Anda di halaman 1dari 5

SOAL NOMOR 3

Salah satu tujuan UUPA adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh rakyat mengenai hak-hak
atas tanahnya. Berkaitan dengan arti penting kepastian hukum penguasaan tanah terutama dalam
kehidupan bernegara, maka perundang-undangan agraria di Indonesia mengatur tentang pendaftaran
tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah.

Pertanyaan:
A. Silakan saudara analisis apakah tanah yang sudah didaftarkan dan bersertipikat dapat dibatalkan
kepemilikannya!
B. Menurut analisis saudara, apakah tanah yang sudah memiliki sertipikat merupakan akta otentik yang
tidak dapat dicabut kepemilikannya!

Jawaban :
A. Dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah, bisa saja terdapat kesalahan atau cacat administrasi,
maka dapat dibatalkan melalui tiga cara yaitu Pembatalan hak atas tanah diterbitkan karena terdapat
cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertipikat hak atas tanahnya
atau melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan
objek pembatalan hak atas tanah terdiri dari: a) surat keputusan pemberian hak atas tanah; b) sertifikat
hak atas tanah; c) surat keputusan pemberian hak atas tanah dalam rangka pengaturan penguasaan
tanah.
Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun
1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
(“Permen Agraria/BPN 9/1999”) mendefinisikan pembatalan hak atas tanah sebagai pembatalan
keputusan pemberian suatu hak atas tanah atau sertifikat hak atas tanah karena keputusan tersebut
mengandung cacat hukum administratif dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah inkracht.

Selain karena alasan administratif, pembatalan sertifikat hak atas tanah juga dapat terjadi dalam hal ada
pihak lain yang dapat membuktikan bahwa suatu bidang tanah yang sudah diterbitkan sertifikat itu
adalah secara sah dan nyata miliknya dan hal tersebut didukung dengan adanya putusan pengadilan
yang telah inkracht.

Hasan Basri Nata Menggala & Sarjita dalam buku Pembatalan dan Kebatalan Hak atas
Tanah menyimpulkan bahwa (hal. 27):

1. Pembatalan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bermaksud untuk
memutuskan, menghentikan atau menghapus suatu hubungan hukum antara subjek hak atas tanah
dengan objek hak atas tanah;
2. Jenis/macam kegiatannya, meliputi pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah dan/atau
sertifikat hak atas tanah;
3. Penyebab pembatalan adalah karena cacat hukum administratif dan/atau untuk melaksanakan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, karena pemegang hak tidak memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam surat keputusan pemberian hak atas tanah serta karena
adanya kekeliruan dalam surat keputusan pemberian hak bersangkutan.

Terdapat 3 cara untuk melakukan pembatalan sertifikat hak atas tanah:

1. Meminta Pembatalan Kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui
Kantor Pertanahan

Alasan pembatalan sertifikat hak atas tanah adalah karena adanya cacat hukum administratif, seperti
kesalahan perhitungan dan luas tanah, sehingga menyerobot tanah lainnya, tumpang tindih hak atas
tanah, kesalahan prosedural, atau perbuatan lain, seperti pemalsuan surat. Hal ini dimohonkan
secara tertulis kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melalui Kantor
Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan.

Lampirkan pula berkas-berkas, berupa :

1. fotokopi surat bukti identitas dan surat bukti kewarganegaraan (bagi perorangan) atau fotokopi
akta pendirian (bagi badan hukum);
2. fotokopi surat keputusan dan/atau sertifikat;
3. berkas-berkas lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan tersebut.

2. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)

Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan (“UU 30/2014”) Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Sertifikat hak atas tanah merupakan salah satu bentuk KTUN. Yang juga perlu diperhatikan adalah batas
waktu untuk menggugat ke PTUN, yaitu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan badan
atau pejabat tata usaha negara sebagaimana diatur Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

3. Gugatan Ke Pengadilan Negeri

Setiap orang yang ingin mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang diatur Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan dasar dan dalil-dalil yang penggugat pikirkan dan penggugat
nilai merugikan, seperti contohnya, Anda menjual sebidang tanah kepada pembeli dan pembeli tersebut
belum membayarkan sepenuhnya kepada Anda, namun sudah mengajukan proses balik nama sertifikat
tanah.

Terdapat masa daluarsa dimana permohonan pembatalan atau gugatan ke pengadilan hanya dapat
diajukan maksimal 5 tahun sejak terbitnya sertifikat, sebagaimana diatur Pasal 32 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi:

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan
hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka
pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat tersebut.

Namun daluwarsa tidak mutlak selama bisa dibuktikan bahwa perolehan tanah tersebut dilakukan tidak
dengan iktikad baik.

B. Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa
menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan, misalnya; sertifikat hak atas tanah.

Keberadaan sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti (dalam sengketa penguasaan dan/atau pemilikan
sebidang tanah), jika dipertautkan dengan Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata, maka sertifikat
dimaksud dapat dikategorikan sebagai surat atau alat bukti tertulis dan berbentuk akta otentik.
Eksistensi sertifikat hak atas tanah sebagai akta otentik yang merupakan bukti sempurna, sehingga
secara yuridis formal bahwa setiap sertifikat hak atas tanah mempunyai nilai plus, karena setiap
sertifikat hak atas tanah dalam bentuk akta otentik dan merupakan bukti sempurna senantiasa
mempunyai 2 (dua) kekuatan pembuktian, yakni :
1. Kekuatan pembuktian lahir sertifikat hak atas tanah;
Berdasarkan asas hukum pembuktian yang berbunyi; “acta publica probant sese ipsa”, artinya suatu
akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan,
maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Jadi kalau
ada orang yang mempersoalkan keberadaannya sebagai akta otentik, maka menurut hukum pembuktian
terhadap orang yang bersangkutan dibebankan untuk membuktikan kebenaran dalilnya (Pasal 164 RBg).
Kekuatan pembuktian lahir terhadap sertifikat hak atas tanah, berlaku pula bagi kepentingan atau
keuntungan dan terhadap setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak yang tercantum namanya
dalam sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. karena itu, nilai plus dari pada sertifikat hak atas
tanah sebagai akta otentik terletak pada kekuatan pembuktian lahir.
2. Kekuatan pembuktian formal sertifikat hak atas tanah;
Dikatakan kekuatan pembuktian formil dari suatu sertifikat hak atas tanah sebagai akta otentik, karena
secara ex officio membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh
pejabat yang menandatangani dan/atau menerbitkan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Dalam hal ini, maka terhadap sertifikat hak atas tanah setidak-tidaknya ada tiga hal yang dapat
dipastikan kebenarannya, yaitu; kebenaran mengenai keterangan dari pejabat penandatangan, tempat
dan tanggal pembuatan sertifikat hak atas tanah, serta tandatangan dari pejabat yang bersangkutan.
Sertifikat hak atas tanah sebagai akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, menjadi salah
satu alasan atau pertimbangan untuk dapat menyatakan bahwa sertifikat hak atas tanah itu adalah
salah satu bentuk dari akta pejabat (acta ambtelijk). Kemudian dalam kedudukannya sebagai akta
pejabat, berarti segala apa yang tersurat di dalam sertifikat hak atas tanah dipandang sebagai
keterangan atau pernyataan dari pejabat yang bersangkutan, dan keterangan dimaksud sudah pasti
adanya bagi siapapun juga.

Dalam Pasal 27 UUPA terdapat faktor-faktor penyebab hapusnya hak milik atas tanah dan berakibat
jatuh kepada negara, yaitu:

a. Tanahnya Jatuh Kepada Negara


1. Karena Pencabutan Hak Berdasarkan Pasal 18

Terhapusnya hak milik atas tanah karena pencabutan hak sesuai dengan Pasal 18 UUPA yakni: “Untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang
diatur dengan Undang-undang.”

Pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Negara
dan rakyat karena kepentingan umum harus diutamakan ketimbang kepentingan pribadi, maka jika
tindakan yang dimaksudkan itu memang benarbenar untuk kepentingan umum, dalam keadaan yang
memaksa, yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada
wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.
Pengambilan itu dilakukan dengan jalan mengadakan pencabutan hak. Oleh sebab itu pencabutan hak
atas tanah merupakan upaya terakhir ketika jalan musyawarah tidak mendapat titik terang serta tidak
mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hal ini menegaskan bahwa hak atas tanah yang
terdapat pada seseorang atau badan hukum sifatnya tidak mutlak tetapi semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, akibatnya pemegang hak milik atas tanahsudah semestinya mendahulukan
kepentingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan pribadinya. Dengan demikian hak atas tanah
apa pun yang dimiliki oleh seseorang tidak dibenarkan untuk digunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya. Apalagi kalau hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Lebih lanjut ketentuan Pasal 18 UUPA dilaksanakan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 Tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya. Di dalam Pasal 1 Undang-
Undang No. 20 Tahun 1961 dinyatakan bahwa : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman.

2. Karena Penyerahan Dengan Sukarela Oleh Pemiliknya

Hapusnya hak milik karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 bahwa pernyerahan
sukarela ini sengaja dibuat untuk kepentingan Negara yang mana dalam hal ini dilaksanakan oleh
pemerintah. Dalam Pasal 1 tegaskan bahwa: “Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara: a. pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah; atau b. pencabutan hak atas tanah”.7 Kemudian dalam Pasal 3
dinyatakan bahwa: “Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.” Dengan demikian
jelaslah bila penyerahan dengan sukarela ini berdasarkan untuk kepentingan umum.

3. Karena Diterlantarkan

Perbuatan penelantaran tanah baik di pedesaan maupun perkotaan merupakan tindakan yang tidak
bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan. Persoalan yang berkenaan dengan tanah terlantar
adalah hal yang esensial bila dilihat dari sisi luasan dan urgensitas pemanfaatnnya dihadapkan pada
kenyataan ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi di Indonesia. Tanah terlantar dalam arti sebagai
tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan, yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Menurut penjelasan Pasal 27 UUPA dikatakan bahwa tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya. Namun di dalam Pasal
ini tidak diatur secara eksplisit mengenai tanah yang dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat
dan tujuan daripada haknya. Pengaturan lebih lanjut berkenaan tanah yang dengan terlantar dapat
dijumpai dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan
Tanah Terlantar. Peraturan dibuat ini melalui proses yang cukup panjang sampai akhirnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar pada tanggal 22 Januari 2010 sekaligus mencabut
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998. Di dalam rumusan Pasal 2 ditegaskan bahwa objek
penertiban tanah terlantar yaitu: “Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan
hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar
penguasaannya.”.

4. Karena Ketentuan Pasal 21 Ayat (3) Dan Pasal 26 Ayat (2)

Menurut ketentuan rumusan Pasal 21 ayat (3) UndangUndang No. 5 Tahun 1960 dijelaskan bahwa :
“Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang
mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka
hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak
pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

Sedangkan menurut rumusan Pasal 26 ayat (2) UndangUndang No. 5 Tahun 1960 berbunyi “Setiap jual-
beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada
seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing
atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21
ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa
pihak-pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima
oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”

Ketentuan di atas telah menegaskan bila hanya warga negara Indonesia tunggal saja yang dapat
memperoleh Hak Milik Atas tanah. Selain itu hal ini juga merupakan aktualisasi dari sila Pancasila yang
ke tiga yakni “Persatuan Indonesia” yang mana negara memberikan hak atas tanah khusus pada Warga
Negara Indonesia saja untuk kepentingan berdirinya persatuan dan kesatuan. Hal inilah yang
menimbulkan munculnya nasionalitas yang bermanfaat demi mempertahankan keutuhan dan persatuan
serta untuk menghindari hilangnya tanah di Indonesia akibat kepemilikan orang asing.

b. Tanahnya Musnah
Hapusnya hak milik atas tanah karena musnah disebabkan karena bencana alam, misalnya gempa bumi,
tanah longsor, tsunami, tanah di tepi pantai yang terkena abrasi air laut, atau tanah di tepi sungai yang
longsor karena meluapnya air sungai.13 Dengan demikian apabila tanah tersebut telah musnah maka
esksitensinya telah tiada sehingga sejak terjadinya pemusnahan itu maka hak milik atas tanah terhapus
dan juga menegaskan bahwa pada dasarnya tidak ada yang namanya hak kepemilikan abadi. Tanah
dikatakan msunah apabila sama sama sekali tidak dapat dikuasai lagi secara fisik dan tidak pula dapat
dipergunakan lagi atau dikatakan hilang karena proses alamiah.

Sumber Materi :
 BMP Hukum Agraria
 https://jih.ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/view/8095#:~:text=Dalam%20proses%20penerbitan
%20sertipikat%20hak,sertipikat%20hak%20atas%20tanahnya%20atau
 https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-pembatalan-sertifikat-hak-atas-tanah-dan-
prosedurnya-lt5ee0668e6b036
 file:///C:/Users/user/Downloads/25-Article%20Text-41-1-10-20200505.pdf
 http://repository.radenfatah.ac.id/15617/4/BAB%20III.pdf

Anda mungkin juga menyukai