Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

STRATEGI NOTARIS DALAM MENGHADAPI PERKARA


PIDANA/PERDATA DALAM KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN
MPD DAN MKN

Disampaikan dalam Acara Seminar Nasional Kenotariatan (Call For


Paper) Dan Deklarasi Asosiasi Dosen Kenotariatan Indonesia
Tanggal 23 Maret 2019 di Medan

Oleh;
Dr. Azmi Fendri,SH.,M.Kn.
STRATEGI NOTARIS DALAM MENGHADAPI PERKARA
PIDANA/PERDATA DALAM KAITANNYA DENGAN KEWENANGAN MPD DAN
MKN1
Oleh : Azmi Fendri, SH, M.Kn.2

A. Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh
pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.
Dalam pembuatan akta otentik ini ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum. Notaris selain membuat akta otentik sebagaimana diharuskan oleh undang-
undang, juga membuat akta otentik berdasarkan keinginan dan kepentingan para
pihak yang menginginkan adanya kepastian hukum terhadap perbuatan hukum yang
akan mereka lakukan atau juga perbuatan hukum yang telah mereka lakukan
dilegalisasikan kemudian oleh Notaris.
Sebagai pejabat umum yang diberi wewenang oleh undang-undang, maka
sayogyanya dalam menjalankan jabatannya juga harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Disamping undang-undang Jabatan Notaris, Notaris juga
terikat dengan aturan yang disebut juga dengan “kode etik Notaris” sebagai
mekanisme control bagi profesi Notaris.
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris seringkali dihadapkan berbagai
macam persoalan, mulai dari persoalan antar sesama Notaris, persoalan para pihak
yang tidak mempunyai kesepahaman dan kesepakatan dalam pembuatan
perjanjian, bahkan sampai kepada persoalan hubungan kerja sama dengan pihak
terkait sebagai mitra kerja notaris. Jika persoalan tersebut tidak disikapi secara
bijaksana (di luar koridor hukum) oleh Notaris, maka anggapan yang mengatakan
Notaris hanya tukang pembuat akta memang ada benarnya. Apalagi dengan alasan
menjaga hubungan baik dengan relasi, lantas mengabaikan kaedah normative yang
ada. Hal ini justru akan semakin menelanjangi profesi Notaris di mata hukum dan

1
Diampaikan dalam Acara Up Grading Ikatan Notaris Indonesia Wilayah Sumatera Barat Pengurus
Daerah Pariaman tanggal 27 Maret 2017 di Pariaman
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas
masyarakat. Masyarakat akan menganggap Notaris sama halnya dengan seorang
partikelir yang hanya mencari keuntungan atas profesinya.
Stigma yang menganggap Notaris sama halnya dengan seorang partikelir
merupakan suatu fenomena yang tidak terbantahkan. Fakta itu semakin melekat dan
tercermin dari sikap dan perilaku Notaris yang tidak lagi mengindahkan kaidah
hukum yang berlaku. Notaris semakin asyik dengan parodi serta kemuflase
masyarakat yang membutuhkan jasa Notaris. Dalam hal ini hukum tidak lagi
dianggap sebagai panglima, akan tetapi sebagai alat untuk melegitimasi setiap
perbuatan yang mereka lakukan
Secara filosofi, hukum bertujuan untuk mengendalikan perilaku masyarakat
yang tidak taat hukum, bukan sebaliknya masyarakat yang mengatur hukum. Agar
hukum itu mempunyai kekuatan mengikat tentu harus diformalisasikan oleh lembaga
yang berwenang. Begitu juga dengan Profesi Notaris, dengan legalitas formal
seharusnya Notaris bisa menciptakan ketertiban dalam masyarakat, bukan
sebaliknya mengacaukan ketertiban masyarakat dengan perilaku yang tidak sesuai
dengan norma hukum dan Kode Etik Notaris.
Selain itu, Notaris juga harus mempunyai kemandirian dalam sikap dan
tindakannya. Kemandirian sikap dan perbuatan dengan selalu berpegang kepada
norma hukum, akan menempatkan posisi Notaris semakin dihargai dan dihormati
oleh masyarakat, khususnya mereka yang membutukan pelayanan jasa seorang
Notaris. Sebaliknya Notaris yang hanya mengejar materi tanpa mengindahkan
norma hukum yang ada, justru akan merendahkan kehormatan Profesi Notaris.
Berbeda halnya dengan pelayanan pada umumnya, yang lebih
mengutamakan servis guna memberikan kepuasan kepada pelanggan. Untuk itu
berbagai teknik dan cara dilakukan, bahkan kalau perlu dengan cara memanipulasi
keadaan agar keinginan mereka tercapai. Dalam konteks ini, kaidah hukum tidaklah
menjadi pertimbangan utama, akan tetapi yang lebih penting bagaimana
memberikan kepuasan kepada pengguna jasa dimaksud. Untuk itu tulisan ini akan
mengupas sisi problematic profesi Notaris dalam menjalankan jabatan serta
penegakkan hukumnya

B. Hakikat Notaris Sebagai Pejabat Umum


Menurut G.H.S. Lumban Tobing wewenang notaris adalah membuat akta
otentik yang bersumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris yang menyebutkan;
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat
akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian
tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan
tidak dikecualikan.”

Dari pengertian Pasal 1 PJN dapat disimpulkan bahwa notaris sebagai


pejabat umum yang satu-satunya berwenang membuat akta otentik dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang. Sebagai satu-satunya pejabat umum yang
berwenang membuat akta otentik menimbulkan pertanyaan dikalangan praktisi dan
akademisi hukum tentang notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang
membuat akta otentik. Faktanya selain notaris juga ada pejabat umum lainnya yang
juga berwenang membuat akta otentik, seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), Pejabat Lelang. Namun jika diperhatikan baik PPAT ataupun Pejabat
Lelang hanya berwenang membuat akta yang bersifat khusus sesuai dengan apa
yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tentang PPAT ataupun
Pejabat Lelang. Sedang notaris adalah pejabat umum yang ruang lingkup
kewenangannya lebih luas tidak hanya terbatas membuat suatu akta tertentu saja
tetapi juga meliputi semua bentuk perjanjian pada umumnya sepanjang tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, (UUJN) terjadi pergeseran tentang definisi Notaris. Pasal 1 UUJN
menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yan berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini. Sedangkan kewenangan lainnya tersebut dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (2)
UUJN yang meliputi;
a. Mengesahkan tandatangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus
c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersankutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan foto kopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang bekaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan terhadap UUJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-
undang lainnya. Definisi notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2
Tahun 2014 sedikit mengalami perluasan makna terutama terkait dengan
kewenanan notaris yang tidak hanya berdasarkan UUJN akan tetapi juga meliputi
kewenangan berdasarkan undang-undang lainnya. Misalnya Undang-Undang No. 4
tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas serta perundang-undang lainnya
Terkait dengan pengertian akta otentik dapat dilihat dari ketentuan Pasal
1868 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yg di
dalam bentuk yg ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa ditempat dimana akta itu dibuat. Suatu
akta adalah otentik bukan karena penetapan undang-undang, akan tetapi dibuat
oleh atau dihadapan seorang pejabat umum. Artinya jika suatu akta notaris dibuat
dalam bentuk yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN jo Pasal
1868 KUHPerdata tidak bisa dikatakan sebagai akta otentik. Implikasi hukumnya
tidak hanya terhadap akta yang dibuat oleh notaris akan tetapi juga terhadap jabatan
notaris. Terhadap akta yang dibuat oleh notaris bisa menyebabkan akta tersebut
terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Sedang terhadap jabatan notaris dapat
dimintakan pertanggungjawaban tidak hanya secara administrasi akan tetapii juga
pidana dan perdata.

C. Hak Ingkar Notaris Bersifat Relatif


Secara khusus hak ingkar notaris tidak diatur dalam UUJN. Namun
keberadaan hak inkar notaris dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU No. 30
Tahun 2004. Pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa sebelum menjalankan
jabatannya, notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan
menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sedang mengenai lafal sumpah dijelaskan
dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004. Secara khusus disebutkan dalam
salah satu bunyi sumpah notaris menyebutkan bahwa saya akan merahasiakan isi
akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
Memperhatikan bunyi sumpah notaris sebagaimana disebut dalam Pasal 4
ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004 secara implisit menyebutkan keberadaan hak ingkar
notaris. Meskipun hak ingkar disebutkan dalam bunyi sumpah notaris, sudah cukup
menegaskan bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya terikat dengan sumpah
notaris yang akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatannya. Dengan kata lain bunyi sumpah tersebut berlaku sebagai
norma hukum yang akan mengikat notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai
pejabat umum.
Namun keberadaan hak ingkar notaris tidaklah berlaku mutlak, karena ada
pembatasan hak ingkar dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f jo Pasal 54 ayat (1) UUJN.
Pasal 16 ayat (1) huruf f menyebutkan bahwa notaris wajib merahasiakan segala
sesuatu mengenai akta yg dibuatnya dan segala keterangan yg diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain. Sedang Pasal 54 ayat (1) UUJN menyebutkan notaris hanya dapat
memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, grosse akta, salinan
akta atau kutipan akta, kepada orang yg berkepentingan langsung pada akta, ahli
waris, atau orang yg memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hak ingkar notaris
tidak bersifat mutlak. Hak ingkar hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang tidak
berkepentingan dengan akta notaris. Apabila peraturan perundang-undangan
menyebutkan lain, misalnya untuk kepentingan proses peradilan, maka hak ingkar
notaris tidak lagi bersifat mutlak. Notaris harus memberikan keterangan terkait
dengan akta yang dibuatnya. Jika tidak notaris tentu akan diangap sebagai pihak
yang menghalangi proses peradilan. Dalam konteks ini kita harus dapat melihat
persoalan secara obyektif dan proporsional. Jangan karena untuk kepentingan
penyidikan notaris dapat begitu saja ditarik sebagai saksi bahkan sebagai tersangka
terkait dengan akta yang dibuatnya.
Jika notaris begitu mudah diperiksa baik sebagai saksi ataupun tersangka,
pertanyaannya kemana masyarakat akan mencari kepastian hukum terhadap
perbuatan-perbuatan hukum yang mereka lakukan. Friedman mengatakan bahwa
penegakan hukum dipengaruhi oleh substansi hukum, struktur hukum dan budaya
hukum masyarakat. Sturktur hukum yang tercermin dari profesi notaris menjadi
pertaruhan bagi masyarakat dalam mencari kepastian hukum.
Secara jujur kita mengakui bahwa kemungkinan notaris melakukan
pelanggaran hukum terkait dengan akta dibuatnya bisa terjadi. Hal ini dikarenakan
faktor budaya hukum masyarakat menjadi pemicu notaris melakukan pelanggaran.
Sebaliknya notaris yang menjalankan jabatan dengan sungguh-sunguh sesuai
ketentuan undang-undang, maka tidak ada alas an penyidik dapat menyeret notaris
dalam sebuah kasus pidana.

D. Kewenangan MPD bersifat administratif


Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan
kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. (
Oleh karena yang diawasi adalah Notaris maka disebut juga sebagai Majelis
Pengawas Notaris ). Badan ini dibentuk oleh Menteri guna mendelegasikan
kewajibannya untuk mengawasi (sekaligus membina) Notaris yang meliputi perilaku
dan pelaksanaan jabatan Notaris (lihat pasal 67 UU JN juncto pasal 1 ayat 1
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004).
Dalam melaksanakan tugas kewajibannya Badan tersebut secara fungsional
dibagi menjadi 3 bagian secara hirarki sesuai dengan pembagian suatu wilayah
administratif ( Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat ) yaitu : Majelis Pengawas
Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. (Pasal 68 UU JN
). Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya Majelis Pengawas Daerah bisa
mengawasi beberapa daerah kabupaten/kota dalam satu propinsi.
Terkait dengan kewenangan Majelis Pengawas Daerah (MPD) diatur dalam
Pasal 27 ayat (2) huruf a dan Pasal 70 UU No. 30 tahun 2004. Pasal 27 ayat (2)
huruf a mengatur tentang wewenang MPD memberikan persetujuan cuti kepada
notaris yang jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 (enam) bulan. Permohonan cuti
notaris harus disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum cuti
dilaksanakan, kecuali ada alasan lain yang sah. 3 MPD bisa menolak permohanan
cuti notaris jika syarat-syarat yang ditentukan undang-undang tidak terpenuhi. 4

3
Lihat Pasal 20 Permenkumham No. 25 tahun 2014
4
Lihat Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 2004 menyebutkan bahwa surat keterangan cuti
paling sedikit memuat:
a. Nama notaris
b. Tanggal mulai dan berakhirnya cuti
c. Nama notaris pengganti disertai dokumen yang mendukung Notaris Pengganti tersebut sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan
Penolakan permohonan cuti notaris oleh MPD dapat diajukan keberatan kepada
Majelis Pengawas Wilayah (MPW), jika MPW juga menolak permohonan cuti notaris
dapat diajukan keberatan kepada Majelis Pengawas Pusat (MPP).
Disamping kewenangan dalam Pasal 27 UUJN, MPD juga berwenang dalam
hal;
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode
etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris
b. Melakukan pemeriksaan terhadap protocol notaris secara berkala 1 (satu) tahun
atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima
Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. Menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol
Notaris yang diangkat sebagai Pejabat Negara
g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode
Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang;
h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g kepada Majelis Pengawas
Wilayah.
Mencermati wewenang MPD tersebut dapat disimpulkan bahwa
Kewenangan pengawasan oleh MPD bukan kewenangan yang bersifat mandiri.
MPD sebagai perpanjangan tangan dari Menteri Hukum dan HAM. Hasil
pemeriksaan yang dilakukan MPD terhadap Notaris berupa rekomendasi kepada
MPW, dan MPW akan meneruskan kepada MPP. Pelaksanaan penjatuhan sanksi
bagi notaris tetap ada pada Menteri Hukum dan HAM sebagai pejabat yang
mengangkat dan memberhentikan notaris jika terbukti melakukan pelanggaran-
pelanggaran administrasi dalam UUJN.

E. Strategi Notaris Dalam Menghadapi Perkara Pidana/Perdata dikaitkan


dengan Kewenangan MPD dan MKN.
Seperti telah disebut diawal tulisan ini bahwa kemungkinan notaris melakukan
pelanggaran terhadap UUJN dan perundang-undangan lainnya bisa saja terjadi.
Pelangaran tersebut dapat berakibat notaris dimintakan pertanggungjawaban
hukum, tidak saja pertanggungjawaban administrasi, perdata bahkan juga
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal notaris melakukan pelanggaran terhadap
UUJN berakibat akta yang dibuatnya menjadi tidak otentik. Akta tersebut bisa saja
terdegradasi menjadi akta dibawah tangan. Akibat terdegradasinya akta notaris
menjadi akta dibawah tangan membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang
dirugikan notaris untuk menuntut ganti rugi secara perdata.
Terhadap kemungkinan notaris dimintakan pertanggungjawaban secara
pidana jika terpenuhi unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (1) Permenkumham No. 7
Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris. Unsur-unsur tersebut adalah;
a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau
surat-surat notaris dalam penyimpanan notaris;
b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluarsa
dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana
c. Adanya penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau
lebih;
d. Adanya dugaan pengurangan atau penambahan atas minuta akta; atau;
e. Adanya dugaan notaris melakukan pemunduran tanggal (antidatum)
Pembatasan secara limitatif terkait unsur-unsur notaris bisa dimintakan
pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perlindungan hukum kepada
notaris. Hal ini terlihat dengan keberadaan Majelis Kehormatan Notaris (MKN)
sesuai ketentuan Pasal 66 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 bahwa untuk
kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk dapat
mengambil minuta akta atau Protokol Notaris dan surat surat lainnya yan termasuk
dalam penyimpanan notaris termasuk memanggil notaris untuk hadir dalam
pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanannya harus mendapat persetujuan dari MKN.
Dalam menjalankan wewenangnya MKN harus mendasarkan keputusannya
berdasarkan pertimbangan dalam Pasal 27 ayat (1) Permenkumham No. 7 Tahun
2016. Jika unsur-unsur dalam pasal tersebut tidak terpenuhi, MKN harus tegas untuk
tidak memberikan rekomendasi kepada penyidik guna melakukan pemeriksaan
terhadap Notaris. Sebaliknya MKN juga harus tegas dalam keputusannya
memberikan rekomendasi kepada penyidik bila unsur-unsur Pasal 27 ayat (1)
Permenkumham terpenuhi.
F. Kesimpulan
Dari uraian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa notaris sebagai
pejabat umum harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat tidak
hanya terhadap akta yang dibuatnya tetapi juga dalam sikap dan perbuatan notaris.
Sikap dan perbuatan tersebut akan tercermin pada proses pembuatan akta dengan
berpedoman kepada UUJN dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Literatur
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang No. 2 tahun 2014
- Permenkumham No. 25 tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pengangkatan, Perpindahan, Permberhentian, Dan Perpanjangan Masa
Jabatan Notaris
- Permenkumham No. 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris

Anda mungkin juga menyukai