Oleh :
NIM. 032114253055
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Fakta yang menunjukkan suatu bukti bahwa benda yang tercipta dalam latar
kehidupan sosial, tak terhitung jumlahnya, jenisnya juga beraneka ragam. Meski demikian,
benda yang tak pernah dapat lepas dari eksistensi manusia selaku anggota kelompok, hukum
perlu mengatur supaya ada kejelasan dan kepastian peranannya. Agar mengatur benda
menjadi lebih mudah perakitannya dalam norma hukum, pembentuk Burgerlijk Wetbook
4. Benda yang sudah ada-benda masih akan ada (Pasal 1131 BW)
7. Benda yang dapat diganti-benda yang tidak dapat diganti (Pasal 1694 BW)
dibandingkan dengan pembagian benda dalam Hukum Adat yang hanya sekedar mengenal
pembagian benda secara sederhana, yaitu benda berupa tanah dan benda bukan tanah. Sifat
Hukum Adat adalah konkrit dan kontan. Tentang pembagian benda dalam Hukum Adat yang
hanya mengenal benda berupa tanah dan benda bukan tanah, berakibat diberlakukannya asas
pemisahan horisontal.
Saat benda habis pakai-benda tidak habis pakai, kalau dijadikan obyek transaksi
pinjam meminjam, maka sejak jenis benda habis pakai tersebut diserahkan, pihak peminjam
yang menerimanya akan berubah kedudukannya menjadi pemilik benda yang bersangkutan.
Tetapi tidak demikian jika obyeknya benda tidak habis pakai, meski sudah diserahkan dan
dikuasai secara nyata oleh peminjam, maka yang bersangkutan posisinya tetap sebagai
peminjam bukan sebagai pemilik. Dan akan lebih panjang lagi akibat hukum yang
mengikutinya, jika pembagian benda bergerak-benda tidak bergerak di mana pembagi jenis
benda ini memang yang paling penting terbuka akan mempengaruhi dalam hal
Pembagian benda dalam BW bukan hanya sekedar menggolongkan saja, tetapi hal itu
lebih merupakan konsep yang kemudian memerlukan penjabaran lebih lanjut apabila masing-
masing benda yang bersangkutan dijadikan obyek transaksi. Mengingat benda memiliki
kedudukan yang strategis dalam kehidupan sosial, oleh BW lalu diatur dalam Buku II setelah
penormaan pada diri pribadi orang sebagai subyek hukum yang disusun dalam Buku I.
Pengaturan benda dalam Buku II BW pun pada dasarnya banyak yang dibingkai dengan
ketentuan hukum yang berposisi sebagai dwingend recht, atau ketentuan undang-undang
yang bersifat memaksa, sehingga para pihak tak diperbolehkan mengesampingkannya kendati
dengan sepakat sekalipun. Inilah salah satu penyebab mengapa Buku II BW bersifat tertutup.
Hak kebendaan yang aturannya mendominasi Buku II BW, ternyata hak kebendaan ini
1. Hak kebendaan yang bercorak menikmati, misalnya hak milik, hak guna bangunan, hak
guna usaha.
2. Hak kebendaan yang bercorak jaminan (hak jaminan kebendaan), yakni hak gadai dan hak
hipotek.
Jaminan kebendaan ini di Indonesia ada suatu perkembangan khusus akibat diterbitkannya
beberapa jenis undang-undang yang sengaja dibuat oleh pemerintah demi melayani kemajuan
dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Adapun perkembangan yang dimaksud adalah dengan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan), dan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia). Kedua undang-
undang tersebut sesuai historisnya oleh pemerintah memang dirasa perlu untuk diciptakan
dengan tujuan antara lain demi memantapkan sinkronisasi dan kepastian hukum.
pembagian benda yang dilakukan oleh pembentuk BW, misalnya saat masyarakat mulai
mengenal pembagian benda terdaftar-benda tak terdaftar, memang sedikit banyak akan
penggolongan baru berupa benda terdaftar dan benda tidak terdaftar yang sudah tentu aturan
khususnya tidak akan dijumpai dalam BW, akan menyeret banyak problema hukum.
Penggolongan benda yang baru tersebut aturan khususnya dalam BW belum ada, sehingga
bagaimana kedudukan hukum benda terdaftar-benda tak terdaftar perlu diperhatikan dengan
Lembaga jaminan fidusia yang sekian lama keberadaannya di Indonesia dikelola oleh
yurisprudensi yang selanjutnya sesuai tuntutan kebutuhan lalu diatur dalam UU Fiduisa,
maka bertolak dari obyek lembaga jaminan fidusia tersebut, sebenarnya dalam Hukum Benda
Indonesia mulai muncul adanya pembagian benda secara baru yaitu benda modal dan benda
bukan modal. Yang dijadikan obyek lembaga jaminan fidusia tak lain adalah setiap benda
yang oleh pemiliknya dipergunakan untuk menjalankan ataupun menopang suatu usaha, baik
secara langsung ataupun tidak langsung, dengan suatu catatan sepanjang benda yang
oleh pemiliknya disodorkan sebagai jaminan demi memperoleh sejumlah utang guna
tidak memungkinkan karena bukan tergolong sebagai benda tidak bergerak, lalu kalau
memakai gadai terbentur pola inbezitstelling, pada hal benda itu harus tetap ada dalam
penguasaan nyata debitor supaya bisa menjalankan usahanya demi memperoleh hasil yang
kegiatan sehari hari, diinginkan oleh setiap orang bahwa benda yang bersangkutan dapat
dipergunakan atau dimanfaatkan secara penuh dan bebas tanpa terkendala oleh gangguan
pihak lain. Untuk mendapatkan benda dengan posisi seperti itu, maka harus ada label hak
milik di atas benda tersebut. Cara pemilikan benda diatur pada Pasal 584 BW yaitu dengan
cara pemilikan atau pendakuan, perlekatan, pewarisan, daluwarsa, dan penyerahan atas dasar
hidupnya, berarti benda yang bersangkutan memiliki nilai. Nilai itu tak lain adalah nilai
ekonomis. Jika sebuah benda punya nilai ekonomis, biasanya akan dikejar oleh setiap orang
untuk bisa mendapatkan hak milik atas benda tersebut. Perolehan hak milik seperti yang
diatur oleh Pasal 584 BW, khususnya cara yang ke lima, yakni penyerahan atas dasar
peristiwa perdata yang dilakukan oleh orang yang berwenang, maka benda tersebut hak
miliknya harus dapat dialihkan dari satu tangan ke tangan yang lain. Lewat penyerahan, maka
benda yang punya nilai ekonomis akan mengalami mobilitas, berpindah dari penguasaan satu
pihak ke penguasaan dan kepemilikan pihak lain. Pergantian pemegang hak milik suatu
benda yang berlalu lalang seperti itu lewat berbagai macam transaksi.
Suatu benda akan dapat dijadikan obyek transaksi jika memenuhi dua (2) macam
syarat, yaitu bahwa benda yang bersangkutan harus punya nilai ekonomis, dan hak miliknya
dapat dialihkan. Sepanjang kedua syarat tersebut melekat pada sebuah benda, maka transaksi
selaku cermin eksistensi bisnis, akan dijadikan lahan operasionalisasi mobilitas benda dalam
ranah kehidupan masyarakat. Benda yang bersangkutan, hak miliknya akan selalu berpindah-
pindah karena ada penyerahan dari satu pihak kepada pihak lain atas dasar suatu peristiwa
perdata yang menjadi alasnya. Peristiwa perdata atau titel yang dipakai sebagai alas
berpindahnya benda yang dilakukan dengan penyerahan atau levering, umumnya dan paling
Dalam peristiwa hukum suatu Perjanjian Jual Beli, berarti ada pihak yang berperan
sebagai penjual dan ada yang bersosok selaku pembeli. Saat penjual mengalihkan hak milik
atas benda yang dipunyainya kepada pembeli, sudah selayaknya kalau itu dilakukan demi
uang untuk melakukan pembayaran sebagai kewajibannya, untuk meraih hak milik atas benda
yang bersangkutan.
Perjanjian Jual Beli menjadi jantung kegiatan bisnis keseharian. Benda sebagai obyek
transaksi, karena memiliki dua ciri pokok yakni punya nilai ekonomis dan hak miliknya dapat
dialihkan, terbukti mendominasi lalu lintas perdagangan baik di lintasan domestik ataupun
internasional. Selain dijadikan obyek transaksi jual beli, benda juga dapat dijadikan agunan
yang umumnya dipakai untuk menjamin sejumlah utang tertentu agar kreditor memiliki
posisi yang lebih aman. Nilai ekonomis suatu benda untuk dijadikan agunan, pada dasarnya
memang penting. "Almost anything of monetery value can be taken as security, ... Benda
yang dijadikan agunan atas dasar perjanjian yang dibuat antara debitor dan kreditor, berarti
benda tersebut dibebani hak jaminan tanpa mengusik hak milik yang dipegang oleh yang
empunya benda. Berarti di atas satu macam benda dapat melekat beberapa macam hak yang
mempunyai tujuan sendiri bingkai sendiri, sehingga dengan model tersebut variasi transaksi
Dalam Pasal 570 BW mengatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati suatu
benda dengan penuh dan bebas sepanjang tidak melanggar hak orang lain dan undang
undang, namun tidak menutup kemungkinan untuk dicabut demi kepentingan umum dengan
mendapatkan ganti rugi. Unsur menikmati benda dengan penuh dan bebas tanpa diganggu
pihak lain, jelas merupakan suatu situasi yang aman lagi nyaman, sehingga si pemangku hak
milik benda benar-benar dapat mereguk kegunaan benda yang bersangkutan tanpa kendala.
Ciri unggul hak milik kalau dibandingkan dengan hak keperdataan lainnya, antara
lain:
1. Hak milik itu dapat menjadi induk dari hak keperdataan lainnya. Sebagai induk, dengan
lahirnya hak keperdataan lain, tidak membawa serta hilangnya hak milik.
2. Hak milik merupakan hak yang secara kwantitatif adalah lebih kuat dan lengkap dari pada
hak keperdataan yang lain. Meski hak milik ditindih oleh hak keperdataan ataupun hak
kebendaan lain, hak milik tetap eksis. Pemegang hak milik juga punya keleluasaan untuk
melakukan perbuatan hukum atas benda yang bersangkutan, tanpa perlu meminta restu pihak
manapun.
3. Hak milik bersifat tetap, dalam arti tak mengenal batas durasi waktu. Jika pemegang hak
milik meninggal dunia, hak milik atas benda tersebut tidak ikut hapus karenanya, melainkan
Ciri unggul hak milik seperti yang disebutkan di atas, tidak dipunyai oleh hak
keperdataan ataupun hak kebendaan lainnya. Pemegang hak milik suatu benda bukan hanya
berwenang menjual, tetapi juga berwenang menjaminkan benda yang bersangkutan. Bahkan
adagium dalam Hukum Jaminan menyatakan bahwa yang berwenang menjaminkan sebuah
benda adalah pemilik. Hal ini bisa saja perbuatan menjaminkan itu merupakan langkah awal
untuk mengasingkan benda. Sebab saat utang tertentu yang dijamin dengan sebuah benda
milik debitor, andai di kemudian hari ternyata utang tidak dibayar, sesuai prosedur, akan
ditindak lanjuti benda yang dijaminkan itu akan segera dijual di hadapan umum atau dijual
lelang. Penjualan secara lelang ini, pada dasarnya dilandasi oleh kewenangan debitor selaku
pemilik, meskipun dalam Hukum Jaminan kemudian dikemas dengan cara yang khusus demi
memudahkan eksekusinya, antara lain lewat kuasa menjual. Namun kuasa menjual yang
diberikan oleh debitor sebagai pemilik benda kepada kreditor ini, bukan satu-satunya alasan
pelelangan, ada pula mekanisme lain yang diatur sedemikian rupa oleh pembentuk undang
undang agar pelunasan piutang kreditor dapat terlaksana secara sederhana, lancar, dan
mudah.
BAB II
1. Benda bergerak karena sifatnya, dimana benda tersebut pada dasarnya dapat dipindah-
2. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang sebagaimana yang ditetapkan oleh Pasal
511 BW. Berdasar kewenangan yang dimiliki, penguasa menentukan apa saja yang dapat
digolongkan sebagai benda bergerak sehingga dengan cara tersebut, masyarakat tidak
menjadi ragu dan cemas dalam menanggapi kedudukan suatu benda secara pasti.
Sifat benda bergerak yang pada dasarnya relative dan mudah dipindah-pindahkan,
tingkat mobilitasnya sangat tinggi. Penguasaan benda bergerak oleh suatu pihak, terkadang
sulit dipastikan, apakah pihak yang memegangnya itu benar pemiliknya ataukah sekedar
pemegang semata. Problematika ini membuat pembentuk undang-undang untuk memberikan
solusinya dengan menetapkan sebuah asas sebagaimana tertera dalam Pasal 1977 BW yang
intinya, bahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Kata
“dianggap” ini mengandung banyak arti. Hal tersebut juga memberikan jawaban atas
pertanyaan yang timbul dalam masyarakat tentang siapa pemilik sebuah benda bergerak.
Asas barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggap sebagi pemilik dalam
Pasal 1977 BW, merupakan cermin rasa hukum setiap anggota masyarakat. Karena hukum
sudah menganggap semua orang itu baik, maka kata “baik” itu tidak perlu dibuktikan.
itikan baik itu selamanya harus dianggap ada, sedang siapa yang menunjuk tidak ada itikad
Dalam urusan menjamínkan benda bergerak, pengaruh Pasal 1977 BW sangat besar.
Apabila benda gadai hilang atau dicuri, maka kreditor gadai dapat menuntut benda tersebut
dari tangan siapapun benda itu berada tanpa mengurangi arti Pasal 582 BW. Demikian juga
kalau pemberi gadai (debitor) tidak berwenang menggadaikan, maka hal seperti itu tidak
ada dalam Pasal 1152 ayat 3 dan 4 BW ini ada dalam ketentuan gadai, tak lain akibat
pengaruh kuat dari asas yang tertera dalam Pasal 1977 BW secara utuh.
Pasal 1977 BW ada dalam ranah Buku IV BW tentang Pembuktian dan Daluwarsa,
kaitan pasal tersebut sangat erat dengan urusan benda bergerak yang diatur oleh Buku II BW.
Untuk membuktikan bahwa hak milik suatu benda bergerak ada pada siapa, oleh Pasal 1977
BW bisa dilihat siapa yang sedang menguasai benda bergerak yang bersangkutan secara
nyata, maka pihak itulah yang dianggap sebagai pemiliknya. Demikian pula kalau berbicara
soal daluwarsa, maka untuk benda bergerak daluwarsa yang ditegaskan oleh Pasal 1977 BW
adalah nol (0) tahun, atau dengan kata lain benda bergerak tidak mengenal rentang waktu
daluwarsa.
Sesuai sistematikanya, baik dalam hal daluwarsa berkait untuk memperoleh hak milik
atas suatu benda ataupun daluwarsa berkait dengan terbebaskannya sesuatu pihak dari sebuah
kewajiban, diawali dengan tenggang waktu tiga puluh (30) tahun yang awalnya dari Pasal
1963 BW, kemudian jangka waktu daluwarsa itu sesuai urutannya lalu menurun angka demi
angka, dan diakhiri dengan bilangan nol (0) pada Pasal 1977 BW.
Jangka waktu yang terus menurun secara sistematis, merupakan jenis pengaturan
jangka waktu daluwarsa secara rinci. Hal ini berbeda dengan Hukum Adat yang tidak
mengenal lembaga daluwarsa, baik dalam hal daluwarsa yang mengakibatkan terbebaskannya
seseorang dari sebuah kewajiban yang semestinya harus dipenuhi, ataupun daluwarsa dalam
hal untuk memperolah hak milik atas suatu benda. Berbeda dengan sistem yang dianut oleh
BW, di mana lewatnya daluwarsa, sesuatu pihak dimungkinkan untuk memperoleh hak milik
atas suatu benda, atau sesuatu pihak dapat terbebaskan dari sebuah kewajiban yang
seharusnya dipenuhi, dan ini diatur dengan tegas dalam Pasal 610 jis. 1946, 1963, 1969 BW.
Untuk menentukan apa saja yang tergolong sebagai benda tidak bergerak, oleh
1. Benda tidak bergerak karena sifatnya, di mana jenis benda ini berdasar ciri alamiahnya
2. Benda tidak bergerak karena tujuannya. Sebenarnya suatu benda itu yang awalnya
termasuk golongan benda bergerak, tetapi karena oleh pemiliknya dilekatkan pada benda
tidak bergerak secara terus menerus demi mencapai suatu tujuan tertentu, akhirnya benda
bergerak yang bersangkutan berubah menjadi benda tidak bergerak (Pasal 507 BW).
Kualifikasi sebagai benda bergerak tergradasi golongannya menjadi benda tidak bergerak
yang dilekatinya, ini merupakan salah satu wujud konkrit dari asas perlekatan (accessie) yang
dikenal BW.
Kalau dibandingkan dengan benda bergerak, sejak dulu sudah diakui kalau nilai benda
tidak bergerak, dalam hal ini tanah, selalu dianggap relatif lebih tinggi. Atas dasar inilah,
lembaga jaminan hipotek, kalau ditinjau dari jumlah pasalnya, jauh lebih banyak daripada
gadai.
Benda bergerak setelah dilekatkan pada benda tidak bergerak demi mencapai suatu
tujuan tertentu oleh pemiliknya, dianggap menjadi satu kesatuan. Konsep ini sesungguhnya
merupakan konsekwensi konkrit dari asas accessie atau asas perlekatan yang sangat terkenal
dalam BW. Asas accessie dikenal dalam sistem BW karena adanya pembagian benda
Obyek transaksi yang berkaitan dengan seluk beluk tanah, khususnya yang belum
lengkap persyaratan administrasinya sesuai aturan UUPA saat ini, menjadi kendala untuk
dipasarkan. UUPA sebagai sarana hukum, nuansanya tidak menunjang untuk dijadikan ajang
bisnis. Menghadapi fakta tersebut, solusi yang ditawarkan BW terobosan langkah bisnis
A. Dalam bidang bezit: bahwa menguasai secara nyata (mem bezit) benda bergerak, maka
berlakulah asas yang ada dalam Pasal 1977 BW, ditetapkan bahwa barang siapa
menguasai benda bergerak dianggap sebagai pemilik. Asas ini tidak berlaku kalau
menyangkut penguasaan benda tidak bergerak. Ini menandakan kalau keberadaan Pasal
1977 BW memang menduduki posisi sentral dalam urusan benda bergerak. Dengan
adanya perbuatan Pasal 1977 BW sering masalah bisnis yang obyeknya benda bergerak
menjadi lancar dan nyaris aman akibat tersedianya perlindungan hukum di dalamnya.
B. Dalam bidang levering: Bahwa dalam levering sesungguhnya ada dua unsur penting agar
levering atau penyerahan itu sampai pada tujuannya, yakni beralihnya hak milik suatu
benda dari satu tangan ke tangan lainnya. Adapun dua (2) unsur yang dimaksud adalah
penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (juridische levering). Pada
waktu seseorang hendak memindahkan hak milik suatu benda bergerak, maka saat benda
bergerak yang bersangkutan diberikan kepada pihak lain, saat itu pula baik penyerahan
nyata dan penyerahan yuridis, jatuh bersamaan tanpa dapat diamati jenjang tahapannya.
Sebaliknya kalau yang dipindahkan hak miliknya itu menyangkut benda tidak bergerak,
maka antara penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan yuridis (juridische
levering) akan nampak tahap-tahapnya secara signifikan baik dalam jenjang waktu
C. Dalam bidang verjaring (daluwarsa): benda bergerak tidak mengenal daluwarsa atau nol
(0) tahun dan ini dapat dilacak dalam Pasal 1977 BW. Sedang untuk benda tidak
bergerak daluwarsanya seperti pada Pasal 1963 BW yang intinya menegaskan bahwa
siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah, mendapatkan
suatu benda tidak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar
atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya, dengan jalan daluwarsa setelah menguasai
secara nyata selama dua puluh (20) tahun. Sedang siapa yang dengan itikad baik
menguasainya selama tigapuluh (30) tahun, memperoleh hak milik dengan tidak dapat
dipaksa untuk menunjukkan alas haknya. Jelas dari ketentuan-ketentuan tersebut untuk
urusan daluwarsa, durasi waktu yang diperlukan untuk benda bergerak dan benda tidak
D. Dalam bidang bezwaring (penjaminannya): kalau yang dijaminkan itu berupa benda
bergerak, maka lembaga yang disediakan oleh BW adalah gadai, sedangkan untuk benda
tidak bergerak adalah hipotek. Seluk beluk gadai diatur oleh Pasal 1150-1160 BW,
sedang hipotek aturannya terentang mulai Pasal 1162-1232 BW. Mengamati dan
membandingkan jumlah pasal yang mengatur gadai dan hipotek, sangat terlihat
perbedaannya, sehingga dapat ditebak bahwa sosok benda tidak bergerak pasti
E. Dalam bidang sita (beslag): berdasarkan prosedur sesuai aturannya, eksekusi melalui sita
(executorial beslag), maka benda bergerak harus dilakukan terlebih dahulu, jika dirasa
belum cukup untuk melunasi prestasi atau utang debitor yang bersangkutan, barulah sita
tersebut menjamah keberadaan benda tidak bergerak (lihat Pasal 197 HIR).
Benda yang diatur oleh Buku II BW pada umumnya akan dijadikan obyek transaksi,
sedangkan proses transaksi sebagian besar menyangkut Perjanjian Obligatoir yang tunduk
pada Buku III BW. Saat benda dijadikan obyek perjanjian yang tentu saja dari perjanjian itu
akan lahir perikatan sebagaimana diatur oleh Pasal 1233 BW, maka pihak-pihak yang terikat
berharap agar prestasi yang diinginkan dapat terwujud, karena itu merupakan haknya. jika
dari perikatan yang dijalin itu tidak menghasilkan hak, berarti tidak untung atau menderita
rugi, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugat ke pengadilan supaya kerugian itu
dipulihkan. Pemulihan kerugian tersebut oleh hukum memang dijanjikan pasti dapat terwujud
sampai prestasi sebagai obyek perikatan yang diinginkan terealisasi secara utuh. Untuk
BAB III
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan harta
kekayaan, di mana satu pihak wajib memenuhi prestasi (debitor) dan pihak lain berhak atas
prestasi yang bersangkutan (kreditor). Yang dimaksud perbuatan hukum adalah perbuatan
yang menimbulkan akibat hukum. Selanjutnya hubungan hukum yang dimaksud terletak
dalam ranah hukum harta kekayaan, berarti hak dan kewajiban yang timbul dari padanya
punya nilai ekonomis. Pengertian debitor adalah pihak yang wajib memenuhi prestasi, sedang
kreditor adalah pihak yang berhak atas prestasi yang bersangkutan. Dari jabaran definisi
Sebagaimana Pasal 1234 BW wujud prestasi itu ada tiga (3) jenis, yakni memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Hakekat prestasi sebagai suatu kewajiban
yang terpikul di punggung para pihak, haruslah dipenuhi, dibayar atau dilaksanakan.
Kebenaran bahwa prestasi wajib dipenuhi dapat dilihat dari Pasal 1235 BW yang isinya
wajib menyerahkan benda yang bersangkutan dan memeliharanya dengan baik sebelum
penyerahan dilakukan. Tidak hanya itu, prestasi yang harus dipenuhi tidak sebatas pada jenis
perikatan untuk memberikan sesuatu saja, tetapi juga termasuk jenis perikatan untuk berbuat
Andai suatu perikatan antara para pihak ternyata prestasi yang diinginkan tidak
didapatkan, maka yang bersangkutan dapat meminta bantuan kepada hukum, misalnya
menggugat ke pengadilan. Sesuai prosedur kewajiban yang tidak dipenuhi secara suka rela,
hukum dapat memaksanya dengan mengandalkan Pasal 1131 BW yaitu dengan jalan
mengeksekusi harta pihak yang cidera janji (wanprestasi) di hadapan umum, dan hasilnya
Tetapi jika kita melihat ketentuan Pasal 1132 BW, bahwa jaminan umum yang
disediakan oleh pembentuk undang-undang masih dapat menimbulkan risiko akibat hasil
lelang harta debitor kalau tidak mencukupi untuk menutup seluruh utangnya, maka harus
dibagi secara proporsional. Pembagian hasil lelang untuk pelunasan piutang para kreditor
secara proporsional berdasarkan Pasal 1132 BW ini, hasil lelang itu diperebutkan, satu sama
lain para pemilik tagihan saling berkonkurensi, sehingga mereka ini lalu disebut sebagai
kreditor konkuren. Meski setiap perikatan itu sudah ada jaminan yang diberikan oleh
pembentuk undang-undang lewat Pasal 1131 BW, tidak sepenuhnya serta merta dapat
menutup kerugian kreditor secara utuh, apabila dalam kenyataannya hasil lelang tidak
sepenuhnya dapat meliput lunas seluruh utang debitor. Inilah nasib kreditor konkuren yang
Penjabaran makna perikatan, bahwa hubungan hukum antara para pihak ada dalam
ruang lingkup harta kekayaan, berarti prestasi sebagai obyek perikatan jelas punya nilai
ekonomis. Prestasi yang kental dengan nilai ekonomis merupakan corak utama dalam
perikatan yang diatur oleh Buku III BW, sehingga pasal-pasal yang ada di dalamnya, baik
secara eksplisit maupun implisit, berusaha menciptakan situasi yang kondusif demi
Oleh sebab itu prestasi dengan nilai ekonomis, harus selalu dapat diraih oleh setiap
pihak yang membuat perikatan, mengingat dengan mengikatkan diri pada sesama anggota
kelompok sangat menghemat beaya, waktu, ataupun tenaga. Mana prestasi yang
bersangkutan tidak dapat diambil akibat ulah sesuatu pihak yang mengingkari janjinya,
hukum tetap akan bersikeras mewujudkannya sesuai prosedur yang sudah disediakan
pengaturannya. Hukum memiliki daya paksa jika ada suatu pihak yang tak hendak memenuhi
prestasinya secara suka rela, bahkan kalau perlu sesuai permintaan dapat ditambah dengan
pengenaan ganti rugi, beaya, dan bunga. Demi terwujudnya apa yang akan dipulihkan akibat
suatu kerugian yang menimpa salah satu pihak, dalam diri BW sendiri disediakanlah suatu
jaminan agar pemulihan tersebut dapat terealisasi. Pentingnya aturan jaminan ini tak lain
selalu mampu menepis segenap risiko, apalagi kalau pelakunya kurang cermat dalam
berhitung dan bersikap. Hukum hanya sebuah sarana untuk menangkal risiko secara optimal,
namun perjalanan bisnis yang merupakan suatu proses, dapat terjadi saat dalam tahap-tahap
pelaksanannya timbul kendala yang tidak terduga. Risiko yang dimaksud tidak sekedar
hangusnya sejumlah keuntungan yang akan diperoleh, tetapi dapat saja berupa terbuangnya
waktu, cacatnya prestasi yang tak diharapkan, ataupun kejadian-kejadian lain yang
dimanfaatkan sejak dini, namun tetap saja idak seluruh risiko dapat ditangkal. Paling tidak
risiko yang muncul adalah terhambatnya prestasi yang diinginkan, sehingga perlu jeda waktu
yang mestinya tak perlu terjadi. Pelaku bisnis ini adalah manusia juga yang terkadang karena
sesuatu hal menjadi lalai atau terhalang saat hendak memenuhi kewajibannya sehingga
Sebagaimana sudah dipaparkan bahwa prestasi itu wajib dipenuhi oleh pihak debitor
agar hak kreditor dapat terwujud dan itu adalah keuntungan yang diinginkan sejak awal.
Tetapi tak selamanya manusia sebagai subyek hukum selalu bisa menepati janji untuk
melaksanakan kewajibannya setelah timbul perikatan di antara para pihak. Ada saat debitor
dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya tak hendak memenuhi kewajibannya sesuai
janji, sehingga dengan ulahnya tersebut kreditor menderita rugi karenanya. Jika ini terjadi dan
pengadilan, jelas proses gugatan di pengadilan memerlukan jangka waktu yang lumayan
lama. Demikian pula beaya untuk berperkara, perlu ongkos yang besar, belum lagi kalau
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, diabaikan begitu saja oleh
debitor, yang kemudian harus disusul dengan eksekusi harta debitor atas dasar Pasal 1131
BW yang kadang juga tidak mudah. Jelas proses yang berkepanjangan seperti ini merupakan
Umur seseorang tidak dapat diperkirakan oleh siapapun. Demikian juga para pelaku
usaha yang sedang menjalin perikatan demi menjalankan bisnis yang dikelolanya, tidak
pernah bisa memprediksi seberapa panjang usia mereka. Pada dasarnya seseorang yang
membuat perikatan lewat perjanjian sesuai tujuan bisnisnya, maka berdasar Pasal 1315 jo.
1340 BW, perjanjian itu hanya berlaku dan mengikat mereka yang membuatnya.
Untuk itu berdasar Pasal 1318 BW sebagai salah satu pengecualian dari privity of
contract, tagihan pemenuhan prestasi yang tak lagi dapat ditujukan pada debitor karena sudah
meninggal dunia, maka ahli warisnya sesuai Pasal 833 BW wajib menggantikan untuk
memenuhi prestasi yang mestinya dilakukan oleh almarhum. Secara implisit Pasal 833 BW
menuturkan bahwa ahli waris tak sekedar mewarisi aktiva tetapi juga pasiva, sehingga pasiva
berupa melunasi prestasi yang belum dilaksanakan almarhum, akhirnya menjadi tanggungan
ahli waris untuk memenuhinya. Dengan dasar Pasal 1318 BW tersebut yang inti singkatnya
menegaskan bahwa seseorang yang membuat suatu perjanjian dianggap juga untuk ahli
warisnya demikian pula untuk pihak yang memperoleh hak dari padanya. Jadi ahli waris yang
secara konkrit tidak pernah membuat perjanjian dengan kreditor, akibat kedudukannya
sebagai ahli waris, maka perjanjian yang dibuat almarhum seolah-olah juga untuk diri ahli
waris yang bersangkutan. Akhirnya ahli waris karena mau menerima aktiva, berarti juga
harus menanggung pasiva, berupa tagihan kreditor yang ditinggalkan almarhum. Berdasar
hukum, dengan meninggalnya seseorang maka hak dan kewajiban tidak ikut terkubur
Menurut Pasal 1058 BW, bahwa ahli waris yang menolak warisannya, dianggap tidak
pernah telah menjadi ahli waris. Andai ini terjadi, maka harta waris berstatus sebagai bona
vacancia (harta waris yang tak terurus) yang kemudian berdasar Pasal 832 jo. 1126 BW
negara akan mengurusinya lewat Balai Harta Peninggalan (BHP). Saat pengurusan oleh BHP
kalau ternyata jumlah utang almarhum lebih besar dari nilai harta waris, tentu saja tagihan
kreditor tidak akan terpenuhi secara utuh. Risiko ini setiap saat dapat muncul kalau seseorang
yang membuat suatu perjanjian hanya mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW.
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jika undang-undang
menentukan lain. kalau seseorang dinyatakan pailit oleh pengadilan, maka yang bersangkutan
menjadi tidak wenang lagi untuk melakukan perbuatan hukum, dalam hal ini termasuk
mengelola hartanya. Selanjutnya harta orang yang bersangkutan masuk boedel pailit yang
dikelola oleh kurator. Sebagai pengelola boedel pailit yang diawasi oleh hakim yang ditunjuk,
lalu kurator sesuai prosedur mulai menginventarisasi siapa saja kreditor-kreditor yang
mempunyai tagihan. Bertolak dari situasi ini, andai yang mengajukan tagihan ternyata banyak
dan hasil lelang harta pailit tidak mencukupi, sudah barang tentu akan dilakukan pembagian
pelunasan utang berdasar prinsip imbangan jumlah tagihan. Tidak cukupnya harta pailit untuk
menutup tagihan-tagihan kreditor, jelas merupakan salah satu risiko yang menimbulkan
kerugian bagi kreditor yang sekedar mengandalkan jaminan umum dalam Pasal 1131 BW.
Jaminan umum yang tersedia dalam Pasal 1131 BW adalah lahir dari kandungan
undang-undang, jadi jaminan umum ini ada tanpa perlu diperjanjikan oleh para pihak. Pasal
1131 BW tersebut dapat disimpangi oleh para pihak dengan jurus tertentu agar mendapatkan
posisi khusus. Berarti ketentuan yang mengatur jaminan umum itu berkedudukan sebagai
regelend recht, dan Pasal 1131 BW yang berposisi sebagai regelend recht juga dapat
dianalisa dari keberadaan Pasal 1132 jo. 1133 BW. Pasal 1132 BW mensarikan pernyataan
bahwa segala kebendaan milik seseorang menjadi jaminan bersama-sama bagi seluruh
kreditor, sehingga pendapatan penjualan benda-benda tersebut dibagi di antara para kreditor
secara berimbang, kecuali apabila di antara para kreditor ada alasan yang sah untuk
antara para kreditor terbit dari privilege, gadai, dan hipotek (Pasal 1133 BW). Peri hal gadai
dan hipotek dinyatakan sebagai piutang yang pelunasannya harus lebih didahulukan dari
kreditor lain, berarti tidak harus terkena Pasal 1132 BW yang menyiratkan kreditor-kreditor
itu punya posisi yang sama. Jadi gadai dan hipotek punya kedudukan khusus, di mana posisi
khusus seperti itu tak lain hanya dapat dicapai dengan jalan menyimpangi ketentuan yang
bersifat umum sebagaimana sosok Pasal 1131 BW. Sudah jamak dipahami bahwa
menyimpangi suatu ketentuan undang-undang, tentu saja yang bersifat sebagai regelend
recht, harus dilakukan atas dasar kata sepakat, dalam arti para pihak wajib membuat
perjanjian di antara mereka sebagai aturan tandingan untuk menggantikan ketentuan yang
disimpangi.
Saat kreditor dan debitor membuat perjanjian jaminan dengan menggunakan gadai
atau hipotek, berarti mereka itu melakukan penyimpangan terhadap Pasal 1131 BW agar
mendapatkan jaminan khusus, baik menyangkut bendanya yang secara khusus ditunjuk untuk
dibebani, juga hasil lelang benda jaminan tersebut secara khusus hanya untuk melunasi
Pasal 1131 BW yang terkwalifikasi sebagai regelend recht, berarti dapat disimpangi
oleh para pihak atas dasar sepakat, mengingat pasal tersebut ada dalam ranah Buku II BW
yang bersifat tertutup, maka penyimpangan dilakukan oleh para pihak punya karakter khusus,
yakni bahwa penyimpangan tersebut tak mengakibatkan Pasal 1131 BW lalu hilang dari
peredaran hubungan hukum para pihak. Sebaliknya meski disimpangi, Pasal 1131 BW hanya
sekedar digeser mundur untuk kemudian di depannya dilapisi dengan benteng khusus yang
Perjanjian jaminan khusus dapat dibuat kalau sudah ada perjanjian awal yang
sebenarnya sudah dijamin oleh Pasal 1131 BW. Perjanjian yang dibentengi oleh Pasal 1131
BW dikenal dengan perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit, sedangkan benteng baru
sebagai pelapis yang dibangun para pihak berupa perjanjian jaminan khusus hanyalah
jaminan khusus selaku perjanjian tambahan, eksistensinya bergantung pada perjanjian pokok
BAB IV
Dalam Buku III BW, secara terdapat Pasal 1319 BW yang mengenal jenis perjanjian
bernama dan perjanjian tak bernama. Arti perjanjian bernama adalah jenis-jenis perjanjian
yang secara khusus diatur dalam Buku III BW, sebaliknya perjanjian tak bernama adalah
jenis perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam Buku III BW. Golongan perjanjian tak
bernama inilah yang dapat dibuat oleh para pihak atas dasar kata sepakat dikarenakan adanya
tuntutan dan kebutuhan kemajuan dunia bisnis. Ini semua dapat terlaksana karena didasarkan
pada salah satu prinsip dalam hukum perjanjian yakni asas kebebasan berkontrak.
pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan, yang populer disebut dengan perjanjian
kredit. Kemunculan istilah perjanjian kredit ini apakah digolongkan mbang sebagai perjanjian
bernama ataukah perjanjian tak bernama. Melihat karakternya bahwa antara perjanjian
pinjam meminjam uang bila disandingkan dengan perjanjian kredit adalah berbeda. Kalau
bertolak dari makna perjanjian pinjam meminjam uang yang ada dalam Pasal 1754 jo. 1756
BW, maka jenis perjanjian ini tergolong sebagai perjanjian riil dan secara harfiah aturannya
ada dalam Buku III BW. Lain dengan perjanjian kredit, secara harfiah istilah tersebut tidak
ditemukan keberadaannya dalam Buku III BW, lagi pula perjanjian kredit justru bukan
tergolong sebagai perjanjian riil tetapi masuk pada golongan perjanjian konsensuil. Sesuai
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), perjanjian kredit harus dibuat dalam bentuk
tertulis, dan ini jauh beda dengan perjanjian pinjam meminjam uang yang bentuknya adalah
bebas, bisa dalam ujud tertulis, tapi tak dilarang juga kalau mengambil bentuk tak tertulis.
Perjanjian kredit di lingkungan bank yang tergolong sebagai perjanjian tak bernama,
berdasarkan Pasal 1233 BW akan menimbulkan perikatan, sehingga di pundak para pihak
akan terpikul suatu kewajiban sebagai konsekwensi janji atas dasar sepakat. Mengingat dari
menjadikan para pihak terikat satu dengan yang lain, maka jenis perjanjian seperti ini
Perjanjian kredit sebagai perjanjian obligatoir, jika tidak dilengkapi dengan perjanjian
jaminan kebendaan untuk mendapatkan agunan, hak tagihnya hanya berposisi sebagai hak
pribadi yang memiliki sifat gugat perorangan yang ujung-ujungnya hanya dijamin oleh Pasal
1131 BW, dan tidak mempunyai hak gugat kebendaan akibat tidak memegang satu benda
Proses peletakan sita jaminan terhadap harta benda debitor, untuk kemudian dijual di
hadapan umum, adalah didasarkan pada Pasal 1131 BW. Jadi setiap perikatan, tak terkecuali
yang bersumber dari perjanjian kredit, sebenarnya oleh undang-undang sudah diberikan
jaminan seperti yang tercantum dalam Pasal 1131 BW, sehingga jika debitor wanprestasi, hak
kreditor untuk memperoleh kembali piutangnya tetap akan terwujud. Jaminan yang diberikan
oleh Pasal 1131 BW berupa seluruh harta debitor untuk seluruh perikatan yang dibuatnya,
mengakibatkan jaminan yang ada dalam pasal itu disebut dengan istilah jaminan umum.
Pasal 1131 BW ternyata masih rawan, kalau menginginkan yang khusus, berarti harus
undang-undang yang berposisi sebagai regelend recht, harus dengan cara mengadakan
tentang jaminan yang berurusan dengan benda, maka perjanjian yang dipergunakan untuk
melakukan penyimpangan itu harus berobyek pada jaminan berupa benda pula, sehingga
Memiliki benda agunan bagi bank akan memposisikan dirinya sebagai kreditor yang
terlindungi oleh benda tertentu milik debitor yang secara khusus atas dasar sepakat dijadikan
jaminan untuk sejumlah dana yang sudah dikeluarkan. Apabila di kemudian hari debitor
wanprestasi, lalu agunan tersebut dijual di hadapan umum, hasil lelang pertama-tama harus
dibayarkan terlebih dahulu kepada bank yang berkedudukan sebagai kreditor preferen.
Perlindungan seperti ini pada dasarnya memang sangat diperlukan oleh bank agar kondisinya
BAB V
1. Pengertian Istilah Umum Dalam Jaminan Yang Ada Pada Pasal 1131 BW
Pengertian istilah umum disini mengandung makna bahwa semua pihak diperlakukan
secara sama tanpa ada diberi keistimewaan. Agar tidak terjadi kesalah pahaman akibat
perbenturan tagihan, maka kehadiran Pasal 1131 BW, oleh pembentuk undang-undang
disusul dengan ketentuan pelengkapnya berupa Pasal 1132 BW. Pasangan kedua pasal
tersebut akan dapat menepis permasalahan konkurensi para kreditor, sehingga mereka harus
puas memperoleh pelunasan piutang dengan model membagi hasil lelang secara proporsional
sesuai jumlah tagihannya. Apabila perebutan hasil lelang harta debitor yang tidak mencukupi
jumlah seluruh tagihan, dapat diredam oleh hukum dengan adil dan pasti. Inilah perlunya
bingkai hukum dalam setiap kegiatan bisnis yang dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat
Perlindungan hukum yang dibangun penguasa melalui Pasal 1131 BW, tentu saja
berlaku untuk segenap perikatan yang dibuat oleh umum dalam hal ini masyarakat secara
keseluruhan. Sebaliknya jika perlindungan hukum yang dibuat lewat perjanjian, tentu saja
terbatas hanya untuk para pihak saja. Mengingat perlindungan hukum lewat perjanjian yang
dibuat oleh para pihak itu menyangkut posisi sebuah benda, maka perjanjian yang
Jika atas dasar sepakat para pihak membuat suatu perjanjian dengan menunjuk benda
tertentu milik debitor untuk diikat secara khusus demi menjamin sejumlah utang tertentu,
maka posisi kreditor menjadi lebih aman karena pertama-tama dilindungi oleh perjanjian
jaminan kebendaan tanpa menghilangkan jaminan umum sebagai benteng lapis kedua.
Ilustrasi ini sebenarnya menandakan bahwa Pasal 1131 BW itu berposisi sebagai regelend
recht, berarti dapat disimpangi oleh para pihak dengan cara membuat perjanjian.
perjanjian kebendaan dan bukan perjanjian obligatoir, hanya sekedar memundurkan posisi
Pasal 1131 BW untuk memberi tempat di depan pada perjanjian jaminan kebendaan yang
berfungsi sebagai pelindung utama bagi kreditor. Andai kata karena sesuatu hal pelindung
utama ini runtuh, maka kreditor masih dapat diselamatkan oleh jaring Pasal 1131 BW selaku
benteng cadangan. Dengan tersedianya dua lapis jaminan, andai di belakang hari debitor
wanprestasi, dari perjanjian jaminan kebendaan ternyata hasil lelang agunan tak mencukupi,
maka jaminan umum dalam Pasal 1131 BW masih tetap dapat menjaring kekurangan
pelunasan tagihan kreditor. Inilah karakter Pasal 1131 BW yang dapat dikatagorikan sebagai
regelend recht, tetapi kalau dilakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut, tidak serta
merta Pasal 1131 BW hilang dari peredaran hubungan hukum para pihak.
Perjanjian Jaminan Perorangan terjadi kalau ada pihak ketiga yang bersedia menjadi
penanggung (borg) atas utangnya debitor, dan atas dasar sepakat kreditor lalu dibentuk dalam
suatu perjanjian yang dikenal dengan nama Perjanjian Penanggungan. Jenis perjanjian ini
dijumpai aturan khususnya dalam Bab XVII Buku III BW dengan ketentuan awal Pasal 1820
BW yang intinya menuturkan bahwa penanggungan adalah suatu perjanjian di mana seorang
pihak ketiga, demi kepentingan kreditor, bersedia mengikatkan dirinya untuk melunasi utang
debitor bila wanprestasi. Ketentuan berikutnya yaitu Pasal 1821 BW menegaskan bahwa
tiada suatu Perjanjian Penanggungan jika tidak ada perjanjian pokoknya. Bertolak dari
ketentuan ini dapat disimak, bahwa Perjanjian Penanggungan itu baru ada kalau sudah ada
Perjanjian Pokoknya, yakni umumnya berupa perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit
Keunggulan yang diperoleh bahwa model ini menjadikan kreditor memiliki dua (2)
sosok debitor, yaitu debitor asli dan debitor kedua yang berposisi sebagai penanggung.
Dengan kata lain kreditor mendapatkan dua (2) sosok debitor yang akan menjamin pelunasan
piutangnya. Bila gagal menagih piutangnya kepada debitor yang satu, maka dapat dilakukan
Perjanjian Jaminan Hipotek selanjutnya melahirkan hak hipotek, kedua jenis hak jaminan
tersebut tergolong sebagai hak kebendaan yang terkwalifikasi sebagai hak kebendaan yang
bercorak jaminan, mengingat lembaga jaminan gadai dan hipotek itu aturannya ada dalam
Buku II BW. Hadirnya Perjanjian Jaminan Gadai ataupun Perjanjian Jaminan Hipotek yang
akhirnya melahirkan hak kebendaan berujud hak gadai atau hak hipotek, adalah dalam rangka
mendukung perjanjian pokok, yakni perjanjian kredit yang hanya melahirkan hak tagih yang
Seperti yang telah diketahui bahwa gadai dan hipotek diatur dalam Buku II BW, oleh
sebab itu hak yang muncul dari Perjanjian Jaminan Gadai atau dari Perjanjian Jaminan
Hipotek, yakni hak gadai dan hak hipotek, tergolong sebagai hak kebendaan bercorak
jaminan atau biasa disebut hak jaminan kebendaan. Sesuai perkembangan Hukum Jaminan di
Indonesia, saat ini lembaga jaminan kebendaan tidak hanya sebatas gadai dan hipotek saja
sebagaimana aturannya dijumpai dalam Buku II BW. Berdasarkan berlakunya UUPA, maka
hak atas tanah kalau saat sekarang adalah benda jaminan, maka lembaga yang dipergunakan
adalah Hak Tanggungan yang aturannya dapat disimak dalam UU Hak Tanggungan. Selain
itu muncul lembaga jaminan kebendaan Fidusia yang tertuang dalam UU Fidusia. Dengan
demikian di Indonesia saat ini mempunyai empat (4) macam lembaga jaminan kebendaan
yakni gadai dan hipotek yang tercantum aturannya dalam BW, ditambah Hak Tanggungan
dan Fiduisa. Ke empatnya lembaga jaminan kebendaan ini dapat dikembangkan dalam bisnis,
khususnya oleh dunia perbankan, dengan cara membuat perjanjian jaminan kebendaan antara
BAB VI
jaminan), artinya bahwasanya hak jaminan itu melekat atau menindih suatu benda, dan benda
itu tentunya milik debitor, dan juga hak jaminan itu tidak melekat pada seluruh benda milik
debitor, mengingat hak jaminan yang melekat pada segenap harta debitor itu dikuasai oleh
Pasal 1131 BW. Ketentuan yang disimpangi, yakni Pasal 1131 BW, merupakan ketentuan
undang-undang yang mengatur soal jaminan, berarti perjanjian yang dibuat para pihak
sebagai ujud penyimpangan itu diadakan dengan maksud mengatur soal jaminan juga dengan
obyek benda. Oleh sebab itu perjanjian tersebut dinamakan sebagai perjanjian jaminan.
Mengingat perjanjian jaminan yang bersangkutan obyeknya benda, maka perjanjian yang
dimaksud termasuk sebagai perjanjian jaminan kebendaan yang akan melahirkan hak
Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok yang tentu saja berdasar Pasal 1233 BW
melahirkan perikatan, sesuai hakekatnya memang sudah ada jaminan yang mendukungnya,
yakni jaminan umum dalam Pasal 1131 BW. Posisi bank sebagai kreditor konkuren tidak
sejalan dengan prinsip kehati-hatian, sehingga karenanya diperlukan tindakan ikutan lain
yang strategis yakni membuat lagi satu perjanjian pendukung berupa perjanjian jaminan
kebendaan yang pada akhirnya tergolong sebagai perjanjian tambahan yang akan melahirkan
hak jaminan kebendaan yang tak lain adalah hak kebendaan bercorak jaminan.
eksistensi perjanjian kredit, merupakan suatu perjanjian yang obyeknya benda, dan benda
yang dimaksud adalah salah satu benda tertentu milik debitor yang atas dasar sepakat diikat
sebagai jaminan khusus bagi sejumlah utang tertentu. Benda tertentu milik debitor yang
diikat secara khusus dengan perjanjian jaminan kebendaan yang dimaksud, disebut sebagai
yang melahirkan hak jaminan kebendaan, dalam BW itu berujud gadai dan hipotek, bila
3. Perbandingan Ciri Pokok Antara Hak Jaminan Kebendaan Dengan Hak Pribadi
Tanggungan, ataupun Fidusia, dengan sendirinya melahirkan hak kebendaan yang akan
depergunakan untuk mengawal hak pribadi yang lahir dari perjanjian pokok berupa perjanjian
kredit. Ciri-ciri yang terkandung dalam hak jaminan kebendaan ternyata lebih menjurus pada
pengertian asas atau prinsip yang kemudian menjadi landasan pasal-pasal Buku II BW.
1. Hak jaminan kebendaan itu bersifat mutlak artinya hak tersebut dapat ditegakkan terhadap
siapapun, dimana hak itu tidak hanya dapat ditegakkan pada pihak rekan seperjanjian saja,
tetapi juga kepada pihak ketiga yang bukan mitra pembangun sepakat. Berbeda dengan hak
pribadi yang lahir dari Buku III BW sebagai perjanjian Obligatoir, adalah bersifat tidak
mutlak atau bersifat relative. Artinya, bahwa hak pribadi ini hanya dapat ditegakkan pada
2. Hak jamina kebendaan ada ciri droit de suite, artinya bahwa hak tersebut akan selalu
mengikuti bendanya ke manapun benda itu berada. Jika ada sebuah benda diatasnya dilekati
hak kebendaan bercorak jaminan, maka jenis hak tersebut akan tetap menempel meski benda
yang bersangkutan jatuh dan dikuasai secara nyata oleh pihak lain.
Ciri droit de suite ini tidak dimiliki oleh hak pribadi mengingat hak pribadi itu lahir dari
perjanjian yang bersifat pribadi sebagaimana yang dinyatakan oleh Pasal 1315 jo. 1340 BW.
3. Hak jaminan kebendaan ada asas prioritas, artinya bahwa kebendaan yang lahir lebih
dahulu akan diutamakan daripada yang lahir kemudian. Misalnya ada satu benda yang sama
dapat dijaminkan secara berulang, sehingga kreditor pemilik hak jaminan kebendaan yang
pertama, pelunasan piutangnya harus lebih didahulukan dari kreditor pemegang hak jaminan
Asas prioritas ini tidak dijumpai pada hak pribadi, karena saat kelahiran sebuah hak pribadi
4. Hak jaminan kebendaan ada asas preferensi, artinya bahwa kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan piutangnya harus dilunasi terlebih dahulu dari kreditor lain. Maksud dari kreditor
lain ini adalah para kreditor konkuren yang tentunya hanya mengandalkan jaminan umum
dalam Pasal 1131 BW. Itu artinya, kreditor pemegang hak jaminan kebendaan posisi
hukumnya lebih tinggi dari kreditor pengandal jaminan umum dalam Pasal 1131 BW, oleh
Dalam hak pribadi tidak ditemukan ciri preferensi, sehingga kreditor pemegang hak pribadi
hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang dijamin dengan keseluruhan harta
debitor, dan jaminan tersebut diperuntukkan bagi seluruh kreditor. Karena jaminan itu
diperuntukkan bagi seluruh kreditor berlandas pada arti Pasal 1132 BW, para kreditor
tersebut memiliki posisi yang sama, tidak ada salah satu kreditor yang diberi kedudukan
istimewa.
5. Hak jaminan kebendaan ada asas publisitas, artinya bahwa hak kebendaan tersebut
memerlukan suatu perbuatan hukum khusus yang wajib dilakukan sehingga umum atau
masyarakat tahu keberadaan hak kebendaan yang bersangkutan. Pentingnya hal ini karena
pusatnya kedudukan hak kebendaan dalam ruang lingkup keperdataan, agar sejak dini hak
Ciri asas publisitas ini tidak dimiliki oleh hak pribadi dikarenakan bahwa perjanjian yang
dibuat oleh para pihak, hanya berlaku sebatas para kontraktannya saja sesuai prinsip privity of
contract seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1325 jo. 1340 BW. Pihak ketiga dianggap tidak
punya kepentingan atas kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebab hal utama yang dituju
adalah masing-masing kewajiban para kontraktan dipenuhi. Sehingga cara ini hak masing-
6. Hak jamina kebendaan ada asas totaliteit. Artinya, bahwa hak jaminan kebendaan itu
menindih keseluruhan benda yang bersangkutan secara utuh, bukannya sebagian demi
sebagian. Pola tertindihnya benda secara keseluruhan oleh hak jaminan, menjadi penting
7. Hak jaminan kebendaan dilekati sifat tidak dapat dibagi-bagi (onsplitbaarheid) , artinya
dengan dilunasinya sebagian utang oleh debitor, bukan berarti sebagian dari benda yang
8. Hak jaminan kebendaan atas asas spesialitas artinya suatu benda yang diikat dengan
perjanjian jaminan kebendaan, ciri-cirinya harus ditetapkan dengan tegasdan jelas. Benda
yang dijual lelang karena debitornya wanprestasi, jangan sampai keliru mengena pada benda
9. Hak jaminan kebendaan memberikan sistem eksekusi agunan yang mudah. Jika debitor
wanprestasi, kreditor punya kewenangan untuk melaksanakan eksekusi agunan yang mudah,
sederhana, serta cepat, dan itu antara lain dengan menggunakan lembaga hukum parate
eksekusi.
10. Hak jaminan kebendaan mempunyai aturan pemberian perlindungan hukum yang
proporsional kepada para pihak. Baik kreditor atau debitor oleh undang-undang diberikan
perlindungan hukum yang berimbang. Pada sisi lain pihak debitor, meski sudah berbuat salah
yaitu melakukan wanprestasi, perlindungan hukum tetap diberikan kepadanya, antara lain
lewat Pasal 1154 BW bahwa “apabila debitor wanprestasi, maka kreditor tidak diperbolehkan
untuk memiliki sendiri objek gadai secara otomatis, bahkan diperjanjikan sejak awalpun
secara tuntas, kreditor diberi wewenang untuk tetap menahan benda jaminan sampai dengan
piutang yang bertalian dengan benda yang bersangkutan dilunasi. Hal ini sebagai contoh
dapat melihat Pasal 1159 BW yang intinya menegaskan bahwa “debitor tidak wenang
menuntut pengembalian benda gadai, sebelum melunasi utang pokok, bunga dan beaya”. Jadi
kreditor punya kewenangan untuk menahan objek gadai sampai dengan debitor membayar
12. Hak jaminan kebendaan timbul setelah ada perjanjian jaminan kebendaan yang
keberadaannya didahului dan bergantung pada perjanjian pokok. Baik perjanjian jaminan
gadai ataupun perjanjian jaminan hipotek, secara sadar harus dibuat oleh para pihak setelah
terlebih dahulu diawali dengan dibuatnya perjanjian pokok. Tanpa ada perjanjian jaminan
kebendaan, maka hak jaminan kebendaan, baik gadai ataupun hipotek, tidak bakal ada. Dan
eksistensi perjanjian jaminan kebendaan yang dimaksud juga harus diawali terlebih dahulu
13. Pada dasarnya pemberi hak jaminan kebendaan hanyalah pemilik benda. Bahwa yang
berwenang menjaminkan sebuah benda adalah pemilik. Pada hal pihak yang berkuasa atau
berwenang mengasingkan sebuah benda hanyalah pemilik. Namun, jika objek penjaminan
tersebut berkaitan dengan benda bergerak, berarti akan menggunakan lembaga gadai, Pasal
1977 BW menyatakan bahwa barang siapa menguasai benda bergerak dianggap sebagai
pemilik, dan akibatnya ketentuan ini membawa konsekuensi hadirnya PAsal 1152 ayat 4 BW
dengan isi pokok bahwa “ tidak berwenangnya pemberi gadai (debitor), tidak dapat
14. Hak jaminan kebendaan itu untuk pelunasan piutang bukan hak untuk memiliki. Kalu
kepemilikannya, pihak yang akan berhutang tersebut tidak keberatan. Sebab kalau utang itu
mampu dilunasinya, benda miliknya tersebut akan terbebaskan dari himpitan hak jaminan
milik bank selaku kreditor. Jadi selama benda dijadikan agunan hak miliknya tetap ada pada
debitor, dan penjaminan itu hanya sekedar untuk membentengi pinjaman bank debitor
15. Hak jaminan kebendaan dapat diletakkan secara berganda untuk objek yang sama. Pada
dasarnya sebuah benda dapat dijadikan jaminan ulang (kecuali fidusia yang masih
Hak jaminan kebendaan jika dibandingkan dengan hak pribadi sangat mencolok
perbedaannya, sehingga dapat disimpulkan kuatnya hak kebendaan ketimbang hak pribadi.
Oleh sebab itu wajar saja jika hak jaminan kebendaan ini kemudian dipergunakan sebagai
pengawal atau pendukung dari hak pribadi, sehingga mampu mengangkat kedudukan krditor
yang semula hany berposisi sebagai kreditor konkuren menjadi meningkat sebagai kreditor
preferen.
BAB VII
PIUTANG ISTIMEWA
Hakekat prestasi wajib dipenuhi atau dibayar, sesungguhnya ini merupakan suatu
utang, dan tentu saja keberadaan utang tersebut ada di pundak debitor. Pasal 1235 BW,
bahwa prestasi itu harus dipenuhi atau wajib dibayar. Utang ini memang memiliki dua (2)
macam makna, yakni utang dalam arti luas dan utang dalam arti sempit. Tentang utang dalam
arti luas, adalah segala jenis prestasi dari Perjanjian Obligatoir, sedang utang dalam arti
sempit adalah berkait dengan urusan perjanjian pinjam meminjam dana atau perjanjian
pinjam meminjam uang seperti yang umum dilakukan oleh lembaga perbankan.
1340 BW, bahwa perjanjian itu bersifat pribadi, dalam arti bahwa perjanjian itu hanya
mengikat pihak-pihak yang membuatnya saja (privity of contract). Perjanjian kredit sesuai
karakternya termasuk Perjanjian Tak Bernama, sehingga berlandaskan pada Pasal 1319 BW
wajib tunduk pada Buku III BW, maka sebagai sebuah perjanjian akan memiliki ciri bersifat
perjanjian obligatoir dan tunduk pada Buku III BW, akan melahirkan jenis hak yang
tergolong sebagai hak pribadi, bukan hak kebendaan. Hak tagih atau piutang bank yang lahir
dari perjanjian kredit akhirnya tergolong sebagai hak pribadi, dan sudah tentu sesuai
Sesuai hakekatnya, hak pribadi yang lahir dari perjanjian obligatoir dibentengi oleh
jaminan umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 BW. Berdasarkan Pasal 1319 BW,
perjanjian kredit yang dibuat oleh bank dengan nasabahnya karena tergolong sebagai
perjanjian tak bernama yang tunduk pada ketentuan umum Buku III BW, hak tagih atau
piutang yang muncul, adalah tergolong sebagai hak pribadi yang pemenuhannya potensial
Pasal 1133 BW dengan tegas menetapkan adanya suatu jenis piutang yang berjumlah
tiga (3), yaitu yang disebut dengan istilah piutang istimewa berupa privilege, gadai, dan
hipotek. Berdasar Pasal 1133 BW itu pula maka secara implisit dalam BW dikenal ada dua
(2) jenis piutang, yaitu piutang istimewa dan piutang tidak istimewa (piutang biasa). Tinjauan
lebih menukik lagi terhadap Pasal 1133 BW yang mengenal tiga (3) macam piutang
istimewa, bila dijabarkan dengan rinci terlihat nyata perbedaannya, yakni bahwa dari segi
kelahirannya ada dua (2) katagori piutang istimewa, yaitu gadai dan hipotek, adalah termasuk
jenis piutang istimewa yang lahir dari perjanjian, sebab hak gadai baru ada kalau sudah
dibuat perjanjian jaminan gadai. Hak hipotek juga baru lahir kalau ada perjanjian jaminan
hipotek. Sebaliknya privilege adalah piutang istimewa yanglahir dari undang undang, dan ini
dapat dilacak dari definisi privilege yang tercantum dalam Pasal 1134 BW.
Posisi segala piutang yang sekedar menyandarkan diri pada jaminan umum dalam
Pasal 1131 BW, hanya mempunyai kedudukan yang sama sesuai amanat Pasal 1132 BW,
berarti demi memperoleh pelunasannya, piutang-piutang itu tanpa ada keistimewaan yang
melekat padanya. Jenis sebuah piutang tanpa dilekati keistimewaan untuk mendapatkan
pelunasan terlebih dahulu seperti itu, tergolong sebagai piutang tidak istimewa atau piutang
biasa dengan kedudukan sederajad bersama piutang biasa lainnya. Jenis piutang biasa tanpa
ada keistimewaan ini, karena memiliki posisi yang sama, maka akan diperlakukan secara
sama pula dalam hal mendapatkan pelunasan saat debitor wanprestasi. Perlakuan dalam
memperoleh pelunasan yang sama inipun, harus melewati proses gugatan dengan disertai
Sosok piutang istimewa ini memang benar-benar memiliki karakter istimewa, antara
lain kalau debitor wanprestasi maka kreditor tidak perlu gaduh di pengadilan mengikuti
proses gugat ginugat, tetapi sebaliknya cukup bertindak cepat dengan jalan menjual lelang
agunan, sehingga perolehan pelunasan piutangnya menjadi sangat lancar, sederhana, dan
mudah. Hanya lewat perjanjian maka hak gadai dan hak hipotek itu ada, karena
membutuhkan adanya kesepakatan antara debitor dan kreditor untuk menyetujui benda
tertentu untuk dijadikan agunan sebagai jaminan khusus atas sejumlah utang tertentu. Kalau
disodorkan benda tertentu milik debitor yang disepakati kreditor, merupakan benda bergerak,
maka dibuatlah perjanjian jaminan gadai. Sebaliknya bila yang diberikan dan disepakati
benda tertentu milik debitor itu berupa benda tidak bergerak, maka dibuatlah perjanjian
jaminan hipotek. Dengan ini maka hak gadai dan hak hipotek yang lahir dari perjanjian
tambahan (accessoir), menjadi melekat pada piutang atas dasar dibuatnya perjanjian kredit
oleh debitor dengan kreditor selaku perjanjian pokok. Tersematnya hak gadai atau hak
hipotek pada piutang yang timbul dari perjanjian kredit tersebut mengubah sosoknya
A. Piutang Gadai
Setelah ada kesepakatan untuk membuat perjanjian pinjam meminjam dana antara
kreditor dan debitor yang dituang dalam perjanjian utang piutang, kalau di dunia bank lebih
dikenal dengan istilah perjanjian kredit, dan itu tergolong sebagai Perjanjian Obligatoir, maka
pihak yang sudah menyalurkan dana pinjaman akan mempunyai hak tagih atau piutang, dan
ini tergolong sebagai hak pribadi. Apabila debitor menyodorkan benda miliknya berupa
benda bergerak dan disetujui oleh kreditor, maka perjanjian jaminan kebendaan yang
dipergunakan adalah perjanjian jaminan gadai. Berarti perjanjian jaminan gadai ini dibuat
dalam rangka untuk memperbaiki posisi piutangnya kreditor agar supaya menduduki posisi
sebagai piutang istimewa yang memiliki ciri preferensi, yakni bahwa piutang tersebut
pelunasannya akan lebih didahulukan dari kreditor lain. Pasal 1150 BW yang mengutarakan
bahwa hak gadai adalah hak kreditor atas benda bergerak yang sudah diterimanya dari
B. Piutang Hipotek
Jika yang disodorkan oleh debitor adalah benda tidak bergerak miliknya demi
menjamin sejumlah utang tertentu yang diperlukannya, dan pihak kreditor menyetujuinya,
maka dibuatlah perjanjian jaminan kebendaan berupa perjanjian jaminan hipotek untuk
mendukung perjanjian pokok. Dengan adanya perjanjian kredit selaku perjanjian pokok yang
berposisi sebagai Perjanjian Obligatoir, lalu didukung dengan perjanjian jaminan hipotek
yang tergolong sebagai perjanjian kebendaan, sehingga akibatnya kreditor akan memiliki dua
(2) macam hak, yakni hak tagih (piutang) dan hak hipotek.
5. Piutang Istimewa Yang Lahir Dari Undang-Undang
Piutang kreditor pemegang gadai dan piutang kreditor pemegang hipotek, sesuai
perjanjian jaminan yang dibuat, mengakibatkan piutang mereka itu menduduki posisi sebagai
piutang istimewa atau memiliki preferensi. Berdasarkan Pasal 1133 BW disebutkan piutang
istimewa itu selain gadai dan hipotek, ada jenis lainnya lagi yaitu privilege. Dalam Psal 1334
BW ayat 1 adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada kreditor yang satu diatas
kreditor yang lain sehubungan dengan sifat perikatannya. Berdasar Pasal 1150 BW kreditor
gadai memiliki preferensi dimana pelunasan piutangnya harus lebih didahulukan dari kreditor
lain, namun ada kekecualiannya bahwa beaya lelang dan beaya penyelamatan benda gadai
justru harus lebih didahulukan. Undang-undang dalam hal ini Pasal 1150 BW menetapkan
bahwa beaya lelang dan beaya penyelamatan benda gadai sebagai ujud sebuah privilege,
6. Jenis Privillege
Piutang istimewa yang lahir dari perjanjian yaitu gadai dan hipotek.
A. Privillege Umum
Sebutan privilege umum tersebut melekat pada seluruh benda yang dimiliki oleh
debitor. Akibatnya pelunasan jenis privilege ini tidak digantungkan pada benda tertentu saja,
tetapi dikenakan pada hasil penjualan atas seluruh benda apa saja yang dipunyai oleh debitor.
Privilege umum yang diatur dalam Pasal 1149 BW dirinci ada tujuh (7) macam yakni beaya
perkara, beaya penguburan, beaya pengobatan, upah buruh, utang bahar makan, beaya
sekolah berasrama, beaya pengurusan anak yang belum dewasa dan orang terampu.
B. Privilege Khusus
Dinamakan privilege khusus karena privilege itu melekat pada benda tertentu milik
debitor, sehingga hanya kreditor tertentu saja yang wajib didahulukan pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan benda tertentu yang bersangkutan. Tentang privilege khusus ini
aturannya ada dalam Pasal 1139 BW yang macam-macamnya dirinci menjadi sembilan jenis
yakni beaya perkara, uang sewa dar segala pembeayaannya, harga beli benda bergerak yang
masih belum terbayar, beaya penyelamatan benda beaya perbaikan tukang, beaya
penginapan, beaya pengangkutan, beaya tukang pembangunan berkait dengan benda tak
Piutang istimewa dalam Pasal 1133 BW dalam operasionalnya bisa saja suatu saat
saling berbenturan. Yang perlu dipahami adalah bahwa yang berbenturan itu antara aktor
yang dibuta oleh rakyat, yaitu gadai dan hipotek, dengan aktor yang diciptakan penguasa
yaitu privilege. Peristiwa terjadinya benturan itu dapat berupa hak gadai berbenturan dengan
privilege, atau hak hipotek bertabrakan dengan privilege. Bahkan dapat saja terjadi antar jenis
diperhatikan oleł penguasa adalah peristiwa tabrakan antara privilege d satu sisi dengan gadai
atau hipotek pada sisi lainnya Perbenturan jenis inilah yang justru paling awa diperhatikan
oleh penguasa, lalu disediakan upaya penyelesaiannya dengan menghadirkan Pasal 1134 ayat
2 BW yang mengutarakan bahwa pada dasarnya gadai dan hipotek harus lebih didahulukan
dari pada privilege, kecuali undang-undang menentukan lain. Prinsip dasarnya kalau terjadi
benturan antara gadai atau hipotek dengan privilege, maka gadai atau hipotek harus
didahulukan ketimbang privilege. Andai piutang istimewa yang saling berbenturan ternyata
memiliki kedudukan yang sama, sesuai yang diatur oleh Pasal 1136 BW akan dibayar
menurut keseimbangan. Pola pengaturan Pasal 1136 BW ini kalau diperhatikan ternyata
8. Perkembangan di Indonesia
Nilai dan kebutuhan akan tanah bagi anak bangsa, cenderung selalu meningkat dari
waktu ke waktu selaras dengan berputarnya roda pembangunan yang berkelanjutan. Atas
dasar tuntutan itulah akhirnya pemerintah Indonesia menerbitkan UUPA yang kemudian
secara tahap demi tahap berlanjut terus dengan menggulirkan aturan-aturan penjabarannya.
Sesuai tuntutan kebutuhan akhirnya soal penjaminan hak atas tanah yang diperlukan dunia
bisnis, pemerintah mengintrodusir UU Hak Tanggungan yang eksistensinya tidak lepas dari
prinsip-prinsip UUPA dengan asas pemisahan horisontal sebagai ikon utamanya. Berdasar
pada UU Hak Tanggungan inilah muncul lembaga jaminan kebendaan baru berujud hak
tanggungan di samping gadai dan hipotek yang selama ini sudah akrab dipergunakan oleh
rakyat Indonesia.
Benda berupa tanah yang dalam BW digolongkan sebagai benda tidak bergerak, mana
kala dijadikan obyek jaminan, lembaga yang dipergunakan adalah hipotek. Kelahiran
lembaga jaminan hak tanggungan dengan obyek hak atas tanah, tidak mengakibatkan
eksistensi hipotek hapus dari tatanan hukum di Indonesia. Berdasarkan kelahiran UU Fidusia
sesungguhnya dari kandungan pengaturan obyeknya, muncul jenis pembagian benda secara
baru, yakni berupa penggolongan benda modal dan benda bukan modal. Adapun makna
sederhananya, bahwa yang dimaksud benda modal adalah benda yang dipergunakan untuk
menopang suatu usaha, baik itu berupa tanah yang tidak dapat dijadikan obyek hak
tanggungan, ataupun benda bukan tanah. Memang untuk masa sekarang sesuai
perkembangan, sangat dimungkinkan benda modal itu dibebani dengan lembaga jaminan
fidusia oleh pemilik benda yang tergolong besar kekuatan ekonominya, namun akan lebih
cocok bila itu sekedar sebagai jaminan tambahan untuk melengkapi jaminan pokok yang
sudah memakai lembaga jaminan lainnya. Kehadiran UU Hak Tanggungan dan UU Fidusia
pada kenyataannya lebih memperkaya lembaga jaminan kebendaan di Indonesia, kendati juga
Sejalan dengan berlakunya UUPA, hak atas tanah sebagai salah satu jenis benda, tentu
memiliki posisi sentral dalam kehidupan sosial, Nilai hak atas tanah serasa tak lekang oleh
panas dan tak lapuk oleh hujan, justru dari waktu ke waktu harga pasarnya terus meningkat.
Lahirnya UU Hak Tanggungan dengan secara tegas ditentukan macam hak atas tanah yang
mana sekiranya dapat dijadikan obyek jaminan tanpa perlu merujuk lembaga jaminan yang
berbeda beda. Keseragaman lembaga pengikatnya hak atas tanał harus tunggal dan sesuai
dengan prinsip-prinsip Hukun Jaminan Kebendaan di mana ciri-ciri unggul selaku hal
UU Hak Tanggungan sebagai jabaran lanjut dari UUPA yang sejak semula berlandas
pada Hukum Adat, maka sesungguhnya kalau disingkap lebih dalam, Hukum Adat tidak
mengenal apa yang dinamakan dengan hak pribadi dan hak kebendaan. Bila dirunut sesuai
dasarnya, yakni Hukum Adat, maka sulit dibayangkan apa bila hak tanggungan itu bukan
tergolong sebagai hak kebendaan, mengingat dalam pasal-pasal UU Hak Tanggungan justru
ciri-ciri unggul hak kebendaan sangat erat. Keberadaan ciri unggul hak kebendaan yang
tertera dalam UU Hak Tanggungan, misalnya dapat digeledah dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak
Tanggungan yang di dalamnya terselip pernyataan bahwa hak tanggungan itu mengandung
ciri preferensi. Kemudian Pasal 7 UU Hak Tanggungan yang mencerminkan adanya sifat
droit de suite. Ciri hak kebendaan lain yaitu asas spesialitas tercermin juga dalam Pasal 11
ayat 1 huruf e UU Hak Tanggungan. Demikian juga pentingnya peran asas publisitas dalam
hak kebendaan, tertayang jelas dalam Pasal 13 UU Hak Tanggungan. Mencermati ketentuan-
ketentuan tersebut, maka tak diragukan lagi bahwa hak tanggungan selayaknya harus
10. Fidusia
Lahirnya UU Fidusia menyusul terbitnya UU Hak Tanggungan. Terobosan hukum
yang secara historis muncul adalah lembaga jaminan berupa fidusia yang ternyata mampu
melayani kebutuhan para pengusaha kecil menengah yang jumlahnya relatif besar. Kelahiran
UU Fidusia disambut dengan baik oleh dunia bisnis, khususnya yang berkaitan dengan
Benda modal yang dibebani hak jaminan fidusia, sesuai karakternya harus tetap dikuasai
secara nyata oleh debitor untuk menjalankan usahanya supaya ada penghasilan yang sebagian
kebutuhan benda-benda modal yang diperlukan konsumen yang membelinya dengan cara
mengangsur. Obyek yang diikat dalam perjanjian jaminan fidusia tersebut, tak lain adalah
benda modal yang perolehannya dibeli dari pembeayaan yang dikucurkan oleh kreditor.
Perjanjian pembeayaan yang kemudian ditopang dengan perjanjian jaminan fidusia, sesuai
Pasal 1 angka 2 UU Fidusia, kedudukan piutang pihak yang mengeluarkan dana pembeayaan,
memiliki preferensi karena pelunasannya harus didahulukan dari kreditor lain. Berdasarkan
ketentuan tersebut maka piutang kreditor yang mengucurkan dana pembeayaan menjadi
tergolong sebagai piutang istimewa. Oleh sebab itulah sesual perkembangan di Indonesia,
jenis piutang istimewa dalam Pasal 1133 BW perlu ditambah, selain hak tanggungan juga
fidusia.
jika terjadi benturan di antara mereka, karena tidak ada ketentuan khusus yang dapat
bidang asuransi, di dalamnya ada sosok privilege yang dinyatakan pelunasan piutangnya
solusi yang tepat akibat tidak adanya norma yang bisa dipakai sebagai dasar hukum.
keberadaan berbagai jenis privilege saat ini, menjadi lebih parah lagi apabila privilege
tersebut lalu bertabrakan dengan jenis piutang istimewa lain seperti gadai, hipotek, hak
tanggungan, ataupun fidusia. Ketiadaan pasal yang dapat dipakai sebagai dasar penyelesaian
perbenturan antar privilege juga tabrakan dengan jenis piutang istimewa lainnya. Pada saat
ini harapan untuk mendapatkan solusi hanya dapat digantungkan pada hukum yurisprudensi