Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL TESIS

PENGARUH KEBERLAKUAN PERATURAN BADAN PERTANAHAN

TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS DALAM MEMBUAT SURAT

KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT)

Oleh :
KOMANG GIRI ARTA (031924253027)

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA
2020
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Boergerlijk Wetboek Staatblaad Nomor 23 Tahun 1847.


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria, (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, (Lembaran Negara
Republikindonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara
Ritahun 1996 Nomor 3632).
Undang-undang 12 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5491).
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pendaftaran Tanah.

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
1. Latar Belakang Masalah................................................................................1
2. Rumusan Masalah..........................................................................................4
3. Tujuan Penelitian............................................................................................5
4. Manfaat Penelitian..........................................................................................5
5. Kajian Pustaka................................................................................................5
5.1. Karakteristik Hak Tanggungan.............................................................5
5.2. Konsep Kewenangan Notaris.................................................................7
5.3. Tanggung Jawab dan Akibat Hukum dari Akta Notaris....................9
6. Metode Penelitian...........................................................................................11
6.1. Tipe Penelitian.........................................................................................11
6.2. Pendekatan Penelitian.............................................................................11
6.3. Sumber Bahan Hukum...........................................................................12
6.4. Pengumpulan Bahan Hukum.................................................................13
6.5. Analisis Bahan Hukum...........................................................................14
7. Sistematika Penulisan.....................................................................................14

DAFTAR BACAAN

iii
1. Latar Belakang

Pada dasarnya Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pembayaran

hutang, dengan hak mendahului, dengan objek jaminannya berupa hak-hak atas

tanah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).1 Mengenai Hak

Tanggungan lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996

tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan

Dengan Tanah (selanjutnya disebut UUHT). Dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT

menentukan bahwa “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan

Akta pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku”.

Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan

memberikan Hak Tanggungan.2 Pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan

dihadiri sendiri oleh pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan Akta

Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) di hadapan Pejabat

Pembuatan Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT). Apabila pemberi Hak

Tanggungan tidak bisa hadir maka boleh dilakukan dengan pemberian Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). SKMHT merupakan surat

kuasa khusus yang ditujukan

1
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, h. 3
2
I Putu Selvyiana Putri Pratamikha, “Bentuk Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Setelah Dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 8 Tahun 2012 tentang
Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”, Acta
Comitas, Vol. 1. No. 1, 2016, h. 52
1
2

kepada pemegang hak tanggungan atau pihak yang untuk mewakili diri pemberi

hak tanggungan hadir di depan PPAT. 3

Sebagaimana dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT menyatakan bahwa Surat

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau

PPAT. Kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya diatur

dalam Pasal 15 Undang-undang 12 Tahun 2014 jo Undang-undang No 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), bahwa Notaris

mempunyai kewenangan untuk membuat Akta Otentik. Dalam membuat Akta

Otentik Notaris harus tunduk kepada Pasal 1 angka 7 UUJN yang wajib mengikuti

ketentuan bentuk akta yang diatur dalam Pasal 38 UUJN, yang menentukan bahwa

harus terdiri dari Awak Akta, Badan Akta dan Akhir atau Penutup Akta. Dengan

terpenuhinya kententuan Pasal tersebut, maka akta Notaris dapat dikatakan layak

sebagai Akta Otentik, sebagaimana termuat dalam salah satu unsur sahnya Akta

Otentik berdasarkan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW)

bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yag dibuat dalam bentuk yang

ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu di tempat akta yang dibuat”.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN, ditentukan bahwa selain

kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Notaris berwenang pula

membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan. Salah satu Akta yang berkaitan

dengan pertanahan yaitu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)

3
Habib Adjie, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas tanah, Mandar Maju,
Bandung,2000, h. 8.
terkait proses pembebanan hak tanggungan. Sehingga Notaris memiliki kewajiban

untuk melayani masyarakat, oleh karena itu ia ikut melaksanakan kewajiban

pemerintah.4 Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Tanah

(selanjutnya disebut Perkaban No 8 Tahun 2012). Mengenai Pembuatan SKMHT

sebagaimana diatur dalam Perkaban No 8 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa

awalnya dalam proses tata cara pembuatan pembuatan akta PPAT yang diperoleh

dari Kantor Badan Pertanahan Nasional menjadi setiap Akta PPAT dibuat

berdasarkan Perkaban No 8 tahun 2012 ini, selanjutnya jika melihat lampiran dari

isi perkaban ini lampiran VIII A sampai dengan VIII G tersebut juga ditujukan

kepada Notaris yang untuk mengikuti ketentuan sebagaimana dalam isi Perkaban

No 8 tahun 2012.

Frasa “dibuat” sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT di sini

mengandung makna bahwa Notaris yang membuat akta, baik itu berkenaan

dengan bentuk dan susunan kalimatnya. Namun praktiknya Notaris tidak membuat

SKMHT, hanya mengisi SKMHT, karena bentuk dan susunan kalimatnya sudah

disediakan oleh pihak BPN. Hal ini berarti SKMHT tidak memenuhi ketentuan

dan syarat sebagai suatu Akta Otentik. Selama ini Notaris menggunakan SKMHT

buatan pihak BPN, jika tidak menggunakan bentuk dan format yang disediakan

tersebut, SKMHT tersebut tidak akan diterima oleh pihak BPN.5 Dengan hanya

mengisi blanko/formulir SKMHT yang disediakan pihak BPN, berarti Notaris

tidak

4
Wawan Tunggul Alam, Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris,
Advokat dan Konsultan Hukum Pasar Modal), Milenia Populer, Bandung , 2004, h. 23.
5
Usman Rachmadi, “Kewenangan Notaris Dalam Membuat Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan Dengan Akta”, Legislasi Indonesia, Vol. 15, No. 3, 2018, h. 226
membuat Akta Otentik, melainkan membuat surat belaka. Berdasarkan hal

tersebut, maka perlu ditelaah kembali apakah Notaris memiliki kewenangan

dalam membuat SKMHT dengan akta.6 Berlakunya Perkaban No 8 Tahun 2012

ini menimbulkan terjadinya konflik norma antara UUJN dengan Perkaban No 8

Tahun 2012 terkait kewenangan Notaris dalam membuat SKMHT. Hal tersebut

tentu akan berdampak terhadap proses pembebanan hak tanggungan dan dapat

merugikan para pihak yang terkait di dalamnya. Berdasarkan pemaparan dalam

latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dilakukannya suatu penelitian.

Penelitian tersebut berjudul: PENGARUH KEBERLAKUAN PERATURAN

BADAN PERTANAHAN TERHADAP KEWENANGAN NOTARIS

DALAM MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK

TANGGUNGAN (SKMHT)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal diatas, permasalahan yang akan diangkat adalah sebagai

berikut:

1. Kewenangan notaris dalam membuat SKMHT setelah berlakunya

Perkaban No 8 Tahun 2012

2. Akibat hukum akta notaris yang dibuat setelah berlakunya Perkaban

No 8 Tahun 2012

6
Ibid.
3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut diatas, maka tujuan yang ingin

dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis kewenangan notaris dalam membuat SKMHT

setelah berlakunya Perkaban No 8 Tahun 2012

2. Untuk menganalisis Akibat hukum akta notaris yang dibuat setelah

berlakunya Perkaban No 8 Tahun 2012

4. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu

hukum, khususnya di bidang pertanahan terkait dengan kewenangan

notaris dalam membuat SKMHT serta akibat hukum akta notaris yang

dibuat setelah berlakunya Perkaban No 8 Tahun 2012

b. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan

sebagai sumbang pemikiran dalam rangka mencari solusi terkait

dengan kewenangan notaris setelah berlakunya Perkaban No 8 tahun

2012 terhadap akta yang dibuat oleh Notaris.

5. Kajian Pustaka
5.1 Karakteristik Hak Tanggungan
Pengertian Hak Tanggungan dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 1

UUHT adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana

dimaksud UUPA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu

kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. 7

Semenjak lahirnya UUHT pembebanan hak atas hutang tidak menjadi bentuk

hypoteek, tetapi menggunakan Hak Tanggungan. Hak tanggungan dewasa ini

dianggap sebagai suatu bentuk lembaga jaminan atas tanah dan mempunyai sifat

yang dapat memberikan jaminan atas hak kebendaan terhadap jaminan yang

diperjanjian oleh para pihak sebagai suatu jaminan atas suatu hutang.

Dalam hal pembebanan Hak Tanggungan bentuk Akta yang ditetapkan

mengenai pemindahan hak atau pembebanan atas Akta lain yang menyangkut

tanah dibuat dengan Akta PPAT sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 5 UUHT,

serta harus memperhatikan asas-asas yang terdapat didalamnya, terutama

mengenai asas bahwa sebagaimana penjelasan Pasal 15 Ayat (1) pembebanan Hak

Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Hanya

apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak

dapat hadir dihadapan PPAT, diperkenankan menggunakan SKMHT yang boleh

dibuat oleh PPAT maupun Notaris. Jika tidak dipenuhinya syarat ini

mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum. Adapun obyek

yang dapat dijadikan sebagai jaminan Hak Tanggungan yaitu Hak Milik, Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan jika melihat ketentuan dalam Pasal 4 UUHT.

Namun terdapat Hak pakai atas tanah negara yang dapat dijadikan jaminan Hak

Tanggungan sepanjang sudah didaftarkan.

7
Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 2006, h. 52.
5.2 Konsep Kewenangan Notaris

Istilah kewenangan sering disejajarkan sebagai suatu kekuasaan, kedua

istilah ini sering diperturkarkan arti maupun maknanya. Pada dasarnya suatu

kekuasaan berbentuk hubungan natar dua pihak, yaitu pihak yang memerintah dan

pihak yang diperintah (the rule and the ruled).8 Menurut Ateng Syafrudin

menegaskan bahwa istilah kewenangan (auiruty, gezag), harus dibedakan dengan

wewenang (competence, bevoeghed). Kewenangan merupakan suatu yang disebut

dengan kekuasaan formal yaitu kekuasaan yang berasal dari yang diberikan oleh

undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu yang hanya “onderdeel”

(bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat weweang-

wewenang yang termasuk ke dalam ruang lingkup publik, pemerintahan, tidak

hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi juga

meliputi tentang wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan

wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan.9

Indraharto mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) macam kewenangan

yang meliputi: atribusi, delegasi dan mandat.10 Atribusi merupakan suatu

wewenang untuk membuat suatu keputusan (besluit) yang umumnya diperoleh

langsung dari peraturan perundang-undangan atau dapat dikatakan sebagai suatu

8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998
h. 35-36.
9
Sufriadi, “Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia”, Jurnal Yuridis, Vol. 1 No. 1, 2014, h. 60
10
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2017, h. 101
cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan. Oleh sebab itu maka

kewenangan pemerintah yang yang didapatkan melalui atribusi adalah

kewenangan asli, karena diperoleh secara langsung dari peraturan perundang-

undangan. Delegasi merupakan suatu penyerahan terkait dengan pengambilan

keputusan oleh suatu pejabat pemerintahan (Pejabat Tata Usaha Negara) kepada

pihak lain yang masih bersangkutan. Penyerahan tersebut dimaksudkan untuk

perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi kepada yang menerima

delegasi, yang umumnya bersifat antara instansi pemerintahan dan tanggung

jawab juga dipegang oleh sipenerima delegasi. Sedangkan Mandat adalah suatu

hubungan antara atasan dengan bawahannya. Penyerahan tersebut terkait dengan

pemberian wewenang kepada bawahannya untuk betindak atau membuat suatu

keputusan, namun dalam hal ini tanggung jawab atas segala perbuatannya tetap

kepada si pemberi mandat.

Terkait dengan itu maka kewenangan Notaris dalam hal ini diberikan

secara Atribusi yaitu diberikan secara langsung berdasarkan undang-undang,

kehadiran Notaris sebagai pejabat umum sangat penting terkait dengan

kewenangan untuk membuat akta autentik, agar menjamin adanya kepastian,

ketertiban dan perlindungan terhadap masyarakat. Kewenangan Notaris dalam

membuat akta otentik terdapat dalam Pasal 15 UUJN. Namun jika kita melihat

ketentuan sebagaimana dalam Pasal 15 UUHT dan lampiran Perkaban No 8 tahun

2012 VIII A sampai dengan VIII G, Notaris mempunyai kewenangan untuk

membuat SKMHT.
5.3 Tanggung Jawab dan Akibat Hukum dari Akta Notaris

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggung jawab, yang berarti

keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh

dituntut, dipersilahkan, diperkarakan, dan sebagaiannya).11 Setiap orang wajib

bertanggung jawab terhadap sesuatu yang dilakukan atas perbuatannya. Pengertian

kata “orang” dalam hal ini yaitu dimaksudkan kepada rechtpersooon yang dalam

arti yuridis merupakan setiap orang yang mempunyai wewenang hukum atau

mempunyai kecapakan dalam subyek hukum atau sebagai pendukung hak dan

kewajiban.12 Dalam kamus hukum ada dua istilah yang menunjuk pada

pertanggungjawaban yakni Liability dan Responbility. Liability yang didalamnya

mengandung makna yang paling komprehensif, meliputi hamper setiap karakter

risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin.

Liability sering didefinisikan dengan semua karakter hak dan kewajiban dan juga

kondisi secara faktual atau potensial dengan bertanggung jawab terhadap hal-hal

seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau beban.13 Sedangkan Responbility

adalah hal dapat dipertanggung jawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk

putusan, keterampilan, kemampuan, dan kecapakan. Responbility juga

menimbulkan melakukan ganti kerugian atas segala kerusakan apapun yang telah

ditimbulkannya.14

11
Ridwan HR, Op. Cit, h. 318
12
Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2007, h. 7
13
RIdwan HR, Op. Cit, h. 318-319
14
Ibid, h. 319
Jika melihat ketentuan sebagaimana dalam Pasal 65 UUJN bahwa

“Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara

Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol

Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol

Notaris”. Oleh sebab itu maka jika melihat ketentuan ini jika seorang Notaris

membuat suatu Akta SKMHT maka Notaris tersebut harus bertanggung jawab

atas Akta yang dibuatnya dalam menjalankan tugas dan jabatannya atas

pelanggaran yang terjadi akibat dari perbuatan Notaris itu sendiri, baik yang

disengaja maupun yang tidak disengaja. Sehingga Notaris dituntut untuk lebih

berhati-hati dan teliti dalam menjalankan tugas dan jabatannya terutama dalam hal

pembuatan akta otentik.

Sehingga perlu diperhatikan dengan dikeluarkan Akta SKHMT selaku akta

otentik, maka selanjutnya akan menimbulkan Akibat Hukum atas perbuatannya

tersebut. Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.15

Menurut Syarifin, akibat hukum adalah segala akibat yang timbul dari segala

perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau

akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum

yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.16 Terkait

dengan hal tersebut maka akan dianalisa terhadap Akta SKHMT yang dibuat

Notaris yang dibuat apakah Akta tersebut masih dianggap sah atau batal demi

hukum jika melihat ketentuan dalam Perkaban Nomor 8 Tahun 2012,

sebagaimana

15
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 86
16
Syarifin Pipin, Pengantar Ilmu Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2009,h. 71
Akibat tersebut akan berpegaruh terhadap Notaris itu senditi maupun terhadap

pihak-pihak yang membuat Akta SKMHT.

6. Metode Penelitian

6.1 Tipe Penelitian

Berdasarkan pada uraian judul dan rumusan masalah tersebut diatas, tipe

penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini yakni penelitian hukum

(Doctrinal Research). Tipe penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti dan

menganalisa norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku terkait Pengaruh Perkaban No 8 Tahun 2012 terhadap kewenangan

Notaris dalam membuat SKMHT.17

6.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan

undang- undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual

approach). Dalam hal ini pendekatan perundang-undangan (statute approach)

yang perlu diperhatikan adalah struktur norma dalam wujud tata urutan atau

hierarki peraturan perundang-undangan, dan juga perlu diperhatikan keberadaan

norma apakah norma itu bersifat khusus atau umum, atau apakah norma itu berada

dalam peraturan perundang-undangan yang lama atau yang baru.18Pendekatan

perundang-undangan dalam penelitian ini dilakukan dengan menelaah peraturan

perundang-undangan

17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2005, h.32
18
I Made Pasek Diantha, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, h.12
yang berhubungan dengan Pengaruh Perkaban No 8 Tahun 2012 terhadap

kewenangan Notaris dalam membuat Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan (SKMHT). Pendekatan konseptual (conceptual approach) dalam

penelitian ini beranjak dari pemikiran dan pendapat para ahli atau doktrin dalam

ilmu hukum.19 Pemahaman doktrin-doktrin tersebut merupakan dasar untuk

menemukan pengertian-pengertian tentang hukum atau menganalisa konsep-

konsep hukum yang relevan dalam penelitian ini terkait Pengaruh Perkaban No 8

Tahun 2012 terhadap kewenangan Notaris dalam membuat Surat Kuasa

Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).

6.3 Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer yang dimaksud yakni peraturan perundang-

undangan terkait dengan isu hukum dalam penelitian ini, yaitu:

a. Burgerlijk Wetboek

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria

c. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas

Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah

d. Undang-undang 12 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang

No 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

19
Ibid, h. 159
e. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pendaftaran Tanah

Bahan Hukum Sekunder adalah segala bentuk publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publisitas tentang hukum meliputi

buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-

komentar atas putusan pengadilan.20 Adapun bahan hukum sekunder dalam

penelitian ini adanya segala buku-buku yang terkait dengan kewenangan Notaris,

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), hasil penelitian yang

relevan, dan artikel-artikel lain yang terkait dalam permasalahan penelitian ini.

6.4 Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adalah studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan

sistem kartu (card system), yaitu setelah mendapatkan semua bahan yang

diperlukan, kemudian dibuat suatu catatan mengenai hal-hal yang dianggap

penting bagi penelitian yang digunakan.21 Adapun penggunaan card system dalam

hal ini yaitu diawali dengan pencatatan terhadap judul buku, nama pengarang,

halaman selanjutnya dikutip bagian-bagian yang terkait dengan permasalahan

mengenai pengaruh Perkaban No 8 tahun 2012 terhadap kewenangan Notaris

dalam membuat SKMHT sebagai pendukung agar dapat menambah masukan

dalam menjawab permasalahan yang terjadi.

20
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, h. 181
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,h. 13
6.5 Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini digunakan cara

Teknik Interpretatif yaitu berupa penafsiran dalam ilmu hukum yang dalam hal ini

dilakukan dengan menggunakan penafsiran gramatikal dengan memberikan

pengertian berdasarkan artinya dalam peraturan perundang-undangan.22 Intepretasi

Gramatikal dalam permasalahan ini dilakukan terhadap hak tanggungan, surat

kuasa memberikan hak tanggungan, kewenangan notaris, tanggung jawab atau

akibat hukum akta yang dibuat oleh Notaris. Sedangkan interpretasi sistematis

adalah penafsiran dengan cara menghubungkan semua peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan isu hukum yang dibahas berdasarkan hierarkhi

peraturan perundang-undangan.23 Interpretasi sistematis dilakukan dengan

menghubungkan antara UUPA, UUHT, UUJN dan Perkaban No 8 Tahun 2012

untuk menemukan pengaruh terhadap kewenangan Notaris dalam membuat

SKMHT.

6.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penyusunan tesis ini dibagi menjadi 4 (empat) bagian, masing-

masing bab terdiri atas sub-bab, sebagai berikut:

Bab I merupakan Bab Pendahuluan yang berisi pengantar pembahasan

yang di dalamnya terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat

22
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2008, h.291
23
Ibid., h.292-293
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Melalui bab I dapat

diketahui maksud dan arah dari pembahasan dalam tesis ini.

Selanjutnya dalam Bab II akan dibahas mengenai rumusan masalah yang

pertama, yakni Kewenangan notaris dalam membuat kewenangan notaris dalam

membuat SKMHT setelah berlakunya Perkaban No 8 Tahun 2012. Pada Bab ini

akan terdiri dari 2 (dua) sub bab. Pertama yaitu mengenai Perbandingan pengaruh

Perkaban No 8 Tahun 2012 terhadap SKMHT, Kedua yaitu mengenai

Kewenangan notaris dalam membuat SKMHT setelah berlakunya Perkaban No 8

Tahun 2012.

Kemudian dalam Bab III akan dibahas mengenai rumusan masalah yang

kedua, yakni mengenai Akibat hukum akta notaris yang dibuat setelah berlakunya

Perkaban No 8 Tahun 2012. Pada bab ini akan terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu

Pertama terkait dengan Akibat hukum akta notaris yang dibuat setelah berlakunya

Perkaban No 8 Tahun 2012, Kedua yaitu mengenai Tanggung jawab Notaris

terhadap SKMHT yang dibuat berdasarkan Perkaban No 8 Tahun 2012.

Pada Bab IV (Bab Penutup) merupakan bab terakhir dalam penulisan tesis yang

berisi kesimpulan atas isu hukum yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya,

dengan disertai penyampaian alternatif penyelesaiannya. Dalam sub-bab ini juga

disertakan saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait.


DAFTAR BACAAN

Adjie Habib, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas tanah, Mandar
Maju, Bandung, 2000.

Ali Chidir, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2007.

Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,


1998.

Diantha I Made Pasek, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi


Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2016.

Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,


Jakarta, 2005.

----------------, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta, 2008.

Muljadi Kartini dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak
Tanggungan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

Patrik Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.

Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 2009.

Patrik Purwahid dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 2006.

Rachmadi Usman, “Kewenangan Notaris Dalam Membuat Surat Kuasa


Membebankan Hak Tanggungan Dengan Akta”, Legislasi Indonesia, Vol.
15, No. 3, 2018.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2017.

Selvyiana I Putu Putri Pratamikha, “Bentuk Kuasa Membebankan Hak


Tanggungan Setelah Dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No 8 Tahun 2012 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan
Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”, Acta Comitas,
Vol. 1. No. 1, 2016.
Soekanto Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Sufriadi, “Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan di Indonesia”, Jurnal Yuridis, Vol. 1 No.
1, 2014.

Tunggul Alam Wawan, Memahami Profesi Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi,


Notaris, Advokat dan Konsultan Hukum Pasar Modal), Milenia Populer,
Bandung , 2004.

Anda mungkin juga menyukai