1) Apakah surat tanah non sertifikat yang kepemilikannya terdaftar & diakui Camat memiliki
kekuatan hukum dan dapat diajukan ke Hukum jika ada pihak lain yang menggarap /
menguasai / mengakui lahan secara fisiknya? 2) Mengenai hal ini berada di UU nomor berapa?
Terima kasih.
ANGGI_SHS
Tweet
Jawaban:
I L M A N H A DI , S . H .
1.
Kami kurang memahami apa maksud dari Surat tanah non sertifikat yang
kepemilikannya terdaftar & diakui Camat, karena bukti kepemilikan hak atas
suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertipikat tanah (lihat Pasal 19
ayat [2] huruf c UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA) jo.Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (PP 24/1997).
Kami asumsikan bahwa surat yang Saudara maksud adalah akta yang
dikeluarkan oleh Camat sebagai PPAT Sementara. Sesuai dengan ketentuan
Pasal 2 PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PP 37/1998):
(1).
(2).
Mengenai apakah akta tersebut memiliki kekuatan hukum, jika akta tersebut
adalah akta jual beli tanah, memang dapat membuktikan telah terjadi transaksi
jual beli tanah. Akan tetapi, untuk pembuktian yang kuat mengenai kepemilikan
atas tanah hanya dapat dibuktikan oleh adanya sertipikat tanah sebagai surat
tanda bukti hak atas tanah.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 PP 24/1997 yang berbunyi:
(1). Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat
di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
(2). Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah
tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak
lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara
tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.
Untuk itu, sebaiknya dilakukan pengurusan sertipikat tanah agar jika terjadi
sengketa (misal: tanah dikuasai secara fisik oleh orang lain), pemilik tanah
mempunyai dasar kepemilikan yang kuat.
Jika kepemilikan atas tanah tersebut tidak dapat didukung dengan bukti-bukti
yang kuat, tanah tersebut mungkin saja didaftarkan oleh orang lain yang
menguasai secara fisik tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut
dan memenuhi syarat dalam Pasal 24 ayat (2) PP 24/1997:
a)
penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh
Jadi, surat/akta yang dikeluarkan oleh Camat seperti yang Saudara sebutkan
belum dapat menjadi pembuktian yang kuat untuk membuktikan hak kepemilikan
atas tanah.
2.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
2. PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Mohon penjelasan di mana saya bisa dapatkan aliran data/proses/prosedur pembuatan
sertipikat tanah terima kasih. Wass, Irina.
INDRI_SUWARDI
Tweet
Jawaban:
S H A N T I R A C H M A D S YAH , S . H .
Untuk prosedur pembuatan sertipikat untuk tanah yang belum bersertipikat sudah
pernah kami bahas, dan dapat Anda lihat di artikel ini.
Prosedur penerbitan sertipikat tanah juga Anda bisa lihat di situs resmi BPN
(bpn.go.id):
PENDAFTARAN PERTAMA KALI
Jenis Layanan
Prosedur
Dasar Hukum:
Sertipikat Wakaf Untuk
Tanah Yang Belum
1.
Terdaftar
2.
3.
4.
5.
Persyaratan:
1.
2.
Surat Permohonan
Identitas diri Wakif (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku
dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang)
3.
4.
5.
b.
6.
7.
8.
2.
120 hari
3.
Dasar Hukum:
Pendaftaran Pertama
Kali Konversi Sistematik
1.
2.
3.
4.
5.
Persyaratan:
1.
2.
3.
b.
c.
d.
e.
f.
h.
i.
j.
k.
l.
4.
5.
2.
3.
Dasar Hukum:
Pendaftaran Tanah
Pertama Kali Konversi
1.
- Sporadik
2.
3.
4.
Pertanahan Nasional.
5.
Persyaratan:
1.
2.
3.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
4.
5.
6.
7.
Pipa besi, Panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm, atau Pipa
paralon diisi beton, panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm
2.
Kayu besi, bengkirai, jati, atau kayu lainnya yang kuat, panjang
100 cm dan bergaris tengah 7.5 cm, atau
3.
Tugu dari batu bata atau batako dilapisi semen 0.20 m X 0.20 m
tinggi 0.40 m, atau
4.
Tugu dari beton , batu kali atau granit 0.10 m2 tinggi 0,5 m, atau
tembok - tembok atau pagar besi / beton / kayu.
untuk sporadik).
2.
120 hari
3.
Dasar Hukum:
Pendaftaran Tanah
Pertama Kali
1.
Pengakuan Dan
2.
3.
4.
5.
Persyaratan:
1.
2.
3.
b.
c.
d.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
4.
5.
6.
7.
Pipa besi, Panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm, atau Pipa
paralon diisi beton, panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm
2.
Kayu besi, bengkirai, jati, atau kayu lainnya yang kuat, panjang
100 cm dan bergaris tengah 7.5 cm, atau
3.
Tugu dari batu bata atau batako dilapisi semen 0.20 m X 0.20 m
tinggi 0.40 m, atau
4.
Tugu dari beton , batu kali atau granit 0.10 m2 tinggi 0,5 m, atau
tembok - tembok atau pagar besi / beton / kayu.
2.
120 hari
3.
Jenis Layanan
Prosedur
Dasar Hukum:
Penggabungan
Sertipikat
1.
2.
3.
4.
5.
Persyaratan:
1.
2.
3.
a.
b.
c.
2.
3.
Keterangan:
Dasar Hukum:
1.
2.
3.
4.
5.
Persyaratan:
1.
2.
3.
4.
2.
3.
Keterangan:
2.
3.
4.
5.
Persyaratan:
1.
2.
3.
4.
2.
3.
Keterangan:
1.
2.
4.
5.
6.
Persyaratan:
1.
2.
3.
2.
4.
5.
6.
7.
2.
3.
Keterangan:
*) dilegalisir oleh pejabat berwenang
Catatan:
1.
2.
1.
2.
3.
5.
6.
Persyaratan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Rp. 50.000,-
2.
3.
Keterangan:
*) dilegalisir oleh pejabat berwenang
Catatan:
1.
2.
2.
3.
Dasar Hukum:
Perubahan Hak Dari
1.
2.
4.
5.
6.
7.
8.
Persyaratan:
1.
2.
3.
4.
5.
Akta Jual Beli / Surat Perolehan (harga perolehan tidak lebih dari
Rp. 30.000.000,-)
6.
7.
Rp. 25.000,-
2.
3.
Keterangan:
*)
Catatan :
1.
2.
Dasar Hukum:
Perubahan Hak Dari
1.
2.
4.
5.
6.
7.
8.
Persyaratan:
1.
2.
3.
4.
Akta Jual Beli / Surat Perolehan (harga perolehan tidak lebih dari
Rp. 30.000.000,-)
6.
7.
Rp. 50.000,-
2.
3.
Keterangan:
*)
Catatan :
1.
2.
3.
2.
3.
Dasar Hukum:
Sertipikat Hak Milik
1.
2.
3.
4.
5.
Susun
1997
6.
7.
8.
Persyaratan:
1.
2.
3.
4.
5.
Advis Planinng
6.
2.
3.
Keterangan:
*)
2.
3.
4.
5.
meliputi Kegiatan:
1.
2.
3.
6.
7.
Dasar Hukum:
Sertipikat Wakaf Untuk
Tanah Terdaftar
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Persyaratan:
1.
Surat Permohonan.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Rp. 0,-
2.
3.
Sumber: bpn.go.id
Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses
pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat
akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka
harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya
tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari
nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada
yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh
tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu
mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Untuk tanah yang memiliki surat minim itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa
dimana tanah itu berada, letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa
atau Kelurahan. Dalam masyarakat masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku
letter C, karena didalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan sangat jarang
dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan
penarikan pajak, dan keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C itu sangatlah tidak lengkap
dan cara pencatatannya tidak secara teliti sehingga akan banyak terjadi permasalahan yang timbul
dikemudian hari dikarenakan kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku letter C tersebut. Adapun
kutipan Letter C terdapat dikantor Kelurahan, sedangkan Induk dari Kutipan Letter C terdapat di Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah memiliki alat
bukti berupa girik sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut
merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti
kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang
Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti
kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan
Letter C yang berada di Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. Juga masih terjadinya
peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi
peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh
akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27
Maret 1993, Nomor : SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan
Obyek Pajak (KP.PBB II). Saat ini dibeberapa wilayah Jakarta pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan, sudah ditiadakannya mutasi girik, hal ini disebabkan karena banyaknya timbul permasalahan
yang ada di masyarakat karena dengan bukti kepemilikan berupa girik menimbulkan tumpang tindih dan
kerancuan atau ketidakpastian mengenai obyek tanahnya. Maka peran serta buku kutipan letter C sangat
dominan untuk menjadi acuan atau dasar alat bukti yang dianggap masyarakat sebagai alat bukti
kepemilikan tanah.
Sebagai contoh, dalam hal seorang warga yang akan mengurus sertipikat, padahal tanahnya pada saat ini
baru berupa girik, maka yang dilakukan Kepala Desa atau Kelurahan adalah dengan berpedoman pada
keadaan fisik tanah, penguasaan, bukti pembayaran pajak. Seorang Kepala Desa atau Kelurahan akan
mencocokkan girik tersebut pada Kutipan Letter C pada Kelurahan. Sedangkan pengajuan hak atas tanah
untuk yang pertama kali adalah harus ada Riwayat Tanah (yang dikutip dari letter C) serta Surat Keterangan
Tidak Dalam Sengketa yang diketahui oleh Kepala Desa atau Kelurahan. Dengan dipenuhinya dokumen
alat bukti tersebut seorang warga dapat mengajukan permohonan atas kepemilikan tanah tersebut untuk
memperoleh hak atas tanah pada Badan Pertanahan yang disebut Sertipikat.
Pembahasan mengenai pengakuan hak milik atas tanah disertai dengan penerbitan sertipikat tanah
sangatlah penting, setidak-tidaknya karena :
Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang
namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah.
Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari
tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.
Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum
apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai
saham.
Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas
data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Data fisik mencakup keterangan
mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang
tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan
data yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk daftar, sedangkan data fisik dalam surat ukur
disajikan dalam peta dan uraian. Untuk sertipikat tanah yang belum dilengkapi dengan surat ukur disebut
sertipikat sementara. Fungsi gambar situasi pada sertipikat sementara terbatas pada penunjukan objek hak
yang didaftar, bukan bukti data fisik. Sedangkan buku Letter C sebagai satu poin penting dalam persyaratan
pengurusan sertipikat jika yang dimiliki sebagai bukti awal kepemilikan hak atas tanah itu hanya berupa
girik, ketitir, atau petuk.
Dalam pemeriksaan sertifikat, pastikan bahwa tanah dan bangunan tersebut tidak sedang
berada di bawah hak tanggungan atau sedang dalam sita jaminan, atau sedang diblokir
karena terlibat sengketa hukum.
Tanah dan bangunan adalah benda tidak bergerak (benda tetap) sehingga proses jual
belinya berbeda dengan jual beli benda bergerak seperti kendaraan, televisi, dan lain-lain.
Secara hukum, jual beli benda bergerak terjadi secara tunai dan seketika, yaitu selesai
ketika pembeli membayar harganya dan penjual menyerahkan barangnya.
Hal tersebut berbeda dengan jual beli tanah dan bangunan yang memerlukan akta otentik.
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.
Dalam proses jual beli tanah dan bangunan, akta tersebut dibuat oleh Notaris/PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah). Jual beli tanah dan bangunan yang dilakukan dengan perjanjian di
bawah tangan tidaklah sah, dan tidak menyebabkan beralihnya tanah dan bangunan dari
penjual kepada pembeli (meskipun pembeli telah membayar lunas harganya).
Jual beli tanah dan bangunan memang harus dilakukan dengan Akta Jual Beli (AJB) yang
dibuat oleh Notaris/PPAT. Berikut langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan
jual beli tanah dan bangunan:
Periksa dulu obyek tanah dan bangunan yang akan dibeli. Pemeriksaan bisa meliputi
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan sertifikat.
Setelah pemeriksaan fisik, pembeli dapat melakukan pemeriksaan pajak (PBB) di kantor
pajak dan pemeriksaan sertifikat tanah dan bangunan di kantor pertanahan setempat.
Pemeriksaan PPB di kantor pajak dilakukan untuk memastikan bahwa pemilik tanah telah
melunasi seluruh PBB yang menjadi kewajibannya.
Dalam pemeriksaan sertifikat, pastikan bahwa tanah dan bangunan tersebut tidak sedang
berada di bawah hak tanggungan atau sedang dalam sita jaminan, atau sedang diblokir
karena terlibat sengketa hukum. Jika diperlukan, calon pembeli juga dapat memastikan
tanah dan bangunan tersebut tidak sedang berada dalam sengketa, yaitu dengan
memeriksanya ke Pengadilan Negeri di mana tanah dan bangunan tersebut terletak.
Selanjutnya, jika berdasarkan pemeriksaan tanah dan bangunan tersebut tidak bermasalah,
proses jual beli dilakukan dengan pembuatan AJB di kantor Notaris/PPAT. Jika penjual dan
pembeli tidak sempat atau tidak mengerti proses dan tata cara pemeriksaan tanah
sebagaimana dimaksud di atas, penjual dan pembeli dapat meminta Notaris/PPAT untuk
melakukan pemeriksaan tersebut sebelum dibuatnya AJB.
AJB merupakan syarat untuk pencatatan balik nama sertifikat tanah dari penjual kepada
pembeli. Dalam pembuatan AJB, masing-masing pihak penjual dan pembeli berkewajiban
membayar pajak transaksi. Penjual wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
sebesar 5% dan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) sebesar 5%. Setelah pembuatan AJB dan pembayaran pajak, maka Notaris/PPAT
akan melakukan balik nama sertifikat di kantor pertanahan dan setelah itu tanah dan
bangunan telah sah menjadi milik pembeli.
sumber : kompas.com
INFO
LAIN
TENTANG
JENIS-JENIS
SERTIFIKAT
:
Sebelum membeli properti, baik tanah, rumah, maupun apartemen, perlu Anda
ketahui status hukum atas properti tersebut. Soal sertifikat, misalnya. Apakah
statusnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangun, atau Hak Pakai?
Urusan status tentu penting. Salah sedikit, ujung-ujungnya yang didapat bukan
kenyamanan, melainkan kerugian dan penyesalan.
Untuk itu, memilih hunian atau properti tidak bisa sembarangan. Pemilihannya
harus dilakukan dengan pemikiran matang dan investigasi yang mendalam,
terutama pada sertifikat tanahnya. Karena sertifikat tanah menjadi bukti
kepemilikan atau penguasaan atas tanah berdirinya hunian Anda.
Kepala Bidang Humas Badan Pertanahan Republik Indonesia, Doli Manahan
Panggabean, sertifikat kepemilikan tanah sangat penting bagi siapa pun yang
memiliki dan menguasai tanah tersebut. Sertifikat tanah juga menjadi bukti
penguasaan sah atas hukum pertanahan.
Ada beberapa macam sertifikat hak atas tanah yang dikenal dalam undangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yaitu:
SHM (Sertifikat Hak Milik)
SHM merupakan jenis sertifikat dengan kepemilikan hak atas penuh oleh
pemegang sertifikat tersebut. SHM juga menjadi bukti kepemilikan paling kuat
atas lahan atau tanah karena tidak ada lagi campur tangan ataupun kemungkinan
kepemilikan pihak lain.
Status SHM juga tak memiliki batas waktu. Sebagai bukti kepemilikan paling
kuat, SHM menjadi alat paling valid untuk melakukan transaksi jual beli maupun
penjaminan untuk kepentingan pembiayaan perbankan.
SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangun)
SHGB memiliki batas waktu tertentu, biasanya 20 tahun. Pemilik SHGB bisa saja
meningkatkan status kepemilikan atas tanah yang mereka kuasai dalam bentuk
SHM. Biasanya, peningkatan status sertifikat dari SHGB ke SHM karena di atas
tanah itu didirikan bangunan tempat tinggal.
Sepanjang bidang tanah tersebut terdapat bangunan yang dipergunakan untuk
rumah tinggal, dapat ditingkatkan menjadi hak milik. Biaya peningkatan itu
sebenarnya tidak ada. Hanya cukup mendaftarkan diri untuk peningkatan hak
milik dengan ketentuan yang berlaku, ada IMB. Jika tak ada IMB, cukup diganti
surat Model PNI dari kelurahan di atas tanah bidang tersebut yang menyatakan
untuk rumah tinggal, kata Doli.
SHSRS (Sertifikat Hak Satun Rumah Susun)
Adapun SHSRS berhubungan dengan kepemilikan seseorang atas rumah vertikal,
rumah susun yang dibangun di atas tanah dengan kepemilikan bersama.
Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah susun digunakan untuk
memberi dasar kedudukan atas bench tak bergerak yang menjadi obyek
kepemilikan di luar unit, mulai taman, tempat parkir, sampai area lobi.
Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tidak mengikat tanah sebagai obyek
perjanjiannya, dan tentu, tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke
pembeli.
Umumnya, PPJB mengatur bagaimana penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli.
Namun demikian, hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab-sebab tertentu.
Misalnya, tanahnya masih dalam jaminan bank atau masih diperlukan syarat lain untuk
dilakukannya penyerahan. Maka, dalam sebuah transaksi jual beli tanah, calon penjual dan
pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berbeda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT
dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT,
maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan atau balik nama dari penjual
kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syara-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para
pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian, PPJB merupakan ikatan awal yang
bersifat di bawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik. Sekali lagi,
AJB sifatnya otentik!
NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai
penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut, yaitu nilai paling tinggi di antara
NPOP dan NJOP.
NPOPTKP
Selain NPOP dan NJOP, faktor lain perlu Anda perhatikan dalam menentukan besarnya
BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP
adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.
Contohnya? Jika harga transaksi tanah Rp 100.000.000, maka sebelum harga transaksi
tersebut dikenakan tarif BPHTB (5 persen), terlebih dahulu harga transaksi itu dikurangi
NPOPTKP. Misalnya. dikurangi NPOPTKP sebesar Rp 80.000.000 untuk daerah DKI
Jakarta. Hal ini akan membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan nilai pajak
penjual, karena penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Contoh menghitung BPHTB
Tentunya, setiap daerah memiliki penetapan NPOPTKP berbeda-beda, tergantung peraturan
daerah tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp
80.000.000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp 350.000.000 untuk perolehan hak karena
waris atau hibah wasiat diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah.
Anda membeli tanah milik si A dengan nilai jual beli sebesar Rp 200.000.000. Maka, pajak
penjual dan pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB)
NPOP: Rp 200.000.000
NPOPTKP: Rp 80.000.000
NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000
BPHTB: : 5 % x Rp 120.000.000 = Rp 6.000.000
Pajak Penjual (PPh)
NPOP: Rp 200.000.000
NPOP Kena Pajak: Rp 200.000.000
PPh: 5% x Rp 200.000.000 = Rp 10.000.000
mengurusnya:
Sertifikat asli
Siapkan sertifikat asli HGB yang akan diubah status. Tanpa sertifikat ini, upaya Anda untuk
mengubah status akan sia-sia. Oleh karena itu, Anda harus menyiapkannya lebih awal
dengan membuat copysertifikat HGB.
Fotokopi IMB
Langkah selanjutnya adalah menyiapkan fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini
berguna sebagai bukti legalitas yang memperbolehkan tanah digunakan untuk mendirikan
bangunan.
Identitas diri
Jangan lupa juga untuk fotokopi identitas diri. Lampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk
(KTP) sebagai keterangan identitas pengajuan Anda. Siapkan fotokopi SPPT PBB (Pajak
Bumi dan Bangunan) yang terakhir. Lampiran ini diperlukan untuk melihat jejak rekam pajak,
seperti luas tanah dan luas bangunan yang kena pajak.
Surat permohonan
Anda juga harus mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat. Surat ini sebaiknya sudah diproses sebelum Anda mengajukan pengubahan
status sertifikat HGB menjadi SHM. Ketika surat ini sudah ada, segeralah di-copy beberapa
lembar dan lampirkan aslinya bersama dengan lampiran lain.
Membayar biaya
Anda akan dikenai biaya peningkatan HGB menjadi SHM. Besar biaya tergantung biaya
NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) dan luas tanah. Adapun rumus menentukan biaya NJOP
sebagai berikut: 2% x (NJOP Tanah Rp 60 juta).
Sebagai gambaran, untuk tanah seluas 100m2 di Jakarta dengan NJOP sebesar Rp 1 juta
per meter persegi, Anda mesti membayar Rp 800.000. Perlu diingat, bahwa angka variabel
tergantung daerahnya. Misalnya, Jakarta angka variabelnya sebesar Rp 60 juta, Tangerang
sebesar Rp 50 juta, dan Bekasi sebesar Rp 30 juta.
Jasa notaris
Namun, jika tak mau repot, Anda juga bisa menggunakan jasa notaris PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah) untuk pengurusan HGB ke SHM. Tentunya, Anda harus menyiapkan
dana sekitar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta untuk jasa notaris itu. (penulis :Hotmian Siahaan)
saya tidak bisa hadir. Tetangga yang hadir diminta untuk menyerahkan sertifikat aslinya
kepada kejaksaan untuk dijadikan barang bukti. Kami tidak tahu apakah kasus tersebut sudah
disidangkan atau belum. Jaksa tersebut meminta sertifikat asli, bukan photocopy. Yang
menjadi pertanyaan; 1. Apakah diperbolehkan menurut UU bahwa jaksa mengambil barang
bukti dari saksi sebelum sidang dimulai? 2. Apakah benar untuk kasus sertifikat tanah, barang
bukti harus diserahkan yang asli, dan tidak diperkenankan menyerahkan copynya (sudah
dilegalisir)? Terima kasih sebelumnya, Salam.
SETYO2
Tweet
Jawaban:
ERIC MANURUNG, S.H.
Dari kronologis yang Saudara ceritakan dan pertanyaan yang diajukan, maka
sebelumnya kami ingin mengetahui pemeriksaan yang dilakukan jaksa tersebut
sudah sampai di tingkat apa? Jika jaksa meminta sertifikat tanah tersebut dalam
tahap penyidikan, maka jaksa memiliki wewenang dan saksi wajib menyerahkan
sertifikat tersebut guna melengkapi berkas penyidikan. Namun, jika proses yang
dijalani sudah sampai pada tahap penuntutan, maka jaksa tidak berwenang meminta
saksi menyerahkan sertifikat tanah tersebut. Karena pada tingkat ini, Pengadilanlah
melalui hakim yang memeriksa perkara tersebut yang berwenang untuk meminta
sertifikat itu diperiksa di persidangan.
Dan dalam tahap penyidikan tersebut, Penyidik diberi kewenangan antara lain untuk
melakukan Penangkapan (Pasal 16 KUHAP), Penahanan (Pasal 20 KUHAP),
Penggeledahan (Pasal 32 KUHAP), Penyitaan (Pasal 38 KUHAP) dan pemeriksaan
surat (Pasal 47 KUHAP).
Jadi, yang Anda maksud dengan pengambilan barang bukti oleh jaksa adalah
penyitaan yang dilakukan dalam penyidikan. Dalam Pasal 39 huruf e KUHAP
dinyatakan antara lain bahwa yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda lain
yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Karena
itu penyitaan yang dilakukan jaksa adalah sah dan sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki oleh jaksa dalam melakukan penyidikan guna melengkapi berkas-berkas
yang akan dibawa ke pengadilan nantinya.
Mengenai keharusan menyita sertifikat tanah asli sebagai barang bukti, hal itu sesuai
dengan Petunjuk Teknis Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tahun 2003
Nomor: B581/f/fek.2/7/1991 perihal Pengamanan terhadap Benda
Sitaan/Barang Bukti Tanah dalam Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi
(Juknis). Di dalam Juknis tersebut disebutkan antara lain bahwa penyitaan
terhadap tanah selalu disertai dengan penyitaan terhadap surat-suratnya baik yang
sudah berbentuk SERTIFIKAT maupun yang masih berbentuk girik. Disebutkan juga
bahwa jaksa juga melakukan penelitian terhadap keabsahan surat-suratnya baik
yang berbentuk Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan maupun Hak Guna Usaha.
Penyitaan sertifikat asli tanah oleh kejaksaan memang memiliki sisi negatif dan
positif. Sisi negatifnya, menurut Togar R. Hoetabarat,S.H.*selaku mantan
Pelaksana tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), jika sertifikat tanah yang
asli disita dan dipegang oleh jaksa, maka tidak jelas siapa yang akan bertanggung
jawab jika barang sitaan tersebut hilang atau rusak, apakah jaksa penuntut umum
atau institusi kejaksaan. Padahal, di kemudian hari hakim dapat memutuskan untuk
mengembalikan barang sitaan tersebut kepada pemiliknya yang sah.
Sementara itu, sisi positifnya, masih menurut Togar, adalah jika sita dilakukan
terhadap sertifikat asli, maka jika hakim memutuskan untuk mengeksekusi benda
sitaan, maka benda sitaan (sertifikat asli tanah) tersebut telah memiliki nilai.
Demikian jawaban yang dapat kami berikan, semoga dapat menjawab pertanyaan
Saudara.
Tweet
Jawaban:
D I A N A K U S U M A S A R I , S . H ., M . H .
Sertifikat asli tanah yang Anda miliki sebagai pemegang hak atas tanah
sebenarnya hanyalah salinan dari buku tanah yang disimpan di Kantor BPN.
Sehingga, permohonan sertifikat pengganti ini dapat diajukan oleh pihak yang
namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang ada di
kantor BPN atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta
PPAT (Pejabat Pembuat Akata Tanah) atau kutipan risalah lelang.
atas
tanah
harus
mengajukan
surat
2.
Bukti pengumuman sertifikat hilang dalam surat kabar sebanyak 2x2 bulan.
3.
4.
5.
6.
7.
Tweet
Jawaban:
S H A N T I R A C H M A D S YAH , S . H .
1.
di
BPN,
masih
menurut
2.
Slip Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bukanlah bukti kepemilikan tanah,
melainkan hanya bukti pembayaran pajak. Pasal 32 ayat (1) PP No. 24/1997
menyatakan bahwa sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
3.
Mengenai data slip bukti pembayaran PBB yang berbeda, hal ini mungkin saja
karena masih dalam proses untuk perubahan data di kantor pajak. Akan tetapi,
perbedaan nama di PBB dan sertipikat tanah tidak akan menyebabkan
kepemilikan tanah dipertanyakan, karena yang berlaku sebagai bukti hak atas
tanah adalah sertipikat, bukan slip pembayaran PBB.
rumah dan tanah tersebut? Untuk itu mohon bisa dijelaskan perihal perbedaan SHGB
(Sertifikat Hak Guna Bangunan) dan SHM (Sertifikat Hak Milik) dari segi hukumnya. Kapan
kita membeli rumah mendapatkan SHGB dan kapan mendapatkan SHM? Dari segi hukum,
apakah SHGB lebih lemah, artinya jika masa berlaku habis, properti kita bisa diambil alih oleh
pemerintah tanpa persetujuan pemegang SHGB? Apakah SHGB bisa diubah menjadi SHM, dan
berapa kira-kira biayanya? Mohon penjelasannya, terima kasih.
GLORIA
Tweet
Jawaban:
RETNO S. DARUSSALAM, S.H.
Hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan hak-hak atas tanah seperti Hak
Milik dan Hak Guna Bangunan diatur dalam Bagian III dan Bagian V UU No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Dalam kaitan ini, Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) hanya memberikan
hak kepada pemegangnya memanfaatkan tanah untuk mendirikan bangunan di
atas tanah yang bukan miliknya, karena kepemilikan tanah tersebut dipegang
oleh Negara, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Setelah jangka waktu
tersebut berakhir, SHGB dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Dan bila
lewat dari waktu yang ditentukan maka hak atas tanah tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya sepenuhnya dikuasai langsung oleh Negara.
jasa
Notaris/PPAT.
1.
SHGB asli
2.
copy IMB
3.
4.
identitas diri
5.
Surat Pernyataan tidak memiliki tanah lebih dari 5 (lima) bidang yang
luasnya kurang dari 5000 (lima ribu) meter persegi, dan
6.
Dasar hukum:
1.
2.
Tweet
Jawaban:
S H A N T I R A C H M A D S YAH , S . H .
2.
pemeliharaan dan pendaftaran tanah yang telah didaftar untuk pertama kali
secara sistematik, sepanjang hal tersebut dilakukan sebelum penyerahan
hasil kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik kepada Kepala Kantor
Pertanahan sebagaimana diatur dalam pasal 72 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Jadi, memang bisa ada sertipikat yang ditandatangani Ketua Panitia Ajudikasi,
dan sertipikat itu tetap berlaku sebagai alat bukti kepemilikan tanah yang sah.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.
2.
3.
Tweet
Jawaban:
A L F I R E N ATA, S . H .
Tanah yang dimaksud adalah tanah yang belum bersertipikat. Untuk pensertipikatan
tanah (pendaftaran tanah untuk pertama kali), prosedurnya adalah sebagai berikut:
-
identitas diri Anda dan Kakek Anda (KTP, Akta Perkawinan-kalau ada, dan
2
2
1
1
1
1
1
1
Setelah diukur, diteliti dan dimohon sertipikat, akan keluar Surat Keputusan
Pemberian Hak. Pada SK Pemberian Hak tersebut akan dicantumkan bahwa untuk
tanah Anda akan diberikan status sebagai tanah hak milik, harus membayar
pemasukan kepada negara, dan mungkin juga membayar PPh dan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sesuai yang tercantum dalam SK. Untuk
Adapun besarnya pemasukan kepada negara adalah 2% x Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) tanah.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Badan Pertanahan Nasional
mengenai pajak