Anda di halaman 1dari 50

TUGAS HUKUM HARTA KEKAYAAN

RESUME BUKU

“Hukum Harta Kekayaan Episentrum Burgerlijk Wetboek (BW) –

Prof. Dr. H. Moch. Isnaeni, S.H., M.S.”

OLEH:

Jane Patricia Suryanto

233231015 / KELAS A

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2023
Bab I – Pendahuluan

BW sebagai sebuah kodifikasi

Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) adalah bagian sentral (episentrum) dari Burgerlijk

Wetboek (BW) yang berkaitan dengan benda dan ikatan. Benda dan ikatan merupakan unsur utama

dalam hukum harta kekayaan. Hukum ini diatur dalam BW sebagai kodifikasi hukum privat.

Benda adalah unsur penting dalam kehidupan manusia, dan hukum hadir dalam konteks

masyarakat. Prinsip "ubi societas ibi ius" yang berarti di mana ada masyarakat, di situ ada hukum,

mencerminkan hubungan erat antara manusia, benda, dan hukum. Dalam hukum Indonesia, regulasi

mengenai hubungan ini terdapat dalam Buku I BW yang berjudul "Hukum Orang." Di sini, manusia

diperlakukan sebagai subyek hukum, bukan sebagai objek seperti pada masa perbudakan. BW

menegaskan hak keperdataan setiap individu, independen dari hukum tata negara. Pasal 2 BW

mengakui setiap orang, bahkan yang masih dalam kandungan, sebagai subyek hukum, sementara Pasal

3 BW menegaskan bahwa hak keperdataan tidak dapat dicabut, bahkan jika seseorang dijatuhi

hukuman berat. Pencatatan peristiwa privat, seperti kelahiran, perkawinan, perceraian, dan kematian,

diatur dalam Pasal 4 dan 5 BW, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait status individu

dalam melakukan perbuatan hukum.

Kantor Catatan Sipil memiliki peran penting dalam administrasi keperdataan, mencatat akta-akta

penting tersebut untuk mengelola hak keperdataan dan eksistensi pribadi individu. Buku I BW menjadi

prolog yang mengatur aspek keperdataan individu sebelum memasuki pemahaman hukum harta

kekayaan dalam BW. Selanjutnya, Buku II BW, yang dikenal sebagai Hukum Benda, membahas peran

benda sebagai komponen penting dalam kehidupan individu. Sementara itu, Buku III BW, dengan

judul Hukum Perikatan, mengatur ikatan hukum yang dibuat oleh individu dalam kehidupan sehari-

hari.

Dalam realitas kehidupan, hubungan antara individu dan benda adalah bagian integral dari

eksistensi manusia. Hal ini tercermin dalam Buku I BW yang mengatur hukum perdata individu.
Seiring dengan pentingnya peran benda dalam kehidupan individu, hukum segera mengaturnya dalam

Buku II BW, yang dikenal sebagai Hukum Benda, menjadi fondasi untuk kerangka hukum mengenai

harta kekayaan. Setelah penormaannya selesai, tahap berikutnya adalah pembentukan kerangka hukum

yang mengatur ikatan yang dibuat individu dalam kehidupan sehari-hari, yang diatur dalam Buku III

BW dengan judul Hukum Perikatan. Meskipun Buku II BW dan Buku III BW berdiri terpisah dalam

kodifikasi, keduanya berperan penting dalam membentuk hukum harta kekayaan. Buku II BW bersifat

tertutup dalam penormaannya, sementara Buku III BW bersifat terbuka. Pasal-pasal dalam Buku II

BW memiliki keterkaitan dengan ketentuan-ketentuan dalam Buku III BW, saling melengkapi, dan

melalui pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang holistik terhadap hukum harta kekayaan,

yang merupakan inti dari BW, sebuah kodifikasi hukum yang masih berlaku di Indonesia.

Meskipun terdapat berbagai kodifikasi hukum yang ditinggalkan oleh masa kolonial Belanda,

semuanya adalah komponen yang saling mendukung dalam sistem hukum yang utuh dan

komprehensif. Dengan memadukan berbagai elemen ini, dapat mencapai keselarasan dalam sistem

hukum yang konsisten dan efisien, meskipun memerlukan upaya dan analisis yang mendalam. BW,

meskipun berusia hampir dua abad, masih berlaku di Indonesia. Argumen keberlakuan BW meliputi

Pasal II Aturan Peralihan UUD 45, budaya hukum, dan hukum jurisprudensi. Dasar keberlakuan BW

sebagai hukum di tanah air ini karena faktanya ketentuan BW masih dipergunakan oleh pengadilan

saat memutus perkara perdata di Indonesia, sehingga berlakunya BW di Indonesia didasarkan pada

hukum jurisprudensi. Indonesia memiliki rencana untuk menggantikan BW dengan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata Nasional Indonesia. Namun, proses ini dilakukan secara parsial, dengan

mengubah undang-undang yang berkaitan dengan hukum perdata, seperti Undang-Undang Agraria

dan Undang-Undang Perkawinan. Penyusunan kitab hukum perdata adalah upaya untuk mengatasi

perubahan kompleks dalam dunia bisnis yang semakin berkembang, terutama dengan kemajuan

teknologi, komunikasi, dan transportasi, serta meningkatnya interaksi di pasar internasional.


Meskipun pemerintah Indonesia telah mencoba untuk menyusun aturan hukum, Buku Undang-Undang

Hukum Perdata (BW) masih memiliki peran penting dalam sistem hukum Indonesia. Ini digunakan

sebagai panduan dalam pendidikan hukum dan praktik peradilan perdata. Masalah muncul karena

ketidaksesuaian antara Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur benda tanah dan BW

yang mengatur benda tidak bergerak dan bergerak secara bersamaan. Ini menciptakan kontradiksi

hukum, mengganggu bisnis, dan menciptakan ketidakpastian hukum.

Selain itu, kebijakan pemerintah dalam melakukan kodifikasi hukum secara parsial telah

menghadirkan beberapa masalah hukum. Hukum tentang benda tidak bergerak tunduk pada UUPA,

sedangkan benda bergerak diatur oleh BW. Ini kurangnya sinkronisasi antara hukum benda dan hukum

jaminan kebendaan dapat mengganggu bisnis dan berpotensi menciptakan penyelundupan hukum.

Hukum Benda Nasional yang komprehensif juga belum ada, dan Undang-Undang tentang Hak

Tanggungan dan Jaminan Fidusia belum memberikan kejelasan yang memadai dalam konteks hukum

benda.

Kodifikasi hukum seharusnya menciptakan sistem hukum yang konsisten dan pasti, tetapi

ketidaksesuaian antara UUPA dan BW serta ketiadaan Hukum Benda Nasional telah menciptakan

keruwetan dan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera membangun

Hukum Benda Nasional agar masalah ini dapat diatasi dan menciptakan lingkungan yang lebih

kondusif bagi perkembangan bisnis yang tertib dan pasti.

Buku Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memiliki struktur yang sistematis, terdiri dari

empat buku yang mengatur berbagai aturan hukum perdata:

1. Buku I: Hukum Orang - Mengatur hak dan kewajiban individu dalam masyarakat sejak lahir hingga

meninggal.

2. Buku II: Hukum Benda - Mengatur peran benda dalam kehidupan sehari-hari individu dan

masyarakat.
3. Buku III: Hukum Perikatan - Mengatur perjanjian dan ikatan hukum antara individu dalam

kehidupan sehari-hari.

4. Buku IV: Hukum Pembuktian dan Daluwarsa - Membahas bagaimana bukti digunakan di

pengadilan untuk mencari kebenaran dan mengatur batasan waktu untuk mengejar tuntutan hukum.

Meskipun BW telah berusia lama, prinsip-prinsip dan asas-asas yang mendasarinya masih

relevan dan digunakan oleh banyak negara di seluruh dunia. Namun, saatnya bagi Indonesia untuk

membuat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Nasional yang lebih sesuai dengan kebutuhan

modern, mengingat kemerdekaan Indonesia sebagai negara yang berdaulat.

Konsekwensi Sistematika BW

Pemahaman hukum perdata dalam Buku Undang-Undang Hukum Perdata (BW) memerlukan

pemahaman tentang struktur BW sebagai koleksi aturan yang dirancang untuk menciptakan keadilan

dan kepastian hukum. BW terdiri dari berbagai komponen, termasuk "Buku," "Bab," dan pasal-pasal

yang dapat memiliki beberapa ayat. Setiap bagian dalam BW saling berhubungan dan penting dalam

pemahaman hukum.

Sebagai contoh, Pasal 1320 BW mengatur persyaratan penting dalam membuat perjanjian atau

kontrak, seperti kesepakatan para pihak, kemampuan para pihak untuk membuat perjanjian, objek yang

jelas, dan dasar yang sah. Meskipun terdengar sederhana, beberapa pertanyaan muncul, seperti kapan

seseorang dianggap memiliki kemampuan hukum untuk membuat perjanjian. Ini penting karena

berkaitan dengan kemampuan individu dalam memahami konsep untung-rugi dan logika dalam bisnis.

Pendidikan hukum seharusnya lebih dari sekadar hafalan, melainkan harus mencakup pemahaman

mendalam tentang aspek logika dan sistematisasi hukum. Tanpa pemahaman yang kuat tentang hukum

sebagai alat juridis, mencapai keadilan sejati akan menjadi lebih rumit. Oleh karena itu, pendidikan

hukum perlu fokus pada pemahaman yang lebih mendalam dan luas.
Untuk mencapai pemahaman yang lebih baik, kita juga perlu memahami bahwa kemampuan cakap

dalam membuat perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal 1320 BW, penting dalam mendukung

kegiatan komersial dan bisnis. Ini menunjukkan bahwa hukum mendukung bisnis dengan memberikan

landasan hukum untuk kegiatan komersial, yang melibatkan pemahaman konsep untung-rugi dan

logika dalam bisnis. Batasan usia dewasa dalam konteks ini adalah ketika seseorang dianggap dewasa,

yang biasanya adalah ketika mereka mencapai usia 21 tahun. Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam

hal perkawinan, aturan mengenai usia dewasa telah diatur oleh Undang-Undang Perkawinan,

menggantikan sebagian peraturan dalam BW.Tentang batasan usia dewasa, Buku III BW tidak

memberikan ketentuan khusus. Tetapi sebenarnya dapat ditemukan dalam Buku I BW, yaitu dalam

Pasal 330 BW yang menyatakan bahwa seseorang dianggap "belum dewasa" jika mereka belum genap

berusia dua puluh satu (21) tahun dan belum pernah menikah.

Pengaitan antara persyaratan cakap untuk membuat perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal

1320 BW, dan Pasal 330 BW adalah penting dalam menentukan usia dewasa dalam konteks hukum

perdata. Penafsiran bahwa seseorang dianggap dewasa saat mencapai usia dua puluh satu tahun

didasarkan pada penafsiran a contrario dari Pasal 330 BW. Pasal 330 BW sebenarnya lebih

menekankan "kebelum dewasaan" daripada "kedewasaan" dan secara implisit menyiratkan bahwa

seseorang dianggap dewasa saat mencapai usia dua puluh satu tahun. Namun, perlu dicatat bahwa

Pasal 330 BW sebagian telah digantikan oleh Undang-Undang Perkawinan (UU Perkawinan) di

Indonesia, yang mengatur aturan perkawinan secara rinci. Oleh karena itu, Pasal 330 BW yang

mengatur usia dewasa dalam konteks perkawinan tidak berlaku lagi, dan batasan usia dewasa saat ini

adalah delapan belas (18) tahun sesuai dengan Pasal 47 jo. 50 UU Perkawinan. Pemahaman

komprehensif tentang BW sebagai sebuah kodifikasi hukum yang sistematis sangat penting untuk

melacak hubungan antar-pasal yang ada, meskipun terdapat dalam buku yang berbeda, dan untuk

memahami perubahan-perubahan hukum yang mungkin terjadi seiring waktu.


Dalam BW, terlihat dominasi nuansa bisnis yang kuat. Perbandingan dibuat antara dua jenis

perbuatan hukum: perbuatan hukum kawin dan perbuatan hukum membuat perjanjian. Pentingnya

kemampuan berhitung untung rugi dan logika dalam bisnis dijelaskan, dan batasan usia dewasa (21

tahun) dalam Pasal 330 BW menjadi relevan dalam konteks ini. Perbuatan hukum kawin memiliki

batas usia yang lebih rendah karena lebih didasarkan pada rasa cinta, sedangkan membuat perjanjian

lebih mengandalkan logika bisnis. Contoh diberikan mengenai Perjanjian Perkawinan dan bagaimana

batasan usia dewasa berkaitan dengan pembuatan perjanjian dalam bisnis. Namun, saat seseorang ingin

membuat perjanjian yang berkaitan dengan bisnis, batasan usia dua puluh satu (21) tahun dari Pasal

330 BW harus dipertimbangkan. Selain itu, peraturan tentang persatuan harta dalam perkawinan, yang

dapat disimpangi dengan Perjanjian Perkawinan, menegaskan aspek bisnis yang ada dalam

pernikahan. Dalam situasi di mana salah satu calon pasangan memiliki harta yang signifikan,

pertimbangan bisnis dapat mempengaruhi keputusan untuk membuat Perjanjian Perkawinan, yang

memerlukan persetujuan pihak yang memberi izin kawin sesuai dengan Pasal 151 BW. BW

mencerminkan nuansa bisnis yang kuat dengan aturan-aturannya yang dirancang untuk melindungi

pihak-pihak dalam perbuatan hukum bisnis. Selain itu, BW juga memiliki aturan yang bertujuan untuk

mencegah kerugian, seperti Hak Saisin dan aturan gugatan wanprestasi. BW dirancang untuk

memastikan kepastian hukum yang adil dalam konteks bisnis.

Dalam situasi di mana sebuah perjanjian telah dibuat dengan sah sesuai dengan Pasal 1320 BW,

yang berarti menurut pasal 1338 BW perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang sama dengan

undang-undang untuk semua pihak yang terlibat, jika salah satu pihak mengalami kerugian, BW akan

mengambil langkah-langkah untuk memastikan kerugian tersebut diatasi sepenuhnya. Ini karena

perjanjian yang sah, sesuai dengan Pasal 1233 BW, menciptakan kewajiban bagi kedua belah pihak

yang sedang berbisnis. Perjanjian ini melibatkan prestasi yang harus dipenuhi oleh masing-masing

pihak. Oleh karena itu, Pasal 1131 BW memberikan perlindungan umum dengan menyatakan bahwa

semua jenis benda, termasuk yang bergerak dan tidak bergerak, yang sudah ada atau akan ada, dapat
digunakan sebagai jaminan untuk perjanjian yang dibuat oleh pemiliknya. Ketika perjanjian yang sah

telah menghasilkan kewajiban, jika salah satu pihak mengalami kerugian karena tindakan mitra

bisnisnya yang tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka berdasarkan Pasal 1131 BW, kerugian

tersebut dapat dipulihkan melalui proses hukum dengan mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi.

Ini adalah contoh bagaimana BW sangat berorientasi bisnis dan digunakan sebagai kerangka kerja

untuk berbagai aktivitas bisnis, sehingga menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam konteks

bisnis.

Penafsiran hukum dalam konteks Buku BW memiliki peran penting, dan pemahaman yang benar

tentang cara melakukannya adalah kunci. Sebagai contoh, ketika mencoba memahami Pasal 34 BW

yang menyatakan bahwa seorang wanita harus menunggu tiga ratus (300) hari sejak perceraian

sebelum menikah lagi, jika hanya melihatnya secara terpisah, mungkin akan menyimpulkan bahwa

jika seorang janda menikah sebelum waktu itu habis, perkawinannya akan batal. Namun, ketika Pasal

34 BW dikaitkan dengan Pasal 99 BW dan dilihat dalam konteksnya, kita menemukan bahwa

perkawinan tersebut sebenarnya tidak batal. Hal ini karena waktu tunggu tiga ratus (300) hari dalam

Pasal 34 BW didasarkan pada pertimbangan medis untuk membuktikan kehamilan, bukan pada dasar

hukum yang kuat. Ini sejalan dengan pandangan Pasal 26 BW yang hanya melihat perkawinan dari

segi perdatanya. Namun, penting untuk dicatat bahwa penjelasan ini hanya berlaku untuk periode

sebelum berlakunya UU Perkawinan, yang kemudian mengatur sesuai Pasal 11 UU Perkawinan jo

Pasal 39 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undans. Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP No 9/1975). Terbukti berdasar

Ketentuan tersebut, jangka waktu tunggu bagi janda tidak lagi tunggal tigaratus (300) hari, tetapi

malah bervariasi sedasar dengan alasan putusnya perkawinan, sesuai penetapan Pasal 38 UU

Perkawinan.

Dengan demikian, peraturan UU Perkawinan menjadi kompleks karena mencampurkan unsur

agama, dan pelanggaran terhadap jangka waktu tunggu dapat berdampak pada kebatalan perkawinan.
Oleh karena itu, menjunjung tinggi kesucian perkawinan adalah hal yang penting, mengingat peran

dominan unsur agama dalam UU Perkawinan.

Untuk memahami dengan lebih baik pasal-pasal dalam BW harus menghubungkannya dengan

ketentuan lain yang relevan untuk mencapai kesimpulan yang akurat. Hal-hal inilah yang

mencerminkan nuansa bisnis yang kuat dalam BW, dengan aturan-aturannya sering kali berkaitan

dengan aspek komersial.

BAB II – Hukum Harta Kekayaan Hasil Sinergitas Buku II BW Dengan Buku III BW

1. Katagorisasi Hukum Harta Kekayaan

Buku Undang-Undang Hukum Perdata (BW) adalah sebuah kodifikasi hukum yang sistematis dan

mencerminkan peran penting bisnis dalam kehidupan manusia. Bisnis melibatkan perhitungan untung-

rugi dan pertimbangan yang cermat, dan ini merupakan elemen sentral dalam keberadaan manusia

sebagai homo economicus. Buku II BW dan Buku III BW memiliki peran kunci dalam mengatur

kontrak, hubungan bisnis, dan harta kekayaan. Buku II BW memiliki sifat tertutup dan mengandung

ketentuan hukum dwingend recht, yang harus diterapkan tanpa pengecualian untuk memastikan

kepastian hukum, terutama dalam hal eksistensi benda sebagai objek transaksi. Di sisi lain, Buku III

BW memiliki sifat terbuka dan berfokus pada syarat-syarat keabsahan perjanjian, termasuk kejelasan

objek. Kedua buku ini saling melengkapi untuk membentuk hukum harta kekayaan yang

komprehensif. Pasal 1320 dalam Buku III BW menekankan pentingnya kejelasan dalam perjanjian

yang melibatkan benda agar dianggap sah, menjadikannya memiliki kekuatan hukum yang setara

dengan undang-undang. Perjanjian yang sah memiliki kekuatan mengikat, dan jika ada pelanggaran,

Buku II BW, khususnya Pasal 1131, mengatur jaminan umum untuk memulihkan kerugian. Hal ini

menunjukkan keterkaitan erat antara Buku III BW dan Buku II BW dalam membentuk kerangka

hukum harta kekayaan yang utuh, dengan Buku II BW mengatur benda sebagai obyek, sementara

Buku III BW mengatur perjanjian antara individu yang melibatkan benda sebagai objek.
Ketika Buku II BW dan Buku III BW bergabung dalam hukum harta kekayaan melibatkan benda

yang bisa menjadi hak milik atau objek transaksi yang berkaitan erat dengan perikatan. Perikatan

adalah hubungan di mana satu pihak harus melakukan sesuatu (debitor) dan pihak lain memiliki hak

atas hal tersebut (kreditor). Obyek perikatan adalah prestasi, seperti yang diatur oleh Pasal 1234 BW,

yang bisa berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1234 BW menyoroti prestasi pertama dalam perjanjian, yaitu "memberikan sesuatu." Ini

adalah inti dari hukum harta kekayaan dan secara erat terkait dengan benda sebagai objek transaksi

hukum. "Memberikan sesuatu" mencakup dua aspek utama: pertama, "levering" yang mengacu pada

upaya untuk memindahkan hak milik benda, dan kedua, memberikan benda tersebut untuk

"dinikmati," seperti dalam perjanjian sewa atau pinjam pakai. Kaitannya dengan "levering"

menunjukkan bahwa prestasi ini sering kali terjadi dalam konteks perjanjian jual beli, yang diatur

dalam Buku III BW (Hukum Perikatan). Sementara itu, kaitannya dengan "dinikmati" mengacu pada

perjanjian sewa dan pinjam pakai, yang juga diatur dalam Buku III BW, meskipun perjanjian semacam

ini lebih jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Pasal 1235 BW lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam perjanjian "memberikan sesuatu," debitor

harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan sebenarnya dilakukan. Ini berkaitan dengan

Pasal 584 BW yang mengatur cara memperoleh hak milik benda, terutama dengan "penyerahan atas

dasar peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang yang berwenang." Dalam banyak kasus, penyerahan

benda untuk memenuhi perjanjian jual beli, yang diatur dalam Buku III BW, dilakukan berdasarkan

titel perjanjian, dan ini menegaskan keterkaitan antara Pasal 1234 BW, Pasal 1235 BW, Pasal 584 BW,

dan Buku III BW secara keseluruhan.

Buku II BW (Hukum Benda) dan Buku III BW (Hukum Perikatan) saling terkait dalam hukum

harta kekayaan, di mana Buku III BW yang mengatur perjanjian dan hubungan antar pihak selalu

berhubungan dengan ketentuan di Buku II BW yang mengatur benda dan hak-hak terkait.
Penggabungan kedua buku ini bersinergi menciptakan harmoni yang penting untuk keadilan dan

perkembangan bisnis.

2. Hakekat Perikatan Berobyek Benda

Kehidupan sosial selalu dipenuhi dengan pertimbangan untung rugi, interaksi antar individu, dan

upaya meningkatkan kesejahteraan. Semua komponen ini membawa kita ke hubungan dengan benda,

yang tak terelakkan dalam upaya peningkatan kehidupan. Dalam konteks ini, peraturan hukum menjadi

sangat penting untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat, dan di Indonesia, Buku

Undang-Undang Hukum Perdata (BW) adalah landasan hukum utama yang terstruktur dengan baik.

Buku III BW, khususnya Pasal 1233 yang mengatur Perikatan, menjadi dasar bagi hubungan individu

dalam masyarakat. Perikatan ini bersumber dari perjanjian dan undang-undang, dan hampir semua

orang terlibat dalam perikatan, baik melalui perjanjian formal maupun berdasarkan undang-undang

yang mengatur hak dan kewajiban mereka. Namun, BW tidak memberikan definisi yang eksplisit

tentang perikatan, dan inilah salah satu kelemahan dalam sistem hukum. Oleh karena itu, para sarjana

hukum berperan dalam mengisi kekosongan ini dengan pandangan bahwa perikatan adalah hubungan

hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan, di mana satu pihak memiliki kewajiban untuk

melakukan prestasi (debitor) dan pihak lainnya memiliki hak atas prestasi tersebut (kreditor). Dalam

pandangan ini, perikatan berfokus pada prestasi dan kaitannya dengan aspek harta kekayaan dan profit.

Dalam Buku III BW, norma-norma hukum sering kali terkait dengan konsekuensi jika prestasi tidak

dipenuhi, terutama dalam konteks bisnis, di mana tidak tercapainya keuntungan dapat mengakibatkan

pembayaran ganti rugi, biaya, dan bunga kepada pihak yang dirugikan. Hal ini menegaskan bahwa

BW didesain untuk mendukung aktivitas bisnis yang selalu berpusat pada pencapaian keuntungan.

Berdasarkan definisi perikatan yang dijelaskan oleh para sarjana, perikatan merupakan suatu

hubungan hukum yang terjadi dalam konteks harta kekayaan. Obyek perikatan adalah prestasi, yang

dibagi menjadi tiga jenis prestasi seperti yang diatur dalam Pasal 1234 BW. Selanjutnya, menurut

Pasal 1235 BW, prestasi yang termasuk dalam perikatan merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
atau dilaksanakan. Oleh karena itu, perikatan mengimplikasikan adanya kewajiban bagi setiap pihak

yang terlibat. Perikatan ini biasanya diwujudkan dalam bentuk perjanjian obligatoir, yang

menghasilkan hak-hak pribadi karena lahir dari perjanjian yang bersifat pribadi (privity of contract)

berdasarkan Pasal 1315 jo. 1340 BW dan hanya mengikat pihak-pihak yang membuat perjanjian

tersebut. Hak pribadi ini bersifat relatif atau hanya berlaku untuk rekan-seperjanjian, dan agar sah,

perjanjian harus dibuat dengan benar sesuai dengan aturan yang berlaku. Dengan demikian,

terbentuklah keterkaitan antara perikatan, perjanjian, hak pribadi, dan kewajiban dalam hukum harta

kekayaan.

Perjanjian sebagai sumber perikatan harus memenuhi syarat-syarat keabsahan seperti yang

diatur dalam Pasal 1320 BW, dan jika syarat-syarat ini terpenuhi, perjanjian tersebut memiliki

kekuatan hukum setara dengan undang-undang menurut Pasal 1338 BW. Pemerintah juga memberikan

jaminan umum terhadap kelahiran perikatan melalui Pasal 1131 BW. Hal ini memberikan keyakinan

kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan bisnis yang didukung oleh hukum, terutama dalam

bentuk perikatan berdasarkan kontrak. Keterlibatan yang lebih banyak dalam perikatan berdasarkan

perjanjian daripada undang-undang adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal dalam kehidupan

masyarakat, menegaskan posisi sentral kontrak dalam tatanan sosial dan ekonomi. Meskipun begitu,

penting untuk diingat bahwa peran undang-undang juga tetap relevan dan dapat mengikat individu

dalam beberapa situasi.

Sumber perikatan dapat berasal dari undang-undang, yang sering disebut sebagai "sumber

perikatan di luar kontrak." Ini bisa mencakup hubungan seperti antara anak dan orang tua yang diatur

oleh undang-undang, serta berbagai konsep hukum seperti zaakwaarneming (negotiorum gestio),

onverschuldigdebetaling (condictio in debiti), dan onrechtmatige daad. Selama dekade terakhir,

konsep ongerechtvaardigde verrijking (unjust enrichment) juga mulai menjadi pertimbangan sebagai

sumber perikatan. Namun, salah satu sumber perikatan di luar kontrak yang paling penting adalah

perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Sejarah perkembangan perbuatan melanggar


hukum sangat panjang, dengan penjelasan Pasal 1365 BW yang signifikan dalam kasus Lindenbaum

versus Cohen. Meskipun banyak perdebatan tentang rincian perbuatan melanggar hukum, hal ini tetap

menjadi topik yang relevan dalam dunia hukum. Di samping itu, perikatan yang berasal dari kontrak

juga mengalami perkembangan yang pesat sebagai respons terhadap tuntutan dunia bisnis yang terus

berkembang. Kajian dalam bidang perjanjian semakin luas, tetapi di Indonesia, karena tetapnya BW

dalam bentuk asalnya, konsep kontrak seringkali menimbulkan ketidakpastian hukum, mengakibatkan

kesulitan dalam mencapai keadilan bagi masyarakat umum.

3. Norma Hubungan Hukum Dalam Lapangan Harta Kekayaan

Aturan mengenai perikatan pada pasal-pasal dalam Buku III BW, terutama setelah Pasal 1233 yang

merupakan satu-satunya pasal umum dalam "Perikatan Pada Umumnya," cenderung didominasi oleh

ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kontrak atau perjanjian. Ungkapan "harta kekayaan"

secara tersirat menunjukkan adanya elemen komersial dalam perikatan, terutama dalam norma-norma

yang terdapat dalam Buku III BW yang mengatur interaksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

pribadi mereka. Konsep ini menciptakan kerangka hukum yang fleksibel yang memungkinkan para

pihak untuk menyesuaikan perjanjian sesuai dengan kebutuhan bisnis mereka karena buku III BW

bersifat terbuka (regelend recht). Ini juga mencerminkan pentingnya kehendak para pihak dalam

pembentukan kontrak, berdasar dari asas kebebasan berkontrak, merupakan aspek yang sangat

dominan dalam hukum perjanjian. Meskipun aturan hukum disediakan sebagai bingkai bagi bisnis,

apakah mereka digunakan atau diabaikan tergantung sepenuhnya pada keinginan para pihak yang

terlibat. Dengan begitu, hukum perjanjian menjadi unsur kunci dalam dunia bisnis, mencerminkan

fleksibilitas dan adaptabilitas hukum dalam menghadapi perkembangan pesat dalam dunia komersial.

Ini menunjukkan bahwa aturan hukum dalam lapangan harta kekayaan menjadi sangat penting dalam

mendukung perkembangan bisnis.

4. Obyek Hubungan Hukum Dalam Lapangan Harta Kekayaan


Dalam konteks hukum, hubungan kontraktual masyarakat diatur dalam Buku III BW, sementara

Buku II BW mengatur perihal benda, yang menjadi pusat hubungan hukum. Buku II BW memiliki

pasal-pasal yang mengikat (dwingend recht), yang wajib dipatuhi oleh pihak-pihak yang terlibat.

Sementara Buku III BW lebih fleksibel, aturannya dapat diterapkan atau diabaikan dengan persetujuan

pihak-pihak. Kedua buku ini bekerjasama menciptakan kepastian hukum dalam masyarakat.

Pada Buku II BW, terdapat definisi jelas tentang benda dalam Pasal 499 BW dan hak milik dalam

Pasal 570 BW. Aturan mengenai cara memperoleh hak milik atas benda, yang hanya bisa melalui

pemilikan, pendakuan, perlekatan, pewarisan, daluwarsa, dan penyerahan atas dasar peristiwa perdata

yang dilakukan oleh orang yang berwenang diatur dalam Pasal 584 BW. Semua ini bertujuan

memandu masyarakat tentang interaksi dengan benda dalam kehidupan sehari-hari agar menciptakan

ketertiban yang diharapkan dalam masyarakat.

Hak milik, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 570 BW, memberikan pemilik benda kebebasan

penuh untuk mengatur perbuatan hukum atas harta miliknya. Pemilik juga dilindungi dengan hak

revindikasi (Pasal 574 BW) untuk mendapatkan kembali benda yang hilang tanpa izin. Hak ini juga

memiliki metode perlindungan, seperti peringatan agar penjual tidak menyerahkan benda sebelum

menerima pembayaran (Pasal 1478 BW). Ada juga hak reklame yang memungkinkan pemilik yang

telah menyerahkan benda kepada pembeli namun pembayaran belum dilunasi untuk mengambil

kembali benda dengan syarat tertentu. Prinsip ini menggarisbawahi bahwa hak milik adalah hak yang

unik, dengan karakteristik dan kelebihan tersendiri.

Pengalihan hak milik terjadi pada saat penyerahan, menurut Teori Causal, penyerahan sah terjadi

jika dasar peristiwa perdata juga sah. Penyerahan benda menjadi fokus utama dalam pengalihan hak

milik, dan diatur dalam Pasal-pasal seperti Pasal 612, 613, dan 616 BW. Perbedaan antara benda

bergerak dan tidak bergerak juga memiliki konsekuensi hukum yang penting dalam berbagai hal,

termasuk levering, bezwaring, verjaring, bezit, dan beslag. Semua ini bertujuan menciptakan
ketertiban dan kepastian dalam masyarakat, memungkinkan individu berinteraksi dengan benda sesuai

dengan aturan yang jelas, dan melindungi hak-hak pemilik seiring dengan evolusi zaman.

Levering, atau penyerahan, adalah langkah penting dalam pengalihan hak milik atas suatu benda.

Terdapat dua unsur utama dalam levering, yaitu penyerahan fisik (feitelijke levering) dan penyerahan

hukum (juridische levering). Jika kedua unsur ini terpenuhi, hak milik atas benda tersebut secara sah

beralih, dan orang yang menerimanya diakui sebagai pemilik yang sah. Dalam kasus levering untuk

benda bergerak, aturan yang mengikuti Pasal 612 BW menyatakan bahwa hak milik beralih saat benda

tersebut diberikan dengan penyerahan fisik dan penyerahan hukum secara bersamaan, tanpa ada jeda

di antaranya. Sebaliknya, dalam levering benda tidak bergerak, ketentuan yang diikuti adalah Pasal

616 BW, di mana terdapat jeda waktu antara penyerahan fisik dan penyerahan hukum, yang berbeda

dengan levering benda bergerak yang terjadi secara bersamaan.

Bezit, atau pengendalian fisik, dianggap pemilik benda jika benda yang dimaksud adalah benda

bergerak, tetapi tidak berlaku untuk benda tidak bergerak. Bezwaring melibatkan penjaminan benda,

dengan gadai untuk benda bergerak dan hipotek untuk benda tidak bergerak. Selanjutnya, ada

perbedaan dalam verjaring, di mana benda bergerak dapat dianggap milik seseorang setelah

menguasainya selama nol (0) tahun, sementara benda tidak bergerak memiliki masa verjaring selama

dua puluh (20) atau tiga puluh (30) tahun, sesuai dengan Pasal 1963 BW. Terakhir, dalam lembaga

hukum beslag, proses pelelangan dimulai dengan benda bergerak sebelum benda tidak bergerak dalam

rangka pelunasan utang debitor yang wanprestasi, sesuai dengan Pasal 192 HIR. Semua konsep ini

merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk menjaga kepastian hukum yang kokoh

dan dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks hak milik.

Pandangan hak milik yang ditegakkan dalam BW mencerminkan pentingnya peraturan benda

dalam kehidupan masyarakat. Buku II BW menyediakan aturan yang terstruktur dan konsisten,

menciptakan kepastian hukum yang mendukung transaksi yang diatur dalam Buku III BW. Meskipun

Buku II BW mengandung banyak aturan yang bersifat mengikat, pihak-pihak yang berkontrak tidak
boleh mengesampingkan aturan ini. Melanggar aturan dalam Buku II BW dapat mengakibatkan

keguguran hukum. Sebagian besar isi Buku II BW berkaitan dengan hak kebendaan, yang memiliki

sifat mutlak, menuntut penghormatan dan melarang gangguan terhadap hak tersebut. Ini berbeda

dengan hak pribadi dalam Buku III BW yang bersifat relatif dan mengharuskan pihak-pihak kontrak

untuk memenuhi kewajiban sesuai kesepakatan. Namun, hak milik, sebagai bentuk hak kebendaan

paling unggul, memberikan pemiliknya kebebasan untuk melakukan tindakan hukum dengan benda

mereka, selama tidak melanggar hak orang lain atau undang-undang. Hak milik bukan bersifat absolut,

karena pemerintah dapat mencabutnya demi kepentingan umum dengan memberikan ganti rugi. Ini

menekankan prioritas kepentingan komunal di atas hak individu. Hak revindikasi dalam Pasal 574 BW

hanya berlaku antara subjek hukum privat, tetapi harus menghormati kepentingan komunal yang lebih

tinggi, dan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan umum harus dijaga sesuai peraturan

hukum. Buku II BW mengatur hak kebendaan secara rinci dan konsisten, namun tidak mengabaikan

hak perorangan dan kepentingan komunal. Pasal 570 BW menggambarkan bahwa pemilik benda harus

menggunakan hak miliknya secara patut, tidak merugikan orang lain, dan mematuhi peraturan

perundangan yang berlaku. Pelanggaran hak kebendaan dapat dianggap sebagai abus du droit atau

penyalahgunaan hak dan mengakibatkan pembayaran ganti rugi, biaya, dan bunga. Pemerintah

memiliki kewenangan untuk mengintervensi hak milik untuk kepentingan umum, seperti pengenaan

pajak atau pengambilan tanah, asalkan didasarkan pada peraturan hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan. Buku I BW memiliki penormaan yang rigid yang harus ditaati untuk menjaga

kepastian hukum, sementara Buku III BW memberikan kebebasan bagi pihak yang berkontrak untuk

membuat aturan sendiri sesuai dengan keadilan. Sinergi antara kedua buku ini menciptakan kepastian

hukum yang berkeadilan dalam transaksi komersial.

5. Sinergitas Buku II BW Dengan Buku III BW

Dalam hukum perikatan, interaksi antara anggota masyarakat menciptakan perikatan, yang diatur

oleh Pasal 1233 BW dalam Buku III BW. Perikatan ini, pada dasarnya, berasal dari kontrak antara
pihak-pihak yang ingin mewujudkan keuntungan yang telah direncanakan. Namun, jika salah satu

pihak merugi akibat tindakan tak senonoh dari pihak lain, Pasal 1131 BW dalam Buku II BW

menyediakan mekanisme untuk memulihkan kerugian tersebut. Ini menunjukkan sinergi antara Buku

III BW dan Buku II BW, tetapi sinergi terjadi demi undang-undang.

Ketika perikatan mengakibatkan kerugian, prosedur pemulihan melalui Pasal 1131 BW

memerlukan waktu, biaya, dan tenaga. Untuk meningkatkan efisiensi, Buku III BW dan Buku II BW

bisa disinkronkan melalui perjanjian, seperti dalam kegiatan perbankan. Bank sebagai lembaga

intermediary menjadi perantara mengumpulkan dana dari masyarakat dan memberikan pinjaman.

Bank dalam memberikan dana pinjaman kepada masyarakat sesuai kesepakatan akan dibuat Perjanjian

kredit, yang tergolong sebagai perjanjian tak bernama, perjanjian ini disesuaikan oleh pihak-pihak

berdasarkan kesepakatan mereka, yang mencerminkan asas kebebasan berkontrak sebagai sendi

sentral hukum perjanjian.

Setelah memenuhi persyaratan keabsahan pada pasal 1320 BW, perjanjian kredit akan

melahirkan perikatan antara debitor dan kreditor sesuai Pasal 1233 BW. Jenis perjanjian ini

digolongkan sebagai perjanjian obligatoir. Dari perjanjian ini, hak pribadi atau hak perorangan (privity

of contract) yang dijamin oleh Pasal 1131 BW akan muncul, mengingat sifatnya yang bersumber dari

perjanjian yang hanya berlaku dan mengikat para pihak yang terlibat, sebagaimana diatur dalam Pasal

1315 jo. 1340 BW.

Pasal 1131 BW memberikan perlindungan hukum eksternal melalui hak pribadi yang timbul

dari perjanjian kredit, memberikan keamanan hukum bagi kreditor. Namun, proses pemulihan

kerugian melalui Pasal 1131 BW cenderung rumit, memakan waktu, dan mahal, terutama dalam

konteks persaingan antara kreditor yang disebut sebagai kreditor konkuren. Untuk menghindari risiko

yang dapat merugikan, bank, sebagai lembaga intermediary, harus mempraktikkan prinsip kehati-

hatian dengan mengacu pada Prinsip 5 C’s Principles yakni character, capital, capacity, condition of

economy, dan collateral (agunan) sebagai pertimbangan utama dalam memberikan pinjaman.
Pasal 1131 BW memberikan perlindungan hukum eksternal dalam bentuk jaminan umum.

Namun, proses pemulihan kerugian bagi para kreditor melalui Pasal 1131 BW rumit dan mahal.

Untungnya, Pasal 1131 BW adalah regelend recht, yang berarti dapat dimodifikasi dengan perjanjian.

Debitur dan kreditor bisa membuat perjanjian jaminan kebendaan seperti gadai atau hipotek setelah

perjanjian kredit. Dua jenis perjanjian ini memiliki status yang berbeda: perjanjian kredit adalah

perjanjian pokok, sementara perjanjian jaminan kebendaan adalah perjanjian tambahan (accessoir)

yang eksistensinya bergantung pada perjanjian pokok.

Perjanjian kredit menghasilkan dua jenis hak: hak pribadi dari perjanjian kredit (Pasal 1131

BW) dan hak kebendaan dari perjanjian jaminan gadai atau hipotek. Hak kebendaan memiliki sifat

lebih kuat karena termasuk hak mutlak, droit de suite, asas prioritas, dan preferensi. Sehingga, kreditor

bank mendapatkan prioritas pelunasan atas kreditor lain (Pasal 1131 BW). Asas kebebasan berkontrak

mengalami kontraksi, terutama dalam perjanjian baku, menimbulkan perdebatan seputar perlindungan

debitor. Perlindungan hukum bagi debitor harus seimbang dengan efisiensi bisnis. Hal ini perlu

dipertimbangkan dalam kerangka falsafah Pancasila. Asas kebebasan berkontrak juga mengalami

kontraksi dalam kontrak pengadaan infrastruktur yang semakin meluas, memerlukan pertimbangan

teliti terutama saat pemerintah sebagai subjek hukum publik ikut serta dalam kontrak. Dalam konteks

kontrak pengadaan, prinsip-prinsip hukum juga tergerus, mempengaruhi investor dan memerlukan

perhatian serius. Perlindungan hukum debitor tetap ditegakkan seiring perkembangan konteks kontrak

pengadaan.

Meskipun perlindungan hukum eksternal dalam perjanjian jaminan kebendaan tidak mencapai

tingkat yang mematikan bagi debitor, dalam Pasal 1154 BW dan Pasal 1178 BW, dijelaskan bahwa

jika terjadi wanprestasi, pihak kreditor tidak dapat secara otomatis menjadi pemilik benda agunan,

meskipun hal tersebut telah dijanjikan sebelumnya, karena tindakan tersebut dianggap batal demi

hukum.
Kehadiran ketentuan-ketentuan ini menggambarkan upaya untuk menjaga keseimbangan

antara perlindungan hukum internal dan eksternal dalam pembentukan perjanjian jaminan kebendaan,

seperti gadai atau hipotek agar posisi debitor tidak terlalu terpuruk oleh tindakan kreditor, terutama

bank sebagai lembaga intermediary yang rawan menghadapi wanprestasi oleh debitor. Oleh karena

itu, penting untuk menjaga keseimbangan ini agar hubungan bisnis dalam penyaluran dana pinjaman

oleh bank tetap berjalan dengan lancar dan adil bagi kedua belah pihak.

Dalam pembahasan kontrak baku, keberadaannya dalam praktek bisnis sangat penting,

meskipun perlu diperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

melarang penggunaan klausula baku (Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen) untuk melindungi pihak

yang relatif lemah. Namun, penegakan hukum terkait hal ini masih memerlukan perhatian lebih lanjut.

Proses pembentukan perjanjian dalam penyaluran dana pinjaman oleh bank mengikuti aturan

Buku III BW untuk perjanjian pokok kredit dan Buku II BW untuk perjanjian jaminan kebendaan.

Penggabungan kedua buku ini menciptakan sinergi yang memungkinkan keseimbangan antara

kepentingan debitor dan kreditor dalam kontrak, mendukung terwujudnya kontrak yang adil.

Di Indonesia, dengan adanya UU Hak Tanggungan dan UU Fidusia, perjanjian jaminan

kebendaan menjadi lebih terinci dan konkret. Hak kebendaan yang lahir dari perjanjian ini memiliki

ciri-ciri seperti gadai dan hipotek, terutama dalam hal preferensi kreditor pemegang agunan yang

mendapatkan prioritas dalam pelunasan piutang jika terjadi wanprestasi.

Meskipun Buku II BW dan Buku III BW memiliki karakteristik yang berlawanan,

penggabungan keduanya menciptakan kerangka hukum yang sangat bernilai bagi dunia bisnis. Ini

menggambarkan pentingnya menggabungkan prinsip-prinsip hukum yang berbeda untuk mendukung

kemajuan bisnis.

Namun, penegakan hukum masih menghadapi tantangan, dan pesan Pasal 1965 BW tentang

itikad baik harus dijaga dengan baik. Keselarasan ini harus menjadi contoh bagi bangsa Indonesia,

yang memiliki falsafah Pancasila, untuk menciptakan kondisi kondusif bagi perkembangan bisnis yang
sehat dan aman. Sinergi antara Buku II BW dan Buku III BW adalah langkah ideal yang dapat

mendukung visi ini, dan jika direalisasikan, akan menjadi kebanggaan bangsa dan negara.

BAB III – MARWAH HUKUM BENDA

1. Eksistensi Benda Dalam Ranah Kehidupan Orang

Peran penting benda dalam kehidupan sosial diatur dalam hukum, terutama Buku II BW.

Benda-benda ada dalam beragam bentuk dan jumlah yang tak terhitung, dan regulasi hukum

diperlukan untuk menciptakan kepastian hukum yang sesuai dengan urgensi kebutuhan pasar. Selama

ribuan tahun, benda-benda ini menjadi bagian integral kehidupan manusia dan menjadi pusat transaksi

komersial yang memengaruhi interaksi sosial. Semakin tinggi nilai ekonomis suatu benda, semakin

besar perhatian pasar. Hak milik menjadi kunci dalam menentukan nilai dan manfaat benda. Dengan

label hak milik, suatu benda punya arti yang prima bagi pemangkunya yakni bebas menikmati manfaat

serta melakukan perbuatan hukum terhadap benda milik membuat banyak individu berusaha keras

memperoleh hak milik atas benda tersebut untuk meningkatkan taraf hidup mereka sehingga memicu

penguasa dan kodifikator untuk merumuskan aturan dalam Buku II BW, setelah menormakan hak dan

kewajiban individu dalam Buku I BW.

2. Penggolongan Jenis Benda Dalam BW Sebagai Jurus Efisiensi Penormaan

Para kodifikator telah mengelompokkan benda ke dalam berbagai kategori, seperti benda bergerak

dan tidak bergerak, habis pakai atau tidak habis pakai, dan lainnya. Pola mengatur jenis benda secara

berpasangan, didasari logika, segolongan benda tapa ada pasangan yang bercorak kebalikan (the

opposite), pasti bakal tak punya makna, dan tidak memungkinkan munculnya varian baru yang lebih

bermanfat. Penggolongan ini memiliki akibat hukum yang berbeda saat dijadikan obyek transaksi.

Misalnya, Apabila obyek perjanjian pinjam-meminjam berupa benda habis pakai, hak milik benda

tersebut secara otomatis beralih ke peminjam saat diserahkan dan diterima (Pasal 1754 jo 1755 BW),

yang kemudian harus mengembalikannya dalam kondisi yang sama saat dipinjamkan. Sebaliknya, jika

obyeknya benda tidak habis pakai, hak milik tetap pada pemberi pinjaman, dan peminjam wajib
mengembalikannya dalam keadaan aslinya (Pasal 1740 jo 1741 BW). Penggolongan paling penting

adalah benda bergerak dan tidak bergerak, dengan peraturan yang berbeda dalam hal levering, bezit,

bezwaring, verjaring, dan beslag.

Dalam sistem hukum BW, penyerahan atau levering merupakan faktor penentu perpindahan hak

milik atas benda (Pasal 1459 BW). Pembayaran bukanlah faktor penentu peralihan hak milik (Pasal

1754 jo 1755 BW). Pasal 1686 BW menegaskan bahwa hak milik benda hibah tidak berpindah tanpa

adanya penyerahan. Penyerahan tersebut selalu didasarkan pada suatu titel atau peristiwa perdata yang

sah (Pasal 584 BW). Konsep levering melibatkan dua unsur penting, yaitu "feitelijke levering"

(penyerahan fisik) dan "juridische levering" (penyerahan hukum). Perbedaan signifikan terdapat dalam

penyerahan benda bergerak dan benda tidak bergerak, di mana penyerahan benda bergerak secara

instan berpindah jika memenuhi kedua unsur levering (Pasal 612 BW), sementara penyerahan benda

tidak bergerak memiliki jeda antara keduanya (Pasal 616 jo 620 BW).

Dalam aspek "bezit" (menguasai secara nyata), benda bergerak dikategorikan dengan prinsip

bahwa siapa yang menguasai dianggap pemilik (Pasal 1977 BW), sedangkan benda tidak bergerak

tidak tunduk pada prinsip ini. Terkait "bezwaring" atau jaminan, kedua-dua jenis benda bergerak dan

benda tidak bergerak, pada dasarnya sepanjang punya nilai ekonomis dan hak miliknya dapat

dialihkan, dapat dijaminkan tetapi memiliki aturan yang berbeda (Pasal 1150-1160 BW untuk benda

bergerak dan Pasal 1162-1232 BW untuk benda tidak bergerak). Penyerahan benda bergerak kepada

penerima gadai memungkinkan peralihan hak milik, sementara benda tidak bergerak tetap berada

dalam kuasa pemiliknya dan hanya memberikan hak jaminan (hipotek) kepada kreditor. Verjaring atau

daluwarsa juga berbeda, dengan benda bergerak adalah 0 tahun (Pasal 1977 BW), sementara benda

tidak bergerak memiliki verjaring antara 20-30 tahun (Pasal 1963 BW).

Dalam kasus "beslag" atau sita, terutama untuk membayar utang, benda bergerak biasanya lebih

dahulu disita dan dijual lelang, dan jika hasil lelang tidak mencukupi, maka benda tidak bergerak dapat

disita dan dilelang (Pasal 197 HIR). Penggolongan benda bergerak dan tidak bergerak dalam BW
memiliki konsekuensi hukum yang kompleks dan berbeda, termasuk asas accessie atau perlekatan, di

mana benda bergerak yang melekat pada benda tidak bergerak dapat berubah menjadi benda tidak

bergerak (Pasal 507 BW). Hak milik atas harta karun yang ditemukan di tanah milik sendiri diatur

dalam Pasal 587 BW.

Dalam Buku II BW, norma-norma yang mengatur benda memiliki sifat dwingend recht (wajib),

tidak boleh diabaikan oleh para pihak untuk menjaga kepastian hukum dan hal ini bertujuan untuk

menjamin kepastian hukum sesuai dengan Pasal 1320 BW, yang mengharuskan obyek perjanjian dapat

ditentukan untuk keabsahannya. Buku III BW, yang mengatur transaksi atas benda, bersifat terbuka

dan memungkinkan para pihak untuk menyimpanginya dengan kesepakatan. Asas kebebasan

berkontrak menjadi kunci dalam Buku III BW, yang melengkapi ketentuan dalam Buku II BW. Serta

asas Pacta sunt servanda, sebuah adagium yang harus ditegakkan sebagai konsekwensi lanjut dari

eksistensi Pasal 1965 BW.

Penggolongan benda yang sangat rinci dalam BW mengakibatkan akibat hukum yang berbeda saat

dijadikan obyek transaksi. Keberagaman ini penting untuk menciptakan kepastian hukum dalam dunia

bisnis. Buku II BW yang bersifat tertutup memberikan kekokohan struktur hukum dengan ketentuan

yang konsisten, sementara Buku III BW yang bersifat terbuka memungkinkan fleksibilitas dalam

menormai transaksi bisnis. Sinergi antara keduanya menciptakan keadilan dan kepastian hukum yang

sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis. Penggolongan benda dalam BW berbeda jauh dengan Hukum

Adat yang sesuai Pasal 5 UUPA dijadikan landasan pengaturan hak atas tanah di Indonesia, yang hanya

membagi benda menjadi tanah dan bukan tanah. Hal ini menciptakan ketidakcocokan antara UUPA

yang berlandaskan Hukum Adat dan Hukum Benda dalam BW. Ketidaksesuaian ini dapat

mengganggu kepastian hukum dan berpotensi menghambat kegiatan bisnis, terutama terkait dengan

tanah. Selain itu, kendala dalam penerbitan aturan lembaga jaminan kebendaan seperti UU Hak

Tanggungan dan UU Fidusia juga menciptakan kebingungan dalam pengaturan hukum benda di

Indonesia sebab belum terealisasinya dibuat Hukum Benda Nasional Indonesia yang menjadi sumber
utama. Karena itu, diperlukan perbaikan dan penyelarasan antara peraturan hukum benda nasional dan

regulasi terkait untuk mendukung roda bisnis dan ekonomi yang lancar di masyarakat.

3. Definisi Benda

Seluk beluk urusan benda diatur dalam Buku II BW yang memiliki sifat tertutup, di mana

ketentuan-ketentuannya didominasi oleh pasal-pasal yang bersifat mengikat dan tidak dapat diganggu

gugat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum, sehingga obyek transaksi dapat dengan

jelas ditentukan sesuai dengan Pasal 1320 BW yang mengatur syarat sahnya perjanjian. Dalam rangka

menjaga kepastian hukum ini, pembentuk kodifikasi dengan cermat memberikan definisi benda sejak

awal Buku I BW. Benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik, dan definisi ini

penting karena obyek transaksi harus jelas dan tertentu sesuai tuntutan Pasal 1320 BW agar perjanjian

sah. Melanggar syarat "tertentu" ini dapat mengakibatkan perjanjian batal demi hukum.

Definisi benda dalam Pasal 499 BW juga memiliki dimensi yang luas, mencakup segala sesuatu

yang dapat dijadikan obyek hak milik, memiliki nilai ekonomis, dan dapat dipindahkan kepada pihak

lain. Pentingnya definisi ini adalah untuk memberikan kerangka hukum yang jelas bagi perjanjian yang

melibatkan benda sebagai obyeknya.

Hukum harta kekayaan dalam BW adalah bagian integral dari Hukum Perdata, dengan Buku I dan

Buku IV BW berperan sebagai pendukung. Penyusunan berbagai buku dalam BW adalah sebuah karya

seni yang mencerminkan hasil kreativitas dan persuasi ide-ide cerdas, meskipun sudah berusia hampir

dua abad. Hukum, sebagai seni, memerlukan hermeneutika, interpretasi, penyempurnaan hukum, dan

penemuan hukum. Hakim, advokat, dan notaris berperan dalam menciptakan keadilan melalui

pemahaman logis dan rasa mendalam, menjadikan BW sebagai sistem hukum komprehensif yang

mengandung filosofi di setiap pasalnya, yang dapat dihayati oleh individu dengan tekad untuk

mengemban tanggung jawab sebagai pemelihara keadilan di masyarakat.

Pasal 499 BW mendefinisikan benda dengan menyebut istilah "hak milik," yang memiliki makna

strategis dalam konteks hukum dan kehidupan sosial. Hak milik memungkinkan individu untuk
mengejar kesejahteraan dan memiliki kebebasan dalam memanfaatkan benda miliknya serta dalam

melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Ini adalah kelebihan yang tidak dimiliki oleh jenis hak

keperdataan lainnya. Pasal 570 BW menguraikan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati benda

secara penuh dan bebas, dengan syarat tidak mendatangkan gangguan (hinder) terhadap hak orang lain

atau melanggar undang-undang, serta dapat dicabut dengan ganti rugi berdasarkan peraturan

perundangan. Hak milik, meskipun kuat, tidak bersifat absolut, dan tunduk pada prinsip relatifitas

dalam kehidupan dan hukum. Penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan tujuan hukum atau

menimbulkan kerugian pada pihak lain dapat dianggap sebagai penyalahgunaan hak (abus de droit =

misbruik van recht). Pihak yang dirugikan dapat menggugat pemilik hak milik yang bersangkutan atas

dasar perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 BW). Hak milik memiliki beberapa keunggulan,

termasuk peran sebagai induk hak keperdataan lainnya, kelebihan kualitatif dan kuantitatif, serta sifat

tetap tanpa batasan waktu. Oleh karena itu, hak milik sering menjadi tujuan dalam mengejar

kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan sosial. Meskipun bukan satu-satunya ukuran

kesuksesan sejati, kepemilikan hak milik tetap menjadi bagian integral dari masyarakat.

Dalam hukum, hak milik atas suatu benda memiliki ciri-ciri unggul, namun juga dapat bersifat

elastis (mulur mungkret) tergantung pada tindihan hak kebendaan lain, seperti hak guna bangunan atau

hak jaminan kebendaan (hipotek, hak tanggungan). Contohnya, jika hak milik atas tanah tertindih oleh

hak guna bangunan, pemilik tanah kehilangan kewenangan untuk membangun di atasnya selama masa

berlaku hak guna bangunan. Demikian pula jika hak milik tertindih oleh hak hipotek, pemilik tidak

dapat mentransaksikan tanah tersebut secara bebas. Namun, setelah hak jaminan kebendaan berakhir,

hak milik menjadi kembali penuh, dan pemilik dapat berbuat apapun terhadap benda miliknya.

Hukum memberikan perlindungan hukum eksternal dengan hak revindikasi (Pasal 574 BW),

namun hak ini tidak absolut, terutama ketika berkaitan dengan benda bergerak. Pasal 1977 BW

menyatakan bahwa siapa pun yang memegang benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Ini
mencerminkan relatifitas dalam hukum, di mana tidak ada yang absolut, dan kepastian hukum selalu

menjadi pertimbangan utama.

Hak revindikasi hanya dapat digunakan oleh pemilik benda, dan pemilik yang melepas hak

miliknya harus berhati-hati, karena jika hak milik berpindah tangan, hak revindikasi tidak lagi dapat

digunakan. Oleh karena itu, pembeli agar tidak gegabah melakukan penyerahan sebelum pembeli

mebayar harganya (Pasal 1478 BW). Tetapi ada privilege sesuai pasal 1144 BW, Pemilik yang melepas

hak miliknya tetap memiliki hak reklamasi (Pasal 1145 BW).

Definisi benda dalam Pasal 499 BW, meskipun singkat, memiliki makna yang kompleks dan

memerlukan analisis yang mendalam. Pembentukan norma hukum membutuhkan ketajaman analisis

serta penggunaan berbagai sarana interpretasi seperti rechtsverfijning, rechtschepping, rechtsvinding.

Pencantuman definisi benda di awal Buku II BW menekankan pentingnya kepastian hukum, sehingga

makna benda tidak bisa ditafsirkan secara beragam. Pembentuk undang-undang dengan tegas

memberikan batasan makna benda, namun dari definisi sederhana tersebut, pelbagai makna ikutan

yang penting untuk pemahaman yang lebih dalam tentang benda bisa digali.

4. Cara Memperoleh Hak Milik Benda

Dalam hukum, benda adalah elemen yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, digunakan

untuk meningkatkan kesejahteraan dan meraih masa depan yang lebih baik. Hak milik atas benda

adalah sarana yang memungkinkan seseorang memiliki kendali atas berbagai benda dengan label hak

milik. Pembentukan hak milik atas benda dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti pendakuan

atau pemilikan, perlekatan, pewarisan, daluwarsa, dan penyerahan berdasarkan peristiwa perdata yang

dilakukan oleh individu yang berwenang (Pasal 584 BW).

Pendakuan atau pemilikan (toeeigening) adalah cara memperoleh hak milik atas benda yang tak

bertuan atau res nullius. Misalnya, seseorang yang menangkap ikan di sungai dapat menjadi pemilik

ikan tersebut. Perlekatan atau natrekking berkaitan dengan asas accessie, di mana benda bergerak
melekat pada benda tidak bergerak dan menjadi bagian darinya. Contohnya, segala sesuatu yang

melekat di atas tanah menjadi hak milik pemilik tanah (Pasal 571 BW).

Pewarisan (erfovolging) adalah cara memperoleh hak milik atas benda setelah kematian seseorang.

Menganut asas hak saisine, Ahli waris memperoleh hak milik atas seluruh peninggalan almarhum,

termasuk kewajiban yang belum dipenuhi oleh pewaris (Pasal 830 jo. 833 BW). Berkaitan dengan

prinsip privity of contract, kewajiban hanya beralih lewat title umum (pewarisan), dan tidak dapat

beralih melalui title khusus (perjanjian jual beli). Daluwarsa, atau verjaring, memungkinkan seseorang

memperoleh hak milik atas benda setelah melewati waktu tertentu (Pasal 610 dan 1946 BW).

Penyerahan berdasarkan peristiwa perdata adalah cara memindahkan hak milik atas benda dari satu

pihak ke pihak lain melalui penyerahan atau levering (Pasal 584 BW).

Hukum harta kekayaan, yang mencakup Buku II dan Buku III BW, mengatur cara perolehan hak

milik atas benda, membentuk kerangka hukum yang kuat untuk bisnis, dan menjadi pondasi bagi

aktivitas ekonomi masyarakat, memungkinkan perpindahan hak milik melalui perjanjian jual beli,

tukar menukar, dan hibah dalam hukum privat.

Penyerahan (levering) adalah momen kunci dalam perpindahan hak milik atas suatu benda. Untuk

memastikan perpindahan ini sah dan final, beberapa syarat harus dipenuhi. Pertama, harus ada

perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) yang bertujuan menciptakan, menghapus, atau

mengubah hak kebendaan, yang tunduk pada Buku II BW. Kedua, harus ada titel atau peristiwa perdata

yang mendasari levering, yang diatur dalam Buku III BW sebagai perjanjian obligatoir. Ketiga, dalam

levering harus ada kewenangan untuk mengasingkan benda (beschikkingsbevoegd), mengikuti asas

bahwa seseorang tidak dapat menyerahkan hak melebihi yang dimilikinya. Keempat, terdapat

penyerahan yang melibatkan penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan juridis (juridische

levering).

Levering atau penyerahan memiliki beberapa jenis, termasuk traditio longa manu (penyerahan

dengan tangan Panjang) yang melibatkan situasi seperti peminjaman benda yang kemudian dijual
kepada pihak lain, traditio brevi manu (penyerahan dengan tangan pendek) yang terjadi saat benda

yang disewa dijual kepada penyewa, dan constitutum possessorium (penyerahan abstrak) yang

merupakan penyerahan abstrak yang melibatkan pemilik yang sekaligus menyewakan benda tersebut

setelah kesepakatan dengan pembeli.

Terkait dengan berbagai pandangan terhadap Pasal 584 BW, ada dua aliran yang berbeda. Aliran

pertama menganggap Pasal 584 BW bersifat limitatif, artinya hanya lima cara yang tercantum dalam

pasal ini yang sah untuk memperoleh hak milik. Aliran kedua, yang lebih banyak pengikutnya,

menganggap Pasal 584 BW bersifat enunsiatif, artinya pasal ini hanyalah contoh-contoh cara dan cara

lain juga dapat digunakan untuk memperoleh hak milik, sepanjang sesuai dengan ketentuan lain dalam

hukum. Aliran enunsiatif lebih kuat karena mempertimbangkan hubungan kompleks antara berbagai

pasal dalam BW, termasuk keterkaitannya dengan WvS (KUHP) dan WvK (KUHD), membentuk

sistem hukum nasional yang saling mendukung.

5. Kedudukan Benda Sebagai Jaminan Demi Menangkal Kerugian

Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian dan kepemilikan atas benda sangat relevan. BW

(Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) mengatur dua aspek penting ini

melalui Buku II dan Buku III. Sebagai contoh, ketika Anda mengambil pinjaman dari bank, Anda

membuat perjanjian kredit yang menghasilkan hak pribadi dan hak kebendaan.

Hak kebendaan tersebut melibatkan jaminan gadai atau hipotek yang berperan sebagai

perlindungan hukum internal. Pasal 1131 BW menciptakan dasar perlindungan hukum eksternal

dengan memberikan kreditor hak untuk mengejar ganti rugi jika debitur wanprestasi. Namun, proses

hukum sering kali rumit, lambat, dan mahal.

Untuk mengatasi ini, pihak yang terlibat dalam perjanjian, seperti pemberi pinjaman dan

peminjam, menciptakan perjanjian jaminan kebendaan seperti gadai atau hipotek. Perjanjian semacam

ini memberikan perlindungan hukum internal yang lebih fleksibel bagi kreditor dan memberikan dasar

bagi pihak-pihak untuk menentukan kondisi dan konsekuensi yang sesuai dalam perjanjian.
Namun, perkembangan dalam hukum harta kekayaan juga mencerminkan perubahan dalam asas

kebebasan berkontrak, terutama dalam kontrak pengadaan infrastruktur yang semakin luas. Asas

kebebasan berkontrak, yang selama ini mendukung pihak kreditor dalam perjanjian jaminan, saat ini

menjadi pusat perdebatan karena pertimbangan perlindungan bagi pihak yang lebih lemah dalam

kontrak baku. Ini memunculkan pertanyaan tentang keseimbangan antara perlindungan kreditor dan

perlindungan debitor, terutama dalam kerangka hukum harta kekayaan di Indonesia.

Secara keseluruhan, pemahaman tentang perjanjian, hak, dan kewajiban menjadi sentral dalam

konteks hukum harta kekayaan, yang melibatkan aturan dan peraturan yang mempengaruhi

kepemilikan benda dan pelaksanaan perjanjian.

BAB IV – KONSTRUKSI NORMA BUKU III BW SEBAGAI PILAR HUBUNGAN

TRANSAKSIONAL

1. Kedudukan Pasal 1233 BW

Eksistensi manusia sebagai zoon politicon, yaitu makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat,

menghasilkan ketergantungan yang kuat pada hukum dalam berbagai aspek kehidupan, terutama

dalam konteks bisnis. Prinsip "ubi societas ibi ius" menegaskan bahwa di setiap masyarakat, terdapat

hukum yang mengatur tatanan sosial dan aktivitas manusia. Manusia, sebagai Homo economicus,

selalu mempertimbangkan aspek untung-rugi dalam tindakan dan keputusannya, dan hal ini

menjadikan kontrak atau perjanjian sebagai unsur dasar yang mendominasi aktivitas bisnis. Buku II

BW mengonkretkan peran sentral perjanjian dalam hukum Indonesia dengan mengatur tentang

perikatan, sementara Buku III BW, khususnya dalam bagian yang mengatur Hukum Perikatan,

memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana aspek-aspek kontraktual memengaruhi

kerangka bisnis.

BW, sebagai satu-satunya kode privat di Indonesia, berfokus pada mengatur aspek-aspek

perjanjian atau kontrak, dengan inti dari hukum perdata berada dalam Buku III BW. Dalam esensi,

Buku III BW menciptakan landasan untuk perjanjian-perjanjian yang mengatur beragam transaksi
bisnis. Namun, perlu diperhatikan bahwa BW tidak menyediakan definisi formal mengenai perjanjian

atau perikatan. Ini disebabkan oleh pandangan bahwa memberikan definisi pasti atas perikatan akan

memunculkan tafsiran yang kompleks dan subyektif, yang mungkin tidak sesuai dengan

perkembangan realitas bisnis yang terus berubah.

Buku II BW, melalui Pasal 1233 BW, menjelaskan bahwa perikatan dapat bersumber dari

perjanjian dan undang-undang, dengan perjanjian berperan penting dalam memberikan kerangka bagi

aktivitas bisnis. Manusia sebagai Homo economicus selalu berorientasi pada pertimbangan untung dan

rugi, dan ini mencerminkan pentingnya hukum sebagai kerangka yang mengatur interaksi sosial. BW

berusaha melindungi individu dari kerugian dengan Pasal 1131 BW sebagai dasar perlindungan hukum

eksternal dalam kerangka perjanjian bisnis.

Perbedaan antara Buku II BW dan Buku III BW mencerminkan keberagaman dalam pengaturan

hukum perikatan dan hukum benda, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang

hukum harta kekayaan. Perbedaan ini seharusnya dilihat sebagai peluang untuk menyatukan dan

memperkaya pemahaman hukum. Kendati definisi perikatan tidak tersedia dalam Buku III BW,

analisis pasal-pasal dalam buku tersebut menunjukkan bahwa unsur kontrak menjadi fokus utama,

dengan perikatan diartikan memiliki kekuatan undang-undang jika memenuhi syarat yang ditetapkan.

Kesimpulannya, hubungan antara Buku II BW dan Buku III BW dalam BW mencerminkan

kompleksitas hukum dalam konteks bisnis, di mana perikatan dan kontrak memiliki peran sentral.

Meskipun definisi perikatan tidak tersedia secara eksplisit, penggunaan hukum doktrin dan kontribusi

dari para sarjana dapat memperkaya pemahaman tentang hukum perjanjian. Perbandingan antara

kedua buku ini menawarkan wawasan tentang kompleksitas hukum perdata dan pentingnya

pendekatan ilmiah dalam studi hukum.

2. Dominasi Aspek Kontraktual Dalam Buku III BW

Kontrak yang menjadi dasar penting dalam kehidupan sehari-hari memiliki peran dominan dalam

hukum, terutama dalam Buku II BW. Ketika kontrak terbentuk, perikatan antara pihak-pihak terwujud,
dan kewajiban pun muncul sebagai akibat dari pertukaran janji antar kontraktan. Ini merupakan ciri

khas dari perikatan yang lahir dari perjanjian, yang berbeda dengan perikatan yang muncul dari

undang-undang dan diberlakukan oleh penguasa lewat aturan yang dibuatnya.

Dalam era modern, terutama dalam konteks bisnis, perjanjian sering kali dituangkan dalam bentuk

tertulis. Ini penting terutama ketika transaksi bisnis melibatkan nilai uang besar dan berbagai ketentuan

hukum yang kompleks. Dalam perjanjian tertulis, hak dan kewajiban setiap pihak dapat dijelaskan

dengan rinci.

Buku III BW, yang membahas Hukum Perikatan, juga menyoroti aspek kontraktual, terutama

dalam Pasal 1234 BW. Pasal ini menyebutkan tiga jenis prestasi, yaitu memberikan sesuatu,

melakukan sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu, yang mencerminkan hubungan antara pihak-pihak

yang didasarkan pada janji-janji yang mereka buat. Prestasi pertama, yaitu memberikan sesuatu,

umumnya berkaitan dengan perjanjian jual beli dan hukum harta kekayaan. Titel atau peristiwa yang

mendasari "memberikan sesuatu" biasanya memiliki nuansa bisnis dan biasanya berujud perjanjian

jual beli. Secara umum, perjanjian jual beli diakui sebagai salah satu jenis perjanjian yang paling

penting dan menjadi dasar hukum dalam perdagangan. Bahkan dalam konteks korporasi, perjanjian

jual beli tetap menjadi aspek penting dalam aktivitas bisnis. Namun, jika perjanjian tersebut bertitel

hibah, maka meskipun memungkinkan, jenis perjanjian ini tidak termasuk dalam ranah komersial

karena bersifat sepihak, yang tidak masuk akal digunakan dalam konteks bisnis, di mana hanya satu

pihak yang mendapat keuntungan tanpa memberikan imbalan.

Kedua, prestasi "berbuat sesuatu" lebih berkaitan dengan profesi atau keahlian khusus dalam

aktivitas tertentu, seperti melukis, mereparasi kendaraan, atau melaksanakan kuasa di pengadilan.

Prestasi ketiga, "tidak berbuat sesuatu," seringkali bersifat larangan dan berhubungan dengan

persaingan usaha, seperti larangan bagi karyawan pabrik untuk memproduksi barang sejenis di rumah

mereka. Meskipun prestasi kedua dan ketiga lebih berorientasi pada keahlian dan larangan, tidak dapat

menyaingi meriahnya prestasi pertama, yaitu "memberikan sesuatu," sehingga diletakkan dalam pasal
1234 BW pada urutan pertama untuk memberikan kesan dalam memegang kesan penting. Oleh karena

itu, norma-norma perjanjian jual beli ditempatkan dalam Buku II BW dan dibuat serinci mungkin

untuk memandu para pihak dalam aktivitas mereka, terutama dalam bisnis.

Pada bagian tertentu, perjanjian jual beli menjadi fokus utama dalam konteks levering. Perjanjian

jual beli seringkali digunakan sebagai titelnya dan mendapat perhatian khusus dalam undang-undang,

terutama dalam Buku III BW. Hal ini disebabkan karena perjanjian jual beli merupakan salah satu ujud

prestasi "memberikan sesuatu" yang paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pengutamaan penormaan perjanjian jual beli pada awal perakitan jenis perjanjian bernama

menunjukkan pentingnya perjanjian ini dalam mengalihkan hak milik atas suatu benda atau levering.

Norma-norma yang berkaitan dengan perjanjian jual beli, termasuk ketentuan yang mewajibkan

penjual untuk memberikan barang kepada pembeli sesuai dengan kesepakatan, diposisikan dengan

strategis dalam undang-undang, seperti yang tercantum dalam Pasal 1478 BW.

Pasal 1478 BW memberikan peringatan penting kepada penjual bahwa hak revindikasi tidak dapat

digunakan jika penyerahan hak milik atas barang yang dijual dilakukan kepada pembeli sebelum

pembayaran yang telah disepakati. Ini berarti penjual harus mematuhi ketentuan tersebut jika ingin

menggunakan hak revindikasi, yang merupakan senjata ampuh bagi penjual dalam kasus tertentu.

Selain itu, Pasal 1475 BW juga mengandung ketentuan yang mengizinkan penjual menggunakan

dalth exceptio non adimplett contractus jika digugat oleh pembeli atas dasar wanprestasi, terutama jika

harga belum dibayar sesuai kesepakatan.

Dengan demikian, perjanjian jual beli memiliki peran sentral dalam konteks levering, dan undang-

undang mengatur dengan cermat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian

ini untuk menjaga keadilan dan keseimbangan dalam transaksi jual beli. Pasal 1477 BW menjelaskan

dengan jelas bahwa dalam perjanjian jual beli, penyerahan benda obyek transaksi oleh penjual kepada

pembeli di tempat perjanjian ditutup, menggambarkan praktik transaksi paling umum dalam kehidupan
sehari-hari, meskipun ketentuan ini bisa disesuaikan oleh pihak-pihak yang terlibat sesuai dengan

kesepakatan mereka.

Levering dalam perjanjian jual beli terdiri dari dua unsur, yaitu feitelijke levering (penyerahan

fisik) dan juridische levering (penyerahan hak milik), yang diatur oleh Pasal 1475 BW. Ketika kedua

unsur ini terpenuhi, hak milik benda dianggap telah berpindah dari penjual kepada pembeli. Pasal 1475

BW menjelaskan bahwa levering adalah penyerahan benda jual ke dalam kekuasaan nyata dan

kepemilikan pembeli. Hal ini menunjukkan bahwa penyerahan benda adalah kewajiban utama penjual,

sesuai dengan Pasal 1474 BW. Perpindahan hak milik terjadi saat benda diserahkan, bukan pada saat

pembayaran. Oleh karena itu, perjanjian jual beli lahir berdasarkan kesepakatan antara pihak-pihak,

dan hak serta kewajiban mereka ditentukan oleh perjanjian tersebut. Hal ini mencerminkan karakter

perjanjian jual beli sebagai perjanjian konsensuil, di mana perjanjian lahir saat terjadi kesepakatan

antara pihak-pihak, berbeda dengan perjanjian riil seperti perjanjian penitipan yang terjadi saat

penyerahan benda fisik. Meskipun demikian, pembuat undang-undang juga menetapkan beberapa

ketentuan yang bersifat memaksa untuk mengatur kebebasan berkontrak dalam perjanjian jual beli,

demi menjaga agar situasi dan kondisi pasar tetap terkendali dan tidak merugikan salah satu pihak.

Salah satu ketentuan tersebut adalah Pasal 1520 BW, yang mengatur perjanjian jual beli dengan hak

membeli kembali, di mana pelanggaran terhadapnya dapat mengakibatkan pengurangan batasan waktu

yang telah disepakati oleh para pihak. Selain itu, obyek perjanjian jual beli umumnya adalah benda

yang merupakan hak milik, sesuai dengan Pasal 1457 BW yang mengatur definisi perjanjian jual beli

yang mencakup unsur harga dan benda.

Hak milik dalam perjanjian jual beli memiliki kedudukan yang unggul, dan membawa

konsekwensi bagi pihak penjual untuk dibebani kewajiban utama sebagaimana ditentukan oleh Pasal

1474 BW, yakni menyerahkan bendanya dan menanggungnya (vrijwaring). Menyangkut kewajiban

menyerahkan bendanya, tentu saja ke dalam kekuasaan nyata dan kepemilikan pembel, itu memang

wajar, karena tujuan final perjanjian jual beli adalah untuk mengalihkan hak milik benda.
Penjual juga harus menjamin ketenteraman penguasaan benda oleh pembeli dan menanggung

adanya cacad tersembunyi sesuai dengan Pasal 1491 BW. Hal ini bertujuan agar benda yang sudah

berpindah hak milik tidak diganggu gugat oleh pihak ketiga, yakni kewajiban penjual,tanggung gugat

seperti yang ditentukan oleh Pasal 1267 BW. Meskipun ada peringatan dalam Pasal 1503 BW untuk

pembeli agar berhati-hati terhadap gangguan dari pihak ketiga, Buku III BW memberikan fleksibilitas

kepada pihak-pihak untuk mengatur penanggungan cacad tersembunyi, dengan batasan tertentu,

seperti yang diatur dalam Pasal 1495 BW. Namun, perjanjian tidak boleh merugikan pihak ketiga

sesuai dengan prinsip hukum, dan hal ini berkaitan dengan Pasal 1340 ayat 2 BW. Dalam perjanjian

jual beli, penjual harus dengan jelas menyatakan kehendaknya untuk menjual benda dengan

mendeskripsikan jenis, jumlah, dan harga, sesuai dengan Pasal 1475 BW. Prinsip "contra preferentum

rule" dalam Pasal 1349 BW menuntut agar keraguan dalam sebuah janji harus diinterpretasikan demi

menghindari kerugian pihak yang membuat janji tersebut. Kombinasi ketentuan-ketentuan ini

memperkuat konstruksi hukum perjanjian jual beli, dan memastikan keselarasan dalam kodifikasi

hukum yang diterapkan, yang penting untuk menjaga konsistensi dan integritas hukum yang berlaku

dalam kehidupan konkret.

Ujud prestasi "memberikan sesuatu" dalam rangka memindahkan hak milik benda dapat terjadi

dalam perjanjian jual beli maupun perjanjian tukar menukar. Perjanjian tukar menukar pada awalnya

menjadi metode utama dalam kehidupan sosial sebelum dikenalnya alat tukar seperti uang. Namun,

seiring perkembangan peradaban dan efisiensi uang sebagai alat tukar, perjanjian tukar menukar mulai

berkurang, digantikan oleh perjanjian jual beli. Untuk mengakomodasi hal ini, kodifikator mengambil

langkah bijak dengan menggunakan analogi, menjadikan aturan perjanjian jual beli berlaku juga untuk

perjanjian tukar menukar melalui Pasal 1546 BW. Hal ini memungkinkan penggunaan norma yang

sudah ada, menghemat usaha dalam penyusunan norma baru. Meskipun perjanjian tukar menukar

semakin jarang dalam kehidupan sosial, terdapat fenomena baru, yaitu "perjanjian tukar guling" yang

melibatkan pertukaran benda tanah. Selain itu, perjanjian hibah yang hanya membebankan kewajiban
pada satu pihak tanpa meminta pengorbanan dari pihak lain, termasuk dalam perjanjian sepihak.

Meskipun bukan urusan bisnis, perjanjian hibah diatur dalam Buku III BW untuk memberikan

prosedur dan perlindungan hukum bagi pihak penerima hibah, mengingat banyak masyarakat yang

melakukan perjanjian hibah dengan maksud mengalihkan kepemilikan benda kepada pihak lain sesuai

keinginan mereka.

Prestasi "memberikan sesuatu" dalam konteks perjanjian tidak selalu berhubungan dengan levering

benda, seperti dalam perjanjian sewa di mana pemilik memberikan obyek sewa untuk dinikmati

dengan imbalan. Hak sewa, meskipun awalnya bersifat relatif, dapat ditegakkan terhadap pihak ketiga

yang mengurangi kenikmatan sewa berdasarkan Pasal 1556 dan 1576 BW. Pasal 1576 BW terjadi

verzakelijking yang menguatkan hak sewa sebagai hak pribadi bahkan saat benda sewa dijual oleh

pemiliknya, sehingga pemilik baru tidak bisa memaksa penyewa melepaskan hak sewanya. Ini adalah

bentuk perlindungan hukum eksternal untuk penyewa.Perjanjian pekerjaan, termasuk perjanjian

perburuhan dan pemborongan, adalah perjanjian timbal balik yang berhubungan dengan bisnis dan

kewajiban yang dilaksanakan oleh masing-masing kontraktor untuk keuntungannya sendiri. Prestasi

dalam perjanjian pekerjaan berkaitan dengan keahlian dan jasa yang diberikan oleh pihak tertentu.

Perjanjian penitipan benda dan pinjam pakai juga umumnya melibatkan pertukaran prestasi, yang pada

umumnya berorientasi pada aspek komersial dengan mempertimbangkan untung dan rugi.

Perjanjian pinjam meminjam dapat melibatkan benda habis pakai atau tidak habis pakai (pasal 505

BW), dengan konsekuensi hukum yang berbeda terkait kepemilikan. Jika perjanjian melibatkan benda

habis pakai, kepemilikan beralih ke peminjam sesuai dengan Pasal 1754 dan 1755 BW. Namun, jika

obyeknya adalah benda tidak habis pakai, maka pemilik tetap mempertahankan hak milik sesuai

dengan Pasal 1740 dan 1741 BW, dan ini sering disebut sebagai perjanjian pinjam pakai. Perjanjian

pinjam meminjam uang yang berubah menjadi perjanjian utang piutang yang termasuk dalam

perjanjian ril, atau di dunia perbankan dikenal sebagai perjanjian kredit tetapi perbedaannya ini

merupakan perjanjian tidak bernama / konsensuil, ini sering diikuti oleh perjanjian jaminan kebendaan
seperti gadai, hipotek, hak tanggungan, atau fidusia yang bersifat accessoir (tambahan). Bank yang

memberikan pinjaman akan menjadi kreditor preferen dengan prioritas pembayaran (lihat Pasal 1133

BW). Meskipun BW telah ada selama hampir dua abad, prinsip-prinsipnya masih relevan dengan

kehidupan modern, meskipun beberapa penyesuaian mungkin diperlukan untuk mengatasi

kesenjangan dalam era teknologi informasi saat ini. Dalam menghadapi perkembangan teknologi

seperti artificial intelligence atau kecerdasan buatan terhadap big data, reformasi hukum mungkin

perlu dilakukan agar tetap sesuai dengan tuntutan zaman yang semakin cepat berubah.

3. Lembaga Hukum Overmacht (Force Majeur)

Rangkaian Pasal 1234 BW hingga 1236 BW mengatur urutan pengaturan perjanjian dengan jelas.

Pasal 1234 BW membahas prestasi sebagai kewajiban kontraktual, yang kemudian ditegaskan oleh

Pasal 1235 BW bahwa prestasi ini harus dilaksanakan. Jika prestasi sebagai kewajiban tidak

dilaksanakan, maka itu dianggap wanprestasi, dan konsekuensinya adalah pelaku wanprestasi harus

membayar ganti rugi, beaya, dan bunga sesuai dengan Pasal 1236 BW. Detail lebih lanjut dapat

ditemukan dalam Pasal 1239, 1242, 1243, 1246, 1247, 1248, 1249, dan 1250 BW. Namun, peristiwa

wanprestasi bisa terjadi karena dua hal, yakni sengaja atau karena overmacht. Wanprestasi yang

disengaja diatur dengan rinci dalam BW, termasuk dalam Pasal 1234, 1235, dan 1236 BW. Namun,

ketika wanprestasi disebabkan oleh overmacht, BW mengatur secara ringkas dan kurang jelas, seperti

yang terlihat dalam Pasal 1244, 1245, 1244, dan 1245 BW. Overmacht dalam BW tidak dijelaskan

secara komprehensif, termasuk definisi, peristiwa yang dianggap overmacht, konsekuensi hukumnya,

dan jenis overmacht. Hal ini menjadi penting karena overmacht pasti selalu berkaitan dengan

perjanjian yang menurut pasal 1314 BW dibedakan dalam perjanjian sepihak dna timbal

balik,overmacht dapat terjadi dalam perjanjian ini namun BW tidak memberikan aturan yang tegas

untuk kedua situasi tersebut. Sehingga, untuk memahami konsekuensi hukum overmacht, terutama

dalam konteks perjanjian sepihak atau timbal balik, diperlukan analisis yang lebih mendalam dengan

mencermati Pasal 1237 BW sebagai pedoman awal.


Pasal 1237 BW menyatakan bahwa dalam perjanjian hibah, yang merupakan jenis perjanjian

sepihak menurut Pasal 1314 BW, pihak penerima hibah harus bertanggung jawab terhadap benda yang

akan dihibahkan sejak terjadi kesepakatan, bahkan sebelum terjadi penyerahan fisik (levering) benda

tersebut. Risiko muncul ketika ada kesalahan atau kerugian yang disebabkan oleh pemilik, dan prinsip

"siapa salah pikul risiko" berlaku. Ini berarti bahwa jika benda hibah tersebut rusak atau musnah diluar

kesalahan penerima hibah, misalnya karena adanya overmacht, penerima hibah harus tetap memikul

risiko dan tidak dapat menuntut benda tersebut atau ganti rugi. Kejanggalan dalam hal ini adalah bahwa

penerima hibah harus memikul risiko meskipun tidak ada kesalahan yang dilakukannya. Untuk

mengatasi kebingungan ini, risiko yang harus dipikul oleh penerima hibah dalam kasus overmacht

seharusnya tidak didasarkan pada unsur kesalahan (salah), melainkan pada unsur kepatutan, sehingga

jika benda hibah rusak tanpa ada kesalahan siapapun, penerima hibah harus rela atau legowo tanpa

menggugat pemberi hibah yang wanprestasi. Pasal 1237 BW seharusnya dijadikan pedoman untuk

mengatasi permasalahan risiko dalam perjanjian hibah yang tergolong perjanjian sepihak.

Penting untuk mengatur overmacht secara jelas dalam hukum Indonesia, terutama dalam

pembaruan Hukum Harta Kekayaan Indonesia. Ini bisa dilakukan dengan menciptakan lembaga

hukum overmacht yang mirip dengan lembaga onrechtmatige daad (perbuatan melanggar hukum)

dalam Pasal 1365 BW. Overmacht adalah situasi di mana terjadi peristiwa tak terduga yang

menghambat pelaksanaan kontrak, tanpa kesalahan dari pihak-pihak yang terlibat. Dalam pembaruan

hukum, ciri-ciri overmacht, seperti peristiwa yang tiba-tiba dan tak terduga, perlu dijelaskan secara

detail. Jika debitor dapat membuktikan adanya overmacht yang memenuhi kriteria tersebut, maka dia

dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi, biaya, dan bunga, bahkan jika kontrak tidak

terlaksana. Ini akan memberikan pedoman yang jelas bagi hakim dalam kasus overmacht dan menjaga

kepastian hukum.

Selain overmacht, pemahaman tentang lembaga hukum "hardship" juga penting. Hardship terjadi

ketika debitor masih dapat memenuhi kewajibannya, meskipun dengan pengorbanan besar yang
mungkin tidak adil, karena perubahan keadaan yang mengganggu keseimbangan hak dan kewajiban

dalam kontrak. Dalam pembaruan Hukum Harta Kekayaan Indonesia, perlu mempertimbangkan

penanganan "hardship" secara khusus, karena konsep ini memiliki perbedaan mendasar dengan

overmacht.

Untuk mengatasi kondisi sulit debitor dalam rangka memenuhi kewajiban, pentingnya

mengedepankan prinsip itikad baik dengan merujuk pada adagium "rebus sic stantibus." Prinsip ini

menekankan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 BW), dan Pasal

1339 BW mengingatkan bahwa kontrak harus dilaksanakan secara adil, terlepas dari perubahan

keadaan yang mungkin terjadi setelah kontrak dibuat.

Intinya, para pihak dalam kontrak seharusnya menyadari bahwa kontrak hanya bisa dilaksanakan

jika keadaannya tetap sama seperti saat kontrak dibuat. Jika terjadi perubahan yang signifikan dan

mengganggu keseimbangan hak dan kewajiban para pihak, maka perlu dipertimbangkan untuk

mencapai kesepakatan baru yang lebih adil. Konsep ini sejalan dengan gagasan hardship, yang perlu

disesuaikan dengan perkembangan internasional dan diterapkan dengan prinsip-prinsip keadilan, serta

membutuhkan prosedur hukum yang sesuai dan transparan.

4. Keluwesan Norma Kontrak

Tanpa keluwesan yang bersandang kepatutan, hukum dianggap selalu tertinggal sehingga Buku III

BW yang banyak mengandung aturan kontrak, sudah sangat cocok bila dibert sifat terbuka guna

menyelaraskan dengan marwahnya norma-norma bertipe regelend recht. Aturan tentang kontrak,

berkisar pada sifat umum saja, namun landasannya berupa asas, wajib punya nilai-nilai universal yang

dapat bertahan akibat gempuran perubahan. Pentingnya konsistensi dan adaptabilitas dalam hukum

sebagai fondasi norma menjadi penting untuk mendukung perkembangan bisnis yang terus berinovasi.

Namun, perlu dihindari adopsi terburu-buru dari lembaga hukum asing yang dapat menimbulkan

antinomi dan merusak integritas sistem hukum yang ada. Sifat regelend recht dari Buku III BW,

memberikan peluang kepada para kontraktan untuk menyesuaikan dengan tujuan bisnis mereka,
melalui klausula yang memberikan fleksibilitas bagi para kontraktan untuk menyesuaikan perjanjian

sesuai tujuan bisnis mereka. Hal ini mencerminkan kebebasan berkontrak, tetapi tetap mematuhi

persyaratan keabsahan kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW yang menciptakan koridor

utama bagi kebebasan berkontrak dan memungkinkan pemulihan kerugian melalui perlindungan

hukum eksternal. Jika hal ini kurang efisien, para pihak dapat membangun sendiri perlindungan hukum

internal melalui perjanjian ganda yang wajib dibuat, yakni perjanjian pokok dan perjanjian accessoir,

sehingga pemulihan kerugian yang semisal muncul di belakang hari, dapat sesegera mungkin teratasi.

Inilah wujud lain fleksibilitas yang ditawarkan oleh BW demi memberikan situasi kondusif bagi

perputaran roda komersial dalam masyarakat.

5. Karakteristik pasal 1320 BW

Pasal 1329 BW, Pasal 1320 BW, dan Pasal 1338 BW memainkan peran penting dalam

pembentukan kerangka hukum yang mengatur kontrak dalam konteks bisnis. Mereka bertujuan untuk

memastikan bahwa kontrak, sebagai kerangka kerja bisnis, dapat mencapai tujuan profit yang

diinginkan oleh para pihak yang terlibat. BW mengakui bahwa setiap orang adalah subyek hukum, dan

selama undang-undang tidak menentukan lain, setiap orang cakap untuk membuat perjanjian. Namun,

untuk memastikan keabsahan perjanjian, Pasal 1320 BW mengatur persyaratan yang harus dipenuhi.

Ketika perjanjian memenuhi persyaratan ini, maka perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang

setara dengan undang-undang, sesuai dengan Pasal 1338 BW. Pusat perhatian utama dalam kerangka

hukum ini adalah Pasal 1320 BW, yang memiliki karakteristik unik sebagai ketentuan dwingend recht

yang mengatur keabsahan perjanjian.

Syarat keabsahan kontrak terdiri dari empat pilar, yaitu sepakat, cakap, obyek tertentu, dan causa

yang halal. Dua pilar pertama, yaitu sepakat dan cakap, bersifat subyektif karena berkaitan dengan

para pihak yang terlibat dalam kontrak. Sementara dua pilar terakhir, obyek tertentu dan causa yang

halal, merupakan unsur-unsur objektif. Pelanggaran terhadap unsur subyektif akan menyebabkan

ketidak sahannya kontrak tersebut. Dalam konteks Pasal 1320 BW yang memiliki karakteristik sebagai
ketentuan dwingend recht, pelanggaran terhadapnya tidak selalu berarti pembatalan otomatis. Ini

karena unsur subyektif, termasuk yang berada di bawah kawasan persoonlijk recht (hak perorangan),

biasanya tidak memiliki dampak yang mencolok pada kepentingan umum. Oleh karena itu,

konsekuensinya adalah "dapat dibatalkan" (vernietigbaar/voidable), yang berarti kontrak tersebut bisa

dibatalkan atau tidak, tergantung pada pihak yang terpengaruh oleh pelanggaran unsur subyektif ini.

Hal ini adalah karakteristik unik dari Pasal 1320 BW.

Label "dapat dibatalkan" mengindikasikan bahwa pihak yang merasa kontraknya tidak sah

memiliki dua kemungkinan, yaitu bisa meminta pembatalan atau membiarkannya tetap berlaku.

Keputusan ini sepenuhnya bergantung pada subjektivitas pihak yang terlibat, apakah mereka ingin

membatalkannya atau tidak, terutama jika ada cacat dalam kesepakatan atau kecakapan mereka.

Undang-undang memberikan kesempatan untuk membatalkan kontrak seperti yang diatur dalam Pasal

1331 BW dan Pasal 1449 BW. Penggunaan Pasal 1331 BW akan mengembalikan kondisi seperti

sebelum perjanjian dibuat, sesuai dengan ketentuan Pasal 1451 BW. Jika Pasal 1449 BW digunakan

untuk membatalkan kontrak, kondisi harus dikembalikan ke posisi sebelum adanya perjanjian, baik

yang berkaitan dengan benda maupun individu (Pasal 1452 BW). Hak untuk mengajukan pembatalan

kontrak berlaku selama lima tahun sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1454 BW. Namun, jika pihak

yang terpengaruh ingin membatalkannya, mereka dapat melakukannya dengan diam-diam atau secara

tegas sesuai dengan ketentuan Pasal 1456 BW, selama memenuhi syarat yang ditetapkan. Pasal 1892

BW juga memberikan opsi untuk memperkuat kontrak yang tidak sah dengan membuat akta.

Pendekatan ini memberikan kejelasan bahwa daya kerja (strekking) Pasal 1331 BW dan Pasal 1449

BW bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang mungkin tidak cakap atau

sepakatnya cacat. Namun, kedua pasal ini tidak dapat digunakan oleh pihak yang tidak terpengaruh

oleh pelanggaran unsur subyektif, karena tujuannya adalah memberikan perlindungan hukum kepada

mereka yang membutuhkannya.


Berbeda halnya jika sebuah perjanjian melanggar Pasal 1320 BW karena obyeknya tidak dapat

ditentukan atau causanya tidak halal, perjanjian tersebut dianggap tidak sah dan mengakibatkan "batal

demi hukum". Namun, akibat hukum yang sama tidak selalu berlaku dalam semua kasus pelanggaran

Pasal 1320 BW.Pertama, pelanggaran terhadap unsur obyektif, terutama yang membuat obyek tidak

dapat ditentukan, dianggap melanggar prinsip kepastian hukum dan marwah aturan benda dalam Buku

II BW yang bersifat dwingend recht. Konsekuensinya adalah "batal demi hukum," seperti yang diatur

dalam Pasal 1472 BW jika obyek musnah tanpa kesalahan para pihak akibat overmacht.

Kedua, pelanggaran terhadap unsur obyektif kedua, yaitu dengan menjadikan causanya tidak halal,

mengakibatkan perjanjian dianggap tidak sah sesuai dengan Pasal 1335 jo 1337 BW, dan akibat

hukumnya adalah "batal demi hukum." Pelanggaran ini terkait dengan tujuan perjanjian (causa) yang

bertentangan dengan hukum, yang secara khusus berkaitan dengan kawasan "openbare orde" atau

kepentingan umum. Oleh karena itu, adalah tepat jika perjanjian yang tidak sah tersebut kemudian

dianggap "nietig atau void" untuk melindungi kepentingan umum.

Sementara BW sebagai panduan hukum yang sudah berusia hampir dua abad tetap luar biasa, kita

harus menyadari bahwa aturan hukum juga perlu berubah seiring dengan perkembangan zaman. Kita

perlu berpikir kreatif dan adaptif untuk membuat aturan yang sesuai dengan tuntutan dan nilai-nilai

masa kini.

6. Hakekat Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak memainkan peran strategis dalam hukum perjanjian, memungkinkan

pihak-pihak untuk merancang kontrak sesuai dengan kesepakatan mereka, yang selanjutnya

melahirkan beragam jenis perjanjian. BW menciptakan kerangka hukum untuk mengatur aktivitas

bisnis yang didasari oleh pertimbangan ekonomi, yang menekankan pertimbangan untung rugi sebagai

elemen kunci dalam aktivitas bisnis. Konsep ini mencerminkan prinsip yang telah ada selama ribuan

tahun, yaitu "ubi societas ibi ius" - di mana ada masyarakat, pasti ada hukum. Pusat hukum perjanjian

ini adalah hukum harta kekayaan, yang diwujudkan dalam norma-norma perjanjian. Dalam analisis
Pasal 1338 BW, kata "semua perjanjian" menegaskan keberadaan beragam jenis perjanjian dalam

berbagai bentuk dan jenis, seperti perjanjian bernama dan tak bernama. Pihak-pihak dalam kegiatan

bisnis memiliki kebebasan untuk memilih jenis perjanjian dan menentukan isi serta bentuknya. Hal ini

mencerminkan asas kebebasan berkontrak, yang mencakup kebebasan memilih mitra kontrak, bentuk

perjanjian, jenis perjanjian, isi, dan forum penyelesaian sengketa. Asas kebebasan berkontrak

merupakan prinsip penting dalam hukum perjanjian yang berperan dalam mengatur aktivitas bisnis,

terutama selama era paham liberalisme ekonomi mendominasi.

Untuk memudahkan penjelasan, dalam pasal 1319 BW perjanjian ini dibedakan menjadi dua jenis:

perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama. Perjanjian bernama adalah jenis perjanjian yang diatur

secara khusus oleh Buku III BW dalam Bab III-XVIII, seperti perjanjian jual beli, tukar-menukar, dan

sewa. Sedangkan perjanjian tak bernama adalah jenis perjanjian yang tidak memiliki regulasi khusus

dalam Buku III BW, tetapi muncul sebagai respons terhadap kebutuhan, seperti perjanjian sewa beli,

anjak piutang, dan lainnya.

Merajalelanya asas kebebasan berkontrak dalam konteks laissez faire laissez passer, kadang-

kadang dapat mengesampingkan prinsip-prinsip lain yang seharusnya turut berperan dalam kontrak,

seperti itikad baik dan kepatutan. Meskipun semua asas ini seharusnya bekerja sama untuk mencapai

keadilan dalam kontrak bisnis, era laissez faire seringkali menyebabkan ketidakseimbangan, di mana

pihak-pihak yang kuat secara ekonomi dapat memanipulasi situasi demi keuntungan mereka sendiri.

Keseimbangan antara kebebasan berkontrak dan prinsip-prinsip hukum lainnya sangat penting

agar kontrak bisnis memberikan manfaat yang adil untuk semua pihak yang terlibat. Asas kebebasan

berkontrak adalah penting, tetapi tidak boleh digunakan secara tidak terkendali. Prinsip-prinsip lain,

seperti pacta sunt servanda (Pasal 1338 BW), privity of contract, dan asas kekuatan mengikatnya

kontrak, juga memiliki peran penting dalam hubungan hukum antara pihak-pihak dalam perjanjian.

Semua prinsip ini harus bekerja bersama untuk menciptakan kontrak yang adil dan harmonis, sesuai

dengan falsafah Pancasila untuk menciptakan tatanan kehidupan bernegara yang makmur dan adil.
Selain itu, Pasal 1965 BW menekankan bahwa setiap orang adalah subyek hukum. Oleh karena

itu, penerapan asas kebebasan berkontrak harus sejalan dengan prinsip-prinsip hukum lainnya dan

tidak boleh melupakan kewajiban moral dan etika. Memastikan keadilan dalam perjanjian adalah

esensi dari sistem hukum yang berwibawa dan adil.Jadi, penting untuk tidak hanya fokus pada asas

kebebasan berkontrak (Pasal 1338 BW), tetapi juga mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum

lainnya, termasuk pacta sunt servanda dan Pasal 1965 BW, untuk mencapai keseimbangan dalam

perjanjian bisnis.

7. Urgensi Mencermati Pasal 1339 BW

Pasal 1329 BW, 1320 BW, dan 1338 BW dalam rangkaian hukum perjanjian tidak dapat dipahami

secara terpisah dari Pasal 1339 BW yang mengenai unsur otonom dalam kontrak sebagai urat nadi

perjanjian. Kontrak bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi terjalin erat dengan realitas sosial dan

kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Ini sangat penting untuk diperhatikan, terutama dalam konteks

negara, di mana regulasi pemerintah berperan dalam memastikan keteraturan dalam kehidupan

masyarakat. Regulasi ini juga memengaruhi eksistensi kontrak yang dibuat oleh pihak-pihak dalam

bisnis mereka, sehingga kontrak tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku.

Unsur heteronom dalam kontrak, seperti kebiasaan, kepatutan, dan undang-undang, memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kontrak. Kodifikator hukum harus memperhatikan dengan cermat

unsur heteronom ini, terutama mengingat usia BW yang sudah tua. Keseimbangan antara unsur

otonom dan heteronom penting dalam kontrak, namun unsur otonom tetap inti dari perjanjian.

Kebiasaan, yang mencakup tindakan yang dipegang kuat oleh anggota masyarakat, adalah bagian

penting dalam tatanan sosial dan harus dihormati. Untuk dianggap sebagai kebiasaan, tindakan tersebut

harus konsisten dalam jangka waktu yang panjang.Melanggar kebiasaan dapat dianggap sebagai

kelainan yang dapat mengganggu tata pergaulan sosial dan bahkan memicu konflik. Untuk diakui

sebagai kebiasaan, tindakan tersebut harus memenuhi dua kriteria: dilakukan secara konsisten oleh

anggota masyarakat dalam jangka waktu yang panjang, sehingga ada nuansa keselaluan. Dan ada
kandungan unsur opinio necessitatis. Artinya ada suatu keyakinan bahwa perbuatan itu dilakukan

dengan nuansa kemestian.

Pasal 1339 BW dikaitkan dengan Pasal 1571 BW mengenai unsur kebiasaan ini dengan perjanjian

yang tidak tertulis, menunjukkan bahwa perjanjian sewa, sebagai contoh, tidak berakhir secara

otomatis sesuai kesepakatan, tetapi berdasarkan kehendak pihak lain yang memegang kekuasaan,

dengan mempertimbangkan norma-norma yang ada. Pola kebiasaan ini telah lama menjadi bagian dari

masyarakat adat di seluruh nusantara Indonesia, bahkan diakui oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dalam konteks modern, penting untuk mempertahankan prinsip ini sebagai landasan hukum yang

relevan. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Indonesia telah merdeka dan sebagai negara

berdaulat, penolakan terhadap keberadaan kebiasaan yang masih berlaku adalah tidak tepat. Ini

menegaskan bahwa kebiasaan adalah salah satu landasan hukum yang harus dihormati dalam

perkembangan masyarakat.

Selain kebiasaan, kepatutan juga menjadi faktor penting dalam tatanan sosial. Kepatutan

mewajibkan individu untuk bertindak dengan itikad baik dan selaras dengan nilai-nilai yang dihormati

oleh masyarakat. Pola yang telah dibahas di atas menggambarkan bagaimana unsur opinio necesitatis

(keyakinan akan keperluan) dalam kebiasaan telah berubah menjadi opinio juris (keyakinan akan

kewajiban hukum). Hal ini menjadi semakin penting di Indonesia saat ini, yang sudah menjadi negara

berdaulat. Penolakan terhadap keberadaan kebiasaan yang masih berlaku dan telah menjadi bagian

integral dari tatanan masyarakat dapat menciptakan ketidaksesuaian dan kebingungan hukum. Oleh

karena itu, penting bagi negara ini untuk terus menghormati dan menjaga kebiasaan sebagai soko guru

hukum tak tertulis yang tetap relevan dalam perkembangan masyarakat.

Khususnya bagi para hakim yang menghadapi sengketa kontrak, mereka harus memahami bahwa

selain mempertimbangkan unsur-unsur otonom dan sifat perjanjiannya, juga penting untuk memahami

dan menganalisis kebiasaan yang berkaitan dengan kontrak tersebut. Ini diperlukan untuk memastikan
bahwa setiap keputusan hukum yang mereka ambil akan mencerminkan keadilan dan konsistensi

dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Selain kebiasaan, kepatutan juga merupakan faktor penting dalam tatanan sosial. Namun, batasan

dan interpretasi tentang apa yang dianggap sebagai kepatutan sebagai asas dalam kehidupan sosial

dapat bervariasi. Meskipun demikian, hubungan antara asas kepatutan dan asas itikad baik adalah erat

dan keduanya saling melengkapi. Beritikad baik mengharuskan individu untuk bertindak dengan itikad

baik dan bertanggung jawab, sementara kepatutan mendorong individu untuk bertindak sesuai dengan

norma-norma moral dan sosial yang diterima oleh masyarakat.

Pasal 1339 BW menghubungkan unsur kepatutan dengan Pasal 1338 ayat 3 BW, menunjukkan

bahwa ada keterkaitan antara keduanya dalam menegakkan prinsip rebus sic stantibus (perubahan

keadaan). Penting untuk dipahami bahwa dalam pelaksanaan perjanjian, jika terjadi perubahan situasi

yang drastis dan mengancam isi fundamental kontrak, mengharuskan peninjauan ulang berdasarkan

prinsip rebus sic stantibus adalah langkah yang adil. Hal ini karena memaksa debitor untuk tetap

memenuhi prestasinya sesuai dengan kesepakatan awal dalam situasi yang sangat tidak adil, bahkan

jika itikad baik tetap terjaga, bisa menciptakan ketidakseimbangan yang merugikan. Oleh karena itu,

renegosiasi berdasarkan prinsip ini, dengan itikad baik dari semua pihak, penting untuk memastikan

bahwa tujuan kontrak dapat tercapai sesuai dengan prinsip kepatutan yang diterima bersama ketika

perjanjian tersebut dibuat.

Kepatuhan pada kepatutan dan kebiasaan berperan penting dalam konteks hukum, baik bagi hakim

maupun regulasi pemerintah. Ini juga memberikan insentif bagi para kontraktan untuk memperhatikan

klausula-klausula perjanjian mereka dengan lebih cermat, yang pada gilirannya dapat menyumbang

dalam menciptakan Law Model yang berwibawa dan modern. Hal ini memperkaya perkembangan

hukum dan memperkuat hukum jurisprudensi. Dalam hal ini, penting untuk peran pemerintah dalam

menciptakan regulasi yang mendukung perkembangan bisnis tanpa mengganggu kebebasan pasar.

Pemerintah harus memahami kebutuhan komersial dan mendengarkan saran ahli bisnis. Ini juga
memastikan bahwa aspek kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang dalam Pasal 1339 BW tidak dapat

diabaikan dalam kontrak, sehingga kontrak dapat dijalankan secara adil dan sejalan dengan falsafah

Pancasila untuk menciptakan masyarakat yang adil sesuai dengan konstitusi.

8. Makna Kebiasaan Dalam Pasal 1347 BW

Pemahaman mengenai unsur kebiasaan dalam hukum, seperti yang diatur dalam Pasal 1339 BW,

seringkali membingungkan dan sulit dibedakan dari kebiasaan menurut Pasal 1347 BW. Pasal 1339

BW mengacu pada kebiasaan yang lebih luas, yaitu perilaku tertentu yang telah menjadi bagian dari

anggota masyarakat dalam waktu yang lama, diiringi oleh nuansa keselaluan, dan ada keyakinan

bahwa perilaku tersebut menjadi hal yang diperlukan atau menjadi kemestian (opinio necessitatis).

Di sisi lain, Pasal 1347 BW lebih terkait dengan perakitan perjanjian. Kebiasaan dalam konteks ini

keberlakuannya sempit, hanya berlaku untuk kasus yang ditangani oleh hakim, dan berkaitan dengan

urgensi perlunya mempertimbangkan kebiasaan dalam pembuatan putusan. Kebiasaan dalam Pasal

1347 BW cenderung berkaitan dengan tindakan yang sesuai dengan isi perjanjian yang selaras dengan

maksud para pihak, tanpa adanya nuansa kemestian seperti yang ada dalam Pasal 1339 BW.

Menegakkan prinsip Pasal 1347 BW bisa menjadi tugas yang sulit bagi hakim, karena harus

memastikan bahwa kebiasaan tersebut tidak mengubah unsur-unsur otonom dalam perjanjian secara

fundamental. Untuk itu, hakim harus menjalankan perannya dengan bijak dan cermat. Langkah

membandingkan dua atau lebih ketentuan undang-undang, seperti Pasal 1339 BW dan Pasal 1347 BW,

bukanlah tugas yang sederhana, terutama ketika relevansi dan kriteria bergantung pada perilaku,

waktu, dan tempat. Namun, penting bagi hakim untuk memahami nuansa dan konteks seputar kasus

yang sedang dia tangani, bahkan jika aspek-aspek tersebut bersifat non-juridis dan bersifat kasuistis.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa putusan hakim tetap sejalan dengan norma-norma yang

berlaku dan mencapai keadilan yang diinginkan oleh masyarakat.

9. Koridor Penafsiran Perjanjian


Penafsiran merupakan upaya untuk mencari makna inti dari penuturan yang terdapat dalam sebuah

rangkaian pesan atau dokumen. Ketika Pasal 1342-1351 BW mengatur penafsiran terkait perjanjian

yang dibuat oleh pihak-pihak, tugas seorang hakim adalah untuk menggali dan memahami dengan baik

maksud sebenarnya yang ingin dicapai oleh para kontraktan, sebagaimana tertera dalam klausula-

klausula perjanjian tersebut. Proses penafsiran perjanjian ini didasarkan pada koridor yang telah

ditetapkan oleh pembentuk undang-undang melalui Pasal 1342-1351 BW. Dalam melaksanakan tugas

ini, hakim memiliki potensi untuk menggunakan teori-teori atau konsep yang tersirat dalam pasal-

pasal yang terkait. Pola ini sebenarnya telah diarahkan oleh pembentuk undang-undang saat

merancang ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut. Pembentuk undang-undang sering kali

merujuk pada pandangan dan pemikiran dari kalangan sarjana terkemuka yang telah diikuti oleh

banyak orang dalam menyusun regulasi hukum.

Perjanjian pada dasarnya merupakan hasil dari perjumpaan antara penawaran (offerte) dan

penerimaan (acceptatie). Baik penawaran maupun penerimaan yang dilakukan oleh para kontraktan

didasarkan pada unsur "kehendak" dan "pernyataan". Kehendak seseorang diwujudkan dalam bentuk

pernyataan agar pihak yang dituju memahami maksud dari pihak yang mengucapkan pernyataan

tersebut.Secara normal, unsur kehendak dan pernyataan seharusnya sejalan. Namun, permasalahan

muncul ketika ada ketidaksesuaian atau perbedaan antara kehendak dan pernyataan. Pertanyaan

muncul mengenai apakah unsur kehendak atau pernyataan yang lebih diutamakan dalam menentukan

kesepakatan. Dalam situasi ketidaksesuaian antara kehendak dan pernyataan, terdapat beberapa teori

yang relevan:

1. Teori Pernyataan (verklaringstheorie): Menurut teori ini, unsur pernyataan menjadi ukuran utama

dalam menentukan keberadaan perjanjian ketika pihak lain menerima (akseptasi) pernyataan tersebut.

Asal ada pernyataan yang diucapkan dan diterima, maka dianggap telah terjadi kesepakatan yang

menghasilkan perjanjian.
2. Teori Kehendak (willstheorie): Teori ini lebih menekankan bahwa hanya pernyataan yang

didasarkan pada kehendak yang tulus yang akan menghasilkan perjanjian ketika ada akseptasi. Dalam

hal ini, unsur kehendak menjadi lebih penting daripada pernyataan itu sendiri.

3. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie): Menurut teori ini, yang diutamakan adalah pernyataan

yang dapat memicu kepercayaan yang sebenarnya bersumber dari kehendak asli. Ketika ada akseptasi,

perjanjian dianggap terjadi jika pernyataan tersebut dapat membuat pihak lain memiliki kepercayaan

yang benar-benar kuat terhadap kehendak yang sebenarnya.

Penting untuk dicatat bahwa penerapan Teori Kepercayaan memiliki syarat-syarat tertentu, seperti

tidak dapat diterapkan dalam perjanjian sepihak dan hanya ketika terdapat diskrepansi antara kehendak

dan pernyataan yang membuat pihak lain dapat memiliki kepercayaan yang kuat.

Ketika kita membuat perjanjian, terkadang klausula-klausula di dalamnya tidak selalu jelas, dan

ini bisa menyebabkan perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang terlibat. Mungkin apa yang tertulis

dalam klausula tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan. Ini dapat mengakibatkan

konflik yang perlu diselesaikan di pengadilan, di mana hakim akan mencoba untuk memahami makna

sebenarnya dari klausula-klausula yang ambigu ini. Hukum telah mengantisipasi situasi seperti ini

dengan memberikan pedoman dalam Pasal 1342-1351 BW untuk membantu hakim dalam menafsirkan

perjanjian.

Pasal 1342 BW mengatakan bahwa jika kata-kata dalam perjanjian sudah jelas, maka hakim tidak

boleh menafsirkannya secara berbeda. Ini sejalan dengan konsep Teori Pernyataan

(Verklaringstheorie), di mana apa yang tertulis dalam perjanjian menjadi landasan yang kuat untuk

pengambilan keputusan hakim. Ini memastikan bahwa keputusan hakim dapat dijelaskan dengan baik

dan adil. Pasal 1342 BW menjelaskan bahwa isi perjanjian biasanya dianggap benar dan harus

dihormati. Ini membantu menghindari perbedaan penafsiran yang dapat menyebabkan konflik.

Namun, hukum juga mempertimbangkan situasi yang mungkin memerlukan penafsiran lebih lanjut.

Prinsip ini memastikan keadilan dalam kasus kontrak yang kompleks. Dalam kasus-kasus kontrak,
penting untuk memahami Pasal 1342 BW. Ini menyatakan bahwa isi perjanjian biasanya diterima

sebagaimana adanya, namun tetap ada fleksibilitas untuk penafsiran yang sesuai dengan konteks kasus.

Hal ini penting untuk menjaga keadilan dalam pengadilan.

Pasal 1343 BW memberikan alternatif lain untuk hakim dalam menafsirkan perjanjian. Ini

mengakui bahwa kadang-kadang kata-kata dalam perjanjian bisa memiliki berbagai tafsiran. Dalam

hal ini, hakim diizinkan untuk memilih tafsiran yang paling mendekati kehendak para pihak daripada

hanya bergantung pada kejelasan kata-kata.

Pasal 1344 BW memberi hakim wewenang untuk memilih penafsiran yang paling memungkinkan

agar perjanjian dapat dipenuhi. Ini penting karena tujuan utama dari perjanjian adalah untuk

melaksanakan prestasi sesuai yang telah dijanjikan.

Pasal 1345 BW menggarisbawahi pentingnya memilih interpretasi yang paling sesuai dengan sifat

perjanjian. Ini memastikan bahwa hakim mencari makna yang paling tepat dari kata-kata perjanjian

yang sedang diperdebatkan.

Pasal 1346 BW mempertimbangkan kebiasaan yang ada di tempat pembuatan perjanjian. Ini

mengakui bahwa kebiasaan masyarakat dapat memengaruhi bagaimana kontrak diinterpretasikan. Hal

ini memastikan bahwa kontrak tidak hanya mengikat dalam hal-hal yang secara tegas dinyatakan,

tetapi juga dalam hal-hal yang sesuai dengan norma-norma sosial.

Pasal 1347 BW memberi hakim alat lain untuk menentukan penafsiran yang adil dalam kasus-

kasus tertentu. Ini memungkinkan hakim untuk memasukkan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan

tanpa harus menuliskannya secara eksplisit dalam kontrak.

Pasal 1348 BW menekankan pentingnya pola yang tersistematisasi dalam perjanjian. Ini

mengarahkan hakim untuk memahami perjanjian sebagai sebuah kesatuan yang berhubungan erat dan

terorganisir dengan baik.


Pasal 1349 BW mempertimbangkan prinsip bahwa ketidakjelasan dalam kontrak harus

diinterpretasikan untuk merugikan pihak yang membuat pernyataan yang tidak jelas demi keuntungan

pihak lain yang telah menerima pernyataan tersebut.

Pasal 1350 BW menekankan bahwa kontrak harus diinterpretasikan hanya berdasarkan apa yang

dikehendaki oleh para pihak. Ini memastikan bahwa hakim tidak mencoba membatasi kekuatan

mengikat kontrak.

Pasal 1351 BW memastikan bahwa pernyataan yang dimaksudkan untuk menjelaskan perjanjian

tidak boleh dianggap sebagai upaya untuk membatasi kekuatan mengikatnya.

Seluruh rangkaian Pasal 1342-1351 BW memberikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan

perjanjian dalam sengketa kontrak. Ini memastikan bahwa hakim memiliki kerangka kerja yang jelas

dan terorganisir untuk mencapai keadilan dalam penafsiran perjanjian. Selain itu, kontrak dihormati

sebagai kerangka utama dalam bisnis, dan hakim wajib mempertimbangkan kesejajaran antara

kehendak dan pernyataan dalam penafsiran mereka.

10. Hapusnya Perikatan

Pasal 1381-1456 BW mengatur tentang cara-cara hapusnya perikatan. Kejanggalan istilah

"perikatan" dalam judul Bab Keempat Buku III BW, sebab uraian aturan tentang hapusnya perikatan

ini, aroma kontrak sangat menonjol. Terkadang, perikatan atau kontrak bisa berakhir dengan cara yang

rumit, dan dalam beberapa kasus, masalah yang kontroversial dapat muncul. Namun, peraturan yang

terkandung di Pasal 1381-1456 BW adalah pedoman dasar untuk pemahaman tentang berakhirnya

kontrak, meskipun penjelasan yang lebih mendalam memerlukan waktu dan perhatian lebih.

Pasal 1381 BW menyebutkan beberapa contoh cara di mana perikatan dapat berakhir, termasuk

pembayaran, penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan, novasi (pembaharuan

utang), perjumpaan utang, percampuran utang, pembebasan utang, musnahnya benda yang diutang,

kebatalan, berlakunya syarat batal atau syarat gugur, dan daluwarsa. Ini adalah sepuluh cara yang

diuraikan untuk mengakhiri perikatan. Namun, penting untuk diingat bahwa daftar ini tidak bersifat
limitatif, dan masih ada cara lain yang dapat mengakhiri perikatan yang tidak disebutkan dalam Pasal

1381 BW. Pasal-pasal ini bersifat enunsiatif yang hanya memberikan contoh-contoh dan pedoman

dasar untuk pemahaman kita tentang bagaimana suatu perikatan dapat berakhir.

BAB V PENUTUP

Buku I BW mengatur orang sebagai subyek hukum dalam konteks harta kekayaan. Di Indonesia,

sebagian besar isi Buku I BW terkait dengan peraturan perkawinan, dan sebagian besar pasalnya tidak

berlaku lagi. Seiring dengan berlakunya undang-undang seperti UU Perkawinan dan UU Administrasi

Kependudukan, hanya lima pasal yang masih berlaku dalam Buku I BW. Selain itu, Buku II BW dan

Buku III BW, yang berhubungan dengan bumi, air, dan sumber daya alam, juga mengalami banyak

perubahan dan ketidaksesuaian dengan undang-undang lain.

Ketidaksesuaian antara BW dan undang-undang lainnya, seperti UU Perkawinan dan UU

Administrasi Kependudukan, seringkali memicu perdebatan hukum dan kebingungan. Perbedaan

sistem hukum antara UUPA dan BW dapat mengganggu kepastian hukum, yang berpotensi merugikan

bisnis.

Ketidakselarasan dalam hukum benda, yang merupakan inti Buku III BW, dapat menjadi hambatan

dalam menerapkan hukum transaksi dan berpotensi mengganggu bisnis. Terdapat juga konflik dengan

hukum asing yang mempengaruhi sistem hukum Indonesia, yang semula didasarkan pada civil law.

Pentingnya reformasi hukum di Indonesia sangat mendesak, terutama untuk mengatasi tantangan

dalam hukum harta kekayaan dan menciptakan hukum yang relevan dengan era digital. Reformasi ini

harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan prinsip-prinsip inti BW serta menghindari

konflik dengan sistem hukum civil law yang telah lama diadopsi oleh Indonesia.

Melalui kerjasama antara pemangku kepentingan, kita dapat menciptakan tatanan hukum harta

kekayaan yang lebih mandiri, progresif, konsisten, dan komprehensif, yang mendukung pertumbuhan

bisnis dalam negeri dan di tingkat internasional.

Anda mungkin juga menyukai