Anda di halaman 1dari 40

TUGAS RESUME KELAS HUKUM LEMBAGA JAMINAN (A)

BUKU PENGANTAR HUKUM JAMINAN KEBENDAAN

Prof. Dr. H. Moch Isnaeni, S.H., M.S.

Oleh :

Cholidatul Rizky Amalia

NIM. 032114253055

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. Benda Dalam Sirkulasi Kehidupan Manusia

Fakta yang menunjukkan suatu bukti bahwa benda yang tercipta dalam latar

kehidupan sosial, tak terhitung jumlahnya, jenisnya juga beraneka ragam. Meski demikian,

benda yang tak pernah dapat lepas dari eksistensi manusia selaku anggota kelompok, hukum

perlu mengatur supaya ada kejelasan dan kepastian peranannya. Agar mengatur benda

menjadi lebih mudah perakitannya dalam norma hukum, pembentuk Burgerlijk Wetbook

(BW) membaginya ke dalam beberapa golongan dengan masing-masing pasangannya.

Pembagian tersebut misalnya:

1. Benda berujud-benda tak berujud (Pasal 503 BW).

2. Benda bergerak-benda tak bergerak (Pasal 504 BW)

3. Benda habis pakai-benda tidak habis pakai (Pasal 505 BW)

4. Benda yang sudah ada-benda masih akan ada (Pasal 1131 BW)

5. Benda dapat dibagi-benda tidak dapat dibagi (Pasal 1163 BW)

6. Benda dalam perdagangan-benda di luar perdagangan (Pasal 1332 BW)

7. Benda yang dapat diganti-benda yang tidak dapat diganti (Pasal 1694 BW)

8. Benda bertuan-benda tak bertuan (Pasal 519 BW)

Mencermati penggolongan benda dalam BW tersebut sudah nyaris lengkap. Jika

dibandingkan dengan pembagian benda dalam Hukum Adat yang hanya sekedar mengenal

pembagian benda secara sederhana, yaitu benda berupa tanah dan benda bukan tanah. Sifat

Hukum Adat adalah konkrit dan kontan. Tentang pembagian benda dalam Hukum Adat yang

hanya mengenal benda berupa tanah dan benda bukan tanah, berakibat diberlakukannya asas

pemisahan horisontal.
Saat benda habis pakai-benda tidak habis pakai, kalau dijadikan obyek transaksi

pinjam meminjam, maka sejak jenis benda habis pakai tersebut diserahkan, pihak peminjam

yang menerimanya akan berubah kedudukannya menjadi pemilik benda yang bersangkutan.

Tetapi tidak demikian jika obyeknya benda tidak habis pakai, meski sudah diserahkan dan

dikuasai secara nyata oleh peminjam, maka yang bersangkutan posisinya tetap sebagai

peminjam bukan sebagai pemilik. Dan akan lebih panjang lagi akibat hukum yang

mengikutinya, jika pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak di mana pembagi jenis

benda ini memang yang paling penting terbuka akan mempengaruhi dalam hal

penguasaannya bezi daluwarsanya (verjaring), penyerahannya (levering penjaminannya

(bezwaring), ataupun sitanya (beslag).

Pembagian benda dalam BW bukan hanya sekedar menggolongkan saja, tetapi hal itu

lebih merupakan konsep yang kemudian memerlukan penjabaran lebih lanjut apabila masing-

masing benda yang bersangkutan dijadikan obyek transaksi. Mengingat benda memiliki

kedudukan yang strategis dalam kehidupan sosial, oleh BW lalu diatur dalam Buku II setelah

penormaan pada diri pribadi orang sebagai subyek hukum yang disusun dalam Buku I.

Pengaturan benda dalam Buku II BW pun pada dasarnya banyak yang dibingkai dengan

ketentuan hukum yang berposisi sebagai dwingend recht, atau ketentuan undang-undang

yang bersifat memaksa, sehingga para pihak tak diperbolehkan mengesampingkannya kendati

dengan sepakat sekalipun. Inilah salah satu penyebab mengapa Buku II BW bersifat tertutup.

Hak kebendaan yang aturannya mendominasi Buku II BW, ternyata hak kebendaan ini

terbagi menjadi dua (2) macam yaitu:

1. Hak kebendaan yang bercorak menikmati, misalnya hak milik, hak guna bangunan, hak

guna usaha.

2. Hak kebendaan yang bercorak jaminan (hak jaminan kebendaan), yakni hak gadai dan hak

hipotek.
Jaminan kebendaan ini di Indonesia ada suatu perkembangan khusus akibat diterbitkannya

beberapa jenis undang-undang yang sengaja dibuat oleh pemerintah demi melayani kemajuan

dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Adapun perkembangan yang dimaksud adalah dengan

diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah

Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan), dan Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia). Kedua undang-

undang tersebut sesuai historisnya oleh pemerintah memang dirasa perlu untuk diciptakan

dengan tujuan antara lain demi memantapkan sinkronisasi dan kepastian hukum.

Menyangkut perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang akhirnya mempengaruhi

pembagian benda yang dilakukan oleh pembentuk BW, misalnya saat masyarakat mulai

mengenal pembagian benda terdaftar-benda tak terdaftar, memang sedikit banyak akan

meluangkan area untuk timbulnya permasalahan. Kalau belakangan dikenal adanya

penggolongan baru berupa benda terdaftar dan benda tidak terdaftar yang sudah tentu aturan

khususnya tidak akan dijumpai dalam BW, akan menyeret banyak problema hukum.

Penggolongan benda yang baru tersebut aturan khususnya dalam BW belum ada, sehingga

bagaimana kedudukan hukum benda terdaftar-benda tak terdaftar perlu diperhatikan dengan

seksama dalam sistem hukum secara keseluruhan.

Lembaga jaminan fidusia yang sekian lama keberadaannya di Indonesia dikelola oleh

yurisprudensi yang selanjutnya sesuai tuntutan kebutuhan lalu diatur dalam UU Fiduisa,

maka bertolak dari obyek lembaga jaminan fidusia tersebut, sebenarnya dalam Hukum Benda

Indonesia mulai muncul adanya pembagian benda secara baru yaitu benda modal dan benda

bukan modal. Yang dijadikan obyek lembaga jaminan fidusia tak lain adalah setiap benda

yang oleh pemiliknya dipergunakan untuk menjalankan ataupun menopang suatu usaha, baik

secara langsung ataupun tidak langsung, dengan suatu catatan sepanjang benda yang

bersangkutan tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan ataupun hipotek.


Lembaga jaminan fidusia ini timbul saat sebuah benda yang dipakai untuk usaha, lalu

oleh pemiliknya disodorkan sebagai jaminan demi memperoleh sejumlah utang guna

mengembangkan usahanya ataupun untuk diverifikasi usaha. Kalau menggunakan hipotek

tidak memungkinkan karena bukan tergolong sebagai benda tidak bergerak, lalu kalau

memakai gadai terbentur pola inbezitstelling, pada hal benda itu harus tetap ada dalam

penguasaan nyata debitor supaya bisa menjalankan usahanya demi memperoleh hasil yang

sebagiannya nanti akan dipergunakan untuk mengangsur utangnya.

2. Karakter Benda Sebagai Obyek Transaksi

Sebagai pelengkap, maka semua benda yang dipergunakan untuk mendukung

kegiatan sehari hari, diinginkan oleh setiap orang bahwa benda yang bersangkutan dapat

dipergunakan atau dimanfaatkan secara penuh dan bebas tanpa terkendala oleh gangguan

pihak lain. Untuk mendapatkan benda dengan posisi seperti itu, maka harus ada label hak

milik di atas benda tersebut. Cara pemilikan benda diatur pada Pasal 584 BW yaitu dengan

cara pemilikan atau pendakuan, perlekatan, pewarisan, daluwarsa, dan penyerahan atas dasar

peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang yang berwenang.

Seseorang selaku anggota masyarakat, membutuhkan benda sebagai pendukung rotasi

hidupnya, berarti benda yang bersangkutan memiliki nilai. Nilai itu tak lain adalah nilai

ekonomis. Jika sebuah benda punya nilai ekonomis, biasanya akan dikejar oleh setiap orang

untuk bisa mendapatkan hak milik atas benda tersebut. Perolehan hak milik seperti yang

diatur oleh Pasal 584 BW, khususnya cara yang ke lima, yakni penyerahan atas dasar

peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang yang berwenang, maka benda tersebut hak

miliknya harus dapat dialihkan dari satu tangan ke tangan yang lain. Lewat penyerahan, maka

benda yang punya nilai ekonomis akan mengalami mobilitas, berpindah dari penguasaan satu

pihak ke penguasaan dan kepemilikan pihak lain. Pergantian pemegang hak milik suatu

benda yang berlalu lalang seperti itu lewat berbagai macam transaksi.
Suatu benda akan dapat dijadikan obyek transaksi jika memenuhi dua (2) macam

syarat, yaitu bahwa benda yang bersangkutan harus punya nilai ekonomis, dan hak miliknya

dapat dialihkan. Sepanjang kedua syarat tersebut melekat pada sebuah benda, maka transaksi

selaku cermin eksistensi bisnis, akan dijadikan lahan operasionalisasi mobilitas benda dalam

ranah kehidupan masyarakat. Benda yang bersangkutan, hak miliknya akan selalu berpindah-

pindah karena ada penyerahan dari satu pihak kepada pihak lain atas dasar suatu peristiwa

perdata yang menjadi alasnya. Peristiwa perdata atau titel yang dipakai sebagai alas

berpindahnya benda yang dilakukan dengan penyerahan atau levering, umumnya dan paling

banyak berupa Perjanjian Jual Beli.

Dalam peristiwa hukum suatu Perjanjian Jual Beli, berarti ada pihak yang berperan

sebagai penjual dan ada yang bersosok selaku pembeli. Saat penjual mengalihkan hak milik

atas benda yang dipunyainya kepada pembeli, sudah selayaknya kalau itu dilakukan demi

mendapatkan keuntungan. Demikian juga pihak pembeli, bertekad mengeluarkan sejumlah

uang untuk melakukan pembayaran sebagai kewajibannya, untuk meraih hak milik atas benda

yang bersangkutan.

Perjanjian Jual Beli menjadi jantung kegiatan bisnis keseharian. Benda sebagai obyek

transaksi, karena memiliki dua ciri pokok yakni punya nilai ekonomis dan hak miliknya dapat

dialihkan, terbukti mendominasi lalu lintas perdagangan baik di lintasan domestik ataupun

internasional. Selain dijadikan obyek transaksi jual beli, benda juga dapat dijadikan agunan

yang umumnya dipakai untuk menjamin sejumlah utang tertentu agar kreditor memiliki

posisi yang lebih aman. Nilai ekonomis suatu benda untuk dijadikan agunan, pada dasarnya

memang penting. "Almost anything of monetery value can be taken as security, ... Benda

yang dijadikan agunan atas dasar perjanjian yang dibuat antara debitor dan kreditor, berarti

benda tersebut dibebani hak jaminan tanpa mengusik hak milik yang dipegang oleh yang

empunya benda. Berarti di atas satu macam benda dapat melekat beberapa macam hak yang
mempunyai tujuan sendiri bingkai sendiri, sehingga dengan model tersebut variasi transaksi

benda menjadi berkembang sangat beraneka.

3. Keunggulan Ciri Hak Milik Atas Suatu Benda

Dalam Pasal 570 BW mengatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati suatu

benda dengan penuh dan bebas sepanjang tidak melanggar hak orang lain dan undang

undang, namun tidak menutup kemungkinan untuk dicabut demi kepentingan umum dengan

mendapatkan ganti rugi. Unsur menikmati benda dengan penuh dan bebas tanpa diganggu

pihak lain, jelas merupakan suatu situasi yang aman lagi nyaman, sehingga si pemangku hak

milik benda benar-benar dapat mereguk kegunaan benda yang bersangkutan tanpa kendala.

Ciri unggul hak milik kalau dibandingkan dengan hak keperdataan lainnya, antara

lain:

1. Hak milik itu dapat menjadi induk dari hak keperdataan lainnya. Sebagai induk, dengan

lahirnya hak keperdataan lain, tidak membawa serta hilangnya hak milik.

2. Hak milik merupakan hak yang secara kwantitatif adalah lebih kuat dan lengkap dari pada

hak keperdataan yang lain. Meski hak milik ditindih oleh hak keperdataan ataupun hak

kebendaan lain, hak milik tetap eksis. Pemegang hak milik juga punya keleluasaan untuk

melakukan perbuatan hukum atas benda yang bersangkutan, tanpa perlu meminta restu pihak

manapun.

3. Hak milik bersifat tetap, dalam arti tak mengenal batas durasi waktu. Jika pemegang hak

milik meninggal dunia, hak milik atas benda tersebut tidak ikut hapus karenanya, melainkan

akan digantikan kepemilikan atas benda itu oleh ahli warisnya.

Ciri unggul hak milik seperti yang disebutkan di atas, tidak dipunyai oleh hak

keperdataan ataupun hak kebendaan lainnya. Pemegang hak milik suatu benda bukan hanya

berwenang menjual, tetapi juga berwenang menjaminkan benda yang bersangkutan. Bahkan

adagium dalam Hukum Jaminan menyatakan bahwa yang berwenang menjaminkan sebuah
benda adalah pemilik. Hal ini bisa saja perbuatan menjaminkan itu merupakan langkah awal

untuk mengasingkan benda. Sebab saat utang tertentu yang dijamin dengan sebuah benda

milik debitor, andai di kemudian hari ternyata utang tidak dibayar, sesuai prosedur, akan

ditindak lanjuti benda yang dijaminkan itu akan segera dijual di hadapan umum atau dijual

lelang. Penjualan secara lelang ini, pada dasarnya dilandasi oleh kewenangan debitor selaku

pemilik, meskipun dalam Hukum Jaminan kemudian dikemas dengan cara yang khusus demi

memudahkan eksekusinya, antara lain lewat kuasa menjual. Namun kuasa menjual yang

diberikan oleh debitor sebagai pemilik benda kepada kreditor ini, bukan satu-satunya alasan

pelelangan, ada pula mekanisme lain yang diatur sedemikian rupa oleh pembentuk undang

undang agar pelunasan piutang kreditor dapat terlaksana secara sederhana, lancar, dan

mudah.

BAB II

URGENSI PEMBAGIAN BENDA BERGERAK-BENDA TIDAK BERGERAK

1. Golongan Benda Bergerak

Penggolongan benda bergerak-benda tidak bergerak merupakan jenis klasifikasi yang

penting. Benda bergerak ada 2 (dua) macam, yaitu :

1. Benda bergerak karena sifatnya, dimana benda tersebut pada dasarnya dapat dipindah-

pindah sesuai ciri alamiahnya (Pasal 509 BW)

2. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal

511 BW. Berdasar kewenangan yang dimiliki, penguasa menentukan apa saja yang dapat

digolongkan sebagai benda bergerak sehingga dengan cara tersebut, masyarakat tidak

menjadi ragu dan cemas dalam menanggapi kedudukan suatu benda secara pasti.

Sifat benda bergerak yang pada dasarnya relative dan mudah dipindah-pindahkan,

tingkat mobilitasnya sangat tinggi. Penguasaan benda bergerak oleh suatu pihak, terkadang

sulit dipastikan, apakah pihak yang memegangnya itu benar pemiliknya ataukah sekedar
pemegang semata. Problematika ini membuat pembentuk undang-undang untuk memberikan

solusinya dengan menetapkan sebuah asas sebagaimana tertera dalam Pasal 1977 BW yang

intinya, bahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Kata

“dianggap” ini mengandung banyak arti. Hal tersebut juga memberikan jawaban atas

pertanyaan yang timbul dalam masyarakat tentang siapa pemilik sebuah benda bergerak.

Asas barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagi pemilik dalam

Pasal 1977 BW, merupakan cermin rasa hukum setiap anggota masyarakat. Karena hukum

sudah menganggap semua orang itu baik, maka kata “baik” itu tidak perlu dibuktikan.

Kemudian pembentuk undang-undang melalui Pasal 1965 BW mengutarakan yang intinya

itikan baik itu selamanya harus dianggap ada, sedang siapa yang menunjuk tidak ada itikad

baik (itikad buruk) wajib membuktikannya.

Dalam urusan menjamínkan benda bergerak, pengaruh Pasal 1977 BW sangat besar.

Apabila benda gadai hilang atau dicuri, maka kreditor gadai dapat menuntut benda tersebut

dari tangan siapapun benda itu berada tanpa mengurangi arti Pasal 582 BW. Demikian juga

kalau pemberi gadai (debitor) tidak berwenang menggadaikan, maka hal seperti itu tidak

dapat dipertanggungjawabkan kepada penerima gadai (kreditor). Rangkaian ketentuan yang

ada dalam Pasal 1152 ayat 3 dan 4 BW ini ada dalam ketentuan gadai, tak lain akibat

pengaruh kuat dari asas yang tertera dalam Pasal 1977 BW secara utuh.

Pasal 1977 BW ada dalam ranah Buku IV BW tentang Pembuktian dan Daluwarsa,

kaitan pasal tersebut sangat erat dengan urusan benda bergerak yang diatur oleh Buku II BW.

Untuk membuktikan bahwa hak milik suatu benda bergerak ada pada siapa, oleh Pasal 1977

BW bisa dilihat siapa yang sedang menguasai benda bergerak yang bersangkutan secara

nyata, maka pihak itulah yang dianggap sebagai pemiliknya. Demikian pula kalau berbicara

soal daluwarsa, maka untuk benda bergerak daluwarsa yang ditegaskan oleh Pasal 1977 BW
adalah nol (0) tahun, atau dengan kata lain benda bergerak tidak mengenal rentang waktu

daluwarsa.

Sesuai sistematikanya, baik dalam hal daluwarsa berkait untuk memperoleh hak milik

atas suatu benda ataupun daluwarsa berkait dengan terbebaskannya sesuatu pihak dari sebuah

kewajiban, diawali dengan tenggang waktu tiga puluh (30) tahun yang awalnya dari Pasal

1963 BW, kemudian jangka waktu daluwarsa itu sesuai urutannya lalu menurun angka demi

angka, dan diakhiri dengan bilangan nol (0) pada Pasal 1977 BW.

Jangka waktu yang terus menurun secara sistematis, merupakan jenis pengaturan

jangka waktu daluwarsa secara rinci. Hal ini berbeda dengan Hukum Adat yang tidak

mengenal lembaga daluwarsa, baik dalam hal daluwarsa yang mengakibatkan terbebaskannya

seseorang dari sebuah kewajiban yang semestinya harus dipenuhi, ataupun daluwarsa dalam

hal untuk memperolah hak milik atas suatu benda. Berbeda dengan sistem yang dianut oleh

BW, di mana lewatnya daluwarsa, sesuatu pihak dimungkinkan untuk memperoleh hak milik

atas suatu benda, atau sesuatu pihak dapat terbebaskan dari sebuah kewajiban yang

seharusnya dipenuhi, dan ini diatur dengan tegas dalam Pasal 610 jis. 1946, 1963, 1969 BW.

2. Golongan Benda Tidak Bergerak

Untuk menentukan apa saja yang tergolong sebagai benda tidak bergerak, oleh

pembentuk BW ditetapkan ada tiga (3) macam, yaitu:

1. Benda tidak bergerak karena sifatnya, di mana jenis benda ini berdasar ciri alamiahnya

memang tidak dapat dipindah-pindah (Pasal 506 BW)

2. Benda tidak bergerak karena tujuannya. Sebenarnya suatu benda itu yang awalnya

termasuk golongan benda bergerak, tetapi karena oleh pemiliknya dilekatkan pada benda

tidak bergerak secara terus menerus demi mencapai suatu tujuan tertentu, akhirnya benda

bergerak yang bersangkutan berubah menjadi benda tidak bergerak (Pasal 507 BW).

Kualifikasi sebagai benda bergerak tergradasi golongannya menjadi benda tidak bergerak
yang dilekatinya, ini merupakan salah satu wujud konkrit dari asas perlekatan (accessie) yang

dikenal BW.

Kalau dibandingkan dengan benda bergerak, sejak dulu sudah diakui kalau nilai benda

tidak bergerak, dalam hal ini tanah, selalu dianggap relatif lebih tinggi. Atas dasar inilah,

maka ketentuan-ketentuan penjaminan benda tidak bergerak, yakni dengan menggunakan

lembaga jaminan hipotek, kalau ditinjau dari jumlah pasalnya, jauh lebih banyak daripada

gadai.

Benda bergerak setelah dilekatkan pada benda tidak bergerak demi mencapai suatu

tujuan tertentu oleh pemiliknya, dianggap menjadi satu kesatuan. Konsep ini sesungguhnya

merupakan konsekwensi konkrit dari asas accessie atau asas perlekatan yang sangat terkenal

dalam BW. Asas accessie dikenal dalam sistem BW karena adanya pembagian benda

bergerak-benda tidak bergerak.

Obyek transaksi yang berkaitan dengan seluk beluk tanah, khususnya yang belum

lengkap persyaratan administrasinya sesuai aturan UUPA saat ini, menjadi kendala untuk

dipasarkan. UUPA sebagai sarana hukum, nuansanya tidak menunjang untuk dijadikan ajang

bisnis. Menghadapi fakta tersebut, solusi yang ditawarkan BW terobosan langkah bisnis

dengan memanfaatkan peluang objek yang ada dalam aturan BW.

3. Konsekwensi Lanjut Penggolongan Benda Bergerak Benda Tidak Bergerak

A. Dalam bidang bezit: bahwa menguasai secara nyata (mem bezit) benda bergerak, maka

berlakulah asas yang ada dalam Pasal 1977 BW, ditetapkan bahwa barang siapa

menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Asas ini tidak berlaku kalau

menyangkut penguasaan benda tidak bergerak. Ini menandakan kalau keberadaan Pasal

1977 BW memang menduduki posisi sentral dalam urusan benda bergerak. Dengan

adanya perbuatan Pasal 1977 BW sering masalah bisnis yang obyeknya benda bergerak

menjadi lancar dan nyaris aman akibat tersedianya perlindungan hukum di dalamnya.
B. Dalam bidang levering: Bahwa dalam levering sesungguhnya ada dua unsur penting agar

levering atau penyerahan itu sampai pada tujuannya, yakni beralihnya hak milik suatu

benda dari satu tangan ke tangan lainnya. Adapun dua (2) unsur yang dimaksud adalah

penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (juridische levering). Pada

waktu seseorang hendak memindahkan hak milik suatu benda bergerak, maka saat benda

bergerak yang bersangkutan diberikan kepada pihak lain, saat itu pula baik penyerahan

nyata dan penyerahan yuridis, jatuh bersamaan tanpa dapat diamati jenjang tahapannya.

Sebaliknya kalau yang dipindahkan hak miliknya itu menyangkut benda tidak bergerak,

maka antara penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (juridische

levering) akan nampak tahap-tahapnya secara signifikan baik dalam jenjang waktu

ataupun perbuatan hukumnya.

C. Dalam bidang verjaring (daluwarsa): benda bergerak tidak mengenal daluwarsa atau nol

(0) tahun dan ini dapat dilacak dalam Pasal 1977 BW. Sedang untuk benda tidak

bergerak daluwarsanya seperti pada Pasal 1963 BW yang intinya menegaskan bahwa

siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, mendapatkan

suatu benda tidak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar

atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa setelah menguasai

secara nyata selama dua puluh (20) tahun. Sedang siapa yang dengan itikad baik

menguasainya selama tigapuluh (30) tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat

dipaksa untuk menunjukkan alas haknya. Jelas dari ketentuan-ketentuan tersebut untuk

urusan daluwarsa, durasi waktu yang diperlukan untuk benda bergerak dan benda tidak

bergerak amat berbeda.

D. Dalam bidang bezwaring (penjaminannya): kalau yang dijaminkan itu berupa benda

bergerak, maka lembaga yang disediakan oleh BW adalah gadai, sedangkan untuk benda

tidak bergerak adalah hipotek. Seluk beluk gadai diatur oleh Pasal 1150-1160 BW,
sedang hipotek aturannya terentang mulai Pasal 1162-1232 BW. Mengamati dan

membandingkan jumlah pasal yang mengatur gadai dan hipotek, sangat terlihat

perbedaannya, sehingga dapat ditebak bahwa sosok benda tidak bergerak pasti

menduduki posisi yang penting dalam bidang bisnis ataupun hukumnya.

E. Dalam bidang sita (beslag): berdasarkan prosedur sesuai aturannya, eksekusi melalui sita

(executorial beslag), maka benda bergerak harus dilakukan terlebih dahulu, jika dirasa

belum cukup untuk melunasi prestasi atau utang debitor yang bersangkutan, barulah sita

tersebut menjamah keberadaan benda tidak bergerak (lihat Pasal 197 HIR).

Benda yang diatur oleh Buku II BW pada umumnya akan dijadikan obyek transaksi,

sedangkan proses transaksi sebagian besar menyangkut Perjanjian Obligatoir yang tunduk

pada Buku III BW. Saat benda dijadikan obyek perjanjian yang tentu saja dari perjanjian itu

akan lahir perikatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1233 BW, maka pihak-pihak yang terikat

berharap agar prestasi yang diinginkan dapat terwujud, karena itu merupakan haknya. jika

dari perikatan yang dijalin itu tidak menghasilkan hak, berarti tidak untung atau menderita

rugi, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugat ke pengadilan supaya kerugian itu

dipulihkan. Pemulihan kerugian tersebut oleh hukum memang dijanjikan pasti dapat terwujud

sampai prestasi sebagai obyek perikatan yang diinginkan terealisasi secara utuh. Untuk

keperluan itulah maka dikemas Pasal 1131 BW sebagai jaminannya.

BAB III

JAMINAN UMUM SEBAGAI PENYANGGA PERIKATAN

1. Prestasi Sebagai Objek Perikatan

Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan harta

kekayaan, di mana satu pihak wajib memenuhi prestasi (debitor) dan pihak lain berhak atas

prestasi yang bersangkutan (kreditor). Yang dimaksud perbuatan hukum adalah perbuatan

yang menimbulkan akibat hukum. Selanjutnya hubungan hukum yang dimaksud terletak
dalam ranah hukum harta kekayaan, berarti hak dan kewajiban yang timbul dari padanya

punya nilai ekonomis. Pengertian debitor adalah pihak yang wajib memenuhi prestasi, sedang

kreditor adalah pihak yang berhak atas prestasi yang bersangkutan. Dari jabaran definisi

perikatan tersebut, berarti obyek perikatan itu adalah prestasi.

Sebagaimana Pasal 1234 BW wujud prestasi itu ada tiga (3) jenis, yakni memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Hakekat prestasi sebagai suatu kewajiban

yang terpikul di punggung para pihak, haruslah dipenuhi, dibayar atau dilaksanakan.

Kebenaran bahwa prestasi wajib dipenuhi dapat dilihat dari Pasal 1235 BW yang isinya

mengutarakan bahwa dalam perikatan-perikatan untuk memberikan sesuatu, maka debitor

wajib menyerahkan benda yang bersangkutan dan memeliharanya dengan baik sebelum

penyerahan dilakukan. Tidak hanya itu, prestasi yang harus dipenuhi tidak sebatas pada jenis

perikatan untuk memberikan sesuatu saja, tetapi juga termasuk jenis perikatan untuk berbuat

sesuatu, dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

Andai suatu perikatan antara para pihak ternyata prestasi yang diinginkan tidak

didapatkan, maka yang bersangkutan dapat meminta bantuan kepada hukum, misalnya

menggugat ke pengadilan. Sesuai prosedur kewajiban yang tidak dipenuhi secara suka rela,

hukum dapat memaksanya dengan mengandalkan Pasal 1131 BW yaitu dengan jalan

mengeksekusi harta pihak yang cidera janji (wanprestasi) di hadapan umum, dan hasilnya

dibayarkan kepada pihak yang menderita rugi.

Tetapi jika kita melihat ketentuan Pasal 1132 BW, bahwa jaminan umum yang

disediakan oleh pembentuk undang-undang masih dapat menimbulkan risiko akibat hasil

lelang harta debitor kalau tidak mencukupi untuk menutup seluruh utangnya, maka harus

dibagi secara proporsional. Pembagian hasil lelang untuk pelunasan piutang para kreditor

secara proporsional berdasarkan Pasal 1132 BW ini, hasil lelang itu diperebutkan, satu sama

lain para pemilik tagihan saling berkonkurensi, sehingga mereka ini lalu disebut sebagai
kreditor konkuren. Meski setiap perikatan itu sudah ada jaminan yang diberikan oleh

pembentuk undang-undang lewat Pasal 1131 BW, tidak sepenuhnya serta merta dapat

menutup kerugian kreditor secara utuh, apabila dalam kenyataannya hasil lelang tidak

sepenuhnya dapat meliput lunas seluruh utang debitor. Inilah nasib kreditor konkuren yang

hanya sekedar mengandalkan jaminan umum.

2. Nilai Ekonomis Prestasi

Penjabaran makna perikatan, bahwa hubungan hukum antara para pihak ada dalam

ruang lingkup harta kekayaan, berarti prestasi sebagai obyek perikatan jelas punya nilai

ekonomis. Prestasi yang kental dengan nilai ekonomis merupakan corak utama dalam

perikatan yang diatur oleh Buku III BW, sehingga pasal-pasal yang ada di dalamnya, baik

secara eksplisit maupun implisit, berusaha menciptakan situasi yang kondusif demi

kelancaran roda bisnis dalam masyarakat.

Oleh sebab itu prestasi dengan nilai ekonomis, harus selalu dapat diraih oleh setiap

pihak yang membuat perikatan, mengingat dengan mengikatkan diri pada sesama anggota

kelompok sangat menghemat beaya, waktu, ataupun tenaga. Mana prestasi yang

bersangkutan tidak dapat diambil akibat ulah sesuatu pihak yang mengingkari janjinya,

hukum tetap akan bersikeras mewujudkannya sesuai prosedur yang sudah disediakan

pengaturannya. Hukum memiliki daya paksa jika ada suatu pihak yang tak hendak memenuhi

prestasinya secara suka rela, bahkan kalau perlu sesuai permintaan dapat ditambah dengan

pengenaan ganti rugi, beaya, dan bunga. Demi terwujudnya apa yang akan dipulihkan akibat

suatu kerugian yang menimpa salah satu pihak, dalam diri BW sendiri disediakanlah suatu

jaminan agar pemulihan tersebut dapat terealisasi. Pentingnya aturan jaminan ini tak lain

merupakan kosekwensi dari lekatnya nilai ekonomis pada sebuah prestasi.

3. Risiko Mengandalkan Jaminan Umum


Kegiatan bisnis apapun akan dibingkai oleh hukum, namun bukan berarti hukum

selalu mampu menepis segenap risiko, apalagi kalau pelakunya kurang cermat dalam

berhitung dan bersikap. Hukum hanya sebuah sarana untuk menangkal risiko secara optimal,

namun perjalanan bisnis yang merupakan suatu proses, dapat terjadi saat dalam tahap-tahap

pelaksanannya timbul kendala yang tidak terduga. Risiko yang dimaksud tidak sekedar

hangusnya sejumlah keuntungan yang akan diperoleh, tetapi dapat saja berupa terbuangnya

waktu, cacatnya prestasi yang tak diharapkan, ataupun kejadian-kejadian lain yang

menghambat terealisasinya prestasi yang diinginkan demi menggapai hak sebagai

keuntungan yang diinginkan.

Hukum sebagai sarana memang menawarkan banyak alternatif yang dapat

dimanfaatkan sejak dini, namun tetap saja idak seluruh risiko dapat ditangkal. Paling tidak

risiko yang muncul adalah terhambatnya prestasi yang diinginkan, sehingga perlu jeda waktu

yang mestinya tak perlu terjadi. Pelaku bisnis ini adalah manusia juga yang terkadang karena

sesuatu hal menjadi lalai atau terhalang saat hendak memenuhi kewajibannya sehingga

mengakibatkan rekan bisnisnya harus menerima imbasnya berupa kerugian.

A. Risiko Akibat Wanprestasi

Sebagaimana sudah dipaparkan bahwa prestasi itu wajib dipenuhi oleh pihak debitor

agar hak kreditor dapat terwujud dan itu adalah keuntungan yang diinginkan sejak awal.

Tetapi tak selamanya manusia sebagai subyek hukum selalu bisa menepati janji untuk

melaksanakan kewajibannya setelah timbul perikatan di antara para pihak. Ada saat debitor

dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya tak hendak memenuhi kewajibannya sesuai

janji, sehingga dengan ulahnya tersebut kreditor menderita rugi karenanya. Jika ini terjadi dan

kreditor berusaha memulihkan kerugian tersebut dengan jalan menggugat debitor ke

pengadilan, jelas proses gugatan di pengadilan memerlukan jangka waktu yang lumayan

lama. Demikian pula beaya untuk berperkara, perlu ongkos yang besar, belum lagi kalau
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, diabaikan begitu saja oleh

debitor, yang kemudian harus disusul dengan eksekusi harta debitor atas dasar Pasal 1131

BW yang kadang juga tidak mudah. Jelas proses yang berkepanjangan seperti ini merupakan

suatu risiko yang harus diterima kreditor.

B. Risiko Akibat Debitor Meninggal Dunia

Umur seseorang tidak dapat diperkirakan oleh siapapun. Demikian juga para pelaku

usaha yang sedang menjalin perikatan demi menjalankan bisnis yang dikelolanya, tidak

pernah bisa memprediksi seberapa panjang usia mereka. Pada dasarnya seseorang yang

membuat perikatan lewat perjanjian sesuai tujuan bisnisnya, maka berdasar Pasal 1315 jo.

1340 BW, perjanjian itu hanya berlaku dan mengikat mereka yang membuatnya.

Untuk itu berdasar Pasal 1318 BW sebagai salah satu pengecualian dari privity of

contract, tagihan pemenuhan prestasi yang tak lagi dapat ditujukan pada debitor karena sudah

meninggal dunia, maka ahli warisnya sesuai Pasal 833 BW wajib menggantikan untuk

memenuhi prestasi yang mestinya dilakukan oleh almarhum. Secara implisit Pasal 833 BW

menuturkan bahwa ahli waris tak sekedar mewarisi aktiva tetapi juga pasiva, sehingga pasiva

berupa melunasi prestasi yang belum dilaksanakan almarhum, akhirnya menjadi tanggungan

ahli waris untuk memenuhinya. Dengan dasar Pasal 1318 BW tersebut yang inti singkatnya

menegaskan bahwa seseorang yang membuat suatu perjanjian dianggap juga untuk ahli

warisnya demikian pula untuk pihak yang memperoleh hak dari padanya. Jadi ahli waris yang

secara konkrit tidak pernah membuat perjanjian dengan kreditor, akibat kedudukannya

sebagai ahli waris, maka perjanjian yang dibuat almarhum seolah-olah juga untuk diri ahli

waris yang bersangkutan. Akhirnya ahli waris karena mau menerima aktiva, berarti juga

harus menanggung pasiva, berupa tagihan kreditor yang ditinggalkan almarhum. Berdasar

hukum, dengan meninggalnya seseorang maka hak dan kewajiban tidak ikut terkubur
Menurut Pasal 1058 BW, bahwa ahli waris yang menolak warisannya, dianggap tidak

pernah telah menjadi ahli waris. Andai ini terjadi, maka harta waris berstatus sebagai bona

vacancia (harta waris yang tak terurus) yang kemudian berdasar Pasal 832 jo. 1126 BW

negara akan mengurusinya lewat Balai Harta Peninggalan (BHP). Saat pengurusan oleh BHP

kalau ternyata jumlah utang almarhum lebih besar dari nilai harta waris, tentu saja tagihan

kreditor tidak akan terpenuhi secara utuh. Risiko ini setiap saat dapat muncul kalau seseorang

yang membuat suatu perjanjian hanya mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW.

C. Risiko Akibat Debitor Pailit

Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika undang-undang

menentukan lain. kalau seseorang dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka yang bersangkutan

menjadi tidak wenang lagi untuk melakukan perbuatan hukum, dalam hal ini termasuk

mengelola hartanya. Selanjutnya harta orang yang bersangkutan masuk boedel pailit yang

dikelola oleh kurator. Sebagai pengelola boedel pailit yang diawasi oleh hakim yang ditunjuk,

lalu kurator sesuai prosedur mulai menginventarisasi siapa saja kreditor-kreditor yang

mempunyai tagihan. Bertolak dari situasi ini, andai yang mengajukan tagihan ternyata banyak

dan hasil lelang harta pailit tidak mencukupi, sudah barang tentu akan dilakukan pembagian

pelunasan utang berdasar prinsip imbangan jumlah tagihan. Tidak cukupnya harta pailit untuk

menutup tagihan-tagihan kreditor, jelas merupakan salah satu risiko yang menimbulkan

kerugian bagi kreditor yang sekedar mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW.

4. Kedudukan Pasal 1131 BW

Jaminan umum yang tersedia dalam Pasal 1131 BW adalah lahir dari kandungan

undang-undang, jadi jaminan umum ini ada tanpa perlu diperjanjikan oleh para pihak. Pasal

1131 BW tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan jurus tertentu agar mendapatkan

posisi khusus. Berarti ketentuan yang mengatur jaminan umum itu berkedudukan sebagai

regelend recht, dan Pasal 1131 BW yang berposisi sebagai regelend recht juga dapat
dianalisa dari keberadaan Pasal 1132 jo. 1133 BW. Pasal 1132 BW mensarikan pernyataan

bahwa segala kebendaan milik seseorang menjadi jaminan bersama-sama bagi seluruh

kreditor, sehingga pendapatan penjualan benda-benda tersebut dibagi di antara para kreditor

secara berimbang, kecuali apabila di antara para kreditor ada alasan yang sah untuk

didahulukan pelunasan piutangnya. Untuk mendapatkan pelunasan yang didahulukan di

antara para kreditor terbit dari privilege, gadai, dan hipotek (Pasal 1133 BW). Peri hal gadai

dan hipotek dinyatakan sebagai piutang yang pelunasannya harus lebih didahulukan dari

kreditor lain, berarti tidak harus terkena Pasal 1132 BW yang menyiratkan kreditor-kreditor

itu punya posisi yang sama. Jadi gadai dan hipotek punya kedudukan khusus, di mana posisi

khusus seperti itu tak lain hanya dapat dicapai dengan jalan menyimpangi ketentuan yang

bersifat umum sebagaimana sosok Pasal 1131 BW. Sudah jamak dipahami bahwa

menyimpangi suatu ketentuan undang-undang, tentu saja yang bersifat sebagai regelend

recht, harus dilakukan atas dasar kata sepakat, dalam arti para pihak wajib membuat

perjanjian di antara mereka sebagai aturan tandingan untuk menggantikan ketentuan yang

disimpangi.

Saat kreditor dan debitor membuat perjanjian jaminan dengan menggunakan gadai

atau hipotek, berarti mereka itu melakukan penyimpangan terhadap Pasal 1131 BW agar

mendapatkan jaminan khusus, baik menyangkut bendanya yang secara khusus ditunjuk untuk

dibebani, juga hasil lelang benda jaminan tersebut secara khusus hanya untuk melunasi

kreditor tertentu saja apa bila debitornya wanprestasi.

Pasal 1131 BW yang terkwalifikasi sebagai regelend recht, berarti dapat disimpangi

oleh para pihak atas dasar sepakat, mengingat pasal tersebut ada dalam ranah Buku II BW

yang bersifat tertutup, maka penyimpangan dilakukan oleh para pihak punya karakter khusus,

yakni bahwa penyimpangan tersebut tak mengakibatkan Pasal 1131 BW lalu hilang dari

peredaran hubungan hukum para pihak. Sebaliknya meski disimpangi, Pasal 1131 BW hanya
sekedar digeser mundur untuk kemudian di depannya dilapisi dengan benteng khusus yang

dibuat sendiri oleh para pihak melalui perjanjian.

Perjanjian jaminan khusus dapat dibuat kalau sudah ada perjanjian awal yang

sebenarnya sudah dijamin oleh Pasal 1131 BW. Perjanjian yang dibentengi oleh Pasal 1131

BW dikenal dengan perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit, sedangkan benteng baru

sebagai pelapis yang dibangun para pihak berupa perjanjian jaminan khusus hanyalah

berposisi sebagai perjanjian tambahan (perjanjian accessoir). Dengan demikian perjanjian

jaminan khusus selaku perjanjian tambahan, eksistensinya bergantung pada perjanjian pokok

berupa perjanjian kredit.

BAB IV

KEDUDUKAN PERJANJIAN KREDIT DALAM RANGKUMAN BUKU III BW

1. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Tak Bernama

Dalam Buku III BW, secara terdapat Pasal 1319 BW yang mengenal jenis perjanjian

bernama dan perjanjian tak bernama. Arti perjanjian bernama adalah jenis-jenis perjanjian

yang secara khusus diatur dalam Buku III BW, sebaliknya perjanjian tak bernama adalah

jenis perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Buku III BW. Golongan perjanjian tak

bernama inilah yang dapat dibuat oleh para pihak atas dasar kata sepakat dikarenakan adanya

tuntutan dan kebutuhan kemajuan dunia bisnis. Ini semua dapat terlaksana karena didasarkan

pada salah satu prinsip dalam hukum perjanjian yakni asas kebebasan berkontrak.

Dalam dunia perbankan sendiri seiring kegiatannya untuk menyalurkan dana

pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan, yang populer disebut dengan perjanjian

kredit. Kemunculan istilah perjanjian kredit ini apakah digolongkan mbang sebagai perjanjian

bernama ataukah perjanjian tak bernama. Melihat karakternya bahwa antara perjanjian

pinjam meminjam uang bila disandingkan dengan perjanjian kredit adalah berbeda. Kalau

bertolak dari makna perjanjian pinjam meminjam uang yang ada dalam Pasal 1754 jo. 1756
BW, maka jenis perjanjian ini tergolong sebagai perjanjian riil dan secara harfiah aturannya

ada dalam Buku III BW. Lain dengan perjanjian kredit, secara harfiah istilah tersebut tidak

ditemukan keberadaannya dalam Buku III BW, lagi pula perjanjian kredit justru bukan

tergolong sebagai perjanjian riil tetapi masuk pada golongan perjanjian konsensuil. Sesuai

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk

tertulis, dan ini jauh beda dengan perjanjian pinjam meminjam uang yang bentuknya adalah

bebas, bisa dalam ujud tertulis, tapi tak dilarang juga kalau mengambil bentuk tak tertulis.

Berdasar perbedaan-perbedaan tersebut, maka pada prinsipnya perjanjian kredit adalah

terkualifikasi sebagai perjanjian tak bernama.

2. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Obligatoir

Perjanjian kredit di lingkungan bank yang tergolong sebagai perjanjian tak bernama,

berdasarkan Pasal 1233 BW akan menimbulkan perikatan, sehingga di pundak para pihak

akan terpikul suatu kewajiban sebagai konsekwensi janji atas dasar sepakat. Mengingat dari

perjanjian kredit tersebut menimbulkan paskan kewajiban (obligation) yang kemudian

menjadikan para pihak terikat satu dengan yang lain, maka jenis perjanjian seperti ini

tergolong sebagai perjanjian obligatoir.

Perjanjian kredit sebagai perjanjian obligatoir, jika tidak dilengkapi dengan perjanjian

jaminan kebendaan untuk mendapatkan agunan, hak tagihnya hanya berposisi sebagai hak

pribadi yang memiliki sifat gugat perorangan yang ujung-ujungnya hanya dijamin oleh Pasal

1131 BW, dan tidak mempunyai hak gugat kebendaan akibat tidak memegang satu benda

tertentu sebagai agunan.

3. Pasal 1131 BW Sebagai Benteng Pelindung Perjanjian Obligatoir

Proses peletakan sita jaminan terhadap harta benda debitor, untuk kemudian dijual di

hadapan umum, adalah didasarkan pada Pasal 1131 BW. Jadi setiap perikatan, tak terkecuali
yang bersumber dari perjanjian kredit, sebenarnya oleh undang-undang sudah diberikan

jaminan seperti yang tercantum dalam Pasal 1131 BW, sehingga jika debitor wanprestasi, hak

kreditor untuk memperoleh kembali piutangnya tetap akan terwujud. Jaminan yang diberikan

oleh Pasal 1131 BW berupa seluruh harta debitor untuk seluruh perikatan yang dibuatnya,

mengakibatkan jaminan yang ada dalam pasal itu disebut dengan istilah jaminan umum.

Pasal 1131 BW ternyata masih rawan, kalau menginginkan yang khusus, berarti harus

melakukan penyimpangan. Menyimpangi ketentuan undang-undang, tentunya ketentuan

undang-undang yang berposisi sebagai regelend recht, harus dengan cara mengadakan

perjanjian. Mengingat yang disimpangi adalah ketentuan undang-undang yang mengatur

tentang jaminan yang berurusan dengan benda, maka perjanjian yang dipergunakan untuk

melakukan penyimpangan itu harus berobyek pada jaminan berupa benda pula, sehingga

ujudnya adalah berupa perjanjian jaminan kebendaan.

Memiliki benda agunan bagi bank akan memposisikan dirinya sebagai kreditor yang

terlindungi oleh benda tertentu milik debitor yang secara khusus atas dasar sepakat dijadikan

jaminan untuk sejumlah dana yang sudah dikeluarkan. Apabila di kemudian hari debitor

wanprestasi, lalu agunan tersebut dijual di hadapan umum, hasil lelang pertama-tama harus

dibayarkan terlebih dahulu kepada bank yang berkedudukan sebagai kreditor preferen.

Perlindungan seperti ini pada dasarnya memang sangat diperlukan oleh bank agar kondisinya

tetap dapat terjaga dengan sehat.

BAB V

FUNGSI DAN JENIS PERJANJIAN JAMINAN

1. Pengertian Istilah Umum Dalam Jaminan Yang Ada Pada Pasal 1131 BW

Pengertian istilah umum disini mengandung makna bahwa semua pihak diperlakukan

secara sama tanpa ada diberi keistimewaan. Agar tidak terjadi kesalah pahaman akibat

perbenturan tagihan, maka kehadiran Pasal 1131 BW, oleh pembentuk undang-undang
disusul dengan ketentuan pelengkapnya berupa Pasal 1132 BW. Pasangan kedua pasal

tersebut akan dapat menepis permasalahan konkurensi para kreditor, sehingga mereka harus

puas memperoleh pelunasan piutang dengan model membagi hasil lelang secara proporsional

sesuai jumlah tagihannya. Apabila perebutan hasil lelang harta debitor yang tidak mencukupi

jumlah seluruh tagihan, dapat diredam oleh hukum dengan adil dan pasti. Inilah perlunya

bingkai hukum dalam setiap kegiatan bisnis yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat

tanpa kecuali dalam hidup kesehariannya.

2. Perjanjian Jaminan Sebagai Upaya Membangun Perisai Terhadap Pasal 1131 BW

Perlindungan hukum yang dibangun penguasa melalui Pasal 1131 BW, tentu saja

berlaku untuk segenap perikatan yang dibuat oleh umum dalam hal ini masyarakat secara

keseluruhan. Sebaliknya jika perlindungan hukum yang dibuat lewat perjanjian, tentu saja

terbatas hanya untuk para pihak saja. Mengingat perlindungan hukum lewat perjanjian yang

dibuat oleh para pihak itu menyangkut posisi sebuah benda, maka perjanjian yang

bersangkutan wajib dipublikasikan agar supaya masyarakat mengetahuinya.

Jika atas dasar sepakat para pihak membuat suatu perjanjian dengan menunjuk benda

tertentu milik debitor untuk diikat secara khusus demi menjamin sejumlah utang tertentu,

maka posisi kreditor menjadi lebih aman karena pertama-tama dilindungi oleh perjanjian

jaminan kebendaan tanpa menghilangkan jaminan umum sebagai benteng lapis kedua.

Ilustrasi ini sebenarnya menandakan bahwa Pasal 1131 BW itu berposisi sebagai regelend

recht, berarti dapat disimpangi oleh para pihak dengan cara membuat perjanjian.

Penyimpangan dengan membuat perjanjian jaminan kebendaan yang tergolong sebagai

perjanjian kebendaan dan bukan perjanjian obligatoir, hanya sekedar memundurkan posisi

Pasal 1131 BW untuk memberi tempat di depan pada perjanjian jaminan kebendaan yang

berfungsi sebagai pelindung utama bagi kreditor. Andai kata karena sesuatu hal pelindung

utama ini runtuh, maka kreditor masih dapat diselamatkan oleh jaring Pasal 1131 BW selaku
benteng cadangan. Dengan tersedianya dua lapis jaminan, andai di belakang hari debitor

wanprestasi, dari perjanjian jaminan kebendaan ternyata hasil lelang agunan tak mencukupi,

maka jaminan umum dalam Pasal 1131 BW masih tetap dapat menjaring kekurangan

pelunasan tagihan kreditor. Inilah karakter Pasal 1131 BW yang dapat dikatagorikan sebagai

regelend recht, tetapi kalau dilakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, tidak serta

merta Pasal 1131 BW hilang dari peredaran hubungan hukum para pihak.

3. Jenis Perjanjian Jaminan

A. Perjanjian Jaminan Perorangan

Perjanjian Jaminan Perorangan terjadi kalau ada pihak ketiga yang bersedia menjadi

penanggung (borg) atas utangnya debitor, dan atas dasar sepakat kreditor lalu dibentuk dalam

suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Penanggungan. Jenis perjanjian ini

dijumpai aturan khususnya dalam Bab XVII Buku III BW dengan ketentuan awal Pasal 1820

BW yang intinya menuturkan bahwa penanggungan adalah suatu perjanjian di mana seorang

pihak ketiga, demi kepentingan kreditor, bersedia mengikatkan dirinya untuk melunasi utang

debitor bila wanprestasi. Ketentuan berikutnya yaitu Pasal 1821 BW menegaskan bahwa

tiada suatu Perjanjian Penanggungan jika tidak ada perjanjian pokoknya. Bertolak dari

ketentuan ini dapat disimak, bahwa Perjanjian Penanggungan itu baru ada kalau sudah ada

Perjanjian Pokoknya, yakni umumnya berupa perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit

kalau di lingkungan bank.

Keunggulan yang diperoleh bahwa model ini menjadikan kreditor memiliki dua (2)

sosok debitor, yaitu debitor asli dan debitor kedua yang berposisi sebagai penanggung.

Dengan kata lain kreditor mendapatkan dua (2) sosok debitor yang akan menjamin pelunasan

piutangnya. Bila gagal menagih piutangnya kepada debitor yang satu, maka dapat dilakukan

untuk menagih pada debitor kedua.

B. Perjanjian Jaminan Kebendaan


Perjanjian Jaminan Gadai yang kemudian melahirkan hak gadai, ataupun mengadakan

Perjanjian Jaminan Hipotek selanjutnya melahirkan hak hipotek, kedua jenis hak jaminan

tersebut tergolong sebagai hak kebendaan yang terkwalifikasi sebagai hak kebendaan yang

bercorak jaminan, mengingat lembaga jaminan gadai dan hipotek itu aturannya ada dalam

Buku II BW. Hadirnya Perjanjian Jaminan Gadai ataupun Perjanjian Jaminan Hipotek yang

akhirnya melahirkan hak kebendaan berujud hak gadai atau hak hipotek, adalah dalam rangka

mendukung perjanjian pokok, yakni perjanjian kredit yang hanya melahirkan hak tagih yang

berkadar sebagai hak pribadi.

Seperti yang telah diketahui bahwa gadai dan hipotek diatur dalam Buku II BW, oleh

sebab itu hak yang muncul dari Perjanjian Jaminan Gadai atau dari Perjanjian Jaminan

Hipotek, yakni hak gadai dan hak hipotek, tergolong sebagai hak kebendaan bercorak

jaminan atau biasa disebut hak jaminan kebendaan. Sesuai perkembangan Hukum Jaminan di

Indonesia, saat ini lembaga jaminan kebendaan tidak hanya sebatas gadai dan hipotek saja

sebagaimana aturannya dijumpai dalam Buku II BW. Berdasarkan berlakunya UUPA, maka

hak atas tanah kalau saat sekarang adalah benda jaminan, maka lembaga yang dipergunakan

adalah Hak Tanggungan yang aturannya dapat disimak dalam UU Hak Tanggungan. Selain

itu muncul lembaga jaminan kebendaan Fidusia yang tertuang dalam UU Fidusia. Dengan

demikian di Indonesia saat ini mempunyai empat (4) macam lembaga jaminan kebendaan

yakni gadai dan hipotek yang tercantum aturannya dalam BW, ditambah Hak Tanggungan

dan Fiduisa. Ke empatnya lembaga jaminan kebendaan ini dapat dikembangkan dalam bisnis,

khususnya oleh dunia perbankan, dengan cara membuat perjanjian jaminan kebendaan antara

kreditor dan debitor.

BAB VI

HAK JAMINAN KEBENDAAN

1. Hak Jaminan Kebendaan Lahir Dari Perjanjian Jaminan Kebendaan


Hak jaminan kebendaan (juga dapat disebut dengan istilah hak kebendaan bercorak

jaminan), artinya bahwasanya hak jaminan itu melekat atau menindih suatu benda, dan benda

itu tentunya milik debitor, dan juga hak jaminan itu tidak melekat pada seluruh benda milik

debitor, mengingat hak jaminan yang melekat pada segenap harta debitor itu dikuasai oleh

Pasal 1131 BW. Ketentuan yang disimpangi, yakni Pasal 1131 BW, merupakan ketentuan

undang-undang yang mengatur soal jaminan, berarti perjanjian yang dibuat para pihak

sebagai ujud penyimpangan itu diadakan dengan maksud mengatur soal jaminan juga dengan

obyek benda. Oleh sebab itu perjanjian tersebut dinamakan sebagai perjanjian jaminan.

Mengingat perjanjian jaminan yang bersangkutan obyeknya benda, maka perjanjian yang

dimaksud termasuk sebagai perjanjian jaminan kebendaan yang akan melahirkan hak

kebendaan bercorak jaminan (hak jaminan kebendaan).

2. Katagorisasi Perjanjian Jaminan Kebendaan

Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang tentu saja berdasar Pasal 1233 BW

melahirkan perikatan, sesuai hakekatnya memang sudah ada jaminan yang mendukungnya,

yakni jaminan umum dalam Pasal 1131 BW. Posisi bank sebagai kreditor konkuren tidak

sejalan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga karenanya diperlukan tindakan ikutan lain

yang strategis yakni membuat lagi satu perjanjian pendukung berupa perjanjian jaminan

kebendaan yang pada akhirnya tergolong sebagai perjanjian tambahan yang akan melahirkan

hak jaminan kebendaan yang tak lain adalah hak kebendaan bercorak jaminan.

Perjanjian jaminan kebendaan sebagai perjanjian tambahan dalam rangka mendukung

eksistensi perjanjian kredit, merupakan suatu perjanjian yang obyeknya benda, dan benda

yang dimaksud adalah salah satu benda tertentu milik debitor yang atas dasar sepakat diikat

sebagai jaminan khusus bagi sejumlah utang tertentu. Benda tertentu milik debitor yang

diikat secara khusus dengan perjanjian jaminan kebendaan yang dimaksud, disebut sebagai

agunan. Perjanjian jaminan kebendaan disebut sebagai perjanjian tambahan (accessoir),


mengingat keberadaannya bergantung pada perjanjian pokok. Perjanjian jaminan kebendaan

yang melahirkan hak jaminan kebendaan, dalam BW itu berujud gadai dan hipotek, bila

ditelisik terbukti mempunyai ciri-ciri yang unggul.

3. Perbandingan Ciri Pokok Antara Hak Jaminan Kebendaan Dengan Hak Pribadi

Perjanjian jaminan kebendaan yang berorientasi pada Gadai, Hipotek, Hak

Tanggungan, ataupun Fidusia, dengan sendirinya melahirkan hak kebendaan yang akan

depergunakan untuk mengawal hak pribadi yang lahir dari perjanjian pokok berupa perjanjian

kredit. Ciri-ciri yang terkandung dalam hak jaminan kebendaan ternyata lebih menjurus pada

pengertian asas atau prinsip yang kemudian menjadi landasan pasal-pasal Buku II BW.

1. Hak jaminan kebendaan itu bersifat mutlak artinya hak tersebut dapat ditegakkan terhadap

siapapun, dimana hak itu tidak hanya dapat ditegakkan pada pihak rekan seperjanjian saja,

tetapi juga kepada pihak ketiga yang bukan mitra pembangun sepakat. Berbeda dengan hak

pribadi yang lahir dari Buku III BW sebagai perjanjian Obligatoir, adalah bersifat tidak

mutlak atau bersifat relative. Artinya, bahwa hak pribadi ini hanya dapat ditegakkan pada

pihak tertentu saja, maksud tertentu ini ialah rekan sekontraknya

2. Hak jamina kebendaan ada ciri droit de suite, artinya bahwa hak tersebut akan selalu

mengikuti bendanya ke manapun benda itu berada. Jika ada sebuah benda diatasnya dilekati

hak kebendaan bercorak jaminan, maka jenis hak tersebut akan tetap menempel meski benda

yang bersangkutan jatuh dan dikuasai secara nyata oleh pihak lain.

Ciri droit de suite ini tidak dimiliki oleh hak pribadi mengingat hak pribadi itu lahir dari

perjanjian yang bersifat pribadi sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 1315 jo. 1340 BW.

3. Hak jaminan kebendaan ada asas prioritas, artinya bahwa kebendaan yang lahir lebih

dahulu akan diutamakan daripada yang lahir kemudian. Misalnya ada satu benda yang sama

dapat dijaminkan secara berulang, sehingga kreditor pemilik hak jaminan kebendaan yang
pertama, pelunasan piutangnya harus lebih didahulukan dari kreditor pemegang hak jaminan

kebendaan kedua dan seterusnya.

Asas prioritas ini tidak dijumpai pada hak pribadi, karena saat kelahiran sebuah hak pribadi

tidak punya pengaruh atas kelahiran hak pribadi yang lain.

4. Hak jaminan kebendaan ada asas preferensi, artinya bahwa kreditor pemegang hak jaminan

kebendaan piutangnya harus dilunasi terlebih dahulu dari kreditor lain. Maksud dari kreditor

lain ini adalah para kreditor konkuren yang tentunya hanya mengandalkan jaminan umum

dalam Pasal 1131 BW. Itu artinya, kreditor pemegang hak jaminan kebendaan posisi

hukumnya lebih tinggi dari kreditor pengandal jaminan umum dalam Pasal 1131 BW, oleh

karena itu harus diistimewakan dalam hal pelunasan piutangnya.

Dalam hak pribadi tidak ditemukan ciri preferensi, sehingga kreditor pemegang hak pribadi

hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang dijamin dengan keseluruhan harta

debitor, dan jaminan tersebut diperuntukkan bagi seluruh kreditor. Karena jaminan itu

diperuntukkan bagi seluruh kreditor berlandas pada arti Pasal 1132 BW, para kreditor

tersebut memiliki posisi yang sama, tidak ada salah satu kreditor yang diberi kedudukan

istimewa.

5. Hak jaminan kebendaan ada asas publisitas, artinya bahwa hak kebendaan tersebut

memerlukan suatu perbuatan hukum khusus yang wajib dilakukan sehingga umum atau

masyarakat tahu keberadaan hak kebendaan yang bersangkutan. Pentingnya hal ini karena

pusatnya kedudukan hak kebendaan dalam ruang lingkup keperdataan, agar sejak dini hak

tersebut tidak akan diganggu gugat oleh pihak lain.

Ciri asas publisitas ini tidak dimiliki oleh hak pribadi dikarenakan bahwa perjanjian yang

dibuat oleh para pihak, hanya berlaku sebatas para kontraktannya saja sesuai prinsip privity of

contract seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1325 jo. 1340 BW. Pihak ketiga dianggap tidak

punya kepentingan atas kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebab hal utama yang dituju
adalah masing-masing kewajiban para kontraktan dipenuhi. Sehingga cara ini hak masing-

masing dapat terealisasi tanpa perlu melibatkan pihak lain.

6. Hak jamina kebendaan ada asas totaliteit. Artinya, bahwa hak jaminan kebendaan itu

menindih keseluruhan benda yang bersangkutan secara utuh, bukannya sebagian demi

sebagian. Pola tertindihnya benda secara keseluruhan oleh hak jaminan, menjadi penting

akibat debitor wanprestasi.

7. Hak jaminan kebendaan dilekati sifat tidak dapat dibagi-bagi (onsplitbaarheid) , artinya

dengan dilunasinya sebagian utang oleh debitor, bukan berarti sebagian dari benda yang

dijaminkan itu menjadi terbebaskan karenanya.

8. Hak jaminan kebendaan atas asas spesialitas artinya suatu benda yang diikat dengan

perjanjian jaminan kebendaan, ciri-cirinya harus ditetapkan dengan tegasdan jelas. Benda

yang dijual lelang karena debitornya wanprestasi, jangan sampai keliru mengena pada benda

lain, apalagi kalau benda itu ternyata kepunyaan pihak ketiga.

9. Hak jaminan kebendaan memberikan sistem eksekusi agunan yang mudah. Jika debitor

wanprestasi, kreditor punya kewenangan untuk melaksanakan eksekusi agunan yang mudah,

sederhana, serta cepat, dan itu antara lain dengan menggunakan lembaga hukum parate

eksekusi.

10. Hak jaminan kebendaan mempunyai aturan pemberian perlindungan hukum yang

proporsional kepada para pihak. Baik kreditor atau debitor oleh undang-undang diberikan

perlindungan hukum yang berimbang. Pada sisi lain pihak debitor, meski sudah berbuat salah

yaitu melakukan wanprestasi, perlindungan hukum tetap diberikan kepadanya, antara lain

lewat Pasal 1154 BW bahwa “apabila debitor wanprestasi, maka kreditor tidak diperbolehkan

untuk memiliki sendiri objek gadai secara otomatis, bahkan diperjanjikan sejak awalpun

adalah batal demi hukum”.


11. Hak jaminan kebendaan mempunyai hak retensi. Demi mendapatkan pelunasan piutang

secara tuntas, kreditor diberi wewenang untuk tetap menahan benda jaminan sampai dengan

piutang yang bertalian dengan benda yang bersangkutan dilunasi. Hal ini sebagai contoh

dapat melihat Pasal 1159 BW yang intinya menegaskan bahwa “debitor tidak wenang

menuntut pengembalian benda gadai, sebelum melunasi utang pokok, bunga dan beaya”. Jadi

kreditor punya kewenangan untuk menahan objek gadai sampai dengan debitor membayar

lunas utang pokok, bunga, dan beaya.

12. Hak jaminan kebendaan timbul setelah ada perjanjian jaminan kebendaan yang

keberadaannya didahului dan bergantung pada perjanjian pokok. Baik perjanjian jaminan

gadai ataupun perjanjian jaminan hipotek, secara sadar harus dibuat oleh para pihak setelah

terlebih dahulu diawali dengan dibuatnya perjanjian pokok. Tanpa ada perjanjian jaminan

kebendaan, maka hak jaminan kebendaan, baik gadai ataupun hipotek, tidak bakal ada. Dan

eksistensi perjanjian jaminan kebendaan yang dimaksud juga harus diawali terlebih dahulu

dengan dibuatnya perjanjian pokok.

13. Pada dasarnya pemberi hak jaminan kebendaan hanyalah pemilik benda. Bahwa yang

berwenang menjaminkan sebuah benda adalah pemilik. Pada hal pihak yang berkuasa atau

berwenang mengasingkan sebuah benda hanyalah pemilik. Namun, jika objek penjaminan

tersebut berkaitan dengan benda bergerak, berarti akan menggunakan lembaga gadai, Pasal

1977 BW menyatakan bahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai

pemilik, dan akibatnya ketentuan ini membawa konsekuensi hadirnya PAsal 1152 ayat 4 BW

dengan isi pokok bahwa “ tidak berwenangnya pemberi gadai (debitor), tidak dapat

dipertanggung jawabkan kepada kreditor”.

14. Hak jaminan kebendaan itu untuk pelunasan piutang bukan hak untuk memiliki. Kalu

benda kepunyaannya hanya sekedar dijadikan jaminan yang tidak menghilangkan

kepemilikannya, pihak yang akan berhutang tersebut tidak keberatan. Sebab kalau utang itu
mampu dilunasinya, benda miliknya tersebut akan terbebaskan dari himpitan hak jaminan

milik bank selaku kreditor. Jadi selama benda dijadikan agunan hak miliknya tetap ada pada

debitor, dan penjaminan itu hanya sekedar untuk membentengi pinjaman bank debitor

wanprestasi tak membayra utangnya.

15. Hak jaminan kebendaan dapat diletakkan secara berganda untuk objek yang sama. Pada

dasarnya sebuah benda dapat dijadikan jaminan ulang (kecuali fidusia yang masih

memerlukan kajian lebih).

Hak jaminan kebendaan jika dibandingkan dengan hak pribadi sangat mencolok

perbedaannya, sehingga dapat disimpulkan kuatnya hak kebendaan ketimbang hak pribadi.

Oleh sebab itu wajar saja jika hak jaminan kebendaan ini kemudian dipergunakan sebagai

pengawal atau pendukung dari hak pribadi, sehingga mampu mengangkat kedudukan krditor

yang semula hany berposisi sebagai kreditor konkuren menjadi meningkat sebagai kreditor

preferen.

BAB VII

PIUTANG ISTIMEWA

1. Utang Sebagai Suatu Prestasi

Hakekat prestasi wajib dipenuhi atau dibayar, sesungguhnya ini merupakan suatu

utang, dan tentu saja keberadaan utang tersebut ada di pundak debitor. Pasal 1235 BW,

bahwa prestasi itu harus dipenuhi atau wajib dibayar. Utang ini memang memiliki dua (2)

macam makna, yakni utang dalam arti luas dan utang dalam arti sempit. Tentang utang dalam

arti luas, adalah segala jenis prestasi dari Perjanjian Obligatoir, sedang utang dalam arti

sempit adalah berkait dengan urusan perjanjian pinjam meminjam dana atau perjanjian

pinjam meminjam uang seperti yang umum dilakukan oleh lembaga perbankan.

2. Kedudukan Piutang Sebagai Hak Pribadi (Hak Perorangan)


Sesuai prinsip dalam Hukum Perjanjian sebagaimana tertera dalam Pasal 1315 jo

1340 BW, bahwa perjanjian itu bersifat pribadi, dalam arti bahwa perjanjian itu hanya

mengikat pihak-pihak yang membuatnya saja (privity of contract). Perjanjian kredit sesuai

karakternya termasuk Perjanjian Tak Bernama, sehingga berlandaskan pada Pasal 1319 BW

wajib tunduk pada Buku III BW, maka sebagai sebuah perjanjian akan memiliki ciri bersifat

pribadi (privity of contract). Selanjutnya perjanjian kredit yang terkualifikasi sebagai

perjanjian obligatoir dan tunduk pada Buku III BW, akan melahirkan jenis hak yang

tergolong sebagai hak pribadi, bukan hak kebendaan. Hak tagih atau piutang bank yang lahir

dari perjanjian kredit akhirnya tergolong sebagai hak pribadi, dan sudah tentu sesuai

hakekatnya akan mempunyai karakter tersendiri.

Sesuai hakekatnya, hak pribadi yang lahir dari perjanjian obligatoir dibentengi oleh

jaminan umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 BW. Berdasarkan Pasal 1319 BW,

perjanjian kredit yang dibuat oleh bank dengan nasabahnya karena tergolong sebagai

perjanjian tak bernama yang tunduk pada ketentuan umum Buku III BW, hak tagih atau

piutang yang muncul, adalah tergolong sebagai hak pribadi yang pemenuhannya potensial

dijamin oleh Pasal 1131 BW.

3. Jenis Piutang Dalam BW

Pasal 1133 BW dengan tegas menetapkan adanya suatu jenis piutang yang berjumlah

tiga (3), yaitu yang disebut dengan istilah piutang istimewa berupa privilege, gadai, dan

hipotek. Berdasar Pasal 1133 BW itu pula maka secara implisit dalam BW dikenal ada dua

(2) jenis piutang, yaitu piutang istimewa dan piutang tidak istimewa (piutang biasa). Tinjauan

lebih menukik lagi terhadap Pasal 1133 BW yang mengenal tiga (3) macam piutang

istimewa, bila dijabarkan dengan rinci terlihat nyata perbedaannya, yakni bahwa dari segi

kelahirannya ada dua (2) katagori piutang istimewa, yaitu gadai dan hipotek, adalah termasuk

jenis piutang istimewa yang lahir dari perjanjian, sebab hak gadai baru ada kalau sudah
dibuat perjanjian jaminan gadai. Hak hipotek juga baru lahir kalau ada perjanjian jaminan

hipotek. Sebaliknya privilege adalah piutang istimewa yanglahir dari undang undang, dan ini

dapat dilacak dari definisi privilege yang tercantum dalam Pasal 1134 BW.

Posisi segala piutang yang sekedar menyandarkan diri pada jaminan umum dalam

Pasal 1131 BW, hanya mempunyai kedudukan yang sama sesuai amanat Pasal 1132 BW,

berarti demi memperoleh pelunasannya, piutang-piutang itu tanpa ada keistimewaan yang

melekat padanya. Jenis sebuah piutang tanpa dilekati keistimewaan untuk mendapatkan

pelunasan terlebih dahulu seperti itu, tergolong sebagai piutang tidak istimewa atau piutang

biasa dengan kedudukan sederajad bersama piutang biasa lainnya. Jenis piutang biasa tanpa

ada keistimewaan ini, karena memiliki posisi yang sama, maka akan diperlakukan secara

sama pula dalam hal mendapatkan pelunasan saat debitor wanprestasi. Perlakuan dalam

memperoleh pelunasan yang sama inipun, harus melewati proses gugatan dengan disertai

upaya pendayagunaan Pasal 1131 BW sesuai proses.

4. Piutang Istimewa Yang Lahir Dari Perjanjian

Sosok piutang istimewa ini memang benar-benar memiliki karakter istimewa, antara

lain kalau debitor wanprestasi maka kreditor tidak perlu gaduh di pengadilan mengikuti

proses gugat ginugat, tetapi sebaliknya cukup bertindak cepat dengan jalan menjual lelang

agunan, sehingga perolehan pelunasan piutangnya menjadi sangat lancar, sederhana, dan

mudah. Hanya lewat perjanjian maka hak gadai dan hak hipotek itu ada, karena

membutuhkan adanya kesepakatan antara debitor dan kreditor untuk menyetujui benda

tertentu untuk dijadikan agunan sebagai jaminan khusus atas sejumlah utang tertentu. Kalau

disodorkan benda tertentu milik debitor yang disepakati kreditor, merupakan benda bergerak,

maka dibuatlah perjanjian jaminan gadai. Sebaliknya bila yang diberikan dan disepakati

benda tertentu milik debitor itu berupa benda tidak bergerak, maka dibuatlah perjanjian

jaminan hipotek. Dengan ini maka hak gadai dan hak hipotek yang lahir dari perjanjian
tambahan (accessoir), menjadi melekat pada piutang atas dasar dibuatnya perjanjian kredit

oleh debitor dengan kreditor selaku perjanjian pokok. Tersematnya hak gadai atau hak

hipotek pada piutang yang timbul dari perjanjian kredit tersebut mengubah sosoknya

sehingga menjadi piutang istimewa, suatu piutang yang memiliki preferensi.

A. Piutang Gadai

Setelah ada kesepakatan untuk membuat perjanjian pinjam meminjam dana antara

kreditor dan debitor yang dituang dalam perjanjian utang piutang, kalau di dunia bank lebih

dikenal dengan istilah perjanjian kredit, dan itu tergolong sebagai Perjanjian Obligatoir, maka

pihak yang sudah menyalurkan dana pinjaman akan mempunyai hak tagih atau piutang, dan

ini tergolong sebagai hak pribadi. Apabila debitor menyodorkan benda miliknya berupa

benda bergerak dan disetujui oleh kreditor, maka perjanjian jaminan kebendaan yang

dipergunakan adalah perjanjian jaminan gadai. Berarti perjanjian jaminan gadai ini dibuat

dalam rangka untuk memperbaiki posisi piutangnya kreditor agar supaya menduduki posisi

sebagai piutang istimewa yang memiliki ciri preferensi, yakni bahwa piutang tersebut

pelunasannya akan lebih didahulukan dari kreditor lain. Pasal 1150 BW yang mengutarakan

bahwa hak gadai adalah hak kreditor atas benda bergerak yang sudah diterimanya dari

debitor, sehingga mempunyai hak mendahulu atas pelunasan piutangnya.

B. Piutang Hipotek

Jika yang disodorkan oleh debitor adalah benda tidak bergerak miliknya demi

menjamin sejumlah utang tertentu yang diperlukannya, dan pihak kreditor menyetujuinya,

maka dibuatlah perjanjian jaminan kebendaan berupa perjanjian jaminan hipotek untuk

mendukung perjanjian pokok. Dengan adanya perjanjian kredit selaku perjanjian pokok yang

berposisi sebagai Perjanjian Obligatoir, lalu didukung dengan perjanjian jaminan hipotek

yang tergolong sebagai perjanjian kebendaan, sehingga akibatnya kreditor akan memiliki dua

(2) macam hak, yakni hak tagih (piutang) dan hak hipotek.
5. Piutang Istimewa Yang Lahir Dari Undang-Undang

Piutang kreditor pemegang gadai dan piutang kreditor pemegang hipotek, sesuai

perjanjian jaminan yang dibuat, mengakibatkan piutang mereka itu menduduki posisi sebagai

piutang istimewa atau memiliki preferensi. Berdasarkan Pasal 1133 BW disebutkan piutang

istimewa itu selain gadai dan hipotek, ada jenis lainnya lagi yaitu privilege. Dalam Psal 1334

BW ayat 1 adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kreditor yang satu diatas

kreditor yang lain sehubungan dengan sifat perikatannya. Berdasar Pasal 1150 BW kreditor

gadai memiliki preferensi dimana pelunasan piutangnya harus lebih didahulukan dari kreditor

lain, namun ada kekecualiannya bahwa beaya lelang dan beaya penyelamatan benda gadai

justru harus lebih didahulukan. Undang-undang dalam hal ini Pasal 1150 BW menetapkan

bahwa beaya lelang dan beaya penyelamatan benda gadai sebagai ujud sebuah privilege,

harus lebih didahulukan pelunasannya dari pada hak gadai.

6. Jenis Privillege

Piutang istimewa yang lahir dari perjanjian yaitu gadai dan hipotek.

A. Privillege Umum

Sebutan privilege umum tersebut melekat pada seluruh benda yang dimiliki oleh

debitor. Akibatnya pelunasan jenis privilege ini tidak digantungkan pada benda tertentu saja,

tetapi dikenakan pada hasil penjualan atas seluruh benda apa saja yang dipunyai oleh debitor.

Privilege umum yang diatur dalam Pasal 1149 BW dirinci ada tujuh (7) macam yakni beaya

perkara, beaya penguburan, beaya pengobatan, upah buruh, utang bahar makan, beaya

sekolah berasrama, beaya pengurusan anak yang belum dewasa dan orang terampu.

B. Privilege Khusus

Dinamakan privilege khusus karena privilege itu melekat pada benda tertentu milik

debitor, sehingga hanya kreditor tertentu saja yang wajib didahulukan pelunasan piutangnya

dari hasil penjualan benda tertentu yang bersangkutan. Tentang privilege khusus ini
aturannya ada dalam Pasal 1139 BW yang macam-macamnya dirinci menjadi sembilan jenis

yakni beaya perkara, uang sewa dar segala pembeayaannya, harga beli benda bergerak yang

masih belum terbayar, beaya penyelamatan benda beaya perbaikan tukang, beaya

penginapan, beaya pengangkutan, beaya tukang pembangunan berkait dengan benda tak

bergerak, beaya penggantian akibat kesalahan pejabat umum.

7. Benturan Antar Piutang Istimewa

Piutang istimewa dalam Pasal 1133 BW dalam operasionalnya bisa saja suatu saat

saling berbenturan. Yang perlu dipahami adalah bahwa yang berbenturan itu antara aktor

yang dibuta oleh rakyat, yaitu gadai dan hipotek, dengan aktor yang diciptakan penguasa

yaitu privilege. Peristiwa terjadinya benturan itu dapat berupa hak gadai berbenturan dengan

privilege, atau hak hipotek bertabrakan dengan privilege. Bahkan dapat saja terjadi antar jenis

privilege saling berbenturan yang satu dengar lainnya.

Mengantisipasi adanya perbenturan antar piutang istimewa, justru pertama-tama yang

diperhatikan oleł penguasa adalah peristiwa tabrakan antara privilege d satu sisi dengan gadai

atau hipotek pada sisi lainnya Perbenturan jenis inilah yang justru paling awa diperhatikan

oleh penguasa, lalu disediakan upaya penyelesaiannya dengan menghadirkan Pasal 1134 ayat

2 BW yang mengutarakan bahwa pada dasarnya gadai dan hipotek harus lebih didahulukan

dari pada privilege, kecuali undang-undang menentukan lain. Prinsip dasarnya kalau terjadi

benturan antara gadai atau hipotek dengan privilege, maka gadai atau hipotek harus

didahulukan ketimbang privilege. Andai piutang istimewa yang saling berbenturan ternyata

memiliki kedudukan yang sama, sesuai yang diatur oleh Pasal 1136 BW akan dibayar

menurut keseimbangan. Pola pengaturan Pasal 1136 BW ini kalau diperhatikan ternyata

sejalan dengan apa yang ditetapkar oleh Pasal 1132 BW.

8. Perkembangan di Indonesia
Nilai dan kebutuhan akan tanah bagi anak bangsa, cenderung selalu meningkat dari

waktu ke waktu selaras dengan berputarnya roda pembangunan yang berkelanjutan. Atas

dasar tuntutan itulah akhirnya pemerintah Indonesia menerbitkan UUPA yang kemudian

secara tahap demi tahap berlanjut terus dengan menggulirkan aturan-aturan penjabarannya.

Sesuai tuntutan kebutuhan akhirnya soal penjaminan hak atas tanah yang diperlukan dunia

bisnis, pemerintah mengintrodusir UU Hak Tanggungan yang eksistensinya tidak lepas dari

prinsip-prinsip UUPA dengan asas pemisahan horisontal sebagai ikon utamanya. Berdasar

pada UU Hak Tanggungan inilah muncul lembaga jaminan kebendaan baru berujud hak

tanggungan di samping gadai dan hipotek yang selama ini sudah akrab dipergunakan oleh

rakyat Indonesia.

Benda berupa tanah yang dalam BW digolongkan sebagai benda tidak bergerak, mana

kala dijadikan obyek jaminan, lembaga yang dipergunakan adalah hipotek. Kelahiran

lembaga jaminan hak tanggungan dengan obyek hak atas tanah, tidak mengakibatkan

eksistensi hipotek hapus dari tatanan hukum di Indonesia. Berdasarkan kelahiran UU Fidusia

sesungguhnya dari kandungan pengaturan obyeknya, muncul jenis pembagian benda secara

baru, yakni berupa penggolongan benda modal dan benda bukan modal. Adapun makna

sederhananya, bahwa yang dimaksud benda modal adalah benda yang dipergunakan untuk

menopang suatu usaha, baik itu berupa tanah yang tidak dapat dijadikan obyek hak

tanggungan, ataupun benda bukan tanah. Memang untuk masa sekarang sesuai

perkembangan, sangat dimungkinkan benda modal itu dibebani dengan lembaga jaminan

fidusia oleh pemilik benda yang tergolong besar kekuatan ekonominya, namun akan lebih

cocok bila itu sekedar sebagai jaminan tambahan untuk melengkapi jaminan pokok yang

sudah memakai lembaga jaminan lainnya. Kehadiran UU Hak Tanggungan dan UU Fidusia

pada kenyataannya lebih memperkaya lembaga jaminan kebendaan di Indonesia, kendati juga

akan banyak memunculkan permasalahan di seputar Hukum Jaminan.


9. Hak Tanggungan

Sejalan dengan berlakunya UUPA, hak atas tanah sebagai salah satu jenis benda, tentu

memiliki posisi sentral dalam kehidupan sosial, Nilai hak atas tanah serasa tak lekang oleh

panas dan tak lapuk oleh hujan, justru dari waktu ke waktu harga pasarnya terus meningkat.

Lahirnya UU Hak Tanggungan dengan secara tegas ditentukan macam hak atas tanah yang

mana sekiranya dapat dijadikan obyek jaminan tanpa perlu merujuk lembaga jaminan yang

berbeda beda. Keseragaman lembaga pengikatnya hak atas tanał harus tunggal dan sesuai

dengan prinsip-prinsip Hukun Jaminan Kebendaan di mana ciri-ciri unggul selaku hal

kebendaan harus tetap ada.

UU Hak Tanggungan sebagai jabaran lanjut dari UUPA yang sejak semula berlandas

pada Hukum Adat, maka sesungguhnya kalau disingkap lebih dalam, Hukum Adat tidak

mengenal apa yang dinamakan dengan hak pribadi dan hak kebendaan. Bila dirunut sesuai

dasarnya, yakni Hukum Adat, maka sulit dibayangkan apa bila hak tanggungan itu bukan

tergolong sebagai hak kebendaan, mengingat dalam pasal-pasal UU Hak Tanggungan justru

ciri-ciri unggul hak kebendaan sangat erat. Keberadaan ciri unggul hak kebendaan yang

tertera dalam UU Hak Tanggungan, misalnya dapat digeledah dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak

Tanggungan yang di dalamnya terselip pernyataan bahwa hak tanggungan itu mengandung

ciri preferensi. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang mencerminkan adanya sifat

droit de suite. Ciri hak kebendaan lain yaitu asas spesialitas tercermin juga dalam Pasal 11

ayat 1 huruf e UU Hak Tanggungan. Demikian juga pentingnya peran asas publisitas dalam

hak kebendaan, tertayang jelas dalam Pasal 13 UU Hak Tanggungan. Mencermati ketentuan-

ketentuan tersebut, maka tak diragukan lagi bahwa hak tanggungan selayaknya harus

dianggap tergolong sebagai hak jaminan kebendaan.

10. Fidusia
Lahirnya UU Fidusia menyusul terbitnya UU Hak Tanggungan. Terobosan hukum

yang secara historis muncul adalah lembaga jaminan berupa fidusia yang ternyata mampu

melayani kebutuhan para pengusaha kecil menengah yang jumlahnya relatif besar. Kelahiran

UU Fidusia disambut dengan baik oleh dunia bisnis, khususnya yang berkaitan dengan

masalah pentingnya pembeayaan benda-benda modal yang diperlukan oleh masyarakat.

Benda modal yang dibebani hak jaminan fidusia, sesuai karakternya harus tetap dikuasai

secara nyata oleh debitor untuk menjalankan usahanya supaya ada penghasilan yang sebagian

dari itu akan dipergunakan untuk mengangsur utangnya sampai lunas.

Lembaga pembeayaan memanfaatkan lembaga jaminan fidusia ini untuk melayani

kebutuhan benda-benda modal yang diperlukan konsumen yang membelinya dengan cara

mengangsur. Obyek yang diikat dalam perjanjian jaminan fidusia tersebut, tak lain adalah

benda modal yang perolehannya dibeli dari pembeayaan yang dikucurkan oleh kreditor.

Perjanjian pembeayaan yang kemudian ditopang dengan perjanjian jaminan fidusia, sesuai

Pasal 1 angka 2 UU Fidusia, kedudukan piutang pihak yang mengeluarkan dana pembeayaan,

memiliki preferensi karena pelunasannya harus didahulukan dari kreditor lain. Berdasarkan

ketentuan tersebut maka piutang kreditor yang mengucurkan dana pembeayaan menjadi

tergolong sebagai piutang istimewa. Oleh sebab itulah sesual perkembangan di Indonesia,

jenis piutang istimewa dalam Pasal 1133 BW perlu ditambah, selain hak tanggungan juga

fidusia.

11. Benturan Antar Jenis Piutang Istimewa Saat Ini

Privilege yang dilahirkan oleh banyak undang-undang tersebut menjadi berantakan

jika terjadi benturan di antara mereka, karena tidak ada ketentuan khusus yang dapat

dipergunakan sebagai solusi. Misalnya saja dalam undang-undang ketenagakerjaan, juga di

bidang asuransi, di dalamnya ada sosok privilege yang dinyatakan pelunasan piutangnya

harus didahulukan. Bertebarnya banyak jenis privilege dalam berbagai undang-undang,


secara potensial dapat terjadi benturan antara yang satu dengan lainnya tanpa dapat diberikan

solusi yang tepat akibat tidak adanya norma yang bisa dipakai sebagai dasar hukum.

keberadaan berbagai jenis privilege saat ini, menjadi lebih parah lagi apabila privilege

tersebut lalu bertabrakan dengan jenis piutang istimewa lain seperti gadai, hipotek, hak

tanggungan, ataupun fidusia. Ketiadaan pasal yang dapat dipakai sebagai dasar penyelesaian

perbenturan antar privilege juga tabrakan dengan jenis piutang istimewa lainnya. Pada saat

ini harapan untuk mendapatkan solusi hanya dapat digantungkan pada hukum yurisprudensi

yang terbentuk lewat bahan peradilan.

Anda mungkin juga menyukai