Anda di halaman 1dari 70

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

4.1 Analisis Pengaturan Pelaksanaan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta

Tanah

Sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah (kementrian

Agraria) peranan PPAT sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian

dan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam kepemilikan tanah. Kepastian

dan perlindungan hukum itu tampak melalui akta otentik yang dibuat oleh PPAT

sebagai alat bukti yang sempurna di pengadilan apabila terjadi masalah atas

kepemilikan tanah tersebut. Akta yang dibuat oleh PPAT tersebut dikatakan

sebagai alat bukti sempurna karena akta otentik memiliki tiga kekuatan

pembuktian yaitu kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendigebewijsracht),

kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht) dan kekuatan pembuktian

material (materiele bewijskracht) 40

Dalam penjelasan umum angka 7 Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan

Dengan Tanah (UUHT) disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang

berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka

pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam

daerah kerjanya masing-masing.

40
Habib Adjie, Sekilas dunia & PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009, Hal.21

71
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Tanah disebutkan dengan jelas bahwa PPAT

adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik

mengenai suatu perbuatan hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah disebutkan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi

kewenangan untuk membuat akta-akta tanah-tanah tertentu. 41 Sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta pemindahan

dan pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan

akta pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan.

Dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah disebutkan

bahwa PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-

akta tanah.

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk

membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak-

hak atas tanah atau Hak Milik Stas Satuan Rumah Sususn.

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Pejabat pembuat Akta Tanah

41
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Hal. 678

72
ditetapkan bahwa para Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melaksanakan tugas dan

wewenangnya berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 1961 pada tanggal 8 Oktober

1997ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dimaksud

dalam PP Nomor 24 Tahun 1997.

Bertolak dari konsep dasar di atas, berturut-turut dalam bagian ini akan

dibahas tentang analisis penulis tentang PPAT yang dimulai dengan menjelaskan

pengertian PPAT, tugas dan kewenangan PPAT, pelaksanaan kewenangan, analisa

keabsahan PPAT berdasarkan objek dan wilayah kerja

4.1.1 Analisis Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai Pejabat Umum

Sejarah hukum pertanahan di Indonesia dimulai dengan

diundangkannya Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang juga disebut

sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, selanjutnya disingkat dengan UUPA

yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960.

Pasal 19 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “Untuk menjamin

kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh

wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan

Peraturan Pemerintah” Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang mana

telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan

73
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah.

Pada dasarnya fungsi PPAT itu sendiri adalah sebagai pejabat umum

yang berwenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan

hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. PPAT juga memiliki peran penting dalam pendaftaran

tanah yaitu membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah dengan

membuat akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah.

Di Indonesia wilayah penanganan hukum privat ditangani oleh pejabat

umum, yang dibedakan dengan Pejabat Negara dan pejabat Pemerintahan.

Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtenaren

yang terdapat pada Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut

PJN). 42 Istilah Openbare Amtrnaren yang terdapat pada Pasal 1 Reghlement op

het Notaris Ambt in Indonesia Staatsblad 1860 Nomor 3. Demikian pula istilah

Openbare Ambtenaren yang terdapat pada Pasal 1868 BW diterjemahkan

Pejabat Umum oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata terjemahan mereka. 43

42
Ghansham Anand, Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia, Zifatama Publisher,
Sidoarjo, 2014, hal. 16
43
R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1983, hal. 475.

74
Pejabat umum 44 dibedakan dari Pegawai Negeri Sipil (ASN) yang

meliputi Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Pejabat Lelang

kelas II. Biarpun demikian ada pula pejabat umum yang disandang pula oleh

ASN. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 disebutkan dengan jelas bahwa

Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi kewenangan

untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

PPAT dalam jabatan umum apabila dikaitkan dengan hukum privat

maka berada dalam kewenangannya yaitu seputar hukum Agraria, yang mana

jabatan ini tunduk pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pertangunggjawaban

jabatannya seorang PPAT adalah kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional,

sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perka BPN) No.

1 Tahun 2006. Sedangkan tugas dan wewenang mengenai produk hukum

antara lain, Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Akta Pemberian Hak Tanggungan,

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Hibah, Pembagian Hak

Bersama.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan

Pembuat Akta Tanah (PPAT) menyebutkan bahwa PPAT merupakan “pejabat

umum” yang diberikan kewenangan membuat akta otentik. PPAT diangkat dan

44
Boedi Harsono menjelaskan bahwa pejabat umum adalah orang yang diangkat oleh
Instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan
tertentu.

75
diberhentikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka PPAT dapat dikategorikan

sebagai PPAT (pejabat umum); PPAT sementara, PPAT pengganti dan PPAT

khusus sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata

Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta

Tanah Pasal 3 ayat (2) Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Dengan perkataan lain, dapatlah kita pahami bahwa jabatan pejabat

umum yang diembankan oleh PPAT merupakan hasil seleksi Kementeri

Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia dengan kualifikasi pendidikan Sarjana Hukum dan Magister

Kenotaritan. 45 Dengan kualifikasi ilmu yang dimilikinya, maka celah

pelanggaran dalam prakteknya diminimalisir. PPAT dalam memperoleh

kewenangan adalah diperoleh bukan hanya dari kepercayaan masyarakat saja

namun juga dengan keterampilan yang baik dan memang telah ahli dalam

bidangnya, untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat.

45
Lihat Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat
Akta Tanah Bab 2 Maksud, Tujuan dan Ruang Lingkup PPAT

76
4.1.2 Analisis Tugas dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Secara umum, PPAT dalam melaksanakan tugasnya secara mandiri

serta tidak memihak kepada salah satu pihak. Irawan Soerodjo 46 mengatakan

bahwa jabatan PPAT ialah suatu profesi yang mandiri yang mempunyai fungsi

sebagai pejabat awam yang sesuai peraturan-peraturan perundang-undangan

mendapat wewenang dari pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Ketua

Badan Pertanahan Nasional untuk membentuk akta pemindahan hak dan

pembebanan Hak Tanggungan atas tanah yang merupakan alat bukti yang

autentik, memiliki tugas menjadi perekam dari perbuatan-perbuatan (recording

of deed conveyance). Sehingga wajib mengkonstatir kehendak para pihak yang

telah mencapai suatu kesepakatan diantara mereka, dan juga bertugas

mengesahkan tanda tangan pihak-pihak yang mengadakan perbuatan hukum

dan menjamin kepastian tanggal penandatanganan akta. Di sini, PPAT adalah

legal standing dari sebuah kesepakatan antara dua pihak atau lebih perihal

Akta Jual Beli (AJB).

Tugas dan kewenangan PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 Jo Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2016, Pasal 2

sampai pasal 5. Tugas dan kewenangan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian (tidak semua)

kegiatan yang berkaitan dengan tanah sebagai objeknya. Dengan

demikian, perbuatan hukum yang dilakukan dengan tanah sebagai

objeknya meliputi pendaftaran tanah (hak atas tanah atau Hak

Milik Atas Satuan Rumah Susun).

46
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya,
2003, hal.149-150.

77
2. Perbuatan hukum (sebagian) dengan objek tanah adalah sebagai

berikut:

a. Jual beli;

b. Tukar menukar;

c. Hibah;

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e. Pembagian hak bersama;

f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak

Milik;

g. Pemberian Hak Tanggungan;

h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

3. Berdasarkan tugas pokok di atas, maka kewenangan PPAT adalah

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum dengan

objek tanah di atas hanya terletak di dalam daerah kerjanya saja

bukan di luar daerah kerjanya. Kewenangan ini kemudian

menimbulkan problem ketika seorang PPAT melakukan perbuatan

hukum di luar wilayah kerja. Bagian ini akan dijelaskan lebih

lanjut.

4. PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan

hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.

5. PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam

daerah kerjanya. Akan tetapi, kewenangan ini tidak apabila

78
ditelusuri maka tidak disebutkan secara pasti saksi apabila PPAT

melaksanakan ini di luar wilayah kerjanya.

6. Akta-akta sebeperti akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam

perusahaan dan akta pembagian hak bersama tidak semuanya

terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT tetapi dapat dibuat

oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah

atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan

hukum dalam akta.

Tugas dan wewenangan PPAT di atas, menarik untuk ditelaah karena

ada 2 (dua) hal yakni pertama, berkaitan dengan keabsahan suatu perbuatan

hukum yang tidak termasuk wilayah kerja PPAT dan objek hukum di luar

wilayah kerja. Oleh karena itu, harus dilihat mengenai larangan atau kewajiban

PPAT berkaitan dengan tugas dan kewenagan di atas.

Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data

pendaftaran tanah, maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan hak

yang bersangkutan, oleh karena itu PPAT bertanggungjawab untuk memeriksa

syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, antara lain

mencocokkan data yang terdapat didalam sertipikat dengan daftar-daftar yang

ada di Kantor Pertanahan.

4.1.3 Analisis Perbuatan Hukum Tertentu Dalam Pelaksanaan

kewenangan PPAT

Tugas Pokok PPAT diatur dalam pasal 2 PP Nomor 37 tahun 1998,

yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat

79
akta tanah sebagai bukti telah dilakukanya perbuatan hukukm tertentu

mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang

akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah

yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Berikut ini adalah analisis

atas perbuatan-perbuatan hukum tersebut:

1. Analisis tentang Akta Jual Beli

Menurut ketentuan Pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, yang dimaksud dengan jual beli adalah : “Suatu perjanjian dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak atas

suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.“

Dengan demikian dalam jual beli tanah dianggap terjadi walaupun tanah

belum diserahkan atau harganya belum dibayar karena adanya kesepakatan

bersama dalam hal jual beli tanah. Dalam jual beli tanah hak pihak penjual

sudah beralih ke pihak pembeli, namun untuk pemindahan hak itu masih

diperlukan suatu perbuatan hukum lain berupa penyerahan.

Menurut Boedi Harsono, “Dalam hukum adat perbuatan

pemindahan hak (jual beli, hibah, tukar-menukar) merupakan perbuatan

hukum yang bersifat tunai. Jual beli dalam hukum adat adalah perbuatan

hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat

yang bersaman secara tunai”. 47 Menurut Boedi, penyerahan atau

pemindahan hak itu dalam istilah hukumnya biasa disebut Juridische

levering (penyerahan menurut hukum) yang harus dilakukan dengan akta

dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.

47
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional Jilid 1, (Jakarta : Djambatan,
2003), hal.333.

80
Perkataan jual beli ini menunjukan bahwa dari satu pihak

perbuatan dinamakan menjual, sedangkan dari pihak lain dinamakan

membeli. Jadi dalam hal ini terdapat dua pihak yaitu penjual dan pembeli

yang saling bertimbal balik. Dari ketentuan diatas, barang yang menjadi

objek dari jual beli harus cukup, atau setidak-tidaknya dapat ditentukan

wujud dan jumlahnya pada saat akan diserahkan hak miliknya kepada

pembeli.

Mengenai jual beli yang obyeknya atas tanah dapat dilihat dalam

Pasal 26 Ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 yang

menyebutkan bahwa “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian

dengan wasiat, pemberian dengan hukum adat dan perbutan-perbuatan lain

yang dimaksud untuk memindahkan hak milik serta penguasaannya diatur

denga peraturan pemerintah.” Selanjutnya, dalam Pasal 23 Ayat (1)

Undang-undang Pokok Agraria menetapkan bahwa : “Hak milik, demikian

pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain

harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam

Pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria”. Peraturan Pemerintah No. 24

tahun 1997 Pasal 37 Ayat (1) menyebutkan bahwa : “Peralihan hak atas

tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya

dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT

yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

81
Masyarakat atau lembaga pemilik tanah dengan adanya PPAT

dapat dengan mudah dan membantu masyatakat dalam mendaftarakan hak

atas tanah yang diperolehnya melalui jual beli, sehingga hak atas tanah

yang diperolenya itu bisa mendapatkan jaminan kepastian hukum. Dengan

demikian, esensi dari akta jual beli adalah kepemilikan tanah. Esensi ini

dapat dibuktikan lewat akta otentik yang disahkan oleh PPAT dengan

pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diperbaharui dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

yang menentukan bahwa jual beli tanah harus dibuktikan dengan suatu

akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT, sebagaimana dinyatakan

dalam Pasal 37 ayat (1) PP No.24/1997 yang berbunyi :

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya kecuali
pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut peraturan perundang-undangan.”

2. Analisis Tentang Akta Tukar Menukar

Tukar menukar adalah merupakan perjanjian konsensual, yaitu

perjanjian yang sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat

dari para pihak yang mengikatkan dirinya dalam tukar-menukar. Menurut

pasal 1541 KUH Perdata, tukar menukar adalah suatu persetujuan dengan

mana kedua belah pihak mengikatakan dirinya untuk saling memberikan

suatu barang secara bertimbal balik sebagai gantinya suatu barang lain.

Dengan demikian Tukar menukar dengan demikian ini dapat dibuat cukup

dengan satu Akta Tukar Menukar, tidak perlu dengan dua Akta Tukar

82
Menukar, karena prinsip yang dikandung dalam Akta Tukar Menukar

boleh mencantumkan beberapa bidang tanah dalam satu Akta Tukar

Menukar, tidak seperti Akta Jual Beli dan Akta Hibah yang hanya

membolehkan satu hak atas tanah untuk setiap satu akta yang dibuat.

Dalam tukar-menukar masing masing pihak berkewajiban untuk :

a. Menyerahkan barang yang dijanjikan dalam tukar menukar

b. Menanggung atas kenikamatan tentram dan terhadap cacat-cacat

tersembunyi

Perjanjian tukar-menukar adalah perjanjian obligatoir saja, yaitu

baru meletakkan hak dan kewajiban bertimbal balik bagi masing-masing

pihak. Untuk pengalihan hak kebendaan atas barang-barang yang

diperjanjikan masingmasing pihak harus melakukan penyerahan atas

barang yang diperjanjikan Penyerahan dalam tukar-menukar dapat

dibedakan atas penyerahan menurut KUH Perdata dan penyerahan

menurut UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Dalam tukar menukar, hak

milik atas tanah tidak dapat beralih/dialihkan atau diserahkan kepada

warga negara asing. Hak kebendaan yang dapat dialihkan dengan tukar

menukar adalah hak-hak kebendaan yang telah diatur dalam KUH Perdata

dan UU pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.

3. Analisis Tentang Akta Hibah

Hibah merupakan suatu pemberian yang dilakukan oleh seseorang

secara sadar tanpa paksaan kepada seseorang lainnya pada waktu masih

hidup. Pemberian hibah merupakan pemberian suatu harta kekayaan yang

memiliki sifat bergerak maupun tidak bergerak, dengan ini yang

83
memberikan hibah dinamakan sebagai pemberi hibah. 48 Semasa masih

hidup seseorang yang telah cakap berbuat hukum dapat melakukan hibah

kepada seseorang, dengan memberikan berupa barang yang asalnya adalah

kepemilikan pribadi atau sudah atas nama pribadi. Hibah didalamnya

terdapat karakter yang sifatnya sepihak, karena beban kewajiban hanya

dibebani oleh pemberi hibah, sedangkan penerima hibah tidak mempunyai

kewajiban.

Hibah dikatakan dalam bahasa Belanda sebagai schenking, yang

merupakan tindakan sepihak oleh seseorang kepada seseorang dengan

menyerahkan hartanya dengan cuma-cuma melalui dan berdasarkan

perjanjian hibah yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris, perjanjian hibah

mana dikatakan perjanjian sepihak (unilateral) yang lawannya adalah

perjanjian timbal balik (bilateral). Dengan perjanjian sepihak ini maka

seseorang yang diserahkan harta secara cuma-cuma harus dapat menerima

dan bersedia untuk memelihara apa yang telah diberikan oleh seseorang

tersebut berdasarkan perjanjian hibah. 49

Akta Hibah dibuat oleh PPAT manakala terjadi perbuatan hukum

dimana Pihak Pertama memberi sesuatu hak atas tanah kepada Pihak

Kedua secara cuma-cuma. Cuma-cuma berarti tidak adanya pembayaran,

sehingga dalam Akta Hibah tidak ada isian tentang harga seperti yang

terdapat dalam akta Jual Beli. Dalam praktek sehari-hari Akta Hibah

48
Anggreni, N. O., & Subanda, I. N. (2020). Implementasi Kebijakan Penyaluran Hibah
dan Bantuan Sosial Kemasyarakatan di Kabupaten Buleleng. Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen,
Ekonomi, & Akuntansi), 4(2), 98-115. Hal. 2. 3Malahayati, M., Abbas, S., & Dahlan, D.
49
Malahayati, M., Abbas, S., & Dahlan, D. (2019). Kekuatan Hukum Akta Hibah untuk
Anak Angkat. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 21(2), 187-208. DOI:
https://doi.org/10.24815/kanun.v21i2.11448 . hal. 188.

84
paling banyak dibuat atas permintaan orang tua yang ingin memeberikan

secara cuma-cuma kepada anak dan cucunya. Hibah dari seseorang kepada

orang lain yang tidak ada hubungan darah jarang terjadi.

Dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit orang menganggap

bahwa kekuatan Akta Hibah adalah lebih rendah dari pada Akta Jual Beli.

Sebagian orang berpendapat bahwa Akta Hibah rawan tuntuntan hukum

kemudian hari kemungkinan terbesar adalah tuntutan dari ahli warisnya.

Guna menghidari atau setidak tidaknya lebih mengecilkan kemungkinan

tuntutan hukum terebut maka dalam praktek pembuatan Akta PPAT

sebaiknya meminta tambahan persyaratan yaitu pernyataan dari calon Ahli

Waris pemberi hibah menyatakan bahwa mereka mengetahui dan

menyetujui hibah tersebut sehingga berjanji tidak akan menuntut apapun

dikemudian hari atas penghibahan itu.

Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis hibah secara sederhana

dipahami sebagai sebuah kehendak bebas si pemberi hibah untuk

menyerahkan atau memberikan harta kepada pihak lain si penerima.

Sedangkan keberadaan PPAT di sini adalah memastikan kehendak bebas si

pemberi adalah sebuah perbuatan hukum yang dengan kesadaran si

pemberi untuk menyerahkan hartanya kepada si penerima. Dengan

demikian, esensi hibah terletak pada penyerahan harta dengan kehendak

bebas kepada si penerima.

Obyek Akta Hibah adalah hak atas tanah dan hak milik atas satuan

rumah susun. Hak atas tanah yang dimaksudkan dapat berupa sebidang

tanah kosong namun dapat juga berikut dengan bangunan yang berdiri di

85
atasnya. adanya hibah atas tanah saja (walapun ada bangunan diatasnya),

namun dimungkinkan juga adanya hibah atas tanah dan bangunan yang

ada di atasnya sekaligus, namun harus dipahami bahwa hibah hak atas

tanah berikut bangunan diatasnya dibuat dengan akta PPAT, namun bila

yang dihibahkan hanya bangunanya saja maka tidak dibuat dengan Akta

PPAT, melainkan dengan akta dibawah tangan atau dengan akta notaris.

Jenis hak atas tanah yang dapat dibuatkan akta hibah oleh PPAT 50 adalah

Hak Milik; Hak Guna Bangunan; Hak Pakai dan Hak Guna Usaha

Mengenai akta hibah, dibeberapa Kantor Pertanahan juga

menerapkan syarat tambahan yang berupa Surat Pernyataan dari Pemberi

Hibah bahwa nilai hibah tersebut tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) dari

hartanya. Syarat ini seharusnya tidak berlaku umum namun hanya berlaku

untuk perorangan yang tunduk atau menganut agama islam, kerena

ketentuan yang demikian ini hanya pada Hukum Islam, sehingga syarat ini

tidak perlu diterapkan kepada mereka yang tidak beragama Islam.

4. Analisis Tentang Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan (APDP /

Inbreng)

Badan usaha perseroan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan,

sehingga perseroan melakukan kegiatan usaha secara terus-menerus. Tak

jarang kegiatan usaha perseroan ini membutuhkan modal yang besar

dimana modal merupakan salah satu elemen penting dalam menjalankan

kegiatan usaha, baik pada tahap awal dimulainya suatu usaha maupun

tahap pengembangan usaha. Pada praktiknya, pelaku usaha seringkali

50
Jenis pengisian Akta Hibah dapat dilihat pada Lampiran ……

86
mengalami keterbatasan modal, terutama pelaku usaha yang baru merintis

usaha atau sedang berupaya melakukan pengembangan usaha. 51 Dalam

mengembangkan usahanya, perseroan dapat menambah modal dengan cara

melakukan penyetoran atas modal saham.

Dalam Blanko Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan yang

diterbitkan BPN RI, yang dimaksud Perusahaan adalah Perseroan Terbatas

(PT), isian dalam blanko Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan (APDP)

memuat pertanyaan mengenai berapa lembar saham yang akan didapatkan

oleh orang yang menyetorkan hak atas tanah kepada Perseroan Terbatas.

Melihat pada isian blanko APDP maka satu-satunya badan hukum yang

dapat menjadi penerima setoran modal yang berupa hak atas tanah

hanyalah Perseroan Terbatas, karena disamping penyebutan-penyebutan

yang ada dalam blanko selalu menyebutkan kata Perseroan Terbatas, juga

menanyakan jumlah dan nilai nominal saham.

Badan hukum yang memiliki saham sampai saat ini hanyalah PT,

sehingga APDP tidak bisa dibuat untuk Koperasi atau Yayasan sebagai

pihak yang akan menerima hak atas tanah. Akta Pemasukan Kedalam

Perusahaan dibuat manakala ada seseorang yang ingin memeiliki sejumlah

saham yang dikeluarkan dari portofolio perseroan terbatas (PT) dengan

cara menyetorkan/menyerahkan hak atas tanah miliknya untuk menjadi

milik PT. Jadi yang disetorkan untuk menjadi milik PT bukanlah uang,

melainkan adalah hak atas tanah sedangkan penyetor/yang menyerahkan

51
Etty Mulyati, “Asas Keseimbangan Pada Perjanjian Kredit Perbankan Dengan Nasabah
Pelaku Usaha Kecil”, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol 1 No 1, September 2016, hal.37.

87
hak atas tanah akan mendaptkan saham yang dikeluarkan dari porto folio

PT, bukan dari saham yang telah dimiliki pemilik/pemegang saham.

Penyetoran tersebut tak hanya dapat dilakukan dalam bentuk uang,

melainkan juga dalam bentuk lain. Hal tersebut dimungkinkan dengan

adanya ketentuan Pasal 34 UU PT yang menyatakan bahwa penyetoran

atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam

bentuk lain. Nilai wajar setoran modal saham ditentukan sesuai dengan

nilai pasar (market value) atas barang modal yang dimasukkan sebagai

setoran saham. Jika nilai pasar tidak tersedia, nilai wajar ditentukan

berdasarkan teknik penilaian yang paling sesuai dengan karakteristik

setoran, berdasarkan informasi yang relevan dan terbaik. 52

Penyetoran saham yang dilakukan dalam bentuk lain, terutama

tanah, dalam pelaksanaannya harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang

berlaku, salah satunya adalah ketentuan mengenai peralihan hak atas tanah

yang dilakukan dihadapan PPAT. Peralihan hak atas tanah harus

didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk dilakukan balik nama

yang berdasarkan pada akta pemasukan ke dalam perusahaan yang dibuat

oleh PPAT yang berwenang.

Pendaftaran tanah tersebut bermaksud untuk menjamin kepastian

hukum, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor

Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (untuk selanjutnya

disebut sebagai UUPA) Jo. Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut

52
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta: 2013, hal. 239

88
sebagai PP Pendaftaran Tanah) yang menyatakan bahwa salah satu

tujuannya dilakukan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada hak atas suatu bidang

tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan

mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang

bersangkutan.

Lebih lanjut, Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa kepada pemegang

hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.

Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan,

tanah milik atas satuan rumah susun, tanah wakaf dan hak tanggungan

yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang

bersangkutan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 butir (21) PP

Pendaftaran Tanah.

Dalam APDP 53, pihak yang menyerahkan hak atas tanah mungkin

orang pribadi mungkin juga badan hukum, namun pihak yang menerima

hak atas tanah harus berbentuk badan hukum (tidak mungkin orang

pribadi). Badan hukum yang dimaksud oleh blanko APDP adalah badan

hukum yang modalnya terbagi atas saham-saham, karena saham-saham

inilah yang akan ditukarkan dengan Hak atas Tanah. Badan hukum

memenuhi kriteria tersebut adalah Perseroan Terbatas sehingga PT dapat

menjadi Pihak penerima hak atas tanah dalam APDP, sedangkan badan

hukum lainya yang berbentuk Yayasan dan Koperasi adalah badan-badan

53
Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan dapat dilihat dalam Lampiran …..

89
hukum yang modalnya tidak berupa saham sehingga tidak dapat mejadi

pihak yang menerima hak atas tanah dala APDP.

Bertolak dari penegasan-penegasan di atas, peranan PPAT dalam

pemasukan ke dalam Perusahaan (APDP/Inbreng) adalah untuk

memberikan jaminan hukum kepada pihak penerima bahwa tanah yang

bersangkutan memiliki kelengkapan hukum yang jelas dan pasti.

Kepastian APDP dapat dilihat dari obyeknya yakni hak atas tanah dan hak

milik atas satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dimaksud dapat

berupa sebidang tanah kosong namun dapat juga berikut dengan bangunan

yang berdiri diatasnya. Jenis hak atas tanah yang dapat dibuatkan APDP

oleh PPAT adalah Hak Milik; Hak guna bangunan; Hak guna usaha dan

Hak pakai

Pemasukan kedalam perusahaan untuk tanah hak milik hanta dapat

dibuatkan untuk perusahaan perushaan tertentu seperti yang dimaksudkan

oleh pasal 21 ayat (2) UUPA karena badan hukum perusahaan pada

umunya hanya dapat memiliki HGB HGU atau hak pakai. Pemasukan

kedalam perusahaan mengenai Hak Pakai harus mengikuti ketentuan pasal

43 UUPA yang pada intinya:

a. Hak pakai tanah yang dikuasai langsung oleh negara hanya

dapat dialihkan dengan mendapat ijin dari pejabat yang

berwengan, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pertanahan

setempat. Ijin yang dimaksud harus sudah didapatkan lebih

dahulu sebelum Akta Tukar Menukar ditandatangani maka

PPAT dilarang membuatkan aktanya sebelum ijin didapatkan

90
b. Hak Pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan jika hal

itu diperjanjikan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai.

5. Analisis Tentang Akta Pembagian Hak Bersama (APHB)

Istilah Pembagian Hak Bersama agak sulit dipahami, karena istilah

“pembagian” pada umumnya diartikan dengan kegiatan “membagi bagi”

sehingga dalam kaitanya dengan tanah menimbulkan kesan adanya

pemecahan tanah dari satu bidang menajadi lebih dari satu bidang atau

dengan kata lain menimbulkan kesan adanyapemecahan sertipikat hak atas

tanah, padahal dalam penyelesaian akibat pembuatan APHB tidak selalu

diikuti dengan pemecahan tanah.

Akta Pembagian Hak Bersama dibuat manakala ada sebidang tanah

yang kepemilikanya adalah milik bersama dari beberapa orang kemudian

akan dibuat menjadi milik satu orang atau lebih (namun jumlah

pemiliknya menjadi lebih sedikit dari pada jumlah pemilik semula) dimana

yang akan memperoleh hak adalah termasuk pemilik semula.

Kepemilikan bersama atas tanah dapat terjadi karena :

a. Terjadinya peristiwa hukum misalnya karena terjadinya

pewarisan dan karena terjadinya perkawinan. Kepemilikan

bersama yang terjadi akibat peritiwa ini disebut Gebonden

Mede Eigendom.

b. Terjadi karena keinginan bebas dari mereka yang ingin

bersama-sama memilki hak atas tanah, misalnya ada 4 orang

yang secara bersama-sama berpatungan membeli sebidang

tanah sehingga dalam sertipikat tercatat atas nama 4 orang

91
pembeli tersebut kepemilikan bersama yang demikian ini

disebut Vrij Mede Eigendom.

Pembagian hak bersama atas tanah menjadi hak masing-masing

pemegang hak bersama didaftarkan berdasarkan akta yang dibuat Pejabat

Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut peraturan yang berlaku

yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama

mengenai pembagian hak bersama tersebut. Akta Pembagian Hak Bersama

merupakan salah satu dokumen yang dijadikan dasar untuk mengurus

pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan setempat. Apabila ahli

waris hanya menyertakan Surat Keterangan Waris, maka hak atas tanah

tersebut masih berstatus kepemilikan bersama-sama. Namun, jika ahli

waris menyertakan Akta Pembagian Hak Bersama, maka hak atas tanah

tersebut sudah bisa berstatus sebagai hak individu, tergantung dengan

kesepakatan (isi) yang tercantum di dalam Akta Pembagian Hak Bersama

tersebut.

Satu APHB dapat dibuat untuk menyelesaikan peralihan hak atas

satu bidang tanah namun dapat juga untuk menyelesaikan peralihan hak

atas beberapa bidang tanah sekaligus, misalnya:A, B, C, dan D bersama-

sama memiliki 4 bidang tanah yang terdiri dari 4 sertipikat yang

kesemuanya tercatat atas nama A, B, C, dan D kemudian mereka

bersepakat untuk memisahkannya menjadi:

a. Milik A,B,C, dan D masing-masing mendapat 1 bidang tanah.

b. A mendapat 2 bidang tanah sedangkan B dan D masing-masing

mendapat 1 bidang tanah

92
c. A mendapat semuanya yaitu 4 bidang tanah sedangkan B,C dan

D tidak mendapatkan satupun.

Keempat bidang tanah yang menjadi obyek pembuatan APHB

tersebut dapat terletak dalam satu wilayah kerja PPAT misalnya keempat

bidang tanah tersebut semuanya terletak di Kabupaten Sleman, namun

juga terletak pada daerah-daerah yang berbeda, misalnya terletak di

Kabupaten Sleman, di Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan di Kota

Jayapura. Dalam hal terakhir ini APHB dapat dibuat oleh PPAT

Kabupaten Sleman atau PPAT Kota Jayapura (salah satu PPAT dimana

tanah itu berada).

Pejabat Pembuat Akta Tanah merupakan pejabat yang berwenang

membuat Akta Pembagian Hak Bersama. Akta Pembagian Hak Bersama

adalah suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk

membuktikan kesepakatan antara pemegang hak bersama mengenai

pembagaian hak bersama tersebut. Sedangkan mengenai pengertian dari

pembagian hak bersama itu sendiri adalah suatu perbuatan hukum yang

dilakukan oleh pemegang hak bersama, atas tanah agar supaya menjadi

hak masing-masing pemegang hak bersama tersebut berdasarkan Akta

Pembagian Hak Bersama.

Obyek APHB adalah hak atas tanah dan hak milik atas satuan

rumah susun. Hak atas tanah yang dimaksud dapat berupa sebidang tanah

kosong namun dapat juga berikut dengan bangunan yang terdiri di atasnya.

Di Indonesia dikenal adanya asas pemisahan horizontal, sehingga

dimungkinkan adanya Pembagian Hak Bersama atas tanah saja (walaupun

93
ada bangunan diatasnya), namun dimungkinkan juga adanya pembagian

hak bersama tanah dan bangunan yang ada diatasnya sekaligus. Harus

dipahami bahwa pembagian hak bersama hak atas tanah berikut bangunan

diatasnya dibuat dengan akta PPAT, namun bila pembagian hak bersama

hanya bangunanya saja maka tidak dibuat dengan Akta PPAT, melainkan

dengan akta dibawah tangan atau dengan akta notaris. Jenis hak atas

tanah yang dapat dibuatkan APHB oleh PPAT adalah Hak milik; Hak

guna bangunan; Hak pakai dan Hak guna usah.

Pembagian hak bersama atas tanah menjadi hak masing-masing

pemegang hak bersama didaftarkan berdasarkan akta yang dibuat Pejabat

Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut peraturan yang berlaku

yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama

mengenai pembagian hak bersama tersebut. Dengan penjelasan bahwa

pada saatnya nanti suatu hak bersama baik yang diperoleh sebagai warisan

maupun sebab lain, perlu dibagi sehingga menjadi hak individu. Untuk itu

kesepakatan antara pemegang hak bersama tersebut perlu dituangkan

dalam akta PPAT yang akan menjadi dasar bagi pendaftarannya.

Dalam pembagian tersebut tidak harus semua pemegang hak

bersama memperoleh bagian. Dalam pembagian harta waris sering kali

yang menjadi pemegang hak individu hanya sebagian dari keseluruhan

penerima warisan, asalkan hal tersebut disepakati oleh seluruh penerima

warisan sebagai pemegang hak bersama.

Pendaftaran tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah yang

94
terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan, dan untuk menyediakan informasi

kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar

dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam

mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah

terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

6. Analisis Akta Pemberian Hak Guna Bangunan / Hak pakai atas

Tanah Hak Milik

Secara khusus, Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 19 sampai

dengan Pasal 38 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pengertian

Hak Guna Bangunan disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) UUPA, yaitu hak

untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang

bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Asal

tanah Hak Guna Bangunan adalah tanah yang bukan miliknya sendiri.

Tanah yang bukan miliknya sendiri menurut UUPA adalah tanah Negara

dan tanah Hak Milik. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 40

Tahun 1996 adalah tanah Negara, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah Hak

Milik.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

nomor 40 tahun 1996 tentang HBU, HGB dan Hak Pakai atas tanah, tanah

yang dapat diberikan dengan HGB atau hak pakai adalah:

a. Tanah negara

b. Tanah hak pengelolaan

c. Tanah hak milik

95
Pemberian HGB/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, maksudnya

bahwa tanah hak milik tersebut adalah milik seseorang, bukan milik

Negara atau pemegang Hak Pengelolaan. Akta ini dibuat oleh PPAT

manakala ada kehendak dari seorang pemilik tanah dengan status hak

milik untuk memberikan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai kepada

orang lain yang meminta diterbitkanya HGB/Hak Pakai di atas tanah hak

miliknya tersebut. Dengan dibuatnya akta ini maka sejak saat itu pula

muncul Hak Guna Bangunan/Hak Pakai didalam kawasam tanah hak

milik, namun tanah hak milik tersebut masih tetap ada. Penerima HGB

atau Hak Pakai boleh orang perorangan, boleh juga badan hukum.

Perolehan HGB/Hak Pakai ini wajib didaftarkan ke kantor

pertanahan untuk dicatat dan diterbitkan sertipikat hak atas tanah sebagai

bukti kepemilikanya. Dengan diterbitkanya sertipikat HGB/Hak Pakai

maka diatas tanah hak milik tersebut timbul adanya 2 sertipikat sertipikat

Hak Milik (sebagai bukti kepemilikan awal) dan sertipikat HGB/Hak

Pakai sebagai bukti kepemilikan akibat dibuatnya Akta pemberian

HGB/Hak pakai atas tanah hak milik.

Kepemilikan tanah hak milik bersifat kekal tanpa batas waktu

sedangkan kepemilikan HGB/Hak Pakai atas tanak hak milik hanya

bersifat sementara (temporary) yaitu sepanjang waktu yang diperjanjikan

dalam Akta Pemberian Hak. Jangka waktu hak atas HGB/Hak pakai ini

tidak dapat diperpanjang, hanya dapat diperbaharui dengan cara membuat

Akta Pemberian HGB/Hak Pakai atas tanah hak milik yang baru dibuat

96
dihadap PPAT. Pembuatan Akta yang baru ini mempunyai konsenkwensi

untuk membayar PPh dan BPHTB lagi.

HGB/Hak Pakai diberikan hanya atas seluruh luasan tanah hak

milik, namun dapat juga diberika untuk sebagian dari luas tanah hak milik,

misalnya luas tanah hak milik 5.000 meter persegi maka HGB/Hak Pakai

dapat diberikan untuk luasan 5.000 m2 atau untuk 1.000 m2. Dalam hal

HGB/Hak Pakai diberikan hanya maka untuk sebagian dari luas tanah hak

milik maka masih dimungkinkan untuk pemberian HGB/Hak Pakai yang

kedua, bila hal ini terjadi maka diatas tanah tersebut akan terbit 3 (tiga)

buah sertipikat, yaitu sertipikat Hak Milik, sertipikat HGB/Hak Pakai

pertama dan sertipikat HGB/Hak Pakai yang kedua.

Guna adanya kepastian hukum bagi pihak pemilik tanah hak milik

maupun pemegang HGB/Hak pakai maka dalam pembuatan APHGB/HP

atas tanah hak milik perlu diadakan janji janji diantara mereka. Janji-janji

yang diperjanjikan dalam Akta Pemberian HGB/Hak Pakai atas tanah hak

milik harus tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum dan

peratuan hukum yang berlaku, termasuk ketentuan-ketentuan yang berlaku

dan mengatur tentang HGB dan Hak Pakai menurut ketentuan UUPA dan

PP nomor 40 tahun 1996 tentang HGU. HGB dan Hak Pakai atas tanah

misalnya :

a. Perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah hak milik

tidak boleh melebihi 30 (tiga puluh) tahun.

b. Perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah hak milik

tidak boleh diberikan kepada Warga Negara Asing.

97
c. Perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah hak milik tidak

boleh melebihi 25 (dua puluh lima) tahun.

Janji-janji tersebut dituangkan kedalam pasal-pasal disediakan

dalam blanko Akta Pemberian HGB/Hak Pakai atas Hak milik, namun bila

perjanjiannya banyak sekali sehingga diperkirakan tidak terampung dalam

blanko akta yang disediakan maka dapat juga diperjanjikan dalam akta

tersendiri yang merupakan satu kesatuan demgam akta pemberian

HGB/Hak Pakai atas tanah Hak Milik.

Obyek pembuatan Akta Pemberian HGB/Hak Pakai atas tanah Hak

Milik hanya satu yaitu hak milik. Setiap satu Akta Pemberian HGB/Hak

Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat memberikan satu hak atas tanah

saja dan hak yang akan diberikan hanya dapat memilih salah satu dari

HGB atau Hak Pakai.

7. Analisis Pemberian Hak Tanggungan dan Kuasa Membebankan

Hak Tanggungan

Berdasarkan ketentuan dalam UndangUndang Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang selanjutnya dalam

tulisan ini disebut dengan UUHT, “Hak Tanggungan adalah hak jaminan

yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam

UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang

merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,

yang memberikan keduukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu

98
terhadap kreditur-kreditur lain”. 54 Lebih lanjut dalam UUHT disebutkan

“bahwa yang dapat dibebankan Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai”. 55

Pemberian Hak Tanggungan terhadap hak-hak atas tanah di atas

yang disebut juga sebagai objek Hak Tanggungan dilaksanakan dengan

pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang diberikan langsung oleh pemberi Hak

Tanggungan sendiri. Menurut Boedi Harsono, “pada dasarnya pemberian

Hak Tanggungan bersifat ikutan (accessoir) dimana kelahiran, eksistensi,

peralihan, ekseskusi dan hapusnya suatu Hak Tanggungan ditenukan oleh

adanya, peralihan dan hapusnya piutang yang dijamin”. 56 Dalam hal

pemberi Hak tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT pada saat

pembuatan APHT, maka pemberi Hak Tanggungan untuk tujuan

pembuatan APHT diperkenankan untuk membuat Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang akan diberikan kepada

seseorang untuk mewakili kepentingannya menghadap PPAT.

4.1.4 Analisis Tentang Pembinaan, Pengawasan, Larangan, Sanksi dan

Kewajiban PPAT

PPAT dalam melaksanakan tugasnya harus mandiri dan tidak memihak

kepada salah satu pihak. Irawan Soerodjo mengatakan bahwa jabatan PPAT

merupakan suatu profesi yang mandiri yaitu mempunyai fungsi sebagai pejabat

umum yang berdasarkan peraturan perundangundangan bmendapat

54
Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996.
55
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996
56
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, (Djambatan : Jakarta), hal. 420.

99
kewenangan dari pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional untuk membuat akta pemindahan hak dan pembebanan

Hak Tanggungan atas tanah yang merupakan alat bukti yang autentik,

mempunyai tugas sebagai recording of deed conveyance (perekaman dari

perbuatan-perbuatan) sehingga wajib mengkonstatir kehendak para pihak yang

telah mencapai suatu kesepakatan diantara mereka, dan juga bertugas

mengesahkan perbuatan hukum diantara para pihak yang bersubstansi

mengesahkan tanda tangan pihak-pihak yang mengadakan perbuatan hukum

dan menjamin kepastian tanggal penandatanganan akta. 57

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memegang peranan yang penting

dalam membuat akta dengan objek tanah. Sebagai pejabat publik produk

akhirnya yaitu akta autentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata

terutama dalam hukum pembuktian. PPAT bertanggung jawab terhadap akta-

akta yang dibuatnya, sehingga apabila terjadi sengketa dikemudian hari yang

merugikan para pihak yang terkait di dalamnya, PPAT dapat dikenai atau

dijatuhi sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana.

Sehubungan bahwa akta yang dibuat oleh PPAT sebagai alat bukti yang

memiliki kekuatan hukum yang sempurna namun apabila di kemudian hari

dinyatakan sebagai akta yang hanya memiliki kekuatan hukum di bawah

tangan atau dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (incraht) dan oleh

sebab itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang

menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka PPAT sebagai pejabat

57
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, (Arkola : Surabaya,
2003), hal. 149-150

100
yang berwenang dapat dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, sebelum

menganalisis lebih jauh, maka akan dipaparkan terlebih dahulu larangan dan

sanksi bagi seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana tercantum

dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan

Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

1. Pembinaan dan Pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Pembinaan dan pengawasan PPAT di atur dalam BAB III

Pembinaan dan Pengawasan Pasal 4 yakni Pembinaan dan Pengawasan

PPAT langsung oleh Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia serta Kepala Kantor Wilayah

BPN dan Kepala Kantor Pertanahan di Daerah tempat PPAT ditempatkan.

Tujuan pembinaan adalah memastikan bahwa PPAT melaksanakan tugas

dan tanggung jawabnya dengan benar.

Isi dari tujuan pembinaan oleh Menteri yang berupa :

a. Penentuan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas jabatan

PPAT;

b. Pemberian arahan pada semua pihak yang berkepentingan terkait

dengan kebijakan di bidang ke-PPAT-an;

c. Menjalankan tindakan yang dianggap perlu untuk memastikan

pelayanan PPAT tetap berjalan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan; dan/atau

d. Memastikan PPAT menjalankan tugas dan fungsi sesuai dengan

Kode Etik

101
Sedangkan pembinaan dari Kepala Kantor Wilayah BPN dan

Kepala Kantor Pertanahan di Daerah, meliputi :

a. Penyampaian dan penjelasan kebijakan yang telah ditetapkan oleh

Menteri terkait pelaksanaan tugas PPAT sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

b. Sosialisasi, diseminasi kebijakan dan peraturan perundang-

undangan pertanahan;

c. Pemeriksaan ke kantor PPAT dalam rangka pengawasan secara

periodik; dan/atau

d. Pembinaan terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi PPAT sesuai

Kode Etik.

2. Larangan-Larangan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Berdasrkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor : 112/KEP-4.1/IV/2017 tentang Kode

Etik PPAT Pasal 1 ayat 11 dikatakan bawah pelanggaran yang dilakukan

PPAT adalah semua jenis perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh

anggota perkumpulan IPPAT yang dapat menurunkan keluhuran harkat

dan martabat jabatan PPAT, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan

Kode Etik 58 Sedangkan dalam ayat (11) disebutkan bahwa Larangan

adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan berupa apapun yang

harus ditinggalkan (tidak boleh dilakukan) oleh anggota perkumpulan

IPPAT yang dapat atau setidak-tidaknya dikhawatirkan dapat menurunkan

58
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor : 112/KEP-4.1/IV/2017 Tanggal : 27 April 2017 tentang Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah

102
citra serta wibawa lembaga PPAT ataupun keluhuran harkat dan martabat

jabatan PPAT

Pasal 12 ayat (1) 59 menyatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan

PPAT didasarkan atas temuan dari Kementerian terhadap pelanggaran

pelaksanaan jabatan PPAT atau terdapat pengaduan atas dugaan

pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT. Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat

(2) disebutkan pelanggaran-pelanggaran PPAT yakni :

a. Pelanggaran atas pelaksanaan jabatan PPAT; 60

b. Tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Peraturan

perundang-undangan; 61

c. Melanggar ketentuan larangan yang diatur dalam Peraturan

perundang-undangan; dan/atau

d. Melanggar Kode Etik. 62

PPAT dalam hal merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor

tempatnya melaksanakan tugas jabatan Notaris menjadi kantor PPAT.

PPAT dilarang mempunyai kantor cabang atau perwakilan atau bentuk

59
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.
60
Pelaksanaan jabatan yang dimaksud tertera dalam Pasal 9 ayat (2) yakni : (a). tempat
kedudukan kantor PPAT; (b). stempel jabatan PPAT; (c). papan nama, dan kop surat PPAT; (d).
penggunaan formulir akta, pembuatan akta dan penyampaian akta; (e). penyampaian laporan
bulanan akta; (f). pembuatan daftar akta PPAT; (g). penjilidan akta, warkah pendukung akta,
protokol atau penyimpanan bundel asli akta; dan (h). pelaksanaan jabatan lainnya yang ditetapkan
oleh Menteri.
61
Termuat dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor : 112/KEP-4.1/IV/2017 Pasal 3.
62
Dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor : 112/KEP-4.1/IV/2017 Pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa Kode Etik PPAT yang
selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan
berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh
anggota perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT,
termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.

103
lainnya dengan menawarkan jasanya kepada masyarakat. PPAT juga

dilarang untuk membuat akta diluar daerah kerjanya, selain itu PPAT

dalam membuat akta harus dihadiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan

dengan dihadiri oleh dua orang saksi.

Larangan membuat akta juga apabila PPAT menjadi pihak dalam

perbuatan hukum yang bersangkutan itu sendiri, suami ataupun istrinya,

keluarganya yang sedarah atau semenda dalam garis lurus tanpa

pembatasan derajat dan dalam garis kesamping sampai derajat kedua, baik

dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa

dari pihak lain.

Dalam pembuatan akta, PPAT juga dilarang membuat akta jika

para pihaknya ataupun salah satu dinyatakan tidak cakap hukum ; maka

mereka tidak dapat menjadi pihak dalam pembuatan akta jika tidak

diwakili oleh walinya, karena orang yang dinyatakan tidak cakap hukum,

tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum maupun menandatangani

suatu akta, meskipun obyek yang dijaminkan atau diperjualbelikan atau

dihibahkan adalah miliknya

3. Sanksi-Sanksi Pejabat Pembuat Akta Tanah

Sanksi adalah suatu hukuman sebagai sarana, upaya dan alat

pemaksa ketaatan dan disiplin anggota perkumpulan IPPAT dalam

menegakkan Kode Etik. Adapun sanksi-sanksi yang dimaksud yakni

sebagaimana yang termuat dalam Pasal 13 dan 14 63 dan Dalam Keputusan

63
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.

104
Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor : 112/KEP-4.1/IV/2017 Pasal 6 yakni :

a. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota perkumpulan IPPAT

yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa:

1) Teguran;

2) Peringatan;

3) Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan

perkumpulan IPPAT;

4) Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan

IPPAT; dan

5) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan

perkumpulan IPPAT.

b. Dalam hal PPAT melanggar kewajiban dan larangan dalam

menjalankan jabatannya, maka PPAT dapat dikenakan sanksi

berupa pemberhentian oleh Menteri. Pemberhentian oleh Menteri

tersebut, terdiri atas :

1) Permintaan sendiri;

2) Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan

kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan

oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan

Menteri/Kepala atau pejabat yang ditunjuk;

3) Merangkap jabatan

4) dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau

105
5) berada di bawah pengampunan secara terus menerus lebih dari

3 (tiga) tahun

c. PPAT diberhentikan dengan tidak hormat, karena:

1) Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban

sebagai PPAT; dan/atau

2) Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih

d. PPAT diberhentikan sementara, karena:

1) Sedang dalam pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu

perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan

atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat;

2) Tidak melaksanakan jabatan PPAT secara nyata waktu 60

(enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan

sumpah; untuk jangka

3) Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau

kewajiban sebagai PPAT;

4) Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan melaksanakan tugas

sebagai Notaris dengan tempat kedudukandi kabupaten/kota

yang lain daripada tempat kedudukan sebagai PPAT;

5) Dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran

utang;

106
6) Berada di bawah pengampuan; dan/atau

7) Melakukan perbuatan tercela.

4.2 Analisis Keabsahan Akta Jual Beli Tanah Yang Dibuat Oleh PPAT

Diluar Wilayah Jabatan

4.2.1 Analisis Perbuatan Hukum Jual Beli Tanah

Perbuatan hukum menurut R. Soeroso dalam bukunya Pengantar Ilmu

Hukum 64 adalah setiap perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja

untuk menimbulkan hak dan kewajiban. Perbuatan hukum adalah setiap

perbuatan subjek hukum (manusia atau badan hukum) yang akibatnya diatur

oleh hukum, karena akibat itu bisa dianggap sebagai kehendak dari yang

melakukan hukum.

Pada dasarnya PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai tanah

atau satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya, kecuali

ditentukan lain. Pelanggaran terhadap ketentuan ini mengakibatkan akta yang

dibuat tidak sah dan tidak dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran tanah.

Menurut pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persutujuan

dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Dalam pembuatan akta jual beli hak atas tanah maka “suatu kebendaan” yang

dimaksud diatas adalah hak atas tanah.

Akta Jual Beli hak atas tanah, termasuk hak milik atas satuan rumah

susun dibuat oleh PPAT manakal terjadi kesepakatan dari 2 (dua) pihak dimana

pihak yang satu menjual (pihak penjual) dan pihak lainya membeli (pihak

64
R. Soeroso. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 291.

107
pembeli) terhadap sebidang hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah

susun.

Unsur esensial yang ada dalam perjanjian jual beli Hak Atas Tanah atau

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun adalah adanya pertukaran anatara uang

dengan barang (yang dalam hal ini adalah Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun). Akibat hukum yang terjadi dengan ditandatanganinya

Akta Jual Beli adalah bahwa sejak saat itu hak atas tanah menjadi milik

pembeli dan uang yang akan dibayarkan oleh pembeli menjadi milik penjual.

Pertukaran kepemilikan antar penjual dan pembeli tersebut diatas terjadi

bersamaan pada saat ditandatanganinya Akta Jual Beli.

Berdasarkan uraian di atas, menurut penulis perbuatan hukum dari jual

beli tanah mengandung 4 unsur yakni unsur kebendaan (obyek), pemilik obyek

(penjual), pembeli dan pejabat umum (PPAT). Pemilik memiliki kelengkapan

surat-surat tanahnya dan dengan kesadaran mau memberikan atau menyetujui

(jual) obyek kepada pembeli (dengan memberikan sejumlah uang) dihadapan

pejabat umum (PPAT) dimana obyek termasuk wilayah kerjanya. Singkatnya,

jual beli tanah disebut sebagai perbuatan hukum apabila dalam proses jual beli

itu terdapat keempat unsur tersebut.

Kata “kesadaran” menunjukkan bahwa baik pihak penjual dan pembeli

dengan tahu dan mau melakukan kegiatan jual beli tersebut. Kesadaran juga

bisa berarti dewasa. Masalah kedewasaan dalam pembuatan akta berkaitan erat

dengan pertanyaan, “apakah ia akan menjadi pihak dalam pembuatan akta

memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan hukum agar perbuatanya sah dan

108
mengikat secara hukum.” Untuk boleh menanda tangani Akta, kedua belah

pihak harus sudah dewasa.

Hingga saat ini belum ada satu kesatuan pendapat mengenai berapa usia

yang dianggap dewasa, namun secara umum ada dua golongan pendapat yaitu :

1. Golongan yang mendasarkan pada usia dewasa menurut hukum

perdata barat (KUHPerdata) yaitu 21 tahun atau sudah menikah

sebelum usia 21 dan

2. Golongan yang mendasarkan kedewasaan menurut hukum adat bagi

golongan ini dewasa adalah sudah kuat gawe (mampu untuk

bekerja). Bagi golongan ini tidak ada usia yang pasti yang dijadikan

dasar sebagai dewasa. Sehingga kadangkala usia 18 atau 19 tahun

sudah dianggap dewasa. Berdasarkan surat edaran Menteri Negara

Argaria Kepala BPN No. 4/SE/I/2015 Tentang Batasan usia dewasa

dalam rangka pelayanan. Usia dewasa jika seseorang telah mencapai

usia 18 tahun. Namun hal ini di beberapa daerah masih dimasalahkan

oleh hakim karena hakim masih mengacu pada hukum perdata yang

menyatakan bahwa usia dewasa adalah 21 tahun.

Akta jual beli yang dibuat pejabat umum (PPAT dan / Notaris)

mengandung kekuatan hukum yakni kekuatan lahiriah (Uitwendige

Bewijskracht); kekuatan pembuktian formal (Formale Bewijskracht) dan

Kekuatan Pembuktian Material ( Materielle Bewijskracht) 65

65
Syukran Lubis, “Kekuatan Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis”, (www.blogspot.co.id,
diakses pada 13 Juni 2022, pukul 00.23 wib). Lubis menjelaskan bahwa Setiap akta autentik baik
akta yang dibuat oleh PPAT maupun akta yang dibuat oleh Notaris, dibedakan tiga kekuatan
pembuktian, yaitu : 1. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht) Yang dimaksud
dengan kekuatan pembuktian lahiriah adalah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan
lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus

109
Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa peralihan hak atas tanah terjadi

pada saat ditandatanganinya Akta Jual Beli bukan pada saat sertipikat hak atas

tanah sudah berganti menjadi nama pembeli. Konsekwensinya adalah bahwa

sejak ditandatanganinya Akta Jual Beli, maka pembeli sudah boleh menikmati

sepenuhnya apa yang dibeliya sebagai miliknya sendiri sehingga sudah boleh

untuk mengajukan permohonan ijin mendirikan bangunan atas namanya

sendiri, juga sudah boleh menjaminkan hak atas tanah kepada krediktur guna

mendapatkan kredit/pinjaman uang.

4.2.2 Analisis Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Oleh PPAT

Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa semua akta yang

merupakan kewenganan PPAT untuk membuatnya adalah akta yang bersifat

otentik, termasuk disini adalah Akta Jual Beli. Oleh karena itu PPAT dalam

membuat akta harus berhati-hati dalam semua aspek termasuk sebagaimana

cara membuat akta yang benar sehinggan memenuhi syarat untuk menjadi akta

otentik. Isi yang dituangkan dalam akta juga harus apa adanya dan tidak berisi

hal-hal yang direkayasa karena dapat menimbulkan masalah dikemudian hari.

Hal ini menjadi sangat penting agar akta otentik tersebut memiliki kekuatan

hukum.

diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. Dengan kekuatan lahiriah ini
dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta autentik.
2. Kekuatan Pembuktian Formal (Formale Bewijskracht) Dengan kekuatan pembuktian formal ini
oleh akta autentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan
itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu, dan selain dari itu kebenaran dari apa yang
diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam
menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang
disaksikan yakni yang dilihat, didengar, dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris dan PPAT sebagai
pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya tersebut. 3. Kekuatan Pembuktian Material (
Materielle Bewijskracht) Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian materil dari suatu
akta autentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari Notaris dan atau PPAT yang tercantum
dalam akta itu dan keterangan dari pihak yang tercantum didalamnya. Kepastian tentang materi
suatu akta sangat penting karena apa yang disebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah
terhadap pihak-pihak yang membuat akta kecuali ada pembuktian sebaliknya.

110
Pasal 1 dan pasal 3 PP nomor 37 tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa

akta-akta yang dibuat oleh PPAT adalah Akta Otentik oleh karena itu PPAT

dalam membuat akta harus mendasarkan pada syarat-syarat dan prosedur yang

ditentukan oleh peraturan perundang-undangan agar memenuhi syarat sebagai

akta otentik. Pengertian otentik dijelaskan oleh pasal 1868 KUHP perdata yang

berbunyi: “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh Undang-Undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai

umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. Pengertian

otentik untuk akta PPAT tentulah harus mencakup pada pengertian :

1. Dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

2. Dibuat di hadapan pegawai umum yaitu di hadapan PPAT;

3. Dibuat dan selesaikan dalam daerah kerja PPAT; dan

4. Untuk tanah-tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang

berada/terletak dalam daerah kerja PPAT.

Akta jual beli termasuk dalam jenis Partij Acte (Partai Akta), bukan

Ambtelijik Acte (akta pejabat) artinya bahwaa akta tersebut dibuat oleh para

pihak dihadapan PPAT. Oleh karena itu PPAT hanya menuangkan apa yang

disampaikan, dijelaskan dan diakui oleh para pihak ke dalam akta yang

dibuatnya sejauh apa yang disampaikan dijelaskan dan diakui oleh para pihak

itu tidak bertentangan dengan hukum maka PPAT boleh membuatkan aktanya.

Kebenaran atas apa yang disampaikan oleh para pihak, adalah tanggungjawab

para pihak bukan tanggungjawab PPAT, namun walaupun demikian PPAT

harus melakukan penghati-hatian dalam pembuatan akta, termasuk dalam

menerima keterangan-keterangan para pihak. PPAT tidak boleh menerima

111
mentah-mentah apa yang dinyatakan oleh penjual dan pembeli, PPAT tetap

harus melakukan penelitian akan kebenaran apa yang disampaikan. Dalam

pelaksanaan jual beli, terdapat 3 (tiga) tahapan yang perlu dilaksanakan oleh

PPAT, yaitu tahapan sebelum penandatanganan akta jual beli, tahapan pada

saat penandatanganan akta jual beli dan tahapan setelah penandatanganan akta

jual beli :

4.2.2.1 Analisis Pelaksanaan Kewenangan dan Kewajiban PPAT

Sebelum Penandatangan Akta Jual Beli.

Hal-hal pokok yang harus dilakukan PPAT adalah sebagai berikut :

a. Pengecekan Data Penjual dan Pembeli

b. Pengecekan Data Tanah Sebagai Obyek Jual Beli

c. Pengecekan Kewajiban Pembayaran Pajak (Pajak Penghasilan

dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan)

Sebelum akta dibuat PPAT meminta penjual dan pembeli

mengumpulkan dahulu syarat-syarat yang diperlukan, antara lain :

a. KTP suami dan istri penjual dan pembeli;

b. Akta nikha bagi yang telah menikah;

c. Kartu keluarga penjual dan pembeli;

d. PBB dan bukti pembayaran;

e. Sertipikat asli (untuk pengecekan);

f. NPWP penjual dan pembeli;

g. Ijin Mendirikan Bangunan (apabila terdapat bangunan)

h. Syarat-syarat lain yang diperlukan misalnya surat kuasa

menjual surat kuasa membeli (bila dikuasakan);

112
i. Ijin pemindahan hak (bila diperlukan);

j. Ijin klarifikasi/ijin penggunaan tanah (bila diperlukan

misalnya pembelinya adalah (badan hukum).

Dari data-data tersebut, PPAT melakukan verifikasi atas :

a. Data Penjual dan Pembeli :

Untuk mengetahui kelengkapan data dan kewenangan

bertindak dari Penjual dan Pembeli.

b. Data Obyek Jual Beli :

Untuk mengetahui keabsahan sertipikat tanah Objek Jual

Beli melalui pengecekan pada kantor tanha yang

berwenangan

4.2.2.2 Analisis Pelaksanaan Kewenangan dan Kewajiban PPAT Pada

Saat Penandatanganan Akta Jual Beli

a. Bertemu Dengan Penjual dan Pembeli;

Dalam akta jual beli terdapat frasa “Hadir dihadapan saya … PPAT”.

Arti dari frasa tersebut berarti Para Penghadap, yaitu Penjual dan

Pembeli bertemu dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam rangka

pelaksanaan transaksi jual beli tanah melalui penandatanganan akta

jual beli. Adapun esensi utama tujuan bertemu dengan penjual dan

pembeli dalam transaksi jual beli adalah untuk :

1) Memastikan identitas dan kepastian diri dari Penjual dan

Pembeli (dengan bertemu langsung);

2) Memastikan kesepakatan atas kehendak jual beli di antara

Penjual dan Pembeli;

113
3) Memastikan kesepakatan atas isi akta jual beli di antara

Penjual dan Pembeli.

b. Melakukan Verifikasi Data Penjual dan Pembeli.

Veritikasi data penjual dan pembeli dalam hal ini adalah

memeriksa data-data asli identitas dan data pribadi penjual dan

pembeli. Pengecekan data asli dalam hal ini hanya berupa pengecekan

formal dengan meminta diperlihatkan dokumen asli tanpa

berkewajiban melakukan pengecekan kebenaran material dari

dokumen asli tersebut. Kebenaran material dalam hal ini berarti

apakah dokumen itu memang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.

c. Membacakan Akta Jual Beli;

Salah satu kewajiban PPAT dalam melaksanakan

kewenangannya adalah membacakan isi akta kepada para penghadap.

Dalam hal jual beli, yang dibacakan oleh PPAT adalah akta Jual Beli,

yang memuat uraian data penjual dan pembeli, obyek jual beli, harga

dan tata cara pembayaran serta kesepakatan lainnya dalam suatu

blangko yang sudah ditentukan oleh kantor Pertanahan.

d. Memastikan Pelaksanaan Pembayaran Harga Jual Beli;

Akta jual beli tanah merupakan akta otentik yang memiliki

fungsi sebagai alat bukti tertulis atas pengalihan hak atas tanah

(dan/atau hak milik atas satuan rumah susun). Dalam jual beli, harga

jual beli selalu diatur dengan frasa “Pihak Pertama (Penjual) mengaku

telah menerima sepenuhnya uang tersebut diatas dari Pihak Kedua

114
(Pembeli) dan untuk penerimaan uang tersebut akta ini berlaku pula

sebagai tanda penerimaan yang sah (kwitansi)”.

Hal tersebut berarti dengan ditandatanganinya Akta Jual Beli,

Penjual mengaku telah menerima uang pembayaran atas harga jual

beli. Untuk itulah PPAT memiliki peranan yang sangat penting untuk

memastikan terlaksananya pembayaran harga jual beli dari Pembeli

kepada Penjual pada saat ditandatanganinya akta jual beli.

e. Menandatangani Akta Jual Beli

Setelah pembacaan akta jual beli, Penjual dan Pembeli

membubuhkan tandatangan pada akta jual beli sebagai bukti

persetujuannya. PPAT dan 2 (dua) orang saksi PPAT juga wajib

membubuhkan tandatangan sebagai pengesahan atas akta jual beli

tersebut.

4.2.2.3 Analisis Penandatanganan Kewenangan dan Kewajiban PPAT

Setelah Penandatanganan Akta Jual Beli

a. Mengeluarkan Salinan Akta Jual Beli;

b. Melakukan Pendaftaran Peralihan Hak Pada Kantor Pertanahan

Yang Berwenang.

Berdasarkan Pasal 40 PP nomor 24 tahun 1997 tentang

pendaftaran tanah, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal

ditandatanganinya akta jual beli, PPAT wajib menyampaikan akta yang

dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada kantor

pertanahan untuk di daftar.

115
Pengaturan demikian bertujuan agar pemeliharaan data tanah

dapat terlaksana dengan baik. Ada kewajiban pendaftaran sebagai bagian

dari pelaksanaan tertib administrasi kegiatan pemeliharaan data tanah,

sehingga tidak ada lagi adanya suatu peralihan hak dengan jual beli

namun nama pemegang haknya belum tercatat pada kantor pertanahan

yang berwenang.

Dengan mengikuti proses di atas, maka telah terjadi perbuatan

hukum sebagaimana menurut pasal 1457 KUHPerdata yang dimaksud

jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya dan menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang

lain membayar yang telah dijanjikan. Dalam hukum adat sistim yang

dipakai berkenaan dengan jual beli hak atas tanah umumnya dikenal

dengan tunai, riil dan terang. PPAT dilarang menandatangani akta jual

beli jika jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai (kata tunai dalam

hal ini berarti pembayaran secara lunas dan bukan diartikan dibayar

dengan uang tunai). Dengan demikian peralihan hak atas tanah telah

terjadi pada saat ditandatangani akta jual beli oleh PPAT.

Setelah penjual dan pembeli mengerti akan maksud dan isi akta

barulah dilakukan pendandatanganan akta, setelah ditandatangani maka

dalam waktu paling lambat 7 hari kerja PPAT wajib mendaftarkan Akta

Jual Beli tersebut ke Kantor Pertanahan. Apabila persyaratan untuk

pendaftaran jual beli tersebut lengkap maka Kantor Pertanahan akan

menerima pendaftaran itu dan membuatkan tanda penerima (bukti

pendaftaran), selanjutnya PPAT wajib memberitahukan kepada pihak

116
pembeli mengenai telah diserahkannya permohonan pendaftaran

peralihan hak beserta akta PPAT dan berkas berkasnya ke Kantor

Pertanahan guna proses balik nama ke nama pembeli dengan

menyerahkan tanda bukti pendaftarannya. Kewajiban untuk memberikan

ini adalah amanat dari pasal 103 ayat 5 PMNA nomor 3 tahun 1997 yang

dalam praktek PPAT jarang dilakukan. Pada umumnya pembeli tidak

mengurus sendiri proses balik namanya melainkan percaya saja dan

memberi kuasa kepada PPAT untuk menyelesaikan semua proses yang

harus diselesaikan sampai balik namanya kepada pembeli selesai lalu

pembeli menerima sertipikat atas namanya dari kantor PPAT.

4.2.3 Analisis Wilayah Kerja Jabatan PPAT

Menganalisis wilayah kerja jabatan PPAT maka sebuah distingsi

dilakukan untuk perbandingan pengaturan wilayah jabatan Notaris dan PPAT.

Guna melakukan perbandingan pengaturan wilayah jabatan Notaris dan PPAT,

perlu analisa kembali terkait definisi, kewenangan dan wilayah kerja Notaris

dan PPAT sebagaimana yang diatur berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

1. Definisi Notaris dan PPAT :

a. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang

lainnya (Pasal 1 ayat 1 Undang-undang nomor 2 tahun 2014

tentang Jabatan Notaris);

117
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang

diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

atas Satuan Rumah Susun.

Dari definisi di atas, terdapat persamaan dan perbedaan antara

Notaris dan PPAT, yaitu :

a. Kesamaan :

1) Sama-sama merupakan Pejabat Umum;

2) Sama-sama diberikan kewenangan membuat akta-akta otentik.

b. Perbedaan :

1) Kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik memiliki

cakupan kewenangan yang luas sebagaimana diatur dalam

UUJN dan peraturan perundang-undangan lainnya.

2) Kewenangan PPAT dalam membuat akta otentik hanya sebatas

mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah

dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

2. Kewenangan Notaris dan PPAT :

a. Kewenangan Notaris :

1) Kewenangan Pokok :

Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh

yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,

menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan

118
Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya

itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang

ditetapkan oleh undang-undang.

2) Selain kewenangan pokok sebagaimana dimaksud di atas,

Notaris berwenang pula :

a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian

tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus;

b) membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar

dalam buku khusus;

c) membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa

salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan

digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya;

e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan

pembuatan Akta;

f) membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g) membuat Akta risalah lelang.

3) Selain kewenangan tersebut di atas, Notaris mempunyai

kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan, antara lain kewenangan mensertifikasi transaksi

119
yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat

Akta ikrar wakaf dan hipotek pesawat terbang.

b. Kewenangan PPAT :

1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan

dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran

tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2) Perbuatan hukum yang dimaksud adalah :

a) jual beli;

b) tukar menukar;

c) hibah;

d) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e) pembagian hak bersama;

f) pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak

Milik;

g) pemberian Hak Tanggungan;

h) pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Dari uraian kewenangan Notaris dan PPAT tersebut di atas, dapat

disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

a. Notaris memiliki kewenangan membuat akta autentik mengenai

semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan

120
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki

oleh para pihak untuk dinyatakan dalam akta autentik;

Notaris juga memiliki kewenangan membuat akta yang

berkaitan dengan pertanahan. Namun dalam pelaksanaan

kewenangan Notaris, terdapat pembatasan bahwa Notaris

berwenang membuat akta autentik yang sepanjang tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang

lain yang ditetapkan oleh Undang-undang. Dalam

implementasinya terkait akta yang berkaitan dengan

pertanahan, Notaris berwenang membuat akta terkait

pertanahan selain yang kewenangannya telah diberikan kepada

PPAT.

b. Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan

dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran

tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Tugas pokok PPAT disebut sebagai melaksanakan sebagian

kegiatan pendaftaran tanah adalah karena pada dasarnya

kegiatan pendaftaran tanah ada 2 (dua), yaitu kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan

pemeliharaan data tanah.

121
Tugas pokok PPAT adalah membuat akta terkait perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas

Satuan Rumah Susun yang akan menjadi dasar pendaftaran

perubahan yang merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan

data tanah.

c. PPAT hanya berwenang untuk membuat akta mengenai hak

atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun untuk

perbuatan hukum tertentu saja, yaitu jual beli, tukar menukar,

hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian

hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas

tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian

kuasa membebankan Hak Tanggungan.

3. Daerah Kerja Notaris dan PPAT :

a. Pengaturan Daerah Kerja Notaris :

1) Tempat kedudukan dan wilayah jabatan :

a) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah

kabupaten atau kota;

b) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh

wilayah provinsi dari tempat kedudukannya;

2) Kantor Notaris :

Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu ditempat

kedudukannya;

3) Pembatasan Kewenangan Notaris Berkaitan Wilayah Kerja

122
Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan

jabatannya di luar tempat kedudukannya;

4) Larangan Notaris Berkaitan Wilayah Kerja :

a) Notaris dilarang menjalankan jabatan diluar wilayah

jabatannya;

b) Notaris dilarang meninggalkan wilayah jabatannya

lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan

yang sah.

b. Pengaturan Daerah Kerja PPAT :

1) Pengertian Daerah Kerja PPAT :

Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang

menunjukkan kewenangan seorang PPAT untuk membuat

akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan

Rumah Susun yang terletak di dalamnya.

2) Daerah Kerja PPAT :

a) Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi;

i. Aturan ini mengacu kepada Pasal 12 PP nomor 24

tahun 2016. Namun hingga saat ini, pengaturan

belum efektif karena hingga saat ini, belum ada

implementasi dari Kementerian Agraria terkait

perubahan dan/atau pembaharuan Surat Keputusan

Pengangkatan PPAT yang memberikan kewenangan

atas daerah kerja satu wilayah provinsi.

123
ii. Dengan demikian, hingga saat ini yang berlaku bagi

PPAT adalah daerah kerja PPAT yang diatur dalam

Pasal 12 PP 37 tahun 1998, yaitu satu wilayah kerja

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya.

iii. Tempat kedudukan PPAT adalah di kabupaten/kota

di provinsi yang menjadi bagian dari daerah kerja.

3) Kantor PPAT :

a) PPAT wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di

tempat kedudukannya;

b) PPAT yang merangkap jabatan sebagai Notaris, harus

berkantor yang sama dengan tempat kedudukan Notaris.

4) Pembatasan Kewenangan PPAT Berkaitan Wilayah Kerja :

a) PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak

atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

yang terletak di dalam daerah kerjanya;

b) Pengecualian atas ketentuan di atas adalah Akta tukar

menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan

akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak

atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

yang tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja

seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah

kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan

rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan

hukum dalam akta.

124
5) Larangan PPAT Berkaitan Wilayah Kerja :

a) PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari 6


(enam) hari kerja berturut-turut kecuali dalam rangka
menjalankan cuti.
b) Dalam pengaturan Daerah Kerja Notaris dan PPAT,
terdapat perbedaan pokok dan esensial terkait
pengertian daerah kerja yang berkenaan dengan
pelaksanaan kewenangan Notaris dan PPAT. Adapun
perbedaan pokok dan esensial sebagaimana dimaksud
adalah sebagai berikut :
i. Perbedaan Pada Daerah Kerja :

Daerah Kerja Notaris adalah suatu wilayah

jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari

tempat kedudukannya (daerah kabupaten atau

kota). Hal tersebut berarti wilayah jabatan

Notaris lebih luas dari tempat kedudukannya.

Sebagai contoh : Apabila seorang Notaris

berkedudukan di Jakarta Barat, maka wilayah

kerjanya adalah Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta. Apabila seorang Notaris

berkedudukan di Kota Depok, maka wilayah

kerjanya adalah Provinsi Jawa Barat. Namun

tetap mengacu kepada ketentuan tidak secara

teratur melakukan kewenangan diluar tempat

kedudukan.

ii. Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah kerja

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya

125
- Pada dasarnya Pasal 12 PP nomor 24 tahun

2016 mengatur bahwa Daerah Kerja PPAT

adalah satu wilayah provinsi. Namun hingga

saat ini, pengaturan belum efektif karena hingga

saat ini, belum ada implementasi dari

Kementerian Agraria terkait perubahan dan/atau

pembaharuan Surat Keputusan Pengangkatan

PPAT yang memberikan kewenangan atas

daerah kerja satu wilayah provinsi.

- Dengan demikian, hingga saat ini yang

berlaku bagi PPAT adalah daerah kerja PPAT

yang diatur dalam Pasal 12 PP 37 tahun 1998,

yaitu satu wilayah kerja Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya.

iii. Perbedaan Obyek Pembatasan Kewenangan

Dalam Pengaturan Daerah Kerja :

- Pengaturan Daerah Kerja pada Notaris dan

PPAT pada dasarnya adalah untuk memberikan

pembatasan pada Notaris dan PPAT dalam

pelaksanaan kewenangannya. Hanya saja,

terdapat perbedaan yang pokok atau esensial

dalam fokus pembatasan pada daerah kerja

Notaris dan PPAT, yaitu :

126
iv. Fokus Pembatasan Kewenangan Notaris

Berdasarkan Daerah Kerja.

- Fokus Pembatasan Kewenangan Notaris

Berdasarkan Daerah Kerja adalah daerah atau

wilayah dimana Notaris dapat melaksanakan

kewenangannya dalam membuat akta autentik.

Dalam arti yang lebih spesifik adalah daerah

atau wilayah dimana Notaris dapat hadir dan

melaksanakan penandatanganan akta autentik.

- Dengan demikian, fokus pembatasan

kewenangan Notaris berdasarkan daerah kerja

adalah pembatasan ruang gerak Notaris (lokasi

pelaksanaan kewenangan Notaris). Hal tersebut

ditegaskan pada larangan Notaris, yaitu Notaris

dilarang menjalankan jabatan diluar wilayah

jabatannya.

- Notaris berwenang membuat akta autentik

tentang perbuatan hukum, perjanjian, dan

penetapan yang dikehendaki oleh peraturan

perundang-undangan dan/atau para pihak atas

obyek yang terletak dimana saja (baik di dalam

daerah kerja maupun diluar daerah kerja

Notaris), sepanjang Notaris, para pihak

(penghadap) dan saksi-saksi melaksanakan

127
penandatanganan akta di dalam Daerah Kerja

Notaris (seluruh wilayah dalam satu provinsi

yang sama dengan tempat kedudukan Notaris).

Sebagai contoh : Notaris yang berkedudukan di

Jakarta Barat (dengan daerah kerja seluruh

wilayah di Provinsi DKI Jakarta) berwenang

membuat akta perjanjian pengikatan jual beli

atas tanah yang terletak di Kota Surabaya (Jawa

Timur), sepanjang Notaris, para pihak

(penghadap) dan saksi-saksi melaksanakan

penandatanganan akta di wilayah DKI Jakarta.

- Sebaliknya Notaris yang berkedudukan di

Jakarta Barat (dengan daerah kerja seluruh

wilayah di Provinsi DKI Jakarta) tidak

berwenang membuat akta perjanjian pengikatan

jual beli atas tanah yang terletak di Jakarta,

apabila Notaris, para pihak (penghadap) dan

saksi-saksi melaksanakan penandatanganan akta

di luar wilayah DKI Jakarta, misalnya di Kota

Tangerang.

Dengan demikian, sekali lagi ditegaskan

bahwa fokus pembatasan kewenangan Notaris

berdasarkan daerah kerja adalah pembatasan

ruang gerak Notaris (lokasi pelaksanaan

128
kewenangan Notaris) dan bukan pembatasan

pada letak (lokasi) obyek.

v. Fokus Pembatasan Kewenangan PPAT

Berdasarkan Daerah Kerja.

- Untuk mengetahui fokus pembatasan

kewenangan PPAT berdasarkan daerah kerja

adalah dengan menganalisa definisi daerah kerja

PPAT dan kewenangan pokok PPAT itu sendiri.

Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah

yang menunjukkan kewenangan seorang PPAT

untuk membuat akta mengenai hak atas tanah

dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang

terletak di dalamnya. Dari definisi tersebut

dapat diuraikan unsur daerah kerja PPAT

adalah:

− Suatu Wilayah;
− Yang menunjukkan kewenangan seorang
PPAT;
− Untuk membuat akta mengenai hak atas
tanah dan
− Hak Milik atas Satuan Rumah Susun; Yang
terletak di dalamnya (di dalam wilayah
kerja PPAT).
Hal tersebut ditegaskan kembali pada kewenangan pokok PPAT

yaitu membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu (jual

beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),

129
pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai

atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian

kuasa membebankan Hak Tanggungan) mengenai hak atas tanah dan

Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah

kerjanya.

Dengan demikian, fokus pembatasan kewenangan PPAT

berdasarkan daerah kerja adalah pembatasan pada letak obyeknya

(obyek hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun).

Pembatasan kewenangan PPAT mengacu kepada kewenangan PPAT

yang hanya dapat membuat perbuatan hukum atas hak atas tanah atau

Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berada di dalam daerah

kerjanya.

Hal tersebut ditegaskan kembali dalam pengaturan tentang

pelanggaran PPAT, dimana PPAT dianggap melakukan pelanggaran

berat, salah satunya adalah PPAT melakukan pembuatan akta atas tanah

atau hak milik atas rumah susun diluar wilayah kerjanya (pengecualian

atas ketentuan di atas adalah Akta tukar menukar, akta pemasukan ke

dalam perusahaan dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa

hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak

semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat

oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau

satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum

dalam akta).

130
Dengan demikian, sekali lagi ditegaskan bahwa fokus pembatasan

kewenangan PPAT berdasarkan daerah kerja adalah pembatasan pada

letak obyeknya (obyek hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan

Rumah Susun) bukan pembasan ruang gerak (lokasi) PPAT dalam

melaksanakan penandatanganan akta.

Dari analisa di atas, dapat disimpulkan perbedaan pokok dan/atau

esensial pada fokus pembatasan kewenangan Notaris dan PPAT

sehubungan dengan daerah kerja adalah sebagai berikut :

- Fokus pembatasan kewenangan Notaris berdasarkan daerah kerja

adalah pembatasan ruang gerak Notaris (lokasi pelaksanaan

kewenangan Notaris) dan bukan pembatasan pada letak (lokasi)

obyek; dan

- Fokus pembatasan kewenangan PPAT berdasarkan daerah kerja

adalah pembatasan pada letak obyeknya (obyek hak atas tanah

atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun) bukan pembasan ruang

gerak (lokasi) PPAT dalam melaksanakan penandatanganan akta.

4.2.4 Analisis Kebasahan Akta Jual Beli Tanah Yang Dibuat Oleh PPAT

Diluar Wilayah Jabatan

4.2.2.4 Analisis Keabsahan Akta Jual Beli Yang Ditandatangani Di

luar Wilayah Jabatan PPAT

Sebagaimana yang telah dianalisa sebelumnya, kewenangan PPAT

untuk membuat akta didasarkan pada kenyataan dimana tanah atau Hak

131
Milik atas Satuan Rumah Susun tersebut terletak/berada, bukan pada hal

dimanakah para penghadap (misalnya penjual dan pembeli) dapat

berkumpul dan menandatangani akta, atau pada hal dimanakah domisili

pemegang hak atau domisili calon penerima hak berada.

Sedangkan Notaris berwenang membuat akta autentik tentang

perbuatan hukum, perjanjian, dan penetapan yang dikehendaki oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau para pihak atas obyek yang

terletak dimana saja (baik di dalam daerah kerja maupun diluar daerah

kerja Notaris), sepanjang Notaris, para pihak (penghadap) dan saksi-saksi

melaksanakan penandatanganan akta di dalam Daerah Kerja Notaris

(seluruh wilayah dalam satu provinsi yang sama dengan tempat kedudukan

Notaris).

Terdapat perbedaan pokok dan esensial pada fokus pembatasan

kewenangan Notaris dan PPAT, dimana fokus pembatasan kewenangan

Notaris berdasarkan daerah kerja adalah pembatasan ruang gerak Notaris

(lokasi pelaksanaan kewenangan Notaris) dan bukan pembatasan pada

letak (lokasi) obyek. Sedangkan fokus pembatasan kewenangan PPAT

berdasarkan daerah kerja adalah pembatasan pada letak obyeknya (obyek

hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun) bukan pembasan

ruang gerak (lokasi) PPAT dalam melaksanakan penandatanganan akta.

Dengan mengacu kepada analisa di atas, maka PPAT berhak dan

berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu (jual

beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),

pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas

132
tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian kuasa

membebankan Hak Tanggungan) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik

atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya,

sekalipun lokasi pelaksanaan penandatanganannya berada diluar wilayah

jabatan PPAT yang bersangkutan. Sebagai contoh :

a. PPAT Kabupaten Bekasi :

1) Tempat kedudukan : Kabupaten Bekasi;


2) Wilayah Jabatan : Kabupaten Bekasi;
3) Kewenangan : Membuat akta PPAT untuk obyek Hak atas
tanah dan/atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di seluruh Kabupaten Bekasi.
Dalam menjalankan kewenangannya PPAT Kabupaten Bekasi

berhak dan berwenang membuat akta jual beli tanah yang terletak

di Kabupaten Bekasi. Lokasi atau tempat penandatanganan akta

jual beli tanah tersebut dapat dilakukan di Kantor PPAT, di tempat

atau lokasi lain di Kabupaten Bekasi dan/atau ditempat atau lokasi

lain di luar Kabupaten Bekasi.

b. PPAT Kota Depok :


1) Tempat kedudukan : Kota Depok;
2) Wilayah Jabatan : Kota Depok;
3) Kewenangan : Membuat akta PPAT untuk obyek Hak atas
tanah dan/atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di seluruh Kota Depok.
Dalam menjalankan kewenangannya PPAT Kota Depok berhak dan

berwenang membuat akta jual beli tanah yang terletak di Kota Depok.

Lokasi atau tempat penandatanganan akta jual beli tanah tersebut dapat

133
dilakukan di Kantor PPAT, di tempat atau lokasi lain di Kota Depok

dan/atau ditempat atau lokasi lain di luar Kota Depok

Dengan mengacu kepada kewenangan PPAT diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa akta jual beli yang ditandatangani diluar wilayah

jabatan PPAT adalah tetap sah dan mengikat serta memiliki kekuatan

hukum pembuktian akta otentik, sepanjang PPAT yang membuat akta

jual beli tersebut memiliki wilayah jabatan yang sama dengan letak

obyek hak atas tanah dan/atau hak atas satuan rumah susun yang

ditransaksikan dalam jual beli tersebut.

4.2.2.5 Analisis Keabsahan Akta Jual Beli Yang Dibuat Oleh PPAT

Yang Letak Obyeknya Di luar Wilayah Jabatan PPAT.

Dalam analisis di atas telah dijelaskan bahwa PPAT tidak

berwenang untuk membuat akta atas obyek hak atas tanah dan hak milik

atas satuan rumah susun yang terletak diluar wilayah jabatannya. Pada

dasarnya Pasal 12 PP nomor 24 tahun 2016 mengatur bahwa Daerah Kerja

PPAT adalah satu wilayah provinsi. Namun hingga saat ini, pengaturan

belum efektif karena hingga saat ini, belum ada implementasi dari

Kementerian Agraria terkait perubahan dan/atau pembaharuan Surat

Keputusan Pengangkatan PPAT yang memberikan kewenangan atas

daerah kerja satu wilayah provinsi. Dengan demikian, hingga saat ini yang

berlaku bagi PPAT adalah daerah kerja PPAT yang diatur dalam Pasal 12

PP 37 tahun 1998, yaitu satu wilayah kerja Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya.

134
Dari ketentuan pasal di atas dapat disimpulkan bahwa PPAT hanya

berwenang untuk membuat akta-akta atau Hak Milik atas Satuan Rumah

Susun yang berada dalam daerah kerjanya, yaitu satu wilayah kerja Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Namun atas ketentuan tersebut,

terdapat pengecualian, yaitu akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam

perusahaan dan akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas

tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang tidak semuanya

terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang

daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun

yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta.

Pengaturan tersebut memberi ruang pengecualian bagi PPAT untuk

membuat akta atas obyek hak atas tanah dan hak milik satuan rumah susun

diluar wilayah jabatannya. Pada dasarnya, hal tersebut bukan untuk

memberikan perluasan wilayah kewenangan PPAT, namun hanya semata-

mata untuk efisiensi dan efektivitas pelaksanaannya saja. Sebagai contoh

atas implementasi pengecualian ini adalah sebagai berikut :

a. si Amal memiliki sebidang tanah di Sleman sedangkan si Baik

memiliki sebidang tanah dan rumah di Jakarta. Mereka sepakat

melakkukan tukar menukar atas apa yang mereka miliki. Proses

tukar menukarnya dilaksanakan di Jakarta. Maka PPAT Kabupaten

Sleman dapat datang ke Jakarta dan membuat akta tukar menukar

antara si Amal dan si Baik. Karena salah satu objek tanah (milik si

Amal) termasuk dalam wilayah jabatan PPAT Sleman.

135
b. Untuk pembuatan Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng)

dimana hak atas tanah yang akan di-inbreng-kan ada 3 bidang yaitu

terletak di Kota Semarang, Kota Yogyakarta dan Kabupaten

Klaten, maka PPAT yang boleh membuatkan Akta Pemasukan ke

dalam Perusahaan hanyalah salah satu dari PPAT yang daerah

kerjanya Kota Semarang, atau PPAT yang daerah kerjanya Kota

Yogyakarta atau PPAT yang daerah kerjanya Kabupaten Klaten.

c. Untuk pembuatan APHB atas tiga bidang hak atas tanah yang

masing-masing terletak di Kabupaten Maros, Kabupaten Bantul

dan Kota Bandung, maka PPAT yang boleh membuat akta APHB

tersebut hanyalah salah satu dari PPAT yang daerah kerjanya

Kabupaten Maros atau PPAT yang daerah kerjanya Kabupaten

Bantul atau PPAT yang daerah kerjanya Kota Bandung.

Oleh karena terdapat pengaturan yang tegas terhadap kewenangan PPAT

dalam membuat akta hanya atas obyek hak atas tanah dan hak milik atas

satuan rumah susun yang berada di wilayah kerjanya (kecuali terpenuhinya

pengecualian tersebut), maka akibat hukum atas akta jual beli yang dibuat

oleh PPAT yang kewenangannya diluar wilayah obyek jual beli tersebut

adalah :

a. Penolakan Pendaftaran Jual Beli Oleh Kantor Pertanahan;

Berdasarkan Pasal 40 PP nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal

ditandatanganinya akta pemindahan hak, PPAT wajib

136
menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen

yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

Pada dasarnya, apabila suatu akta pemindahan hak, antara

lain akta jual beli, yang dibuat oleh PPAT yang kewenangannya

diluar wilayah obyek jual beli tersebut, maka pendaftaran

peralihannya pada Kantor Pertanahan yang berwenang pasti akan

ditolak oleh Kantor Pertanahan tersebut. Adapun alasannya adalah

karena PPAT yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan untuk

membuat akta yang obyeknya berada diluar wilayah kerjanya

(kecuali memenuhi unsur pengecualiannya).

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 37 ayat 1 PP nomor 24

tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa :

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan
dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Artinya akta jual beli yang dibuat oleh PPAT yang tidak berwenang

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

tidak dapat didaftarkan pada kantor pertanahan untuk peralihan

haknya.

b. Akta Jual Beli tersebut Terdegradasi Menjadi Akta Dibawah

Tangan.

Suatu akta jual beli yang dibuat oleh PPAT yang tidak

memiliki kewenangan karena obyek jual beli berada diluar

137
kewenangan berarti akta jual beli tersebut tidak memiliki kekuatan

pembuktian sebagai suatu akta otentik karena dibuat oleh pejabat

umum (dalam hal ini PPAT) yang tidak berwenang.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 ayat 1 PP nomor

24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa :

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan
dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”

Pengaturan di atas tidak menyatakan bahwa peralihan hak

atas tanah dan hak milik satuan rumah susun melalui jual beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan

hukum pemindahan hak lainnya (kecuali pemindahan hak melalui

lelang) menjadi batal demi hukum apabila dilakukan oleh PPAT

yang tidak berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Aturan tersebut hanya menyatakan bahwa

apabila dilakukan oleh PPAT yang tidak berwenang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka

pendaftaran peralihannya tidak dapat didaftarkan (karena unsur

formalitasnya yaitu akta otentik yang dibuat oleh PPAT yang

berwenang tidak terpenuhi).

Pengaturan tersebut memberikan penegasan bahwa

hilangnya sifat keotentikan atas akta jual beli yang dibuat oleh

PPAT yang tidak berwenang tersebut tidak berarti perbuatan

138
hukum yang diatur dalam akta jual beli tersebut batal demi hukum.

Perbuatan jual belinya tetap ada, yaitu :

− Adanya penjual dan pembeli;


− Adanya obyek jual beli;
− Adanya pembayaran atas harga jual beli;
− Adanya penyerahan obyek jual beli;
− Adanya kesepakatan yang dituangkan dalam isi akta jual
beli.
Dengan batalnya sifat keotentikan dari akta jual beli tersebut

sehingga pendaftaran peralihannya tidak dapat dilakukan,

sedangkan perbuatan jual belinya tetap sah, maka terdapat 2 (dua)

upaya yang dapat dilakukan oleh Pembeli agar haknya dapat

terpenuhi, yaitu diterimanya pendaftaran peralihan haknya oleh

kantor pertanahan adalah sebagai berikut :

1) Membuat akta jual beli kembali pada PPAT yang berwenang;

-Oleh karena akta jual belinya dibuat oleh PPAT yang tidak

berwenang, maka solusi atas permasalahan ini adalah

pembuatan kembali akta jual beli dihadapan PPAT yang

berwenang. Adapun syarat utama dari solusi ini adalah Penjual

yang bersangkutan bersedia untuk menandatangani kembali

akta jual beli tersebut. Apabila Penjual tidak lagi bersedia

dan/atau tidak dapat lagi dihubungi, maka dapat dilakukan

upaya hukum kedua.

2) Melakukan gugatan pada pengadilan.

139
Apabila Penjual tidak lagi bersedia dan/atau tidak dapat lagi

dihubungi, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah

dengan cara menggugat Penjual dan PPAT serta Kantor

Pertanahan pada pengadilan, dengan tujuan agar :

i. Pengadilan mengesahkan kembali perbuatan hukum

jual beli tersebut dan menyatakan bahwa Pembeli

adalah pemegang hak yang sah atas obyek jual beli

tersebut;

ii. Pengadilan memerintahkan :

− Penjual untuk menandatangani kembali akta


jual beli dihadapan PPAT yang berwenang; atau
− Kantor Pertanahan mencatatkan pendaftaran
peralihan hak atas jual beli tersebut sehingga
nama Pembeli tercatat sebagai pemegang hak-
nya; atau
− PPAT yang berwenang membuat akta jual beli
dengan tanpa kehadiran Penjual, dimana
Pembeli diberikan kewenangan untuk
menandatangani akta jual beli sebagai kuasa
dari Penjual.
Terhadap PPAT yang membuat akta diluar kewenangannya

tersebut sehingga mengakibatkan tidak dapat dilakukannya

pendaftaran peralihan haknya, maka Pembeli dapat melakukan

gugatan perdata kepada PPAT yang bersangkutan dan dimintakan

ganti rugi dan/atau denda atas kelalaian yang dilakukan PPAT

tersebut.

140

Anda mungkin juga menyukai