Anda di halaman 1dari 5

2.2.

Surat Keterangan Tanah Sebagai Alat Bukti Kepemilikan Tanah yang Sah
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sampit Nomor 24/Pdt/G/2018/PN.Spt yang
melibatkan PT. Tanah Tani Lestari sebagai penggugat dengan Samen sebagai pihak tergugat,
penulis dapat menemukan fakta hukum sebagai berikut:

1. Bahwa Penggugat memiliki lahan sesluas kurang lebih 36.661.300 M2 yang telah
ditanam kelapa sawit a quo yang sebagian tanahnya diklaim oleh pihak Tergugat seluas
kurang lebih 22.19 ha yang terletak di wilayah Desa Sungai Hanya Kecamatan Antang
Kalang Kabupaten Kotawaringin Timur.
2. Kronologi terhadap klaim lahan yang dilakukan Tergugat telah beberapa kalli
dilakukan pertemuan terhadap Pihak Pemerintah Desa maupun dengan Pihak
Kecamatan, namun tidak ditemukan solusi dan tidak ditemukan kata sepakat dari kedua
belah pihak.
3. Bahwa pada tanggal 18 November 2018 Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Kotawaringin Timur berdasarkan Surat Keputusan No. 59/HGU/KEM-ATR/BPN/2026
tanggal 27 September 2015 menerbitkan Sertipikat Hak Guna Usaha atas nama
Penggugat.
4. Bahwa karena kasus ini, Penggugat mengalami kerugian sebesar Rp 2.349.564.000,-
(dua milyard tiga ratus empat puluh sembilan juta lima ratus enam puluh empat ribu
rupiah)
5. Bahwa pihak Tergugat mengkalin telah memiliki Surat Keterangan Tanah yang
dikeluarkan Pemerintah Desa Tumbang Kalang, padahal telah nyata di wilayah yang
diklaim tersebut masuk ke dalam wilayah Desa Sungai Hanya.
6. Bahwa Tergugat menghalang-halangi panen, peratawan atau pemeliharan di tanah milik
Penggugat selama 4 tahun, dan atas dasar hal tersebut, Tergugat terbukti melakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365
BW.

Menimbang dari beberapa fakta hukum yang telah disebutkan di atas, majelis hakim
berpendapat bahwa hal a quo bukanlah hal yang sangat mendesak dan merugikan Penggugat
karena yang terpenting adalah harus dibuktikan terlebih dulu hak atas tanah obyek
sengketanya. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian mengenai pembuktian hak
atas tanah melalui Surat Keterangan Tanah (SKT).
SKT adalah surat kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Camat
setempat. SKT merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah yang banyak ada di wilayah
Pulau Kalimantan. Jika ditinjau dari kepemilikan individu atas sebidang tanah, maka penulis
dapat merujuk pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut dengan UUPA), UUPA
mengamanatkan bahwa tanah yang dimiliki oleh subyek hukum, demi menjamin kepastian
hukum oleh Pemerintah wajib didaftarkan. Menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA,
pendaftaran yang tersebut dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA meliputi:

a. Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;


b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UUPA, sertipikat hak atas tanah
merupakan bukti yang sempurna karena dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang oleh
Badan Pertanahan Nasional yang dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebelum
mengeluarkan sertipikat hak atas tanah, langkah-langkah yang diperlukan adalah dengan
mengumpulkan data fisik dan data yuridis tanah yang akan diberikan sertipikat hak atas
tanahnya. Data fisik berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan PP 24/1997) adalah
keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan rumah susuk yang
didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.
Sedangkan data yuridis menurut Pasal 1 angka 7 PP 24/1997 adalah keterangan mengenai
status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan
pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Dalam proses pendaftaran tanah yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis
serta prosedur selanjutnya sebagaimana diatur dalam PP 24/1997, proses tersebut akan
menghasilkan sertipikat hak atas tanah. Penegasan pembuktian sertipikat sebagai suatu tanda
bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data
yuridis ditetapkan melalui ketentuan Pasal 31 ayat (1) PP 24/1997. Kekuatan pembuktian hak
atas tanah melalui sertipikat hak atas tanah, apabila ditinjau dari tujuannya terbagi dalam 2
kategori, yaitu:

a. Perlindungan hukum preventif, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa;


b. Perlindungan hukum represif, yang bertujuan untuk menyelesaian sengketa.
Sertipikat hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasla 23, Pasal 32, dan
Pasal 38 UUPA memiliki kekuatan pembuktian yang kuat karena menggunakan sistem
pembuktian negative. Dalam Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 menganut sistem pembuktian
negative, sedangkan Pasal 32 ayat (2) PP 24/2997 menganut sistem pembuktian positif
(mutlak).

Jika dibandingkan dengan sertipikat tanah, Surat Keterangan Tanah itu sendiri hanyalah
surat yang bersifat di bawah tangan yang dikeluarkan oleh Kelurahan setempat. Biasanya,
SKT dapat digunakan oleh pemegang SKT untuk mengajukan sertipikat hak atas tanah. Di
tahun 2016, SKT dihapuskan melalui Surat Edaran Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN No.
1756/15.I/IV/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Masyarakat
(selanjutnya disebut dengan SE ATR/BPN 1756/15.I/IV/2016). Secara hierarkhis, eksistensi
SE ATR/BPN 1756/15.I/IV/2016 berada di bawah PP 24/1997. Sehingga, dalam hal
pembuktian hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, menurut PP 24/1997
Pasal 24 ayat (1) dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa
bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau penyataan yang bersangkutan yang kadar
kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh
Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk
mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.

Hal ini merujuk pada penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997 bahwa bukti kepemilikan
itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu
berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-
turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak. Alat-alat bukti
tertulis yang dimaksudkan dapat berupa:

a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnatie


(Staatsblad 1834-27), yang telah dibubuhui catatan, bahwa hak eigendom yang
bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau
b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonnantie
(Staatsblad 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah
dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 di daerah yang
bersangkutan; atau
c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang
bersangkutan; atau
d. Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1959; atau
e. Surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum
ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan
hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya;
atau
f. Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh
Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini; atau
g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum
dibukukan; atau
h. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977; atau
i. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum
dibukukan; atau
j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau
k. Petuk Pajak Bumi/landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau
l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan; atau
m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Dalam hal ini, SKT masuk dalam huruf l PP 24/1997. Jika bukti tertulis tidak lengkap atau
tidak ada lagi, pembuktian kepemilikan hak atas tanah dapat dilakukan dengan keterangan
saksi atau pernyataan yang bersangkutan yang dapat dibuktikan kebenarannya menurut
Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan
dalam pendaftaran tanah secara sporadik.

Mengingat kasus ini berada di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, penegasan


penghapusan SKT diperkuat dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4 Tahun
2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 20019 Tentang Tanah
Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah (selanjutnya disebut
dengan Pergub Kalteng 4/2012). Adanya SKT hanyalah berfungsi sebagai penegasan riwayat
tanah, yang menurut Pasal 10 ayat (1) Pergub Kalteng 4/2012 dapat diajukan permohonannya
kepada Kerapatan Mantir Perdamaian Adat. Namun, sejak Pergub Kalteng 4/2012
diundangkan, Pergub tersebut menurut Pasal 14 ayat (1) memerintahkan kepada seluruh
pemilik tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah adat untuk ditertibkan. Penertiban yang
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) akan diselesaikan paling lambat 6 (enam) tahun terhitung
sejak diberlakukannya Peraturan Gubernur ini. Penertiban yang dimaksud meliputi:

a. Inventarisasi, Identifikasi, Pemetaan dan Pematokan tanah adat dan hak-hak adat di atas
tanah;
b. Penerbitan Surat Keterangan Tanah Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah;
c. Sertifikasi dan/atau pemutihan kepemilikan Tanah Adat.

Anda mungkin juga menyukai