Anda di halaman 1dari 102

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur,meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah sangat penting untuk menjamin kepastian hukum
bukanhanya untuk memastikan siapa pemilik tanah pada saat ini, akan tetapi
termasuk pula perlindungan hukum bagi mereka yang akan memperoleh hak
atas bidang tanah tersebut pada waktu yang akan datang. Menurut Pasal 3,
Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
tujuan diadakan pendaftaran tanah adalah:
1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah,satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya
sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-
bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3. Untuk tertib administrasi pertanahan.
Guna menciptakan ketertiban dibidang pertanahan khususnya yang
menyangkut pejabat yang berwenang membuat akta jual beli yang
menyangkut tanah, pemerintah dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dan Notaris; untuk tanah yang belum bersertipikat dilakukan oleh
seorang Notaris dalam bentuk akta jual beli dan pengoperan hak dan untuk

1
tanah yang sudah bersertipikat dilakukan dihadapan PPAT. PPAT merupakan
pejabat yang berwenang menurut ketentuan dalam Undang-undang Pokok
Agraria dan Peraturan Pemerintah nomor: 10 tahun 1961 juncto Peraturan
Pemerintah nomor 24 tahun 1997 juncto Peraturan Pemerintah nomor: 37
tahun 1998.
Maka untuk melakukan pemindahan hak dari pemilik lama kepada
pemilik baru harus dilakukan dengan akta pemindahan hak yang dibuat oleh
seorang pejabat yang berwenang untuk itu yaitu PPAT atau seorang Notaris.
Dalam menjalankan tugas dan jabatannya seorang Notaris/PPAT harus
tunduk pada peraturan yang telah ada dan segala aturan-aturan yang berlaku,
dengan tanpa mengesampingkan apapun yang ada di dalam masyarakat.
Karena apapun yang telah diperbuat oleh seorang PPAT atau Notaris akan
berdampak dalam kehidupannya kelak.1
Dalam pelaksanaan pembuatan akta mengenai pemindahan hak, PPAT
harus dan wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada kantor
pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah dengan daftar-
daftar yang ada di kantor pertanahan setempat dengan memperlihatkan
sertipikat asli dan pemeriksaan itu harus dilakukan untuk setiap pembuatan
akte oleh PPAT; namun jika untuk pembuatan akte pemindahan hak atas
tanah bagian-bagian tanah hak induk dalam rangka pemasaran hasil
pengembangan oleh pengusaha real estate dan pengembang sejenis cukup
dilakukan pemeriksaan sertipikat induk satu kali kecuali apabila PPAT yang
bersangkutan menganggap perlu pemeriksaan sertipikat ulang.2
PPAT merupakan pejabat umum, sehinggaakta yang dibuat olehnya
merupakan akta otentik. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 PP No.24
Tahun 2016 mengenai perubahan PP No.37 Tahun 1998 yang
berisikan Peraturan Jabatan untuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 24
Tahun 2016) yang menguraikan definisi dari PPAT. Peraturan tersebut
menjabarkan bahwa akta yang dibuat oleh seorang PPAT adalah akta yang
1
J Kartini Soedjendri,Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm. 69.
2
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Djambatan, Jakarta, 1999,hlm. 493.

2
autentik. Aturan dalam Pasal 24 PP No.37 Tahun 1998 mengenai Peraturan
Jabatan untuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998)
memberikan aturan bahwa “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut berkaitan
dengan tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam dengan jelas dalam
peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah”. Peraturan
perundang-undangan tersebut adalah PMNA No. 3 Tahun 1997 mengenai
Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah,
saat ini telah berubah menjadi Perkaban No. 8 Tahun 2012. PMNA No.3
Tahun 1997 menyatakan bahwa akta PPAT perlu menggunakan blanko yang
telah disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), sementara Perkaban
No.8 Tahun 2012 menyatakan bahwa saat ini, PPAT dapat mencetak sendiri
akta yang akan dibuatnya dan tidak perlu lagi menggunakan blanko. Namun,
susunannya masih berbentuk seperti blanko PPAT yang terdahulu.
Suatu akta otentik ialah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akte itu dibuatnya (berdasarkan pasal
1868 kitab undang-undang hukum perdata). Menurut G.H.S. Lumban Tobing,
SH dalam bukunya yang berjudul Peraturan Jabatan Notaris, akta otentik
mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian yaitu:
1. Kekuatan pembuktian lahiriah, yang maksudnya adalah kemampuan
dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik
artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-kata sebagai yang
berasal dari seorang pejabat umum.
2. Kekuatan pembuktian formal, yang maksudnya adalah membuktikan
kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan
juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum didalam
menjalankan jabatannya.
3. Kekuatan pembuktian material, yang maksudnya adalah membuktikan
para pihak telah mencapai persetujuan mengenai perjanjian yang dimuat
dalam akta itu.

3
Selain itu PPAT adalah pejabat umum yang berwenang antuk membuat
akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi
pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh
peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau
di hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan
untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi
masyarakat secara keseluruhan.
Undang-Undang ini juga diatur secara rinci tentang jabatan umum yang
dijabat oleh PPAT, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh
atau di hadapan PPAT mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum. Mengingat Akta PPAT sebagai akta otentik merupakan
alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur
tentang bentuk dan sifat Akta PPAT, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta,
dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta PPAT.
Namun tentunya dalam pembuatan perjanjian jual beli pastilah terdapat
kendala-kendala. Disini lah kemudian akan terlihat Peran PPAT adalah
berbagai hak dan kewajiban notaris sebagai pihak tengah dalam hubungan
hukum antara dua pihak yang terikat dalam suatu perjanjian.
Hal ini karena secara kodrati, PPAT sebagai manusia dapat melakukan
kesalahan-kesalahan baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut
profesionalitas dalam menjalankan tugas jabatannya. PPAT tidak jarang
digugat oleh para pihak atau kliennya karena merasa tidak puas atau merasa
dirugikan sebagai akibat dari akta otentik yang dibuat oleh PPAT. Dalam hal
ini PPAT sering digugat secara perdata maupun secara pidana karena PPAT
tersebut diduga telah melakukan kesalahan (malpraktek) dalam menjalankan
tugas jabatannya sebagai pejabat umum dalam membuat akta otentik. Dalam
menanggapi segala bentuk tuntutan atau gugatan dari para pihak atau klien
tersebut, harus dilihat kembali kedudukan akta PPAT sebagai akta otentik

4
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Apabila dalam hal ini
ada pihak yang menyangkal kebenaran akta PPAT tersebut, maka pihak yang
menyangkal tersebut harus dapat membuktikan ketidakbenaran dari akta
PPAT tersebut.
Dalam penulisan ini, penulis akan membahas mengenai hal
apabilaPPAT melakukan kelalaian sehubungan dengan akta jual beli yang
dibuatnya, yaitu kasus dalam Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perdata
nomor: 49/PK/PDT/2009 tanggal 16 September 2009, dimana posisi
kasusnya adalah sebagai berikut:
1. PT.PUTRI SELAKA KENCANA selaku Penggugat
2. PT.ANUGRAH CIPTA ARTHA SEGARA selaku Tergugat I
3. HARYANTO TANUWIRA selaku Tergugat II
4. JEMMY selaku Tergugat III
5. WENDA WIRAWAN EFFENDY selaku Tergugat IV
6. HATMA WIGATI KARTONO, SH selaku Tergugat V
7. TUTI RAHMAWATI LALO,SH selaku Tergugat VI
8. ANITA MAGDALENA, SH selaku Tergugat VII
9. Pemerintahan Republik Indonesia cq Ketua Otorita Pengembangan
Daerah Industri Pulau Batam selaku Tergugat VIII
Bahwa Penggugat adalah Pemilik dan Pemegang Hak atas Sebidang
Tanah seluas 729.610 m2 (tujuh ratus dua puluh Sembilan ribu enam ratus
sepuluh meter persegi) yang terletak dalam Propinsi Riau (sekarang Propinsi
Kepulauan Riau) Batam Center, Batam, setempat dikenal dengan KOMPLEK
PERUMAHAN PUTRI SELAKA KENCANA.
Sebagian tanah tersebut diuraikan dalam Gambar Penetapan Lokasi
(PL) dan sebagian lagi tanah tersebut sudah sertifikat Hak Guna Bangunan
yaitu:
1. Sertipikat Hak Guna Bangunan nomor:667/Baloi Permai seluas 13.539
M2 (tiga belas ribu lima ratus tiga puluh Sembilan meter persegi),
tercatat atas nama PT. PUTRI SELAKA KENCANA.

5
2. Sertipikat Hak Guna Bangunan nomor: 668/Baloi Permai seluas 24.964
M2 (dua puluh empat ribu Sembilan ratus enam puluh empat meter
persegi), tercatat atas nama PT. PUTRI SELAKA KENCANA.
3. Sertipikat Hak Guna Bangunan nomor: 669/Baloi Permai seluas 8.937
M2 (delapan ribu Sembilan ratus tiga puluh tujuh meter persegi),
tercatat atas nama PT. PUTRI SELAKA KENCANA.
Penggugat dan Tergugat I telah mengadakan Perjanjian Kerja Sama
untuk membangun perumahan, dengan nama Komplek Perumahan Taman
Marchelia. Dimana akta Kerja samanya nomor: 523 tanggal 31 Maret 200
yang dibuat dihadapan Yondri Darto, SH PPAT di Batam.
Di dalam akta Kerja Sama tersebut telah ditentukan hak masing-masing
pihak yaitu:
1. Penggugat/Pihak Pertama berhak sebesar Rp.200.000 (dua ratus ribu
Rupiah) untuk setiap meter persegi dari tanah.
2. Pihak Kedua berhak atas selisih harga Penjualan unit-unit rumah setelah
dikurangi dengan bahagian penggugat/pihak pertama dan sisa kelebihan
tanah setelah dibangun unit-unit rumah.
Untuk unit-unit rumah yang terjual dilakukan melalui Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) melalui Bank,maka Tergugat I berkewajiban untuk
memberikan SI (Standing Instruction) dari bank yang bersangkutan, guna
realisasi pencairan kredit tersebut ditransfer ke rekening Penggugat.
Perjanjian Kerjasama tersebut dilangsungkan untuk jangka waktu 3,5
tahun (tiga koma lima) terhitung sejak tanggal 1 April 2000 dan berakhir pada
tanggal 1 Oktober 2003.dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu
tersebut tidak dapat dilaksanakan maka akan dikenakan denda sebesar 3 %
(tiga persen) setiap bulan dari sisa jumlah uang yang menjadi hak/bagian
Penggugat. Guna pelaksanaan perjanjian kerja sama itu maka Penggugat
memberikan kuasa kepada Tergugat I dengan 3 (tiga) buah akta kuasanya
yaitu akta kuasa untuk membangun No: 524, Akta Kuasa Untuk Mengurus
No: 525 dan Akta Kuasa Untuk Menjual No: 526 masing-masing tertanggal

6
31 Maret 2000, ketiganya dibuat dihadapan Yondri Darto, SH Notaris di
Batam.
Setelah itu Tergugat I,Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV
memasarkan dan menjual unit-unit rumah kepada Konsumen/pembeli yang
dilakukan dihadapan Yondri Darto, SH PPAT di Batam,baik pembelian
secara kredit pemilikan rumah (KPR) maupun tunai.
Selain melakukan jual beli di hadapan Yondri Darto, SH PPAT di
Batam ternyata Tergugat I, Tergugat II,Tergugat III dan Tergugat IV telah
melakukan jual beli bangunan atau pengikatan jual beli bangunan kepada
konsumen tanpa sepengetahuan Penggugat, yang dilakukan dihadapan
Notaris/PPAT yang lain. Hal ini dilakukan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat
III, dan Tergugat IV untuk menghindari Pembayaran bahagian Pengguat
sebesar RP.200.000 (dua ratus ribu Rupiah) untuk setiap meter tanah.
Tanpa sepengetahuan dari Penggugat oleh Tergugat I, Tergugat II,
Tergugat III dan Tergugat IV telah melakukan Jual beli tanah milik
penggugat berdasarkan Akta Kuasa Untuk Menjual nomor : 526 tanggal 31
maret 2000, dimana akta kuasa menjual ini telah disepakati untuk di batalkan
dan dicabut sebagaimana ternyata dalam surat kesepakatan bersama.
Bahwa Tergugat VIII telah memberikan Izin Peralihan atas tanah milik
Penggugat dan pemecahan Gambar Penetapan Lokasi (PL) tanah milik
penggugat kepada para pembeli, Tergugat VIII dalam melaksanakan
kewajibannya dalam Pemecahan Gambar Penetapan Lokasi harus melihat asli
Gambar Penetapan Lokasi tanah tersebut dan harus memberikan tanda pada
bagian-bagian tanah yang telah dipecahkan pada asli gambar Penetapan
Lokasi, hal ini tidak dapat dilakukan oleh Tergugat VIII karena asli Gambar
Penetapan Lokasi (PL) berada pada Kantor Notaris dan PPAT Yondri
Darto,SH PPAT di Batam dan bukan pada pemohon atau Tergugat I,
Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV.
Dengan dibuatnya akta jual beli oleh Tergugat V, Tergugat VI dan
Tergugat VII telah melanggar kewajiban mereka sebagaimana telah diatur
dalam Pasal 39 ayat 1 huruf a dan b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

7
nomor : 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur bahwa
PPAT harus menolak untuk membuat akta jika kepadanya tidak disampaikan
sertifikat asli dan atau asli surat-surat tanah yang bersangkutan, sedangkan
asli sertifikat dan surat-surat tanah berada di Kantor PPAT Yondri Darto, SH.
Oleh karena itu perbuatan Tergugat V, Tergugat VI dan Tergugat VII
tersebut merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang
telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat.
Dimana Putusan dalam Perkara Peninjauan Kembali Perdata
Mahkamah Agung nomor: 49.PK/PDT/2009 tanggal 16 September 2009
sebagai berikut:
a. Menyatakan akta KerjaSama nomor: 523, akta kuasa untuk membangun
nomor: 524, akta kuasa untuk mengurus nomor: 525, akta kuasa untuk
menjual nomor: 526 masing-masing tertanggal 31 Maret 2000 yang
seluruhnya dibuat dihadapan Yondri Darto, SH PPAT di Batam adalah
sah dan mengikat;
b. Menyatakan Surat Kesepakatan Bersama tanggal 30 Oktober 2002
adalah sah dan mengikat;Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat
III, Tergugat IV, telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi);
c. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV untuk
membayar hak Penggugat sebesar Rp. 25.907.281.700,- (dua puluh lima
miliar Sembilan ratus tujuh juta dua ratus delapan puluh satu ribu tujuh
ratus Rupiah);
d. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, untuk
membayar bunga sebesar 3 % (tiga persen) per bulan dari Rp.
25.907.281.700,- (dua puluh lima miliar Sembilan ratus tujuh juta dua
ratus delapan puluh satu ribu tujuh ratus Rupiah) terhitung sejak tanggal
1 Oktober 2003 sampai dengan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III,
Tergugat IV membayar lunas hak Penggugat;
e. Menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV,
Tergugat V, Tergugat VI dan Tergugat VII telah melakukan perbuatan
melawan hukum;

8
f. Menyatakan batal seluruh akta jual beli, akta pengikatan jual beli dan
atau akta-akta lain yang bersifat mengalihkan tanah Penggugat yang
dibuat oleh Tergugat V, Tergugat VI, Tergugat VII yang bertujuan
menjual belikan atau mengalihkan tanah milik Penggugat kepada para
pembeli atau konsumen dan/atau pihak ketiga, antara lain yang dibuat
Tergugat V sebanyak 221 (dua ratus dua puluh satu) akta, yang dibuat
Tergugat VI sebanyak 448 (empat ratus empat puluuh delapan) akta,
dan yang dibuat tergugat VII sebanyak 65 (enam puluh lima) akta;
g. Menghukum Tergugat I sampai dengan Tergugat VII membayar ganti
rugi kepada Penggugat sebesar Rp. 16.892.790.000 (enam belas miliar
delapan ratus Sembilan puluh dua juta tujuh ratus Sembilan puluh ribu
Rupiah);
h. Menyatakan Tergugat VIII telah melakukan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad);
i. Menyatakan seluruh ijin Peralihan hak dan ijin pemecahan Gambar
Penetapan Lokasi atas tanah Penggugat yang dibuat tanpa persetujuan
Penggugat tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat;
j. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada
perlawanan, banding atau kasasi dari para Tergugat;
k. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Maka kemudian menarik melihat dalam kasus ini bagaimana
perlindungan terhadap pihak pembeli yang hanya diberikan sertifikat tidak
asli. Padahal Pihak pembeli harus memenuhi syarat subyek dari tanah yang
akan dibelinya itu. Demikian pula pihak penjual, harus pula memenuhi syarat
yaitu berwenang memindahkan hak atas tanah tersebut. Pembuatan akta jual
beli hak atas tanah harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan
hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua
orang saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam
perbuatan hukum itu.3

3
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaranya, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
hlm. 80-81

9
Maka perlu juga dilihat sejauh mana tanggung jawab hukum dari
seorang notaris, terlebih lagi dalam kasus ini notaris disangkakan tidak
melihat sertifikat asli. Raden Soegondo Notodisoerjo menyatakan tentang apa
yang dapat dipertanggungjawabkan oleh notaris yaitu apabila penipuan atau
tipu muslihat itu bersumber dari notaris sendiri. Hal tersebut dapat terjadi
apabila seorang PPAT dalam suatu transaksi peralihan hak misalnya dalam
akta jual beli dengan sengaja mencantumkan harga yang lebih rendah dari
harga yang sesungguhnya.4 Sedangkan Nico membedakan tanggung jawab
PPAT menjadi empat macam yaitu:5
1. Tanggung jawab PPAT secara perdata terhadap kebenaran materiil
terhadap akta yang dibuatnya;
2. Tanggungjawab PPAT secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam
akta yang dibuatnya;
3. Tanggung jawab PPAT berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya;
4. Tanggung jawab PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya
berdasarkan kode etik notaris.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah
1. Apakah penyebab akta otentik yang dibuat dihadapan PPAT berakibat
batal demi hukum?
2. Bagaimanakah Tanggung Jawab PPAT Dalam Kelalaian Membuat
Akta Jual Beli Tanpa Melihat Dokumen Asli berdasarkan Studi kasus
Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perdata No.49.PK/PDT/2009
tanggal 16 september 2009 yang mengakibatkan pembatalan demi
hukum?

4
Raden Soegondo Notodisoerjo,Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan,Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993, hlm.229
5
Nico,Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation and Studies
of Business Law (CDBL), Yogyakarta, 2003, hlm. 4

10
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan menganalisa penyebab akta otentik yang
dibuat dihadapan PPAT berakibat batal demi hukum.
b. Untuk mengetahui dan menganalisa Tanggung Jawab PPAT
Dalam Kelalaian Membuat Akta Jual Beli Tanpa Melihat
Dokumen Asli Berdasarkan Studi kasus Putusan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata No.49.PK/PDT/2009 tanggal 16
september 2009.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat secara teoritis dan
secara praktis sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna
dalam pengembangan kajian ilmu hukum dan kenotariatan,
khususnya yang berkaitan dengan kajian tentang Tanggung Jawab
PPAT Dalam Kelalaian Membuat Akta Jual Beli.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini secara praktis diharapkan
berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi institusi terkait dan
para pelaku/praktisi hukum dan PPAT.

11
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum tentang PPAT


1. Pengertian dan Dasar Hukum PPAT
Secara historis pengaturan PPAT untuk pertama kali dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara No. 26 Tahun 1961), khususnya pada Pasal 19
menyebut PPAT sebagai penjabat. Berbeda dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 beserta semua peraturan yang diturunkan darinya,
maka dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan
Tanah (LN no 42 Tahun 1996, selanjutnya disebut UUHT), PPAT
disebut secara tegas sebagai pejabat umum.
Ini berarti terdapat pergeseran kedudukan PPAT dari seorang
penjabat menjadi seorang pejabat umum, 6 dalam kedudukannya yang
demikian menjadikan posisi PPAT sama dengan Notaris sebagai
openbaar ambtenaar. Istilah tersebut terdapat dalam Pasal 1 PJN (Stb
1860 : 3) dan Pasal 1868 Bergeljk Wetboek.7
Pengaturan tentang PPAT yang berlaku saat ini adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah peraturan jabatan
yang dijanjikan oleh Pasal 7 ayat (3) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang berbunyi: “Peraturan jabatan PPAT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri”.
Peraturan pelaksana dari PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah
Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang
6
J. Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Tafsir
Sosial Hukum Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi
Konflik, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm. 83-91
7
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 12.

12
Peraturan Jabatan PPAT, yang kemudian dirubah dengan Peraturan
Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009. PPAT menurut
Pasal 1 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah Pejabat Umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun.
Tugas pokok PPAT diatur dalam pasal 2 PP Nomor 37 Tahun
1998, yaitu melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai Hak atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan
hukum yang dimaksud adalah:
1) Jual Beli
2) Tukar Menukar
3) Hibah
4) Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng)
5) Pembagian Hak Bersama
6) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
7) Pemberian Hak Tanggungan Pemberian Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut maka oleh Pasal 3 PP
Nomor 37 Tahun 1998, PPAT diberi kewenangan untuk
memformulasikan perbuatan hukum tersebut ke dalam Akta PPAT
sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dikaji dari
sudut pandang kewenangan, PPAT mempunyai kewenangan untuk
membuat delapan macam akta tersebut di atas, meliputi akta peralihan
hak atas tanah dan akta pembebanan hak atas tanah. Ini berarti PPAT
tidak mungkin diminta untuk membuat akta di luar delapan macam akta

13
tersebut atau kewenangan untuk membuat akta itu ada pada pejabat lain
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam perkembangannya, kedudukan PPAT sebagai Pejabat
Umum lebih dipertegas dalam berbagai macam peraturan perundang-
undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 sebagaimana diubah UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan dalam Pasal 24 ayat (1) menyatakan
bahwa PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak.
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah
menegaskan siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, yaitu : “Pejabat
Pembuat Akta Tanah yaitu pejabat umum yang diberi wewenang
untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan
hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”
4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, juga menyebutkan PPAT
sebagai Pejabat Umum, Pasal 1 angka 5 menyebutkan PPAT
sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah.
5. Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 yang menyebut

14
PPAT sebagai Pejabat Umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1 angka 24 yaitu : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya
disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta-akta tanah tertentu.”
6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan PPAT menegaskan kembali bahwa PPAT sebagai pejabat
umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1 bahwa yang
dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut di atas secara
tegas menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum, sehingga sama
kedudukannya dengan Notaris yang juga disebut Pejabat Umum dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu:
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini.”
2. Pengertian Notaris

Notaris merupakan satu-satunya pejabat umum yang berhak


membuat akta otentik sebagai alat pembuktian yang sempurna. Notaris
adalah kepanjangan tangan Negara dimana ia menunaikan sebagian tugas
negara dibidang hukum perdata. Negara dalam rangka memberikan
perlindungan hukum dalam bidang hukum privat kepada warga negara
yang telah melimpahkan sebagaian wewenangnya kepada Notaris untuk
membuat akta otentik. Ketika menjalankan tugasnya, Notaris wajib
diposisikan sebagai pejabat umum yang mengemban tugas8

8
Dody Radjasa Waluyo, Kewenangan Notaris Selaku Pejabat Umum, Media Notariat (Menor)
Edisi Oktober-Desember 2001, hlm. 63.

15
Notaris sebagai pejabat umum,merupakan terjemahan dari istilah
Openbare Ambtenare yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris, dan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata).9Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan suatu akta
autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa
untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Dalam Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini. Memperhatikan uraian ketentuan
Pasal 1 UUJN, maka dapat dijelaskan bahwa Notaris adalah:
1. Pejabat Umum.
2. Berwenang Membuat Akta.
3. Otentik.
4. Ditentukan oleh undang-undang.
Tugas Notaris adalah mengkonstatir hubungan hukum antara para
pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan
suatu akta otentik. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu
proses hukum10Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi
sulit pula dibedakan secara tegas. Kadang-kadang seorang ahli
merangkap sebagai seorang saksi.Namun isi dari keterangan ahli dan
keterangan saksi itu berbeda. Keterangan saksi adalah mengenai apayang
dialami oleh saksi itu sendiri. Sedangkan keterangan ahli adalah
mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan
pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal tersebut.11

9
Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Reglement op Het Notaris Ambt
in Indonesie (Stb. 1860:3), diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G. H. S. Lumban
Tobing didalam kata pengantar bukunya. Lihat G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan
Notaris, Cetakan V, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1999, hlm. 5
10
Tan Thong Kie, Studi Notariat: Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi Praktek Notaris,
Buku I, Cetakan 2, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007, hlm. 159.

11
Ibid, hal. 269.

16
Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas
bertalian kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren
diartikan sebagai pejabat publik. Khususnya bertalian dengan Openbare
Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum yang diartikan
sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang
melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada
Notaris.12
Aturan hukum tersebut diatas yang mengatur keberadaan Notaris
tidak memberikan batasan atau definisi mengenai pejabat umum, karena
sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya
Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi
sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai
Pejabat Umum kepada pejabat lain selain Pejabat Umum, bertolak
belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri, karena seperti
PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan
pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat Lelang
hanya untuk lelang saja.Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1868 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa akta otentik dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu.
Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa “Notaris: de ambtenaar,”
Notaris tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 Wet op het Notaris ambt yang lama
(diundangkan tanggal Juli 1842, Stb. 20). Tidak dirumuskan lagi Notaris
sebagai Openbaar Ambtenaar, sekarang ini tidak dipersoalkan apakah
Notaris sebagai pejabat umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa
istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak bermakna umum,
tetapi bermakna publik.13Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik.
Jabatan Notaris adalah jabatan publik tanpa perlu atribut

12
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Cetakan 2, Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm. 27.
13
Philipuss M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005, hlm. 80.

17
Openbaar14Penjelasan Pasal 1 huruf (a) tersebut di atas bahwa
penggunaan istilah Notaris sebagai Openbaar Ambtenaar sebagai
tautologie15
Ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan
rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan
Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka
Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus
dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang
berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat. Menurut
Habib Adjie Notaris sebagai Pejabat Publik, dalam pengertian
mempunyai wewenang dengan pengecualian.Mengkategorikan Notaris
sebagai Pejabat Publik.Dalam hal ini Publik yang bermakna hukum,
bukan publik sebagai khalayak hukum. Notaris sebagai pejabat publik
tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintah yang
dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini
dapat dibedakan dari produk masing-masing pejabat publik tersebut.
Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang
terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum
pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat konkret, individual dan final, tidak menimbulkan
akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena
akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wlisvorming) para
pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat dihadapan atau
oleh Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa di pengadilan
umum. Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan produknya yaitu Surat
14
Ibid, hlm 80
15
S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990,
hlm. 79

18
keputusan atau ketetapan terikat dalam ketentuan Hukum Administrasi
Negara yang memenuhi syarat sebagai penetapan tertulis yang bersifat,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata, dan sengketa dalam Hukum Administrasi
diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Notaris sebagai Pejabat
Publik yang bukan Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.16
Berdasarkan uraian di atas, maka Notaris dalam kategori sebagai
pejabat publik yang bukan pejabat tata usaha negara, dengan wewenang
yang disebutkan dalam aturan hukum yang mengatur jabatan Notaris,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU Jabatan Notaris. Notaris
berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau
menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta
otentik.Pembuatan akta itu harus berdasar aturan hukum yang berkaitan
dengan prosedur pembuatan akta Notaris, sehingga jabatan Notaris
sebagai Pejabat umum.17
a. Kewenangan Notaris
Notaris merupakan lembaga yang ada dalam masyarakat dan timbul
karena adanya kebutuhan anggota masyarakat yang melakukan suatu
perbuatan hukum, yang menghendaki adanya suatu alat bukti tertulis jika
ada sengketa atau permasalahan,agar dapat dijadikan bukti yang paling
kuat dipengadilan. Untuk alasan tersebut masyarakat membutuhkan
Notaris untuk membuat akta otentik.18Kewengan Notaris terdapat dalam
Pasal 15 UU no 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No 2
tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yaitu :
1) Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangan dan/atau yag
dikhendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta
otentik, menajmin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan

16
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif…., Op. Cit, hlm. 31-32
17
Ibid, hlm 32
18
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris: Dalam Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta:
Bigraf Publishing, 1995, hlm. 84

19
akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
sepanjang pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Mengesahkan tanda tangan dan menetapakan kepastian tanggal
pembuatan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
Legalisasi adalah tindakan mengesahkan tanda tangan dan menetapkan
kepastian tanggal surat dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang
perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup
yang di tanda tangani di hadapan Notaris dan didaftarkan dalam buku
khusus yang disediakan oleh Notaris19
b. Tugas Notaris
Dalam menjalankan jabatannya, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2014 tentang Jabatan Notaris, Notaris memiliki beberapa tugas antara
lain :
1) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus (waarmerking).
2) Membuat kopi dari asli surat dibawa tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat
yang bersangkutan.
3) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
(legalisir).
4) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
5) Membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan.
6) Membuat akta risalah lelang.
7) Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat
pada minuta akta yang telah di tanda tangan, dengan membuat berita
acara (BA) dan memberikan catatan tentang hal tersebut padaminuta

19
Nico,Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta : Center for Documentation
and Studies of Business Law,2003, hlm. 42

20
akta asli yang menyebutkan tanggal dan nomor BA pembetulan, dan
salinan tersebut dikirimkan ke para pihak sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 51 UUJN.
c. Macam Akta Notaris
Akta yang dibuat oleh Notaris terdapat 2 macam yaitu akta relaas
dan akta partiij, berikut penjelasannya20Akta Relaas atau Akta Pejabat
(Ambtelijke Akten) atau Akta Berita Acara atau Notulen yaitu Akta yang
dibuat oleh (door) Akta yang dibuat "oleh" Notaris atau dinamakan "akta
relaas" atau "akta (ambtelijke akten), akta ini merupakan akta yang
memuat "relaas" atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang
dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat
akta itu, yaitu Notaris sendiri, dalam menjalankan jabatannya sebagai
Notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan yang memuat uraian dari apa
yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu. Termasuk dalam akta
“relaas” ini antara lain berita acara rapat atau risalah para pemegang
saham dalam perseroan terbatas, termasuk berita acara undian dalam
sebuah perseroan terbatas. Dalam akta relaas tidak menjadi soal, apakah
orang-orang yang hadir itu menolak untuk menandatangani akta itu.
Apabila misalnya pada pembuatan berita acara rapat/risalah para
pemegang saham dalam perseroan terbatas orang-orang yang hadir telah
meninggalkan rapat sebelum akta itu ditandatangani, maka cukup
Notaris meneragkan dalam akta, bahwa para yang hadir telah
meninggalkan rapat sebelum menanda tangani akta itu dan dalam hal ini
akta itu tetap merupakan akta otentik.21
a. Akta Partij (Partij Akten) atau Akta Pihak yaitu akta yang dibuat
dihadapan (ten overstaan) Notaris. Akta yang dibuat "di hadapan"
Notaris atau yang dinamakan "akta partij" (partij akten), akta yang
dibuat di hadapan Notaris, akta ini berisikan suatu “cerita” dari apa

20
Notariat Undip, Rangkuman Kuliah Jabatan Notaris, dalam
http://notariatundip2011.blogspot.co.id/2011/11/catatan-kuliah-peraturan-jabatan.html,
diakses pada Minggu 15 Oktober 2017, Pukul 22.34
21
Loc.cit, hlm 126.

21
yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di
hadapan Notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak
lain kepada Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk
keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan Notaris dan
memberikan keterangan itu di hadapan Notaris, agar keterangan itu
dikonstantir oleh Notaris di dalam suatu akta otentik 22Termasuk dalam
golongan akta ini yaitu perjanjian kredit, perjanjian perkawinan jual
beli, wasiat, kuasa dan lainnya. Undang-undang mengharuskan bahwa
akta partij, dengan diancam akan kehilangan otentisitasnya, harus
ditandatangani para pihak yang bersangkutan atau setidanya dalam
akta diterangkan yang menjadi alasan tidak ditandatanganinya akta
oleh pihak atau para pihak yang bersangkutan, misalnya para pihak
atau salah satu pihak buta huruf atau tangannya lumpuh dan lain
sebagainya, keterangan mana harus dicantumkan oleh Notaris dalam
akta dan keterangan itu dalam hal ini berlaku sebagai ganti tanda
tangan (surrogaat tanda tangan). Untuk akta partij penandatanganan
oleh para pihak merupakan suatu keharusan.
Dalam kaitannya dengan pemberian pembuktian sebaliknya
terhadap isi akta itu.Terhadap kebenaran isi dari akta pejabat (ambtelijke
akte) tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta itu adalah
palsu. Pada akta partij dapat digugat isinya, tanpa menuduh
kepalsuannya, dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para
pihak yang bersangkutan diuraikan menurut sesungguhnya dalam akta
itu, akan tetapi keterangan itu adalah tidak benar. Artinya terhadap
keterangan yang diberikan.diperkenankan pembuktian sebaliknya.23
Notaris kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan
maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan
alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau

22
Soegondo Notodirejo, R, Hukum Notariat Di Indonesia, Jakarta: Rajawali,2009 ,hlm.4

23
Komar Andasasmita, Akta II Notaris dan Contoh-contoh Akta, Ikatan Notaris Indonesia, 2007,
hlm 41.

22
perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak agar dituangkan
dalam bentuk akta otentik untuk dijadikan sebagai alat bukti yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa tindakan hukum
tertentu wajib dibuat dalam bentuk akta otentik24
Menurut Herlien Budiono, dalam lalu lintas hubungan-hubungan
hukum privat, Notaris menikmati kewenangan eksklusif untuk membuat
akta-akta otentik. Terhadap akta otentik tersebut diberikan kekuatan bukti
yang kuat dalam perkara-perkara perdata, sehingga Notaris yang
berwenang membuat akta-akta otentik menempati kedudukan sangat
penting dalam kehidupan hukum. Notaris berkedudukan sebagai
penasehat terpercaya dari orang-orang yang memerlukan bantuan hukum,
dan bagi klien dapat berperan sebagai penunjuk arah.25
Perkembangan jabatan Notarisdalam masyarakat modern tidaklah
mungkin diwujudkan sekedar selaku Notaris yang apatis, namun harus
menjalankan fungsi aktif dengan dilatarbelakangi kehendak agar para
pihak melaksanakan dan memenuhi kontrak sebagaimana sejak semula
dimaksudkan dan disepakati oleh para pihak.26Van Mourik menyatakan
fungsi seorang Notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin seperti
yang tidak pernah terwujudkan, yakni sekedar penulis pasif yang tidak
memiliki kehendanya sendiri, dalam kedudukan demikian membiarkan
terjadinya rusaknya hukum27Pengembangan praktik Notariat dalam
kehidupan di Indonesia sudah selayaknya mengembangkan diri dan
melakukan pendalaman, khususnya berkenaan dengan hukum dan
sekaligus untuk dalam upaya mencegah timbulnya sengketa di antara
para pihak yang terkait.28

24
Habib Adji, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung: Mandar
Maju, 2009, hlm. 22
25
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 257
26
Anke Dwi Saputra, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan di Masa Datang, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 2009, hlm. 40
27
Van Mourik M. J. A, dalam Herlien Budiono, Ibid, hlm. 261.
28
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta: Center For Documentation
and Studies of Business Law (CDBSL), 2003, hlm. 40.

23
d. Kewajiban Notaris.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang Notaris sebagaimana
tercantum dalam ketentuan Pasal 16 UUJN Perubahan yaitu:
1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah,
jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, menjaga kepentingan
pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
2) Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari Protokol Notaris;
3) Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada
Minuta Akta;
4) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta
berdasarkan Minuta Akta;
5) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
6) Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan
segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai
dengan sumpah atau janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain;
7) Menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku
yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika
jumlah Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut
dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah
Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap
buku;
8) Membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau
tidak diterimanya surat berharga;
9) Membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut
urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;
10) Mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i
atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar
wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan

24
pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada
minggu pertama setiap bulan berikutnya;
11) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
setiap akhir bulan, mempunyai cap atau stempel yang memuat
lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang
melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan
yang bersangkutan;
12) Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh
paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) saksi khusus
pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada
saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan
13) Menerima magang calon Notaris.
Kewajiban Notaris merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh Notaris
yang jika tidak dilaksanakan atau dilanggar, jika tidak maka akan
dikenakan sanksi terhadap Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16
ayat (11) UUJN Perubahan, sanksi ini berupa peringatan tertulis,
pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan
pemberhentian tidak hormat jika melanggar ketentuan Pasal 16 ayat
(1) huruf a sampai dengan huruf l. Apabila Notaris melanggar
ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j, maka dapat menjadi alasan bagi pihak
yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, gantirugi
dan bunga kepada Notaris, seperti yang diatur dalam ketentuan
Pasal 16 ayat (12) UUJN Perubahan. Serta dalam ketentuan Pasal 16
ayat (13) UUJN Perubahan disebutkan bahwa Notaris yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n dapat dikenai
sanksi berupa peringatan tertulis. Seorang Notaris dalam menjalankan
tugasnya dibatasi oleh koridor aturan. Pembatasan ini dilakukan agar
seorang Notaris dalam menjalankan praktiknya dapat bertanggung jawab
terhadap segala hal yang dilakukannya. Tanpa pembatasan, seseorang
akan bertindak sewenang-wenang. Demi sebuah pemerataan, pemerintah
membatasi kerja seorang Notaris.

25
e. Larangan Notaris
Selain kewajiban Notaris yang ditentukan dalam ketentuan Pasal
16 ayat (1) UUJN Perubahan tersebut, dalam menjalankan tugas jabatannya
Notaris juga harus memperhatikan dan tunduk pada larangan-larangan
yang diatur dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUJN Perubahan, yaitu
antara lain:
a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
c. Merangkap sebagai pegawai negeri;
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. Merangkap jabatan sebagai advokat;
f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau
Pejabat
h. Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;
i. Menjadi Notaris Pengganti; atau
j. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan
dan martabat jabatan Notaris.

2. Tinjauan Umum Pengesahan


Kewenangan Notaris dalam hal melegalisasi sebagaimana yang
ternyata dalam Undang-Undanj Jabatan Notaris, maka kita harus
memahami terlebih dahulu mengenai legalisasi. Legalisasi adalah
penandatanganan suatu tulisan di bawah tangan dengan cap jempol/jari
(vingeratdruk) yang “gewaarmerkt” oleh seorang Notaris yang
berwenang lainnya, dimana Notaris tersebut mengenal yang
menerangkan tapak jempol/jari atau diperkenalkan kepadanya dan bahwa
isi aktanya secara jelas diingatkan (voorgehouden) dan bahwa

26
penerapan tapak jempol/jari itu dilakukan dihadapan Notaris. Legalisasi
(legalisatie) De Bruyn mengartikan suatu tindakan hukum harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:29
a. Bahwa Notaris itu mengenal orang yang membubuhkan tanda
tangannya;
b. Bahwa isi akta itu diterangkan dan dijelaskan (voorhouden) kepada
b. orangnya;dan
c. Bahwa kemudian orang itu membubuhkan tanda tangannya dihadapan
Notaris;
Hal tersebut harus disebut oleh Notaris dalam keterangannya dalam
akta di bawah tangan itu, tanda tangan yang dilegalisasi demikian kata
De Bruyn tidak dapat disangkal kecuali keterangan Notaris dituduh
sebagai keterangan palsu.30De Bruyn mengatakan bahwa kekuatan
legalisasi antara lain terletak pada pembubuhan tanda tangan atau cap
jempol dari orang yang datang kehadapan Notaris.Banyak Notaris minta
agar diadakan dua saksi yang juga turut menandatangani akta itu,
menurut De Bruyn hal ini tidak perlu karena suatu legalisasi adalah
keterangan seorang Notaris pribadi (een personele verklaring) bukan akta
Notaris.31
Dalam hal legalisasi yaitu Akta di bawah tangan yang belum
ditanda tangani diberikan kepada Notaris dan di hadapan Notaris
ditandatangani oleh orangnnya setelah isi akta dijelaskan oleh Notaris
(voorhouden) kepadanya. Dalam kasus ini; tanggal dan tanda tangan
adalah pasti karena isi akta dijelaskan Notaris, maka penanda tangan
tidak dapat mengatakan bahwa ia tidak mengerti apa yang ditandatangani
dan penanda tangan adalah benar orang ang namanya tertulis dalam

29
De Bruyn Mgz dikutip kembali Thong Kie, Tan, 2000, Studi Notariat, Serba serbi praktek
Notaris, Edisi Baru.Jakarta: PT.Icthiat baru van hoeve, hlm 238.
30
Ibid, hlm 238.
31
Ibid, hlm 238.

27
keterangan ini.32Untuk Legalisasi ini Tan Thong Kie menulisnya di
bawah akta dan biasanya berbunyi:33

Saya ………… Notaris di ……….. Menerangkan telah menjelaskanisi


akta ini kepada ……………. Yang dikenal (diperkenalkan kepada) saya,
Notaris, setelah itu , ………….. menandatanganinyadi hadapan saya,
Notaris.

Jakarta, ..........
Tanda Tangan Notaris
Cap Jabatan
Dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris juga diatur mengenai Coppie Collationee dan
Pengesahan Fotokopi selain kewenangan yang tersebut di atas. Coppie
Collationee merupakan membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan
berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan34Coppie Collationee ini membuat asli surat-
surat yang pernah dibuat dan hendak dipergunakan lagi seperti halnya surat
kuasa yang dilekatkan pada Minuta akta Notaris atau dengan kata lain surat
kuasa atau surat di bawah tangan lainnya yang diketik ulang, maka agar
dapat digunakan oleh pihak yang berkepentingan, maka Notaris membuat
Kopi dari asli surat di bawah tangan (Coppie Collationee), pada akhir atau
penutup akta ini disebutkan dibuat sebagai Coppie Collationee. Coppie
Collationee ada 2 (dua) macam, yaitu :
a. Coppie Collationee dari Surat di bawah tangan yang telah dilekatkan
pada minuta akta Notaris. Rumusannya;
Di keluarkan sebagai salinan yang sama bunyinya “Coppie Collatione”
dari Surat kuasa di buat di bawah tangan, tertanggal …………….., yang
telah di jahitkan pada minuta akta saya, Notaris, Nomor ….. Tanggal
……….. (tanggal ini beda dengan tanggal surat kuasa)

32
Muhammad Adam, Asal Usul dan Sejarah Akta Notariat, Bandung : CV.Sinar Baru, 1985,
hlm 34

33
Ibid, hlm 239.
34
Imanta Sembiring, Beda Legalisir, Waarmerking, copy collationnee, dalam
http://www.academia.edu/5094241/Beda_Legalisir_Waarmerking_copy_collationnee,
diakses pada Kamis 19 Oktober 2017, Pukul 10.00 WIB

28
Notaris di ………………
Tanda tangan
Cap Jabatan
b. Coppie Collatione dari Surat di bawah tangan yang setelah di cocokan
dengan aslinya dikembalikan lagi kepada yang berkepentingan;
Rumusannya :
Di keluarkan sebagai salinan yang sama bunyinya “Coppie Collatione”
dari Surat kuasa di buat di bawah tangan, tertanggal ……………..,
setelah dicocokan maka asli surat tersebut diserahkan kembali kepada
yang berkepentingan.
Semarang, …………..
Tanda Tangan
Cap Jabatan
Pengesahan Kecocokan foto kopi yaitu merupakan salah satu
kewenangan Notaris untuk mencocokan foto kopi dari asli surat-surat
yang diperlihatkan kepadanya dan Notaris melakukan pengesahan
terhadap foto kopi tersebut yang sesuai dengan surat aslinya, dengan
memberi cap jabatan dan tanda tangan Notaris pada fotocopian tersebut
atau yang sebagian orang menyebutnya “legalisir”.
3. Teori Kewenangan
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu hukum
ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan.Kekuasaan sering disamakan
begitu saja dengan kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan
istilah kewenangan, demikian pula sebaliknya. Kekuasaan biasanya
berbentuk hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan
pihak lain yang diperintah (the rule and the ruled).35Berdasarkan pengertian
tersebut di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan
hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van
Maarseven disebut sebagai “blote match36sedangkan kekuasaan yang
berkaitan dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang

35
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998, hlm. 35-
36
36
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia,
Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, Surabaya:
Universitas Airlangga, 1990, hlm. 30

29
rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum
ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi
oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara. 37Dalam hukum
publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. 38Kekuasaan memiliki
makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh
Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. 39Kekuasaan
merupakan unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:40
a) hukum;
b) kewenangan (wewenang);
c) keadilan;
d) kejujuran;
e) kebijakbestarian; dan
f) kebajikan.
Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar
Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging).Negara itu dapat
berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dalam melayani warganya.
Negara harus diberi kekuasaan, kekuasaan menurut Miriam Budiardjo
adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian
rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari
orang atau Negara41

37
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 52

38
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, tanpa
tahun, hlm. 1

39
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintah Yang Bersih dan Bertanggung
Jawab, Jurnal Pro Justitia Edisi IV, Bandung: Universitas Parahyangan, 2000, hlm 34

40
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Yogyakarta:UniversitasIslam
Indonesia, 1998, hlm. 37-38

41
Miriam Budiardjo, Op Cit, hlm. 35

30
Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa atau
organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan jabatan-
jabatan (een ambten complex) dimana jabatan-jabatan itu diisi oleh
sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu
berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban42Kekuasaan mempunyai dua
aspek, yaitu aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan
hanya beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber
dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi
(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan
kewenangan jelas bersumber dari konstitusi43Kewenangan sering
disejajarkan dengan istilah wewenang.Istilah wewenang digunakan
dalam bentuk kata benda dan sering disejajarkan dengan istilah
“bevoegheid” dalam istilah hukum Belanda.Ada pandangan bahwa akta
Notaris tidak dapat memenuhi asas publisitas karena ada kewajiban bagi
Notaris untuk merahasiakan segala suatu yang berkenaan dengan akta
tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan asas publisitas tersebut
adalah kewajiban membuka informasi tersebut kepada publik, misalnya
dengan diumumkan pada papan pengumuman yang dapat diakses oleh
publik agar memenuhi prinsip publisitas itu sendiri. Syarat untuk
memenuhi asas publisitas adalah akses informasi bagi publik.Alasan
bahwa Notaris tidak memiliki kewenangan terkait asas publisitas dalam
hal ini memang dapat dibenarkan. Notaris merupakan pejabat umum
(pejabat publik) yang melayani kepentingan publik, perjanjian kawin
yang dibuat oleh Notaris belumlah mengikat pihak ketiga, mengingat
Notaris tidak diberikan kewenangan untuk mengumumkan perjanjian
kawin tersebut khususnya kewenangan publisitas, jelas melanggar prinsip
kerahasiaan akta. Berbeda halnya bila undang-undang atau Mahkamah
Konsititusi, tegas memberikan kewenangan tersebut kepada Notaris

42
Rusadi Kantaprawira, Op Cit, hlm. 39
43
Jimly Asshidiqie, Peradilan Etik Dan Etika Konstitusi, Jakata Timur: Sinar Grafika, 2014
hlm281

31
untuk melakukan pengumuman sendiri.Dalam hal ini, alasan kerahasiaan
akta tak perlu lagi dipersoalkan.
Dengan hal di atas Notaris selaku Pejabat yang diberi kewenangan
oleh Negara masih ragu dalam hal kata mengesahkan perjanjian perkawinan,
karena pada prakteknya selama ini Notaris membuat perjanjian perkawinan
dalam bentuk Akta Notariil, kata mengesahkan di anggap rancu bagi
beberapa Notaris serta belum adanya petunjuk pelaksanaan yang jelas
mengenai pengesahan perjanjian perkawinan, karena itu Notaris
beranggapan bahwa pengesahan yang dimaksud dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi merupakan bentuk pengesahan berupa menuangkan perjanjian
perkawinan ke dalam sebuah akta autentik.
Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit perbedaan
antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan tersebut
terletak pada karakter hukumnya.Istilah “bevoegheid” digunakan dalam
konsep hukum publik maupun dalam hukum privat.Dalam konsep hukum
kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan dalam
konsep hukum publik.44Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara
pengertian kewenangan dan wewenang.45Kita harus membedakan antara
kewenangan (authority, gezag), wewenang (competence,
bevoegheid).Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang,
sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” bagian tertentu
saja dari kewenangan. Dalam kewenangan terdapat wewenang (rechtsbe
voegdheden).Wewenang merupakan lingkup tindakan dalam hukum publik,
lingkup pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan
pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan

44
Phillipus M. Hadjon, Op Cit, hlm. 20
45
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,Bandung, Universitas Parahyangan, 2000,
hlm. 22

32
tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-
akibat hukum.46Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah
Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurechttelijke
bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het
bestuurechttelijke rechtsverkeer.wewenang dapat dijelaskan sebagai
keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum
publik.47Berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut di atas,
penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority) memiliki pengertian
yang berbeda dengan wewenang (competence). Kewenangan merupakan
kekuasaan formal yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang
adalah suatu spesifikasi dari kewenangan, artinya barang siapa (subyek
hukum) yang diberikan kewenangan oleh undang-undang, maka ia
berwenang untuk melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan
itu.48Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam
melakukan perbuatan nyata, mengadakan pengaturan atau mengeluarkan
keputisan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi
secara atribusi, delegasi, maupun mandat.Suatu atribusi menunjuk pada
kewenangan yang asli atas dasar konstitusi. Pada kewenangan delegasi,
harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan
yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti
pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak atas nama
46
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung,
Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1994, hlm. 65
47
Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan
Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004, hlm.4
48
Agus Roni, Kewenangan, Sumber-Sumber Kewenangan Dan Kewenangan Membentuk
Undang-Undang, dalam https://agusroniarbaben.wordpress.com/2017/06/03/pengertian-
kewenangan-sumber-sumber-kewenangan-dan-kewenangan-membentuk-undang-undang/,
diakses pada Minggu 8 Oktorber 2017, Pukul 10.18 WIB

33
pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang diberi mandat
menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator (pemberi
mandat).
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun mandat,
J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan :49
a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is
to say that is not derived from a previously existing power. The
legislative body creates independent and previously non existent powers
and assigns them to an authority.
b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that
the acquired the power) can exercise power in its own name.
c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans)
assigns power to the body (mandataris) to make decision or take action
in its name.
J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan
yang diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga
Negara oleh suatu badan legislatif yang independen.Kewenangan ini adalah
asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Delegasi
adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari suatu
organ (institusi) pemerintahan kepada organ lain sehingga delegator atau
organ yang telah memberi kewenangan dapat menguji kewenangan tersebut
atas namanya, sedangkan pada mandat, tidak terdapat suatu pemindahan
kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan
kepada organ lain (mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil
suatu tindakan atas namanya.
Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi.Pada
atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada

49
J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law,Nijmegen: Ars Aeguilibri,
1998, hlm. 16-17

34
delegasi.Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat
didelegasikan secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi
bahwa peraturan hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi
tersebut.Terdapat dua cara untuk memperoleh wewenang pemerintah yaitu :
atribusi dan delegasi; kadang-kadang juga mandat ditempatkan sebagai cara
tersendiri untuk memperoleh wewenang.50Kewenangan yang sah merupakan
atribut bagi setiap pejabat atau bagi setiap badan. Kewenangan yang sah bila
ditinjau dari sumber darimana kewenangan itu lahir atau diperoleh, maka
sumber kewenangan diatur pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan sebagai berikut:
” Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat
yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Terdapat tiga kategori kewenangan yaitu Atribut, Delegatif, dan
Mandat yang dapat dijelaskan sebagai berikut :51
1. Kewenangan Atribut :
Kewenangan atribut digariskan dari adanya pembagian kekuasaan
oleh peraturan perundang-undangan.Dalam pelaksanaanya dilakukan
sendiri oleh pejabat atau badan yang tertera dalam peraturan dasarnya.
Terhadap kewenangan atributif mengenai tanggung gugat berada pada
pejabat atau badan sebagaimana tertera dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasarnya :52
2. Kewenangan delegatif
3. Kewenangan ini berseumber dari pelimpahan suatu organ pemerintah
kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Dalam

50
S.F Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, cet III,
Yogyakarta: FH UII Press, 2011, hlm 138
51
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung,Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1994, hlm 65
52
Agussalim, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia,
2007, Hlm 102

35
hal kewenangan delegatif tanggung jawab dan tanggung gugat beralih
pada yang diberi wewenang tersebut kepada delegataris. 53Kewenangan
Mandat
Yaitu merupakan kewenangan yang berseumber dari proses atau
prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada
pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada badan atau pejabat yang
lebih rendah.

3. Jenis-Jenis PPAT
Menurut ketentuan Pasal 1 PP Nomor 37 Tahun 1998, ada 3
macam PPAT, yaitu:
a. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun. PPAT yang dimaksud dalam ayat ini adalah lulus
program pendidikan spesialis Notaris (Magister Kenotariatan) atau
lulusan pendidikan tinggi khusus PPAT.
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah pejabat pemerintah
yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT
dengan membuat akta PPAT didaerah yang belum cukup terdapat
PPAT, misalnya camat dan kepala desa.
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah pejabat BPN RI yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT
dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka
pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu, misalnya
Kepala Kantor Pertanahan.
Perbedaan antara Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat
Akta Tanah Sementara dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah:

53
Hukum online, Pengertian Atribusi, Delegasi dan Mandat,
dalamhttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5816ab6ea74a7/pengertian-atribusi--delegasi-
dan-mandat, diakses Sabtu, 07 Oktober 2017. Pukul 10.22 WIB

36
a. PPAT diangkat oleh Menteri, sedangkan PPAT Sementara dan
PPAT Khusus ditunjuk oleh Menteri yaitu sekarang Menteri
Agraria.
b. PPAT diangkat dengan memenuhi syarat yang ditentukan oleh
Pasal 6 PP Nomor 37 Tahun 1998, sedangkan PPAT Sementara
adalah Pejabat Pemerintah dan PPAT Khusus adalah Pejabat dari
BPN RI.
c. Sementara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, PPAT
diijinkan untuk menerima honorarium yaitu setinggi-tingginya
adalah 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum dalam
akta, sedangkan PPAT Khusus tidak memungut biaya dalam
menjalankan tugasnya.
PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agraria/Kepala
BPN. Sebelum menjalankan tugasnya sebagai PPAT, PPAT dilantik oleh
Kepala Kantor Pertanahan dimana ia akan bertugas.

4. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT


Ketentuan mengenai Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan PPAT jo Permenag/Kepala BPN Nomor 4 tahun 1999
yang telah dirubah dengan peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 1
Tahun 2006 serta Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
23 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pelaksanaan dari PP Nomor 37 Tahun
1998, sebagai berikut:
Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
Syarat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 untuk dapat diangkat
menjadi PPAT harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Berkewarganegaraan Indonesia;
2. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun;

37
3. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan
yang dibuat oleh instansi kepolisian setempat;
4. Belum pernah dihukum penjara karena melakukan
kejahatan berdasarkanputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. Sehat jasmani dan rohani;
6. Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau
Program Pendidikan Khusus PPAT yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan tinggi;
7. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri
Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional.54
Setelah dinyatakan lulus dalam ujian PPAT tersebut diatas,
prosedur selanjutnya adalah mengajukan permohonan untuk diangkat
sebagai PPAT kepada KepalaBadan Pertanahan Nasional oleh calon
PPAT yang sudah lulus ujian dengan surat yang dibuat sesuai bentuk
yang ditetapkan dan dilengkapi dengan:
1. Surat Keterangan berkelakuan baik yang dikeluarkan oleh
Instansi Kepolisian;
2. Surat Keterangan kesehatan dari dokter umum atau dokter
specialis yang menyatakan bahwa yang bersangkutan sehat
jasmani dan rohani;
3. Surat Pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan
mengenai kesediaannya untuk ditunjuk sebagai penerima
protokol PPAT lain;
4. Surat Pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan
yang menyatakan tidak rangkap jabatan.
5. Daftar Riwayat hidup.
6. Fotocopy ijasah S1 dan Program pendidikan khusus PPAT
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi atau
54
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah
yang dihadapi oleh Perbankan (suatu Kajian Mengenai UUHT), Alumni, Bandung, 1999,
hlm. 678

38
ijasah program pendidikan spesialis notariat atau Magister
Kenotariatan, yang dilegalisir oleh Pejabat yang
berwenang;55
Pemberhentian Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai berikut:
1. PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT karena:
a. Meninggal Dunia; atau
b. Telah mencapai usia 65 tahun; atau
c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau
melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat
kedudukan di Kabupaten/Kotamadya daerah tingkat II
yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. Diberhentikan oleh Menteri.
2. PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan
tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (3) huruf a dan
b, atau diberhentikan oleh Menteri.
Pemberhentian PPAT tersebut dari jabatannya dapat dilakukan
baik secara hormat ataupun tidak hormat sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 dan Pasal 11 antara lain sebagai berikut:
1. PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena:
a. Permintaan sendiri;
b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena
keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya,
setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang

55
Departemen Agraria, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasioanl
tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peratruan
Jabatan PPAT; Permenag/Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1999, Pasal 5 jo Permenag/Kepala
BPN Nomor 1 Tahun 2006 jo Permenag/Kepala BPN Nomor 23 Tahun 2009

39
berwenang atas permintaan Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk;
c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau
kewajiban sebagai PPAT;
d. Diangkat sebagai pegawai Negeri sipil atau ABRI.
2. PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya
karena:
a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau
kewajiban sebagai PPAT.
b. Dijatuhi hukuman kurungan/Penjara karena
melakukan kejahatan/perbuatan pidana yang diancan
dengan hukuman kurungan atau penjara selama-
lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
3. Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 huruf c dan ayat 2 dilakukan setelah
PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
4. PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat
diangkat kembali menjadiPPAT untuk daerah kerja lain
daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT
untuk daerah kerja tersebut belum penuh.

5. Hak dan Kewajiban PPAT


Menurut Satjipto Rahardjo, hukum melindungi kepentingan
seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya
untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian
kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan
dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut

40
sebagai hak.56 Lebih jauh dijelaskan bahwa ciri-ciri yang melekat pada
hak menurut hukum adalah sebagai berikut:
a. Hak itu dilekatkan kepada seseorang yang disebut sebagai pemilik
atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang
memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran hak.
b. Hak itu tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang
kewajiban. Antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang ini mewajibkan pihak lain untuk
melakukan (commission) atau tidak melakukan (omission) sesuatu
perbuatan. Ini bisa disebut sebagai isi dari hak.
d. Commission atau omission itu menyangkut sesuatu yang bisa
disebut sebagai objek dari hak.
e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu
peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada
pemiliknya.57
Dalam pelaksanaan tugasnya PPAT mempunyai Hak dan
kewajiban, yang berpedoman pada peraturan perundangan-undangan
yang berlaku di Indonesia, sebagaimana diatur didalam PP Nomor 37
Tahun 1998. a. Hak PPAT - Dalam menjalankan jabatannya PPAT
berhak untuk mendapatkan honor setinggi-tingginya 1% (satu persen)
dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta, namun PPAT wajib
pula memberikan jasa secara cuma-cuma kepada anggota masyarakat
tidak mampu - Bilamana ada keperluan yang menyebabkan PPAT tidak
dapat menjalankan tugasnya untuk beberapa saat maka ia berhak untuk
mengambil cuti.
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 PP Nomor 37 Tahun 1998, PPAT
yang menjalankan cuti dapat mengusulkan untuk pengangkatan PPAT
pengganti yang harus memenuhi syarat bahwa ia adalah seorang Sarjana
Hukum dan sudah bekerja di kantor PPAT yang digantikannya selama

56
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,2006, hlm. 53.
57
Ibid, Hal. 55.

41
paling sedikit 2 tahun, namun Peraturan Kepala BPN RI Nomor 1 Tahun
2006 menambahkan syarat untuk pengajuan sebagai PPAT Pengganti,
yaitu:
a. Harus berumur 30 tahun atau lebih; Belum berumur 65 tahun pada
saat berakhirnya masa jabatan PPAT pengganti;
b. Belum ada PPAT lainnya yang diangkat.
c. PPAT berhak untuk memperoleh informasi serta perkembangan
peraturan pertanahan.
d. PAT berhak untuk memperoleh kesempatan untuk mengajukan
pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian
sebagai PPAT.
e. PPAT boleh merangkap sebagai jabatan Notaris, konsultan atau
penasehat hukum.
f. PPAT berhak untuk menolak membuat akta bila tanahnya sudah
bersertipikat namun pemilik sertipikat tidak mau menunjukkan dan
menyerahkannya kepada PPAT atau oleh pemilik diserahkan
sertipikatnya namun sertipikat tersebut tidak sesuai dengan daftar-
daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
Kewajiban berasal dari kata wajib yang berarti beban untuk
memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak
tertentu tidak dapat oleh pihak lain manapun yang pada prinsipnya dapat
dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Dengan demikian
kewajiban berarti sesuatu yang harus dilakukan yang dalam konteks ini
dipersepsikan sebagai sesuatu yang harus dilakukan oleh PPAT. Adapun
bentuk kewajiban PPAT adalah seperti tersebut dibawah ini:
a. PPAT mempunyai kewajiban administrasi untuk menyimpan dan
memelihara protokol PPAT yang terdiri dari Daftar Akta, Akta Asli,
Warkah Pendukung Akta, Arsip Laporan, Agenda, dan surat-surat
lainnya.

42
b. Menyampaikan setiap akta yang dibuatnya (kecuali akta Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan) kepada Kantor Pertanahan untuk
didaftar dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta dibuat.
c. Menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada para pihak mengenai
telah disampaikannya akta ke Kantor Pertanahan.
d. Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya
kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN dan
Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 10 bulan
berikutnya. Mengenai laporan bulanan ini harus dibuat berdasarkan
Surat Keputusan Bersama antara Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN dan Dir Jend Pajak Nomor : yang ditetapkan dan mulai berlaku
sejak tanggal 27 Agustus 1998.
e. Dalam hal ditunjuk oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Kepala
Kantor Wilayah BPN RI, PPAT wajib menerima protokol dari PPAT
yang berhenti menjadi PPAT.
f. Memasang papan nama PPAT.
g. Menurunkan papan nama PPAT pada hari yang bersangkutan
berhenti dari jabatan PPAT.

B. Akta PPAT
1. Pengertian dan Dasar Hukum Akta PPAT
Secara etimologi ”akta” berasal dari bahasa latin ”acta” yang
berarti ”geschrift” atau surat.58 Sementara itu R. Subekti dan R. Tjitro
Sudibio, menjelaskan kata ”acta” merupakan bentuk jamak dari akta
”actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-
perbuatan.59Selanjutnya A. Pitlo, dalam salah satu tulisannya
sebagaimana dikutip oleh Suharjono menyebutkan: akta adalah suatu
surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan
untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluansiapa surat itu
58
Suharjono, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Majalah Varia Peradilan Desember
Tahun XI Nomor 123, 1995, hlm. 128.
59
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1980, hlm. 9.

43
dibuat.60 Menurut Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi
tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian.61
Sejalan dengan hal tersebut, pengertian akta PPAT dapat disimak
dari rumusan. Pasal 1 angkat 4 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
jo. Pasal 1angka 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006, adalah akta yang dibuat oleh
PPAT sebagai bukti dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanahatau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Atas dasar perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun, maka ditentukan bermacam-macam
akta yang kewenangan pembuatannya diserahkan kepada PPAT atau
PPAT Sementara untuk dijadikan dasar perubahan data pendaftaran
tanah. Akta-akta tersebut adalah:
a. Akta Jual Beli;
b. Akta Tukar Menukar;
c. Akta Hibah;
d. Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan;
e. Akta Pembagian Hak Bersama;
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik;
h. Akta Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
i. Akta pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.

2. Akta PPAT sebagai Akta Otentik


Secara normatif pengaturan akta otentik dijumpai dalam Pasal 285
RBg/165 HIR yang menyebutkan: akta otentik yaitu suatu surat yang
dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat
60
Suharjono, Op. Cit, Hal. 43.
61
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.
110. (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I)

44
umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang
cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang
mendapat hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam
surat itu, dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai
pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar
diberitahukan itu langsung berhubungan dengan pokok yang disebutkan
dalam akta tersebut.62Dalam lalu lintas keperdataan surat yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat umum menurut ketentuan undang-undang
memang dengan sengaja63dibuat sebagai alat-alat bukti berhubung
dengan kemungkinan diberlakukannya bukti-bukti itu dikemudian hari.
Selanjutnya menurut Irfan Fachridin, Pasal 1868 KUHPerdata
secara implisit memuat perintah kepada pembuat undang-undang supaya
mengadakan suatu undang-undang yang mengatur perihal tentang
Pejabat Umum, dimana harus ditentukan kepada siapa masyarakat dapat
meminta bantuannya jika perbuatan hukumnya ingin dituangkan dalam
suatu akta otentik.64
Berikutnya menurut Wawan Setiawan mengatakan lahirnya akta
otentik jika akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum bukan
berdasarkanundang-undang, sehingga dengan demikian bagi yang
mempersoalkan apakah akta itu otentik atau bukan otentik hanya bisa
dibantah dengan pembuktian bahwa akta tersebut bukan dari Pejabat
Umum.65
Pengaturan akta PPAT sebagai akta otentik dapat disimak rumusan
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3
ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006

62
K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata (RBg/HIR), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm.
71.
63
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, 1981, hlm. 86.
64
Irfan Fachrudin, “Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha
Negara” dalam Majalah Varia Peradilan, 1994, 111.
65
Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan Notaris Sebagai Pejabat Umum Serta Pejabat
Pembuat Akta Tanah menurut Sistem Hukum dibandingkan dengan Pejabat Tata Usaha
Negara, Makalah, 1997.

45
menegaskan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik.
Dalam kedua peraturan ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud akta
otentik. Akta otentik menurut Pasal 1868 BW, adalah suatu akta yang di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat di
mana akta dibuatnya.
Suatu akta dinyatakan sebagai akta otentik apabila memenuhi
unsur-unsur yang bersifat kumulatif sebagaimana yang ditentukan oleh
Pasal 1868 BW, yaitu:
1) Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang.
2) Akta dibuat dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa.
3) Akta itu dibuat ditempat di mana akta dibuatnya.
Menurut Irawan Soerodjo, ada tiga unsur utama yang merupakan
esensialia agar terpenuhinya syarat formal bahwa suatu akta merupakan
akta otentik, yaitu:
1) Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
2) Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum.
3) Akta dibuat oleh dan di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.66

3. Keabsahan Akta PPAT sebagai Akta Otentik


Isu hukum tentang eksistensi Akta PPAT adalah apakah Akta
PPAT merupakan Akta Otentik atau bukan. Tehadap hal ini ada 2 (dua)
pandangan yang berkembang yaitu:
1) Pendapat Prof Boedi Harsono,SH., dalam salah satu tulisannya
yang berjudul “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”

66
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003,
hlm. 149-150.

46
menyatakan bahwa Akta PPAT memenuhi syarat sebagai Akta
Otentik yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata.67
2) Pendapat dari Dr. Habib Adjie, SH., M.Hum. dalam bukunya yeng
berjudul “Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT
Indonesia”menyatakan bahwa Akta PPAT bukan Akta Otentik
karena tidak memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Pasal
1868 KUH Perdata.68
Perbedaan pandangan tersebut disebabkan adanya perbedaan tafsir
atas ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata yang menyebutkan: Suatu akta
otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat aktaitu dibuat. Dengan merujuk pada ketentuan
Pasal 1868 KUH Perdata maka dapat ditarik unsur suatu Akta Otentik
yaitu:
Unsur pertama suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila
akta tersebut secara tersurat ditentukan oleh undang-undang.Demikian
pula, hal ini diberlakukan bagi akta PPAT. Akta PPAT tidak ditentukan
oleh undang-undang, melainkan ditentukan oleh Peraturan Pemerintah
dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional, yaitu:
a. Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
menyatakan bahwa bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta
PPAT diatur oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
b. Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 menyatakan
bahwa akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

67
Boedi Harsono, “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”, Majalah Renvoi, Nomor.
8.44.IV., tanggal 3 Januari. 2007, hlm. 52(Selanjutnya disebut Boedi Harsono III)
68
Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan
tentang Notaris dan PPAT), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 267-274.
(Selanjutnya disebut Habib Adjie II)

47
c. Pasal 95 dan Pasal 96 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 menetapkan bahwa
macam dan bentuk akta yang dibuat oleh PPAT.
Berdasarkan ketiga peraturan di atas menunjukkan bahwa akta
PPAT bukanlah akta otentik dikarenakan bentuknya tidak ditentukan
oleh undang-undang melainkan ditetapkan oleh peraturan pemerintah
dan peraturan menteri, meskipun akta PPAT tersebut bentuknya baku
dan dibuat oleh PPAT sebagai pejabat umum.
Unsur kedua suatu akta dikatakan akta otentik apabila akta tersebut
oleh dan di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk
membuat akta. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006 mengatur bahwa
PPAT sebagai pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan diberikan
kewenangan untuk membuat akta pemindahan hak, pembebanan Hak
Tanggungan, pembagian hak bersama, dan pemberian kuasa
membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Unsur ketiga suatu akta dikatakan sebagai akta otentik apabila akta
dibuat oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya. Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.1 Tahun 2006 mengatur bahwa PPAT sebagai pejabat
umum diberi kewenangan membuat akta didalam daerah (wilayah)
kerjanya. Daerah (wilayah) kerja PPAT adalah suatu wilayah kerja
KantorPertanahan Kabupaten/Kota.
Dari ketiga unsur suatu akta dikatakan sebagai akta otentik
menurut Pasal 1868 BW, maka akta yang dibuat oleh PPAT tidak
memenuhi unsur sebagai akta otentik.Unsur pertama bahwa bentuk akta
ditetapkan oleh undang-undang tidak dipenuhi disebabkan bentuk akta
PPAT ditetapkan oleh peraturan pemerintah dan peraturan

48
menteri.Unsur kedua dan ketiga dipenuhi yaitu PPAT sebagai pejabat
umum dan PPAT mempunyai daerah (wilayah) kerja tertentu.

C. Tinjauan Umum tentang Jual Beli


1. Pengertian Perjanjian
Menurut Prof Subekti, S.H suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal dan dari peristiwa ini muncul
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan
yang didalam bentuknya perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara
perikatan dengan Perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan
perikatan dimana perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan
perikatan dan dapat pula bersumber dari undang-undang.Undang-Undang
sebagai suatu sumber perikatan dibedakan antara undang-undang saja
dan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang yaitu
perbuatan yang halal dan perbuatan yang melanggar hukum.Perikatan
merupakan suatu pengertian abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu
hal yang kongkrit atau suatu peristiwa yang dapat kita lihat, baca ataupun
mendengarkan perkataan-perkataannya.69
Hukum Perjanjian ini diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menganut hukum terbuka. Dalam arti hukum
perjanjian ini memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan, sehingga buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini dinamakan sebagai hukum pelengkap yaitu melengkapi
perjanjian-perjanjian yang tidak diatur.

69
Subekti,Hukum Perjanjian, Cet.7,P.T.Intermasa, Jakarta, 1994, hlm. 1-3

49
Sistem terbuka ini mengandung asas kebebasan berkontrak yang
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.”
Didalam hukum perjanjian ini berlaku juga suatu asas yang
dinamakan asas konsensualisme, bahwa pada dasarnya suatu perjanjian
atau suatu perikatan lahir sejak tercapainya kata sepakat mengenai hal-
hal yang pokok dalam perjanjian tersebut, yang didalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

2. Pengertian Jual Beli


Menurut Pasal 1457 KUHPerdata yang dimaksud dengan jual-beli,
adalah “Suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah diperjanjikan.”
Jual-beli tersebut dianggap telah terjadi apabila antara kedua belah
pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar.
Menurut Soerjono Soekanto, jual beli tanah adalah perbuatan
hukum pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai.
Terang, berarti bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus
dilakukan di hadapan Kepala Adat, yang berperan sebagai pejabat yang
menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut,
sehingga perbuatan diketahui oleh umum. Apabila tidak dilakukan, maka
perbuatan itu tidak menjadi bagian ketertiban umum, tidak berlaku
terhadap pihak ketiga dan keluar, si pembeli tidak diakui sebagai
pemegang hak atas tanah.70

70
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm.190

50
Dalam hal jual beli tanah, jual beli telah dianggap terjadi walaupun
tanah belum diserahkan atau harganya belum dibayar. Untuk pemindahan
hak itu masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain, berupa penyerahan
yang caranya ditetapkan dengan suatu peraturan lain lagi.
Penyerahan hak itu dalam istilah hukumnya biasa disebut
Juridische Levering (penyerahan menurut hukum), yang harus dilakukan
dengan akta di muka dan oleh Pejabat Balik Nama berdasarkan ordonansi
Balik Nama stbld No. 27 Tahun 1834.71
Untuk terjadinya perjanjian jual beli ini, cukup jika kedua belah
pihak sudah mencapai persetujuan tentang barang dan harga. Si penjual
mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu :
a. Menyerahkan barangnya serta menjamin si pembeli dapat memiliki
barang itu dengan tentram.
b. Bertanggung jawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Kewajiban si pembeli membayar harga dan di tempat yang telah
ditentukan. Barang harus diserahkan pada waktu perjanjian jual
beli ditutup dan di tempat barang itu berada.
Menurut Undang-Undang sejalan saat ditutupnya perjanjian, risiko
mengenai barangnya sudah beralih kepada si pembeli, artinya jika barang
itu rusak hingga tidak dapat diserahkan kepada pembeli, maka orang ini
harus tetap membayar harganya. Sampai pada waktu penyerahannya itu
si penjual harus merawatnya dengan baik. Jika si penjual melalaikan
kewajibannya, misalnya pada waktu yang telah ditentukan belum
menyerahkan barangnya, maka mulai saat itu ia memikul risiko terhadap
barang itu dan dapat dituntut untuk memberikan pembayaran kerugian
atau pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Sebaliknya, jika si pembeli tidak membayar harga barang pada
waktu yang ditentukan, si penjual dapat menuntut pembayaran itu yang
jika ada alasan dapat disertai dengan tuntutan kerugian ataupun ia dapat

71
K.Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 31.

51
menuntut pembatalan perjanjian dengan pemberian kerugian; juga barang
yang belum dibayar itu dapatdiminta kembali.
Jual beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ini bersifat obligatoir, yang artinya bahwa perjanjian jual beli baru
meletakkan hak dan kewajiban timbal balik antara kedua belah pihak
penjual dan pembeli, yaitu meletakkan kepada penjual kewajiban untuk
menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya, sekaligus
memberikan kepadanya hak untuk mendapat pembayaran harga yang
telah disetujui dan disisi lain meletakkan kewajiban kepada pembeli
untuk membayar harga barang, sesuai imbalan haknya untuk menuntut
penyerahan hak milik atas barang yang dibelinya. Atau dengan perkataan
lain, bahwa jual beli yang dianut Hukum Perdata jual beli belum
memindahkan hak milik.72
Pengertian jual beli tanah sekarang ini setelah berlakunya Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria
(UUPA), yaitu di mana pihak penjual menyerahkan tanah dan pembeli
membayar harga tanah, maka berpindahlah hak atas tanah itu kepada
pembeli. Perbuatan hukum pemindahan hak ini bersifat tunai, terang dan
riil.73
Tunai, berarti dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut hak
atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain untuk
selamalamanya, dengan disertai pembayaran sebagian atau seluruh harga
tanah tersebut. Terang berarti perbuatan hukum pemindahan hak tersebut
dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tidak
dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan riil atau secara nyata, adalah
menunjukkan kepada akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak.

72
Sodaryo Soimin, Status Tanah dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 94-
95
73
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional Jilid I, Djambatan,Jakarta, 2003,
hlm. 333.

52
Dalam pengertian tunai, mencakup dua perbuatan yang dilakukan
bersamaan/serentak, yaitu :
a. Pemindahan hak/pemindahan penguasaan yuridis dari penjual
(pemilik/pemegang hak) kepada pembelinya (penerima hak).
b. Pembayaran harganya.
c. Dengan dipenuhinya poin 1 dan 2 di atas, maka perbuatan hukum
jual beli tanah telah selesai. Dan apabila baru dibayar sebagian, sisa
harganya merupakan pinjaman atau utang piutang di luar perbuatan
jual beli.

3. Syarat-Syarat pembuatan akta Jual Beli Tanah


Jual Beli tanah syaratnya ada dua, yaitu syarat materil dan syarat
formil, yaitu:74
a. Syarat Materil.
Syarat materiil sangat menentukan sahnya jual beli tanah
tersebut, antara lain sebagai berikut:
1) Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.
Maksudnya adalahpembeli sebagai penerima hak harus
memenuhi syarat untuk memiliki tanah yang dibelinya.
2) Penjual berhak untruk menjual tanah yang bersangkutan yang
berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak
yang sah atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau
pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia berhak
untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, apabila pemilik
tanah adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu
ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh seorang
saja yang bertindak sebagai penjual.75
3) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan
tidak sedang dalam keadaan sengketa.
74
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm. 77
75
Effendi Perangin-angin, Praktik Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm.
2.

53
Jika salah satu syarat materil ini tidak dipenuhi dalam arti
penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang
dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi
pemilik hak atas tanah, atau tanah yang diperjualbelikan sedang
dalam sengketa atau merupakan tanah yang tidak boleh
diperjualbelikan, maka jual beli tanah tersebut adalah tidak sah.
Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak adalah batal
demi hukum. Artinya, sejak semula hukum menganggap tidak
pernah terjadi jual beli.76
b. Syarat Formil
Setelah semua persyaratan materil dipenuhi maka PPAT akan
membuat akta jual belinya. Akta jual beli menurut Pasal 37 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah harus dibuat oleh PPAT. Jual beli yang dilakukan tanpa di
hadapan PPAT tetap sah karena Undang Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria berlandaskan pada
Hukum Adat (Pasal 5), sedangkan dalam Hukum Adat sistem yang
dipakai adalah sistem yang konkret/kontan/nyata/riil. Kendatipun
demikian untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam
setiap peralihan hak atas tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan
pelaksana dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang Undang Pokok Agraria telah menentukan bahwa setiap
perjanjian yang bermaksud untuk melakukan pemindahan hak atas
tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di
hadapan PPAT.77
Akta PPAT adalah akta otentik, hal ini ditegaskan oleh Pasal
1 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
76
Ibid, hlm. 2
77
Bachtiar Effendi, Kumpulan Tulisa tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 23
dalam Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), hal. 78.

54
Tanah. Sebagai akta otentik, terhadap akta PPAT berlaku
ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat dan tata cara pembuatan
akta otentik. Bentuk akta otentik ditentukan oleh undang-undang,
sedangkan pejabat yang dapat membuatnya tidak dapat dihindarkan
agar berbobot yang sama harus pula ditentukan oleh undang-
undang atau peraturan perundangundangan setingkat dengan
undang-undang.78
Akta PPAT sebagaimana halnya dengan akta Notaris, sama-
sama sebagai akta otentik. Akta otentik sendiri sebagaimana
dikemukakan oleh C.A. Kraan di dalam disertasinya, De
Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984) mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut:79
1) Suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat semata-mata untuk
dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana
disebutkan dalam tulisan, dibuat dan dinyatakan oleh pejabat
yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh
atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.
2) Tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari
pejabat yang berwenang.
3) Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi:
ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-
kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal,
tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan
kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya dan data di mana
dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut.
4) Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai
sifat dan pekerjaan yang mandiri (onafhankelijk-independence)
serta tidak memihak (onpartijdig-impartial) dalam
78
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT.Citra Aditya
Bakti Bandung, 2007, hlm. 59
79
C.A. Kraan di dalam disertasinya, De Authentieke Akte (Amsterdam 20 Januari 1984), dalam
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT. Citra
Aditya Bakti,Bandung, 2007, hlm. 214

55
menjalankan jabatannya sesuai dengan ketentuan Pasal 1868
KUHPerd.
5) Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh
pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.
Sebagai akta otentik, akta PPAT sebagai alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat
terdegradasi kekuatan pembuktian menjadi seperti akta di bawah
tangan. Degradasi kekuatan bukti akta otentik menjadi kekuatan
bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta otentik yang
mengakibatkan akta otentik dapat dibatalkan atau batal demi
hukum atau non existent, terjadi jika ada pelanggaran terhadap
ketentuan perundang-undangan yaitu :80
1) Pasal 1869 KUH Perdata, yang berbunyi: “Suatu akta yang
karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud
diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidaklah dapat
diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan jika
ditandatangani oleh para pihak.” Pasal ini memuat ketentuan,
bahwa suatu akta tidak memiliki kekuatan bukti otentik dan
hanya memiliki kekuatan bukti dibawah tangan dalam hal:
a) Pejabat Umum tidak berwenang untuk membuat akta itu;
b) Pejabat umum tidak mampu (tidak cakap) untuk
membuat akta itu;
c) Cacat dalam bentuknya.
2) Pasal 1320 KUHPerdata, Yang mengemukakan untuk sahnya
suatu perjanjian harus dipenuhi syarat yaitu
a) sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b) kecakapan membuat suatu perjanijan;
c) suatu hal tertentu dan

80
Pieter Latumeten, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia Kebatatan dan DegradasiKekuatan
Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya, Surabaya, 28 Januari, 2009, hlm. 2.

56
d) kausa yang halal.
Syarat a dan b merupakan syarat subyektif karena mengenai
orang-orang atau subyek yang mengadakan perijanjian dan jika
syarat subyektif dilanggar maka aktanya dapat dibataikan,
sedangan syarat c dan d merupakan syarat obyektif karena
mengenai isi perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar maka
aktanya batal demi hukum.
3) Menurut Herlien Budiono sebab-sebab kebatalan mencakup
ketidakcakapan, ketidakwenangan, bentuk perjanjian yang
dilanggar, isi perjanjian bertentangan dengan undang-undang,
pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan undang-undang,
motivasi membuat perjanjian bertentangan dengan undang-
undang, perjanjian bertentangan dengan ketertiban umum dan
kesusilaan baik, cacat kehendak dan penyalahgunaan keadaan.
Menurut Boedi Harsono, akta jual beli yang dibuat dihadapan
PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar
sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi,
dalam sistem pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (yang
sekarang sudah disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah),
pendaftaran jual beli tanah itu hanya dapat (boleh) dilakukan
dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan
jual beli tanah tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan
dapat memperoleh sertipikat, biarpun jual belinya sah menurut
hukum.81
Peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan di hadapan
PPAT memang tidak ada sanksinya bagi para pihak, namun para

81
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang‐Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan,Jakarta, 2007, hlm. 52.

57
pihak akan menemui kesulitan praktis yakni penerima hak tidak
akan dapat mendaftarkan peralihan haknya sehingga tidak akan
mendapatkan sertipikat atas namanya. Oleh karena itu, jalan yang
dapat ditempuh adalah mengulangi prosedur peralihan haknya di
hadapan PPAT. Tetapi, cara ini tergantung dari kemauan para
pihak . Kesulitan akan timbul manakala pihak pertama ata
u ahli warisnya menolak atau telah pindah ke tempat lain
sehingga pengulangan perbuatan hukum peralihannya tidak dapat
dilakukan.82
Akta PPAT terkait dengan keperluan penyerahan secara yuridis
(juridische levering) disamping penyerahan nyata (feitelijk
levering).83Kewajiban menyerahkan surat bukti milik atas tanah
yang dijual sangat penting, karena itu Pasal 1482 KUHPerdata
menyatakan “Kewajiban menyerahkan suatu barangmeliputi segala
sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi
pemakaiannya yang tetap, beserta surat-surat bukti milik, jika itu
ada”. Jadi penyerahan suatu bidang tanah meliputi penyerahan
sertipikatnya.84
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, peralihan tanah dan benda-benda yang
ada di atasnya dilakukan dengan akta PPAT. Pengalihan tanah dari
pemilik kepada penerima disertai dengan penyerahan yuridis
(juridische levering), yaitu penyerahan yang harus memenuhi
formalitas undang-undang, meliputi pemenuhan syarat; dilakukan
melalui prosedur yang telah ditetapkan; menggunakan dokumen;
dibuat oleh/di hadapan PPAT.85

82
J. Kartini Soedjendro, Op. Cit, hal. 73.
83
Celina Tri Siwi K, Aspek Hukum Benda Tidak Bergerak Sebagai Obyek Jaminan Fidusia
dalam Jurnal Notariil Volume 1 Nomor 2, 2017
84
M. Yahya Harahap, SegiSegi Hukum Perjanjian, Cetakan II, Alumni, Bandung, 1986, hlm.
182 dalam Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 83
85
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994,
hlm.55‐56

58
Tata cara terbitnya akta PPAT sebagai akta otentik sangatlah
menentukan, karenanya apabila pihak yang berkepentingan dapat
membuktikan adanya cacat dalam bentuknya karena adanya
kesalahan atau ketidaksesuaian dalam tata cara pembuatannya
maka akan mengakibatkan timbulnya risiko bagi kepastian hak
yang timbul atau tercatat atas dasar akta tersebut.

4. Peralihan Hak Atas Tanah Karena Jual Beli


Setelah berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang Undang Pokok Agraria, terjadilah unifikasi hukum tanah
Indonesia sehingga hukum yang berlaku untuk tanah adalah hukum tanah
nasional dan sudah tidak dikenal lagi tanah yang tunduk kepada
KUHPerdata atau tanah hak barat dan tanah yang tunduk kepada hukum
adat atau tanah hak adat.
Berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang
Undang Pokok Agraria dapat menghilangkan sifat dualistis yang dulunya
terdapat dalam lapangan agraria karena Hukum Agraria yang baru itu
didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat dan Hukum Adat
adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta
juga merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli.86
Dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang
Undang Pokok Agraria istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26
yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam Pasal-Pasal
lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan
sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan
hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak
lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Jadi,
meskipun hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Apa yang

86
B.F.Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko
Gunung Agung,Jakarta, 2004, hlm. 63

59
dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh Undang Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Undang Undang Pokok Agraria tidak diterangkan
secara jelas,akan tetapi mengingat dalam Pasal 5 disebutkan bahwa
Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat, berarti kita
menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan system hukum
adat.87
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat, merupakan
perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat
tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan
pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-
kata dengan mulut saja belumlah terjadi jual beli, hal ini dikuatkan dalam
Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971. Jual beli
dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala
Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang
bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.88
Berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, setiap pemindahan hak atas
tanah kecuali yang melalui lelang hanya bisa didaftarkan apabila
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah tersebut didasarkan pada
akta PPAT. Notaris dan PPAT sangat berperan dalam persentuhan antara
perundang-undangan dan dunia hukum, sosial dan ekonomi praktikal.
Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang bertanggung
jawab untuk membuat surat keterangan tertulis yang dimaksudkan
sebagai alat bukti dari perbuatan-perbuatan hukum.89
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang Undang Pokok Agraria, dan atas dasar Pasal 19 Peraturan

87
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal 76.
88
Boedi Harsono, Perkembangan Hukum Tanah Adat Melakui Yurisprudensi dalam Ceramah
disampaikan pada Simposium Undang‐Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah ‐Tanah
Adat Dewasa Ini, Banjarmasin, 7 Oktober ,1977, hlm. 50, dalam Adrian Sutedi, Peralihan
HakAtasTanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 77
89
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia, PT. Citra Aditya bakti, 2006, Bandung, hlm. 256

60
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 (sekarang Pasal 37 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo Pasal 2 Peraturan Kepala BPN
Nomor 7 Tahun 2007) maka setiap perjanjian yang bermaksud
mengalihkan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah, penjaminan
tanah atau peminjaman uang dengan hak atas tanah sebagai jaminan,
harus dilakukan dengan suatu akta. Akta demikian harus dibuat oleh dan
di hadapan pejabat yang ditunjuk husus untuk itu, yakni PPAT sehingga
dengan demikian setelah notaris, PPAT juga adalah pejabat umum.90
Pada tahap ini peranan PPAT sebagai pencatat perbuatan hukum
untuk melakukan pembuatan akta jual beli, harus dipenuhi. Sehingga
pengalihan ini menjadi sah adanya dan dapat didaftarkan balik namanya.
Dengan adanya akta PPAT inilah nanti akan kembali diberikan status
baru dari permohonan balik nama yang dimohon oleh pihak yang
menerima pengalihan haknya.91
Pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT tersebut dilakukan bagi
keabsahan dari perjanjian-perjanjian berkenaan dengan hak atas tanah,
maka disyaratkan akta yang dibuat oleh PPAT.Menurut Mahkamah
Agung dalam putusannya, mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli,
Nomor 1363/K/Sip/1997 yang berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah secara
jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak
menyebut bahwa akta itu adalah suatu syarat mutlak tentang sah tidaknya
suatu jual beli tanah.92

D. Teori Pertanggung Jawaban Hukum


Pertanggung jawaban dapat diistilahkan ke dalam dua bentuk menurut
kamus hukum, yakni liability (the state of being liable)93 dan responsibility

90
Ibid, hlm. 257
91
Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar
Maju,Bandung, 2008, hlm. 121.
92
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 79

61
(the state or fact being responsible)94. Liability merupakan istilah hukum
yang luas (a broad legal term), yang di dalamnya antara lain mengandung
makna bahwa:
“.. it has been reffered to as of the most comprehensive significance,
including almost every character of hazard or responsibility, absolute,
contingen, or likely. It has been defined to mean: all character of debt and
obligations”.
(Liability menunjukkan kepada makna yang paling komprehensif,
meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang
bergantung atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk
semua karakter hak dua kewajiban).95
Disamping itu, liability juga merupakan:
“.. condition of being actuallyor potentially subject to an obligation,
condition of being responsible for a possible or actual loss, pinalty, evil,
exspense, or burden; condition which crate a duty to perform an act
immediately or in the future.”96
(Kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial;
kondisi bertanggung jawab terhadap hal- hal yang aktual atau mungkin
seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang
menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang dengan segera atau
pada masa yang akan datang).
Responsibility berarti:
“.. the state of being answerable for an obligation and include
judgement, skill, obility and capability.”

93
Joseph Raz, “Responsibility and the Negligence Standard” dalam Oxford Journal of Legal
Studies Volume 30 Issue 1 Halaman 1-18, 2010
94
Pierre-Marie Dupuy, “A Crime Without Punishment” dalam Journal of International Criminal
Justice by Oxford Academic Volum 14 Issue 4 Halaman 879-891, 2016
95
Ridwan H.R,Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 335-
337
96
Ibid, hlm. 335

62
(Hal dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan
termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan).97
Responsibility juga berarti
“The obligation to answer for an act done, and a repair or otherwise
make estitution for any injury it may have caused.”
(Kewajiban bertanggung jawab atas Undang- Undang yang
dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberikan ganti rugi atas
kerusakan apa pun yang telah ditimbulkannya).
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability
menunjukkan pada pertanggung jawaban hukum, yaitu tanggung gugat
akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum. Pasal 1365 KUH
Perdata yang lazim dikenal sebagai Pasal tentang perbuatan melawan
hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu :
a. Adanya perbuatan;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian yang diderita;
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
Kesalahan yang dimaksud didalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah
unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya
bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan
dalam masyarakat.
Teori pertanggungjawaban menjelaskan bahwa seseorang
bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau
bahwa dia memikul tanggung jawab hukum. Ini berarti bahwa di
bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang dilakukan
itu bertentangan. Hans Kelsen membagi pertanggung jawaban menjadi 4
(empat) macam yaitu:
a. Pertanggungjawaban individu yaitu pertanggungjawaban yang
harus dilakukan terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri

97
Ibid, hlm. 338

63
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu
bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh
orang lain
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa
seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang
dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan
menimbukan kerugian.
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
tidak sengaja dan tidak diperkirakan.98
Menurut pendapat Hans Kelsen tentang teori tanggung jawab
hukum menyatakan bahwa: “a concept related to that of legal duty is the
concept of legal responsibility (liability). That a person is legally
responsible for a certain behavior or that he bears the legal
responsibility therefore means that he is liable to a sanction in case
contrary behavior. Normally, that is, in case the sanction is directed
againts the immediate delinquent, it is his own behavior for which an
individual is responsible. In this case the subject of the legal
responsibility and the subject of the legal duty coincide".99
Bahwa suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum adalah
konsep tanggung jawab (liability). Seseorang dikatakan secara hukum
bertanggungjawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat
dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan berlawanan dengan
hukum. Biasanya, dalam kasus, sanksi dikenakan terhadap delinquent
(penjahat) karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut
harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek tanggung jawab hukum
(responsibility) dan subjek kewajiban hukum adalah sama.
Teori tanggung jawab dalam hal ini dikaitkan dengan tanggung
jawab Notaris dalam hal pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat
98
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2006,hlm. 73-79.
99
Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, New York, 1944, hlm. 65

64
oleh para pihak yang dalam hal ini pemalsuan surat merupakan tindak
pidana dimana di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris tidak mengatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris
dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan informasi yang
dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma hukum
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang
berkaitan dengan tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta
berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak.
E. Penelitian Yang Relevan
Setelah menelusuri kepustakaan, kemudian diketahui bahwa tesis
tentang “Tanggung Jawab Notaris Dalam Kelalaian Membuat Akta Jual Beli
Tanpa Melihat Dokumen Asli (Studi kasus Putusan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata No.49.PK/PDT/2009 tanggal 16 september 2009)” Namun,
telah ditemukan penelitian serupa seperti kesamaan dalam hal putusan yang
dibahas meskipun di dalam penelitian tersebut tidak terdapat kesamaan.
Penelitian tersebut dijadikan bahan acuan, adapun penelitian yang dimaksud
adalah:
1. Hentry Hynisiah, Tesis Universitas Indonesia 2011, dengan judul
“Keabsahan Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT/Notaris tanpa
Melihat Dokumen asli (studi kasus : Putusan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata No.49.PK/PDT/2009 tanggal 16 september 2009).”,
menggunakan metode yuridis normatif, dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1) Bagaimana peran PPAT dalam proses pembuatan akta jual beli
hingga pendaftaran?
2) Bagaimanakah keabsahan akta jual beli yang dibuat oleh
PPAT/Notaris tanpa melihat dokumen asli ?
Kesimpulan :

65
1) PPAT/Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya terutama
dalam proses pembuatan akta jual beli telah melupakan
prosedur/peraturan-peraturan yang harus diperhatikan oleh seorang
PPAT/Notaris dalam pembuatan sebuah akta jual beli, dalam kasus
tersebut ketiga PPAT/Notaris tersebut telah melanggar ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah nomor : 24 tahun 1997 Pasal 39 ayat 1
huruf a dan b.
2) Kelalaian PPAT dalam menjalankan jabatannya sehubungan dengan
pembuatan akta jual beli tanah dan bangunan tanpa melihat
dokumen asli mengakibatkan batalnya akta Jual beli tersebut oleh
Putusan Pengadilan dimana PPAT dalam menjalankan tugasnya
mengabaikan ketentuan-ketentuan pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40,
Peraturan Pemerintah nomor : 24 tahun 1997 dapat dikenakan
tindakan administrasi berupa teguran tertulis sampai pemberhentian
dari jabatannya sebagai PPAT dengan tidak mengurangi
kemungkinan untuk dituntut gantirugi oleh pihak yang menderita
kerugian yang disebabkan diabaikan nya ketentuan tersebut diatas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 Peraturan Pemerintah
nomor: 24 tahun 1997.
2. Khoirun Nisa, SH, Tesis Universitas Brawijaya Malang 2013,
dengan judul “Tanggungjawab Notaris sebagai pejabat umum dalam
perkara pidana mengenai akta yang diterbitkan”, menggunakan
metode penelitian hukum normatif, dengan rumusan masalah :
1) Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum
dalam mempertanggung jawabkan isi akta yang menimbulkan
perkara pidana?
2) Bagaimana akibat hukum terhadap akta notaris yang aktanya
menimbulkan perkara pidana?

F. Kerangka Berpikir

66
Kerangka berpikir merupakan cara berpikir penulis yang berlandaskan
pada teori-teori sehingga dapat memberikan gambaran yang sistematis
tentang masalah yang akan diteliti. Penjelasan mengenai bagan kerangka
berpikir diatas adalah sebagai berikut:
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana ditentukan dalam ketentuan
yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud dalam hal ini adalah Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Notaris berwenang dalam
membuat akta. Akta yang dibuat oleh Notaris dapat dikelompokkan menjadi
2 (dua) macam, yaitu: akta yang dibuat oleh Notaris (relaas akta) dan akta
yang dibuat dihadapan Notaris (partij akta).
Mengenai partij akta, para pihak yang berkepentingan datang kepada
Notaris untuk kemudian menandatangani akta yang merupakan kehendak
para pihak tersebut. Tujuan dibuatnya suatu akta adalah untuk memberikan
suatu kepastian hukum kepada para pihak yang membuatnya. Akta
merupakan alat bukti yang sempurna dan tidak memerlukan alat bukti yang
lainnya. Suatu permasalahan terjadi apabila akta yang dibuat oleh seorang
Notaris diketahui batal demi hukum pada saat Notaris tersebut telah berakhir
masa jabatannya.
Penelitian ini menggunakan landasan teori yang bertujuan untuk
membantu menjawab kedua rumusan masalah tersebut diatas. Landasan teori
yang digunakan antara lain: Teori Tanggung Jawab untuk membantu
menjawab rumusan masalah yaitu tanggung jawab Notaris terhadap akta
otentik yang berakibat batal demi hukum pada saat berakhir masa jabatannya.
Selain landasan teori tersebut, dijelaskan pula beberapa kerangka konsep
antara lain tinjauan umum Notaris, akta notaris sebagai sebagai otentik, serta
tinjauan umum perjanjian jual beli sehingga akan menghasilkan simpulan
diakhir penelitian ini.

67
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu proses, yaitu suatu rangkaian langkah yang


dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memperoleh pemecahan masalah
atau jawaban terhadap pertanyaan tertentu. 100Penelitian merupakan sarana pokok
pengembangan ilmu pengetahuan karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten,
sistematis berarti menggunakan sistem tertentu dan konsisten berarti tidak ada hal
yang bertentangan dalam kerangka tertentu.101Pada umumnya suatu
penelitianbertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran
suatu pengetahuan. Dengan kata lain,penelitian dapat dikatakan sebagai sarana
memperkuat, membina dan mengembangkan ilmu pengetahuan manusia.Menurut
Soerjono Soekanto, penelitian hukumadalahsuatu kegiatan ilmiah, yang
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya.102

A. Pendekataan Penelitian.
Soerjono Soekanto melihat dari segi “sifat penelitian”, beliau
membedakannyamenjadi 3 (tiga) tipe, yaitu penelitian eskploratori,
penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatori. 103Sedangkan dilihat dari
segi tujuan penelitian, J.Vredenbregt membedakan penelitian sosial
menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu penelitian eksploratori, penelitian deskriptif, dan
penelitian eksplanatori.104 Begitu pula Robert K. Yin melihat dari segi strategi

100
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm.18
101
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan III, UI Press, Jakarta, 2007, hlm.5
102
Ibid, hlm. 43
103
Ibid, hlm. 50
104
Vredenbregt J, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta,1981, hlm. 46

68
studi kasus, ada tiga tipe kasus penelitian sosial, yaitu exploratory case study,
descriptive case study, and explanatory case study.105
Dilihat dari segi fokus kajiannya, penelitian hukum dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu:106
a. Penelitian hukum normatif, atau disebut juga dengan yueridis-
normatif;
b. Penelitian hukum normatif-empiris, yang dapat disebut juga
penelitian hukum normatif-terapan;
c. Penelitian hukum empiris.
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau
yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan
dengan carameneliti bahan pustaka atau data sekunder. 107Sedangkan Peter
Mahmud Marzuki108mendefinisikan penelitian hukum normatif adalah
suatu proses untuk menemukansuatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Adapun penelitian hukum normatif-empiris (terapan) mengkaji
pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif (perundang-
undangan) dan kontrak secarafaktual pada setiap peristiwa hukum tertentu
yang terjadi dalam masyarakat gunamencapai tujuan yang telah
ditentukan.109Sedangkan Penelitian hukum empirismengkaji hukum yang
dikonsepkan sebagai perilaku nyata(actual behavior),sebagai gejala sosial
yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami setiap orang dalamhubungan
hidup bermasyarakat.110
Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif
danbersifatdeskriptif analitis. Deskriptif analitis atau dengan kata lain
105
Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Menthods,SAGE Publications,Inc.,
California, 1989,hlm. 15
106
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya Bakti,Bandung,
2004,hlm.52
107
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan 5, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 13.
108
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010,
hlm. 35
109
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hlm. 53
110
Abdulkadir Muhammad, Ibid. hlm. 54

69
merupakan tipologi penelitan yang berupa penelitian deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
suatu gejala.111 Dengan kata lain, peneliitian ini merupakan penelitian yang
menitikberatkan pada penggunaan data sekunder di bidang hukum melalui
penelitian kepustakaan.

B. Sumber Data
Sebuah penelitian hukum haruslah menggunakan data.112Data
merupakan bentuk jamak dari dari “datum” dalam Bahasa Latin. Jika
dilihat dari tempat diperolehnya, ada dua jenis data, yaitu:113
1. Data Primer
Data yang diperoleh langsung dari amsyarakat.Data ini didapat dari
sumber pertama dari individu atau perseorangan.Misalnya hasil
wawancara atau pengisian kuisoner.114
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, dengan cara
membaca, menelaah dan mengutip terhadap berbagai teori, asas
dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.115 Data sekunder juga dapat dikatakan sebagai data
primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak
lain.116Kegunaan data sekunder adalah untuk merncari data
awal/informasi, mendapatkan landasan teori/landasan hukum,
mendapatkan batasan/definisi/arti suatu istilah. 117 Data sekunder
dapat dikategorikan dalam dua kelompok:118

111
Sri Mamudji, et al., Op. Cit., hlm.4
112
Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 41
113
Sri Mamudji, et al., Op. Cit., hlm. 28
114
Husein Umar, Op. Cit., hlm. 42
115
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Rineka Cipta Jakarta, 1983, hlm. 7
116
Husein Umar, Op. Cit., hlm. 32
117
Burhan Ashshofa, Metode Pnelitian Hukum, PT. Rineka Cipta,Jakarta, 1996, hlm. 103
118
Sri Mamudji, et al., Op. Cit., hlm. 31

70
a. Data sekunder yang bersifat pribadi, contohnya adalah
dokumen pribadi atau data pribadi yang disimpan di lembaga di
mana seseorang bekerja atau pernah bekerja.
b. Data sekunder yang bersifat publik, contohnya adalah data
arsip, data resmi instansi pemerintah atau data lain yang
dipublikasikan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998
c. Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997
d. Putusan peninjauan kembali Perkara perdata
No.49.PK/PDT/2009 tanggal 16 september 2009
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dalam penelitian bersumber dari
bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam
menganalisa serta memahami permasalahan, berbagai buku hukum,
arsip dan dokumen, brosur, makalah dan sumber internet.

C. Prosedur Pengumpul Data


Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
(library research), adalah pengumpulan data dengan melakukan
serangkaian kegiatan membaca, menelaah dan mengutip dari bahan
kepustakaan serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok bahasan
Setelah data terkumpul maka tahap selanjutnya dilakukan
penyajian data, dengan tahapan sebagai berikut:
1. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk
mengetahui kelengkapan data yang dipilih sesuai dengan
permasalahan yang diteliti.

71
2. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang
telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar
diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.
3. Penyusunan Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan
merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok
bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah
interpretasi data.

D. Analisis Data
Setelah pengolahan data selesai, maka dilakukan analisis data.
Setelah itu dilakukan analisis kualitatif, artinya hasil penelitian ini
dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah
dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan dirangkum secara
umum yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus terhadap pokok
bahasan yang diteliti, guna pembahasan pada bab-bab selanjutnya.

E. Bentuk Laporan
Bentuk laporan penelitian ini deskriptif. Laporan penelitian ini
berisi pengertian-pengertian pokok dalam ilmu hukum Kenotariatan serta
teori-teori hukum kenotariatan di Indonesia. Selain itu, terdapat juga asas-
asas yang berkaitan dengan hukum kenotaria

tan terutama dibidang tanggung jawab profesi. Setelah analisa


teori, penelitian kemudian dilanjutkan dengan melihat penerapannya pada
kasus ini. Hasilnya penelitian ini memberikan solusi atas pertanyaan dan
masukan agar pelaksanaan dikemudian hari kebih baik lagi.

72
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Penyebab Akta Otentik yang Dibuat diHadapan PPATMenjadi Batal


Demi Hukum
Berbicara mengenai cita-cita hukum, tidak dapat dipungkiri bahwa
pemikiran dari seorang ahli hukum, filsuf hukum dan sekaligus juga seorang
birokrat dan politisi Jerman dari mazhab Relativisme yaitu Gustav Radbruch
(1878-1949) sangat berpengaruh di dunia hukum 119. Berdasarkan teori tujuan
hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, maka hukum harus
mengandung tiga nilai identitas. Ketiga nilai identitas tersebut adalah120:
1. Asas Kepastian Hukum atau Net Vermoeden van Rechtmatigheid;121
2. Asas Keadilan Hukum atau Gerechtigheit;122
3. dan Asas Kemanfaatan Hukum.
Faktanya ketiga unsur tujuan hukum tersebut tidak menimbulkan
masalah .Karena tidak jarang antara kepastian hukum terjadi benturan
dengan keadilan, benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan,
dan antara keadilan dengan kepastian hukum. Dapat diambil contoh dalam
sebuah perkara hukum, kalau hakim diharuskan mengambil keputusan yang
adil maka rasa adil dari pihak lain tentu akan dikorbankan. Jika ingin
menegakkan keadilan maka tentu kemanfaatan dan kepastian hukum harus
dikorbankan.Meskipun memang antara penggugat dan tergugat memiliki
nilai atau rasa adil yang berbeda-beda.Keadilan bisa saja lebih diutamakan
dan mengorbankan kemanfaatan bagi masyarakat luas.Maka atas teorinya
Gustav Radbruch mengajarkan adanya skala prioritas yang harus
119
Jaka Mulyana, Keadilan, Kepastian, Dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor : 100/Puu-X/2012 Tentang Judicial Review Pasal 96 Undang-
Undang Nomor: 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, 2015, hlm. 10
120
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hlm. 84
121
Muhammad Hadin Muhjad, “Principle of Praesumptio iustae Causa or Net Vermoeden van
Rechtmatigheid as Principle of Administrative Justice” dalam Lambung Mangkurat Law
Journal (LamLaj) Volume 1 Issue 1, 2016
122
Subarsyah,” Law Enforcement against Criminal Acts in Politics in Indonesia Connected with
Positive Law” dalam Journal Politics and Law Volume 10 Nomor 3, Canadian Center of
Science and Education, 2016

73
dijalankan, dimana perioritas pertama selalu keadilan, kemudian
kemanfaatan, dan terakhir barulah kepastian hukum.Hukum menjalankan
fungsinya sebagai sarana konservasi kepentingan manusia dalam
masyarakat.Tujuan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai yang
membagi hak dan kewajiban antara setiap individu didalam masyarakat.
Hukum juga memberikan wewenang dan mengatur cara memecahkan
masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

Hukum adalah bagian penting dalam mengatur dan menciptakan


ketertiban dalam masyarakat.Oleh karena itu hukum dijadikan instrumen
dalam mengatur tingkah laku setiap individu dalam masyarakat dalam
mencapai suatu tujuan.Tujuan hukum perlu diketahui objek kajiannya yang
jelas.Untuk itu perlu dipahami dasar dan latar belakang dari objek
pembahasan tersebut.Hal ini sangat penting demi memudahkan dalam
pemahamannya.Kajian dari tujuan hukum ini berorientasi agar uraian
pengertian dan batasan topik masalah mudah untuk dipahami.

Dari sudut pandang etimologis kata tujuan dalam Kamus Besar


Bahasa Indonesia memiliki definisi sebagai arah atau sasaran yang
hendakbergantung kaca mata yang diapkai untuk melihatnya dan
mencapainya.Setelah diuraikan mengenai tujuan, maka perlu dibahas lebih
mendalam hukum. Hukum merupakan kumpulan aturan yang tertata dalam
bentuk sebuah sistem yang membatasi ruang gerak tingkah laku manusia
sebagai subjek hukum tentang hal-hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan
dalam kehidupan bermasyarakat, yang yang apabila aturan tersebut
dilanggar maka akan mendapat sanksi. Dengan uraian antara tujuan dan
hukum maka dapat diambil sebuah kesimpulan tujuan hukum merupakan
arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai
alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dalam tatanan mengatur
masyarakat.

Tujuan hukum pada umumnya menurut Gustav Radbruch memakai


asas prioritas. Asas prioritas tersebut dijadikan sebagai sebagai tiga nilai

74
dasar tujuan hukum yaitu : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Setiap hukum yang diterapkan memiliki tujuan spesifik.Misalnya, hukum
pidana memiliki tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata,
hukum formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum
materil. Tujuan hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum maka faktanya hal tersebut akan menimbulkan masalah.
Tidak jarang antara kepastian hukum berbenturan dengan kemanfaatan,
antara keadilan dengan kepastian hukum, dan antara keadilan terjadi
benturan dengan kemanfaatan.Contoh yang mudah untuk dipahami adalah
jika hakim dihadapkan dalam sebuah kasus untuk mengambil sebuah
keputusannya adil.Pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak
bisa dilakukan secara maksimal, selain pengaruh civil law system yang
menghendaki hakim mendasarkan diri secara ketat pada bunyi undang-
undang meski undang-undang tersebut telah ketinggalan zaman. Maka
penerapan keadilan dalam pembuatan putusan bukanlah hal mudah untuk
dilakukan. Paradigma berpikir hakim juga lebih condong pada mendasarkan
diri pada filsafat positivisme hukum.Melihat dari sudut pandang ini tujuan
utama hukum menjadi bukan keadilan melainkan kepastian.Hanya hal yang
bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.Ukuran adil
cenderung disesuaikan dengan rasa keadilan pribadi masing-
masing.Masyarakat pada umumnya masih beranggapan putusan hakim
yang ada masih kaku dengan dengan bunyi aturan dalam undang-
undang.Keadilan adalah hak asasi yang harus dinikmati oleh setiap manusia
yang mampu mengaktualisasikan segala potensi manusia. Tentu dalam hal
ini akan memberikan nilai dan arti yang berbeda keadilan yang berbeda
untuk terdakwa dan pihak lain yang jadi korban ketika hakim membuat
putusan. Maka dalam hal ini bisa saja keadilan akan berdampak pada
kemanfaatan bagi masyarakat luas. Tetapi ketika kemanfaatan masyarakat
luas yang harus dipuaskan, maka nilai keadilan bagi orang tertentu mau
tidak mau akan dikorbankannya. Maka keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum akan sangat sulit untuk ditegakkan secara bersama.

75
Hukum memiliki fungsi tidak hanya menegakkan keadilan tetapi
juga menegakkan kepastian dan kemanfaatan.Berkaitan dengan hal tersebut
asas prioritas yang telah ditelurkan Gustav Radbruch menjadi titik terang
dalam masalah ini. Prioritas keadilan dari segala aspek lain adalah hal
penting. Kemanfaatan dan kepastian hukum menduduki strata dibawah
keadilan. Faktanya sampai saat ini diterapkannya asas prioritas ini membuat
proses penegakan dan pemberlakuan hukum positif di Indonesia masih
dapat berjalan.

Faktanya dilapangan ketiga tujuan hukum yang ditelurkan Gustav


Radbruch tetap saja ada pertetangan.Dalam teori filsafat hukum juga selalu
mengagungkan keadilan, mulai teori hukum alam sejak Socrates hingga
Francois Geny, selalu mempertahankan keadilan sebagai mahkota
hukum.Banyak teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil, semua
menegaskan bahwa keadilan harus diagungkan.Keadilan harus
dinomorsatukan, dan keadilan harus di atas segala-galanya untuk selalu
diperjuangkan oleh setiap manusia.Itulah keadilan yang seharusnya selalu
diperjuangkan.

Maka demi tercapainya tujuan hukum yang menuntut kedamaian,


ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban dalam masyarakat.Asas prioritas
dalam tujuan hukum yang ditelurkan Gustav Radbruch dapat dijadikan
pedoman.Apalagi dengan kondisi masyarakat Indonesia yang berasal dari
berbagai latar belakang.Asas prioritas yang mengedepankan keadilan
daripada manfaat dan kepastian hukum menjawab persoalan kemajemukan
di Indonesia.Tetapi menjadi catatan penerapan asas prioritas dapat
dilakukan selama tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian manusia
selaku subjek hukum dalam masyarakat.

Agar tercapai suatu kepastian hukum, keadilan serta kemanfaatan


dalam hidup bermasyarakat maka suatu aturan hukum harus mengandung
ketiga asas ini. Kepastian hukum dapat diwujudkan melalui penormaan
yang baik dan jelas dalam suatu undang-undang. Kepastian hukum bagi

76
subjek hukum baik bagi diri PPAT maupun para penghadap, dapat
diwujudkan apabila Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki
ketiga asas ini. Hukum yang berlaku pada prinsipnya harus ditaati dan tidak
boleh menyimpang atau dikesampingkan oleh subjek hukum. PP No. 24
Tahun 1997dan PP No. 37 Tahun 1998 mengandung asas kepastian hukum
dilihat dari adanya sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan PPAT
terhadap akta yang dibuatnya. PP No. 24 Tahun 1997dan PP No. 37 Tahun
1998 juga mengandung asas keadilan dan kemanfaatan, khususnya bagi
para penghadap karena akta otentik yang berpedoman pada PP No. 24
Tahun 1997 dapat memberikan suatu alat bukti sempurna yaitu dengan
adanya akta otentik yang dibuat oleh PPAT.

Seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, akta otentik dapat
dibagi menjadi 2 (dua) macam. Akta-akta tersebut antara lain: akta yang
dibuat “oleh” (door) Notaris/PPAT atau yang dinamakan “akta relaas” atau
“akta pejabat” (ambtelijke akten) dan akta yang dibuat “dihadapan” (ten
overstaan) Notaris/PPAT atau yang dinamakan “akta partij” (partij akten).
Untuk mengetahui suatu akta otentik yang dibuat dihadapan PPAT tersebut
bersifat batal demi hukum maka teori yang dipergunakan dalam menjawab
masalah tersebut adalah teori kedaulatan hukum yang dicetuskan oleh
Krabbe. Krabbe berpendapat bahwa, “.. yang memiliki kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara itu adalah hukum itu sendiri.”123 Oleh karena itu baik
masyarakat maupun pemerintah dalam suatu negara tunduk kepada hukum di
negara tersebut.
Apabila ingin mengetahui penyebab suatu akta dapat berakibat batal demi
hukum, maka harus diketahui terlebih dahulu hukum yang mengatur tentang
akta tersebut. Pengaturan tentang akta khususnya akta otentik yang dibuat

123
Selly Masdala Pertiwi,Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Berakibat Batal
Demi Hukum Pada Saat Berakhir Masa Jabatannya dalam Tesis Magister Kenotariatan
Universitas Udayana 2014

77
dihadapan PPAT diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yaitu
PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.Sementara, untuk
mengetahui bagaimana peran dan tanggung jawab PPAT diatur dalam PP No.
37 Tahun 1998 tentang PPAT, Sebelum mempergunakan PP No. 24 Tahun
1997dan PP No. 37 Tahun 1998 sebagai dasar hukum dalam menjawab
masalah ini, maka dilihat terlebih dahulu secara umum bahwa partij akta
merupakan sebuah perjanjian antara para pihak yang menghadap PPAT untuk
selanjutnya dibuatkan aktanya.
Setelah memenuhi persyaratan pada Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal
1868 KUH Perdata, kemudian suatu akta dilihat dari sudut pandang PP No.
24 Tahun 1997dan PP No. 37 Tahun 1998 sebagaimana sejalan dengan teori
kedaulatan hukum yang dijelaskan diatas.
PP No. 24 Tahun 1997 merupakan aturan tersendiri yang khusus mengatur
tentang pendaftaran tanah.PP No. 37 Tahun 1998 mengatur mengenai
kewajiban, kewenangan serta larangan bagi seorang PPAT.PPAT sangat
terikat oleh kedua aturan tersebut dan harus selalu berlandaskan kedua aturan
tersebut dalam setiap tindakannya dalam membuat akta yang merupakan
produknya.PP No. 24 Tahun 1997dan PP No. 37 Tahun 1998 telah mengatur
tentang bentuk dari suatu akta PPAT yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 3
ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006.Disamping
telah memenuhi ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 1 Tahun 2006tersebut, suatu akta PPAT dapat dikatakan memenuhi
syarat sebagai akta otentik apabila memenuhi unsur-unsur yang bersifat
kumulatif sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 1868 BW, yaitu:
1) Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang.
2) Akta dibuat dan di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa.
3) Akta itu dibuat ditempat di mana akta dibuatnya.

78
Menurut Irawan Soerodjo, ada tiga unsur utama yang merupakan
esensialia agar terpenuhinya syarat formal bahwa suatu akta merupakan akta
otentik, yaitu:
Tidak semua akta dapat disebut sebagai akta autentik. Sebuah akta disebut
akta autentik jika memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Bentuk akta tersebut sesuai dengan yang ditentukan undang-undang.
Sebuah akta autentik memiliki bentuk pola sendiri. Jadi, seseorang yang
ingin membuat akta autentik di hadapan notaris tidak dapat membuat
dengan format sembarangan.
2. Akta autentik dibuat di hadapan pejabat umum yang diangkat Negara.
Notaris adalah salah satu pejabat umum yang mempunyai wewenang
untuk membuat akta autentik.
3. Akta autentik dibuat oleh pejabat yang berwenang atau notaris yang
berhak. Seorang notaris yang sedang cuti atau sedang bermasalah tidak
berwenang untuk membuat akta autentik. Seorang notaris yang sedang
dibekukan izinnya atau yang belum memiliki iain, tidak dapat membuat
sebuah akta autentik.
Sebuah akta autentik merupakan dokumen yang sah dan dapat
menjadi alat bukti yang sempurna. Sempurna di sini berarti hakim
menganggap semua yang tertera dalam akta merupakan hal yang benar,
kecuali ada akta lain yang dapat membuktikan bahwa isi akta pertama
tersebut salah. Oleh karena itu, pembuatan sebuah akta autentik menjadi
sesuatu yang penting.Memiliki akta autentik berarti kita memiliki bukti atau
landasan yang kuat dimata hukum.Ada beberapa alasan yang menunjang
kekuatan hukum sebuah akta autentik.Akta autentik dibuat di hadapan
seorang pejabat umum Negara sehingga legalitasnya dapat dipastikan,
ditambah lagi bahwa seorang pejabat umum Negara tidak memiliki
keberpihakan dalam pembuatan akta.Hal ini berbeda dengan akta yang dibuat
sendiri, meskipun disaksikan pihak ketiga, tetapi hal itu tidak dapat menajdi
sebuah jaminan. Dapat saja pihak-pihak yang terlibat pembuatan akta

79
akanmenyangkal keterlibatannya. Hal ini dapat saja terjadi karena mereka
mempunyai kepentingan sendiri-sendiri.
Akta autentik memiliki kekuatan hukum adalah karena akta autentik
memiliki minuta akta yang disimpang oleh Negara melalui notaris.Akan
sangat kecil kemungkinan akta autentik hilang. Bukan hanya itu, jika
seseorang menyangkal isi atau keberadaan akta autentik maka akan mudah
untuk diperiksa kebenarannya. Oleh karena itu, berhati-hatilah jika ingin
membuat atau menyangkal sebuah akta autentik.Prinsip kehati-hatian perlu
diperhatikan sewaktu membuat akta autentik, terutama yang menyangkut
perjanjian.Pembuatan akta autentik yang berkaitan dengan perjanjian
biasanya dilengkapi dengan konsekuansi atau akibat jika salah satu pihak
melanggar perjanjian. Hal ini dapat menyebabkan seseorang terlibat masalah
hjukum karena akta autentik dilengjapi dengan opsi hukuman akan memiliki
kekuatan eksekusi. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat
peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan , yang dibuat
sejak semula dengan sengaja untuk pembnuktian.
Akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo ( 1985 : 124) adalah akta
yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa,
menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan baik, maupun tanpa
bantuan dari yang berkeptningan, yang dicatat apa yang dimintakan untuk
dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan. Akta otentik terutama memuat
keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan
dilihat dihadapannya.
Ada beberapa alasan sehingga akta otentik merupakan satusatunya
alat bukti yang mempunyai nilai yang sangat tinggi dari alat bukti lainnya
termasuk akta dibawah tangan yaitu :
1. Akta otentik merupakan alat bukti tertulis sebagaimana yang dmaksud
dalam pasal 1868 BW, 164 RIB dan 283 RDS;
2. Akta otentik sejak semula sengaja dibuat sebagai alat bukti;
3. Akta otentik dibuat oleh dan dihadapan pejabat Negara yang ditunjuki
berdasarkan undang- undang;

80
4. Berdasarkan pasal 1870 BW atau 165 RIB akta otentik memberikan
diantara pada pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat
hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat
didalamnya;
5. Akta otentik selain merupakan alat bukti sempurna, juga sebagai bukti
yang mengikat. Merupakan bukti yang sempurna dalam arti tidak
memerlukan sesuatu penambahan pembuktian. Sedangkan mengikat
dalam arti bahwa apa yang ditulis didalmnya harus dipercaya oleh hakim,
yaitu harus diangap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak
dibuktikan.
Kekuatan pembuktian akta otentik itu adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian lahir
Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagi akta otentik serta
memenuhi syarat –syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku
atau dapat diangap sebagai akta otentik, sampai terbukti
sebaliknya.Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat dianggap
sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formil
Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari pada apa
yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini adalah pembuktian
tentang kebenaran daripada keterangan pejabat sepanjang mengenai
apa yang dilakukan dan dilihatnya. Dalam hal ini yang pasti adalah
tanggal dan tempat akta otentik itu dibuat serta keaslian tanda
tangannya.
3. Kekuatan pembuktian materiil
Pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan materiil,
karena akta pejabat tidak lain hanyalah untuk membuktikan kebenaran
apa yang dolihat dan dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang
mempunyai kekuatan pembuktian materil adalah akta yang dilakukan
atau dikeluarkan kantor pencatatan sipil.

81
Ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta
otentik yaitu :
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan)
seorang pejabat umum.
Akta ini disebut juga dengan akta relaas atau akta berita acara
yang berisi uraian dari pejabat umum yang dilihat dan disaksikaan
pejabat umum sendiri atas permintaan para pihak agar tindakan atau
perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta
otentik.Sedangkan akta yang dibuat di hadapan pejabat umum dalam
praktek disebut akta pihak yang berisi uraian atauketerangan,
pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan dihadapan
pejabat umum.Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya
dituangkan ke dalam bentuk akta otentik. Disini harus ada keinginan
atau kehendak dan permintaan para pihak .jika keinginan dan
permintaan para pihak tidak ada pejabat umum tidak akan membuat
akta dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak
pejabat umum dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada
aturan hukum. Ketika saran pejabat umum diikuti oleh para pihak dan
dituangkan dalam bentuk akta otentik, hal tersebut tetap merupakan
keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat
pejabat umum, selain itu, atau isi aktapun merupakan perbuatan para
pihak, bukan perbuatan atau tindakan pejabat umum. Pengertian
tersebut merupakan salah satu karakter yuridis dari akta otentik.Dalam
arti hal ini tidak berarti bahwa pejabat umum sebagai pelaku dari akta
tersebut, tetapi pejabat umum tetap berada di luar para pihak atau buka
pihak dalam akta tersebut.
Dalam tataran hukum yang benar mengenaai akta otentik, jika suatu
akta otentik diermasalhkan oleh para pihak, maka :
a. Para pihak datang kembali ke pajabat umum untuk membuat
pembatalan tersebut dan jika ada yang dibatalkan sudah tidak

82
mengikat lagi para pihak, para pihak menanggung segala akibat
dari pembatalan tersebut
b. Jika para pihak tidak sepakat bahwa akta yang bersangkutan
dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya dengan
gugatan untuk mendegradisikan, hakim yang memeriksa gugatan
dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta otentik yang
sudah didegradasikan, Apabila dalam posisi yang lain, yaitu salah
satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat oleh pejabat
umum, pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi
berupa tuntutan ganti rugi kepada pejabat umum yang
bersangkutan dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan
harus dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut akibat langsung
dari akta otentik tersebut. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat
harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh pejabat
umum, baik dari aspek lahiriah, aspek formal, maupun aspek
materiil atas akta otentik.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang (wet).
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum dalam bentuk
yang sudah ditentukan dalam undang-undang. “peraturan perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.
Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa :
“undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan rakyat dengan persetujuan bersama
presiden”.124

Syarat sahnya perjanjian diwujudkan dalam bentuk akta PPAT, adapun


syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta sedangkan syarat objektif

124
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003,
hlm 149-150.

83
dicantumkan dalam badan akta sebagai isi dari akta. Isi akta PPAT
merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata tentang kebebasan
berkontrak.
Dalam akta PPAT, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka akta
tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh para pihak yang menghadap
PPAT sedangkan apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka akta tersebut
batal demi hukum.
Akta PPAT yang dapat dibatalkan berarti akta tersebut termasuk ex nunc,
yang berarti perbuatan dan akibat hukum dari akta tersebut dianggap ada
sampai saat dilakukan pembatalan. Akta PPAT yang batal demi hukum
berarti akta tersebut termasuk ex tunc, yang berarti perbuatan dan akibat
hukum dari akta tersebut dianggap tidak pernah ada (inexistence).125
Kerangka akta PPAT harus menempatkan kembali syarat subjektif dan
syarat objektif akta notaris sesuai dengan makna dari suatu perjanjian dapat
dibatalkan dan batal demi hukum, oleh karena itu, sesuai dengan Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Perka
No. 8/2012”).
Pada Pasal 96 ayat (1) Perka No. 8/2012, dikatakan bahwa bentuk akta
yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2), dan tata cara pengisian dibuat sesuai dengan
Lampiran Peraturan ini yang terdiri dari:
a. Akta Jual Beli;
b. Akta Tukar Menukar;
c. Akta Hibah;
d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan;
e. Akta Pembagian Hak Bersama;

125
Singgih Praptodiharjo,Sendi Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan Pembangunan
Jakarta, Jakarta, 1952,hlm. 67.

84
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan;
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai di atas Tanah Hak
Milik;
h. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Sanksi akta PPAT mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan dan akta menjadi batal demi hukum merupakan sanksi
eksternal. Sanksi eksternal yaitu “sanksi terhadap PPAT dalam
melaksanakan tugas jabatannya tidak melakukan serangkaian tindakan yang
wajib dilakukan terhadap (atau untuk kepentingan) para pihak yang
menghadap PPAT dan pihak lainnya yang mengakibatkan kepentingan para
pihak tidak terlindungi.”126
Disamping memenuhi ketiga aturan hukum yaitu Pasal 1320 KUH
Perdata, Pasal 1868 KUH Perdata dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 1 Tahun 2006, suatu akta PPAT adalah sempurna apabila telah
memenuhi ketentuan yang tercantum pada Kode Etik PPAT serta peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan akta tersebut. Suatu akta agar
memiliki kekuatan pembuktian sempurna sebaiknya mentaati aturan-aturan
dalam Kode Etik PPAT.127 Akta tersebut juga tidak boleh melanggar
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan terkait lainnya
sehubungan dengan akta tersebut. Seperti contoh yaitu dalam pembuatan
akta pendirian Perseroan Terbatas (PT) maka selain Pasal 1320 KUH
Perdata, Pasal 1868 KUH Perdata, Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 1 Tahun 2006 dan Kode Etik PPAT, maka akta tersebut juga
harus mematuhi aturan-aturan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
Tidak terpenuhinya syarat tersebut diatas dapat mengakibatkan suatu
akta notaris batal demi hukum. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
126
Ibid, hlm. 127
127
Riduan Khoirandy.Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, 2003,hlm. 44

85
gugatan ke pengadilan apabila merasa dirugikan. Pihak yang berkepentingan
tersebut harus dapat membuktikan sebaliknya terlebih dahulu terhadap
kebenaran formil dari pembuatan suatu akta yang dibuat oleh PPAT tersebut.

B. Tanggung Jawab PPAT Dalam Kelalaian Membuat Akta Jual Beli Tanpa
Melihat Dokumen Asli berdasarkan Studi kasus Putusan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata No.49.PK/PDT/2009 tanggal 16 september
2009
Otensitas akta PPAT bukan hanya pada kertasnya ataupun bentuk
fisiknya, akan tetapi akta yang dimaksud benar-benar dibuat di hadapan PPAT
sebagai Pejabat Umum dengan segala kewenangannya atau dengan perkataan
lain akta yang dibuat PPAT mempunyai sifat otentik, bukan karena undang-
undang menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh karena akta itu dibuat oleh
atau di hadapan Pejabat Umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868
KUHPerdata.
Sebagai Pejabat Umum, PPAT dalam melaksanakan kewenangannya
membuat akta otentik harus Independen. Dalam istilah sehari-hari istilah
“independen” ini sering disama-artikan dengan mandiri. Dalam konsep
manajemen bahwa penerapan istilah mandiri berarti institusi yang
bersangkutan secara manajerial dapat berdiri sendiri tanpa tergantung kepada
atasannya, tetapi secara institusional tetap tergantung kepada (dependen)
atasannya. Sedangkan “independen” baik secara manajerial maupun
insitusional tidak tergantung kepada atasannya ataupun kepada pihak lainnya.
Independen ini mempersoalkan kemerdekaan pejabat umum dari
intervensi atau pengaruh pihak lain ataupun diberi tugas oleh instansi lain.
Oleh karena itu dalam konsep independen ini harus diimbangi dengan konsep
akuntabilitas.
Akuntabilitas ini mempersoalkan keterbukaan (transparancy)
menerima kritik dengan pengawasan (controlled) dari luar serta bertanggung
jawab kepada pihak luar atas hasil pekerjaannya atau pelaksanaan tugas

86
jabatannya. Kemandirian (independen) PPAT dalam hal ini dapat dilihat
dalam 3 (tiga) bentuk yaitu:128
1. Structural Independen, yaitu independen secara kelembagaan
(institusional) yang dalam bagan struktur (organigram) terpisah dengan
tegas dari institusi lain. Dalam hal ini meskipun PPATdiangkat dan
diberhentikan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional, secara kelembagaan tidak berarti menjadi bawahan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atau
berada dalam struktur Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia.
2. Functional Independen, yaitu independen dari fungsinya yang disesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tugas,
wewenang, dan jabatan PPAT.
3. Financial Independen, yaitu independen dalam bidang keuangan yang
tidak pernah memperoleh anggaran dari pihak manapun juga.

Sebagaimana diuraikan di atas, konsep Independen PPAT sangatlah


berkaitan dengan konsep akuntabilitas (accountability) atau pertanggung
jawaban, yaitu terdiri dari:129
1. Akuntabilitas spritual. Hal ini berkaitan dengan keyakinan secara langsung
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bersifat pribadi. Akuntabilitas
seperti ini dapat dilihat dari kalimat yang tercantum dalam Sumpah/janji
Jabatan PPAT, yaitu "Demi Allah, saya bersumpah". Oleh karena itu
bagaimana implementasi Akuntabilitas spiritual ini akan tergantung
kepada diri sendiri PPAT yang bersangkutan. Hanya Tuhan Yang Maha
Esa dan dirinya yang tahu. Akuntabilitas spiritual ini seharusnya mewarnai
dalam setiap tindakan/perbuatan kita ketika menjalankan tugas jabatannya,
artinya apa yang kita perbuat bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat saja, tapi juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena

128
Habib Adjie, Op.Cit, hlm. 32
129
Ibid, hal. 32-33

87
itu sangat penting nilai-nilai "Ke-Tuhan-an" menyertai setiap perilaku,
tindakan, dan perbuatan kita.
2. Akuntabilitas moral kepada publik. Kehadiran PPAT adalah untuk
melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan akta-akta otentik
ataupun surat-surat yang lainnya yang menjadi kewenangan PPAT. Oleh
karena itu masyarakat berhak untuk mengontrol "hasil kerja" dari PPAT.
Salah satu konkretisasi dari akuntabilitas ini, misalnya masyarakat dapat
menuntut PPAT, jika ternyata hasil pekerjaannya merugikan anggota
masyarakat. Ataupun ada tindakan-tindakan PPAT yang dapat
"mencederai" masyarakat yang menimbulkan kerugian baik materi
maupun immateriil kepada masyarakat.
3. Akuntabilitas hukum. PPAT bukan orang/jabatan yang "imun" (kebal) dari
hukum. Jika ada perbuatan/tindakan PPAT yang menurut ketentuan
hukum yang berlaku dapat dikategorikan melanggar hukum (pidana,
perdata, administrasi), maka mau tidak mau kita harus bertanggungjawab.
4. Akuntabilitas profesional. PPAT dapat dikatakan profesional jika
dilengkapi dengan berbagai keilmuan yang mumpuni (intelectual capital)
yang dapat diterapkan dalam praktik, tapi bukan berarti "tukang" tapi
dalam hal bagaimana mengolah nilai-nilai atau ketentuan-ketentuan yang
abstrak menjadi suatu bentuk yang tertulis (akta) sesuai yang dikehendaki
oleh para pihak. Oleh karena itu kita jangan lelah dan bosan untuk
senantiasa meningkatkan ilmu pengetahuan.
5. Akuntabilitas administratif. Sebelum menjalankan jabatan/tugas sebagai
PPAT sudah tentu telah mempunyai surat pengangkatan sebagai PPAT,
sehingga legalitas PPAT tidak perlu dipertanyakan lagi, tapi yang sampai
saat ini masih jadi pertanyaan adalah sebagai PPAT secara administratif
dalam pengangkatan dan penggajian karyawan. Banyak PPAT yang
mengangkat karyawan karena ”pertemanan” ataupun ”persaudaraan”.
Padahal sebenarnya apapun latar belakangnya tetap harus ada pembenahan
secara administratif. Kemudian juga yang lainnya yaitu mengenai
"pengarsipan" akta-akta, terkadang PPAT menatanya "asal-asalan"

88
padahal akta tersebut adalah arsip negara yang harus PPAT
"administrasikan" secara seksama. Oleh karena itu sangat beralasan notaris
harus belajar "Manajemen kantor PPAT" yang bahan dasarnya dari
pengalaman-pengalaman notaris terdahulu yang kemudian dibukukan.
6. Akuntabilitas keuangan. Bentuk akuntabilitas dalam bidang keuangan ini
yaitu PPAT melaksanakan kewajiban PPAT untuk membayar pajak.
Ataupun membayar kewajiban lain kepada organisasi, seperti iuran
bulanan.
Uraian tersebut diatas merupakan implementasi dari PP No. 24 Tahun
1997dan PP No. 37 Tahun 1998 yang secara lengkap mengatur tentang
jabatan PPAT. Dengan pemahaman independensi dan akuntabilitas seperti
tersebut diatas diharapkan PPAT dapat mengetahui dimana dan bagaimana
tugas dan tanggung jawab PPAT sebagai pejabat umum dalam menjalankan
tugas/jabatannya.
Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban
sebagian tugas negara, PPAT harus dapat menjalankan tugas profesi sebaik
mungkin sesuai dengan hukum agamanya dan hukum serta peraturan yang
berlaku. Oleh karena itu jika notaris berbuat melanggar hukum, sanksinya
tidak hanya berupa sanksi hukum positif saja, melainkan sanksi moral dari
masyarakat dan sanksi spiritual menurut hukum agamanya. Sebagai pejabat
umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara,
notaris tidak bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai profesionalnya.130
Sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar), notaris berwenang
membuat akta otentik. Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-
undang agar suatu akta menjadi otentik, seorang PPAT dalam melaksanakan
tugasnya tersebut wajib131melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin,
profesional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. Apa yang tertuang

130
Anke Dwi Saputro (penyadur), Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang, dan Di Masa
Datang, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm. 182
131
Tan Thong Kie, Studi Notariat-Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
2000, hlm. 166

89
dalam awal dan akhir akta adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan
yang sebenar-benarnya pada saat pembuatan akta.
Apabila suatu akta merupakan akta otentik, maka akta tersebut akan
mempunyai 3 (tiga) fungsi terhadap para pihak yang membuatnya yaitu:132
1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu;
2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak;
3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali
jika ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian dan
bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Tugas PPAT adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para
pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu
akta otentik. Ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses
hukum.133
Sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani
tanggung jawab atas perbuatannya / pekerjaannya dalam membuat akta
otentik. Tanggung jawab PPAT sebagai pejabat umum meliputi tanggung
jawab profesi PPAT itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya:134
1. Tanggung jawab PPAT secara perdata atas akta dibuatnya, dalam hal ini
adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materil akta, dalam konstruksi
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat
aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian
tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak
lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini
yaitu adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan
adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini

132
Salim HS, Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta,
2006, hlm. 43
133
Tan Thong Kie, Op.Cit.,hlm. 159.
134
Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit ,hlm. 35-49.

90
diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang,
tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan
menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan
hukum apabila perbuatan tersebut:
a. Melanggar hak orang lain.
b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
c. Bertentangan dengan kesusilaan.
d. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri
dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Tanggung jawab PPAT dalam ranah hukum perdata ini, termasuk
didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan
kewenangan tambahan notaris yang diberikan oleh Undang-undang
Perpajakan.
2. Tanggung jawab PPAT secara pidana atas akta dibuatnya. Pidana dalam
hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh PPAT dalam
kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan
dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya.
3. Tanggung jawab PPAT berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
1998
4. Tanggung jawab PPAT dalam menjalankan jabatannya berdasarkan kode
etik PPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 1998 sumpah jabatan PPAT. Tanggung Jawab PPAT sangat
diperlukan meskipun ranah pekerjaan PPAT dalam ranah hukum perdata
dan hukum administrasi serta pertanggungjawaban moral dan etika namun
terhadap akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana maka notaris
harus bertanggung jawab secara pidana, mulai pemeriksaan dalam proses
pembuktian di persidangan dan melaksanakan keputusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. Tuntutan tanggung jawab ini muncul
sejak terjadinya sengketa berkaitan dengan akta yang telah dibuat dengan
memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi:
1. Perbuatan manusia.

91
2. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku
asas legalitas, nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
(tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal
tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam aturan undangundang).
3. Bersifat melawan hukum.
Tanggung jawab PPAT dalam pembuktian perkara pidana di
persidangan dapat terjadi manakala akta tersebut menjadi permasalahan
sehingga mewajibkan PPAT tersebut memberikan keterangan dan
kesaksiannya berkaitan dengan aspek formil maupun materil akta.
Namun demikian sebagai pejabat umum PPAT tidak begitu saja
dapat diperiksa maupun dimintai keterangannya baik dalam proses dalam
pemeriksaan/pembuktian perkara pidana di pengadilan. Sebagai pejabat
umum, layaknya pejabat negara lainnya Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 1998 memberikan perlindungan hukum atas apa yang dibuat PPAT
berkaitan dengan tugas dan kewenangannya sesuai Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998. Perlindungan hukum bagi PPAT dalam ranah
peraturan Perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lebih bersifat intern
atau administratif. Pranata yang dilanggar oleh seorang PPAT adalah
ukuran standar profesionalisme yang seharusnya wajib ditaati oleh semua
PPAT sebagai pengemban kewenangan Negara dalam pembuatan akta
otentik dibidang pertanahan. diranah ini perlindungan terhadap PPAT dari
Putusan-putusan administratif, bertujuan untuk memberikan jaminan bagi
seorang PPAT untuk dapat membela diri dan mempertahankan haknya
atas pekerjaan sebagai seorang PPAT.
Sebagai badan atau pejabat tata usaha Negara. (BPN dan Majelis
Kehormatan) dalam menjatuhkan sanksi terhadap PPAT wajib
mengeluarkan atau membuat suatu keputusan (KTUN). dan apabila PPAT
tidak puas atas keputusan tersebut, keputusan tersebut akan menjadi
sengketa tata usaha negara. dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan
oleh PPAT, yaitu langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagai Pengadilan atau pemeriksaan tingkat pertama. menurut

92
Philipus M. Hadjon, bahwa adanya sarana keberatan (Inspraak)
merupakan sarana perlindungan hukum preventif. mengatur sanksi
administratif tersebut dengan maksud memberikan rasa keadilan dan
perlindungan hukum kepada PPAT untuk mengajukan pembelaan diri atas
sanksi administratif yang diterimanya.
Sedangkan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang
bersinggungan dengan pranata hukum pidana dan perdata lebih bersifat
ekstern, artinya bahwa PPAT selaku Pejabat Umum kepadanya melekat Hak-
hak istimewa sebagai konsekuensi predikat kepejabatan yang dimilikinya.
istilah hak istimewa dalam bidang hukum adalah hak khusus atau istimewa
yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa suatu Negara dan diberikan
kepada seorang atau sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak
masyarakat menurut hukum yang berlaku. hak-hak istimewa yang dimiliki
PPAT, menjadi pembeda perlakuan (Treatment) terhadap masyarakat biasa.
Bentuk-bentuk perlakuan itu berkaitan dengan suatu prosedur khusus dalam
penegakan hukum terhadap PPAT, yakni berkaitan dengan perlakuan dalam
hal pemanggilan dan pemeriksaan pada proses penyidikan dan persidangan,
yang harus diindahkan.
Terhadap akta yang dibuatnya PPAT wajib bertanggung jawab atas
keotentikannya, namun demikian dalam pemeriksaan perkara pidana PPAT
tidak serta merta dapat dihadirkan dalam pemeriksaan, karena Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 memberikan perlindungan terhadap PPAT
sebagai pejabat umum. Tanpa adanya bukti awal yang kuat bahwa akta yang
dibuat dan berindikasi perbuatan pidana atas dugaan PPAT turut serta
melakukan tindak pidana dan atau memberikan keterangan palsu ke dalam
akta, Majelis Pengawas Daerah atau Wilayah di wilayah kerja PPAT yang
bersangkutan bisa saja menolak permintaan untuk memberikan ijin
pemeriksaan terhadap notaris.
Bila hal ini dikaitkan dengan kasus pada Putusan Peninjauan Kembali
Perkara Perdata No.49.PK/PDT/2009 tanggal 16 september 2009, maka dari
segi akta jual beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT pada kasus ini yang telah

93
membuat akta Jual Beli tanpa melihat Dokumen asli, sesungguhnya Notaris
dan PPAT ini telah melakukan kesalahan dan melalaikan kewajibannya
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Pasal 39 ayat 1 huruf a dan
b,Peraturan Pemerintah nomor : 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yang mengatur bahwa PPAT harus menolak untuk membuat akta jika
kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli dan atau asli surat-surat tanah
yang bersangkutan. Oleh karena ketiga Notaris/PPAT tersebut telah
melanggar peraturan yang ada maka atas putusan Pengadilan akta jual beli
yang telah mereka buat dibatalkan karena dengan dibuatnya akta jual beli itu
telah menimbulkan kerugian bagi pihak lain terutama bagi Penggugat. Penulis
setuju dengan putusan Hakim yang terakhir dengan membatalkan akta jual
beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT HATMA WIGATI KARTONO, SH,
TUTI RAHMAWATI LALO, SH dan ANITA MAGDALENA, SH (berturut-
turut selaku Tergugat V,Tergugat VI, Tergugat VII).
Perbuatan PPAT tersebut termasuk dalam perbuatan Melawan Hukum
dengan adanya pihak yang dirugikan atas tindakan mereka.yaitu dengan akta
jual beli yang dibuat tanpa memperhatikan peraturan yang ada.Seorang PPAT
dapat dikatakan memiliki tanggungjawab dalam pelaksanaan kewajibannya
berdasarkan Perundang-undangan yang berlaku, selain tanggung jawab
hukum PPAT juga memilik tanggungjawab secara moral yang berkaitan
dengan tingkah laku PPAT baik di dalam maupun diluar jabatannya.Sebagai
Pejabat yang diberi kewenangan dalam membuat akta pemindahan hak atas
tanah, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat yang harus
dilakukan oleh PPAT tersebut sebelum pembuatan akta jual beli tersebut
dilakukan.Dengan demikian PPAT harus mempunyai ketelitian dan
kecermatan, kemampuan serta pengetahuan yang luas dalam bidang hukum
pertanahan karena dengan ketidaktelitian dan ketidakcermatan ataupun
ketidaktahuan akan berakibat fatal.
Pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada Notaris/PPAT
yang bersangkutan,dalam hal ini pihak yang dirugikan adalah PT.PUTRI
SELAKA KENCANA selaku pemilik tanah dan Penggugat.Oleh Karena itu

94
ketiga Notaris dan PPAT itu dapat dimintai pertanggung jawabannya secara
perdata, dimana putusan pengadilan telah memutuskan bahwa akta jual beli
batal dan harus dilakukan Jual Beli ulang kembali dengan PT.PUTRI
SELAKA KENCANA (Penggugat). Sebagai akibat perbuatan Notaris/PPAT
ini maka ketiga Notaris/PPAT tersebut harus ikut menanggung membayar
ganti rugi kepada PT.PUTRI SELAKA KENCANA sebesar Rp.
16.892.790.000 (enam belas miliar delapan ratus Sembilan puluh dua juta
tujuh ratu sembilan puluh ribu Rupiah).
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa Notaris/PPAT dalam kasus
ini berturut-turut selaku Tergugat V,Tergugat VI, Tergugat VII, tidak
membuat akta jual beli atas komplek perumahan Taman Marchelia tersebut,
Seharusnya Notaris/PPAT tersebut memeriksa secara saksama setiap
data/dokumen yang diberikan, harus mengecek dimana keberadaan asli dari
sertipikat atas tanah tersebut, dan seluruh dokumen pendukung yang ada juga
harus asli.Karena jual beli yang dilakukan tanpa memperlihatkan/melihat
dokumen asli adalah perbuatan melawan hukum dan tidak sesuai dengna
prosedur hukum yang ada.Padahal selama ketiga Notaris/PPAT itu membuat
akta jual beli telah diberitahukan oleh Notaris/PPAT Yondri Darto, SH
Notaris di Batam secara lisan untuk tidak membuat akta jual beli itu lagi
namun hal itu tidak diindahkan oleh ketiga Notaris/PPAT tersebut dan tetap
membuat akta jual beli dan juga seharusnya ketiga Notaris dan PPAT itu
tidak membuat akta jual beli hanya berdasarkan dokumen fotocopy dan atas
dasar kepercayaan saja.Hal demikian sangatlah tidak menunjukan dedikasi
seorang pejabat umum yang memiliki citra yang baik dimata masyarakat.
Dalam Pasal 62 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah mengatur sanksi menyatakan bahwa : PPAT yang dalam
melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 serta ketentuan dan petunjuk
yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan
administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya
sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti

95
kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh
diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.

96
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Secara formal suatu akta PPAT harus memenuhi ketentuan prosedur atau
tata cara pembuatan akta PPAT sebagai mana tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Secara materil akta yang di buat dihadapan PPAT
memuat pernyataan atau keterangan yang para pihak sampaikan dihadapan
PPAT. Isi akta tersebut merupakan keinginan para pihak apabila akta tersebut
adalah akta yang dibuat dihadapan PPAT. Apabila tidak memenuhi syarat
formal atau syarat materil maka akta yang di buat dihadapan PPAT dapat
dibatalkan oleh pengadilan
Dalam kasus pada Putusan Peninjauan Kembali Perkara Perdata
No.49.PK/PDT/2009 tanggal 16 september 2009, maka dari segi akta jual beli
yang dibuat oleh PPAT pada kasus ini yang telah membuat akta Jual Beli
tanpa melihat Dokumen asli, sesungguhnya PPAT ini telah melakukan
kesalahan dan melalaikan kewajibannya sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam Pasal 39 ayat 1 huruf a dan b,Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur bahwa PPAT harus menolak
untuk membuat akta jika kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli dan atau
asli surat-surat tanah yang bersangkutan. Oleh karena ketiga PPAT tersebut
telah melanggar peraturan yang ada maka atas putusan Pengadilan akta jual
beli yang telah mereka buat dibatalkan karena dengan dibuatnya akta jual beli
itu telah menimbulkan kerugian bagi pihak lain terutama bagi Penggugat.
Penulis setuju dengan putusan Hakim yang terakhir dengan membatalkan akta
jual beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT HATMA WIGATI KARTONO, SH,
TUTI RAHMAWATI LALO, SH dan ANITA MAGDALENA, SH (berturut-
turut selaku Tergugat V, Tergugat VI, Tergugat VII).

97
B. IMPLIKASI
1) PP No. 24 Tahun 1997 merupakan aturan tersendiri yang khusus mengatur
tentang pendaftaran tanah. PP No. 37 Tahun 1998 mengatur mengenai
kewajiban, kewenangan serta larangan bagi seorang PPAT
2) Sebagai pejabat umum, PPAT dalam melaksanakan kewenangannya
membuat akta otentik harus independent yang berkaitan dengan konsep
akuntabilitas karena merupakan implementasi dari PP No. 24 Tahun 1997
dan PP. No. 37 Tahun 1998

C. SARAN
1. Sebaiknya sebelum membuat suatu perjanjian dan menuangkannya dalam
bentuk akta, PPAT harus lebih teliti dan berhati-hati dalam memeriksa
dokumen yang diserahkan oleh penghadap sebelum pembuatan akta
karena akta yang dibuat berdasarkan dokumen atau keterangan yang tidak
benar dapat menyebabkan akta yang dibuat menjadi cacat hukum dan
dapat dibatalkan oleh pengadilan. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanahyang
merupakan pedoman bagi seluruh PPAT di Indonesia dalam menjalankan
jabatannya oleh karena itu PPAT harus selalu tunduk pada ketentuan-
ketentuan yang diatur oleh Peraturan Pemerintah tersebut serta mentaati
segala ketentuan di dalam kode etik PPAT.
2. PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta jual beli
disarankan agar dalam menjalankan tugas dan jabatannya diharuskan
bagi PPAT untuk melihat seluruh asli dari surat/dokumen yang telah
diberitahukan kepadanya yang menjadi pegangan bagi PPAT dalam
proses pembuatan akta jual beli, untuk terhindar dari tanggung jawab
yang akan dibebankan kepadanya.
3. Para Pihak dalam perjanjian jual beli haruslah juga mematuhui ketentuan
mengenai jual beli dan menghindari kecurangan dalam pembuatan akta
jual beli.

98
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori. 2009.Lembaga Kenotariatan Indonesia. Yogyakarta: UII


Press
Abdul Kadir Muhammad. 1994. Hukum Harta Kekayaan.Bandung: Citra Aditya
Bakti
Adrian Sutedi.2006.Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftaranya. Jakarta: Sinar
Grafika
Anke Dwi Saputro (penyadur). 2008.Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang,
dan Di Masa Datang. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Bachtiar Effendi. 1993.Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah. Bandung:
Alumni
Beni Ahmad Saebani. 2008.Metode Penelitian Hukum. Bandung: CV. Pustaka
Setia
Boedi Harsono. 1999.Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan
____________. 2003.Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional
Jilid I. Jakarta: Djambatan
B.F. Sihombing. 2004.Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah
Indonesia. Jakarta: Toko Gunung Agung
Burhan Ashshofa. 1996.Metode Pnelitian Hukum. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Effendi Perangin-angin. 1994.Praktik Jual Beli Tanah.Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Habib Adjie. 2006.Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia. Bandung: Mandar
Maju
__________. 2008.Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai
Pejabat Publik.Bandung: Refika Aditama
__________. 2008.Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris).Bandung: Refika Aditama
__________. 2009.Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT
Indonesia(Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT). Bandung: PT
Citra Aditya Bakti
__________. 2013. Menjalin Pemikiran-Pendapat Tentang
Kenotariatan.Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Herlien Budiono.2006.Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas‐Asas Wigati Indonesia.Bandung:
PT. Citra Aditya bakti
______________.2007.Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti
Husein Umar.2005.Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Irawan Soerodjo.2003.Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya:
Arkola
J Kartini Soedjendri.2001.Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi
Konflik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
K.Wantjik Saleh. 1977.Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia

99
K. Yin, Robert. 1989.Case Study Research: Design and Menthods.California:
SAGE Publications Inc
Kelsen, Hans. 1944.General Theory Of Law And State. New York
Liliana Tedjosaputro. 1991.Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana.Semarang:
CV. Agung
Lumban Tobing. 1992.Peraturan Jabatan Notaris.Jakarta: Erlangga
M. Yahya Harahap. 1986.Segi‐Segi Hukum Perjanjian Cetakan II.Bandung:
Alumni
Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. 2008.Hukum Pendaftaran Tanah.
Bandung: Mandar Maju
Peter Mahmud Marzuki. 2010.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Raden Soegondo Notodisoerjo. 1993. Hukum Notariat di Indonesia suatu
Penjelasan cetakan kedua. Jakarta: RAJA Grafindo Persada
Riduan Khoirandy.2003.Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program
Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Ridwan H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Salim H.S. 2006.Hukum Kontrak-Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta:
Sinar Grafika
Satjipto Rahardjo. 2006.Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti
Singgih Praptodiharjo. 1952. Sendi Sendi Hukum Tanah di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Pembangunan Jakarta.
Shidarta.2006.Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia.Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia
Soerjono Soekanto. 1983.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta
_______________. 2002.Hukum Adat Indonesia.Jakarta: Raja Grafindo Persada
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2007.Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Pers
Sodaryo Soimin. 1994.Status Tanah dan Pembebasan Tanah.Jakarta: Sinar
Grafika
Subekti. 1984.Pokok-Pokok Hukum Perdata.Jakarta: PT. Intermesa
Sudikno Mertokusumo. 1998.Hukum Acara Perdata Indonesia.Yogyakarta:
Liberty Yogyakarta
Suhrawardi K. Lubis. 2006.Etika Profesi Hukum.Jakarta: Sinar Grafika
Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Hak Tanggungan Asas-asas, Ketentuan-ketentuan
Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan (suatu Kajian
Mengenai UUHT). Bandung: Alumni.
Tan Thong Kie.2000.Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve
Vredenbregt J. 1981.Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT.
Gramedia
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

100
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
112/KEP-4.1/IV/2017
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
Boedi Harsono. 2007. PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya dalam Majalah
Renvoi Nomor. 8.44.IV
Celina Tri Siwi K. 2017. “Aspek Hukum Benda Tidak Bergerak Sebagai Obyek
Jaminan Fidusia”dalam Jurnal Notariil Volume 1 Nomor 2
Dupuy, Pierre-Marie. 2016. “A Crime Without Punishment” dalam Journal of
International Criminal Justice by Oxford Academic Volum 14 Issue 4
Halaman 879-891.
Irfan Fachrudin. 1994. “Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa
Tata Usaha Negara” dalam Majalah Varia Peradilan 111.
Muhammad Hadin Muhjad.2016. “Principle of Praesumptio iustae Causa or Net
Vermoeden van Rechtmatigheid as Principle of Administrative Justice”
dalam Lambung Mangkurat Law Journal (LamLaj) Volume 1 Issue 1 2016
Pieter Latumeten.Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia Kebatatan dan
DegradasiKekuatan Bukti Akta Notaris Serta Model Aktanya. Surabaya:
28 Januari 2009
Raz, Jospeh. 2010. “Responsibility and the Negligence Standard” dalam Oxford
Journal of Legal Studies Volume 30 Issue 1 Halaman 1-18.
Suharjono. 1995.Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum dalam Majalah Varia
Peradilan Desember Tahun XI Nomor 123
Wawan Setiawan. 1997. Kedudukan dan Keberadaan Notaris Sebagai Pejabat
Umum Serta Pejabat Pembuat Akta Tanah menurut Sistem Hukum
dibandingkan dengan Pejabat Tata Usaha Negara. Makalah
Selly Masdala Pertiwi.2014. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik
Yang Berakibat Batal Demi Hukum Pada Saat Berakhir Masa Jabatannya.
Tesis Magister Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar
Khoirun Nisa.2013. Tanggungjawab Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam
Perkara Pidana Mengenai Akta Yang Diterbitkan. Tesis Magister
Kenotariatan Universitas Brawijaya Malang
Kraan, C.A. 1984. Dalam disertasinya:De Authentieke Akte. Amsterdam:
Amsterdam University
Subarsyah. 2016.” Law Enforcement against Criminal Acts in Politics in
Indonesia Connected with Positive Law” dalam Journal Politics and Law
Volume 10 Nomor 3.Canadian Center of Science and Education (CCSE).
Dalam file:///C:/Users/Visitor/AppData/Local/Temp/66305-249421-1-
PB.pdf
Supreme Court of Virginia 48041 Record No. 911007 September 18, 1992. Dalam
https://virginia.lexroll.com/fried-v-smith-244-va-355-1992/

101
102

Anda mungkin juga menyukai