Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MATA KULIAH HUKUM LEMBAGA JAMINAN

RESUME BUKU PENGANTAR HUKUM JAMINAN KEBENDAAN

Oleh :

Dian Purnama

032024253028

KP B

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1) Benda dalam sirkulasi kehidupan manusia

Manusia sebagai makhluk hidup yang selalu mmebutuhkan bantuan orang lain

maka dalam memenuhi kehidupannya tidak hanya membutuhkan pasangan melainkan

juga membutuhkan benda. Tidak ada kegiatan yang dapat dilakukan manusia tanpa

adanya bantuan benda sehingga dapat dilihat bahwa benda ini merupakan suatu alat

pendukung dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Manusia demi meningkatkan

kesejahteraan dalam hidupnya sering melakukan berbagai cara untuk mendapatkan

benda guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Karena manusia merasa tidak mudah

mendapatkan benda-benda sebagai alat pendukung kehidupannya maka manusia ketika

dirasa benda yang dimilikinya henda dirampas maka akan melakukan berbagai cara

untuk melindungi benda miliknya. Ketika kita melihat benda-benda yang berada

disekeliling kita maka dapat terlihat bahwa ditemukan benda yang tak terhitung

jumlahnya dan benda yang beraneka ragam jenisnya. Karena begitu banyak jumlah

benda dan beragam pula jenis bendanya maka pembentuk Burgerlijk Wetbook (BW)

merasa bahwa diperlukan norma hukum yang jelas guna untuk memberikan kejelasan

dan kepastian akan benda2 yang berada di sekitar manusia serta membaginya ke dalam

beberapa golongan. Pembentuk Burgerlijk Wetbook (BW) menggolongkan benda-benda

tersebut menjadi 8 golongan :

1. Benda berujud-benda tidak berujud (Pasal 503 BW)

2. Benda bergerak-benda tidak bergerak (Pasal 504 BW)

3. Benda habis pakai-benda tidak habis pakai (Pasal 505 BW)


4. Benda yang sudah ada-benda yang masih akan ada (Pasal 1131 BW)

5. Benda yang dapat dibagi-benda yang tidak dapat dibagi (Pasal 1163 BW)

6. Benda dalam perdagangan-benda diluar perdagangan (Pasal 1332 BW)

7. Benda yang dapat diganti-benda yang tidak dapat diganti (Pasal 1694 BW)

8. Benda bertuan- benda tidak bertuan (Pasal 519 BW)

Melihat penggolongan diatas ini maka dapat dilihat bahwa penggolongan dalam BW

sebegitu rinci dan jelas, apabila dibandingkan dengan penggolongan benda dalam

hukum adat yang hanya mengenal benda berupa tanah dan benda bukan tanah

dimana ini mengakibatkan berlakunya asas pemisahan horizontal.

2) Keunggulan ciri hak milik atas suatu benda

Hak milik atas suatu benda ini merupakan salah satu jenis hak kebendaan

yang bercorak menikmati sehingga ini menyebabkan orang selalu menginginkan

atribut hak milik atas suatu benda dikarenakan dapat menggunakan benda secara

bebas sebagaimana diatur dalam pasal 570 BW yang menyatakan bahwa hak milik

adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan penuh dan bebas sepanjang tidak

melanggar hak orang lain dan UU, namun hak ini tidak menutup kemungkinan

dicabut demi kepentingan umum dan akan mendapatkan ganti rugi atas pencabutan

tersebut. Ciri-ciri yang dimiliki hak milik jika dibandingkan dengan hak

keperdataan lainnya :

1. Hak milik dapat menjadi induk dari hak keperdataan lainnya dimana

apabila diatas hak milik lahir hak keperdataan lain maka ini tidak

menghilangkan hak milik

2. Hak milik sebagia hak yang kwantitatif dimana dia lebih kuat dan lengkap

dibandingkan hak lainnya. Pemegang hak milik juga memiliki keleluasaan


melakukan perbuatan hukum atas benda tanpa perlu meminta izin pihak

lain.

3. Hak milik bersifat tetap dimana kepemilikannya tidak mengenal batas

waktu. Andai pemegang hak milik meninggal dunia maka akan digantikan

kepemilikannya oleh ahli warisnya.


BAB II

URGENSI PEMBAGIAN BENDA BERGERAK-BENDA TIDAK

BERGERAK

1. Golongan benda bergerak

Terkait benda bergerak ini tergolong menjadi 2 macam :

a. Benda bergerak karena sifatnya, dimana benda tersebut pada dasarnya

dapat dipindah-pindah sesuai ciri alamiahnya (Pasal 509 BW)

b. Benda bergerak karena ketentuan UU sebagaimana yang ditentukan

dalam pasal 511 bw. Disini penguasa menentukan apa saja yang dapat

digolongkan sebagai benda bergerak sehingga dengan cara tersebut,

masyarakat tidak menjadi ragu dan cemas dalam menanggapi kedudukan

suatu benda secara pasti

Para pihak tidak diperkenankan menentukan klasifikasi benda apa saja yang

termasuk benda bergerak karena pengaturan benda dalam buku II BW ini bersifat

tertutup. Dalam buku II BW ini menegaskan bahwa untuk benda bergerak siapa

yang menguasai secara nyata dianggap sebagai pemilik. Sedangkan untuk benda

tidak bergerak tidak seperti itu.

2. Golongan benda tidak bergerak

Pembentuk BW menetapkan ada 3 macam yang dapat tergolong sebagai

benda tidak bergerak :

a. Benda tidak bergerak karena sifatnya, dimana jenis benda ini berdasar ciri

alamiahnya memang tidak dapat dipindah-pindah (Pasal 506 BW)


b. Benda tidak bergerak karena tujuannya. Sebenarnya benda itu semua

termasuk golongan benda bergerak tetapi karena oleh pemiliknya

dilekatkan pada benda tidak bergerak secara terus menerus

mengakibatkan benda bergerak yang bersangkutan berubah menjadi

benda tidak bergerak (Pasal 507 BW). Kualifikasi sebagai benda bergerak

tergadrasi golongannya menjadi dan mengikuti nasib serta sifat benda

tidak bergerak yang dilekatinya, ini merupakan salah satu wujud konkrit

dari asas perlekatan (accessie) yang dikenal dalam BW.

c. Benda tidak bergerak karena ketentuan UU. Sekali lagi penguasa

berdasarkan kewenangannya perlu menetapkan benda-benda teretentu

dimasukkan sebagai benda tidak bergerak (Pasal 508 BW)

3. Konsekwensi lanjut penggolongan benda bergerak-benda tidak bergerak

Pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak ini diperlukan dikarenakan

mempunyai pengaruh yang besar dalam banyak bidang. Adapun bidang-bidang

yang terpengaruh dengan adanya penggolongan benda bergerak-benda tidak

bergerak antara lain :

a. Dalam bidang bezit  menguasai benda bergerak secara nyata maka

berlaku asas yang ada dalam pasal 1977 BW dimana ditetapkan bahwa

barang siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Asas

ini tidak berlaku bagi benda yang tidak bergerak dimana kalau dicermati

lebih lanjut apabila pasal 1977 BW diterapkan maka akan mendatangkan

situasi yang kacau.

b. Dalam bidang levering  dalam levering ini memiliki tujuan final yaitu

beralihnya hak milik suatu benda dari satu tangan ke tangan lainnya.
Dalam levering terdapat 2 unsur yaitu penyerahan nyata dan penyerahan

yuridis. Ketika seorang menyerahkan benda bergerak maka saat

diserahkan maka terjadi punya penyerahan nyata dan penyerahan yuridis.

Apabila yang dipindahkan benda tidak bergerak maka antara penyerahan

nyata dengan penyerahan yuridis terjadi secara bertahap

c. Dalam bidang verjaring  benda bergerak tidak mengenal daluwarsa,

sedangkan untuk benda tidak bergerak terdapat daluwarsa dengan melihat

ketentuan pasal 1963 BW

d. Dalam bidang bezwwaring  apabila yang dijaminkan berupa benda

bergerak maka lembaga yang disediakan oleh BW adalah gadai,

sedangkan untuk benda tidka bergerak lembaga yang disediakan adalah

hipotek.

e. Dalam bidang sita  bedasarkan prosedur aturan maka sita dapat

dilakukan terhadap benda bergerak, apabila dirasa tidak cukup maka baru

dapat melakukan sita terhadap benda tidak bergerak (Pasal 197 HIR)
BAB III

JAMINAN UMUM SEBAGAI PENYANGGA PERIKATAN

1) Prestasi sebagai objek perikatan

Perikatan yang diatur dalam buku III BW ternyata didalamnya tidak

ditemukan pengertian perikatan sehingga para sarjana berusaha memberikan

definisi tentang perikatan yang intinya menyatakan bahwa perikatan adalah

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan harta kekayaan,

dimana satu pihak berkewajiban untuk memenuhi prestasi (debitor) dan pihak lain

berhak atas prestasi yang bersangkutan (kreditor).

Debitor merupakan pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi

sedangkan Kreditor merupakan pihak yang berhak atas suatu prestasi sehingga dari

sini terlihat bahwa objek perikatan adalah prestasi. Dalam pasal 1234 BW

menjelaskan mengenai ujud prestasi ada 3 yaitu memberikan sesuatu, berbuat

sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

Disini debitor wajib memenuhi prestasi yang diperjanjikan dan Kreditor

berhak menerima prestasi tersebut, namun apabila ternyata prestasi tersebut tidak

terpenuhi maka ini akan menimbulkan kerugian bagi pihak kreditor. Kreditor yang

dirugikan ini dapat memulihkan kerugiannya dengan cara meminta bantuan ke

hukum misal dengan jalan menggugat ke pengadilan. Selain dengan menggugat

melalui ke pengadilan maka bisa juga gunakan pasal 1131 BW yakni dengan jalan

mengeksekusi harta pihak yang cidera janji di hadapan umum dan hasil eksekusi

tersebut dibagikan kepada pihak yang menderita rugi. Inilah salah satu manfaat

hukum saat dijadikan bingkai bagi kegiatan bisnis sehingga hak berupa keuntungan

hampir pasti didapatkan.


2) Nilai ekonomis prestasi

Hubungan hukum antara para pihak ada dalam ruang lingkup harta kekayaam,

berarti prestasi sebagai objek perikatan yang memiliki nilai ekonomis. Oleh sebab

itulah perikatan selalu berorientasi pada profit dimana mengingat dengan perikatan

tersebut para pihak berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sudah

barang tentu penuh dengan nuansa perhitungan laba rugi.

Prestasi yang kental dengan nilai ekonomis merupakan corak utama dalam

perikatan yang diatur oleh Buku III BW, sehingga pasal-pasal yang ada

didalamnya, baik secara eksplisit maupun implisit, berusaha menciptakan situasi

yang kondusif demi kelancaran roda bisnis dalam masyarakat. Kondusifitas

perkembangan bisnis baru bisa diwujudkan oleh hukum, apabila ketentuan-

ketentuannya fleksibel atau luwes. Bahkan ada kalanya suatu asaspun harus

dibuatkan kekecualiannya suapa ekonomi biaya tinggi dapat dihindari, dan ini

merupakan salah satu perwujudan penciptaan keluwesan hukum. Sifat luwesnya

ketentuan-ketentuan dalam buku III BW adalah merupakan jawaban dunia hukum

yang berupaya keras agar selalu mampu dijadikan bingkai kegiatan bisnis.

Ketentuan hukum yang kaku akan menghasilkan ekonomi dengan biaya tinggi yang

tentunya tidak akan sejalan dengan tuntutan pasar. Fleksibilitas ini harus dapat

diterapkan agar apabila ketentuannya tidak kaku maka sewaktu-waktu dapat

disimpangi oleh para pihak dimana para pihak diberikan kebebasan untuk

mengaturnya sendiri. Mengingat buku III BW yang bersifat terbuka ini maka

dimungkinkan juga untuk ketentuannya dapat bersifat luwes karena hadirnya asas

kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338 BW.

3) Risiko mengandalkan jaminan umum


Meskipun dalam perikatan sudah dijamin oleh undang-undang agar demi

memperoleh pelunasan prestasi maka disediakan oleh Undang-Undang jaminan

umum, tetapi ternyata hal ini masih menimbulkan resiko yang dimana belum tentu

dapat dihindari dengan berbagai cara sekalipun dengan menuangkan dalam klausul

didalam perjanjian.

Meskipun kegiatan bisnis sudah dibingkai dengan hukum namun bukan

berarti hukum selalu mampu menghalau risiko-risiko yang timbul terlebih lagi

kalau pelakunya kurang cermat dalam berhitung dan bersikap. Hukum hanya

sebuah sarana untuk menangkal risiko secara optimal, namun perjalanan bisnis

yang tak lain merupakan suatu proses dapat terjadi saat dalam tahap-tahap

pelaksanaannya timbul kendala yang tidak mungkin ditepis. Risiko ini yang

dimaksud tak sekedar menghilangkan keuntungan yang akan diperoleh namun bisa

juga mengakibatkan terbuangnya waktu, cacat prestasi yang tak diharapkan,

atuapun kejadian-kejadian lain yang menghambat terealisasinya prestasi yang

diinginkan demi menggapai hak sebagai keuntungan yang didamba-dambakan.

Bagaimanapun hukum disini hanya sebagai sebuah sarana kehidupan yang

tidak mungkin sempurna, sehingga kerugian yang tidak diharapkan itu bisa saja

muncul tanpa diduga. Risiko dalam bisnis adalah tantangan oleh sebab itu harus

diantisipasi dengan perhitungan yang cermat, untuk kemudian mendayagunakan

hukum sebagai benteng. Kalau benteng yang disediakan hukum ternyata juga roboh

maka tentu saja kerugian tidak dapat dicegah.

A. Risiko akibat wanprestasi

Prestasi wajib dipenuhi oleh Debitor agar hak Kreditor dapat terwujud dan itu

merupakan keuntungan yang dicita-citakan oleh Kreditor. Tetapi sayangnya tidak


selamanya manusia menepati janji untuk melaksanakan kewajiban yang terpikul di

pundaknya setelah timbul perikatan di antara para pihak. Sering ditemukan ada

kalanya debitor dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya tidak hendak

memenuhi kewajibannya sehingga akibat ulahnya inilah kreditor menerima

kerugian. Bilamana hal seperti ini terjadi dan kreditor berusaha memulihkan

kerugian tersebut dengan menggugat debitor ke pengadilan maka jelas proses gugat

menggugat ini memerlukan waktu yang cukup lama dan biaya yang banyak. Proses

yang berkepanjangan ini merupakan risiko juga yang harus diterima oleh kreditor

demi mendapatkan pemulihan atas kerugian tersebut.

B. Risiko akibat debitor meninggal dunia

Umur dari seseorang memang tidak dapat diduga bahkan tidak dapat diramal

oleh siapapun demikian juga para pelaku usaha yang sedang mengadakan perikatan

dengan pihak lain maka mereka tidak dapat memprediksi umur dari kawan

seperjanjiannya. Pada dasarnya seseorang yang membuat perikatan lewat perjanjian

sesuai tujuan bisnisnya maka berdasarkan pasal 1315 jo pasal 1340 BW bahwa

perjanjian hanya berlaku dan mengikat bagi mereka yang membuat perikatan

tersebut. Darisinilah terlihat bahwa perjanjian itu bersifat tidak abadi yang artinya

perjanjian yang dimaksud hanya mengikat pihak-pihak yang membuatnya saja

(privitiy of contract). Pihak ketiga yang tidak ikut serta membuat perjanjian maka

dengan sendirinya tidak ikut terikat.

4. Kedudukan pasal 1131 BW

Mengandalkan jaminan umum seperti yang termuat dalam pasal 1131 BW ini

ternyata masih belum dapat mengcover semua resiko yang menghadap para pelaku

bisnis yang telah membingkai kegiatannya dengan hukum. hamima umum yang
tersedia ini lahir dari kandungan undang-undang sehingga jaminan umum ini tiadk

perlu diperjanjikan maka akan lahir dengan sendirinya apabila terdapat pihak yang

wanprestasi. Pasal 1131 BW ini yang termuat dalam buku III BW yang posisi

pasalnya adalah regelend recht ini dapat disimpangi oleh para pihak dengan cara

tertentu. Dengan melihat pasal 1133 BW dimana seorang Kreditor dimungkinkan

untuk mendapatkan pelunasannya terlebih dahulu apabila dia memiliki piutang

istimewa. Pihak-pihak yang memiliki piutang istimewa ini antara lain adalah

privilege, pemegang hak gadai dan pemegang hak hipotek. Gadai dan hipotek ini

lahir karena adanya perjanjian jaminan gadai atau perjanjian jaminan hipotek

dimana ini termasuk sebagai perjanjian accesoir / perjanjian tambahan.

Perjanjian jaminan ini demi melahirkan jaminan khusus maka apabila

dikaitkan dengan pasal 1131 BW maka perjanjian jaminan yang dibuat oleh para

pihak harus melibatkan benda sebagai objeknya. Perjanjian jaminan khusus ini baru

dapat dibuat setelah adanya perjanjian awal yang telah dijamin dalam pasal 1131

BW.

Jadi untuk mengamankan posisi dari Kreditor maka diharapkan setelah

dibuatnya perjanjian pokok maka hendak dibuat perjanjian accesoir agar kreditor

disini berposisi sebagai Kreditor preferen guna mendapatkan pelunasan terlebih

dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.


BAB IV

KEDUDUKAN PERJANJIAN KREDIT DALAM RANGKUMAN BAB III BW

Perjanjian Kredit ini karena aturan khususnya dalam BW tidak diatur maka

perjanjian kredit ini tergolong sebagai perjanjian tak bernama. Dalam membuat

perjanjian tersebut berdasarkan pada asas kebebasan berkontrak, para pihak membuat

perjanjian berdasarkan kata sepakat sehingga dapat membuat aturan sesuai dengan yang

diperlukan oleh para pihak.

Mengingat pula bahwa perjanjian kredit yang dilakukan di lingkungan bank

tergolong sebagai perjanjian tak bernama maka berdasarkan pada pasal 1233 BW ini

akan menimbulkan perikatan bagi para pihak sehingga berakibat masing2 pihak

memikul kewajiban yang sudah disepakati bersama. Karena perjanjian kredit ini

menimbulkan kewajiban maka jenis perjanjian ini sebagai perjanjian obligatoir. Bank

ketika membuat perjanjian kredit yang tergolong sebagai perjanjian obligatoir dan

tunduk pada buku III BW maka hak yg lahir adalah hak pribadi dan disini bank ketika

sudah membuat perjanjian kredit itu mau tidak mau berusaha keras supaya dia

mempunyai collateral / agunan yang tergolong sebagai jaminan khusus dimana dari sini

terlihat bahwa perjanjian kredit sebagai perjanjian obligatoir terlindungi untuk

pelunasannya karena diterapkannya pasal 1131 BW ini yang tidak menguntungkan

maka Bank akan memperjuangkan agar dirinya memiliki jaminan khusus.


BAB V

FUNGSI DAN JENIS PERJANJIAN JAMINAN

Perjanjian Jaminan disini sebagai upaya membangun perisai terhadap Pasal 1131

BW dikarenakan bahwa apabila hanya berpedoman pada Pasal 1131 BW maka

mengakibatkan seseorang hanya mendapatkan jaminan umum namun apabila disepakati

adanya jaminan khusus maka ini akan memberikan kemudahan bagi Kreditor untuk

memperoleh pelunasan. Jaminan khusus ini terbentuk karena adanya kesepakatan yakni

dengan membuat perjanjian tersendiri dan disini tanpa meninggalkan keberadaan pasal

1131 BW yang untuk sementara posisi jaminan umum dimundurkan selangkah.

Perjanjian jaminan ini macamnya ada 2 yaitu :

1) Perjanjian jaminan perorangan

2) Perjanjian jaminan kebendaan


BAB VI

HAK JAMINAN KEBENDAAN

Hak jaminan kebendaan ini lahir dari perjanjian jaminan kebendaan. Kalau benda bergerak yang dijadikan

obyek perjanjian jaminan kebendaan maka perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian jaminan gadai

sehingga dari sini melahirkan hak gadai. Sedangkan apabila obyeknya merupakan benda tidak bergerak

maka wujud perjanjiannya adalah perjanjian jamiann hipotek dan lahirlah hak hipotek. Dapat dilihat juga

bahwa terdapat perbedaan antara hak jaminan kebendaan dengan hak pribadi

Hak Kebendaan :

1. Hak bersifat mutlak, artinya hak tersebut dapat ditegakkan kepada siapapun tidak hanya pada

rekan seperjanjian tetapi juga pada pihak ke-3.

2. Terdapat droit de suite bahwa hak akan mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu

berada. Ciri semacam ini tidak ada dalam hak pribadi

3. Terdapat asas prioritas, bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu akan diutamakan

daripada yang lahir kemudian. Ciri semacam ini dalam hak pribadi tidak ada

4. Dalam hak kebendaan terdapat ciri preferensi dimana ciri dalam hak pribadi tidak ada. Ciri

preferensi merupakan hak utk memperoleh pelunasan terlebih dahulu dari kreditor lain.

Hak Pribadi :

1. Muncul dari perjanjian kredit yang bertumpu pada privity of contract dimana perjanjian kredit

hanya mengikat pihak2 yang membuatnya saja

2. Tidak ada sifat droit de suite

3. Tidak bersifat priorotas

4. Tidak bersifat preferensi


BAB VII

PIUTANG ISTIMEWA

Utang sebagai suatu kewajiban yang bertengger di punggung Debitor, selalu berendeng

eksistensinya dengan piutang selaku hak yang menjadi milik Kreditor. Dari sini terlihat bahwa

hak dan kewajiban ini tidak dapat dipisahkan sebagai kesatuan wujud hukum. Utang ini sebagai

wujud prestasi yang wajib dibayar oleh Debitor. Kalau prestasi suatu utang tak dibayar atau

tidak dilaksanakan oleh Debitor, otomatis hak Kreditor yang disebut sebagai piutang tidak

terbayarkan. Utang memiliki 2 macam makna yakni utang dalam arti luas dan utang dalam arti

sempit. Utang dalam arti luas ini adalah segala jenis prestasi dari perjanjian obligatoir,

sedangkan utang dalam arti sempit adalah berkaitan dengan urusan perjanjian pinjam

meminjam dana atau perjanjian pinjam meminjam uang seperti yang dilakukan oleh bank.

Perjanjian kredit yang dibuat oleh Bank dengan nasabah akan melahirkan hak tagih atau

piutang bagi bank selaku Kreditor dan pihak Debitor dibebani utang yang tentunya wajib

dibayar.

Piutang istimewa merupakan pelunasan piutangnya harus didahulukan daripada K lain

dimana ini dimiliki oleh K preferen. Ketika ketiga actor K preferen yaitu K pemegang hak

gadai, pemegang hak hipotek dan pemegang privilege ini didalam kehidupan nyata bisa saja

berbenturan dan hal seperti ini layak krena mengingat mereka berkeliaran di dunia bisnis.

Privilege adalah actor ciptaan penguasa, sedangkan gadai dan hipotek ini actor ciptaan rakyat

jelata. Penciptaan privilege ini dengan sangat berhati-hati yakni privilege ini ada 2 macam :

1. Privilege umum

Pasal 1149 BW  ada 7 macam privilege umum dan penyebutannya

menentukan rankingnya yang artinya disebut pertama lebih didahulukan


daripada yang kedua,dst. Adanya ranking ini utk menyelesaikan perbenturan

yang terjadi supaya tidak terjadi kegaduhan dimana kegaduhan bisa

mengganggu dunia bisnis

2. Privilege khusus

Apabila privilege berbenturan dengan gadai / hipotek maka bisa saja privilege yang

didahulukan mengingat dalam terdapat pengecualian dalam pasal 1134 ayat (2). Dalam situasi2

tertentu privilege didahulukan ini tidak lepas dari dalil2 dalam dunia bisnis. Pengecualian itu

dapat lihat pasal 1150 BW dimana pasal ini ketentuan yang mengatur ttg gadai, didalamnya

mengatur hak gadai dapat berbenturan dengan biaya penyelematan benda gadai maka

berdasarkan pasal 1150 BW ini biaya penyelamatan harus didahulukan (ini salah satu jenis

pengecualian dimana privilege sebagai ciptaan penguasa dimenangkan). Memenangkan

privilege yaitu biaya penyelamatan benda gadaii ini didasarkan pada keadilan yang harus

muncul dalam dunia bisnis dan ini sesuai dengan prinsip dalam dunia bisnis sebab andaikata

ada suatu pihak yang berusaha menyelamatkan benda gadai yang terancam musnah seperti

banjir, longsor, dll tetapi ada pihak ke-3 menyelamatkan benda gadai dari bencana ternyata

harus mengeluarkan biaya dan biaya diambil dari pribadi maka pihak ke-3 mempunyai piutang

istimewa berupa privilege yaitu biaya penyelamatan benda gadai dan ini akan membentur

dengan hak gadai mengingat keduanya memiliki preferensi.

Hak gadai disini harus minggir sebab apabila objek gadai tidak diselamatkan hingga

musnah maka perjanjian accesoir berakhir tetapi ini tidak menghapus perjanjian pokok

sehingga kalau objek gadai musnah maka K tidak punya hak kebendaan melainkan hanya

punya hak pribadi maka akhirnya dengan musnahnya benda tersebut posisi K turun menjadi K

konkuren.
Alasan memenangkan privilege berupa biaya penyelamatan benda gadai ini jelas prinsip

yang dapat diterima dalam dunia bisnis sebab kalau objek gadai musnah maka ini berpengaruh

besar bagi posisi K.

Ciri Pokok Gadai :

a) Pasal 1150 BW membicarakan mengenai definisi gadai dimana pemegang Hak gadai

akan lebih didahulukan pelunasannya daripada kreditor lainnya.

b) Objek gadai adalah benda bergerak

c) Hak gadai adalah hak kebendaan

d) Apabila dalam perjanjian gadai tidak memenuhi unsur esensialia maka perjanjian

tersebut batal demi hukum

e) Beschikkings bevoegdheid

Merupakan suatu dalil yang diturunkan dari adagium hukum bahwa yang mengasingkan

benda adalah pemilik. Dalam rangka mengasingkan tsb umumnya berupa perjanjian jual

beli sehingga singkat yang menang menjual sebuah benda adalah pemilik. Kalau ini di

breakdown lagi pada aturan gadai maka secara khusus bisa disimpulkan yang

berwenang menggadaikan adalah pemilik, tetapi karena jaminan gadai itu objeknya

benda bergerak maka seperti yang sudah dikatakan menyangkut benda bergerak maka

prinsip yang ada pada pasal 1977 BW itu sangat menentukan sehingga pasal 1977 BW

dimana didalamnya terkandung barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap

sebagai pemilik itu juga mempengaruhi ketentuan gadai sehingga ujung2nya dalam

ketentuan gadai muncul pasal 1152 ayat (4) BW dimana apabila D yang tidak

berwenang menggadaikan maka dalam hal seperti ini tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada K. makna pasal 1152 ayat (4) ini polanya tidak jauh
berbeda dgn relativering hak kebendaan sebab pada saat membahas relativering bahwa

hak kebendaan melemah itu digambarkan situasinya oleh pasal 1977.

Dapat disimpulkan beschikking bevoegheid dalam gadai tidak dapat diterapkan serta

melemah dan luntur karena laju mobilitas benda bergerak itu sangat tinggi sehingga

dapat dengan mudah dipindahtangankan

f. Dipastikan perjanjian jaminan gadai merupakan perjanjian accesoir

Bukti normatifnya dgn lihat pasal 1151 BW dimana dalam pasal tsb dinyatakan “Alat2

bukti utk perjanjian pokok dapat pula dipergunakan untuk membuktikan perjanjian

jaminan gadai”. dalam pasal ini bisa diambil kesimpulan bahwa perjanjian jaminan

gadai itu merupakan perjanjian accesoir sebab dalam pasal 1151 mengatakan bahwa

semua alat bukti utk perjanjian pokok dapat dipergunakan utk membuktikan jaminan

gadai

g. Dilakukan gadai ulang

Lihat pasal 1152 ayat (1) BW dimana dimungkinkan dilakukan gadai ulang dari kata2

“objek gadai harus ditarik dari kekuasaan nyata D utk kemudian ditaruh dalam

kekuasaan nyata K atau pihak ketiga yang disepakati”

h. Larangan memiliki objek gadai secara otomatis apabila D wanprestasi (Pasal 1154 BW)

Apabila D wanprestasi maka K tidak boleh secara otomatis memiliki sendiri objek

gadai, diperjanjikan sejak awalpun akan batal demi hukum. Lihat pasal 1154 BW

dikatakan “Apabila D wanprestasi maka K tidak boleh secara otomatis memiliki sendiri

objek gadai, kendati diperjanjikan diawalpun batal demi hukum”. Kalimat “secara

otomatis” artinya begitu D wanprestasi lalu K gadai mengatakan bahwa objek gadai

dimilikinya sendiri maka itu tidak boleh. Kalimat “diperjanjikan diawalpun batal demi
hukum” ini memberikan pertanda bahwa pasal 1154 berposisi dwingendrecht sehingga

tidak boleh disimpangi kendati dengan sepakat sekalipun

i. K sebagai mitra dari D oleh para kodifikator juga diberikan perlindungan hukum (Pasal

1155 BW)

Apabila D wanprestasi maka K diberi wewenang utk menjual sendiri objek gadai

dihadapan umum (parate executie). Disini terdapat parate executie yg tertera dalam

pasal 1155 BW itu dikualifikasi sebagai perlindungan hukum eksternal utk K. Dgn

adanya lembaga parate executie maka begitu D wanprestasi memperoleh hak utk

mendapatkan pelunasan piutang lebih efisien karena bisa menjual objek gadai

dihadapan umum (tidak perlu gugat ke pengadilan). Parate executie ini tujuannya

mempermudah perolehan pelunasan piutang bagi K saat D wanprestasi sehingga K tidak

perlu bersusah payah menggugat D di pengadilan. Uniknya bahwa dalam pasal 1155 ini

utk perlindungan hukumnya bisa dinikmati oleh K ataupun D. Perlindungan hukum bagi

K dari pasal 1155 ini adalah kemudahan utk memperoleh pelunasan piutangnya saat D

wanprestasi. Perlindungan hukum eksternal dalam pasal 1155 ini juga ditujukan ke D

sebab meskipun K bukan pemilik benda namun berdasarkan kewenangan yang

diberikan penguasa utk menjual objek gadai yang bukan miliknya di hadapan umum ini

guna diperoleh harga sesuai patokan yang ada di pasar dan ini memberikan keuntungan

bagi D. Apabila dari penjualan di hadapan umum ada sisa maka sisa akan dikembalikan

ke D sebagai pemilik benda.

j. Hak Gadai lahir dari perjanjian

Perjanjian hak gadai ini tergolong sebagai perjanjian accesoir, hal ini bisa dilihat dalam

pasal 1151 jo 1131 BW. Sebab perjanjian jaminan gadai menurut Prof ini merupakan

upaya utk menyimpangi pasal 1131 BW. Dengan membuat perjanjian jaminan gadai
maka lahir jaminan khusus yang dikenal dgn istilah collateral / agunan. Pasal 1131 itu

mengatur ttg jaminan umum, kalau UU melahirkan sebuah jaminan umum ternyata hal

ini bisa disimpangi dengan bisa membuat perjanjian jaminan kebendaan konkritnya

jaminan gadai utk mencipta jaminan khusus yang dalam praktek dikenal agunan /

collateral. Meskipun pasal 1131 BW ini ada dalam ruang lingkup buku II BW ttg

hukum benda dan pasal2 dalam buku II didominasi oleh pasal berposisi sbg

dwingendrecht. Pasal 1131 BW tdk tergolong sbg dwingendrecht namun berposisi

sebagai regelendrecht alasannya karena pasal 1131 BW ini mengatur ttg jaminan umum

dan jaminan ini lahir dari UU tanpa perlu diperjanjikan, ternyata dalam BW

dimungkinkan para pihak atas dasar sepakat menciptakan jaminan khusus wujudnya

berupa agunan. Agunan ini baru muncul apabila para pihak membuat jaminan hak

kebendaan dan konkritnya berupa jaminan gadai dan hipotek (berupa HT dan fidusia).

Ciri Hipotek :

1. Pasal 1162 : Definisi Hipotek

Intinya Hipotek merupakan hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk

mengambil penggantian pelunasan dari suatu perikatan. Definisi ini memang tidak

mungkin lengkap sebab definisi yang diberikan kepada siapapun tidak akan

mungkin menggambarkan seluruh aspek daripada objek yang didefinisikan namun

meskipun definisi begitu sederhana tetapi kalau mau diurai maka cukup panjang.

Definisi dibentuk ini agar dapat mendukung konsistensi dan apabila terwujud maka

diharapkan melahirkan kepastian hukum.

2. Obyeknya : benda-benda tidak bergerak (Pasal 1162, 1167)

Objek hipotek itu berfokus pada tanah (Pasal 506 – 508). Buktinya bisa dilihat dari

definisi pasal 1162 dan 1167 BW (Pasal 1167 BW perlu didefinisikan secara a
contrario karena dalam pasal tsb menyatakan benda bergerak tidak dapat dibebani

dgn hipotek sehingga apabila ditafsirkan maka yang dapat dibebani hipotek adalah

benda tidak bergerak

3. Bukti bahwa Hak hipotek merupakan Hak kebendaan :

a. Pasal 1162  eksplisit

Hipotek adalah hak kebendaan atas benda tidak bergerak untuk mengambil

penggantian pelunasan dari suatu perikatan. Ini jelas mengatakan bahwa hak

hipotek merupakan hak kebendaan

b. Pasal 1163 ayat (2) jo 1198 BW  implisit

Dalam 2 pasal tsb terselip ciri droit de suite dan ciri tsb hanya dimiliki hak

kebendaan. Dalam pasal 1163 menyatakan bahwa hak hipotek akan

membebani bendanya ke tangan siapapun benda tsb berada (terselip asas

droit de suite)

Pasal 1198 dinyatakan bahwa K dapat menuntut hak hipoteknya atas benda tidak

bergerak ditangan siapapun benda itu berada (ini menunjukkan ciri droit de

suite)

4. Asas spesialitas (Pasal 1174 BW)

Selain 4 asas yang telah disebutkan namun ada asas lainnya yaitu asas

spesialitas. Dalam perjanjian yang mencerminkan asas spesialitas yaitu terselip

kalimat “obyek hipotek yang dimaksud dikenal rumah dan tanah yang terletak di

jalan ... dimana sebelah utara jalan raya, sebelah selatan berbatasan dgn sungai,

disebelah barat berbatasan, ...”. asas ini penting karena ketika D wanprestasi dan

objek di jual lelang maka jangan sampai keliru dgn tanah yang lain, oleh sebab

itulah utk menghindari kekeliruan dalam proses pelelangan maka asas spesialitas
itu harus diperhatikan, apakah benar rumah tsb berbatasan dgn .... dan apabila

benar maka baru dijual lelang

5. Asas publisitas (Pasal 1179 BW)

Ketika para pihak sudah membuat perjanjian hipotek yang dituang dalam akta

otentik dan dibuat oleh notaris (Pasal 1171) maka setelah dibuat perjanjian tsb

kemudian dilampirkan dokumen2 atas objek hipotek yang diperlukan, lalu

didaftarkan ke kantor pertanahan agar dimuat dalam suatu register umum.

pendaftaran dalam register umum itulah realisasi dari asas publisitas. Akibatnya

apabila sudah didaftarkan dalam register umum maka perjanjian jaminan hipotek

tidak hanya mengikat pihak semata tetapi juga mengikat pihak ketiga (pihak

ketiga disini dalam arti harus menghormati hak hipotek K).

Ini berbeda dgn perjanjian obligatoir (perjanijan kredit) yang bertumpu pada

asas privity of contract

6. Asas Prioritas (Pasal 1181 BW)

Tanggal pendaftaran hak hipotek di register umum menentukan ranking K.

dalam pasal 1181 BW Ini kalau ada hak hipotek yang didaftarkan lebih dahulu

sudah tentu harus lebih diprioritaskan. Dari konteks pasal 1181 BW ini kita bisa

tahu bahwa sesuatu benda bisa dijaminkan ulang sebab didalamnya menyatakan

“Tanggal pendaftaran menentukan ranking”. saat objek yang sama dijaminkan

berulang-ulang maka tentunya ada K pemegang hipotek pertama dan kedua, dst.

Penyebutan K pemegang hipotek pertama itu memberikan pertanda dialah yang

diprioritaskan daripada pemegang K kedua.

7. Beschikkingsbevoeghd (Pasal 1168 BW)


Yang berhak menjaminkan suatu benda adalah pemilik benda. Hipotek hanya

bisa diletakkan oleh pemilik saja. Darisini memberikan suatu sinyal bahwa

hanya pemilik saja yang diberikan wewenang utk menjaminkan sebuah benda

mengingat pemilik memiliki keleluasaan utk melakukan perbuatan2 hukum atas

benda miliknya tak terkecuali utk menjaminkannya. Masalah

Beschikkingsbevoeghd dalam hipotek ini bisa ditegakkan secara tuntas, berbeda

dengan gadai. Kalau dalam gadai yg berobjek pada benda bergerak terkait

Beschikkingsbevoeghd itu tidak bisa ditegakkan secara utuh karena berkaitan

dengan pasal 1977 BW yang mengakibatkan munculnya pasal 1152 ayat (4)

sehingga bisa saja seseorang yang berposisi sebagai peminjam benda bergerak

karena selalu memakai benda tsb dikira sebagai pemilik benda. Kalau peminjam

benda bergerak menjaminkannya maka pihak K tidak bisa melakukan apa. Ini

berbeda dgn hipotek dimana objeknya benda tidak bergerak yang fokusnya pada

tanah maka sudah barang tentu pemilik tanah itu mempunyai tanda kepemilikan

yaitu sertifikat. Saat tanah dan rumah A disodorkan sebagai jaminan khusus

maka bank segera akan memeriksa dokumen tsb apakah benar A pemiliknya.

Untuk memeriksanya maka bank meminta tanda bukti kepemilikan seperti

menyerahkan sertifikat tsb dan setelah diserahkan maka bank akan

mengevaluasinya apakah benar nama A tercantum disitu, lalu hak atas tanah

tergolong hak apa, dll. Sehingga dalam situasi seperti itu Beschikkingsbevoeghd

di lingkungan dapat ditegakkan dan ini searah dgn adagium hukum jaminan

bahwa yang berwenang menjaminkan sebuah benda adalah pemilik.

8. Benda yang sudah ada (Pasal 1175 BW)


Yang bisa dibebani hanya sebatas benda yang sudah ada. Hal ini memang masuk

akan mengingat benda tidak bergerak yang dijadikan jaminan adalah fokusnya

tanah dimana tanah itu sudah harus ada, kalau tanah belum ada maka tidak bisa

dilihat letaknya dimana, batas2nya dimana, luasnya sehingga karena tidak dapat

dideteksi maka muncul pasal 1175 bahwa benda yang masih akan ada tidak

dapat dibebani hipotek karena asas specialitasnya bisa segera dilaksanakan.

Sebenarnya pasal 1175 berkaitan dengan kehadiran asas spesialitas yang ada

dalam pasal 1174. Namun sesuai dengan perkembangan di indonesia dimana

kita tahu bahwa dengan lahirnya UUPA maka hipotek tidak lagi berobjek pada

tanah, utk saat ini hipotek yang berlaku di indonesia utk mengikat kapal laut

yang sudah terdaftar.

9. Menjamin sejumlah utang tertentu (Pasal 1176 BW)

Utang tertentu itu harus secara tegas disebutkan didalam perjanjian jaminan

hipotek dan perjanjian tsb dibawa ke kantor pertanahan utk didaftarkan hak

hipoteknya dalam register umum. Ketika sudah didaftarkan maka masyarakat

tahu bahwa benda tsb sedang dijaminkan dgn hipotek dan sudah ditetapkan

hipotek tsb utk menjamin sejumlah utang tertentu. Sebab masyarakat ketika

membaca dan disitu tercantum sejumlah utang tertentu akhirnya umum

mengetahui seberapa besar preferensi K pemegang objek tersebut. Ini sangat

penting karena misal apabila ada pihak yang sanggup memberikan pinjaman

tambahan karena dalam hipotek dimungkinkan adanya penjaminan ulang (Pasal

1181). Apabila D butuh dana pinjaman lalu mau memberikan pinjaman

tambahan maka calon K harus melihat dalam register umum seberapa besar

preferensi K pertama sehingga bisa menentukan pagunya berapa yang bisa


disalurkan sebagai dana pinjaman kepada D. inilah kegunaan mengapa sejumlah

utang tertentu harus dicantumkan dalam perjanjian jaminan hipotek.

Pencantuman sejumlah utang tertentu dalam perjanjian hipotek yang kemudian

didaftarkan dalam sebuah register umum di kantor pertanahan ini prosedurnya /

cara2nya agak rumit.

10. Meliputi segala tambahan / perbaikan (Pasal 1165 BW)

Ketika A berutang pada bank dan diminta utk menyodorkan salah satu benda

miliknya ternyata benda milik A berupa benda tidak bergerak yaitu tanah kosong

yang menurut perkiraan bank nilai pasar 1 M sehingga bank sanggup

memberikan pinjaman 500 juta. A disini akan melunasi hutangnya 23 Juni 2023.

sebulan setelah A menerima pinjaman 500 juta dari bank ternyata A membangun

sebuah rumah diatas tanah kosong maka berdasarkan pasal 1165 BW rumah

yang baru dibangun ikut terbebani hipotek (Pasal 1165 menyatakan bahwa

hipotek meliputi segala macam tambahan / perbaikan objek hipotek). hal ini

berkaitan dengan prinsip dalam BW yakni asas aksesi, bukankah bahan2 dari

rumah merupakan benda bergerak (kayu, genteng, jendela, batu bata, dll) tetapi

karena benda2 tsb dilekatkan pada benda tidak bergerak oleh pemiliknya secara

terus menerus demi mencapai tujuan tertentu sehingga mengakibatkan benda

bergerak mengikuti nasib benda yang dilekatinya yaitu berubah menjadi benda

tidak bergerak, hal ini bisa dilihat dalam pasal 507 BW yang merupakan

cerminan asas aksesi. Asas semacam ini diperhatikan dalam mengatur hipotek

sehingga muncul pasal 1165

11. Perjanjian accesoir (Pasal 1209), novasi (Pasal 1421 BW)


Dalam Pasal 1209 dinyatakan hipotek hapus karena berakhirnya perjanjian

pokok. Misal perjanjian pokok berupa perjanjian kredit dan ternyata D

mengangsur utang ke bank dan akhirnya lunas berarti perjanjian pokok berakhir

maka perjanjian pokok yang berakhir membawa serta perjanjian accesoirnya

turut berakhir. Novasi disini bisa saja mengkait pasal 1209 BW ttg perjanjian

accesoir sebab dalam novasi marwah novasi adalah perikatan lama menjadi

hapus sehingga muncul perikatan baru. Kalau perikatan lama hapus padahal

perikatan lama ini dilekati perjanjian accesoir sehingga disini kalau pokoknya

hapus maka accesoirnya turut hapus dan ini menimbulkan problem bagi Kreditor

baru dimana mestinya masih berposisi sebagai preferen karena marwah novasi

perikatan lama hapus dimana perikatan tsb dilekati perjanjian accesoir dan

perikatan lama hapus muncul perikatan baru. Sehingga utk menghindari K baru

tidak rugi maka bisa mendayagunakan pasal 1421 BW dimana dengan tegas

dinyatakan perjanjian accesoir tidak turut hapus meskipun perikatan lama turut

hapus.

12. Preferensi (Pasal 1133 BW)

Piutang2 yang didahulukan adalah privilege, gadai dan hipotek sehingga piutang

yang didahulukan itu ada preferensinya yaitu pelunasannya didahulukan dari K

lain dan ternyata dalam pasal 1133 disebut hipotek. Disinilah pertanda bahwa K

pemegang hipotek berarti punya preferensi dan pelunasan hutang nya

didahulukan dari K lain maka posisi K pemegang hipotek adalah sebagai K

preferen.

13. Parate executie (Pasal 1178 ayat (2) BW)


Inti pasal 1178 ayat (2) adalah apabila D wanprestasi maka K memiliki

wewenang utk menjual hipotek di hadapan umum atas dasar kuasa K. Lembaga

ini dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagai kuasa menjual. Perbedaan

antara parate executie dalam hipotek dgn parate executie dalam gadai yaitu utk

gadai parate executienya lahir dari UU (Pasal 1155) sedangkan utk hipotek lahir

dari perjanjian (Pasal 1178 ayat (2))

Yang dimaksud parate executie lahir dari perjanjian adalah harus ada perjanjian

pemberian kuasa dari D kepada K utk menjual sendiri objek jaminan. Lembaga

parate executie menurut analisis Prof embrionya ada / bersumber dalam buku III

BW yaitu Pasal 1241 BW dikatakan apabila D wanprestasi maka K diberikan

wewenang untuk melaksanakan sendiri prestasi yang diinginkan atas dasar kuasa

D. Ketika menjumpai pasal 1241 teringat lembaga parate executie.

Parate executie dalam hipotek itu harus diperjanjikan secara rinci karena

diperuntukkan utk golongan yang menengah keatas. Dengan adanya parate

executie dalam pasal 1178 maka eksekusi itu dipermudah dan D tidak boleh

disibukkan dgn prosedur yang berkepanjangan dimana langsung saja dijual

lelang. Bank dalam menjual objek lelang maka akan membawa kuasa menjual

dari K dan ini disodorkan ke kantor lelang. Disini D boleh menjual tanpa

melalui lelang itu diperbolehkan ada kesepakatan antara K dan D.

14. Hak untuk mengambil pelunasan piutang (Pasal 1178 BW)

Pemegang hak hipotek hanya berhak utk mengambil pelunasan bukan untuk

memiliki secara otomatis objek hipotek, diperjanjikan sejak awal batal demi

hukum.

15. Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 1163 BW)


Artinya adalah dengan dilunasinya sebagian utang tidak terbebaskannya

sebagian dari objek hipotek.

16. Akta otentik (Pasal 1171 BW)

Perjanjian hipotek harus dituangkan dalam akta otentik dan akta otentik dalam

BW adalah dibuat oleh notaris sesuai dgn pasal 1868. apabila tidak dituangkan

dalam hipotek maka dgn sendirinya perjanjian hipotek batal demi hukum karena

pasal 1171 BW berposisi sebagai dwingendrecht

Sekarang tanah di tangani UUPA dimana sekarnag yang berwenang adalah

PPAT. Utk perjanjian kreditnya kalau dituangkan dalam akta otentik maka

ditangani oleh notaris A, kalau diikuti perjanjian HT maka berubah menjadi

PPAT A.

Anda mungkin juga menyukai