Anda di halaman 1dari 6

USULAN JUDUL TESIS

ANDI MEGAH HUTAMI ADININGSIH (B 022 17 1 010)


MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

RENCANA JUDUL
“ PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP AHLI WARIS DALAM AKTA KETERANGAN HAK
MEWARIS YANG DIPALSUKAN OLEH NOTARIS “ (PUTUSAN: 259/Pid.B/2015/PN.Cjr)

Rumusan Masalah:

1) Bagaimanakah keabsahan Akta Keterangan Mewaris yang dipalsukan oleh Notaris?


2) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap ahli waris dalam Akta Keterangan
Mewaris yang dipalsukan oleh Notaris?
3) Bagaimanakah sanksi yang diterapkan kepada Notaris tersebut?

Uraian:

Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik.

Tugas dan wewenang Notaris penting untuk diuraikan,  dengan mengacu pada wewenang
yang diberikan secara atributif oleh Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris. Walaupun secara administrasi Negara, Notaris dan PPAT tidak mungkin dijadikan
sebagai pejabat publik yang apabila melakukan tugas dan kewenangan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau asas umum pemerintahan yang
baik.

Jika notaris dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya tidak jujur, saksama,
mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan
hukum (vide pasal 16 ayat 1 a UUJN), maka ia dapat dikatakan tidak lagi menjalankan UUJN
untuk dapat diminta mempertanggungjawabkan secara pidana. Pemidanaan tersebut bukan
pada jabatan atau kedudukannya tapi pada perbuatannya, berdasarkan pembuktian unsur
kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).

 Perlu diingat kembali bahwa akta yang dibuat di hadapan notaris bernilai sebagai alat bukti
otentik yang paling sempurna di hadapan hukum secara perdata dan pidana serta secara
materiil dan formil. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata),
memberikan penegasan kepada notaris sebagai Pejabat Umum yang berwenang secara luas
soal pembuatan akta otentik: "Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang
berwenang di tempat dimana akta itu dibuat".

Oleh karena itulah, kelalaian notaris apalagi kesengajaannya menghasilkan akta yang tidak
benar memiliki akibat hukum serius bagi kepentingan para pihak baik pembuat akta maupun
yang terkait dengan akta tersebut.

Selain pemidanaan, notaris juga berpotensi digugat secara perdata dan pemeriksaan
pelanggaran admnistrasi (Kode Etik). Dalam pemidanaan, baik penyidik dan penuntut umum
akan melihat terlebih dulu apakah akta yang dipermasalahkan dibuat sesuai ketentuan
UUJN atau tidak.
RENCANA JUDUL

“ PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI


DENGAN OBJEK JUAL BELI TANAH SENGKETA “ (PUTUSAN: 283 K/PID/2016)

Rumusan Masalah:

1) Bagaimanakah keabsahan Akta Jual Beli dengan objek jual beli tanah sengketa?
2) Bagaimanakah pertanggung jawaban Notaris dalam pembuatan Akta tersebut?

Uraian:

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan
akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka
menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk
memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dalam melaksanakan tugasnya membuat akta otentik, seorang notaris wajib menjalankan
ketentuan dalam UUJN. Notaris diwajibkan untuk bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak
berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, sesuai
dengan Pasal 16 UUJN. Karenanya Notaris harus bertindak hati-hati dan cermat serta teliti
dalam menjalankan prosedur untuk membuat akta otentik.

Prosedur yang harus dijalankan oleh notaris dan proses pembuatan akta adalah meminta
dokumen-dokuman atau surat-menyurat yang diperlukan untuk dituangkan di dalam akta.
Dokumen yang wajib diminta oleh notaris untuk dilekatkan fotocopinya dalam Minuta Akta
(asli Akta Notaris ) adalah tanda pengenal atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Notaris harus
memastikan penghadap sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum dlam akta yang
akan dibuat. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh penghadap diatur dalam Pasal 39 UUJN.

Banyaknya notaris membuat persaingan antar notaris semakin ketat dan terkadang
membuat notaris kurang berhati-hati dalam menjalankan profesinya. Diantaranya kekurang
hati-hatian tersebut yaitu notaris sangat memudahkan penghadap dalam hal identitas
maupun dokumen pendukung lainnya. Terkait hal tersebut, pertanggungjawaban notaris
harus diperhaikan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi notaris itu sendiri ataupun
bagi pihak lainnya dikemudian hari.
RENCANA JUDUL

“ ANALISIS PERJANJIAN PEMISAHAN HARTA DALAM PERKAWINAN CAMPURAN


SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG DITINJAU MENURUT PP NOMOR 103 TAHUN
2015 TENTANG PEMILIKAN RUMAH TEMPAT TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG
ASING YANG BERKEDUDUKAN DI INDONESIA” (PUTUSAN: 25 Pdt.P/2017/PN.JKT.SEL)

Rumusan Masalah:

1) Bagaimana kekuatan pembuktian akta perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan


campuran setelah perkawinan menurut PP nomor 103 tahun 2015?
2) Bagaimana landasan hukum yang seharusnya terkait akta perjanjian pemisahan
harta?

Uraian:

PP 103 mengatur bahwa WNI yang kawin campur dengan WNA dapat memiliki hak atas
tanah yang sama dengan WNI lain dibuktikan dengan perjanjian pemisahan harta antara
suami dan istri, yang dibuat dengan akta notaris. Undang-undang perkawinan tahun 1974
(UU Perkawinan) hanya mengenal istilah “perjanjian perkawinan”. Perjanjian perkawinan
dibuat pada saat atau sebelum perkawinan berlangsung, disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan (bukan hanya dengan akta notaris), dan tidak mewajibkan bahwa perjanjian
tersebut dibuat dalam bentuk akta notarial. Sedangkan, PP 103 memperkenalkan istilah
baru yaitu “perjanjian pemisahan harta” yang cukup dibuat dengan akta notaris. Ketentuan
tersebut tidak menjelaskan apakah wajib dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
berlangsung dan juga apakah wajib disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Sehingga,
ketentuan tentang “perjanjian pemisahan harta” membuka peluang diperbolehkannya
perjanjian pasca perkawinan yang senyatanya tidak dikenal di dalam hukum perkawinan di
Indonesia, tidak merujuk pada ketentuan UU Perkawinan, mempunyai syarat yang berbeda
dengan ketentuan UU Perkawinan, dan tidak perlu disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan (cukup dengan akta notaris). Selain itu, ketentuan tersebut sangat diskriminatif
terhadap WNI yang tidak melakukan perkawinan campur dengan WNA karena pemisahan
harta bersama untuk perkawinan antar WNI hanya dapat dilakukan dengan perjanjian
perkawinan yang wajib dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan dan perjanjian
perkawinan tersebut wajib disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, terlepas apakah
perjanjian perkawinan tersebut dibuat secara bawah tangan atau notarial.

-PP no 103/2015 pasal 3 ayat 2


-UU perkawinan pasal 29
-UUJN
RENCANA JUDUL
“PELANGGARAN KODE ETIK YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS TERKAIT PENIPUAN “

Rumusan Masalah:

1) Bagaimanakah peranan Kode Etik Notaris terhadap Penipuan oleh Notaris


putusan…?
2) Bagaimanakah sanksi yang diterapkan kepada Notaris tersebut?

Uraian ;

Kode etik merupakan suatu kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan INI
berdasarkan ketentuan yang di atur UU yang berlaku serta wajib ditaati oleh setiap dan
semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas dan jabatan
sebagai Notaris.

Pasal 38 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa “Organisasi Notaris menetapkan dan
menegakkan Kode Etik Notaris”. Ketentuan tersebut ditindaklanjuti dengan ketentuan pasal
13 ayat (1) Anggaran Dasar INI yang menyatakan: “Untuk menjaga kehormatan dan
keluhuran martabat jabatan notaris, Perkumpulan mempunyai Kode Etik Notaris yang
ditetapkan oleh Kongres dan merupakan kaidah moral yang harus patuhi oleh setiap
anggota perkumpulan.

Berbeda dengan kenyataan tersebut, ternyata dalam kehidupan sehari-hari seorang Notaris
hanyalah merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan baik yang disengaja
maupun karena kelalaiannya. Banyak kesalahan yang dilakukan oleh para Notaris baik
secara pribadi maupun ketika menjalankan jabatannya, banyak yang tidak memahami
tentang Peraturan Jabatan Notaris sehingga dalam menjalankan tugasnya sering melakukan
pelanggaran. Salah satunya yang menjadi rujukan penulis yaitu pelanggaran kode etik
notaris terkait penipuan yang dilakukan seorang notaris yang berkedudukan di Kota
Makassar yang dimana kasus penipuan ini terdapat dalam putusan pengadilan nomor
74/Pid.B./2018/PN Mks.

RENCANA JUDUL
“IMPLEMENTASI PP NOMOR 103 TAHUN 2015 TENTANG PEMILIKAN RUMAH TEMPAT
TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING YANG BERKEDUDUKAN DI INDONESIA
TERKAIT JANGKA WAKTU PENGUASAAN HAK ATAS TANAH (HP dan HM di atas HP)
OLEH WNA”

Rumusan Masalah:

1) Bagaimana pengaturan jangka waktu penguasaan hak atas tanah oleh WNA
menurut PP 103/2015?
2) Bagaimana penerapan jangka waktu penguasaan hak atas tanah oleh WNA menurut
PP 103/2015?

Uraian:

PP 103 mengatur bahwa jangka waktu HP di atas tanah negara, khusus untuk WNA, adalah 30
tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbaharui untuk 30 tahun. Periode ini sama dengan
periode dalam hak guna bangunan yang hanya bisa dimiliki oleh WNI atau badan hukum Indonesia.
Artinya, melalui PP 103, pemerintah mengubah periode HP sebelumnya (total 70 tahun) dan
menyamakan periode HP dengan HGB. Namun, periode tersebut berbeda dengan periode HP yang
dimiliki oleh WNI, yaitu 25 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbaharui untuk 30 tahun. 

Selain perbedaan periode HP di atas tanah negara, PP 103 juga membedakan periode HP di atas
HM antara WNA dan WNI. HP di atas HM yang dimiliki WNA diberikan untuk 30 tahun, dapat
diperpanjang 20 tahun, dan diperbaharui untuk 30 tahun. Sedangkan, untuk WNI, PP 40 mengatur
bahwa HP di atas HM terbit untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperbaharui. Sehingga, total
perbedaan antara HP di atas HM untuk WNA dan WNI adalah 55 tahun (80 – 25). Ketentuan ini
sangat diskriminatif terhadap WNI.

Perbedaan perlakuan periode antara WNA dan WNI secara esensi melanggar konstitusi negara
Indonesia yang mengatur bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum.
Ketentuan dalam UUD 1945 tersebut merujuk pada hak-hak konstitusional WNI, yang sesungguhnya
juga merupakan hak asasi manusia setiap WNI di Indonesia. Kesimpulannya hak-hak WNI haruslah
lebih baik atau setidak-tidaknya seimbang dari hak-hak yang diberikan kepada WNA. Penyimpangan
terhadap hal ini atau bahkan diskriminasi hak-hak WNI terhadap hak atas tanah adalah pelanggaran
terhadap hak konstitusional WNI, hak asasi WNI, dan hak-hak setiap dari WNI sebagaimana diatur
dalam hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia.

-PP no 103/2015 pasal 6 dan 7


-PP no 40/1996
-UUPA
-UUD 1945

Anda mungkin juga menyukai