umum atau demi

memberi perlindungan hukum akibat munculnya situasi darurat, barulah

privilege wajib didahulukan dari gadai atau hipotek. Lebih mengutamakan atau

lebih mendahulukan privilege ketimbang gadai atau hipotek hanyalah

merupakan sebuah kekecualian yang didasarkan pada argumen logis dalam

dunia bisnis, Hal demikian itu wajar terjadi, mengingat pada perputaran

apapun, tak terkecuali bisnis, pasti akan ada kejadian-kejadian khusus yang

wajib diatur secara menyimpang dari pola dasarnya.

Jadi pola dasarnya, piutang beratribut gadai dan hipotek harus dilunasi

terlebih dahulu dari piutang beratribut privilege. Pada peristiwa tertentu

diadakan pengecualian dan dapat disimak antara lain dalam Pasal 1150, 1139

angka 1, 1149 angka 1, juga 1137 BW. Biaya penyelamatan benda gadai

seperti yang dituturkan Pasal 1150 BW, harus dibayar terlebih dahulu dari

piutang gadai mengingat dengan diselamatkannya benda gadai maka hak gadai

tidak musnah sehingga pemegang gadai tetap berposisi sebagai kreditur


preferen. Biaya perkara seperti yang diutarakan Pasal 1139 angka 1 dan Pasal

1149 angka 1 BW, wajar kalau harus dilunasi terlebih dahulu dari pada gadai

ataupun hipotek, sebab proses perkara yang memerlukan biaya itu adalah

dalam rangka pelaksanaan lelang yang akan menghasilkan dana demi

terjadinya pelunasan piutang.

Demikian juga kekecualian yang termaktub dalam Pasal 1137 BW yang

sudah menyangkut kepentingan publik, selayaknya kalau diwajibkan

pembayarannya dari pada urusan privat yang sudah memperoleh manfaat.

Utang pajak misalnya, adalah layak kalau harus dibayar terlebih dahulu dari

gadai dan hipotek mengingat dari pajak itulah antara lain roda pemerintahan

diputar oleh penguasa. Dengan berputarnya roda pemerintahan yang akhirnya

dapat mewujudkan situasi aman, maka kegiatan bisnis demi mendapatkan

keuntungan dapat berjalan dengan lancar.

Andai piutang istimewa yang saling berbenturan ternyata memiliki

kedudukan yang sama sesuai Pasal 1136 BW akan dibayar menurut

keseimbangannya. Pola pengaturan Pasal 1136 BW ini kalau diperhatikan

ternyata sejalan dengan apa yang ditetapkan oleh Pasal 1132 BW. Dari

gambaran ini nampak jelas betapa pembentuk undang-undang selalu

menekankan arti pentingnya sikap konsisten saat membuat aturan hukum agar

kepastian yang dibutuhkan dunia bisnis tetap dapat terwujud.

Untuk gadai dan hipotek sebagai piutang istimewa, dalam kehidupan

sehari-hari tidak bakal saling bertabrakan karena masing-masing lembaga

jaminan kebendaan tersebut memiliki objek yang berbeda. Gadai objeknya

benda bergerak sedangkan hipotek objeknya benda tidak bergerak, maka


keduanya tidak mungkin bertabrakan karena memiliki lintasan sendiri-sendiri

tanpa ada tumpang tindih antara keduanya.

Rangkaian aturan penyelesaian benturan antar piutang istimewa yang

tersedia dalam BW dirakit lumayan rapi dan adil. Hanya saja saat pemerintah

Indonesia mengintrodusir beberapa undang-undang yang di dalamnya terselip

beberapa sosok privilege, justru tidak dibuatkannya norma khusus demi

mengatasi kalau-kalau suatu saat terjadi tubrukan antar piutang istimewa yang

ada. Inilah yang kadang membuat kericuhan dalam hal pasca sita eksekusi,

dimana hasil penjualan lelang itu harus dibayar pertama-tama kepada kreditur

pemegang piutang istimewa yang mana. Untuk mengatasi keadaan yang tidak

menentu seperti itum harapan hanya dapat menggantungkan pada terbentuknya

hukum yurisprudensi dari ranah peradilan yang entah kapan dapat dijadikan

andalan pemecah problematika berbagai tabrakan antar piutang istimewa yang

ada.

Anda mungkin juga menyukai