Hak Guna Usaha adalah salah satu hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA
yakni pada Pasal 16 ayat (1) huruf b. Secara khusus dalam UUPA, Hak Guna Usaha
diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Pasal 50 ayat (2) juga
menyebutkan terkait Hak Guna Usaha yakni “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut
mengenai hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa untuk
bangunan diatur dengan peraturan perundang-undangan”. Adapun ketentuan yang
dimaksud tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah yang kemudian telah
dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan,
Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Pengertian mengenai Hak Guna Usaha dalam Pasal 28 ayat (1) UUPA bahwa
“Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan, atau peternakan”. Sebagaimana telah disebut demikian, asal tanah
Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Oleh karena itu, jika asal tanah HGU berupa
tanah hak, harus terlebih dahulu dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh
pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang Hak Guna
Usaha.1 Namun, dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 disebutkan
bahwa Tanah Hak Guna Usaha dapat diberikan di atas tanah Hak Pengelolaan.
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenadamedia Group, Jakarta, 2012, h.102
1
Terbitnya sertipikat sebagai tanda bukti hak dan pernyataan bahwa HGU lahir
adalah sebagai salah satu tujuan dari pendaftaran tanah dimana dalam Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah untuk memberi jaminan kepastian hukum, dan
perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun, dan hak lain yang terdaftar agar dapat dibuktikan bahwa memang benar yang
bersangkutan adalah pemegang hak tersebut. Kedudukan sertipikat sebagai tanda bukti
hak tersebut memiliki peranan penting, sebab sertipikat dapat berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat sebagaimana disebut dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan
dijabarkan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yaitu:
“Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang dat fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan”
Sebagai salah satu tanda bukti hak, sertipikat termasuk dalam suatu Keputusan
Tata Usaha Negara yang disebut dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagai suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka sertipikat perlu memenuhi
beberapa syarat agar memenuhi keabsahan suatu keputusan. Sebagaimana disebutkan
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
yakni yang termuat dalam Pasal 52 ayat (1) bahwa: “Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b. Dibuat sesuai prosedur; dan c. Substansi
yang sesuai dengan objek Keputusan”. Oleh karena itu, dalam memperhatikan
keabsahan Hak Guna Usah tersebut perlu dilihat kewenangan, prosedur, dan
substansinya.
Sumber kewenangan yang diperoleh oleh BPN dalam hal pendaftaran tanah
sebagai salah satu urusan pemerintah adalah sumber wewenang berupa mandat. Dimana
mandate merupakan cara perolehan wewenang pada satu pejabat dari pejabat lain yang
mana pejabat lain pemberi mandate memperoleh wewenang berdasar atribusi atau
delegasi.4 Pada sumber wewenang berupa mandate, maka tanggung jawab tetap berada
pada pemberi mandate tersebut. Salah satu sumber wewenang berupa mandat di bidang
pertanahan adalah terkait pendaftaran tanah dimana wewenang penandatanganan
diberikan pada pejabat yang berwenang.
Bahwa sesuai dengan ketentuan tersebut, maka telah benar adanya bahwa:
Tanah Hak Guna Usaha No.8 Tertanggal 6 Agustus 1998 di Desa Mirah
Kalanaman, Kabupaten Kotim, Kalimantan Tengah memang menjadi
kewenangan dari BPN Kabupaten Kotim untuk mengeluarkan sertipikat tersebut
Tanah Hak Guna Usaha No. 1 tertanggal 6 September 2007 di Desa Mirah
Kalanaman, Kecamatan Katingan Tengah Provinsi Kalimantan Tengah memang
menjadi kewenangan dari BPN Kabupaten Katingan
Tanah Hak Guna Usaha di desa Damar Makmur dan Tumbang Sanak Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotim, Provinsi
Kalimantan Tengah memang mnejadi kewenangan dari BPN Kabupaten
Kotawaringin Timur.
KEABSAHAN SUBSTANSI
Bahwa PT Bumi Hutan Lestari adalah benar selaku badan hukum yang
berbentuk Perseroan Terbatas dan berkedudukan di Jakarta dibuktikan dengan Akta
Pendirian tanggal 1 Maret 1991, Nomor 5 sebagaimana yang tertera pada Putusan
Pengadilan Nomor: 1/Pdt.G/2016/PN Ksn. Sehingga, PT Bumi Hutan Lestari memiliki
kewenangan sebagai subjek hukum pemegang Hak Guna Usaha yakni sebagai Badan
Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Selanjutnya terkait dengan luas tanah Hak Guna Usaha yang diatur dalam Pasal
28 UUPA jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 bagi badan hukum
yakni minimal 5 hektar dan luas maksimum ditetapkan oleh Badan Pertanahan
Nasional. Dalam kasus, tertera luas dari ketiga sertifikat Hak Guna Usaha yang dimiliki
oleh PT Bumi Hutan Lestari lebih dari 5 hektar, sehingga memenuhi ketentuan tersebut.
KEABSAHAN PROSEDUR
Dalam penerbitan sertipikat Hak Guna Usaha, maka sertipikat dapat diterbitkan
dengan terlebih dahulu pemohon Hak Guna Usaha mengajukan permohonan kepada
Menteri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah No.18 Tahun
2021. Namun, Adapun dikarenakan kasus terjadi sejak tahun 2008, maka mengikuti
peraturan yang lama, yakni Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 dalam Pasal 6 dan
Pasal 7 dimana Hak Guna Usaha dapat terjadi dengan melalui permohonan pemberian
Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Indonesia
yang kemudian akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak dan wajib kemudian
untuk didaftarkan.
Permohonan Hak Guna Usaha tersebut sesuai dengan Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan
Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Bahwa
dalam Pasal 8 Perkaban 2 Tahun 2013 untuk luas tanah yang tidak lebih dari 2.000.000
m2 maka keputusan pemberian SKPH diberikan oleh Kepala Kanwil BPN. Namun,
dikarenakan HGU tersebut terjadi sejak tahun 1998, maka peraturan mengenai
pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah atau penerbitan SKPH tersebut
masih mengikuti Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 bahwa:
Untuk tanah Hak Guna Usaha kurang dari 200 hektar, maka menjadi
wewenang Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi (Pasal 8)
Untuk tanah Hak Guna Usaha lebih dari 200 hektar, maka menjadi
wewenang Kepala Badan Pertanahan Nasional (Pasal 14)
Dalam kasus, pemberian Hak Guna Usaha tersebut dikeluarkan oleh BPN RI
yakni yang tertuang dalam Surat Keputusan Pemberian Hak No:9/HGU/BPN/98
tertanggal 25 Maret 1998. Maka, memang benar telah dilalui prosedur untuk
mendapatkan tanah Hak Guna Usaha tersebut dengan melalui permohonan kepada
Kepala BPN RI sebab luas tanah tersebut adalah 14.929 Ha dan harus dimohonkan
kepada Kepala BPN RI.
Dalam kaitan dengan kasus, ditemukan bahwa di tahun 2007 dalam Sertifikat Hak
Guna Usaha No: 01/ tanggal 6 September 2007 dari hasil pemecahan Hak Guna Usaha
yaitu Sertifikat Hak Guna Usaha No: 08 / tanggal 6 Agustus 1998 ternyata terdapat
pengukuran batas batas yang tidak jelas. Dimana, ternyata masih terjadi pemberian ganti
rugi kepada beberapa pihak di lokasi tersebut. Bahkan diketahui belum tuntas kewajiban
dari pemohon Hak Guna Usaha yaitu PT Bumi Hutan Lestari dalam ketentuan ijin
lokasi untuk melakukan ganti rugi kepada pihak ke-3 yakni Menie sebagai orang yang
telah menempati tempat tersebut terlebih dahulu dengan hak adat yang wajib dihormati,
sehingga terbukti bahwa prosedur tidak dilakukan dengan benar.
6
Siti Rahma Mary Herwaty dan Dodi Setiadi, Memahami Hak atas Tanah dalam Praktek
Advokasi, Cakrabooks,2005, Surakarta, h.185
Maka dari itu, dilihat secara prosedur maka sertipikat tersebut adalah cacat
prosedur sebab BPN tidak secara cermat melakukan proses tinjau lapangan/tinjau lokasi
guna proses pengecekan terhadap data fisik yang dilaporkan oleh si Pemohon dalam
formulir tertulisnya. Sebab, ternyata masih belum clear and clean atas kepemilikan
tanah tersebut.
KESIMPULAN
Bahwa dalam penerbitan sertipikat, sebagai salah satu bentuk Keputusan Tata Usaha
Negara, harus memperhatikan keabsahan yakni dilihat dari keabsahan wewenang,
prosedur, dan substansi.
SARAN
Dalam menerbitkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebaiknya tetap berpedoman
pada peraturan perundang-undangan dan Asas Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
sehingga dapat menghindarkan dari adanya sengketa di kemudian hari.