36
Sehubungan dengan wewenang yang diberikan bagi Notaris oleh Undangundang maka selain Notaris, pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu,
artinya wewenang mereka tidak sampai pada pembuatan akta otentik sebagaimana
36
Putri Ayub, Indikator Tugas-tugas Jabatan Notaris, Softmedia Medan, 2011, hal. 15
38
39
39
telah ditugaskan oleh Undang-undang kepada Notaris. Adapun pejabat lain yang
diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain:
1) Consul (berdasarkan Conculair Wet);
2) Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman (Pasal 2 PJN S1860-3);
3) Notaris Pengganti;
4) Juru Sita pada Pengadilan Negeri;
5) Pegawai Kantor Catatan Sipil.
37
Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum akan
tetapi mereka itu bukan Pejabat Umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih
lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan:
Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai
kedudukan sebagai penjabat umum. Di Indonesia, seorang advokat,
meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk
membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai
penjabat umum. Sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil (Ambtenaar
van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat
akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta
kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh
Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang
38
untuk membuat akta-akta itu.
Sebagaimana diketahui Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa tugas pokok dari Notaris
adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-
37
H. Budi Untung, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, 2002, hal. 43-44.
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peraihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik,
Kanisius, Yogyakarta, 2001, Jakarta, hal. 43.
38
40
40
pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak. Hal ini dapat dilihat
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa: Suatu akta
otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orangorang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang dimuat di dalamnya.
Menjalankan tugas jabatannya, Notaris tidak hanya berwenang untuk
membuat akta otentik dalam arti menyusun, membacakan dan menandatangani dan
dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: Suatu akta otentik ialah suatu
akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya, tetapi kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dapat jugat
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004 Jabatan Notaris yang berbunyi:
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetap oleh undang-undang.
Dilihat dari uraian pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa kewajiban
terhadap Notaris untuk membuat suatu akta, kecuali apabila terdapat alasan-alasan
yang mempunyai dasar untuk menolak pembuatan akta tersebut. Notaris dalam
41
41
menjalankan tugas jabatannya juga dituntut harus memberikan nasehat hukum dan
penjelasan
mengenai
ketentuan
Undang-undang
kepada
pihak-pihak
yang
bersangkutan. Adanya hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan
keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakannya,
menyebabkan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk menunjuk dan mengangkat
Notaris.
Terhadap otentisitas suatu akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, dapat
dilihat dari unsur-unsur yang tercantum di dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di
atas, yakni sebagai berikut:
a.
b.
c.
Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk
membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat.
Berkaitan dengan tugas dan wewenang Notaris yang diberikan oleh
pemerintah kepadanya, untuk itu Notaris dalam menjalan tugas jabatannya harus
berpegangan pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturanperaturan yang ada, baik itu Undang-undang maupun Kode Etik Profesi Notaris.
Notaris adalah merupakan suatu profesi, karena itu, terhadapnya perlu diberikan
aturan etika profesi dalam bentuk kode etik, di samping diberikan kepadanya tempat
42
42
bernaung dalam suatu organisasi profesi Notaris yang disebut dengan Ikatan Notaris
Indonesia, atau yang disingkat dengan INI.
39
mengingat
kewenangan
lembaga
Notariat diabdikan
40
39
43
43
44
44
Ibid.
45
45
tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan karena akta yang
dibuat di bawah tangan baru berlaku sah apabila semua pihak yang
menandatangani mengakui kebenarannya dari tanda tangan itu atau apabila
dengan cara yang sah menurut hukum telah diakui yang bersangkutan, sedang
akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya.
Apabila suatu akta kelihatan sebagai akta otentik artinya dari kata-katanya yang
berasal dari seorang pejabat umum maka akta itu terhadap setiap orang dianggap
sebagai akta otentik.
2. Kekuatan pembuktian formal.
Dalam arti formal akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan
yakni yang dilihat, didengar, dan juga yang dilakukan oleh Notaris sebagai
Pejabat umum dalam menjalankan jabatannya
3. Kekuatan pembuktian materiil.
Isi dari akta itu dianggap sebagai yang benar terhadap setiap orang, kekuatan
pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871, dan 1875 KUH
Perdata. Isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar
diantara para pihak dan para ahli waris serta penerima hak mereka .
42
Jika ternyata akta yang dibuat oleh Notaris tersebut isinya tidak benar maka
dalam hal ini Notaris tidak dapat dikatakan telah memalsukannya. Notaris hanya
mengesahkan apa yang didengarnya dari para pihak. Namun pihak yang menghadap
tersebutlah yang dikatakan telah melakukan pemalsuan. Hal ini juga dipertegas oleh
42
46
46
GHS Lumban Tobing dalam bukunya Peraturan Jabatan Notaris yang dikutip oleh A.
Kohar yang menyebutkan antara lain:
1. Apabila dapat dibuktikan, bahwa para penghadap yang disebut dalam akta itu
sebenarnya tidak dapat menghadap kepada Notaris (para saksi mengenal
memberikan keterangan yang tidak benar atau mereka melakukan kekhilafan),
maka akta itu tidak mempunyai kekuatan otentik. Akan tetapi hal ini bukanlah
disebabkan kesalahan Notaris.
2.
3.
Apabila dalam hal ini dapat dibuktikan, bahwa para Notaris tidak mengenal para
penghadap, artinya bahwa yang disebut dalam akta A tidak datang menghadap
Notaris, maka akibatnya ialah bahwa akta itu tidak mempunyai kekuatan
otentik.
43
Ruang lingkup tugas pelaksanaan jabatan Notaris yaitu membuat alat bukti.
Alat bukti ini yang dinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu,
dan alat bukti tersebut berada dalam tataran Hukum Perdata, dan bahwa Notaris
membuat akta karena ada permintaan dari para pihak yang menghadap, tanpa ada
permintaan dari para pihak, Notaris tidak akan membuat akta apapun, dan Notaris
membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan, atau
penyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada
43
A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 136.
47
47
44
Peran Notaris dalam hal ini juga untuk memberikan nasihat hukum yang
sesuai dengan permasalahan yang ada. Apapun nasihat hukum yang diberikan kepada
para pihak dan kemudian dituangkan ke dalam akta yang bersangkutan tetap sebagai
keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan sebagai
keterangan atau pernyataan Notaris.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mnejelaskan tentang Notaris
yang diduga melakukan tindak pidana dapat diajukan proses pidana melalui:
1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris.
2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
Kaitan untuk meminta keterangan Notaris atas laporan pihak tertentu, menurut
Pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka jika
Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim, maka instansi yang ingin
44
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ikhtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2007, hal. 51.
48
48
memanggil tersebut wajib minta persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD).
Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
tersebut bersifat imperatif atau perintah. Dalam praktik sekarang ini, ada juga Notaris
yang dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim langsung datang menghadap
kepada intansi yang memanggilnya, tanpa diperiksa dulu oleh MPD artinya
menganggap sepele terhadap MPD, jika Notaris melakukan seperti ini, maka menjadi
tanggungjawab Notaris sendiri, misalnya jika terjadi perubahan status dari Saksi
menjadi Tersangka atau Terdakwa.
Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris tersebut bagi Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim bersifat imperatif, artinya
jika Kepolisian. Kejaksaan atau Hakim mengabaikan ketentuan Pasal 66 Undangundang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka terhadap Kepolisian,
Kejaksaan atau Hakim dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap undangundang, maka jika hal ini terjadi, dapat dilaporkan ke polisi, Kejaksaan dan Hakim
kepada atasannya masing masing, dan di sisi yang lain, perkara yang disidik atau
diperiksa tersebut, dapat dikategorikan cacat hukum (dari segi Hukum Acara Pidana)
yang tidak dapat dilanjutkan (ditunda untuk sementara) sampai ketentuan Pasal 66
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dipenuhi.
Praktik yang ada ditemukan juga, Ketika seorang Notaris oleh MPD tidak
diizinkan untuk memenuhi panggilan penyidik/kepolisian, maka penyidik mencari
49
49
cara lain, yaitu memanggil saksi akta Notaris, untuk ditanya dan menceritakan aspek
materil dari akta yang bersangkutan.
45
Pernanggilan saksi akta tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai
dengan Hukum Kenotariatan, karena pada akhir akta yang menyebutkan dalam setiap
akta wajib ada 2 (dua) orang saksi, dan akhir akta ini merupakan bagian dan aspek
formal Notaris yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta Notaris itu
sendiri, dengan kata lain dengan tidak diizinkannya Notaris untuk diperiksa oleh
penyidik, maka para saksi akta pun tidak perlu untuk diperiksa. Aspek formal dalam
pembuatan akta merupakan salah satu pembuktian, karena bentuknya sesuai dengan
ketentuan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur bahwa
ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran,
maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata, administrasi,
dan kode etik jabatan Notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian
rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris, dan sekarang dalam Dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Jabatan Notaris, dan tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris.
Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau
pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi
45
50
50
atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau
diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.
Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek formal, maka dapat dijatuhi sanksi
46
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 25.
51
51
perdata dan adrninistrasi, tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik
jabatan Notaris.
47
C. Pengertian Tender
Persekongkolan tender merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang
menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999). Larangan
persekongkolan tender dilakukan karena dapat menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat dan bertentangan dengan tujuan dilakukannya tender tersebut, yaitu untuk
memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan
harga dan kualitas bersaing.
Larangan ini diharapkan pelaksanaan tender akan menjadi efisien, artinya
mendapakan harga termurah dengan kualitas terbaik.
48
tender termasuk salah satu perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian Negara.
49
Negara sebagai badan hukum publik memiliki organ birokrasi yang senantiasa
membutuhkan barang dan/atau jasa untuk keperluan pembangunan, pengelolaan
pemerintahan dan pemberian jasa pelayanan kepada publik. Adanya manipulasi harga
dalam tender akan mengakibatkan kegiatan pembangunan serta pengadaan barang
dan jasa yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
47
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik,(Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 121.
48
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender Berdasarkan
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Jakarta: Cetakan ke-IV, 2007), hal. 4.
49
Nurmadjito, Pakta Intergritas, Legal Review 28/TH III, Januari 2005. hal. 35. Lihat pula
Keuangan Daerah: Pengadaan Barang Jasa Bisa jadi Sumber Korupsi, Kompas, 25 Februari 2006,
hal. 27.
52
52
50
menganggap
perlu
untuk
memberikan
perhatian
khusus
tentang
Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah
berikut
beberapa
53
53
51
dengan
cara
melakukan
kesepakatan-kesepakatan
yang
bertujuan
memenangkan tender. Kegiatan ini akan berimplikasi pada pelaku usaha lain yang
tidak ikut dalam kesepakatan tersebut, dan tidak jarang mengakibatkan kerugian bagi
pihak pengguna penyedia jasa atau barang karena adanya ketidak-wajaran harga.
Pengaturan persekongkolan tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk
mengatur
dan
atau
menentukan
pemenang
tender
sehingga
dapat
51
54
54
pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan,
menyediakan barang/jasa yang diperjanjikan sebelumnya.
52
53
serta divestasi dua unit kapal tanker (Very Large Crude Carrier/VLCC)
milik Pertamina,
54
Yakum Adi Krisanto, Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik
Putusan KPPU tentang Persekongkolan Tender, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 24 Nomor II, 2005, hal.44.
53
Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT IMSI.
54
Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2004 tentang Tender Penjualan Kapal VLCC PT
Pertaminan
55
Indonesia, Keppres Nomor 80 Tahun 2003, Pasal 3.
55
55
2.
efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah
ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan
sasaran yang ditetapkan;
3.
terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia
barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang
sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria
tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
4.
5.
6.
akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat
bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pelayanan masyarakat
sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan
barang/jasa.
Dalam proses penyelenggaraan tender harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
56
56
1.
Penyelenggara tender, yaitu pengguna barang dan/atau jasa; penjual barang; dan
panitia tender.
2.
Peserta tender, yaitu para pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa, atau
pembeli barang, yang memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta tender.
3.
4.
Penawaran teknis dan harga terbaik yang diajukan oleh penyedia barang dan/atau
jasa, atau penawaran harga terbaik yang diajukan oleh pembeli barang.
5.
6.
Waktu tertentu.
7.
Tata cara dan metode tertentu, antara lain meliputi prosedur tender, cara
pemberitahuan perubahan, penambahan, atau pengurangan isi dokumen tender;
cara penyampaian penawaran, mekanisme evaluasi, dan penentuan pemenang
tender; serta mekanisme pengajuan sanggahan dan/atau tanggapan.
57
57
56
57
Tender
jasa.
Pengertian
tersebut
sangatlah
sempit
dan
terbatas.
58
Yakub Adi Krisanto, Terobosan Hukum Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran
Hukum Persekongkolan Tender (Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
Pasca Tahun 2006), Jurnal Hukum Bisnis (Volume 27 No. 3, 2008), hal. 66.
57
Sampai dengan tahun 2002, KPPU dalam putusan-putusan tentang persekongkolan tender
masih menggunakan definisi persekongkolan tender dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999.
Namun setelah Putusan KPPU No. 3/KPPU-I/2002, KPPU dalam melakukan penilaian kasus-kasus
pelanggaran Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan definisi persekongkolan tender putusan
tersebut. Ibid., hal. 64.
58
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta:
Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, 2000).
58
58
waktu, maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender
dilakukan secara jujur. Selain itu, nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa) menjadi
lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol.
Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya
melalui APBN, maka akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Persekongkolan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun
1999 tersebut bersifat abstrak dan umum, artinya ketentuan mengenai persekongkolan
tender belum mampu memberikan petunjuk hukum yang operasional ketika akan
digunakan untuk menganalisis kasus persekongkolan tender. Pendefinisian tender
dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 sangat sempit dan terbatas.
59
59
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Loc.Cit.
59
59
60
dasarnya bersifat anti persaingan karena melanggar tujuan tender yang sesungguhnya,
yaitu mendapatkan barang dan jasa dengan harga dan kondisi yang paling
menguntungkan.
61
tender dilakukan dengan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil
tidak diskriminatif, dan akuntabel, bila tidak maka konspirasi atau persekongkolan
dalam penawaran tender dapat terjadi.
60
Elly Supaini, Persekongkolan Tender Pengadaan Alat Kesehatan dan Kedokteran di RSUD
Kota Bekasi dan BRSD Cibinong Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Terhadap Putusan
KPPU No. 01/KPPU-L/2005 dan Putusan KPPU No. 13/KPPU-L/2005), Tesis Program Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 2008, hal. 4243.
61
Hansen., Op. Cit., hal. 314.
60
60
Pengertian tender termasuk dalam tujuan tender antara lain: pertama, tawaran
mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah) untuk
memborong suatu pekerjaan. Kedua, tawaran mengajukan harga dan kondisi yang
paling menguntungkan (harga terendah) untuk mengadakan barang-barang. Ketiga,
tawaran mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah)
untuk menyediakan jasa. Namun, dalam putusan-putusan di bawah ini, KPPU telah
menetapkan bahwa pengertian tender tidak hanya untuk penawaran terendah,
melainkan juga penawaran tertinggi.
Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat Pasal
22 di atas dapat diuraikan kedalam beberapa unsur sebagai berikut:
1.
orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian,
2.
Unsur bersekongkol;
Bersekongkol adalah kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan
pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan
tender tertentu.
61
61
3.
proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai
peserta tender dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut.
4.
pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk
menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/ atau untuk memenangkan
peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan atau penentuan
pemenang tender tersebut antara lain dilakukan dalam hal penetapan kriteria
pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya.
5.
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Demikianlah diuraikan unsur-unsur dari Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selanjutnya,
akan dibahas mengenai tahap-tahap pelaksanaan tender.
Persekongkolan dalam tender dapat dilakukan secara terang-terangan maupun
diam-diam melalui tindakan penyesuaian, penawaran sebelum dimasukkan, atau
menciptakan persaingan semu, atau menyetujui dan atau memfasilitasi, atau
62
62
usaha
teknis
tertentu dengan
yang mengarah
menentukan
persyaratan
kualifikasi dan
menghambat
pelaku usaha lain untuk ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk memperoleh
penawaran harga yang paling menguntungkan tidak terjadi. Pemaketan pengadaan
yang seharusnya dilaksanakan
62
63
63
persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar
dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pengertian tersebut,
Krisanto membagi unsur-unsur dalam persekongkolan tender sebagai berikut:
63
sebagai
otoritas
pengawas
persaingan
dalam
menilai
kasus-kasus
63
64
64
Yakub Adi Krisanto, Analisis Pasal 22, Op. Cit., hal. 45.
Ibid, hal. 66.
64
64
Unsur pelaku usaha dan persaingan usaha tidak sehat memiliki definisi yang
telah dijelaskan secara eksplisit dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini berbeda
dengan unsur pihak lain, bersekongkol, serta mengatur dan/atau menentukan
pemenang tender (MMPT). Terhadap unsur yang definisinya tidak diatur dalam UU
Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berinisiatif mengajukan definisi, sebagai dasar untuk
melakukan kajian atau penilaian atas kasus-kasus persekongkolan tender.
beberapa
kasus
persekongkolan
tender,
KPPU
juga
telah
65
Dalam
memberikan
66
65
66
Ibid.
Yakub Adi Krisanto, Analisis Pasal 22, Op. Cit., hal. 42.
65
65
meningkatkan besaran nilai pengadaan yang akan menang dan oleh karenanya dapat
menikmati keuntungan dari nilai tersebut.
Persekongkolan
tender
terbagi
atas
persekongkolan
horizontal
dan
66
66
menetapkan penawaran yang akan menang (bidding winner) kepada satu atau lebih
pihak yangbersekongkol. Ini biasa disebut dengan pembayaran kompensasi yang
kadang diasosiasikan
F. Keterlibatan Notaris Dalam Persekongkolan Tender
Hasil pemeriksaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terhadap dugaan
persekongkolan
dan penyelewengan
tender
pengadaan
televisi,
DVD,
dan
Putusan KPPU Nomor 41/KPPU-L/2008 tentang Lelang Pengadaan Televisi, DVD, dan
Antena di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2007
67
67
68
68
perbuatan
pidana,
umumnya
menempatkan
Notaris
sebagai
saksi.
Pemanggilan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana dilakukan oleh penyidik
69
69
dalam rangka memperoleh keterangan yang obyektif terhadap perkara yang sedang
dalamproses penyidikan diKepolisian karena fungsi penyidik adalah membuat terang
suatu tindak pidana. Adapun perkara pidana berkaitan dengan akta Notaris yang
menonjol umumnya pelanggaran Pasal 263 KUHP yaitu pemalsuan surat
Notaris bukan berarti steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum
atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana, jika dapat dibuktikan
di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak disengaja Notaris bersama-sama
dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk
menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang
lain, jika hal ini terbukti, maka Notaris tersebut wajib dihukum.
Ketentuan normatif ini mengatur Notaris agar Notaris dalam menjalankan
profesinya selalu terkontrol dengan formalitas yang telah digariskan. Artinya tuntutan
profesi Notaris lebih merujuk pada bentuk dari akta yang dihasilkan bukan substansi
(materi) dari akta. Materi akta dan tanggung jawab atas isinya berada di pundak para
pihak yang mengadakan perjanjian. Namun terkadang dalam suatu akta memuat
konstruksi-konstruksi hukum tertentu yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan di
bidang hukum perjanjian.
Mengenai
untuk
70
70
68
Karena terbukti bersekongkol, kedua pelaku usaha (PT. Auna Rahmat dan PT.
Hari Maju) dikenai denda masing-masing Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan
Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Keduanya juga dilarang mengikuti setiap
tender yang diadakan Pemprov Sumut, selama dua tahun sejak putusan No.
18/KPPU-L/2007 itu berkekuatan hukum tetap.
Sementara, terhadap panitia tender, Majelis Komisi merekomendasikan
kepada pejabat yang berwenang di Pemprov Sumut untuk menjatuhkan sanksi
administratif. Majelis Komisi juga meminta Gubernur Pemerintah Provinsi
(selanjutnya disebut pemprov) Sumut untuk menginstruksikan Kepala Dinas
Pendidikan, berikut instansi di bawahnya, agar membuat dan melaksanakan aturan
tender sesuai ketentuan yang berlaku. Lalu, Gubernur juga diminta untuk mengawasi
pelaksanaan tender di seluruh instansi Pemprov Sumut.
Rekomendasi itu terkait pelanggaran yang dilakukan panitia tender terhadap
pasal 18 ayat (3) Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Panitia tender dinilai telah keliru
68
71
71
dalam menerapkan metode dua sampul. Kekeliruan itu terjadi tatkala panita tender
membuka harga penawaran yang termasuk dalam sampul dua. Padahal, kedua pelaku
usaha yang mengikuti tender tadi, dinyatakan tidak lulus evaluasi oleh panitia tender,
saat memasukan harga penawaran dalam sampul satu. Apabila peserta tender tidak
lulus evaluasi sampul satu, maka sampul dua tidak perlu dibuka panita tender.
69
Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara
luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi
kualifikasi tidak dapat mengikutinya.
b.
Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha
dengan kompetensi yang sama.
c.
Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah
kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.
Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan dalam tender,
ibid
72
72
4.
73
73
6.
Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang, antara lain
meliputi:
a. Jangka waktu pengumuman tender/lelang yang sangat terbatas.
74
74
75
75
8.
Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga
dasar lelang, antara lain meliputi:
a. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu
produk atau jasa yang ditender/dilelangkan.
b. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar hanya diberikan kepada pelaku usaha
tertentu.
c. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan
yang tidak jelas dan tidak wajar.
9.
Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house lelang,
antara lain meliputi:
a. Informasi atas barang/jasa yang ditender atau dilelang tidak jelas dan
cenderung ditutupi.
b. Penjelasan tender/lelang dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas
sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya.
c. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang
seharusnya diberikan secara terbuka.
d. Salah satu calon peserta tender/lelang melakukan pertemuan tertutup dengan
Panitia.
10. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau
kotak penawaran tender/lelang, antara lain meliputi:
a. Adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.
76
76
77
77
78
78
Adanya hubungan antara kode etik dan UUJN memberikan arti terhadap
profesi Notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki agar Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada
UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab kepada
masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI)
maupun terhadap negara. Dengan adanya hubungan ini, maka terhadap Notaris yang
mengabaikan keluruhan dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril,
ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya juga dapat dipecat dari jabatannya
sebagai Notaris.
Menurut Muhammad sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori, bahwa
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya :
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta
yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan karena jabatannya.
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya, akta yang dibuatnya
itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan
dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan produk akta
yang dibuatnya itu.
79
79
3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai
kekuatan bukti sempurna.
70
Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris adalah perbuatan atau tindakan
yang dilakukan oleh anggota perkumpulan Organisasi Ikatan Notaris Indonesia
maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang melanggar
ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi.
Berdasarkan keadaan-keadaan di atas, maka apabila Notaris telah melakukan
kewajibannya dengan baik sesuai dengen ketentuan perundangan dan kode etik yang
telah
ditetapkan,
maka
Notaris
tidak
dapat
disalahkan.
Kalaupun
terjadi
persekongkolan tender, biasanya murni dilakukan oleh pelaku usaha. Notaris hanya
merupakan pihak yang melegalkan badan hukum yang akan dijadikan subjek dalam tender.
Pada dasarnya, kode etik Notaris itu bertujuan untuk disatu pihak menjaga martabat
profesi yang bersangkutan, dan dilain pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari
penyalahgunaan keahlian dan/atau otoritas profesional. Notaris seyogyanya hidup dan
berperilaku baik di dalam menjalankan jabatannya atas dasar nilai, moral dan etik Notaris.
mendasarkan pada nilai, moral dan etik Notaris, maka hakekat pengembanan profesi jabatan
Notaris adalah Pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak.
70
Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. UII
Press. Yogyakarta. 2009, hal.48