Anda di halaman 1dari 38

Akta PPAT dan Bukti Kepemilikan Tanah

1) Apakah surat tanah non sertifikat yang kepemilikannya terdaftar & diakui Camat memiliki
kekuatan hukum dan dapat diajukan ke Hukum jika ada pihak lain yang menggarap /
menguasai / mengakui lahan secara fisiknya? 2) Mengenai hal ini berada di UU nomor berapa?
Terima kasih.
ANGGI_SHS

Tweet

Jawaban:
I L M A N H A DI , S . H .

1.

Kami kurang memahami apa maksud dari Surat tanah non sertifikat yang
kepemilikannya terdaftar & diakui Camat, karena bukti kepemilikan hak atas
suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertipikat tanah (lihat Pasal 19
ayat [2] huruf c UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) jo.Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (PP 24/1997).

Kami asumsikan bahwa surat yang Saudara maksud adalah akta yang
dikeluarkan oleh Camat sebagai PPAT Sementara. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PP 37/1998):

(1).

PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran


tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.

(2).

Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai


berikut:
a) Jual beli;
b) Tukar menukar;
c) Hibah;
d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e) Pembagian hak bersama;


f)

Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;

g) Pemberian Hak Tanggungan;


h) Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Akta tersebut kemudian dapat menjadi dasar pensertipikatan tanah yang


selanjutnya bisa Saudara baca di artikel Bagan/Proses/Prosedur Pembuatan
Sertipikat Tanah.

Mengenai apakah akta tersebut memiliki kekuatan hukum, jika akta tersebut
adalah akta jual beli tanah, memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi
jual beli tanah. Akan tetapi, untuk pembuktian yang kuat mengenai kepemilikan
atas tanah hanya dapat dibuktikan oleh adanya sertipikat tanah sebagai surat
tanda bukti hak atas tanah.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 PP 24/1997 yang berbunyi:
(1). Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
(2). Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah
tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak
lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Untuk itu, sebaiknya dilakukan pengurusan sertipikat tanah agar jika terjadi
sengketa (misal: tanah dikuasai secara fisik oleh orang lain), pemilik tanah
mempunyai dasar kepemilikan yang kuat.

Jika kepemilikan atas tanah tersebut tidak dapat didukung dengan bukti-bukti
yang kuat, tanah tersebut mungkin saja didaftarkan oleh orang lain yang
menguasai secara fisik tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut
dan memenuhi syarat dalam Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997:
a)

penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh

kesaksian orang yang dapat dipercaya.


b)

penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun
pihak lainnya.

Jadi, surat/akta yang dikeluarkan oleh Camat seperti yang Saudara sebutkan
belum dapat menjadi pembuktian yang kuat untuk membuktikan hak kepemilikan
atas tanah.

2.

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, peraturan-peraturan yang mengenai


bukti kepemilikan tanah diatur dalam UUPA dan
PP 24/1997. Kami
menyarankan agar tanah tersebut segera didaftarkan agar memiliki Sertipikat
Tanah sebagai pembuktian kepemilikan tanah yang kuat.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2. PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Mohon penjelasan di mana saya bisa dapatkan aliran data/proses/prosedur pembuatan
sertipikat tanah terima kasih. Wass, Irina.
INDRI_SUWARDI

Tweet

Jawaban:
S H A N T I R A C H M A D S YAH , S . H .

Untuk prosedur pembuatan sertipikat untuk tanah yang belum bersertipikat sudah
pernah kami bahas, dan dapat Anda lihat di artikel ini.
Prosedur penerbitan sertipikat tanah juga Anda bisa lihat di situs resmi BPN
(bpn.go.id):
PENDAFTARAN PERTAMA KALI
Jenis Layanan

Prosedur

Dasar Hukum:
Sertipikat Wakaf Untuk
Tanah Yang Belum

1.

Terdaftar

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

2.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

4.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan
Pertanahan Nasional.

5.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.
2.

Surat Permohonan
Identitas diri Wakif (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku
dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang)

3.

Identitas diri Nadzir (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku


dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang)

4.

Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan

5.

Bukti perolehan kepemilikan tanah disertai:


a.

pernyataan pemohon bahwa telah menguasai secara


fisik selama 20 tahun terus menerus

b.

keterangan Kepala Desa/Lurah dengan saksi 2 orang


tetua adat/penduduk setempat yang membenarkan
penguasaan tanah tersebut.

6.

Akta Ikrar Wakaf

7.

Surat Pengesahan Nadzir

8.

Foto copy SPPT PBB tahun berjalan

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000 / bidang (diluar biaya pengukuran dan pemetaan


untuk sporadik).

2.

120 hari

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Dasar Hukum:
Pendaftaran Pertama
Kali Konversi Sistematik

1.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

2.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

4.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan
Pertanahan Nasional.

5.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.

Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya


dikuasakan.

2.

Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK


yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang).

3.

Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan,


yaitu:
a.

Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan


berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan,
atau

b.

sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA


No. 9/1959, atau

c.

surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang


berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya
UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan
hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban yang disebut didalamnya, atau

d.

petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan


Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No.
10/1961, atau

e.

akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang


dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala
Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang
dialihkan, atau

f.

akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT,


yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas

hak yang dialihkan, atau


g.

akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum


atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan
disertai alas hak yang diwakafkan, atau

h.

risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang


berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan
disertai alas hak yang dialihkan, atau

i.

surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah


pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah,
atau

j.

Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh


Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan
disertai alas hak yang dialihkan, atau

k.

lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama


apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI
dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

l.

Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan


berlaku sebelum berlakunya UUPA.

4.

Surat Pernyataan Tdk Dalam Sengketa diketahui Kades/Lurah


dan 2 Saksi dari tetua adat / penduduk setempat.

5.

Foto copy SPPT PBB tahun berjalan.

Biaya dan Waktu


1.

Sesuai PP 46/2002 dan SE Ka. BPN No.600-1900 tanggal 31 Juli


2003 (Diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk Sporadik)

2.

Waktu: 90 hari/100 bidang.

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Dasar Hukum:
Pendaftaran Tanah
Pertama Kali Konversi

1.

- Sporadik

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

2.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

4.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan

Pertanahan Nasional.
5.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.

Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya


dikuasakan

2.

Identitas diri para pemilik tanah / pemohon (dilegalisir oleh


Pejabat yang berwenang) dan atau kuasanya (untuk Perorangan:
fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku atau untuk Badan
Hukum: fotocopy Akta Pendirian Perseroan dan Perubahanperubahannya, serta dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang)

3.

Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan,


yaitu:
a.

surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan


Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau

b.

sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA


No. 9/1959, atau

c.

surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang


berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya
UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan
hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban yang disebut didalamnya, atau

d.

petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kikitir dan


Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No.
10/1961, atau

e.

akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang


dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala
Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang
dialihkan, atau

f.

akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT,


yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas
hak yang dialihkan, atau

g.

akta ikrar wakaf / akta pengganti ikrar wakaf / surat


ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai
dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak
yang diwakafkan, atau

h.

risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang


berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan
disertai alas hak yang dialihkan, atau

i.

surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah


pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah,
atau

j.

surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh


Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan
disertai alas hak yang dialihkan dan dilegalisir oleh
Pejabat yang berwenang), atau

k.

lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama


apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI
dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, atau

l.

Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan


berlaku sebelum diberlakunya UUPA (dilegalisir oleh
Pejabat yang berwenang), atau

4.

Bukti lainnya, apabila tidak ada surat bukti kepemilikan : Surat


Prnyataan Penguasaan fisik lebih dari 20 thn secara terusmenerus dan surat keterangan Kades / Lurah disaksikan oleh 2
org tetua adat / penduduk setempat.

5.

Surat Pernyataan telah memasang tanda batas

6.

Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan

7.

Fotocopy SK Izin Lokasi dan Sket Lokasi (apabila pemohon


adalah Badan Hukum)

Persyaratan Tanda Batas, bentuk dan ukuran luas di bawah 10 ha:


1.

Pipa besi, Panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm, atau Pipa
paralon diisi beton, panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm

2.

Kayu besi, bengkirai, jati, atau kayu lainnya yang kuat, panjang
100 cm dan bergaris tengah 7.5 cm, atau

3.

Tugu dari batu bata atau batako dilapisi semen 0.20 m X 0.20 m
tinggi 0.40 m, atau

4.

Tugu dari beton , batu kali atau granit 0.10 m2 tinggi 0,5 m, atau
tembok - tembok atau pagar besi / beton / kayu.

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000 / bidang (diluar biaya pengukuran dan pemetaan

untuk sporadik).
2.

120 hari

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Dasar Hukum:
Pendaftaran Tanah
Pertama Kali

1.

Pengakuan Dan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

Penegasan Hak Sporadik

2.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

4.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan
Pertanahan Nasional.

5.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.

Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya


dikuasakan

2.

Identitas diri para pemilik tanah / pemohon (dilegalisir oleh


Pejabat yang berwenang) dan atau kuasanya (untuk
perseorangan: fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku atau
untuk Badan Hukum: fotocopy Akte Pendirian Perseroan dan
Perubahan-perubahannya, serta dilegalisir oleh Pejabat yang
berwenang)

3.

Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan,


yaitu:
a.

surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan


Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau

b.

sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA


No. 9/1959, atau

c.

surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang


berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya
UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan
hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban yang disebut didalamnya, atau

d.

petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kikitir dan

Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No.


10/1961, atau
e.

akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang


dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala
Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang
dialihkan, atau

f.

akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT,


yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas
hak yang dialihkan, atau

g.

akta ikrar wakaf / akta pengganti ikrar wakaf / surat


ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai
dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak
yang diwakafkan, atau

h.

risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang


berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan
disertai alas hak yang dialihkan, atau

i.

surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah


pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah,
atau

j.

surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh


Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan
disertai alas hak yang dialihkan dan dilegalisir oleh
Pejabat yang berwenang), atau

k.

lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama


apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI
dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, atau

l.

Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan


berlaku sebelum diberlakunya UUPA (dilegalisir oleh
Pejabat yang berwenang), atau

4.

Bukti lainnya, apabila tidak ada surat bukti kepemilikan : Surat


Prnyataan Penguasaan fisik lebih dari 20 thn secara terusmenerus dan surat keterangan Kades / Lurah disaksikan oleh 2
org tetua adat / penduduk setempat.

5.

Surat Pernyataan telah memasang tanda batas

6.

Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan

7.

Fotocopy SK Izin Lokasi dan Sket Lokasi (apabila pemohon


adalah Badan Hukum)

Persyaratan Tanda Batas, bentuk dan ukuran luas di bawah 10 ha:


1.

Pipa besi, Panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm, atau Pipa
paralon diisi beton, panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm

2.

Kayu besi, bengkirai, jati, atau kayu lainnya yang kuat, panjang
100 cm dan bergaris tengah 7.5 cm, atau

3.

Tugu dari batu bata atau batako dilapisi semen 0.20 m X 0.20 m
tinggi 0.40 m, atau

4.

Tugu dari beton , batu kali atau granit 0.10 m2 tinggi 0,5 m, atau
tembok - tembok atau pagar besi / beton / kayu.

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000 / bidang (diluar biaya pengukuran dan pemetaan


untuk sporadik).

2.

120 hari

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.


TANAH TERDAFTAR

Jenis Layanan

Prosedur
Dasar Hukum:

Penggabungan
Sertipikat

1.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

2.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

4.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan
Pertanahan Nasional.

5.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.

Permohonan yang disertai alasan Penggabungan tersebut.

2.

Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan


dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang).

3.

Sertipikat Hak Atas Tanah asli, dengan catatab:

a.

Jika semua Sertipikat yang digabung sudah


menggunakan SU maka tidak diperlukan pengukuran
(harus ada pernyataan dari pemohon bahwa bidang
tanah yang akan digabung tidak ada perubahan fisik)

b.

Jika salah satu atau semua Sertipikat yang digabung


masih menggunakan Gambar Situasi, maka perlu
dilaksanakan pengukuran

c.

Jika SU pada salah satu atau semua Sertipikat tidak


memenuhi syarat teknis atau ada perubahan bentuk dan
ukuran, maka perlu dilakukan pengukuran

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000,- untuk setiap Hak Atas Tanah hasil pengabungan.

2.

Waktu: 7 hari kerja = 1 bidang diluar waktu Pengukuran.

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

Catatan: Untuk menghapus catatan dalam sertipikat tentang ijin pejabat


yang berwenang diperlukan SE KBPN.
Pemisahan

Dasar Hukum:
1.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

2.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

4.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan
Pertanahan Nasional.

5.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.

Permohonan yang disertai alasan Pemisahan tersebut.

2.

Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP).

3.

Sertipikat Hak Atas Tanah asli.

4.

Site Plan (Untuk Kawasan Pembangunan Perumahan).

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya sertipikat pemisahan yang


diterbitkan.

2.

Waktu: 7 hari kerja = 1 bidang diluar waktu Pengukuran.

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

Catatan: Untuk menghapus catatan dalam sertipikat tentang ijin pejabat


yang berwenang diperlukan SE KBPN.
Dasar Hukum:
Pemecahan Sertipikat
1.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

2.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan


Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

4.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan
Pertanahan Nasional.

5.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.

Permohonan yang disertai alasan Pemecahan tersebut.

2.

Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP).

3.

Sertipikat Hak Atas Tanah asli.

4.

Site Plan (Untuk Kawasan Pembangunan Perumahan).

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya sertipikat pemecahan yang


diterbitkan.

2.

Waktu: 7 hari kerja = 1 bidang diluar waktu Pengukuran.

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Keterangan:

Catatan: Untuk menghapus catatan dalam sertipikat tentang ijin pejabat

yang berwenang diperlukan SE KBPN.


Dasar Hukum:
Perubahan HM Menjadi

1.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960

2.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

HGB Atau HP Dan HGB


Menjadi HP Tanpa
Ganti Blanko
3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun


1997

4.

Keputusan Menteri Negara Agraria No. 16 Tahun 1997

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002

6.

SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:
1.
2.

Surat Permohonan perubahan hak


Surat Kuasa jika yang mengajukan permohonan bukan yang
bersangkutan bermeterai cukup

3.

Identitas pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy) :


1.

Perorangan : KTP yang masih berlaku *)

2.

Badan Hukum : FC Akta Pendirian Pengesahan Badan


Hukum yang telah disahkan *)

4.
5.

Sertipikat Hak Atas Tanah (aslinya)


Kutipan Risalah Lelang jika perlolehannya melalui proses
pelelangan

6.

Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT)

7.

Bukti pelunasan BPHTB

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000,- / sertipikat

2.

Waktu: 3 hari kerja

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam

Keterangan:
*) dilegalisir oleh pejabat berwenang
Catatan:
1.

Untuk perubahan HM menjadi HGB atau HP, pemohon tidak


dikenakan kewajiban membayar uang pemasukan kepada negara

2.

Untuk perubahan HGB menjadi HP, pemohon wajib membayar


uang pemasukan kepada negara dengan memperhitungkan uang

pemasukan yang sudah dibayar kepada negara untuk


memperoleh HGB ybs.
Dasar Hukum:
Perubahan HM Menjadi

1.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960

2.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun

HGB Atau HP Dan HGB


Menjadi HP Dengan
Ganti Blanko
1997
4.

Keputusan Menteri Negara Agraria No. 16 Tahun 1997

5.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002

6.

SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:
1.

Surat Permohonan perubahan hak

2.

Surat Kuasa jika yang mengajukan permohonan bukan yang


bersangkutan bermeterai cukup

3.

Identitas pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy) :


1.
2.

Perorangan : KTP yang masih berlaku *)


Badan Hukum : FC Akta Pendirian Pengesahan Badan
Hukum yang telah disahkan *)

4.
5.

Sertipikat Hak Atas Tanah (aslinya)


Kutipan Risalah Lelang jika perlolehannya melalui proses
pelelangan

6.

Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT)

7.

Bukti pelunasan BPHTB

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 50.000,-

2.

Waktu: 10 hari kerja

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam

Keterangan:
*) dilegalisir oleh pejabat berwenang
Catatan:
1.

Untuk perubahan HM menjadi HGB atau HP, pemohon tidak


dikenakan kewajiban membayar uang pemasukan kepada negara

2.

Untuk perubahan HGB menjadi HP, pemohon wajib membayar

uang pemasukan kepada negara dengan memperhitungkan uang


pemasukan yang sudah dibayar kepada negara untuk
memperoleh HGB ybs.

Pemberian Informasi surat Ukur dikenakan Biaya Rp.25.000,- meliputi


kegiatan:
1.

Surat Ukur untuk sertipikat pengganti karena


(Rusak,Hillang,ganti blanko dan sertipikat yang tidak di serahkan
karena ekskusi lelang serta penggantian sertipikat berdasarkan
Keputusan Pengadilan

2.

Salinan Surat Ukur untuk keperluan permohonan perubahan


hak,perpajangan dan pembaharuan hak atas tanah.

3.

Permohonan informasi tentang satu bidang tanah berupa


fotocopy surat ukur sesuai dengan DI 207pada PMNA/KBPN
Nomor 3/1997.

Dasar Hukum:
Perubahan Hak Dari

1.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960

2.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

HGB Menjadi HM Untuk


RS/RSS Tanpa Ganti
Blanko
3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun


1997

4.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun


1997

5.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 15 Tahun


1997

6.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun


1998

7.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002

8.

SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:
1.
2.

Surat Permohonan perubahan hak


Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy KTP
yang masih berlaku) *)

3.

Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan

4.

Sertipikat HAT (HGB/HP), luas tidak lebih dari 200 m2 untuk


perkotaan dan tidak lebih dari 400 m2 untuk luar perkotaan

5.

Akta Jual Beli / Surat Perolehan (harga perolehan tidak lebih dari
Rp. 30.000.000,-)

6.

Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT)

7.

Membayar uang pemasukan kepada Negara.

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000,-

2.

Waktu: 3 hari kerja

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam

Keterangan:
*)

dilegalisir oleh pejabat berwenang

Catatan :
1.

Persyaratan no. 2 tidak diperlukan KK (NIK sudah tercantum


dalam KTP)

2.

Persyaratan no. 3 Surat kuasa bermeterai cukup

Dasar Hukum:
Perubahan Hak Dari

1.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960

2.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

HGB Menjadi HM Untuk


RS/RSS Dengan Ganti
Blanko
3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun


1997

4.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun


1997

5.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 15 Tahun


1997

6.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun


1998

7.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002

8.

SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003

Persyaratan:
1.
2.

Surat Permohonan perubahan hak


Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy KTP
yang masih berlaku) *)

3.

Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan

4.

Sertipikat HAT (HGB/HP), luas tidak lebih dari 200 m2 untuk

perkotaan dan tidak lebih dari 400 m2 untuk luar perkotaan


5.

Akta Jual Beli / Surat Perolehan (harga perolehan tidak lebih dari
Rp. 30.000.000,-)

6.

Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT)

7.

Membayar uang pemasukan kepada Negara.

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 50.000,-

2.

Waktu: 10 hari kerja

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam

Keterangan:
*)

dilegalisir oleh pejabat berwenang

Catatan :
1.

Persyaratan no. 2 tidak diperlukan KK (NIK sudah tercantum


dalam KTP)

2.

Persyaratan no. 3 Surat kuasa bermeterai cukup

3.

10 hari adalah jangka waktu maksimal

Pemberian Informasi surat Ukur di kenakan Biaya Rp.25000 meliputi


kegiatan:
1.

Surat Ukur untuk sertipikat pengganti karena


(Rusak,Hillang,ganti blanko dan sertipikat yang tidak di serahkan
karena ekskusi lelang serta penggantian sertipikat berdasarkan
Keputusan Pengadilan

2.

Salinan Surat Ukur untuk keperluan permohonan perubahan


hak,perpajangan dan pembaharuan hak atas tanah.

3.

Permohonan informasi tentang satu bidang tanah berupa


fotocopy surat ukur sesuai dengan DI 207pada PMNA/KBPN
Nomor 3/1997.

Dasar Hukum:
Sertipikat Hak Milik

1.

Undang-undang No 5 Tahun 1960

Atas Satuan Rumah

2.

Undang-undang No 16 Tahun 1986

3.

Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1988 tentang Rumah Susun

4.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

5.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun

Susun

1997
6.

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002

7.

SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003

8.

Perda tentang Rumah Susun (Belum semua daerah punya Perda)

Persyaratan:
1.

Permohonan yang disertai proposal pembangunan rumah susun

2.

Identitas pemohon (Perorangan/Badan Hukum)

3.

Sertipikat Hak Atas Tanah asli

4.

Ijin layak huni

5.

Advis Planinng

6.

Akta pemisahan yang dibuat oleh penyelenggara pembangunan


Rumah Susun, dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan
dalam arah vertikal maupun horisontal serta nilai perbandingan
proposionalnya *)

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 25.000 / Sarusun (diluar biaya pengukuran)

2.

Waktu: 10 hari kerja.

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam

Keterangan:
*)

Akta Pemisahan dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan

disahkan oleh Pejabat yang berwenang (Bupati/ Walikota)


Catatan :
1.

Bahwa Kantor Pertanahan menjadii Sekretariat kegiatan


pengesahan akta pemisahan dan pertelaan

2.

Kepala Kantor Pertanahan menetapkan sistem perhitungan nilai


perbandingan proposional dan pembuatan gambar dan uraian
pertelaan khususnya dalam menentukan hak perseorangan dan
hak bersama atas tanah, bagian dan benda bersama

3.

Gambar dan uraian pertelaan dengan nilai perbandingan


proposional dilampirkan pada akta pemisahan yang dibuat dan
ditandatangani pemohon untuk disahkan oleh Bupati/Walikota
(Khusus DKI oleh Gubernur)

4.

Kegiatan no 1 dan 3 dibuat alur kegiatan pengesahan akta


pertelaan

5.

Pemberian Informasi surat Ukur di kenakan Biaya Rp.25000

meliputi Kegiatan:
1.

Surat Ukur untuk sertipikat pengganti karena


(Rusak,Hillang,ganti blanko dan sertipikat yang tidak di
serahkan karena ekskusi lelang serta penggantian
sertipikat berdasarkan Keputusan Pengadilan

2.

Salinan Surat Ukur untuk keperluan permohonan


perubahan hak,perpajangan dan pembaharuan hak atas
tanah.

3.

Permohonan informasi tentang satu bidang tanah


berupa fotocopy surat ukur sesuai dengan DI 207pada
PMNA/KBPN Nomor 3/1997.

6.

35 hari adalah jangka waktu maksimal

7.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam

Dasar Hukum:
Sertipikat Wakaf Untuk
Tanah Terdaftar

1.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria (UUPA).

2.

UU Tentang Perwakafan Tanah Milik.

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.

4.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah.

5.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977.

6.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis


Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan
Pertanahan Nasional.

7.

Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900


Tanggal 31 Juli 2003.

Persyaratan:
1.

Surat Permohonan.

2.

Akta Ikrar Wakaf.

3.

Sertipikat Hak Milik asli.

4.

Surat Pengesahan Nadzir.

5.

Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan.

6.

Identitas Wakif (fotocopy KTP dan dilegalisir oleh Pejabat yang


berwenang).

7.

Identitas Nadzir (fotocopy KTP dan dilegalisir oleh Pejabat yang


berwenang).

Biaya dan Waktu


1.

Rp. 0,-

2.

Waktu: maksimal 20 hari kerja.

3.

1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam.

Sumber: bpn.go.id

Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses
pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat
akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka
harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya
tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari
nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada
yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh
tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu
mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Untuk tanah yang memiliki surat minim itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa
dimana tanah itu berada, letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa
atau Kelurahan. Dalam masyarakat masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku
letter C, karena didalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan sangat jarang
dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan
penarikan pajak, dan keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C itu sangatlah tidak lengkap
dan cara pencatatannya tidak secara teliti sehingga akan banyak terjadi permasalahan yang timbul
dikemudian hari dikarenakan kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku letter C tersebut. Adapun
kutipan Letter C terdapat dikantor Kelurahan, sedangkan Induk dari Kutipan Letter C terdapat di Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah memiliki alat
bukti berupa girik sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut
merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti
kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang
Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti

kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan
Letter C yang berada di Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. Juga masih terjadinya
peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi
peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh
akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27
Maret 1993, Nomor : SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan
Obyek Pajak (KP.PBB II). Saat ini dibeberapa wilayah Jakarta pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan, sudah ditiadakannya mutasi girik, hal ini disebabkan karena banyaknya timbul permasalahan
yang ada di masyarakat karena dengan bukti kepemilikan berupa girik menimbulkan tumpang tindih dan
kerancuan atau ketidakpastian mengenai obyek tanahnya. Maka peran serta buku kutipan letter C sangat
dominan untuk menjadi acuan atau dasar alat bukti yang dianggap masyarakat sebagai alat bukti
kepemilikan tanah.
Sebagai contoh, dalam hal seorang warga yang akan mengurus sertipikat, padahal tanahnya pada saat ini
baru berupa girik, maka yang dilakukan Kepala Desa atau Kelurahan adalah dengan berpedoman pada
keadaan fisik tanah, penguasaan, bukti pembayaran pajak. Seorang Kepala Desa atau Kelurahan akan
mencocokkan girik tersebut pada Kutipan Letter C pada Kelurahan. Sedangkan pengajuan hak atas tanah
untuk yang pertama kali adalah harus ada Riwayat Tanah (yang dikutip dari letter C) serta Surat Keterangan
Tidak Dalam Sengketa yang diketahui oleh Kepala Desa atau Kelurahan. Dengan dipenuhinya dokumen
alat bukti tersebut seorang warga dapat mengajukan permohonan atas kepemilikan tanah tersebut untuk
memperoleh hak atas tanah pada Badan Pertanahan yang disebut Sertipikat.
Pembahasan mengenai pengakuan hak milik atas tanah disertai dengan penerbitan sertipikat tanah
sangatlah penting, setidak-tidaknya karena :

Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang

namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah.
Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.

Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum

apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai
saham.

Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas

berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.


Pengakuan hak milik atas tanah yang dituangkan kedalam bentuk sertipikat merupakan tanda bukti hak
atas tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPA dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,
dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Sertipikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak
mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Sertipikat tanah merupakan salinan buku tanah dan
didalamnya terdapat gambar situasi dan surat ukur serta memuat data fisik dan data yuridis sesuai dengan

data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Data fisik mencakup keterangan
mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang
tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan
data yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk daftar, sedangkan data fisik dalam surat ukur
disajikan dalam peta dan uraian. Untuk sertipikat tanah yang belum dilengkapi dengan surat ukur disebut
sertipikat sementara. Fungsi gambar situasi pada sertipikat sementara terbatas pada penunjukan objek hak
yang didaftar, bukan bukti data fisik. Sedangkan buku Letter C sebagai satu poin penting dalam persyaratan
pengurusan sertipikat jika yang dimiliki sebagai bukti awal kepemilikan hak atas tanah itu hanya berupa
girik, ketitir, atau petuk.

Penyebab Jual Beli Tanah Dianggap Tidak Sah

Dalam pemeriksaan sertifikat, pastikan bahwa tanah dan bangunan tersebut tidak sedang
berada di bawah hak tanggungan atau sedang dalam sita jaminan, atau sedang diblokir
karena terlibat sengketa hukum.
Tanah dan bangunan adalah benda tidak bergerak (benda tetap) sehingga proses jual
belinya berbeda dengan jual beli benda bergerak seperti kendaraan, televisi, dan lain-lain.
Secara hukum, jual beli benda bergerak terjadi secara tunai dan seketika, yaitu selesai
ketika pembeli membayar harganya dan penjual menyerahkan barangnya.
Hal tersebut berbeda dengan jual beli tanah dan bangunan yang memerlukan akta otentik.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.
Dalam proses jual beli tanah dan bangunan, akta tersebut dibuat oleh Notaris/PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah). Jual beli tanah dan bangunan yang dilakukan dengan perjanjian di
bawah tangan tidaklah sah, dan tidak menyebabkan beralihnya tanah dan bangunan dari
penjual kepada pembeli (meskipun pembeli telah membayar lunas harganya).
Jual beli tanah dan bangunan memang harus dilakukan dengan Akta Jual Beli (AJB) yang
dibuat oleh Notaris/PPAT. Berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan
jual beli tanah dan bangunan:
Periksa dulu obyek tanah dan bangunan yang akan dibeli. Pemeriksaan bisa meliputi
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan sertifikat.
Setelah pemeriksaan fisik, pembeli dapat melakukan pemeriksaan pajak (PBB) di kantor
pajak dan pemeriksaan sertifikat tanah dan bangunan di kantor pertanahan setempat.
Pemeriksaan PPB di kantor pajak dilakukan untuk memastikan bahwa pemilik tanah telah
melunasi seluruh PBB yang menjadi kewajibannya.
Dalam pemeriksaan sertifikat, pastikan bahwa tanah dan bangunan tersebut tidak sedang
berada di bawah hak tanggungan atau sedang dalam sita jaminan, atau sedang diblokir
karena terlibat sengketa hukum. Jika diperlukan, calon pembeli juga dapat memastikan
tanah dan bangunan tersebut tidak sedang berada dalam sengketa, yaitu dengan
memeriksanya ke Pengadilan Negeri di mana tanah dan bangunan tersebut terletak.

Selanjutnya, jika berdasarkan pemeriksaan tanah dan bangunan tersebut tidak bermasalah,
proses jual beli dilakukan dengan pembuatan AJB di kantor Notaris/PPAT. Jika penjual dan
pembeli tidak sempat atau tidak mengerti proses dan tata cara pemeriksaan tanah
sebagaimana dimaksud di atas, penjual dan pembeli dapat meminta Notaris/PPAT untuk
melakukan pemeriksaan tersebut sebelum dibuatnya AJB.
AJB merupakan syarat untuk pencatatan balik nama sertifikat tanah dari penjual kepada
pembeli. Dalam pembuatan AJB, masing-masing pihak penjual dan pembeli berkewajiban
membayar pajak transaksi. Penjual wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
sebesar 5% dan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) sebesar 5%. Setelah pembuatan AJB dan pembayaran pajak, maka Notaris/PPAT
akan melakukan balik nama sertifikat di kantor pertanahan dan setelah itu tanah dan
bangunan telah sah menjadi milik pembeli.
sumber : kompas.com

INFO
LAIN
TENTANG
JENIS-JENIS
SERTIFIKAT
:
Sebelum membeli properti, baik tanah, rumah, maupun apartemen, perlu Anda
ketahui status hukum atas properti tersebut. Soal sertifikat, misalnya. Apakah
statusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangun, atau Hak Pakai?
Urusan status tentu penting. Salah sedikit, ujung-ujungnya yang didapat bukan
kenyamanan, melainkan kerugian dan penyesalan.
Untuk itu, memilih hunian atau properti tidak bisa sembarangan. Pemilihannya
harus dilakukan dengan pemikiran matang dan investigasi yang mendalam,
terutama pada sertifikat tanahnya. Karena sertifikat tanah menjadi bukti
kepemilikan atau penguasaan atas tanah berdirinya hunian Anda.
Kepala Bidang Humas Badan Pertanahan Republik Indonesia, Doli Manahan
Panggabean, sertifikat kepemilikan tanah sangat penting bagi siapa pun yang
memiliki dan menguasai tanah tersebut. Sertifikat tanah juga menjadi bukti
penguasaan sah atas hukum pertanahan.
Ada beberapa macam sertifikat hak atas tanah yang dikenal dalam undangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yaitu:
SHM (Sertifikat Hak Milik)
SHM merupakan jenis sertifikat dengan kepemilikan hak atas penuh oleh
pemegang sertifikat tersebut. SHM juga menjadi bukti kepemilikan paling kuat
atas lahan atau tanah karena tidak ada lagi campur tangan ataupun kemungkinan
kepemilikan pihak lain.

Status SHM juga tak memiliki batas waktu. Sebagai bukti kepemilikan paling
kuat, SHM menjadi alat paling valid untuk melakukan transaksi jual beli maupun
penjaminan untuk kepentingan pembiayaan perbankan.
SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangun)
SHGB memiliki batas waktu tertentu, biasanya 20 tahun. Pemilik SHGB bisa saja
meningkatkan status kepemilikan atas tanah yang mereka kuasai dalam bentuk
SHM. Biasanya, peningkatan status sertifikat dari SHGB ke SHM karena di atas
tanah itu didirikan bangunan tempat tinggal.
Sepanjang bidang tanah tersebut terdapat bangunan yang dipergunakan untuk
rumah tinggal, dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Biaya peningkatan itu
sebenarnya tidak ada. Hanya cukup mendaftarkan diri untuk peningkatan hak
milik dengan ketentuan yang berlaku, ada IMB. Jika tak ada IMB, cukup diganti
surat Model PNI dari kelurahan di atas tanah bidang tersebut yang menyatakan
untuk rumah tinggal, kata Doli.
SHSRS (Sertifikat Hak Satun Rumah Susun)
Adapun SHSRS berhubungan dengan kepemilikan seseorang atas rumah vertikal,
rumah susun yang dibangun di atas tanah dengan kepemilikan bersama.
Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah susun digunakan untuk
memberi dasar kedudukan atas bench tak bergerak yang menjadi obyek
kepemilikan di luar unit, mulai taman, tempat parkir, sampai area lobi.

Pahami Perbedaan Hukum dari PPJB


dan AJB!
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para
pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang
bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
Pada proses transaksi jual beli tanah, kita seringkali mendengar dua istilah ini, PPJB dan
AJB. Kedua istilah itu merupakan sama-sama perjanjian, tapi memiliki akibat hukum yang
berbeda.
PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli.
Perbedaan utama keduanya adalah pada sifat otentikasinya.
PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat di bawah
tangan atau akta nonotentik. Akta non otentik berarti akta yang dibuat hanya oleh para pihak
atau calon penjual dan pembeli, tetapi tidak melibatkan notarsi/PPAT.

Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tidak mengikat tanah sebagai obyek
perjanjiannya, dan tentu, tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke
pembeli.
Umumnya, PPJB mengatur bagaimana penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli.
Namun demikian, hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu.
Misalnya, tanahnya masih dalam jaminan bank atau masih diperlukan syarat lain untuk
dilakukannya penyerahan. Maka, dalam sebuah transaksi jual beli tanah, calon penjual dan
pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berbeda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT
dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT,
maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan atau balik nama dari penjual
kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para
pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang
bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik. Sekali lagi,
AJB sifatnya otentik!

Cara Menghitung Pajak Tanah yang


Anda Beli!
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual
beli tanah ini adalah harga transaksi.
Pada saat melakukan jual-beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual tentu
akan dikenakan pajak. Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang
pembayaran harga tanah yang diterimanya, sedangkan Anda, misalnya, sebagai pembeli
akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak
atas tanahnya. Nah, sudah tahu cara menghitungnya?
Perlu diketahui, BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual-beli tanah,
melainkan juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, seperti tukarmenukar, hibah, waris, pemasukan tanah ke dalam perseroan, dan lain-lainnya. Pada
transaksi jual-beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan itu, yaitu pembeli.
Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh Anda sebagai pembeli, dasar pengenaan BPHTB
adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah ini adalah harga
transaksi. Ini jelas berbeda, misalnya, dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang
dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga lebih kecil
dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual dan pembeli.
Terkadang, harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP.
Namun, apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan

NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai
penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut, yaitu nilai paling tinggi di antara
NPOP dan NJOP.
NPOPTKP
Selain NPOP dan NJOP, faktor lain perlu Anda perhatikan dalam menentukan besarnya
BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP
adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.
Contohnya? Jika harga transaksi tanah Rp 100.000.000, maka sebelum harga transaksi
tersebut dikenakan tarif BPHTB (5 persen), terlebih dahulu harga transaksi itu dikurangi
NPOPTKP. Misalnya. dikurangi NPOPTKP sebesar Rp 80.000.000 untuk daerah DKI
Jakarta. Hal ini akan membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan nilai pajak
penjual, karena penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Contoh menghitung BPHTB
Tentunya, setiap daerah memiliki penetapan NPOPTKP berbeda-beda, tergantung peraturan
daerah tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp
80.000.000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp 350.000.000 untuk perolehan hak karena
waris atau hibah wasiat diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah.
Anda membeli tanah milik si A dengan nilai jual beli sebesar Rp 200.000.000. Maka, pajak
penjual dan pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB)
NPOP: Rp 200.000.000
NPOPTKP: Rp 80.000.000
NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000
BPHTB: : 5 % x Rp 120.000.000 = Rp 6.000.000
Pajak Penjual (PPh)
NPOP: Rp 200.000.000
NPOP Kena Pajak: Rp 200.000.000
PPh: 5% x Rp 200.000.000 = Rp 10.000.000

Mengubah HGB ke SHM


Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya
NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP
sebagai berikut: 2 x (NJOP Tanah Rp 60 juta).
Tanah dengan status sertifikat hak guna bangunan (HGB) bisa ditingkatkan statusnya
menjadi sertifikat hak milik (SHM) dengan melakukan pengurusan pada kantor pertanahan di
wilayah tanah itu berada. Selain tidak repot, prosesnya juga cepat. Berikut langkah-langkah

mengurusnya:
Sertifikat asli
Siapkan sertifikat asli HGB yang akan diubah status. Tanpa sertifikat ini, upaya Anda untuk
mengubah status akan sia-sia. Oleh karena itu, Anda harus menyiapkannya lebih awal
dengan membuat copysertifikat HGB.
Fotokopi IMB
Langkah selanjutnya adalah menyiapkan fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini
berguna sebagai bukti legalitas yang memperbolehkan tanah digunakan untuk mendirikan
bangunan.
Identitas diri
Jangan lupa juga untuk fotokopi identitas diri. Lampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk
(KTP) sebagai keterangan identitas pengajuan Anda. Siapkan fotokopi SPPT PBB (Pajak
Bumi dan Bangunan) yang terakhir. Lampiran ini diperlukan untuk melihat jejak rekam pajak,
seperti luas tanah dan luas bangunan yang kena pajak.
Surat permohonan
Anda juga harus mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat. Surat ini sebaiknya sudah diproses sebelum Anda mengajukan pengubahan
status sertifikat HGB menjadi SHM. Ketika surat ini sudah ada, segeralah di-copy beberapa
lembar dan lampirkan aslinya bersama dengan lampiran lain.
Membayar biaya
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya
NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP
sebagai berikut: 2% x (NJOP Tanah Rp 60 juta).
Sebagai gambaran, untuk tanah seluas 100m2 di Jakarta dengan NJOP sebesar Rp 1 juta
per meter persegi, Anda mesti membayar Rp 800.000. Perlu diingat, bahwa angka variabel
tergantung daerahnya. Misalnya, Jakarta angka variabelnya sebesar Rp 60 juta, Tangerang
sebesar Rp 50 juta, dan Bekasi sebesar Rp 30 juta.
Jasa notaris
Namun, jika tak mau repot, Anda juga bisa menggunakan jasa notaris PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah) untuk pengurusan HGB ke SHM. Tentunya, Anda harus menyiapkan
dana sekitar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta untuk jasa notaris itu. (penulis :Hotmian Siahaan)

aksa Berwenang Menyita Sertifikat Asli


Tanah?
Dengan hormat. Saya mempunyai persoalan sebagai berikut, saya dengan beberapa tetangga
satu kompleks dipanggil oleh kejaksaan untuk menjadi saksi atas dugaan korupsi dari
pemilik/pengelola tanah sebelumnya. Pada saat dipanggil untuk dimintakan kesaksiannya kami
diminta untuk membawa dokumen asli sertifikat tanah yang kami miliki. Karena berhalangan

saya tidak bisa hadir. Tetangga yang hadir diminta untuk menyerahkan sertifikat aslinya
kepada kejaksaan untuk dijadikan barang bukti. Kami tidak tahu apakah kasus tersebut sudah
disidangkan atau belum. Jaksa tersebut meminta sertifikat asli, bukan photocopy. Yang
menjadi pertanyaan; 1. Apakah diperbolehkan menurut UU bahwa jaksa mengambil barang
bukti dari saksi sebelum sidang dimulai? 2. Apakah benar untuk kasus sertifikat tanah, barang
bukti harus diserahkan yang asli, dan tidak diperkenankan menyerahkan copynya (sudah
dilegalisir)? Terima kasih sebelumnya, Salam.
SETYO2

Tweet

Jawaban:
ERIC MANURUNG, S.H.

Dari kronologis yang Saudara ceritakan dan pertanyaan yang diajukan, maka
sebelumnya kami ingin mengetahui pemeriksaan yang dilakukan jaksa tersebut
sudah sampai di tingkat apa? Jika jaksa meminta sertifikat tanah tersebut dalam
tahap penyidikan, maka jaksa memiliki wewenang dan saksi wajib menyerahkan
sertifikat tersebut guna melengkapi berkas penyidikan. Namun, jika proses yang
dijalani sudah sampai pada tahap penuntutan, maka jaksa tidak berwenang meminta
saksi menyerahkan sertifikat tanah tersebut. Karena pada tingkat ini, Pengadilanlah
melalui hakim yang memeriksa perkara tersebut yang berwenang untuk meminta
sertifikat itu diperiksa di persidangan.

Jika proses/tahap yang sedang dilakukan adalah tahap penyidikan,maka sesuai


dengan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan:
di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang.

Penyidikan, menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab


Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dan dalam tahap penyidikan tersebut, Penyidik diberi kewenangan antara lain untuk
melakukan Penangkapan (Pasal 16 KUHAP), Penahanan (Pasal 20 KUHAP),
Penggeledahan (Pasal 32 KUHAP), Penyitaan (Pasal 38 KUHAP) dan pemeriksaan
surat (Pasal 47 KUHAP).

Jadi, yang Anda maksud dengan pengambilan barang bukti oleh jaksa adalah
penyitaan yang dilakukan dalam penyidikan. Dalam Pasal 39 huruf e KUHAP
dinyatakan antara lain bahwa yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda lain
yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Karena
itu penyitaan yang dilakukan jaksa adalah sah dan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki oleh jaksa dalam melakukan penyidikan guna melengkapi berkas-berkas
yang akan dibawa ke pengadilan nantinya.

Mengenai keharusan menyita sertifikat tanah asli sebagai barang bukti, hal itu sesuai
dengan Petunjuk Teknis Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tahun 2003
Nomor: B581/f/fek.2/7/1991 perihal Pengamanan terhadap Benda
Sitaan/Barang Bukti Tanah dalam Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi
(Juknis). Di dalam Juknis tersebut disebutkan antara lain bahwa penyitaan
terhadap tanah selalu disertai dengan penyitaan terhadap surat-suratnya baik yang
sudah berbentuk SERTIFIKAT maupun yang masih berbentuk girik. Disebutkan juga
bahwa jaksa juga melakukan penelitian terhadap keabsahan surat-suratnya baik
yang berbentuk Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan maupun Hak Guna Usaha.

Dari Juknis tersebut dapat dilihat bahwa surat-surat/sertifikat tersebut harus


dilakukan penelitian keabsahannya/keasliannya. Karena itu, dapat dipahami yang
dimaksud untuk disita atas sertifikat tanah adalah sertifikat asli dari tanah yang akan
disita tersebut.

Penyitaan sertifikat asli tanah oleh kejaksaan memang memiliki sisi negatif dan
positif. Sisi negatifnya, menurut Togar R. Hoetabarat,S.H.*selaku mantan
Pelaksana tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), jika sertifikat tanah yang
asli disita dan dipegang oleh jaksa, maka tidak jelas siapa yang akan bertanggung
jawab jika barang sitaan tersebut hilang atau rusak, apakah jaksa penuntut umum
atau institusi kejaksaan. Padahal, di kemudian hari hakim dapat memutuskan untuk
mengembalikan barang sitaan tersebut kepada pemiliknya yang sah.

Sementara itu, sisi positifnya, masih menurut Togar, adalah jika sita dilakukan
terhadap sertifikat asli, maka jika hakim memutuskan untuk mengeksekusi benda
sitaan, maka benda sitaan (sertifikat asli tanah) tersebut telah memiliki nilai.

Togar berpendapat sebaiknya untuk mengurangi resiko bagi Jaksa/Kejaksaan


sebaiknya benda sitaan berupa sertifikat asli tanah tetap dilakukan penyitaan namun
sertifikat tersebut tetap dipegang oleh pemiliknya atau orang yang namanya
tercantum dalam sertifikat. Sehingga, jika terjadi kehilangan atau kerusakan adalah
tanggung jawab yang memegang sertifikat tersebut. Namun jika Hakim memutuskan
untuk mengeksekusi benda sitaan, maka jaksa dapat langsung mengeksekusi
sertifikat asli tanah tersebut walaupun dipegang oleh pemiliknya.

Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga dapat menjawab pertanyaan
Saudara.

*Catatan: Penjawab meminta pendapat Togar R Hoetabarat pada 11 Mei 2011.

Sertifikat Tanah yang Rusak


Selamat pagi. Kami ingin menanyakan beberapa hal mengenai sertifikat tanah. Sertifikat
tanah keluarga kami rusak karena dimakan rayap sehingga tidak ada sisa dari dokumen
tersebut. Bagaimana prosedur yang harus kami lakukan untuk mendapatkan sertifikat
penggantinya? Bagaimana status sertifikat yang baru tersebut? Terima kasih atas jawabannya.
ZAINAB AFRA

Tweet

Jawaban:
D I A N A K U S U M A S A R I , S . H ., M . H .

Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah, pemegang hak atas tanah dapat mengajukan permohonan kepada
Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar diterbitkan sertifikat pengganti
atas sertifikat yang rusak atau hilang.

Sertifikat asli tanah yang Anda miliki sebagai pemegang hak atas tanah
sebenarnya hanyalah salinan dari buku tanah yang disimpan di Kantor BPN.
Sehingga, permohonan sertifikat pengganti ini dapat diajukan oleh pihak yang
namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang ada di
kantor BPN atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta
PPAT (Pejabat Pembuat Akata Tanah) atau kutipan risalah lelang.

Menurut Irma Devita Purnamasari, SH, M.Kn. dalam buku Hukum


Pertanahan prosedur yang harus dilakukan untuk mendapatkan sertifikat
pengganti adalah pemegang hak
permohonan dengan melampirkan:
1.

atas

tanah

harus

mengajukan

surat

Surat laporan kehilangan sertifikat tersebut dari kepolisian setempat. Untuk


mengajukan laporan hilang pemohon harus membawa:

Fotokopi sertifikat yang hilang

Surat keterangan Lurah setempat yang menerangkan bahwa memang


benar ada tanah yang tertera dalam fotokopi sertifikat tanah tersebut dan
berlokasi di kelurahan itu.

2.

Bukti pengumuman sertifikat hilang dalam surat kabar sebanyak 2x2 bulan.

3.

Bukti pengumuman sertifikat hilang dalam Lembaran Berita Negara Republik


Indonesia sebanyak 2x2 bulan.

4.

Fotokopi KTP pemohon yang dilegalisasi.

5.

Bukti Kewarganegaraan RI yang dilegalisasi (WNRI).

6.

Bukti Pembayaran Lunas PBB tahun terakhir.

7.

Aspek penatagunaan tanah jika terjadi perubahan penggunaan tanah.

Lebih lanjut Irma Devita menjelaskan, untuk menerbitkan sertifikat pengganti,


biasanya Kantor Pertanahan akan melakukan peninjauan lokasi dan melakukan
pengukuran ulang untuk memastikan bahwa keadaan tanah tersebut masih seperti
yang tertera dalam Buku Tanah dan copy sertifikat dari pemohon. Setelah dilakukan
pengukuran, proses penerbitan sertifikat akan dilanjutkan. Apabila semua proses
berjalan dengan normal, dalam arti tidak ada pihak-pihak yang mengajukan
keberatan atau gugatan, maka sertifikat pengganti akan terbit dalam waktu 3 (tiga)
bulan setelah permohonan.
Status sertifikat tanah yang baru tersebut adalah sama sahnya dengan sertifikat
aslinya karena dikeluarkan oleh BPN dan dicatatkan dalam buku tanah.
Demikian semoga bermanfaat.

Keaslian Sertifikat Tanah


Dear hukum online. 1. Saya ingin mempertanyakan, bagaimana mengetahui keaslian dari
sertifikat tanah yang telah dikeluarkan oleh BPN? 2. Apakah sertifikat yang dikeluarkan oleh
BPN harus sama dengan PBB-nya? Apabila PBB-nya atas nama orang lain apakah boleh?
Sementara nama pemilik tanah yang tertera di sertifikat tanah berbeda dengan nama yang
tertera di PBB-nya. 3. Apa konsekuensi dan akibat hukum serta dasar-dasar hukum yang
melandasi mengenai permasalahan di atas. Mohon untuk dijelaskan secara detail dan
terperinci. Terima kasih untuk jawabannya.
CHRISTOPER

Tweet

Jawaban:
S H A N T I R A C H M A D S YAH , S . H .

1.

Untuk mengecek keaslian sertipikat, Anda dapat datang ke kantor Badan


Pertanahan Nasional (BPN) setempat. Pasal 34 PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24/1997)menyatakan bahwa setiap
orang yang berkepentingan berhak mengetahui data fisik dan data yuridis yang
tersimpan di dalam peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur dan buku tanah.
Jadi, Anda berhak untuk melakukan pengecekan data yuridis dan data fisik suatu
tanah, termasuk mengecek apakah suatu sertipikat tanah asli atau tidak.
Bawalah sertipikat asli untuk dicocokkan dengan buku tanah yang disimpan oleh
BPN. Anda juga bisa meminta bantuan pada PPAT untuk mengecek keaslian
sertipikat tanah tersebut, namun prosedurnya juga sama, yaitu PPAT tersebut
akan membawa sertipikat tersebut untuk dicocokkan dengan buku tanah yang
disimpan di BPN.
Menurut informasi dalam situs bpnsurabaya.com, dokumen-dokumen yang harus
dibawa untuk melakukan pengecekan sertipikat adalah:
1 asli sertipikat hak atas tanah
1 Fotokopi identitas diri pemohon dan atau kuasanya yang dilegalisir
1 surat kuasa, jika pengecekan sertipikat itu dikuasakan
1 Surat permohonan

Adapun biaya untuk pengecekan sertipikat


situsbpnsurabaya.com, adalah sebesar Rp25 ribu.

di

BPN,

masih

menurut

2.

Slip Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukanlah bukti kepemilikan tanah,
melainkan hanya bukti pembayaran pajak. Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997
menyatakan bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

3.

Mengenai data slip bukti pembayaran PBB yang berbeda, hal ini mungkin saja
karena masih dalam proses untuk perubahan data di kantor pajak. Akan tetapi,
perbedaan nama di PBB dan sertipikat tanah tidak akan menyebabkan
kepemilikan tanah dipertanyakan, karena yang berlaku sebagai bukti hak atas
tanah adalah sertipikat, bukan slip pembayaran PBB.

Prosedur Mengurus Hak Milik Atas Tanah


untuk Rumah Tinggal
Beberapa waktu lalu saya membeli rumah dari developer dan diberi tahu bahwa saya hanya
mendapatkan SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan). Padahal harga yang saya bayar adalah
termasuk tanah dan bangunan. Saya bingung kenapa saya tidak mendapatkan hak milik atas

rumah dan tanah tersebut? Untuk itu mohon bisa dijelaskan perihal perbedaan SHGB
(Sertifikat Hak Guna Bangunan) dan SHM (Sertifikat Hak Milik) dari segi hukumnya. Kapan
kita membeli rumah mendapatkan SHGB dan kapan mendapatkan SHM? Dari segi hukum,
apakah SHGB lebih lemah, artinya jika masa berlaku habis, properti kita bisa diambil alih oleh
pemerintah tanpa persetujuan pemegang SHGB? Apakah SHGB bisa diubah menjadi SHM, dan
berapa kira-kira biayanya? Mohon penjelasannya, terima kasih.
GLORIA

Tweet

Jawaban:
RETNO S. DARUSSALAM, S.H.

Hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan hak-hak atas tanah seperti Hak
Milik dan Hak Guna Bangunan diatur dalam Bagian III dan Bagian V UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Dalam kaitan ini, Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) hanya memberikan
hak kepada pemegangnya memanfaatkan tanah untuk mendirikan bangunan di
atas tanah yang bukan miliknya, karena kepemilikan tanah tersebut dipegang
oleh Negara, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Setelah jangka waktu
tersebut berakhir, SHGB dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Dan bila
lewat dari waktu yang ditentukan maka hak atas tanah tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya sepenuhnya dikuasai langsung oleh Negara.

Berbeda dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), pemegang haknya mempunyai


kepemilikan yang penuh atas tanah dan merupakan hak turun temurun yang
terkuat dari hak-hak atas tanah lainnya yang dikenal dalam UUPA. Hanya warga
Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Sedangkan, perusahaanperusahaan swasta, seperti misalnya developer atau perusahaan pengembang
perumahan tidak dapat mempunyai tanah dengan status Hak Milik. Mereka
hanya diperbolehkan sebagai pemegang SHGB. Dalam hal developer membeli
tanah penduduk yang semula berstatus tanah-tanah Hak Milik, maka dalam
penerbitan sertifikat hak atas tanah, Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan
menurunkan status tanah-tanah yang dimiliki developertersebut dari penduduk,
menjadi berstatus Hak Guna Bangunan, yaitu hanya bangunanbangunan yang
dapat dimiliki oleh developer. Sedangkan, tanahnya menjadi milik Negara,
sehingga sertifikat yang dikeluarkan adalah dalam bentuk SHGB. Hal ini diatur
secara tegas dalam Pasal 36 UUPA.

Namun, pemegang SHGB tidak perlu khawatir karena berdasarkanKeputusan


Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun
1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal,
tanah dengan status SHGB dapat diubah menjadi tanah bersertifikat Hak Milik,
dengan cara melakukan pengurusan pada kantor BPN setempat di wilayah tanah
tersebut berada. Pengurusan dapat dilakukan oleh si pemegang SHGB yang
berkewarganegaraan Indonesia ataupun menggunakan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

jasa

Notaris/PPAT.

1.

SHGB asli

2.

copy IMB

3.

copy SPPT PBB tahun terakhir

4.

identitas diri

5.

Surat Pernyataan tidak memiliki tanah lebih dari 5 (lima) bidang yang
luasnya kurang dari 5000 (lima ribu) meter persegi, dan

6.

membayar uang pemasukan kepada Negara.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.

2.

Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998 tentang


Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal.

Keabsahan Sertifikat Tanah


Saya ingin menanyakan tentang keabsahan sertifikat yang ditandatangani oleh ketua tim
adjustifikasi dalam sertfikat hak milik? Bila memang sah, apa dasar hukumnya? Mengingat
yang selama ini terjadi sertifikat ditandatangani oleh Ketua BPN.
VICTOR C HANDOJO

Tweet

Jawaban:
S H A N T I R A C H M A D S YAH , S . H .

Mungkin yang Anda maksud adalah Panitia Ajudikasi. Ajudikasi adalahkegiatan


yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali,
meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis
mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya (lihat pasal 1 angka 8 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah/PP No. 24 Tahun 1997). Panitia Ajudikasi ini dibentuk
oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN atau pejabat yang ditunjuk, dan
bertugas untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan
pendaftaran tanah sistemik (lihat pasal 8 ayat [1] PP No. 24 Tahun 1997).
Menurut pasal 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 7
Tahun 1998 tentang Kewenangan Menandatangani Buku Tanah, Surat
Ukur dan Sertipikat, buku tanah, sertipikat dan surat ukur dalam pendaftaran
tanah bisa ditandatangani oleh ditandatangani oleh Ketua Panitia Ajudikasi atas
nama Kepala Kantor Pertanahan dalam hal;
1.

pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik yang melibatkan


Panitia Ajudikasi.

2.

pemeliharaan dan pendaftaran tanah yang telah didaftar untuk pertama kali
secara sistematik, sepanjang hal tersebut dilakukan sebelum penyerahan
hasil kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik kepada Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana diatur dalam pasal 72 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.

Jadi, memang bisa ada sertipikat yang ditandatangani Ketua Panitia Ajudikasi,
dan sertipikat itu tetap berlaku sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

2.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang


Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah

3.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 7 Tahun 1998 tentang


Kewenangan Menandatangani Buku Tanah, Surat Ukur dan Sertipikat

Pengurusan sertifikat tanah


Saya tinggal di Jakarta Selatan, memperoleh hibah (secara notarial) atas satu tanah dan
bangunan dari almarhum kakek saya. Saat ini saya berupaya untuk meningkatkan statusnya
dari "Occupatie Verguning" menjadi SHM. Prosedur dan biaya apa saja yang harus saya
penuhi?
FAJA R 2 0 6

Tweet

Jawaban:
A L F I R E N ATA, S . H .

Tanah yang dimaksud adalah tanah yang belum bersertipikat. Untuk pensertipikatan
tanah (pendaftaran tanah untuk pertama kali), prosedurnya adalah sebagai berikut:
-

Anda ke Kantor Pertanahan setempat, dalam hal ini Kantor Pertanahan


Kotamadya Jakarta Selatan, untuk mengajukanpermohonan hak. Dalam hal ini,
Anda melampirkan:

identitas diri Anda dan Kakek Anda (KTP, Akta Perkawinan-kalau ada, dan

Kartu Keluarga Anda dan kakek Anda),

akta hibah (sebagai bukti peralihan hak),

2
2

bukti-bukti penguasaan tanah yang dipunyai kakek Anda dahulu,

1
1

Izin Mendirikan Bangunan (IMB),

surat keterangan belum bersertipikat, surat keterangan riwayat tanah, dan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),


Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),

surat keterangan tidak sengketa,


-

Kemudian, menandatangani permohonan-permohonan sesuai formulir yang


diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional. Kemudian, karena hibah dilakukan
antara keluarga dalam garis lurus (kakek Anda dan Anda), maka untuk
menunjukkan hal tersebut sehingga Anda tidak perlu membayar PPh, maka
dilampiri;

Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) dari Kantor Pajak setempat,

1
1

Akta Perkawinan kakek Anda,

1
1

Akta Kelahiran orang tua Anda,

Apabila permohonan pensertipikatan dilakukan melalui jasa notaris/PPAT, juga

Akta Perkawinan orang tua Anda,


Akta Kelahiran Anda,

melampirkan surat kuasa.

Kemudian akan dilakukan pengumpulan dan pengolahan data fisik, seperti


pengukuran oleh Kantor Pertanahan setempat. Juga dilakukan pengumpulan dan
pengolahan data yuridis oleh Kantor Pertanahan setempat, berdasarkan buktibukti yang Anda miliki seperti tersebut di atas.

Setelah diukur, diteliti dan dimohon sertipikat, akan keluar Surat Keputusan
Pemberian Hak. Pada SK Pemberian Hak tersebut akan dicantumkan bahwa untuk
tanah Anda akan diberikan status sebagai tanah hak milik, harus membayar
pemasukan kepada negara, dan mungkin juga membayar PPh dan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sesuai yang tercantum dalam SK. Untuk
Adapun besarnya pemasukan kepada negara adalah 2% x Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) tanah.

Setelah ketentuan dalam SK Pemberian Hak dipenuhi, maka Kantor Pertanahan


akan menerbitkan sertipikat.

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.


Dasar hukum:

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional

Peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan, seperti peraturan

mengenai pajak

Anda mungkin juga menyukai