Anda di halaman 1dari 10

LEGAL OPINION

A. Duduk Perkara

Bahwa terdapat sepetak tanah seluas 16.873 m2 SHM No.136 atas nama Ibu

Kamariyah yang diterbitkan pada tanggal 19 Desember 1981 dengan surat

ukur sementara No.316/1981 tertanggal 14 Desember 1981. Berlokasi di Desa

Bentek, Kecamatan Gangga, DATI TK II Lombok Barat, Nusa Tenggara

Barat (sebelum pemekaran). Saat ini terletak pada Desa Gondang, Kecamatan

Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (Setelah

Pemekaran).

Bahwa pada tanggal 5 Agustus 2022 Ibu Kamariyah selaku pemilik tanah baru

mendapat informasi bahwasanya telah terbit sertifikat hak milik atas nama

orang lain pada tanah yang sama pada Maret tahun 2022. Lebih jauh diketahui

bahwa penerbiatan SHM pada tahun 2022 adalah penerbitan kedua dengan

alasn penggantian SHM yang hilang dan diajukan permohonan penggantian

oleh nama yang sama, yakni Bpk. Halim. Penerbitan pertama dilakukan pada

tahun 1989 dan yang kedua tahun 2022 sampai akhirnya diketahui oleh Ibu

Kamariyah. Hal demikian diperkuat dengan temuan pada Harian Nusa

Tenggara Barat pada tanggal 14 Maret 1989 No.594.3.1153/1989 yang

mengumumkan dikeluarkannya sertifikat keuda sebagai pengganti sertifikat

yang hiilang (oleh kepala kantor pertanahan kabupaten Lombok Barat waktu

itu).

Bahwa konsekuensi dari penerbitan SHM atas nama Bpk. Halim diatas tanah

yang sama dengan kepemilikan (disertai bukti Sertifikat Hak Milik) Ibu
Kamariyah adalah adanya sertifikat yang tumpang tindih pada objek tanah

yang sama sehingga memberikan ketidakjelasan pada status tanah.

Menanggapi itu, Ibu Kamariyah selaku pemilik tanah yang SHM nya

diterbitkan pada tahun 1981 merasa tidak pernah melaporkan kehilangan

sertifikat sehingga perlu untuk melakukan pergantian karena sejatinya

sertifikat yang dimaksud tidak pernah hilang.

B. Permasalahan

Dengan tidak adanya permohonan pergantian sertifikat karena hilang oleh Ibu

Kamariyah memberikan keraguan atas SHM yang diterbitkan pada tahun 1989

dan tahun 2022 atas nama Bpk. Halim. Secara historis dapat dilihat bahwa

sertifikat yang pertama kali keluar adalah milik Ibu Kamariyah yakni terbit

pada tahun 1981, selanjutnya pada tahun 1989 keluar lagi sertifikat baru

memberikan konklusi sementara bahwa sertifikat paling terkahir bijaknya

harus diperhatikan dasar-dasar hukum kepemilikannya.

Bahwa tindakan penerbitan sertifikat pengganti kedua dan ketiga diatas tanah

yang sama dengan nama orang lain bertentangan dengan pasal 33 Peraturan

Pemerintah No. 10 Tahun 1961 yang mewadahi proses penerbitan sertifikat

baru hanya diberikan kepada yang berhak sebagai ganti sertifikat yang rusak

atau hilang, serta sebelum sertifikat baru diberikan kepada yang berhak perlu

adanya pengunguman sebanyak dua kali berturut-turut dengan antara waktu 1

bulan dalam surat kabar setempat dan Berita Negara Republik Indonesia.

Realitasnya adalah Ibu Kamariyah sebagai pihak yang berhak tidak pernah
merasa hilang atau rusak sertifikatnya sehingga perlu diterbitkan sertifikat

pengganit, dan meskipun faktanya telah ada permohonan penggantian sertifkat

pengumuman yang dilakukan pada media masa setempat hanya sebanyak

1(satu) kali. Hal-hal tersebut diatas bertentangan pada norma hukum yang ada.

Sejalan dengan itu, Ibu kamariyah demi mendapat kejelasan serta terpenuhi

rasa keadiannya menyampaikan keberatan lewat upaya adiministrasi kepada

kepala kantor pertanahan Kabupaten Lombok Utara sebagaimana prosedural

formalnya sesuai penjelasan pasal 48 ayat 1 Undang-undang No. 51 tahun

1986. Namun lewat upaya tersebut tidak ditemukan jawaban sehingga Ibu

Kamariyah yang terluka rasa keadilannya merasa perlu untuk lebih jauh

mempersoalkan masalah ini lewat jalur litigasi.

C. Dasar Hukum

1. Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 3 PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah

Pasal 4 ayat (1) PP a quo berbunyi “Untuk memberikan kepastian dan

perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada

pemegang hak yang bersangkutan diberikan hak atas tanah.” Artinya

bahwa legalitas dari sebuah kepemilikan tanah menjadi jelas dan terang

menderang dengan adanya sertifikat tanah sehingga tercapailah kepastian

sebagai tujuan hukum. lebih jauh selain memberikan kepastian hukum atas

tanah dimaksud sebagaimana pada pasal 3 huruf a, pasal tersebut pula

memberikan keterangan lebih jauh tentang tujuan pendaftaran tanah. Lebih

jelasnya Pasal 3 PP No.24/1997 berbunyi: “a. untuk memberikan


kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu

bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar

dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan; b. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang

berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat

memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah

terdaftar; c. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.”

2. Pasal 33 PPNo.10/1961 jo.Pasal 59 PP No.24/1997 tentang Pendaftaran

Tanah

Mengatur tentang tahapan serta persyaratan penrbitan penggantian

sertifikat tanah karena rusak atau hilang, berbunyi: “(1) Permohonan

penggantian sertifikat yang hilang harus disertai pernyataan di bawah

sumpah dari yang bersangkutan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau

Pejabat yang ditunjuk mengenai hilangnya sertifikat hak yang

bersangkutan. (2) Penerbitan sertifikat pengganti sebagaimana dimaksud

pada ayat(1) didahului dengan pengumuman. 1(satu) kali dalam salah satu

surat kabar harian setempat atas biaya pemohon. (3) Jika dalam jangka

waktu 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak hari pengumuman sebagaimana

dimaksud pada ayat(2) tidak ada yang mengajukan keberatan mengenai

akan diterbitkannya sertifikat pengganti tersebut atau ada yang

mengajukan keberatan akan tetapi menurut pertimbangan Kepala Kantor

Pertanahan keberatan tersebut tidak beralasan, diterbitkan sertifikat baru.


(4) Jika keberatan yang diajukan dianggap beralasan oleh Kepala Kantor

Pertanahan, maka ia menolak penerbitkan sertifikat pengganti. (5)

Mengenai dilakukannya pengumuman dan penerbitan serta penolakan

penerbitan sertifikat baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3)

dan ayat (4) dibuatkan berita acara oleh Kepala Kantor Pertanahan. (6)

Sertifikat pengganti diserahkan kepada pihak yang memohon

diterbitkannya sertifikat tersebut atau orang lain yang diberi kuasa untuk

menerimanya. (7) Untuk daerah-daerah tertentu Menteri dapat menentukan

cara dan tempat pengumuman yang lain daripada ditentukan pada ayat (2).

3. Pasal 1 angka 9 UU No.51/2009 tentang Perubahan kedua atas UU

No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Pasal 1 angka 9 UU a quo mendefinisikan Keputusan Tata Usaha Negara

adalah “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang

berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata.” Bahwa kepala kantor Pertanahan

Kabupaten Lombok Utara adalah badan atau pejabat TUN sehingga

tindakan hukum yang dilakukan berupa menerbitkan sertifikat hak milik

atas tanah yang terpenuhi di dalamnya sifat konkret, individual, dan final

merupakan obyek TUN. Oleh sebab itu setiap sengketa yang lahir olehnya

merupakan tangung jawab Pengadilan Tata Usaha Negara selaku

kompetensi absolutnya.
4. Pasal 75 UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintah jo. Pasal 48

ayat (1) dan (2) UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Berdasarkan Pasal 75 UU Administrasi Pemerintah menyebutkan bahwa

upaya adminitrasi terdiri dari Keberatan dan Banding. Penjelasan tentang

pengertian upaya dimaksud tertuang di dalam pasal 48 ayat (1) dan (2) UU

Peradilan Tata Usaha Negara, yakni: “(1) Dalam hal suatu Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan

peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif

sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan

atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia. (2)

Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika

seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.” Dengan

demikian dapat dipahami bahwa sebuah sengketa TUN tidak dapat

dilaksanakan penyelesaiannya langsung pada Pengadilan PTUN,

melainkan pihak yang merasa dirugikan dapat memberikan upaya hukum

administrasi kepada kepala lembaga yang mengeluarkan obyek TUN.

D. Analisis Hukum

Bahwa permasalahan yang dialami Ibu Kamariyah selaku pemilik tanah yang

diatasnya berdiri dua SHM, pertama atas namanya dan kedua atas nama Bpk.

Halim merupakan peristiwa hukum yang termasuk ranah dalam Tata Usaha

Negara (TUN). Hal demikian karena objek permasalahannya terdapat pada


Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan pejabat negara, dalam hal ini

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat sebelum pemekaran dan

Lombok Utara setelah pemekaran. Unsur konkret, individual, dan final

sebagaimana pasal 1 angka 9 UU No.51/2009 tentang Perubahan kedua atas

UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan korelasinya terhadap

permasalahan ini dapat diuraikan sebagai berikut; Konkret, diartikan bahwa

obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud,

tertentu atau dapat ditentukan. Dengan kata lain wujud dari keputusan

tersebut dapat dilihat dengan kasat mata. Sejalan dengan itu SHM yang

diterbitkan sebanyak dua kali yakni pada tahun 1989 dan tahun 2022

merupakan dokumen tertulis yang nyata dan berbentuk konkret.

Individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak

ditujukan untuk umum. SHM yang diterbitkan pada tahun 1989 dan tahun

2022 ditujukan hanya kepada satu orang pemegang hak yakni Bpk. Halim.

Kriteria tidak untuk umum melainkan hanya kepada satu orang tersebut telah

memenuhi unsur individual dalam KTUN.

Final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif, keputusan yang tidak lagi

memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya

keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum. Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten Lombok Barat (sebelum pemekaran dan menjadi Lombok Utara

setelah pemekaran) merupakan pejabat yang memegang kuasa menerbitkan

SHM tanpa memerlukan persetujuan pejabat lebih tinggi. Oleh karenanya


penerbitan SHM tersebut sudah menjadi hukum dan legalitas terhadap status

pemegang ha katas tanah.

Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat (Lombok Utara setelah

pemekaran) dalam hal ini dengan tanpa alasan yang jelas telah mencederai

rasa keadilan masyarakat dengan menerbitkan SHM diatas tanah

kepemilikan orang lain. Kepala Kantor Pertanahan selaku pejabat negara

dalam tindakannya telah melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik, yakni;

a. Azas Kecermatan, bahwa Kepala kantor pertanahan telah secara tidak

cermat menerbitkan sertifikat pengganti sebanyak 2 (dua) kali yang

didasarkan pada laporan kehilangan, padahal yang melapor kehilanga dan

pemohon penerbitan sertifikat penggant bukanlah pemilik pertama yakni

Ibu Kamariyah.

b. Azas Kepastian Hukum, bahwa nyatanya SHM No.136 atas nama

Kamariyah, diteritkan pada tanggal 19 Desember 1981, surat ukur

sementara No.3161/1981 tanggal 14 Desember 1981, luas 16.873 m 2,

dahulu terletak di Desa Bentek, Kecamatan Gangga, DATI TK II

Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, dan sekarang terletak di Desa

Gondang, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara

Barat, tidak pernah dibatalkan, tidak pernah menjadi obyek sengketa di

pengadilan, dan tidak pernah dilaporkan hilang oleh Ibu Kamariyah.

Setelah dipahami bahwa permasalahan tersebut merupakan permasalahan

TUN, dan dipastikan merupakan kesalahan sepihak pejabat TUN dalam hal ini
Kepala Kantor Pertanahan yang dimaksud, maka selanjutya sebagaimana

proses penyelesaian yang ada, dapat dilaksanakan dua bentuk upaya hukum.

pertama, nonlitigas lewat upaya administrasi, dan kedua, litigas lewat

Pengadila Tata usaha Negara (PTUN) sebgaiamana telah diakomodasi oleh

pasal 48 ayat (1) dan (2) UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Sehingga tindakan Ibu Kamariyah secara yuridis dalam beberapa tahapan

sejauh ini dianggap telah tepat.

E. Kesimpulan

Bahwa penggantan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas sebuah tanah karena

hilang atau rusak hanya dapat dimohonkan oleh pemilik yang berhak atau

yang dikuaskan olehnya.

Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat (dan Lombok Utara

setelah pemekaran) telah melanggar Azas-azas Pemerintahan Umum yang

Baik (AAPUB) dengan secara tidak cermat menerbitkan penggantian SHM

yang hilang atas permohonan orang lain yang tidak berhak. Oleh karennya

SHM sebagai wujud kepastian hukum dan legalitas status pemegang hak milik

seseorang atas tanah menjadi tidak pasti.

SHM yang diterbitkan pada tahun 1989 dan tahun 2022 atas nama Bpk. Halim

merupakan obyek TUN yang harus disegerakan pemeriksaan dan

penyelesainnya lewat upaya hukum administrasi kemudian upaya hukum

peradilan tata usaha negara demi tercapainya rasa keadilan masyarakat,

terutama kepada Ibu Kamariyah.

Anda mungkin juga menyukai