Anda di halaman 1dari 52

Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak akan

terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab


tanah merupakan tempat, bagi manusia untuk menjalani dan
metanjutkan kehidupannya. Oleh karena itu, tanah sangat
dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat sehingga sering
terjadi

sengketa

di

antara

sesamanya,

terutama

yang

menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang


mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Dalam Hukum Adat, tanah merupakan masalah yang sangat
penting. Hubungan antara manusiaa dengan tanah sangat erat,
seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tanah sebagai
tempat

manusia

untuk

menjalani

dan

melanjutkan

kehidupannya.
Tanah

sebagai

tempat

mereka

berdiam,

tanah

yang

memberi makan mereka, tanan di mana mereka dimakamkan


dan terjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungan
beserta arwah leluhurnya. Tanah adat merupakan milik dari
masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dahulu.
Tanah telah memegang peran vital dalam kehidupan dan
penghidupan bangsa, serta pendukung suatu negara, lebihlebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang
rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan
sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat merupakan suatu conditio shie qua non.
A.Hukum Tanah Adat dalam Hal Hak Persekutuan atau
Hak Pertuanan
Umat manusia ada yang berdiam di suatu pusat tempat
kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau ada
yang berdiam secara tersebar di pusat-pusat kediaman yang

sama nilainya satu sama lain di suatu wilayah yang terbatas,


yang dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah.
Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu,
mempunyai hak-hak tertentu atas tanah ituu dan melakukan
hak

itu

baik

keluar

maupun

ke

dalam

persekutuan.

Berdasarkan atas berlakunya hak tersebut ke luar, maka


persekutuan masyarakat hukum adat itu sebagai kesatuan
yang

berkuasa,

memungut

hasil

dari

tanah

itu

dengan

membatasi adanya orang-orang lain yang melakukan hal yang


serupa itu. Juga, sebagai suatu kesatuan masyarakat, mereka
bertanggung jawab terhadap orang-orang dari luar masyarakat
itu atas perbuatan-perbuatan pelanggaran di wilayah tanah
masyarakat itu.
Sifat yang khusus dari hak pertuanan atau persekutuan
terletak pada daya timbal-balik daripada hak itu terhadap hakhak yang melekat pada orang perorangan atau individu.
Semakin

kuat

memperdalam

hubungan

individu

hubungannya

dengan

dengan

hukum

tanah,

makin

perseorangan

(terhadap tanah itu), dan makin kecillah hak yang dimiliki


masyarakat terhadap sebidang tanah itu.
Apabila

anggota

persekutuan

melewati

batas

penggunaannya itu, misalnya melakukan penggarapan tanah


untuk kepentingan perdagangan (trading) dalam artian untuk
memperkaya

diri

sendiri,

maka

mereka

akan

diperlukan

seberapa jauh sebagai orang-orang dari luar persekutuan, yang


selanjutnya hak-hak persekutuan yang bersifat ke luar akan
diberlakukan terhadap mereka. Sekali laai di sini dapat terlihat
bahwa sifat tanah itu benar-benar adalah bersifat sosial
adanya.

Selanjutnya, anggota persekutuan masyarakat itu juga


memiliki hak untuk membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu
adanya penyelenggaraan suatu hubungan sendiri terhadap
sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan hak pertuanan.
Hak membuka tanah itu menurut hukum adat adalah hanya
salah

satu

daripada

fanda

munculnya

nak

persekutuan

atau beschikingsrecht dan hanya ada pada anggota-anggota


masyarakat atau tanah-tanah di lingkungan hak pertuanan itu
sendiri.
Para pernimpin masyarakat adat juga memiliki hak untuk
mencabut kembali hak pakai atas tanah karena alasan-alasan
tertentu. Misalnya, apabila lahan lama telah lama ditinggalkan,
atau si penggarap telah meninggal dunia tanpa mempunyai ahli
waris, atau karena suatu perjanjian tertentu masyarakat
hukum adat, atau karena si perjanjian telah berkelakuan
kurang baik terhadap persekutuan hukum.
Hak persekutuan atau pertuanan juga dapat berlaku ke luar.
Dalam hal . hak persekutuan atau beschikkingsrecht berlaku ke
luar, orang-orang di luar persekutuan, misalnya orang-orang
dari persekutuan tetangga, hanya boleh memungut hasil dari
tanah tersebut, dan atau sudah membayar dana pengakuan di
muka serta dana ganti rugi di kemudian hari. Hak sedemikian
ini hanya dapat dimiliki oleh orang tersebut dalam tempo yang
terbatas, biasanya dalam praktik yaitu satu kali panen saja,
dengan

kemungkinan

untuk

dilanjutkan

lagi.

Orang

luar

tersebut tidak akan pernah memiliki hak untuk memiliki tanah


tersebut, bahkan hak-hak mereka dapat saja dibatasi oleh
persekutuan dalani hal membuat perjanjian-perjanjian yang
berhubungan dengan tanah.

Hal

lain

yang

dapat

menimbulkan

konflik

di

bidang

pertanahan adalah karena tidak jelasnya pembatasan daerah


atau

tanah

persekutuan

atau beschikkingsrecht. Artinya,

ukuran yang digunakan dalam bidang pertanahan menurut


hukum adat adalahkonstruksi yuridis yang abstrak, sehingga
batas-batas pertanahan antara persekutuan hukum adat yang
satu dengan yang lainnya yang bertetanggaan sering kali
tidaklah jelas adanya. Ketika satu persekutuan hukum adat
mengklaim batas tertentu tanahnya, bisa jadi itu sudah
dianggap melampaui batas yang telah diklaim oleh persekutuan
hukum adat tetangganya.
Hal lain yang membuat aspek sedemikian itu rawan konflik,
adalah

adanya

pertuanan

prinsip
tersebut

bahwa

tanah

tidak

persekutuan
dapat

atau

dipindah-

tangankan (onvervreemdbaarheid). Artinya, pada waktu terjadi


perbedaan

pendapat

persekutuan

hukum

tentang
tentang

kepemilikan
batasbatas

hak

tanah

antar

tersebut,

masing-masing persekutuan hukum akan membela haknya


dengan segala cara. Mereka tidak akan pernah mengizinkan
haknya atas tanah yang telah mereka klaim, yang mungkin
telah terjadi untuk waktu yang cukup lama, lepas begitu saja.
Dalam hal beschikkingsrecht, yang dimaksnd adalah hak
menguasai atau memakai tanah. Hal ini merupakan pendapat
dari Prof. Van Vollenhoven. Sehingga, fungsi ke dalam maupun
ke luar dapat disimpulkan sebagai hak pakai oleh setiap warga
masyarakat daerah persekutuan atas tanah demi kepentingan
bersama

dalam

masyarakat

persekutuan lainnya.

daerah

persekutuan

serta

Sementara itu, ada juga hak perseorangan atau individu


atas tanah. Dalam hal ini ada beberapa hak perorangan atau
individu dalam tertib hukum masyarakat persekutuan, antara
lain hak milik atas tanah, yaitu hak yang dimiliki oleh anggota
persekutuan

terhadap

hak

ulayat.

Pada

dasarnya,

yang

bersangkutan belum mempunyai kekuasaan penuh atas tanah


yang dimilikinya atau dikuasainya tersebut. Artinya, belum bisa
menguasainya secara bebas, karena hak milik ini masih
mempunyai fungsi sosial. Fungsi sosial dimaksud akan terlihat
dengan jelas dan dibahas lebih lanjut dalam pokok bahasan
berikutnya. Sehingga, jika seandainya persekutuan sewaktuwaktu membutuhkan tanah itu, maka hak milik dapat menjadi
hak persekutuan kembali. Di Bali, hal seperti ini dikenal dengan
istilah kelakeran.
Hak menikmati, yaitu hak yang diberikan persekutuan pada
seseorang untuk memungut hasil darj tanah tersebut untuk
satu kali panen saja. Hak ini mirip dengan hak yang dinikmati
oleh orang asing atau orang luar persekutuan atas tanah
persekutuan. Hanya saja, perseorangan anggota persekutuan
tidak dituntut untuk membayar biaya atau ganti rugi tertentu.
Hak yang dibeli, vaitu hak yang diberikan pada seseorang
untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang lain.
Hal ini terjadi karena yang membeli itu adalah sanak saudara
dari si penjual, atau tetangganya, atau berasal dari satu
anggota persekutuan yang sama, Hak memungut hasil karena
jabatan, yaitu hak yang diberi pada seseorang atau individu
yang sedang memegang jabatan tertentu di dalam persekutuan
hukum adat tersebut, dan hak itu tetap ia miliki selama
memegang jabatan yang dimaksud seperti yang dibahas sebe-

lumnya; tanah bengkok di Jawa merupakan suatu contoh


konkret tentang hak ini.
Hak pakai yaitu hak yang diberikan kcpada seseorang untuk
mengambil hasil dan sebidang tanah. Misalnya, di Minang ada
hak atau sawah pusaka, sedang anggota-anggota persekutuan
mempunyai hak pakai atas tanah-tanah bagian sawah pusaka
yang dibagikan kepada mereka untuk dipungut hasilnya yang
sering disebut gamggan bantuak, di mana anggota-anggota
persekutuan juga mernpunyai hak pakai atas tanah kerabat
yang tidak dapat dibagi-bagi, dan tokoh-tokoh hukum adat
setempat yang serupa dengan itu.
Hak gadai dan hak sewa, yaitu hak-hak yang timbul karena
perjanjian atas tanah. Hak gadai dari si pemegang gadai, juga
halnya seseorang yang menyewa tanah dengan pembayaran
uang sewa lebih dahulu. Hak raja, yaitu hak yang diberikan
pada raja untuk memungut hasil karena kedudukannya.
Sebagaimana telah diketahui, sebelum berlakunya UUPA di
Indonesia terdapat dualisme dalam hukum pertanahan, yaitu
yang bersumber pada Hukum Adat dan yang bersumber pada
Hukum

Barat.

UUPA

mengakhiri

dualisme

tersebut

dan

menciptakan unifikasi Hukum Tanah Nasional kita.


Sumber-sumber Hukum Tanah Nasional kita berupa normanorma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis,
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

1. Sumber-sumber hukum yang tertulis:


Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3);
Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960);
Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA;
Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA; yang dikeluarkan
sesudah tanggal 24 September 1960 yang karena sesuatu masalah perlu diatur;

5.

Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan.

2. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis :


1.
Norma-norma Hukum Adat yang sudah di-saneer;
2.
Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan praktik Administrasi.
Dalam hal tersebut, termasuk pula didalamnya kebiasaan
dan tingkah laku orang Indonesia terhadap tanah, yaitu
1.
2.
3.

sebagai berikut :
Hak membuka tanah
Transaksi-transaksi tanah
Transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah
Menurut penulis, Hukum Tanah Adat adalah hak pemilikan
dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat
adat pada masa lampau dan masa kini, ada yang tidak
mempunyai

bukti-bukti

kepemilikan

secara

autentik

atau

tertulis, yaitu hanya didasarkan atas pengakuan serta ada pula


yang mempunyai bukti autentik.
Hukum Tanah adat terdiri dari dua jenis, pertama hukum
tanah adat masa lampau. Hukum Tanah Adat masa lampau
ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman
penjajahan Belanda dan Jepang, serta pada zaman Indonesia
merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan secara autentik
maupun tertulis. Jadi, hanya berdasarkan pengakuan ciri-ciri
Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah dimiliki
dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat
adat

yang

memiliki

dan

menguasai

serta

menggarap,

mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai


dengan, daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian
secara turun-temurun masih berada.

Kedua, hukum tanah adat masa kini, yaitu hak memiliki dan
menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka
tahun 1945 sampai sekarang, dengan bukti autentik berupa:
1. Girik, Petuk Pajak, Pipil
Misalnya di DKI Jakarta, girik terdiri dari 2 (dua) jenis, girik
milik adat yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh pribumi yang
telah

didaftarkan

sebelum

dan

sesudah

tahun

1945.

Tanah. tersebut pada umumnya di atas tanah hak barat dan


memang dari semula sudah dikuasai oleh pribumi. Kemudian
apabila dimohon haknya .sesuai dengan Ketentuan Peraturan
Menteri Pertanian dan Agraria, dapat diterbitkan sertifikat hak
milik. Untuk mengetahui status tanahnya dapat dilihat dari
riwayat tanah. Dahulu yang menaeluarkan riwayat tanah
adalah Instansi Pajak Bumi dan Bangunan dan pada saat ini
adalah Kantor Kelurahan atau Kepala desa setempat.
2. Hak Agrarisch Eigendom
Hak Agrarisch

Eigendom adalah

suatu

hak

ciptaan

pemerintah Belanda yang bertujuan akan memberikan kepada


orang-orang Indonesia suatu hak atas tanah yang kuat.
3. Milik Yayasan
Milik
partikelir

yayasan

adalah

yang

tanah-tanah

diberikan

usaha

kepada

bekas

penduduk

tanah
yang

mempunyainya dengan hak milik (hak yasan = hak milik adat).


Lihat ketentuan Pasal 5 UU No.1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
4. Hak atas Druwe
Hak atas druwe adalah istilah hak milik yang dikenal di
lingkungan masyarakat hukum adat di Bali.
5. Hak atas Druwe Desa

Hak atas druwe desa adalah bila masyarakat mernbeli tanah


untuk dipakai buat kepentingan-kepentingannya sendiri, maka
di sini dapat disebut "hak miliknya" dusun atau wilayah.
Dikenal dalam masyarakat Bali dengan istilah hak atas druwe
desa.
6. Pesini
Pesini ialah harta kerabat tak terbagi-bagi yang di Minahasa
disehat dengan barang kalakeran. Mengenai keadaan tetap tak
terbagi-baginya

barang

yang

diperoleh

atas

usaha

perseorangan, yaitu barang pesini, misalnya tanaman-tanaman


di atas tanah kalakeran, maka bila pemiliknya itu mati lantas
diwarisi sebagai harta bersama dari golongan anak-cucunya
orang yang meninggal dunia itu. Jadi, golongan anak cucunya
merupakan

sebagian

kecil

dari

kerabat

seluruhnya

yang

memiliki harta kalakeran.


7. Grant Sultan
Grant Sultan adalah semacam hak milik adat, diberikan oleh
Pemerintah Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja, dan
didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.
8. Landerijenbezitrecht
Tanah-tanah landerijenbezitrecht oleh

Gouw

Giok

Siong

disebut tanah-tanah Tionghoa, karena subjeknya terbatas pada


golongan Timur Asing, terutama golongan Cina.
9. Altidjddurende Erfpacht
Altidjddurende Erfpacht adalah pemilikan tanah persil yang
berada di bawah sewa turun-temurun untuk selama-lamanya.
(S.1915 No. 207, Pasal 1 ayat (1), Dalam Terjemahan
BeberapaStaatsblad dan Bijblad tentang

Pengaturan

Tanah

Partikelir, Jakarta, 5 Juli 1988, hlm. 4). Golongan Timur Asing

di sekitar Jakarta banyak yang mempunyai tanah di atas apa


yang disebut "tanah partikelir" dengan "hak usaha", seperti
orang-orang pribumi.
10. Hak Usaha atas Tanah Bekas Partikelir
Tanah usaha adalah bagian-bagian tanah partikelir yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dari Peraturan tentang TanahTanah Partikelir (S.1912-422). Lihat Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah
Partikelir. Pasal 6 ayat (1) 5.1912 Nomor 422 mengatakan:
"Semua tanah yang oleh penduduk pribumi dan penduduk yang
disamakan dengan mereka diolah, digarap atau dipelihara atas
biaya dan risiko sendiri untuk dijadikan tempat tinggal atau
semacam

itu,

kecuali

kekecualian

yang

terdapat

dalam

reglemen ini, dianggap diberikan sebagai Tanah Usaha, dengan


syarat membayar kepada Tuan Tanah, pungutan-pungutan
yang dalam hubungan itu harus dibayarnya.
11. Fatwa Ahli Waris
Fatwa ahli waris adalah jawab (keputusan, pendapat) yang
diberikan oleh Bukti terhadap suatu masalah (dalam hal ini
masalah pewarisan).
12. Akte Peralihan Hak
Akte

peralihan

hak

adalah

perubahan

data

yuridis

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa peralihan hak


karena jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
peralihan

hak

karena

warisan,

peralihan

hak

karena

penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi dan


peralihan hak tanggungan.
13. Surat Segel di Bawah Tangan

Yaitu perbuatan hukum mengenai peralihan sebidang tanah


atas kesepakatan para pihak dan pemberian sepihak yang tidak
dibuat

oleh

pejabat

yang

berwenang.

Perbuatan

hukum

semacam ini pada umunuiya dilakukan masyarakat dan badan


hukum scbelum berlalunya PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah.
14. Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding Indonesia)
Surat

Pajak

Hasil

Bumi (Verponding

Indonesia) adalah

tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh pribumi yang


berada di atas hak-hak barat dulunya. Kemudian didaftar di
Kantor Pajak Pendaftaran Daerah dulunya sekitar tahun 1960
sampai dengan tahun 1964. Khusus di wilayah Provinsi DKI
Jakarta, surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia) ini oleh
Kantor Pajak Pendaftaran Daerah telah diserahkan kepada
Kantor

Wilayah

Badan

Pertanahan

Nasional

Provinsi

DKI

Jakarta dan riwayat tanahnya dapat diperoleh dari Kanwil BPN


Provinsi DKI Jakarta. Dan kalau dimohon haknya bisa menjadi
hak milik.
15. Hak-Hak Lainnya Sesuai dengan Daerah Berlakunya
Hukum Adat tersebut
Selain hak-hak di atas, masih terdapat hak-hak tanah adat
sesuai dengan perkara yang telah putuskan oleh pengadilan.
1. Hak Perorangan
Hak perorangan ialah hak yang diberikan kepada warga
desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada
diwilayah hak ulayat persekutuan yang berasangkutan. Hak ini
termasuk dalam hak ulayat, dan merupakan hak pribadi kodrati
atas lingkungan tanah dari masyarakat hukum adat, dimana ia
menjadi anggotanya.

Sifat dan ciri-ciri hak miliki :


1. Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga
harus didaftarkan.
2. Dapat

beralih,

artinya

dapat

diwariskan

kepada

ahli

warisnya. (Pasal 20 UUPA).


3. Dapat dialihkan kepada pihak yang menienuhi syarat. (pasal
20 jo. Pasal 26 UUPA).
4. Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain,
artinya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu
hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak
usaha bagi hasil, dan hak menumpang.
2. Subjek Hak Milik
Dalam kaitannya dengan hak milik atas tanah, maka
hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik,
seperti yang secara tegas dirumuskan dalam Pasal 21 UUPA:
(1) Hanya warga Regara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini
memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
pencampuran

harta

karena

perkawinan,

demikian

pula

warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan


setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu
satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah angka waktu tersebut
lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara,
dengan ketentuan dan tanahnya jatuh pada negara, dengan

ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya


tetap berlangsung.
(4) Selama

seseorang

di

samping

kcwarganegaraan

Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia


tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya
berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.
3. Terjadinya Hak Milik
Terjadinya hak milik atas tanah merupakan rangkaian
pemberian hak atas tanah yang diatur di dalam UUPA, yang di
dalam Pasal 22 UUPA disebutkan:
(1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini, hak milik terjadi karena:
1.
penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
2.
Ketentuan undang-undang.
4. Pembebasan
Pasa1 24 UUPA menyebutkan bahwa penggunaan tanah
milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan
peraturan perundangan. Pasal ini memberikan kemungkinarn
untuk membebani hak milik dengan hak atas tanah lain.
Kebutuhan nyata dari masyarakat menuntut agar diberikan
kesempatan kepada bukan pemilik untuk mempergunakan
tanah hak milik. Inilah yang menjadi alasan bahwa hak miliki
dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah lainnya. Hak-hak
yang dapat membebani hak milik adalah hak guna bangunan,
hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang.

5. Peralihan
Hak

milik

(dialihkan)

dapat

dengan

dipindah
cara

jual

haknya
beli,

kepada

hibah,

pihak

lain

tukar-menukar,

pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang


dimaksudkan untuk memindahkan hak milik. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 26:
(1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan
wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan
lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta
pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah.
(2) Setiap

jual

dengarn

beli,

wasiat

penukaran,
dan

dimaksudkan

untuk

memindahkan

hak

penghibahan,

perbuatan-perbuatan
langsung

milik

kenada

atau
orang

pemberian
lain

tidak

yang

langsung

asing,

kepada

seorang warga negara yang di sacnping kewarganegaraan


Indonesianya

mempunyai

kewarganegaraan

asing

atau

kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh


pemerintah tennaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal
karena hukum dan tanalulya jatuh kepada negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah
diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
B. Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal
Peraturan yang Tengatur tentang pemberian hak milik atas
tanah untuk rumah tinggal adalah Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun
1998.
Peraturan
kontroversial

ini

menurut

selama

kurun

pengamatan
waktu

penulis

Undang-Undang

sangat
Pokok

Agraria Nomor 5 Tahun 1960, sehingga penulis berpendapat


antara lain :
1. Untuk hak milik atas tanah di wilayah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta sebaiknya untuk sementara waktu
tidak diberikan.
2. Untuk wilayah lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
badan hukum yang diperbolehkar. mempunyai hak milik
1.
2.

3.
4.

adalah
Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank
Negara);
Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No.79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958
No.139);
Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria,
setelah mendengar Menteri Agama;
Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria,
setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Selanjutnya, peraturan tertanng pemberian hak untuk
yang dimaksud, menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah
tinggal kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia
yang luasnya 600 M2 (enam ratus meter persegi) atau
kurang, atas permohonan yang bersangkutan dihapus dan
diberikan kembali kepada bekas pemegang haknya dengan
Hak Milik.
2. Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk
rumah

tinggal

kepunyaan

perseorangan

warga

negara

Indonesia yang luasnya 600 M2 (enam ratus meter persegi)


atau kurang yang sudah habis jangka waktunya dan masih
dipunyai

oleh

bekas

pemegang

hak

tersebut,

atas

permohonan yang bersangkutan diberikan Hak Milik kepada


bekas pemegang hak.
PERALIHAN HAK ATAS TANAH
A. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat
Jual belitanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara
tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan, sampai
sekarang

belum

ada

peraturan

yang

mengatur

khusus

mengenai pelaksanaan jual beli tanah.


Dadala pasal 5 UUPA terdapat pernyataan bahwa Hukum
Tanah

Nasional

kita

adalah

Hukum

Adat,

berarti

kita

menggunakan konsepsi, asas-asas lembaga hukum dan sistem


Hukum Adat.Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum Adat
yang telah di-saneer yang telah dihilangkan cacat-cacatnya/
disempurnakan. Jadi pengertian jual beli tanah menurut Hukum
Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah menurut
Hukum Adat.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa sumber-sumber
Hukum Tanah Nasional kita berupa norma-norma hukum yang
berbentuk tertulis dan tidak tertulis, sumber-sumber huukum
yang tertulis berupa Undang-Undang Dasar 1945, UUPA,
peraturan- peraturan pelaksana UUPA, dengan peraturanperaturan lama yang masih berlaku.Adapun sumber-sumber
hukum yang tidak tertulis adalah norma-norma Hukum Adat
yang telah di-saneer dan Hukum kebiasaan baru, termasuk
yurisprudensi.
Dengan demikian ada 2 fungsi atau peranan dari Hukum
Adat. Yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah
Nasional dan sebagai pelangkap dari ketentuan-ketantuan
Hukum Tanah yang belum ada peraturannya agar tidak terjadi

kekososngan Hukum karena hukumnya belum diatur sehingga


kegiatan masyarakat yang berhibungan dengan Hukum Tanah
tidak terhambat karenanya.
Menurut

Hukum

Adat,

jual

beli

tanah

adalah

suatu

perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan


damai.
Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan
jual belinya belum tentu mempunyai uang tunai sebesar harga
tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang demikian ini berarti
pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga
tanah uyang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas
( hanya sebagian saja). Belum lunasnya harga tanah yang
ditetapkan tersebut tidak menghalangi pemindahan haknya
atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dinggap telah
selesai.Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli
kepada

penjual

dianggap

sebagai

utang pembeli

kepada

penjual.Jadi hubungan ini merupakan hubungan utang piutang


antara penjual dan pembeli.
Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukan da;lam
hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum
tanah,

tidak

dalam

hukum

perikatan

khususnya

hukum

perjanjian, hal ini karena :


1.
Jual beli tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian,
sehingga tidak diwajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut
2.
Jual beli tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan
kewajiban, yang ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi
apabila para pembeli baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar
sisanya maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah
tersebut.

Ciri-ciri yang menandai dari jual beli tersebut antara lain ,


jual beli serentak selesai dengan tercapai persetujuan atau
persesuaian kehendak ( konsesnsus ) yang diikuti dengan
ikrar/pembuatan
Persekutuan

kontrak

hukum

yang

jual

beli

berwenang,

dihadapan

Kepala

dibuktikan

dengan

pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut dengan


kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada
pembeli. Dengan terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas
tanah telah berpindah, meskipun formalitas balik nama belum
terselesaikan. Kemudian ciri yang kedua adalah sifatnya yang
terang, berarti tidak gelap. Sifat ini ditandai dengan peranan
dari Kepala Persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan
itu sudah cukup tertib dan sah menurur hukumnya.
Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata
sepakat antara calon penjual dengan cal;on pembeli mengenai
objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan
harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah diantara
mereka sendiri setelah mereka sepakat atas harga tanah itu,
biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer.
Jual beli tanah dalam sistem Hukum Adat mempunyai 3
muatan, yaitu:
1. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai
sedemikian

rupa

dengan

hak

untuk

mendapatkan

tanahnya kembali setelah membayar uang yang pernah


dibayarkan. Antara lain, menggadai, menjual gade, adil
sende, ngejual akad atau gade.
2. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai
tanpa hak untujk membeli kembali, jadi menjual lepas

untuk

selama-lamanya.

Antara

lain,

adol

plas,

runtemurun, menjual jaja.


3. Pemindhan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan
perjanjian setelah beberapa panen dan tanpa tindakan
hukum tertentu tanah akan kembali ( menjual tahunan,
adol oyodan ).
B. Jual Beli Tanah Menurut UUPA
Dalam UUPA istolah jual beli hanya disebutkan dalam pasa
26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah.
Dalam pasal-pasal lainnya tidak ada kata yang menyebutkan
jual beli , tetapi disebutkan sebagai dialihkan.
Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA
tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi mengikat dalam
pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional dan
Hukum Adat. Berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas,
lembaga hukum, dan sistem Hukum adat.Maka pengertian jual
beli menurut Hukun Tanah Nasional adalah pengertian jual beli
tanah menurut hukum adat.Hukum Adat yang dimaksud adalah
Pasal 5 UUPA tersebut adalah hukum adat yang telah disaneer yang dihilangkan dari cacat-cacatnya/ hukm adat yang
telah disempurnakan/ hukum adat yang telah dihilangkan
kedaerahannnya dan diberi sifat nasional.
Perjanjian jual beli tanah menurut hukum adat merupakan
perbuatan pemindahan hak, yangh sefatnya tunai, riil dan
terang.

Sifat

tunai

berarti

bahwa

penyerahan

hak

dan

pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil


berarti bahwa de3ngan mengucapkan kata-kata dengan mulut
saja belumlah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam Putusan
MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.

Sejak berlakunya PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran


Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan PPAT yang
bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli
diahadapan PPAT, dipenuhi syarat terang ( bukan perbuatan
hukum

yang

gelap,

yang

dilakukan

secara

sembunyi-

sembunyi )
Syarat jual beli tanah ada 2, yaitu :
1.Syarat Materiil
Syarat Materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli
tanah tersebut, antara lain sebagai berikut :
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan
Maksudnya pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi
syarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya.untuk
menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh
hak atas tanah yang dibelinya tergfantung pada hak apa
yang ada pada tanah tersebut.Apakah Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, atau Hak Pakai. Menurut UUPA yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah hanya warga negara
Indonesia tunggal dan badan-badan hukum yang ditetapkan
oleh pemerintah ( pasal 21 UUPA ) jika pembeli mempunyai
kewarganegaraan

asing

disamping

kewarganegaraan

Indonesianya atau kepada suatu badan hukum yang tidak


dikecualikan oleh pemerintah, maka jual beli tersebut batal
karena hukum dan tanah tersebut jatuh pada negara ( pasal
26 ayat 2 UUPA).
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tertentu saja si
pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang
disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang tanah hanya satu

orang,

maka

ia

berhak

untuk

menjual

sendiri

tanah

tersebut.Akan tetapi pemilik tanah adalah 2a oarang maka


yang berhak menjual tanah itu adalah kedua orang itu
bersama-sama.
c. Tanah hak yang bnersangkutan boleh diperjual belikan dan
tidak sedang dalam sengketa.
Mengenai tanah-tanah hak apa yang boleh diperjual belikan
telah ditentukan dalan UUPA yaitu hak milik ( pasal 20), hak
guna Usaha ( pasal 28), hak guna bangunan ( pasal 35 ),
hak pakai ( pasal 41 ),
2. Syarat formal
Setelah semua persyaratan materiil telah dipenuhi maka PPAT (
Pejabat Pembuat Angka Tanah ) akan membuata akta jual
belinya. Akta jual beli menurut pasal 37 PP 24/1997 harus
dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa dihadapan
PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada hukum adat
( pasal 5 UUPA), sedangkan dalam hukum adat sistem yang
dipakai adalah sistem yang konkrit/nyata/riil.
Sebelum akta jual beli dibuat PPAT, maka disyaratkan bagi
para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan
kepada PPAT, berupa:
1. Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanhanya yang
asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.
2. Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa
tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang
ada yang memerlukan penguatan oleh kepala desa dan
camat, dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan
identitas penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk
persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak


akta

tersebut

tersebut

ditandatangani

kepada

kantor

PPAT

menyerahkan

pendafratan

akta

tanah

untuk

seseorang

kepada

pendaftaran pemindahan haknya.


C. Penghibahan Tanah
Hibah

tanah

merupakan

pemberian

orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan


secara sukarela, tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima
pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si
pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda dengan wasiat, yang
mana

wasiat

diberikan

dunia.Pengertian

Hibah

sesudfah
juga

diatur

si

wasiat
dalam

meninggal
pasal

1666

KUHPerdata.
Kekuatan huku akta hibah terletak pada fungsi akta autentik
itu sendiri yakni sebagai alat bukti yang sah menurut UU
sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang merupakjan
keharusan dari ketentuan per-Undang-Undangan, bahwa harus
ada akta-akta autentik sebagai alat pembuktian.
Hal-hal yang membatalkan akta Hibah telah dijelaskan
dalam pasal 1688 BW. Suatu hibah tidak dapat ditarik kembal;i
maupun

dihapuskan

karenanya

melainkan

dalam

hal-hal

berikut.
a. Karena

tidak

dipenuhi

syarat-syarat

dengan

mana

penghibahan telah dilakukan.


b. Jika penerima hibah
membantu

telah

melakukan

bersalah
kejahatan

melakukan atau
yang

bertujuan

mengambil jiwa si penghibah atau suatu kejahatan lain


terhadap si penghibah.

c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si


penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan.
Dalam

menyelesaikan

masalah

dalam

penghibahan

hendaknya tidak melihat satu pasal tentang hibah saja, akan


tetapi nperlu juga melihat pasal lain yang terkait dengan objek
yang dihibahkan dalam BW dan juga peraturan perundanangan
untuk refisi KUHPerdata mendatang, penyebutan akta notaris
diganti dengan akta autentik, baik hibah untuk benda-benda
bergerak maupun tidak bergerak.
D. Pewaris Tanah
Perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi karena
pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan pasal
26 UUPA. Pewaris dapat terjadi karena ketentuan UndangUndang atau karena wasiat dari orang yang mewasiatkan.
Dengan jatuhnya tanah kepada para ahli waris, terjadilah
pemilikan bersama tanah hak milik jika tanah tersebut hanya
satu-satunya.Akan tetapi, jika pewaris memiliki tanah tersebut
sesuai dengan jumlah ahli waris dan telah dibuatkan surat
wasiat maka tanah dimaksud telah menjadi milik masingmasing ahli waris.
Untuk memperoleh kekuatan pembuktian tanah dari hasil
pewarisan, maka surat keterangan waris sanagat diperlukan
disamping sebagai dasar untuk pendaftaran tanahnya.Namun
sampai saat ini, untuk memperoleh surat keterangan waris,
hukum yang berlaku bagi WNI masih berbeda-beda.
Sejak berlakunya peraturan pemerintah No.10 Tahun 1961
tentangh Pendaftaran Tanah, dan sesuai dengan pasal 25, surat
keterangan warisan itu merupakan suatu keharusan.hanya
saja,

pejabat

yang

berwengang

untuk

membuat

surat

keterangan

warisan

itu

belum

ditentukan.

Untuk

menyeragamkan masalah surat keterangan waris, dengan


1.
2.
3.
4.

memperhatikan penggolongan warga negara, maka:


Golongan keturunan Eropa, surat keterangan waris dibuat oleh notaris.
Golongan penduduk asli/pribumi, surat keterangan waris oleh para ahli
waris, disaksikan oleh lurah, diketahui oleh camat.
Golongtan keturunan Tionghoa oleh notaris.
Golongan keturunan Timur Asing lainnya surat keterangan waris dibuat
oleh balai harta peninggalan.
E. Perwakafan Tanah
Menururt Moh. Anwar wakaf ialah menahan suatu barang
dari dijualbelikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik,
guna dijadikan manfaat untuk kepentingan tertentu yang
diperbolehkan oleh orang yang ditentukan Syara` serta tetap
bentuknya, dan boleh dipergunakan, diambil manfaatnya oleh
orang yang ditentukan ( yang menerima wakaf) atau umum
menurut David Pearl dalam bukunya A taxtbook on Moslem
Law , ( 1979 ) Wakaf adalah Menyerahkan tanah atau bendabenda lain yang dapat dimanfaatkan oleh umat islam tanpa
merusak atau menghabiskan pokoknya kepada seseorang atau
suatu

badan

hukum

agar

dapat

dimanfaatkan

untuk

kepentingan umat islam seperti mewakafkan tanah untuk


pembangunan Mesjid, Madrasah, Pondok Pesantren, Asrama
yatim Piatu, dsb.Keberadaan wakaf telah mendapat pengakuan
UUPA seperti yang telah terkandung dalam pasal 49.
Ruang lingkup pengaturan perwakafan tanah mencakup :
1.
Tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah yang berstatus hak milik,
karena ia mempunyai sifat terkuat dan terpengaruh bagi si pemilik tanah
tersebut, sehingga dari siafat tersebut si pemilik tanah tidak terikat dengan
tenggang waktu dan persyaratan tertentu dengan pemilikan dan penggunaannya.

2.

3.
4.
5.
6.

Oleh karena itu, apabila tanah itu diwakafkan, tidak menimbulkan akibat yang
dapat mengganggu sifat kekekalan dan keabadian kelembagaan wakaf tanah.
Perwakafan tanah harus diperuntukan untuk masyarakat banyak, bukan
untuk kepentingan pribadi, karena akan mendatangkan manfaat dan maslahat
bagi masyarakat. Ketentuan ini melekat pada hak atas tanah yang dianut dalam
UUPA.
Tanah wakaf terlembagakan untuk selama-lamanya dalam waktu yang
kekal dan abadi. Tidak ada wakaf yang bertentangan waktu tertentu.
tujuan peruntukan sebagai kepentingan peribadatan atau kepentingan
umum.
Wakaf memutuskan hubungan kepemilikan antara wakif dengan
mauqufbih-nya selanjutnya status pemiliknya menjadi milik masyarakat luas.
Wakif tidak mbiasa menarik kembali terhadap tanah yang telah
diwakafkan.
7. Ikrar harus dilakukan didepan pejabat pembuat akta ikrar
wakaf, guna mendapatkan akta autentik yang akan dapat
dipergunakan

dalam

berbagai

hal

seperti

untuk

mendaftarkan tanahnya kepada kepala kantor badan


pertanahan

Nasional

ataupun

sengketa

yang

terjadi

dikemudian hari.

Secara umum dan awam, orang menyebut tanah adat ada 2 pengertian:

Peraturan

Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.


1. Tanah Bekas Hak Milik Adat yang menurut istilah populernya adalah Tanah Girik, berasal dari tanah
adat atau tanah-tanah lain yang belum dikonversi menjadi salah satu tanah dengan hak tertentu (Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak Guna Usaha) dan belum didaftarkan atau
disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Sebutannya bisa bermacam-macam: girik, petok,
rincik, ketitir dan lain sebagainya; atau

2. Tanah milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti: tanah titian, tanah pengairan,
tanah kas desa, tanah bengkok dll (sebagai referensi silakan baca Pengolaan dan Pemanfaatan
Tanah Bengkok). Untuk jenis tanah milik masyarakat hukum adat ini tidak bisa disertifikatkan begitu

saja. Kalau pun ada, tanah milik masyarakat hukum adat dapat dilepaskan dengan cara tukar guling
(ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah tersebut terlebih dahulu oleh kepala adat.

Untuk tanah bekas hak milik adat yang berbentuk Girik (poin 1) di atas, jika pihak yang hendak
melakukan proses penyertifikatannya merupakan pemilik asli yang tercantum dalam tanah adat tersebut,
maka tidak diperlukan adanya jual beli terlebih dahulu.

Jika sudah terjadi pewarisan misalnya, maka harus didahului dengan pembuatan keterangan waris dan
prosedur waris seperti biasa (silakan baca Pemilikan Tanah Secara Warisan dan Pemilikan Tanah
Secara Warisan (2)).

Sedangkan jika perolehan haknya dilakukan melalui mekanisme jual beli, maka harus di ikuti lebih dahulu
proses jual belinya sebagaimana diuraikan dalam artikel saya JUAL BELI & BALIK NAMA SERTIFIKAT.

Penyertifikatan tanah adat dalam istilah hukum pertanahan dikenal dengan pendaftaran tanah untuk
pertama kali, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang
belum didaftar. Kegiatan ini ada dua jenis, pertama, pendaftaran tanah secara sistematis, yang
diprakarsai oleh pemerintah. Yang kedua, pendaftaran tanah secara sporadis yang dilakukan
mandiri/atas prakarsa pemilik tanah. Kedua kegiatan ini tidak perlu didahului dengan proses jual beli.
Lebih lanjut bisa dibaca juga dalam artikel saya Pensertifikatan Tanah Secara Sporadik.

Kembali ke pertanyaan Anda, yang akan dilakukan adalah jenis yang kedua, yaitu secara sporadis, Anda
dapat meminta bantuan PPAT yang wilayah kerjanya sesuai dengan letak objek tanah yang akan
didaftarkan.

Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi adalah:


1. Surat Rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang akan didaftarkan.
2. Membuat surat tidak sengketa dari RT/RW/Lurah.
3. Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan penyertifikatan (surat ini bisa diperoleh di
Kantor Pertanahan setempat).
4. Surat kuasa (apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain, misalnya PPAT).
5. Identitas pemilik tanah (pemohon) yang dilegalisasi oleh pejabat umum yang berwenang (biasanya
Notaris) dan/atau kuasanya, berupa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, surat keterangan waris dan
akta kelahiran (jika permohonan penyertifikatan dilakukan oleh ahli waris).
6. Bukti atas hak yang dimohonkan: girik/petok/rincik/ketitir atau bukti lain sebagai bukti kepemilikan.
7. Surat pernyataan telah memasang tanda batas.
8. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Tanda Terima Sementara (STTS)
tahun berjalan.
Setelah semua dilengkapi dan didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat, maka rangkaian kegiatan
pendaftaran tanah pun dimulai. Pihak Kantor Pertanahan akan meninjau lokasi dan mengukur tanah,
menerbitkan gambar situasi/surat ukur, memproses pertimbangan Panitia A, pengumuman, pengesahan
pengumuman, pemohon membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai
dengan luas yang tercantum dalam gambar situasi/uang pemasukan, dan yang terakhir, penerbitan
sertifikat tanah. Biasanya proses ini memakan waktu tiga bulan, tetapi bisa juga lebih, tergantung kondisi
di lapangan.

Secara umum, istilah tanah bengkok cukup popular dan


dikenal oleh masyarakat kita. Namun tidak semua orang
mengerti secara tepat apa yang dimaksud dengan tanah
bengkok itu. Baik dari sisi pengaturannya maupun
kepemilikannya. Dalam praktik di masyarakat, sengketa
tanah bengkok ini cukup banyak terjadi. Seringkali tanah
bengkok ini diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi
sehingga menjadi konflik.

Apa yang dimaksud dengan tanah bengkok

itu?
Sebenarnya, tanah bengkok adalah bagian dari tanah desa
yang merupakan Tanah Kas Desa. Jadi tanah tersebut
diperuntukkan bagi gaji pamong desa, yaitu: Kepala Desa dan
Perangkat Desa. Mereka mempunyai hak untuk memperoleh
penghasilan dari atas tanah yang diberikan oleh desa untuk
memelihara kehidupan keluarganya dengan cara

mengerjakan hasilnya dari hasil tanah itu karena jabatannya,


jika di lain waktu yang bersangkutan tidak lagi menjabat
sebagai pamong desa, maka tanah bengkok tersebut menjadi
tanah kas desa. Menurut Permendagri No. 4 tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, pada Pasal 2
dan pasal 3, Tanah bengkok yang merupakan Tanah Kas Desa
adalah bagian dari Kekayaan Desa dan Kekayaan desa
menjadi milik desa. Kekayaan desa tersebut dibuktikan
dengan dokumen kepemilikan yang sah atas nama desa.

Siapa yang berwenang di dalam pengelolaan dan


pemanfaatan Kekayaan Desa?
Di dalam PP No. 72 tahun 2005 pasal 7 di sebutkan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a.

Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak

asal usul desa;


b.

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada


desa;
c.

tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi,

dan Pemerintah Kabupaten / Kota; dan

d.

urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan

perundang undangan diserahkan kepada desa.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan


Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada
Desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung
dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan
masyarakat (Pasal 8). Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan penyerahan urusan yang menjadi kewenangan
Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada
Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
dengan berpedoman pada Peraturan Menteri dan penyerahan
urusan pemerintahan disertai dengan pembiayaannya(Pasal
9). Dalam hal ini yang dimaksud dengan Pemerintahan Desa
adalah Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Perangkat Desa)
dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa).Tugas Kepala Desa
mencakup pengajuan rancangan peraturan desa,
menetapkan peraturan desa yang telah mendapat
persetujuan bersama BPD serta menyusun dan mengajukan
rancangan peraturan desa mengenai APB Desa untuk dibahas
dan ditetapkan bersama BPD. Dalam hal ini Tanah Bengkok

yang merupakan bagian dari Kekayaan Desa dikelola dan


dimanfaatkan oleh Pemerintahan Desa untuk kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan Peraturan Bupati /
Walikota.

Lalu, bolehkan tanah bengkok


sebagai Kekayaan Desa dijadikan hak milik oleh
Kepala Desa?
Di dalam Permendagri No. 4 tahun 2007 pasal 15 mengenai
Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa
disebutkanbahwaKekayaan Desa yang berupa tanah Desa
tidak diperbolehkan dilakukan pelepasan hak kepemilikan
kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan
umum.

Pelepasan hak kepemilikan tanah desa dilakukan setelah


mendapat ganti rugi sesual harga yang menguntungkan desa
dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Objek

Pajak (NJOP).Pemberian ganti rugi berupa uang harus


digunakan untuk membeli tanah lain yang lebih baik dan
berlokasi di Desa setempat.Pelepasan hak kepemilikan tanah
desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa. Keputusan
Kepala Desa diterbitkan setelah mendapat persetujuan BPD
dan mendapat ijin tertulis dari Bupati/Walikota dan Gubernur.

Pemerintah Daerah memiliki kebijakan masing-masing di


dalam mengelola tanah bengkok ini. Misalnya Kebijakah
Pemkab Gorobogan seperti yang diulas di dalam suara
merdeka.com para sekretaris desa (sekdes) di Kabupaten
Grobogan yang diangkat menjadi PNS pada tahun 2010 akan
menerima gaji dari status PNS-nya ditambah 50% dari uang
hasil pemanfaatan tanah bengkok. Menurut Sekda Grobogan
H Sutomo HP didampingi Kabag Pemdes Agung Sutanto,
keputusan itu tidak menyalahi aturan, karena di Kabupaten
Grobogan sekdes tidak menerima dobel gaji. Sementara
tambahan 50% dari uang hasil pemanfaatan tanah bengkok
adalah sebagai tunjangan kinerja. Sementara itu, saat ini
atau sebelum ada aturan baru, sekdes yang telah diangkat
menjadi PNS masih berhak menggarap 50% dari tanah
bengkok yang pernah diberikan desa sebelum mereka
diangkat menjadi PNS.Untuk tahun 2009, sekdes yang
diangkat menjadi PNS boleh mengerjakan 50% tanah

bengkok, karena berdasarkan Permendagri Nomor 4 Tahun


2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa,
danSurat Edaran (SE) Mendagri tanggal 20 November 2008
Nomor 141/2325/SJ, disebutkan bahwa, sekretaris desa yang
diangkat menjadi PNS masih bisa mengelola tanah bengkok
sampai ada ketentuan yang mengatur lebih lanjut. Namun,
aturan yang termaktub dalam SE Mendagri tersebut tidak
berlaku lagi ketika terbit SE Mendagri Nomor 900/1303/SJ
tertanggal 16 April 2009.
Dalam Harian Suara Merdeka tersebut juga dijelaskan bahwa
oleh karena Pemerintah kabupaten Grobogan baru menerima
SE Mendagri itu pada Juni 2009, padahal aturan yang
membolehkan sekdes menggarap separo lahan bengkok
telah disahkan oleh BPD dan tertuang dalam APBD Des 2009,
bahkan sudah dilaksanakan, serta disetujui oleh Bupati; maka
keduanya memiliki dasar aturan masing-masing.

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan mengenai proses pensertifikatan tanah adat atau
tanah2 lain yang belum bersertifikat, maka melanjutkan pembahasan saya sebelumnya pada
artikel: Bagaimana Cara Mensertifikatkan Tanah Girik?, berikut saya memberikan tambahan
penjelasan mengenai tata cara mensertifikatkan tanah.

Dalam pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, dikenal 2
macam bentuk pendaftaran tanah, yaitu:
1. Pendaftaran tanah secara sistematik, yaitu pendaftaran tanah yang
didasarkan pada suatu rencana kerja dan dilaksanakan di wilayah-wilayah
yang ditetapkan oleh Menteri
2. Pendaftaran tanah secara sporadik.
Untuk desa/kelurahan yang belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran
tanah secara sistematik tersebut.
Apakah beda antara kedua system pendaftaran tanah tersebut? Inti perbedaannya adalah
padainisiatif pendaftar. Kalau yang berinisiatif untuk mendaftarkannya adalah pemerintah,
dimana dalam suatu wilayah tertentu, secara serentak semua tanah dibuatkan sertifikatnya, maka
hal tersebut disebut pendaftaran secara sistematis. Hal ini yang oleh orang awam sering di
istilahkan sebagai: Pemutihan.
Jika inisiatif untuk mendaftarkan tanah berasal dari pemilik tanah tersebut sedangkan setelah
menunggu beberapa waktu tidak ada program pemerintah untuk mensertifikatkan tanah di
wilayah tersebut, maka pemilik tanah dapat ber inisiatif untuk mengajukan
pendaftaran/pensertifikatan tanahnya pada Kantor Pertanahan setempat. Hal inilah yang disebut
pendaftaran tanah secara sporadic.
Kegiatan Pendaftaran Tanah (pasal 14 22 PP 24/1997) sendiri terbagi atas:
1. Pembuatan peta dasar pendaftaran
Pada proses ini, dilakukan pemasangan, pengukuran, pemetaan dan
pemeliharaan titik dasar teknik nasional. Dari Peta dasar inilah dibuatkan
peta pendaftaran

2. Penetapan batas bidang-bidang tanah


Agar tidak terjadi sengketa mengenai batas kepemilikan tanah di suatu tempat, antara pemilik
dengan pemilik lain yang bersebelahan, setiap diwajibkan untuk dibuatkan batas-batas
pemilikan tanah (berupa patok2 dari besi atau kayu).
Dalam penetapan batas2 tersebut, biasanya selalu harus ada kesepakatan mengenai batas2
tersebut dengan pemilik tanah yang bersebelahan, yang dalam bahasa hukumnya dikenal
dengan istilah contradictio limitative.
3. Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta
pendaftaran
Dari batas-batas tersebut, dilakukan pengukuran untuk diketahui luas
pastinya. Apabila terdapat perbedaan luas antara luas tanah yang tertera
pada surat girik/surat kepemilikan lainnya dengan hasil pengukuran Kantor
Pertanahan, maka pemilik tanah bisa mengambil 2 alternatif:
a. setuju dengan hasil pengukuran kantor pertanahan
Jika setuju, maka pemilik tanah tinggal menanda-tangani pernyataan
mengenai luas tanah yang dimilikinya dan yang akan diajukan sebagai
dasar pensertifikatan.
b. mengajukan keberatan dan meminta dilakukannya pengukuran ulang
tanah-tanah yang berada di sebelah tanah miliknya.
Untuk mencegah terjadinya sengketa mengenai batas-batas tersebut, maka
pada waktu dilakukannya pengukuran oleh kantor pertanahan, biasanya

pihak kantor pertanahan mewajibkan pemilik tanah (atau kuasanya) hadir


dan menyaksikan pengukuran tersebut, dengan dihadiri pula oleh RT/RW
atau wakil dari kelurahan setempat.

4. Pembuatan daftar tanah


Bidang-bidang tanah yang sudah dipetakan atau dibubuhkan nomor
pendaftarannya pada peta pendaftaran dibukukan dalam daftar tanah
5. Pembuatan surat ukur.
Pembuatan Surat Ukur merupakan produk akhir dari kegiatan pengumpulan dan pendaftaran
tanah, yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan sertifikat tanah.
Apakah syarat-syaratnya untuk mengajukan permohonan pendaftaran secara sporadik?
1. Surat Permohonan dari pemilik tanah untuk melakukan pensertifikatan tanah milknya
2. Surat kuasa (apabila pengurusannya dikuasakan kepada orang lain).
3. Identitas diri pemilik tanah (pemohon), yang dilegalisir oleh pejabat umum yang berwenang
(biasanya notaries) dan atau kuasanya
a. untuk perorangan: foto copy KTP dan KK sedangkan untuk
b. badan hukum (dalam hal ini PT/Yayasan/Koperasi): anggaran dasar
berikut seluruh perubahan- perubahannya dan pengesahannya dari
Menteri yang berwenang
4. Bukti hak atas tanah yang dimohonkan, yaitu berupa:

a. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan swapraja yang
bersangkutan
b.sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959
c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun
sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang
diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya.
d. Petok pajak bumi/Landrente, girik, pipil, ketitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya
PP No. 10/1961
e. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh
Kepala Adat/Kepala Desa/kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP No. 10/1961 dengan
disertai alas hak yang dialihkan, atau
f. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan
dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau
g. Akta ikrar wakaf/akta pengganti ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak
mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disert5ai alas hak yang diwakafkan, atau risalah
lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum di bukukan
dengan disertai alas hak yang di alihkan, atau
h. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh
Pemerintah Daerah, atau
i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum
dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau

j. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan dan dilegalisir oleh Pejabat yang
berwenang, atau
k. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan-ketentuan konversi UUPA, atau
l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum diberlakukannya UUPA
(dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang dalam hal ini biasanya Lurah setempat), atau
4. Bukti lainnya, apa bila tidak ada surat bukti kepemilikan, yaitu berupa: Surat Pernyataan
Penguasaan Fisik lebih dari 20 tahun secara terus menerus dan surat keterangan Kepala
Desa/Lurah disaksikan oleh 2 orang tetua adat/penduduk setempat
5. Surat Pernyataan telah memasang tanda batas
6. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan
7. Foto copy SK Ijin Lokasi dan surat keterangan lokasi (apabila pemohon adalah Badan
Hukum).

HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA


DAN PP. NO.40/1996
1. Hak Penguasaan Atas Tanah.
2 Hak-hak Atas Tanah
* Hak-hak Atas Tanah yang bersifat tetap (pasal 16 UUPA)
- Hak Milik
- Hak Guna Usaha
- Hak Guna Bangunan
- Hak Pakai
- Hak Sewa
- Hak Membuka Tanah
- Hak Memungut Hasil Hutan
*Hak-hak Atas Tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA)
- Hak Gadai
- Hak Usaha Bagi Hasil
- Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian
1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan
atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai
tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk
diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria
atau tolo ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang
diatur dalam Hukum Tanah.
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti
yuridis. Juga beraspek privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis
adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan
pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah
mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak

diserahkan kepada pihak lain. Ada juga penguasaan yuridis, yang biarpun
memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik,
pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain, misalnya
seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri
akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah
tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh
penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik,
misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai
hak penguasaan tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan
(jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tetap ada pada pemilik
tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah tersebut diatas dipakai
dalam aspek privat atau keperdataan sedang penguasaan yuridis yang
beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah sebagaimana
yang disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dibagi
menjadi 2 (dua), yaitu:
1. Hak penguasaan atas tanah sebagai Lembaga Hukum.
Hak penguasaan atas tanah ini belum dihubungkan antara tanah dan
orang atau badan hukum tertentu sebgai pemegang haknya.
2. Hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum yang konkret
Hak penguasaan atas tanah ini sudah dihubungkan antara tanah tertentu
sebagai obyek dan orang atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau
pemegang haknya.
Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA dan Hukum Tanah
Nasional, adalah:
1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah.
Hak Bangsa Indonesia ats tanah ini merupakan hak penguasaan atas
tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang adadalam wilayah
negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk
bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah (lihat pasal 1 ayata (1)-(3)
UUPA.
2. Hak Menguasai dari Negara atas tanah.
Hak menguasai dari negara atas tnah bersumber pada Hak Bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan
pelaksanaan tugas kewenagan bangsa yang mengandung unsur hukum
publik. Tugas mengelola seluruh tnah bersama tidak mungkin dilaksanakan
sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, mka dala penyelnggaraannya,

Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat


tersebut, pada tingkatan tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik
Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (lihat pasal 2 ayat
(1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari negara atas tanah sebagaimana dimuat
dalam pasal 2 ayat (2) UUPA, adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan tanah (lihat pasal 10, 14, 15 UUPA).
b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang atau badan
hukum dengan tanah (lihat pasal 7, 16, 17, 53 UUPA).
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang
atau badan hukum dan perbuatan perbuatan hukum yang mengenai
tanah (lihat pasal 19 Jo PPNo. 24/1997)
Hak menguasai dari negara adalah pelimpahan wewenang publik oleh hak
bangsa. Konsekuensinya, kewenangan tersebut hanya bersifat publik
semata. Tujuan hak menguasai dari negara atas tanah, yatitu untuk
mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,
kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum
Indonesia yang berdeka, berdaulat, adil dan makmur (lihat pasal 2 ayat (3)
UUPA).
3. Hak ulayat masyarakat Hukum adat.
Menurut pasal 1 Permen Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
yang dimaksud dengan hak ulayat adalah kewenangan menurut adat yang
dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil mamfaat
dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi
kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila
memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu
b. Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut.
c. Masih adanya tatanam hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan
dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga

persekutuan hukum tersebut.


4. Hak perseorangan atas tanah
Hak-hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara
bersama-sama atau badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai,
menggunakan , dan atau mengambil mamfaat dari bidang tanah tertentu.
a. Hak hak atas tanah.
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil mamfaat dari tanah
yang dihakinya (lihat pasal 16 dan 53 UUPA Jo. PP No 40/1996 tentang
HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah).
b. Wakaf tanah Hak Milik.
Wakaf tanah hak milik adalah hak penguasaan atas tanah bekas tanah hak
milik, yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam (lihat pasal 49
ayat (3) UUPA Jo. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Jo.
Permendagri No. 6/1977 tentang Tata cara Pendaftaran Tanah Mengenai
Perwakafan Tanah Milik).
c. Hak Tanggungan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas
tanah termasuk atau tidak termasuk benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada
Hak Milik, HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah Negara (lihat pasal 25,
33, 39 dan 51 UUPA Jo. UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah).
d. Hak Milik atas satuan rumah susun.
Hak Milik Atas Satuan Tumah susun yaitu hak atas tanah yang diberikan
kepada sekelompok orang secara bersama dengan orang lain. Pada Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, bidang tanah yang di atasnya berdiri
rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara bersamasama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dapat
dimiliki atau dikuasai oleh sekuruh satuan rumah susun dapat berupa Hak
Milik, HGB atau Hak Pakai atas tanah Negara (lihat pasal 4 ayat (1) UUPA
Jo. UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun)
2 Hak-hak Atas Tanah

Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah
dapat diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia
mapupun warga negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama,
dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.
Wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga
tubuh bumi dan air danruang yang ada di atasnya sekadar diperlukan
untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah
itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain.
2. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah
mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan
macam hak atas tanahnya, misalnya wewenangpada tanah Hak Milik
adalah dapat untuk kepentingan pertanian dan atau mendirikan bangunan,
HGB untuk mendirikan bangunan, HGU untuk kepentingan pertanian,
perkebunan, perikanan dan peternakan.
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 Jo 53 UUPA, yang
dikelompokkkan menjadi 3 bidang, yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau
belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM. HGU,
HGB, HP, Hak Sewa untuk Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang
Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan
undang-undang.
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan
dihapus dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan
bertentangan dengan jiwa UUPA. Contoh: Hak Gadai,, Hak Usaha Bagi
Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok,
yaitu:
1. Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersala dari tanah negara. Contoh: HM, HGU,

HGB Atas Tanah Negara, HP Atas Tanah Negara.


2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas
Tanah Hak Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak
Pengelolaan, HP Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah
Pertanian.
A. Hak Milik
Ketentuan Umum mengenai Hak Milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf
a, 20 s/d 27, 50 ayat (1), 56 UUPA.
Pengertian Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosial
tanah. Turun temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus
selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka
Hak Miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi
syarat sebagai subyek Hak Milik. Terkuat artinya Hak Milik atas tanah lebih
kuat dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu
tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah
hapus. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada
pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain,
dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak
atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila
dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.
Subyek Hak Milik. Yang dapat mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA
dan peraturan pelaksanaanya, adalah:
1. Perseorangan.
WNI, baik pria maupun wanita, tidak berwarganegaraan rangkap (lihat
Pasal 9, 20 (1) UUPA)
2. Badan-badan hukum tertentu.
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu
bank-bank yang didirikan oleh negara, koperasi pertanian, badan
keagamaan dan badan sosial (lihat Pasal 21 (2) UUPA, PP No.38/1963
tentang Penunjukan Badan-badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak
Atas Tanah, Permen Agraria/Kepala BPN No. 9/1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan).
Terjadinya Hak Milik. Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara
sebagai mana disebutkan dala Pasal 22 UUPA, yaitu:

1. Hak Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat;


- Terjadi karena Pembukaan tanah (pembukaan hutan).
- Terjadi karena timbulnya Lidah Tanah.
2. Hak Mili Atas tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah;
- Pemberian hak baru (melalui permohonan)
- Peningkatan hak
3. Hak Milik atas tanah terjadi karena Undang-undang;
- Ketentuan Konversi Pasal I, II. VI
Sifat dan ciri-ciri Hak Milik.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang,
penyertaan modal.
4. Turun temurun
5. Dapat dolepaskan untuk kepentingan sosial.
6. Dapat dijadikan induk hak lain.
7. Dapat dijadikan jamnina hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Hapusnya Hak Milik. Pasal 27 UUPA menetapkan faktor-faktor penyebab
hapusnya Hak Milik atas tanah dan tanahnya jatuh kepada negara, yaitu;
1. Karena Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
2. Dilepaskan secara suka rela oleh pemiliknya.
3. Dicabut untuk kepentinga umum.
4. Tanahnya ditelantarkan.
5. Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai sunyek hak milik
atas tanah.
6. Karena peralihan hak yang mengakibatkantanahnya berpindah kepada
pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas
tanah.
7. Tanahnya musnah, misalnya terjadi bencana alam.

B. Hak Guna Usaha


Ketentuan umum. Ketentuan Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA, Pasal 2 s/d 18 PP
No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan HP.
Pengertian HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha
pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan (lihat Pasal 28 ayat (1),
PP No.40/1996).
Subyek HGU. Yang dapat mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA Jo.
Pasal 2 PP No. 40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
Asal dan terjadinya HGU. Asal HGU adalah tanah negara. Kalau asal tanah
HGU berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan
pelepasan ata penyerahan hak ole4h pemegang hak dengan pemberian
ganti kerugian oleh calon pemegang hak HGU. Terjadinya HGU dapat
melalui penetapan pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan Undangundang (ketentuan konversi hak erpacht).
Luas HGU. Luas tanah HGU adalah untuk perserorangan minimal 5 Ha
dan maksimal 25 Ha. Sedangkan untuk badan hukum luas minimal 5 Ha
dan luas maksimal 25 Ha atau lebih (menurut UUPA). Ketentuan luas
maksimal tidak ditentukan dengan jelas tetapi PP No. 40/1996
menyebutkan luas maksimal ditetapkan oleh menteri dengan
memperhatikan pertimbangan pejabat yang berwenang. Dengan
membandingkan kewenangan Surat Keputusan Pemberian Hak seperti
kewenangan Ka BPN Kota/kab maksimal 25 Ha, Kanwil BPN maksimal
200 Ha, di atas 200 Ha kewenangan Menteri Agraria/Ka BPN.
Jangka waktu HGU.HGU mempunyai jangka waktu untuk pertama kalinya
paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Sedang menurut Pasal 8 PP No. 40/1996
mengatur jangka waktu HGU untuk pertama kalinya 35 tahun, diperpanjang
paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan diajukan palaing lambat 2
tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU. Syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat dilakukan perpanjangan waktu atau pembaharuan adalah;
1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai keadaan, sifat dan
tujuan pemberian haknya.
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak.
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Kewajiban pemegang HGU (lihat Pasal 12 ayat (1) PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara.
2. Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau

peternakan.
3. Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai kelayakan usaha
berdasarkan kriteria dari instansi teknis.
4. Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah
yang ada dalam lingkungan HGU.
5. Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam
dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup.
6. Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan
HGU.
7. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada
negara setelah hapus.
8. Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada kepala Kantor
Pertanahan.
Hak pemegang HGU (lihat Pasal 14 PP No. 40.1996)
9. Menguasai dan mempergunakan tanah untuk usaha pertanian,
perkebunan, perikanan dan atau peternakan.
10. Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam
lainnya di atas tanah.
11. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
12. Membebani dengan Hak Tanggungan
Sifat dan ciri-ciri HGU.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang,
penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HGU (lihat Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat
yang tidak dipenuhi.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.

7. Pemegang HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang


HGU.
C. Hak Guna Bangunan
Ketentuan umum. Ketentuan menegnai Hak Guna Bangunan (HGB)
disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, 35 s/d 40, 50 ayat (2) UUPA
dan Pasal 19 s/d 38 PP No. 40/1996).
Pengertian HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan
yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.
Subyek HGB. Yang dapat mempunyai HGB menurut Pasal 36 UUPA Jo.
Pasal 19 PP No. 40/1996, adalah:
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia
Asal atau obyek tanah HGB. HGB berasal dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, tanah Hak Pengelolaan atau tanah milik orang lain
(lihat Pasal 39 UUPA dan Pasal 21 PP No. 40/1996).
Terjadinya HGB. HGB dapat terjadi karena;
1. Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2. Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat
oleh PPAT.
3. Undang-undang, ketentuan tentang Konversi
Jangka waktu HGB. Jangka waktu HGB berbeda sesuai dengan asal
tanahnya, sbb:
1. HGB atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu
untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu
paling lama 30 tahun.
2. HGB atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak
ada perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah
dengan pemegang HGB dapat diperbarui dengan pemberian HGB baru
dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor
BPN setempat.
Kewajiban pemegang HGB (lihat Pasal 30 dan Pasal 31 PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara.
2. Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya.
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta

menjaga kelestarian lingkungan hidup.


4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGB kepada
negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah
HGB hapus.
5. Menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada kepala Kantor
Pertanahan.
6. Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkuryng oleh tanah HGB.
Hak pemegang HGB (lihat Pasal 32 PP No. 40.1996)
1. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu.
2. Mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau
usahanya.
3. Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
4. Membebani dengan Hak Tanggungan
Sifat dan ciri-ciri HGB.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang,
penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HGB( lihat Pasal 40 UUPA dan Pasal 35 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan
atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena;
- Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atu
dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam HGB.
- Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang
dalam perjanjian pemberian hak antara pemegang HGB dengan pemegang
Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik.
- Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.

6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HGB tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang
HGB.
D. Hak Pakai
Ketentuan umum. Hak Pakai (HP) diatur dalam Pasal 16 ayat 9!) huruf d,
41 s/d 43, 50 ayat (2) UUPA dan Pasal 39 s/d 58 PP No. 40/1996.
Pengertian HP adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (lihat
Pasal 41 (1) UUPA).
Subyek HP (lihat Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996):
1. Warga Negara Indonesia.
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah
Daerah.
4. Badan-badan keagamaan dan sosial.
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (lihat PP No. 41/1996).
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.
Asal atau obyek HP (lihat Pasal 41 (1) PP No. 40/1996):
1. Tanah Negara.
2. Tanah Hak Pengelolaan.
3. Tanah Hak Milik.
Terjadinya HP. HP dapat terjadi karena;
1. Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
2. Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat
oleh PPAT.
3. Undang-undang, ketentuan tentang Konversi.
Jangka waktu HP. Jangka waktu HP berbeda sesuai dengan asal
tanahnya, (lihat Pasal 45 s/d 49 PP No. 40/1996) sbb:
1. HP atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu
untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu

paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai oleh Departemen,


Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan
dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional
diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
2. HP atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak
ada perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah
dengan pemegang HP dapat diperbarui dengan pemberian HP baru
dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor
BPN setempat.
Kewajiban pemegang HP (lihat Pasal 50 dan Pasal 51 PP No. 40/1996):
1. Membayar uang pemasukan kepada negara, perjanjian penggunaan
tanah Hak Pengelolaan atau Hak Milik.
2. Menggunakan tanah sesuai peruntukkannya sesuai keputusan
pemberian haknya, perjanjian pengguanaan tanah Hak Pengelolaan atau
Hak Milik..
3. Memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta
menjaga kelestarian lingkungan hidup.
4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HP kepada negara,
pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah HP hapus.
5. Menyerahkan sertifikat HP yang telah hapus kepada kepala Kantor
Pertanahan.
6. Memberikan jaln keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi
pekarangan atau bidang tanah yang terkuryng oleh tanah HP.
Hak pemegang HP (lihat Pasal 52 PP No. 40.1996)
1. Menguasai dan mempergunakan tanah selama waktu tertentu untuk
keperluan pribadi atau usahanya.
2. Memindahkan hak tersebut kepada pihak lain.
3. Membebani dengan Hak Tanggungan.
4. Menguasai dan menggunakan tanah untuk janga waktu yang tidak
ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
Sifat dan ciri-ciri HP.
1. Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
2. Dapat diwariskan.
3. Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang,
penyertaan modal.
4. Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.

5. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.


6. Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
7. Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
8. Peruntukkannya terbatas.
Hapusnya HP( lihat Pasal 55 PP No. 40/1996);
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan
atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktu berakhir, karena;
- Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan atu
dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam HP.
- Tidak terpenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang
dalam perjanjian pemberian hak antara pemegang HP dengan pemegang
Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik.
- Putusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
3. Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
4. Dicabut untuk kepentingan umum.
5. Ditelantarkan.
6. Tanahnya musnah.
7. Pemegang HP tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HP.
E. Hak Sewa Untuk Bangunan
Ketentuan umum. Ketentuan mengenai Hak Sewa Untuk Bangunan
(HSUB) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1), 44, 45, 52 ayat(2) UUPA.
Pengertian HSUB adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Hak Milik orang
lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dalam jangka waktu
tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang HSUB (lihat
Pasal 44 (1) UUPA). HSUB merupakan hak pakai yang mempunyai sifatsifat khusus. Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-banguna yang
berhubung dengan pertanian (Lihat Pasal 10 (1)).
Subyek HSUB (lihat Pasal 45 UUPA).
1. Warga Negara Indonesia.
2. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.
3. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.
4. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Objek HSUB. Hak atas tanah yang dapat disewakan kepada pihak lain

adalah Hak Milik dan objek yang disewakan pemilik tanah kepada
pemeganag HSUB adalah tanah bukan bangunan.
Terjadinya HSUB karena perjanjian persewaan tanah yang tertulis antara
pemilik tanah dengan pemegang HSUB, yang tidak boleh disertai syaratsyarat yang mengadung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu HSUB.. UUPA tidak mengatur secara tegas berapa lama
jangka waktu HSUB, jangka waktu HSUB diserahkan kepada kesepakatan
anatar pemilik tanah dengan pemegang HSUB.
Pembayaran uang sewa dalam HSUB. Ketentuan mengenai pembanyaran
uang sewa dapat dilakukan satu kali atau tiap-tiap waktu tertentu. Juga
dapat dilakukan sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan oleh
pemegang HSUB. Tergantung kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang HSUB.
Peralihan HSUB. Pada dasarnya pemegang HSUB tidak diperbolehkan
mengalihkan hak sewanya kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik
tanah. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat berakibat terputusnya
hubungan sewa-menyewa antara pemili tanah dan pemegang HSUB.
Sifat dan ciri-ciri HSUB;
1. Tujuan pengunaannya sementara, artinya jangka waktu terbatas.
2. Bersifat pribadi dan tidak boleh dialihkan.
3. Tidak dapat diwariskan.
4. Hubungan hak sewa tidak terputus dengan dialihkannya Hak Milik yang
bersangkutan kepada pihak lain.
5. Tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Pemegang HSUB dapat melepas sendiri hak sewanya.
7. Tidak termasuk golongan hak-hak yang harus didaftarkan.
Hapusnya HSUB. Faktor-faktor penyebab hapusnya HSUB, adalah:
1. Jangka waktunya berakhir.
2. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena pemegang HSUB
tidak memenuhi syarat sebagai pemegang HSUB.
3. Dilepaskan oleh pemegang HSUB sebelum jangka waktu berakhir.
4. Hak Milik atas tanahnya dicabut untuk kepentingan umum.
5. Tanahnya musnah.

Anda mungkin juga menyukai