Anda di halaman 1dari 42

BAB II

PERANAN NOTARIS APABILA TERBUKTI ADANYA


PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER TERKAIT UNDANG UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI
DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
A. Peranan Notaris Sebagai Pembuat Akta
Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris menjelaskan tentang pengertian Notaris: Pejabat umum yang berwenang
untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini. Untuk memberikan penegasan bahwa Notaris adalah
satu-satunya yang mempunyai wewenang tertentu, bukan pejabat lain, dapat dilihat
dari definisi di atas bahwa:
a. Notaris adalah pejabat umum.
b. Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta
otentik yang diberikan oleh Undang-undang.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lain yang diberikan undang-undang. Pemberian wewenang itu
bertujuan untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum kepada
masyarakat.

36

Sehubungan dengan wewenang yang diberikan bagi Notaris oleh Undangundang maka selain Notaris, pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu,
artinya wewenang mereka tidak sampai pada pembuatan akta otentik sebagaimana
36

Putri Ayub, Indikator Tugas-tugas Jabatan Notaris, Softmedia Medan, 2011, hal. 15

38

Universitas Sumatera Utara

39
39

telah ditugaskan oleh Undang-undang kepada Notaris. Adapun pejabat lain yang
diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain:
1) Consul (berdasarkan Conculair Wet);
2) Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman (Pasal 2 PJN S1860-3);
3) Notaris Pengganti;
4) Juru Sita pada Pengadilan Negeri;
5) Pegawai Kantor Catatan Sipil.

37

Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum akan
tetapi mereka itu bukan Pejabat Umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih
lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan:
Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai
kedudukan sebagai penjabat umum. Di Indonesia, seorang advokat,
meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk
membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai
penjabat umum. Sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil (Ambtenaar
van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat
akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta
kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh
Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang
38
untuk membuat akta-akta itu.
Sebagaimana diketahui Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa tugas pokok dari Notaris
adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-

37

H. Budi Untung, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, 2002, hal. 43-44.
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peraihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik,
Kanisius, Yogyakarta, 2001, Jakarta, hal. 43.
38

Universitas Sumatera Utara

40
40

pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak. Hal ini dapat dilihat
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa: Suatu akta
otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orangorang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa
yang dimuat di dalamnya.
Menjalankan tugas jabatannya, Notaris tidak hanya berwenang untuk
membuat akta otentik dalam arti menyusun, membacakan dan menandatangani dan
dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: Suatu akta otentik ialah suatu
akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta
dibuatnya, tetapi kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dapat jugat
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004 Jabatan Notaris yang berbunyi:
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetap oleh undang-undang.
Dilihat dari uraian pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa kewajiban
terhadap Notaris untuk membuat suatu akta, kecuali apabila terdapat alasan-alasan
yang mempunyai dasar untuk menolak pembuatan akta tersebut. Notaris dalam

Universitas Sumatera Utara

41
41

menjalankan tugas jabatannya juga dituntut harus memberikan nasehat hukum dan
penjelasan

mengenai

ketentuan

Undang-undang

kepada

pihak-pihak

yang

bersangkutan. Adanya hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan
keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakannya,
menyebabkan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk menunjuk dan mengangkat
Notaris.
Terhadap otentisitas suatu akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, dapat
dilihat dari unsur-unsur yang tercantum di dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di
atas, yakni sebagai berikut:
a.

Bahwa akta itu dibuat dalam bentuk menurut hukum;

b.

Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum;

c.

Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk
membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat.
Berkaitan dengan tugas dan wewenang Notaris yang diberikan oleh

pemerintah kepadanya, untuk itu Notaris dalam menjalan tugas jabatannya harus
berpegangan pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturanperaturan yang ada, baik itu Undang-undang maupun Kode Etik Profesi Notaris.
Notaris adalah merupakan suatu profesi, karena itu, terhadapnya perlu diberikan
aturan etika profesi dalam bentuk kode etik, di samping diberikan kepadanya tempat

Universitas Sumatera Utara

42
42

bernaung dalam suatu organisasi profesi Notaris yang disebut dengan Ikatan Notaris
Indonesia, atau yang disingkat dengan INI.

39

Notaris dalam profesinya sesungguhnya adalah merupakan pejabat umum,


yang dengan akta-aktanya akan menimbulkan alat-alat pembuktian tertulis dan
mempunyai sifat otentik, sehingga dengan adanya peran Notaris akan mendorong
masyarakat untuk mempergunakan alat-alat pembuktian tertulis (otentik). Oleh
karena itu Notaris harus aktif dalam pekerjaannya dan bersedia melayani masyarakat
manapun juga yang membutuhkan jasa-jasanya.
Negara merasa perlu menata kelembagaan notariat melalui sejumlah
pembatasan-pembatasan,

mengingat

kewenangan

lembaga

Notariat diabdikan

sepenuhnya untuk kepentingan yang lebih tinggi, yakni kepentingan masyarakat.


Garis kewenangan formal yang diderivasi dari kekuasaan umum inilah yang
membedakan jabatan Notaris dengan profesi-pofesi lainnya.

40

Berdasarkan hal di atas, pembatasan-pembatasan yang dimaksud dapat berupa


peraturan yang mengikat di kalangan Notaris (self regulation) yang diwujudkan
dalam kode etik Notaris. Di dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris selain
terikat dengan segala ketentuan yang tertuang dalam undang-undang, juga harus ikut
serta menegakkan ketertiban ditengah-tengah masyarakat.

39

H. M. N. Purwosujtipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Pengetahuan Dasar


Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 2007, hal. 16.
40
Irsyadul Anam Malaba, Pluralitas Organisasi Notaris Di antara Hak, Kebutuhan, Inefiensi
dan Tafsir Pemerintah, Jurnal Renvoi, Nomor 2. 26. III Tahun Ketiga 2005, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

43
43

B. Perlunya Akta Notaris Dalam Tender Pengadaan Barang dan Jasa


Pemerintah
Notaris sebagai pejabat umum yang berfungsi untuk menghubungkan
kepentingan para pihak dengan cara menuliskannya dalam sebuah akta. Dalam suatu
pembuatan akta, para pihak menerangkan kepada Notaris hal-hal yang dikehendaki
untuk dituangkan dalam akta tersebut. Notaris berkewajiban meneliti segala sesuatu
yang diterangkan oleh para penghadap apakah cocok dengan dokumen yang
diperlihatkan kepadanya (bunyi, isi surat kuasa, akta Notaris, berita negara, akta asalusul sebuah harta dan sebagainya).
Akta Notaris adalah akta yang dibuat dihadapan Notaris. Akta yang dibuat
dihadapan Notaris dikenal dengan partij akta yaitu akta dibuat karena dikehendaki
oleh para pihak, contohnya akta jual beli, perjanjian kerja sama, pendirian PT, CV,
Firma, Yayasan dan sebagainya Akta yang dibuat di hadapan Notaris disebut dengan
akta Notarial (otentik) karena di buat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang
dibuat tersebut juga dapat berfungsi sebagai alat bukti tertulis, terutama jika terjadi
permasalahan hukum. Apabila Notaris melakukan tindak pidana, maka tindak pidana
tersebut termasuk tindak pidana yang dilakukan pejabat yang masuk dalam kategori
white collar crime.
Perkembangan yang sering terjadi berkaitan erat dengan penggunaan
dokumen-dokumen atau surat-surat sebagai sarana untuk melakukan
perbuatan pidana tersebut di atas biasanya banyak dilakukan oleh orang-orang
yang termasuk lingkungan kejahatan kerah putih atau biasa disebut juga
dengan White Collar Crime, yang banyak menyangkut produk-produk
dokumen-dokumen atau surat-surat yang dibuat oleh pejabat, instansi
pemerintah (pusat dan daerah) dalam bentuk identitas, bahkan dalam bentuk

Universitas Sumatera Utara

44
44

sertifikat-sertifikat yang dipalsukan atau dalam bentuk surat-surat yang


seolah-olah memberikan keterangan kepadanya untuk bertindak sebagai pihak
dalam rangka pembuatan suatu akta (otentik) pada suatu kantor Notaris,
dengan kata lain kejahatan ini dilakukan untuk ditujukan kepada Notaris
sebagai produsen akta.41
Prosedur pembuktian terhadap akta Notaris yang harus dicermati, bahkan
harus diwaspadai sebab akta Notaris tersebut merupakan dokumen negara yang harus
dijaga, baik kerahasiaannya maupun cara penyimpanannya yang baik dan rapi, dan
wewenang Notaris untuk mempertahankan akta-akta yang telah dibuatnya. Majelis
hakim dapat memintanya sebagai alat bukti dalam suatu perkara tertentu.
Kepastian hukum akta otentik yaitu terletak pada kekuatan pembuktian, bukti
yang sempurna adalah bukti yang konkrit sehingga hakim memperoleh kepastian
yang cukup untuk mengabulkan akibat hukum yang dituntut oleh penggugat tanpa
mengurangi kemungkinan adanya bukti tentang kebalikannya. KUHPerdata sendiri
juga mengakui tentang kekuatan akta sebagai salah satu bagian dari alat bukti, yaitu
yang disebutkan dalam Pasal 1867 jo Pasal 1866 KUHPerdata: Pembuktian dengan
tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di
bawah tangan.
Akta sebagai surat yang otentik mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam
doktrin dikenal 3 jenis kekuatan pembuktian yaitu:
1. Kekuatan pembuktian suatu akta dilihat dari segi wujudnya atau lahiriahnya.
Akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sebagai akta
otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUH Perdata. Kemampuan ini
41

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

45
45

tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan karena akta yang
dibuat di bawah tangan baru berlaku sah apabila semua pihak yang
menandatangani mengakui kebenarannya dari tanda tangan itu atau apabila
dengan cara yang sah menurut hukum telah diakui yang bersangkutan, sedang
akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya.
Apabila suatu akta kelihatan sebagai akta otentik artinya dari kata-katanya yang
berasal dari seorang pejabat umum maka akta itu terhadap setiap orang dianggap
sebagai akta otentik.
2. Kekuatan pembuktian formal.
Dalam arti formal akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan
yakni yang dilihat, didengar, dan juga yang dilakukan oleh Notaris sebagai
Pejabat umum dalam menjalankan jabatannya
3. Kekuatan pembuktian materiil.
Isi dari akta itu dianggap sebagai yang benar terhadap setiap orang, kekuatan
pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871, dan 1875 KUH
Perdata. Isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar
diantara para pihak dan para ahli waris serta penerima hak mereka .

42

Jika ternyata akta yang dibuat oleh Notaris tersebut isinya tidak benar maka
dalam hal ini Notaris tidak dapat dikatakan telah memalsukannya. Notaris hanya
mengesahkan apa yang didengarnya dari para pihak. Namun pihak yang menghadap
tersebutlah yang dikatakan telah melakukan pemalsuan. Hal ini juga dipertegas oleh
42

Notaris, edisi khusus V, September 2000, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

46
46

GHS Lumban Tobing dalam bukunya Peraturan Jabatan Notaris yang dikutip oleh A.
Kohar yang menyebutkan antara lain:
1. Apabila dapat dibuktikan, bahwa para penghadap yang disebut dalam akta itu
sebenarnya tidak dapat menghadap kepada Notaris (para saksi mengenal
memberikan keterangan yang tidak benar atau mereka melakukan kekhilafan),
maka akta itu tidak mempunyai kekuatan otentik. Akan tetapi hal ini bukanlah
disebabkan kesalahan Notaris.
2.

Notaris meyaksikan, bahwa tuan A datang menghadap kepadanya. Penyaksian ini


dapat diterima sebagai benar, sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

3.

Apabila dalam hal ini dapat dibuktikan, bahwa para Notaris tidak mengenal para
penghadap, artinya bahwa yang disebut dalam akta A tidak datang menghadap
Notaris, maka akibatnya ialah bahwa akta itu tidak mempunyai kekuatan
otentik.

43

Ruang lingkup tugas pelaksanaan jabatan Notaris yaitu membuat alat bukti.
Alat bukti ini yang dinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu,
dan alat bukti tersebut berada dalam tataran Hukum Perdata, dan bahwa Notaris
membuat akta karena ada permintaan dari para pihak yang menghadap, tanpa ada
permintaan dari para pihak, Notaris tidak akan membuat akta apapun, dan Notaris
membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan, atau
penyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada

43

A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal. 136.

Universitas Sumatera Utara

47
47

atau di hadapan Notaris, dan selanjutnya Notaris membingkainya secara lahiriah,


formil dan materiil dengan tetap berpijak pada aturan hukum atau tata cara atau
prosedur pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum
yang bersangkutan yang dituangkan dalam akta.

44

Peran Notaris dalam hal ini juga untuk memberikan nasihat hukum yang
sesuai dengan permasalahan yang ada. Apapun nasihat hukum yang diberikan kepada
para pihak dan kemudian dituangkan ke dalam akta yang bersangkutan tetap sebagai
keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan sebagai
keterangan atau pernyataan Notaris.
Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mnejelaskan tentang Notaris
yang diduga melakukan tindak pidana dapat diajukan proses pidana melalui:
1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam
penyimpanan Notaris.
2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
Kaitan untuk meminta keterangan Notaris atas laporan pihak tertentu, menurut
Pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka jika
Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim, maka instansi yang ingin

44

Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ikhtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2007, hal. 51.

Universitas Sumatera Utara

48
48

memanggil tersebut wajib minta persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD).
Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
tersebut bersifat imperatif atau perintah. Dalam praktik sekarang ini, ada juga Notaris
yang dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim langsung datang menghadap
kepada intansi yang memanggilnya, tanpa diperiksa dulu oleh MPD artinya
menganggap sepele terhadap MPD, jika Notaris melakukan seperti ini, maka menjadi
tanggungjawab Notaris sendiri, misalnya jika terjadi perubahan status dari Saksi
menjadi Tersangka atau Terdakwa.
Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris tersebut bagi Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim bersifat imperatif, artinya
jika Kepolisian. Kejaksaan atau Hakim mengabaikan ketentuan Pasal 66 Undangundang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka terhadap Kepolisian,
Kejaksaan atau Hakim dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap undangundang, maka jika hal ini terjadi, dapat dilaporkan ke polisi, Kejaksaan dan Hakim
kepada atasannya masing masing, dan di sisi yang lain, perkara yang disidik atau
diperiksa tersebut, dapat dikategorikan cacat hukum (dari segi Hukum Acara Pidana)
yang tidak dapat dilanjutkan (ditunda untuk sementara) sampai ketentuan Pasal 66
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dipenuhi.
Praktik yang ada ditemukan juga, Ketika seorang Notaris oleh MPD tidak
diizinkan untuk memenuhi panggilan penyidik/kepolisian, maka penyidik mencari

Universitas Sumatera Utara

49
49

cara lain, yaitu memanggil saksi akta Notaris, untuk ditanya dan menceritakan aspek
materil dari akta yang bersangkutan.

45

Pernanggilan saksi akta tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai
dengan Hukum Kenotariatan, karena pada akhir akta yang menyebutkan dalam setiap
akta wajib ada 2 (dua) orang saksi, dan akhir akta ini merupakan bagian dan aspek
formal Notaris yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta Notaris itu
sendiri, dengan kata lain dengan tidak diizinkannya Notaris untuk diperiksa oleh
penyidik, maka para saksi akta pun tidak perlu untuk diperiksa. Aspek formal dalam
pembuatan akta merupakan salah satu pembuktian, karena bentuknya sesuai dengan
ketentuan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur bahwa
ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran,
maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata, administrasi,
dan kode etik jabatan Notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian
rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris, dan sekarang dalam Dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Jabatan Notaris, dan tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris.
Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau
pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi

45

Habib Adjie, Saksi Akta Notaris Vs. di Persidangan-2, http://rgs-opini-tanyajawabhukum.blogspot.com/2010/11/saksi-akta-Notaris-vs-di-persidangan-2.html,


diakses tanggal 20
Nopember 2011.

Universitas Sumatera Utara

50
50

atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau
diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.
Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap.


Pihak (siapa-orang) yang menghadap Notaris.
Tanda tangan yang menghadap.
Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta.
Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta
46
dikeluarkan. .

Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh Notaris, maka kepada


Notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau administratif atau aspekaspek tersebut merupakan batasan-batasan yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan
dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap Notaris,
tapi ternyata di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan
secara pidana atau dijadikan dasar untuk mempidanakan Notaris, dengan dasar
Notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai
suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.
Batasan-batasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan Notaris tersebut
merupakan pelanggaran terhadap aspek formal dari akta Notaris, dan seharusnya
berdasarkan

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Jika

Notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek formal, maka dapat dijatuhi sanksi

46

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara

51
51

perdata dan adrninistrasi, tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik
jabatan Notaris.

47

C. Pengertian Tender
Persekongkolan tender merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilarang
menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999). Larangan
persekongkolan tender dilakukan karena dapat menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat dan bertentangan dengan tujuan dilakukannya tender tersebut, yaitu untuk
memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan
harga dan kualitas bersaing.
Larangan ini diharapkan pelaksanaan tender akan menjadi efisien, artinya
mendapakan harga termurah dengan kualitas terbaik.

48

Selain itu, persekongkolan

tender termasuk salah satu perbuatan yang dapat mengakibatkan kerugian Negara.

49

Negara sebagai badan hukum publik memiliki organ birokrasi yang senantiasa
membutuhkan barang dan/atau jasa untuk keperluan pembangunan, pengelolaan
pemerintahan dan pemberian jasa pelayanan kepada publik. Adanya manipulasi harga
dalam tender akan mengakibatkan kegiatan pembangunan serta pengadaan barang
dan jasa yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan
47

Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik,(Bandung: Refika Aditama, 2008), hal. 121.
48
KPPU, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender Berdasarkan
UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(Jakarta: Cetakan ke-IV, 2007), hal. 4.
49
Nurmadjito, Pakta Intergritas, Legal Review 28/TH III, Januari 2005. hal. 35. Lihat pula
Keuangan Daerah: Pengadaan Barang Jasa Bisa jadi Sumber Korupsi, Kompas, 25 Februari 2006,
hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

52
52

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dikeluarkan secara tidak bertanggung


jawab.

50

Dan ironisnya, kerugian yang disebabkan adanya manipulasi harga

dibebankan kepada masyarakat.


Pengawasan terhadap adanya persekongkolan tender dilakukan oleh beberapa
lembaga Negara, antaralain oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (untuk
selanjutnya disebut KPPU). Sejak dibentuknya KPPU sebagai lembaga pengawas
persaingan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 75
Tahun1999, lembaga ini banyak menerima laporan dari masyarakat, yang lebih dari
70% (persen) di antaranya adalah tentang persekongkolan tender. Mengingat hal ini,
KPPU

menganggap

perlu

untuk

memberikan

perhatian

khusus

tentang

persekongkolan tender, sehingga dibentuklah pedoman tentang persekongkolan


tender, yang merupakan pedoman pertama atas UU Nomor 5 Tahun 1999.
Mengingat implikasi yang ditimbulkan atas adanya persekongkolan tender,
pemerintah juga senantiasa memperbaharui peraturan tentang pengadaan barang
dan/jasa di sektor publik dengan menetapkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pedoman

Pelaksanaan

Pengadaan

Barang/Jasa

Pemerintah

berikut

beberapa

amandemennya. Peraturan tersebut dimaksud agar pengadaan barang dan/atau jasa


pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan
sehat, transparan, terbuka, serta perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak
terkait, sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan baik dari segi fisik,
50

A. M. Tri Anggraini, Penegakan Hukum dan Sanksi dalam Persekongkolan Penawaran


Tender, Jurnal Legalisasi, 2007. http://sekartrisakti.files.wordpress.com/2011/06/implementasiistilah-tender.doc. diakses tanggal 11 Agustus 2011

Universitas Sumatera Utara

53
53

keuangan, maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan


masyarakat.

51

Persekongkolan tender merupakan suatu kegiatan yang dilakukan para pelaku


usaha

dengan

cara

melakukan

kesepakatan-kesepakatan

yang

bertujuan

memenangkan tender. Kegiatan ini akan berimplikasi pada pelaku usaha lain yang
tidak ikut dalam kesepakatan tersebut, dan tidak jarang mengakibatkan kerugian bagi
pihak pengguna penyedia jasa atau barang karena adanya ketidak-wajaran harga.
Pengaturan persekongkolan tender dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999
menyatakan sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk

mengatur

dan

atau

menentukan

pemenang

tender

sehingga

dapat

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.


Pada Penjelasannya, tender diartikan sebagai tawaran mengajukan harga
untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk
menyediakan jasa. Tawaran dilakukan oleh pemilik kegiatan atau proyek, di mana
untuk alasan efektivitas dan efisiensi, proyek diserahkan kepada pihak lain yang
memiliki kapabilitas untuk melaksanakan proyek tersebut.
Dari Penjelasan Pasal 22 tersebut, ruang lingkup tender meliputi tawaran
mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan, mengadakan
barang-barang, dan untuk menyediakan jasa. Apabila proyek ditenderkan, maka

51

Indonesia, Peraturan Presiden RI Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan


Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, bagian Menimbang.

Universitas Sumatera Utara

54
54

pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan,
menyediakan barang/jasa yang diperjanjikan sebelumnya.

52

Implementasiya, istilah tender tidak hanya terbatas pada memborong


pekerjaan, mengadakan atau menyediakan barang dan/atau jasa, tetapi berkembang
menjadi lebih luas seperti tender penjualan saham Indomobil Sukses Internasional
(PT. IMSI)

53

serta divestasi dua unit kapal tanker (Very Large Crude Carrier/VLCC)

milik Pertamina,

54

yang dianggap menghambat peserta tender lainnya dan bahkan

merugikan Negara. Demikian juga, putusan KPPU tentang persekongkolan tender


juga berkembang menjadi tender pemilihan partner untuk membangun pasar.
Tujuan utama pelaksanaan penawaran tender adalah memberikan kesempatan
yang seimbang bagi semua penawar sehingga menghasilkan harga yang paling murah
dengan output yang maksimal. Oleh karenanya, persekongkolan dalam penawaran
tender dianggap menghalangi terciptanya persaingan yang sehat di kalangan para
penawar yang beritikad baik untuk melakukan usaha di bidang bersangkutan. Agar
tercipta persaingan usaha yang sehat, pelaksanaan tender atau pengadaan barang/jasa
harus menerapkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:55
1.

efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan


dana dan daya terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan;
52

Yakum Adi Krisanto, Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik
Putusan KPPU tentang Persekongkolan Tender, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 24 Nomor II, 2005, hal.44.
53
Putusan KPPU Nomor 03/KPPU-I/2002 tentang Tender Penjualan Saham PT IMSI.
54
Putusan KPPU Nomor 07/KPPU-L/2004 tentang Tender Penjualan Kapal VLCC PT
Pertaminan
55
Indonesia, Keppres Nomor 80 Tahun 2003, Pasal 3.

Universitas Sumatera Utara

55
55

2.

efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah
ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan
sasaran yang ditetapkan;

3.

terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia
barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang
sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria
tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;

4.

transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan


barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi,
hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi
peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada
umumnya;

5.

adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua


calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan
kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;

6.

akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat
bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintah dan pelayanan masyarakat
sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan
barang/jasa.
Dalam proses penyelenggaraan tender harus memenuhi unsur-unsur sebagai

berikut:

Universitas Sumatera Utara

56
56

1.

Penyelenggara tender, yaitu pengguna barang dan/atau jasa; penjual barang; dan
panitia tender.

2.

Peserta tender, yaitu para pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa, atau
pembeli barang, yang memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta tender.

3.

Persyaratan tender, meliputi kualifikasi, klasifikasi, dan kompetensi peserta


tender; spesifikasi dan standar barang dan/atau jasa; jaminan yang harus
diberikan peserta tender; serta persyaratan-persyaratan lain yang ditetapkan
dalam dokumen tender pengadaan barang dan/atau jasa, dan/atau penjualan
barang.

4.

Penawaran teknis dan harga terbaik yang diajukan oleh penyedia barang dan/atau
jasa, atau penawaran harga terbaik yang diajukan oleh pembeli barang.

5.

Kualitas barang dan/atau jasa, untuk pengadaan barang dan/atau jasa.

6.

Waktu tertentu.

7.

Tata cara dan metode tertentu, antara lain meliputi prosedur tender, cara
pemberitahuan perubahan, penambahan, atau pengurangan isi dokumen tender;
cara penyampaian penawaran, mekanisme evaluasi, dan penentuan pemenang
tender; serta mekanisme pengajuan sanggahan dan/atau tanggapan.

D. Pengertian Persekongkolan Tender


Konsep persekongkolan tender di Indonesia memiliki kemiripan dengan
Amerika Serikat. Kemiripannya terdapat pada pengembangan konsep yang
didasarkan bukan pada peraturan perundang-undangan, melainkan lembaga pengawas

Universitas Sumatera Utara

57
57

persaingan hukum, yaitu KPPU di Indonesia dan pengadilan di Amerika Serikat.

56

Pada perkembangan awal penegakan hukum UU Nomor 5 Tahun 1999, khususnya


dalam putusan KPPU tentang persekongkolan tender, ditemukan kecenderungan
bahwa KPPU masih mencoba membangun konsep persekongkolan tender.

57

Tender

menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga untuk


memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk
menyediakan

jasa.

Pengertian

tersebut

sangatlah

sempit

dan

terbatas.

58

Persekongkolan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999


tersebut bersifat abstrak dan umum, artinya ketentuan mengenai persekongkolan
tender belum mampu memberikan petunjuk hukum yang operasional ketika akan
digunakan untuk menganalisis kasus persekongkolan tender.
Persekongkolan dalam tender menyebabkan terjadinya hambatan pasar bagi
peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan
memenangkan tender.
Hal ini tentu saja dapat merugikan konsumen dan pemberi kerja karena
konsumen atau pemberi kerja harus membayar harga yang lebih mahal daripada yang
sesungguhnya, padahal barang/jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah,
56

Yakub Adi Krisanto, Terobosan Hukum Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran
Hukum Persekongkolan Tender (Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
Pasca Tahun 2006), Jurnal Hukum Bisnis (Volume 27 No. 3, 2008), hal. 66.
57
Sampai dengan tahun 2002, KPPU dalam putusan-putusan tentang persekongkolan tender
masih menggunakan definisi persekongkolan tender dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999.
Namun setelah Putusan KPPU No. 3/KPPU-I/2002, KPPU dalam melakukan penilaian kasus-kasus
pelanggaran Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 menggunakan definisi persekongkolan tender putusan
tersebut. Ibid., hal. 64.
58
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta:
Lembaga Pengkajian Hukum Ekonomi Universitas Indonesia, 2000).

Universitas Sumatera Utara

58
58

waktu, maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender
dilakukan secara jujur. Selain itu, nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa) menjadi
lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol.
Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya
melalui APBN, maka akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
Persekongkolan tender yang dimaksud dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun
1999 tersebut bersifat abstrak dan umum, artinya ketentuan mengenai persekongkolan
tender belum mampu memberikan petunjuk hukum yang operasional ketika akan
digunakan untuk menganalisis kasus persekongkolan tender. Pendefinisian tender
dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 sangat sempit dan terbatas.

59

Sempit karena tender hanya diasumsikan sebagai kegiatan menawarkan harga,


sedangkan pada praktiknya, tender terdiri dari serangkaian kegiatan yang meliputi
antara lain: permintaan pengadaan barang dan/atau jasa, permintaan untuk membeli
barang (untuk tender penjualan barang), penawaran teknis dan harga atau penawaran
harga, evaluasi terhadap dokumen prakualifikasi (jika ada) dan dokumen penawaran,
pengajuan dan pemeriksaan sanggahan/tanggapan, serta penetapan pemenang tender.
Definisi tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 dibatasi pada penyelenggaraan
tender untuk mencari penyedia barang dan/jasa terbaik, padahal tender juga
diselenggarakan untuk mencari pembeli barang terbaik.

59

Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara

59
59

Definisi tender dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 terbatas hanya menekankan


pada penawaran harga, padahal dalam tender juga dikenal penawaran teknis.
Penawaran teknis dan penawaran harga merupakan dasar pertimbangan penting bagi
penyelenggara tender untuk menentukan pemenang tender. Bahkan dalam tendertender tertentu, penawaran teknis lebih penting dari penawaran harga, misalnya dalam
penentuan pemenang tender pembangunan pembangkit listrik. Dengan demikian,
mengingat tujuan penyelenggaraan tender, maka lebih tepat apabila tender diartikan
sebagai mekanisme atau rangkaian kegiatan untuk memilih penyedia barang dan/atau
jasa terbaik, atau pembeli terbaik.

60

Sehubungan dengan konsep atau istilah tender, United Nations Conference on


Trade and Development (untuk selanjutnya disebut UNCTAD) atau Konferensi PBB
mengenai Perdagangan dan Pembangunan

menyatakan bahwa tender kolusif pada

dasarnya bersifat anti persaingan karena melanggar tujuan tender yang sesungguhnya,
yaitu mendapatkan barang dan jasa dengan harga dan kondisi yang paling
menguntungkan.

61

Kondisi yang paling menguntungkan diperoleh bila penawaran

tender dilakukan dengan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil
tidak diskriminatif, dan akuntabel, bila tidak maka konspirasi atau persekongkolan
dalam penawaran tender dapat terjadi.

60

Elly Supaini, Persekongkolan Tender Pengadaan Alat Kesehatan dan Kedokteran di RSUD
Kota Bekasi dan BRSD Cibinong Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha (Studi Terhadap Putusan
KPPU No. 01/KPPU-L/2005 dan Putusan KPPU No. 13/KPPU-L/2005), Tesis Program Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, 2008, hal. 4243.
61
Hansen., Op. Cit., hal. 314.

Universitas Sumatera Utara

60
60

Pengertian tender termasuk dalam tujuan tender antara lain: pertama, tawaran
mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah) untuk
memborong suatu pekerjaan. Kedua, tawaran mengajukan harga dan kondisi yang
paling menguntungkan (harga terendah) untuk mengadakan barang-barang. Ketiga,
tawaran mengajukan harga dan kondisi yang paling menguntungkan (harga terendah)
untuk menyediakan jasa. Namun, dalam putusan-putusan di bawah ini, KPPU telah
menetapkan bahwa pengertian tender tidak hanya untuk penawaran terendah,
melainkan juga penawaran tertinggi.
Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa: Pelaku usaha dilarang
bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang
tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat Pasal
22 di atas dapat diuraikan kedalam beberapa unsur sebagai berikut:
1.

Unsur Pelaku Usaha


Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5, pelaku usaha adalah: Setiap

orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian,
2.

Unsur bersekongkol;
Bersekongkol adalah kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan

pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan
tender tertentu.

Universitas Sumatera Utara

61
61

3.

Unsur pihak lain;


Pihak lain adalah para pihak (vertikal dan horizontal) yang terlibat dalam

proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai
peserta tender dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut.
4.

Unsur mengatur dan atau menentukan pemenang tender; dan


Mengatur dan atau menentukan pemenang tender adalah suatu perbuatan para

pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk
menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/ atau untuk memenangkan
peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan atau penentuan
pemenang tender tersebut antara lain dilakukan dalam hal penetapan kriteria
pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya.
5.

Unsur persaingan usaha tidak sehat.


Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Demikianlah diuraikan unsur-unsur dari Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Selanjutnya,
akan dibahas mengenai tahap-tahap pelaksanaan tender.
Persekongkolan dalam tender dapat dilakukan secara terang-terangan maupun
diam-diam melalui tindakan penyesuaian, penawaran sebelum dimasukkan, atau
menciptakan persaingan semu, atau menyetujui dan atau memfasilitasi, atau

Universitas Sumatera Utara

62
62

pemberian kesempatan ekslusif, atau tidak menolak melakukan suatu tindakan


meskipun mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam
rangka memenangkan peserta tender tertentu.
Persekongkolan juga dapat terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha
dengan panitia tender atau panitia lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan
untuk pelaku
spesifikasi

usaha

teknis

tertentu dengan

yang mengarah

menentukan

persyaratan

pada suatu merek sehingga

kualifikasi dan
menghambat

pelaku usaha lain untuk ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk memperoleh
penawaran harga yang paling menguntungkan tidak terjadi. Pemaketan pengadaan
yang seharusnya dilaksanakan

dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan

efektifitas, namun padaprakteknya banyak yang direkayasa untuk kepentingan


KKN. Panitia pengadaan bekerja secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan
yang sama diantara para peserta tender. Tender dilakukan hanya untuk memenuhi
persyaratan formal sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Hal ini
terjadi karena calon pemenang biasanya sudah ditunjuk terlebih dahulu pada saat
tender berlangsung yaitu karena adanya unsur suap kepada panitia atau pejabat yang
mempunyai pengaruh.

62

E. Bentuk Umum Persekongkolan Tender


Persekongkolan tender berasal dari kolaborasi dua terminologi yaitu
persekongkolan dan tender. Dari kolaborasi tersebut, maka didapat pengertian
62

L. Budi Kagramanto. 2007. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum


Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi, hal. 34.

Universitas Sumatera Utara

63
63

persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar
dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pengertian tersebut,
Krisanto membagi unsur-unsur dalam persekongkolan tender sebagai berikut:

63

a. Adanya dua atau lebih pelaku usaha


b. Adanya kerjasama untuk melakukan persekongkolan dalam tender;
c. Adanya tujuan untuk menguasai pasar;
d. Adanya usaha untuk mengatur atau menentukan pemenang tender; dan
e. Mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Unsur-unsur di atas sedikit berbeda dari unsur-unsur persekongkolan tender
yang ditetapkan oleh KPPU berdasarkan rumusan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
KPPU,

sebagai

otoritas

pengawas

persaingan

dalam

menilai

kasus-kasus

persekongkolan tender menguraikan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 menjadi


unsur-unsur yang terdiri atas pelaku usaha, persekongkolan, pihak lain, mengatur
dan/atau menentukan pemenang tender, serta terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Unsur-unsur tersebut tidak bersifat statis melainkan mengalami pengembangan atau
pemaknaan baru didasarkan pada interpretasi terhadap ketentuan normatifnya. Dalam
putusan-putusannya, KPPU mendasarkan analisis unsur-unsur atas kasus-kasus
persekongkolan tender pada definisi yang terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.

63
64

64

Yakub Adi Krisanto, Analisis Pasal 22, Op. Cit., hal. 45.
Ibid, hal. 66.

Universitas Sumatera Utara

64
64

Unsur pelaku usaha dan persaingan usaha tidak sehat memiliki definisi yang
telah dijelaskan secara eksplisit dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini berbeda
dengan unsur pihak lain, bersekongkol, serta mengatur dan/atau menentukan
pemenang tender (MMPT). Terhadap unsur yang definisinya tidak diatur dalam UU
Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berinisiatif mengajukan definisi, sebagai dasar untuk
melakukan kajian atau penilaian atas kasus-kasus persekongkolan tender.
beberapa

kasus

persekongkolan

tender,

KPPU

juga

telah

65

Dalam

memberikan

penafsiran/interpretasi terhadap pengertian tender.


Tender menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah tawaran mengajukan harga
untuk memborong suatu pekerjaan; mengadakan barang-barang; atau menyediakan
jasa. Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu
pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi
pengertian dasar dari tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi
pemborongan, pengadaan, dan penyediaan.

66

Persekongkolan dalam tender dapat terjadi dalam berbagai bentuk, dimana


seluruhnya merusak upaya para pembeli (umumnya tender pada pemerintah pusat dan
daerah) untuk memperoleh barang dan jasa pada harga yang murah. Seringkali, para
pesaing setuju dimuka untuk menetapkan siapa yang memasukkan penawaran yang
akan menang atas suatu kontrak yang diberikan melalui suatu proses pengadaan yang
kompetitif. Suatu bentuk umum dari persekongkolan tender adalah untuk

65
66

Ibid.
Yakub Adi Krisanto, Analisis Pasal 22, Op. Cit., hal. 42.

Universitas Sumatera Utara

65
65

meningkatkan besaran nilai pengadaan yang akan menang dan oleh karenanya dapat
menikmati keuntungan dari nilai tersebut.
Persekongkolan

tender

terbagi

atas

persekongkolan

horizontal

dan

persekongkolan vertikal. Persekongkolan horizontal adalah persekongkolan yang


terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku
usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya; persekongkolan vertikal adalah
persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau
penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia tender atau pengguna
barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan, sedangkan gabungan
persekongkolan horizontal dan vertikal adalah persekongkolan antara panitia tender
atau panitia tender atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi
pekerjaan dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa
Skema persekongkolan tender seringkali mencakup mekanisme untuk
mengalokasikan dan mendistribusikan laba diperoleh sebagai hasil harga kontrak
yang lebih tinggi diantara para pelaku usaha yang bersekongkol. Sebagai contoh,
pesaing yang tidak setuju untuk menawar atau memasukkan tawaran yang pasti kalah
(losing bid) akan menerima sub-kontrak atau kontrak pasokan dari pemenang tender
dalam rangka membagi keuntungan dari harga penawaran tidak sah yang lebih tinggi.
Namun, perjanjian persekongkolan tender yang bertahan lama akan membutuhkan
metode yang lebih baik dalam menetapkan pemenang kontrak, mengawasi dan
membagi keuntungan persekongkolan tender selama periode bulanan atau tahunan.
Persekongkolan tender mungkin akan mencakup pembayaran uang dengan

Universitas Sumatera Utara

66
66

menetapkan penawaran yang akan menang (bidding winner) kepada satu atau lebih
pihak yangbersekongkol. Ini biasa disebut dengan pembayaran kompensasi yang
kadang diasosiasikan
F. Keterlibatan Notaris Dalam Persekongkolan Tender
Hasil pemeriksaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terhadap dugaan
persekongkolan

dan penyelewengan

tender

pengadaan

televisi,

DVD,

dan

peralatannya di Dinas Pendidikan Sumatera Utara mengindikasikan keterlibatan


67

Notaris . KPPU mempersalahkan Panitia Pengadaan Barang/Jasa Tahun Anggaran


2006 di Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Utara (panitia tender Pemprov. Sumut).
Selain panitia tender, dua pelaku usaha juga menjadi terdakwa di kursi pesakitan
KPPU. Kedua pelaku usaha yang bergerak di bidang pertelevisian beserta peralatan
teve itu adalah PT. Auna Rahmat dan PT. Hari Maju.
Berdasarkan putusan KPPU, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dana APBN
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2007 dinyatakan
bersalah dan terbukti telah melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Karena terbukti bersekongkol, kedua pelaku usaha (PT. Auna Rahmat dan PT.
Hari Maju) dikenai denda masing-masing Rp.1 miliar dan Rp.300 juta. Keduanya
juga dilarang mengikuti setiap tender yang diadakan Pemprov Sumut, selama dua
tahun sejak putusan No. 18/KPPU-L/2007 itu berkekuatan hukum tetap
67

Putusan KPPU Nomor 41/KPPU-L/2008 tentang Lelang Pengadaan Televisi, DVD, dan
Antena di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2007

Universitas Sumatera Utara

67
67

Menurut Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha Erwin Syahril, Notaris


melegalisasikan akta pinjam meminjam perusahaan peserta tender. "Ada pemodal
dari Jakarta yang masuk dalam perusahaan di Sumut. Pemodal ini yang kemudian
menjadi semacam direktur yang bisa menentukan keputusan perusahaan. Jika
perusahaannya menang, pemilik perusahaan akan mendapat persentase, tetapi yang
mengerjakan proyek bukan perusahaan tersebut.
Berdasarkan putusan Putusan KPPU Nomor 41/KPPU-L/2008 , keterlibatan
Notaris dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain masuknya Akta Perubahan
Anggaran Dasar Terlapor II Nomor 85 dan Surat Perjanjian Kerjasama yang
diterbitkan oleh Notaris Adi Pinem tanggal 31 Oktober 2007 dalam dokumen
penawaran Terlapor II, menunjukkan adanya tindakan post biding yang dilakukan
oleh Terlapor II. Tanggal 31 Oktober 2007 merupakan waktu penandatanganan
kontrak, sedangkan Terlapor II telah memasukkan dokumen penawaran sejak tanggal
9 Oktober 2007, hal ini memperkuat dalil tim pemeriksa bahwa dokumen Akta
Perubahan Anggaran Dasar Nomor 85 dan Surat Perjanjian Kerjasama diusulkan
kemudian setelah proses penunjukkan pemenang.
Tindakan post biding ini menunjukkan adanya kerjasama antara Terlapor II
dengan Terlapor I karena Terlapor I memfasilitasi masuknya Akta dan Surat
Perjanjian tersebut setelah menunjukkan pemenang. Sesuai dengan penjabaran unsur
bersekongkol dalam Pedoman Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu
tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya

Universitas Sumatera Utara

68
68

mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka


memenangkan peserta tender tertentu;
Pada gugatan, tindakan Notaris yang melegalkan peminjaman perusahaan
melalui Akta Perubahan Anggaran Dasar Terlapor II Nomor 85 dan Surat Perjanjian
Kerjasama tertanggal 31 Oktober 2007, perlu mendapat perhatian penting karena
dengan dilegalkannya pinjam-meminjam perusahaan akan mengurangi persaingan
yang seharusnya terjadi dalam setiap pengadaan barang dan jasa pada umumnya dan
dalam pengadaan barang dan jasa yang menggunakan dana APBN/APBD pada
khususnya.
Seorang Notaris tidak bisa dihukum apabila telah menjalankan tugasnya
dengan benar. Posisi seorang Notaris dalam pembuatan akta itu adalah seorang manus
ministra, orang yang disuruh, bukan seorang doenpleger atau manus domina.
Praktik Notaris ditemukan kenyataan, jika ada akta Notaris dipermasalahkan
oleh para pihak atau pihak lainnya, maka sering pula Notaris ditarik sebagai pihak
yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana yaitu
membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Hal ini pun
menimbulkan kerancuan, apakah mungkin Notaris secara sengaja (culpa) atau khilaf
(alpa) bersama-sama para penghadap/pihak untuk membuat akta yang diniatkan sejak
awal untuk melakukan suatu tindak pidana.
Pemanggilan terhadap Notaris, berkaitan dengan akta otentik yang dibuat dan
berindikasi

perbuatan

pidana,

umumnya

menempatkan

Notaris

sebagai

saksi.

Pemanggilan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana dilakukan oleh penyidik

Universitas Sumatera Utara

69
69

dalam rangka memperoleh keterangan yang obyektif terhadap perkara yang sedang
dalamproses penyidikan diKepolisian karena fungsi penyidik adalah membuat terang
suatu tindak pidana. Adapun perkara pidana berkaitan dengan akta Notaris yang
menonjol umumnya pelanggaran Pasal 263 KUHP yaitu pemalsuan surat

Notaris bukan berarti steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum
atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana, jika dapat dibuktikan
di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak disengaja Notaris bersama-sama
dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk
menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang
lain, jika hal ini terbukti, maka Notaris tersebut wajib dihukum.
Ketentuan normatif ini mengatur Notaris agar Notaris dalam menjalankan
profesinya selalu terkontrol dengan formalitas yang telah digariskan. Artinya tuntutan
profesi Notaris lebih merujuk pada bentuk dari akta yang dihasilkan bukan substansi
(materi) dari akta. Materi akta dan tanggung jawab atas isinya berada di pundak para
pihak yang mengadakan perjanjian. Namun terkadang dalam suatu akta memuat
konstruksi-konstruksi hukum tertentu yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan di
bidang hukum perjanjian.

Mengenai

hal ini, Notaris berkewajiban

untuk

mengingatkan atau memberi tahu kepada para pihak bahwa perbuatannya


bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Praktik pinjam meminjam perusahaan ternyata lazim dilakukan banyak
perusahaan di Sumut. Praktik ini sebenarnya juga terjadi di tempat lain seperti Jakarta
hingga Bengkulu. Modus pinjam meminjam perusahaan ini, mengakibatkan

Universitas Sumatera Utara

70
70

terjadinya inefisiensi dalam proyek-proyek pemerintah. Sebagai contoh, mestinya ada


perusahaan yang sanggup mengerjakan proyek dengan nilai lebih rendah, tetapi
karena perusahaannya dipinjam agar mundur atau mengalah dari tender, sehingga
pemenang tender merupakan perusahaan yang penawarannya lebih tinggi.

68

Karena terbukti bersekongkol, kedua pelaku usaha (PT. Auna Rahmat dan PT.
Hari Maju) dikenai denda masing-masing Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan
Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Keduanya juga dilarang mengikuti setiap
tender yang diadakan Pemprov Sumut, selama dua tahun sejak putusan No.
18/KPPU-L/2007 itu berkekuatan hukum tetap.
Sementara, terhadap panitia tender, Majelis Komisi merekomendasikan
kepada pejabat yang berwenang di Pemprov Sumut untuk menjatuhkan sanksi
administratif. Majelis Komisi juga meminta Gubernur Pemerintah Provinsi
(selanjutnya disebut pemprov) Sumut untuk menginstruksikan Kepala Dinas
Pendidikan, berikut instansi di bawahnya, agar membuat dan melaksanakan aturan
tender sesuai ketentuan yang berlaku. Lalu, Gubernur juga diminta untuk mengawasi
pelaksanaan tender di seluruh instansi Pemprov Sumut.
Rekomendasi itu terkait pelanggaran yang dilakukan panitia tender terhadap
pasal 18 ayat (3) Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Panitia tender dinilai telah keliru

68

Khaeruddin. Notaris Terlibat Persekongkolan Tender di Dinas Pendidikan Sumut


http://nasional.kompas.com/read/2008/12/01/18561585/Notaris.terlibat.persekongkolan.tender.di.dinas
.pendidikan.sumut. diakses tanggal 20 Desember 2011.

Universitas Sumatera Utara

71
71

dalam menerapkan metode dua sampul. Kekeliruan itu terjadi tatkala panita tender
membuka harga penawaran yang termasuk dalam sampul dua. Padahal, kedua pelaku
usaha yang mengikuti tender tadi, dinyatakan tidak lulus evaluasi oleh panitia tender,
saat memasukan harga penawaran dalam sampul satu. Apabila peserta tender tidak
lulus evaluasi sampul satu, maka sampul dua tidak perlu dibuka panita tender.

69

Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau


menghambat persaingan usaha adalah:
a.

Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara
luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi
kualifikasi tidak dapat mengikutinya.

b.

Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha
dengan kompetensi yang sama.

c.

Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah
kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.
Untuk mengetahui telah terjadi tidaknya suatu persekongkolan dalam tender,

berikut dijelaskan berbagai indikasi persekongkolan yang sering dijumpai pada


pelaksanaan tender. Perlu diperhatikan bahwa, hal-hal berikut ini merupakan indikasi
persekongkolan, sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan maupun ada
tidaknya persekongkolan tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim
Pemeriksa atau Majelis KPPU.
1.

Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, antara lain meliputi:


69

ibid

Universitas Sumatera Utara

72
72

a. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender/lelang


secara terbuka.
b. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau waktu penyerahan
barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang yang hanya dapat
disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu.
c. Tender/lelang dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu
yang dapat mengikuti/melaksanakannya.
d. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/ jasa
e. Nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi dari pada nilai dasar
lelang.
f. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.
2.

Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain meliputi:


a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga
mudah dipengaruhi.
b. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.
c. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung ditutup-tutupi.

4.

Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pra lelang,


antara lain meliputi:
a. Persyaratan untuk mengikuti prakualififasi membatasi dan/atau mengarah
kepada pelaku usaha tertentu.

Universitas Sumatera Utara

73
73

b. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi,


merek, jumlah, tempat, dan/atau waktu penyerahan barang dan jasa yang akan
ditender atau dilelangkan.
c. Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau waktu pengumuman
tender/lelang.
d. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi walaupun tidak
atau kurang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
e. Panitia memberikan perlakukan khusus/istimewa kepada pelaku usaha
tertentu.
f. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah prakualifikasi dan tidak
diberitahukan kepada semua peserta.
g. Adanya pemegang saham yang sama diantara peserta atau Panitia atau
pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan
tender/lelang (benturan kepentingan).
5.

Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti


tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen tender/lelang, antara lain
meliputi adanya persyaratan tender/ lelang yang mengarah kepada pelaku usaha
tertentu terkait dengan sertifikasi barang, mutu, kapasitas dan waktu penyerahan
yang harus dipenuhi.

6.

Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender atau lelang, antara lain
meliputi:
a. Jangka waktu pengumuman tender/lelang yang sangat terbatas.

Universitas Sumatera Utara

74
74

b. Informasi dalam pengumuman tender/lelang dengan sengaja dibuat tidak


lengkap dan tidak memadai. Sementara, informasi yang lebih lengkap
diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu.
c. Pengumuman tender/lelang dilakukan melalui media dengan jangkauan yang
sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal ataupun pada
papan pengumuman yang jarang dilihat publik atau pada surat kabar dengan
jumlah eksemplar yang tidak menjangkau sebagian besar target yang
diinginkan.
d. Pengumuman tender/lelang dimuat pada surat kabar dengan ukuran iklan yang
sangat kecil atau pada bagian/lay-out surat kabar yang seringkali dilewatkan
oleh pembaca yang menjadi target tender/lelang.
7.

Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen tender/ lelang, antara


lain meliputi:
a. Dokumen tender/lelang yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon peserta
tender/lelang.
b. Waktu pengambilan dokumen tender/lelang yang diberikan sangat terbatas.
c. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender/lelang sulit ditemukan oleh
calon peserta tender/lelang.
d. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender/lelang secara tibatiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan tersebut tidak
diumumkan secara terbuka.

Universitas Sumatera Utara

75
75

8.

Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga
dasar lelang, antara lain meliputi:
a. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu
produk atau jasa yang ditender/dilelangkan.
b. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar hanya diberikan kepada pelaku usaha
tertentu.
c. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan
yang tidak jelas dan tidak wajar.

9.

Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house lelang,
antara lain meliputi:
a. Informasi atas barang/jasa yang ditender atau dilelang tidak jelas dan
cenderung ditutupi.
b. Penjelasan tender/lelang dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas
sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya.
c. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang
seharusnya diberikan secara terbuka.
d. Salah satu calon peserta tender/lelang melakukan pertemuan tertutup dengan
Panitia.

10. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau
kotak penawaran tender/lelang, antara lain meliputi:
a. Adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.

Universitas Sumatera Utara

76
76

b. Adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-sama dengan


penawaran peserta tender/lelang yang lain.
c. Adanya penawaran yang diterima oleh Panitia dari pelaku usaha yang tidak
mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau proses administrasi.
d. Terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir sebelum
memasukkan penawaran.
e. Adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran secara
tiba-tiba tanpa pengumuman secara terbuka.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim, diputuskan bahwa:
1. Menyatakan Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor V, terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
2. Menyatakan Terlapor III dan Terlapor IV tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;3. Menghukum Terlapor II dan Terlapor V untuk membayar denda sebesar
Rp. 1.900.000.000,- (satu milyar sembilan ratus juta rupiah.
Berdasarkan Pemeriksaan yang dilakukan, KPPU menemukan bahwa bentuk
persekongkolan terjadi dalam bentuk tindakan saling memperlihatkan harga
penawaran tender antar pelaku usaha peserta tender. Hal tersebut ditemukan seiiring
adanya bukti bahwa adanya kesepakatan untuk memberikan surat dukungan oleh B,
salah satu peserta tender, kepada E dan H dengan syarat kedua perusahaan tersebut

Universitas Sumatera Utara

77
77

harus memperlihatkan terlebih dahulu harga penawarannya. Dengan demikian B


dapat menawarkan harga yang lebih rendah dari E dan H dimana B menjanjikan akan
memberikan pekerjaan kepada mereka. Selanjutnya terbukti bahwa B terpilih sebagai
pemenang tender.
Berdasarkan pemeriksaan KPPU, maka Notaris tidak dapat dijerat dengan
perbuatan melanggar hukum, karena Notaris hanya melakukan tugas yang diemban
kepadanya, yaitu melegalkan akta, dalam kasus di atas yang dilegalkan adalah akta
perubahan Anggaran Dasar.
Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur dalam
UUJN berikut peraturan perundang-undangan lainnya. Sementara hubungan profesi
Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur melalui kode etik Notaris yang
ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi Notaris. Keberadaan kode etik Notaris
merupakan konsekuensi logis dari dan untuk suatu pekerjaan yang disebut sebagai
profesi. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum
yang diberikan kepercayaan harus berpegang teguh tidak hanya pada peraturan
perundang-undangan semata, namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa
kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.
Terdapat hubungan antara kode etik dengan UUJN. Hubungan pertama
terdapat dalam Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya
berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya
sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya
sebagai Notaris.

Universitas Sumatera Utara

78
78

Adanya hubungan antara kode etik dan UUJN memberikan arti terhadap
profesi Notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik Notaris menghendaki agar Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada
UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab kepada
masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI)
maupun terhadap negara. Dengan adanya hubungan ini, maka terhadap Notaris yang
mengabaikan keluruhan dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril,
ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya juga dapat dipecat dari jabatannya
sebagai Notaris.
Menurut Muhammad sebagaimana dikutip Abdul Ghofur Anshori, bahwa
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya :
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta
yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan karena jabatannya.
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya, akta yang dibuatnya
itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan
dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan produk akta
yang dibuatnya itu.

Universitas Sumatera Utara

79
79

3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu mempunyai
kekuatan bukti sempurna.

70

Pelanggaran terkait dengan kode etik Notaris adalah perbuatan atau tindakan
yang dilakukan oleh anggota perkumpulan Organisasi Ikatan Notaris Indonesia
maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris yang melanggar
ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi.
Berdasarkan keadaan-keadaan di atas, maka apabila Notaris telah melakukan
kewajibannya dengan baik sesuai dengen ketentuan perundangan dan kode etik yang
telah

ditetapkan,

maka

Notaris

tidak

dapat

disalahkan.

Kalaupun

terjadi

persekongkolan tender, biasanya murni dilakukan oleh pelaku usaha. Notaris hanya
merupakan pihak yang melegalkan badan hukum yang akan dijadikan subjek dalam tender.
Pada dasarnya, kode etik Notaris itu bertujuan untuk disatu pihak menjaga martabat
profesi yang bersangkutan, dan dilain pihak untuk melindungi klien (warga masyarakat) dari
penyalahgunaan keahlian dan/atau otoritas profesional. Notaris seyogyanya hidup dan
berperilaku baik di dalam menjalankan jabatannya atas dasar nilai, moral dan etik Notaris.
mendasarkan pada nilai, moral dan etik Notaris, maka hakekat pengembanan profesi jabatan
Notaris adalah Pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak.

70

Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. UII
Press. Yogyakarta. 2009, hal.48

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai